Anda di halaman 1dari 10

Bidan ujung tombak terdepan pelayanan kesehatan ibu dan

anak

Bidan merupakan ujung tombak terdepan pelayanan dasar KIA-KB untuk


memberikan pelayanan Jampersal. Oleh karenanya diharapkan, para bidan
menerapkan komunikasi interpersonal dalam memberikan konseling pengenalan
tanda bahaya dan komplikasi kebidanan. Bidan juga dapat melaksanakan rujukan
tepat waktu, pelayanan KB pasca persalinan yang diarahkan pada penggunaan
metode kontrasepsi jangka panjang, serta penerapan Inisiasi Menyusu Dini dan
pemberian ASI Eksklusif pada bayi usia 0-6 bulan.
Kementerian Kesehatan sedang menyiapkan Rancangan Peraturan Pemerintah
tentang Pemberian ASI Eksklusif. Diharapkan dukungan penuh dari seluruh
pengurus IBI dan anggotanya dalam menyukseskan pemberian ASI Eksklusif.

Demikian sambutan Menkes dr. Endang Rahayu Sedyaningsih, MPH, Dr.PH saat
menutup acara Rapat Kerja Nasional V Ikatan Bidan Indonesia, di Solo
(14/10).Hadir dalam acara ini Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Bidan
Indonesia dan para Pengurus Daerah dari 33 Propinsi dan Pengurus Cabang dari
445 Kabupaten/Kota.

Menkes menegaskan masyarakat mengharapkan pelayanan kesehatan yang baik


dan secara profesional. Untuk itu diperlukan komitmen dari seluruh pihak
termasuk organisasi profesi seperti Ikatan Bidan Indonesia (IBI).

Menkes menyatakan, saat ini Angka Kematian Ibu (AKI) telah menurun dari 390
per 100.000 kelahiran hidup (KH) pada tahun 1991 menjadi 228 per 100.000 KH
pada tahun 2007. Demikian pula halnya dengan Angka Kematian Bayi (AKB)
menurun dari 68 per 1.000 KH pada tahun 1991 menjadi 34 per 1.000 KH pada
tahun 2007. Penurunan ini sejalan dengan peningkatan akses masyarakat terhadap
pelayanan kesehatan ibu dan anak.

Riset Kesehatan Dasar tahun 2010 menunjukkan cakupan kunjungan antenatal K1


mencapai 92,7%, cakupan persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan 82,2%,
cakupan kunjungan neonatal pertama 71,4%. Sementara cakupan KB cara modern
menurut SDKI 2007 sebesar 57,4%, tambah Menkes.

Namun demikian, Menkes menegeskan, masih ditemukan disparitas derajat


kesehatan ibu dan anak. Cakupan K4 tertinggi berada di Provinsi DIY 89,0% dan
terendah di Provinsi Gorontalo 19,7%. Di Provinsi DIY cakupan persalinan oleh
tenaga kesehatan (Nakes) telah mencapai 98,6%. Ini berarti, hampir seluruh ibu
telah mempunyai akses terhadap persalinan nakes. Namun, di Provinsi Maluku
Utara, cakupan persalinan Nakes baru mencapai 26,6%.

“Hal ini disebabkan oleh faktor geografis – daerah terpencil dan kepulauan.
Belum terpenuhinya kebutuhan masyarakat akan ketersediaan fasilitas pelayanan
kesehatan dan obat-obatan yang terjangkau, kurangnya tenaga kesehatan, serta
masih adanya hambatan finansial masyarakat dalam mengakses pelayanan
kesehatan yang disediakan oleh Pemerintah,” ujar Menkes.

Untuk mengatasi disparitas tersebut, Kementerian Kesehatan melakukan


Reformasi Pembangunan Kesehatan tahun 2010-2014, yang mencakup 7 upaya,
yaitu: 1) Revitalisasi pelayanan kesehatan dasar; 2) Penyediaan, distribusi, dan
retensi SDM Kesehatan; 3) Penyediaan, distribusi, mutu, dan keterjangkauan obat,
vaksin, dan alat kesehatan; 4) Pengembangan jaminan kesehatan menuju universal
coverage; 5) Penanganan Daerah Bermasalah Kesehatan dan Daerah Terpencil
Perbatasan dan Kepulauan; 6) Pelaksanaan reformasi birokrasi; dan 7)
Pengembangan world class health care.

Menkes menambahkan, Pemerintah berkomitmen untuk mencapai target MDGs


tahun 2015. AKI harus dapat diturunkan menjadi 102 per 100.000 KH dan Angka
Kematian Bayi diturunkan menjadi 26 per 1000 KH. Untuk itu, tahun 2011
Kementerian Kesehatan meluncurkan Program Jaminan Persalinan (Jampersal)
bagi seluruh ibu hamil, bersalin, dan nifas serta bayi baru lahir yang tidak
memiliki jaminan pembiayaan paket persalinan.

“Pemerintah menyediakan anggaran lebih dari Rp 1,2 triliun untuk


penyelenggaraan paket Jampersal. Paket ini meliputi pelayanan antenatal,
pertolongan persalinan, pelayanan nifas termasuk KB pasca persalinan dan
pelayanan bayi baru lahir, baik untuk keadaan normal maupun kasus-kasus
komplikasi yang perlu dirujuk ke fasilitas kesehatan yang lebih mampu.

Dengan adanya Jampersal ini, hendaknya tidak ada lagi pengaduan masyarakat
yang ditolak oleh tenaga kesehatan ketika membutuhkan pelayanan antenatal,
persalinan, pelayanan nifas, bayi baru lahir, dan KB pasca persalinan.

Dalam kesempatan tersebut Menkes berharap parabidan dapat membantu


pemerintah untuk mencapat target-target yang telah ditetapkan.

Sumber: http://depkes.go.id
Image: mediabidan.com
elasa, Maret 03, 2009
ANALISIS KEMAMPUAN PEMBIAYAAN KESEHATAN
MASYARAKAT DI KABUPATEN GORONTALO PROPINSI
GORONTALO

Sukri 1, A.Razak Thaha 2


1BagianAdministrasi dan Kebijakan Kesehatan FKM Unhas, 2Bagian Gizi
Masyarakat FKM Unhas

ABSTRAK

Pembiayaan kesehatan merupakan salah satu unsur dalam meningkatkan status


kesehatan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan dan kemauan
masyarakat dalam pembiayaan kesehatan, jenis pelayanan kesehatan yang
diminati masyarakat dan bagaimana kepuasan masyarakat terhadap pelayanan
kesehatan serta mengetahui berapa besar anggaran kesehatan yang dialokasikan
oleh Pemda Kabupaten Gorontalo Propinsi Gorontalo. Jenis penelitian ini
penelitian observasional dengan rancangan deskriptif. Lokasi penelitian dilakukan
pada masyarakat wilayah kerja Puskesmas Mongolato, Limboto, Sukamakmur,
Sidomulyo, Tibawa dan Batudaa Pantai. Sampelnya adalah sebanyak 400 KK
ditentukan secara proporsional berdasarkan jumlah KK setiap wilayah kerja
Puskesmas. Teknik penarikan sampel yaitu simple random sampling.
Pengumpulan data dengan menggunakan kuesioner dan wawancara. Selain itu
juga mengambil data sekunder dari Dinas Kesehatan meliputi data pembiayaan
kesehatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa besarnya kemampuan membayar
masyarakat terhadap pelayanan kesehatan berdasarkan 5% pengeluaran non
makanan adalah Rp.15.174 dan berdasarkan pengeluaran nonesensial adalah
Rp.140.491, besarnya kemauan membayar aktual masyarakat secara keseluruhan
adalah Rp.103.116 dan normative sebesar Rp.65.894 (kemauan membayar aktual
di Puskesmas sebesar Rp.4.370 dan Rumah Sakit sebesar Rp.22.093 dan kemauan
membayar normative di Puskesmas sebesar Rp.3.674 dan Rumah Sakit sebesar
Rp.20.773), jenis pelayanan kesehatan yang banyak diminati di Puskesmas adalah
pelayanan dasar seperti pengobatan, KIA/KB, imunisasi, program P2M, rata-rata
responden menyatakan puas terhadap pelayanan kesehatan, baik aspek
administrasi, fasilitas dan ketersediaan peralatan dan tenaga kesehatan. Kemudian
besarnya Dana Alokasi Khusus sektor kesehatan di Kabupaten Gorontalo untuk
tahun 2001 sebesar Rp.1.116.311.355, tahun 2002 sebesar Rp.1.884.710.000, dan
tahun 2003 sebesar Rp.4.980.177.655. Dari hasil penelitian tersebut disarankan
kepada Pemda perlu peningkatan alokasi anggaran kesehatan dan pendapatan
yang diperoleh dalam bidang kesehatan hendaknya tidak dijadikan sebagai sumber
pendapatan asli daerah, tetapi harus dikelola kembali oleh pihak rumah sakit dan
dinas kesehatan sendiri.

Kata Kunci: Kemampuan, kemauan, pembiayaan kesehatan, masyarakat.


Diposkan oleh Jurnal Media Kesehatan Masyarakat Indonesia pada 09.27
Label: Jurnal Vol 1 No 1 2005
Artikel kesehatan sjsn kota gorontalo

Undang-undang Republik Indonesia nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem


Jaminan SosialNasional (SJSN) menetapkan setiap orang berhak atas Jamian
Sosial untuk dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak dan
meningkatkan martabatnya menuju terwujudnya masyarakat Indonesia yang
sejahtera, adil dan makmur.

Pembangunan kesehatan diarahkan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan


kemampuan hidup sehat bagi setiap orang, agar peningkatan derajat kesehatan
yang setinggi-tingginya dapat terwujud.

Masyarakat yang sehat memiliki energi dan kekuatan untuk melaksanakan


pekerjaan sehari-hari dan memenuhi perannya baik di keluarga maupun di
masyarakat.

Salah satu Program unggulan Pemerintah Provinsi Gorontalo adalah peningkatan


layanan Kesehatan. Upaya ini harus dilakukan dengan tindakan nyata, salah
satunya melalui Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) yang berorientasi
promotifdanpereventif tanpa melupakan pelayanan kuratif.

Selama ini, Pemerintah daerah melihat pelayanan kesehatan di hampir semua


wilayah Provinsi Gorontalo, khususnya wilayah pedesaan, masih relatif rendah.
Permasalahan pelayanan kesehatan belum dapat diatasi terutama pada tingkat
masyarakat miskin/kurang mampu. Kondisi inilah yang melatarbelakangi
dikembangkannya pelayanan Jaminan Kesehatan Rakyat Semesta (JAMKESTA)
sebagai penjabaran konsep kesehatan GRATIS di Provinsi Gorontalo.

Sejak tahun 2012 sampai dengan saat ini, Pemerintah Provinsi Gorontalo terus
berupaya meningkatkan cakupan kepesertaan Jamkesta untuk mencapai Universal
Health Coverage di Provinsi Gorontalo. Berbagai pengembangan dan perbaikan
dilakukan, seperti penambahan jumlah peserta dan penerbitan kartu Jamkesta.
Alhamdulillah Provinsi Gorontalo Telah Mencapai Universal Health Coverage di
Akhir tahun 2012.

Saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh jajaran


Dinas Kesehatan Provinsi Gorontalo atas kerja kerasnya untuk menyelenggarakan
Jamkesta Gorontalo sesuai dengan asas penyelenggaraannya, yaitutransparansi,
responsif gender, akuntabilitas, kerja sama tim, inovatif, cepat, cermat, akurat,
pelayanan terstruktur dan berjenjang, kendali mutu dan kendali biaya, serta
Portabilitas.

Semoga program ini dapat bermanfaat bagi masyarakat Provinsi Gorontalo,


Khususnya masyarakat miskin/kurang mampu serta meningkatkan akses,
pemerataan, dan mutu pelayanan kesehatan di Provinsi Gorontalo.
Jaminan kesehatan sebagai amanah UU SJSN sebagai solusi untuk
mengatasi masalah pembiayaan kesehatan yang semakin meningkat.
Pengembangan jaminan untuk meniadakan hambatan pembiayaan untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan terutama kelompok miskin dan rentan. Solusi
masalah pembiayaan kesehatan mengarah pada peningkatan pendanaan kesehatan
untuk mendukung pembangunan kesehatan. Peningkatan biaya pemeliharaan
kesehatan menyulitkan akses sebagian besar masyarakat dalam memenuhi layanan
kesehatan. Banyak faktor penyebab meningkatkannya pembiayaan kesehatan
seperti penggunaan teknologi kesehatan yang semakin canggih, inflasi, pola
penyakit kronik dan degeneratif, dan sebagainya sementara kemampuan
penyediaan dana pemerintah maupun masyarakat sangat terbatas. Arah
pencapaian kepesertaan semesta (Universal Coverage) Jaminan Kesehatan pada
akhir 2014 telah ditetapkan menurut Rencana Pembangunan Jangka Menengah
(RPJMN). Pada RPJMN yang ditetapkan tahun 2010 itu pemerintah telah
membuat kebijakan pembiayaan kesehatan terkait target Universal Coverage 2014
ketika 100 persen penduduk terjamin. Salah satu elemen target Universal
Coverage, yaitu Jampersal (Jaminan Kesehatan Persalinan). Meski penerapan UU
No 40 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) masih belum maksimal
diimplementasikan, target tersebut perlu didukung sebagai political will
pemerintah dalam menjamin pemenuhan kesehatan masyarakat. Realitas yang
ada, baru sekitar 50 persen penduduk yang terjamin asuransi kesehatan atau
skema jaminan kesehatan lainnya dan sebagian besar (sekitar 75 persen) dijamin
melalui anggaran pemerintah bagi warga miskin.

Anggaran kesehatan Indonesia relatif sangat kecil yakni hanya 1.7 persen
dari total belanja pemerintah, baik melalui APBN maupun APBD (Propinsi dan
Kabupaten Kota). Padahal UU No 36 tahun 2009 tentang kesehatan mengatur
besaran anggaran kesehatan pusat adalah 5 persen dari APBN di luar gaji,
sedangkan APBD Propinsi dan Kab/Kota 10 persen di luar gaji, dengan
peruntukannya 2/3 untuk pelayanan publik. Meski terlihat kecil, justru ditemukan
masih ada sisa anggaran yang tidak terserap di kementrian kesehatan. Kenyataan
tersebut mengundang pertanyaan apakah anggaran kesehatan sudah cukup atau
masih kurang.

Sumber Berita: dinkes.sulselprov.go.id

http://dinkes.sulselprov.go.id/berita-pembiayaan-
kesehatan.html#ixzz3uGGiZWm1

Terima Kasih

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Gorontalo, Juli 2013

Drs. H. Rusli Habibie, M.AP


Gubernur Provinsi Gorontalo
Selama tiga hari pada akhir bulan September 2011 lalu, para peneliti
kebijakan kesehatan dan pengambil kebijakan kesehatan seluruh Indonesia
berkumpul di Makassar. Pertemuan rutin tahunan kali ini membahas berbagai
penelitian kebijakan kesehatan terkini di Indonesia dengan fokus utama pada
pelaksanaan kebijakan pembiayaan kesehatan yakni Jampersal dan BOK.
Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) diluncurkan pada tahun 2010
untuk puskesmas dan jaringannya. Selama berjalan dua tahun, BOK diragukan
efektifitasnya dan keberlanjutannya karena menggunakan istilah “bantuan”. Bisa
jadi pada masa datang, dana BOK sebagai dana Tugas Pembantuan (TP) untuk
kesehatan dialihkan ke Dana Alokasi Khusus (DAK). Dana Tugas Pembantuan
(TP) biasanya bersifat dana pelimpahan wewenang pusat ke propinsi untuk
didistribusikan pada level pemerintahan lebih rendah. Kalau demikian, mengapa
dana BOK tidak langsung menjadi DAK? Apakah ada motif lain dibalik
peluncuran skema dana BOK agar lebih popular seperti halnya dana BOS untuk
sektor pendidikan?
Selain itu, ada empat kegiatan penunjang lain yang tidak kalah pentingnya
dilakukan selama tiga hari yakni mendiskusikan perkembangan keberpihakan dan
ideologi kebijakan kesehatan di Indonesia; melakukan diskusi antara peneliti dan
penetap keputusan (policy makers) tentang pertimbangan dalam memutuskan
suatu kebijakan dan bagaimana memutuskan kebijakan tersebut; mendiskusikan
metode penelitian di bidang kebijakan kesehatan, teknik penyampaian penelitian
kebijakan, dan aspek etika publikasi hasil penelitian kebijakan kesehatan; serta
mengembangkan jaringan kebijakan kesehatan di Indonesia.
Pembiayaan Kesehatan
Pengertian biaya kesehatan adalah besarnya dana yang harus disediakan
untuk menyelenggarakan dan/atau memanfaatkan berbagai upaya kesehatan yang
diperlukan oleh perorangan, keluarga, kelompok dan masyarakat (Azrul A, 1996).
Dari defenisi di atas, ada dua pihak yang terlibat yakni penyelenggara pelayanan
kesehatan (provider) dan pemakai jasa pelayanan kesehatan. Bagi penyelenggara,
terkait besarnya dana untuk menyelenggarakan upaya kesehatan yang berupa dana
investasi serta dana operasional, sedangkan bagi pemakai jasa layanan
berhubungan dengan besarnya dana yang dikeluarkan untuk dapat memanfaatkan
suatu upaya kesehatan.
Pembiayaan kesehatan suatu negara mempertimbangkan adanya sektor
swasta selain pemerintah sebagai penyelenggaraan layanan kesehatan. Total biaya
dari sisi pemerintah dihitung dari besarnya dana yang dikeluarkan oleh
pemerintah (expence) untuk penyelenggaraan pelayanan kesehatan, bukan
berdasarkan besarnya dana yang dikeluarkan oleh pemakai jasa (income
pemerintah). Jadi total biaya kesehatan adalah penjumlahan biaya dari sektor
pemerintah dengan besarnya dana yang dikeluarkan pemakai jasa pelayanan untuk
sektor swasta.
Secara umum biaya kesehatan dibedakan atas biaya pelayanan kedokteran
dan biaya pelayanan kesehatan masyarakat. Biaya pelayanan kedokteran adalah
biaya untuk menyelenggarakan dan atau memanfaatkan pelayanan kedokteran
dengan tujuan utama lebih ke arah pengobatan dan pemulihan (aspek kuratif-
rehabilitatif) dengan sumber dana dari sektor pemerintah maupun swasta.
Sementara biaya pelayanan kesehatan masyarakat adalah biaya untuk
menyelenggarakan dan/atau memanfaatkan pelayanan kesehatan masyarakat
dengan tujuan utama lebih ke arah peningkatan kesehatan dan pencegahan (aspek
preventif-promotif) dengan sumber dana terutama dari sektor pemerintah. Sumber
pembiayaan dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah (propinsi dan
kabupaten/kota) berasal dari pajak (umum dan penjualan), deficit financial
(pinjaman luar negeri) serta asuransi sosial. Sedang pembiayaan dari sector swasta
bersumber dari perusahaan, asuransi kesehatan swasta, sumbangan sosial,
pengeluaran rumah tangga serta communan self help.
Setidaknya ada empat skema pengembangan jaminan kesehatan yakni :
pertama, jaminan kesehatan penerima bantuan iuran (PBI) dalam SJSN; kedua,
pengembangan Jaminan Kesehatan (JK) non PBI sebagai bagian dari Sistem
Jaminan Sosial Nasional (SJSN); ketiga, pengembangan jaminan kesehatan
berbasis sukarela seperti asuransi kesehatan komersial atau Jaminan Pemeliharaan
Kesehatan Masyarakat (JPKM) sukarela; keempat, pengembangan jaminan
kesehatan sektor informal seperti jaminan kesehatan mikro/microfinancing (dana
sehat) dan dana sosial masyarakat.
Dari berbagai pengalaman diberbagai negara, ada tiga model sistem
pembiayaan kesehatan bagi rakyatnya yang diberlakukan secara nasional yakni
model asuransi kesehatan sosial (Social Health Insurance), model asuransi
kesehatan komersial (Commercial/Private Health Insurance), dan model NHS
(National Health Services). Model Social Health Insurance berkembang di
beberapa Negara Eropa sejak Jerman dibawah Bismarck pada tahun 1882
kemudian ke Negara-negara Asia lainnya yakni Philipina, Korea, Taiwan.
Kelebihan sistem ini memungkinkan cakupan 100 persen penduduk dan relatif
rendahnya peningkatan biaya pelayanan kesehatan.
Sedangkan model Commercial/Private Health Insurance berkembang di
AS. Sistem ini gagal mencapai cakupan 100% penduduk sehingga Bank Dunia
merekomendasikan pengembangan model Regulated Health Insurance. Amerika
Serikat adalah negara dengan pengeluaran untuk kesehatannya paling tinggi
(13,7% GNP) pada tahun 1997 sementara Jepang hanya 7% GNP tetapi derajat
kesehatan lebih tinggi Jepang. Indikator umur harapan hidup didapatkan untuk
laki-laki 73,8 tahun dan wanita 79,7 tahun di Amerika Serikat sedang di Jepang
umur harapan hidup laki-laki 77,6 tahun dan wanita 84,3 tahun. Terakhir model
National Health Services dirintis pemerintah Inggris sejak usai perang dunia
kedua. Model ini juga membuka peluang cakupan 100% penduduk, namun
pembiayaan kesehatan yang dijamin melalui anggaran pemerintah akan menjadi
beban yang berat.
Kondisi Indonesia
Jaminan kesehatan sebagai amanah UU SJSN sebagai solusi untuk
mengatasi masalah pembiayaan kesehatan yang semakin meningkat.
Pengembangan jaminan untuk meniadakan hambatan pembiayaan untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan terutama kelompok miskin dan rentan. Solusi
masalah pembiayaan kesehatan mengarah pada peningkatan pendanaan kesehatan
untuk mendukung pembangunan kesehatan. Peningkatan biaya pemeliharaan
kesehatan menyulitkan akses sebagian besar masyarakat dalam memenuhi layanan
kesehatan. Banyak faktor penyebab meningkatkannya pembiayaan kesehatan
seperti penggunaan teknologi kesehatan yang semakin canggih, inflasi, pola
penyakit kronik dan degeneratif, dan sebagainya sementara kemampuan
penyediaan dana pemerintah maupun masyarakat sangat terbatas.
Arah pencapaian kepesertaan semesta (Universal Coverage) Jaminan
Kesehatan pada akhir 2014 telah ditetapkan menurut Rencana Pembangunan
Jangka Menengah (RPJMN). Pada RPJMN yang ditetapkan tahun 2010 itu
pemerintah telah membuat kebijakan pembiayaan kesehatan terkait target
Universal Coverage 2014 ketika 100 persen penduduk terjamin. Salah satu elemen
target Universal Coverage, yaitu Jampersal (jaminan kesehatan persalinan). Meski
penerapan UU No 40 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) masih
belum maksimal diimplementasikan, target tersebut perlu didukung sebagai
political will pemerintah dalam menjamin pemenuhan kesehatan masyarakat.
Realitas yang ada, baru sekitar 50 persen penduduk yang terjamin asuransi
kesehatan atau skema jaminan kesehatan lainnya dan sebagian besar (sekitar 75
persen) dijamin melalui anggaran pemerintah bagi warga miskin.
Anggaran kesehatan Indonesia relatif sangat kecil yakni hanya 1.7 persen
dari total belanja pemerintah, baik melalui APBN maupun APBD (Propinsi dan
Kabupaten Kota). Padahal UU No 36 tahun 2009 tentang kesehatan mengatur
besaran anggaran kesehatan pusat adalah 5 persen dari APBN di luar gaji,
sedangkan APBD Propinsi dan Kab/Kota 10 persen di luar gaji, dengan
peruntukannya 2/3 untuk pelayanan publik. Meski terlihat kecil, justru ditemukan
masih ada sisa anggaran yang tidak terserap di kementrian kesehatan. Kenyataan
tersebut mengundang pertanyaan: apakah anggaran kesehatan sudah cukup atau
masih kurang?
Masalah efektif dan efisien dari pembiayaan kesehatan adalah hal yang
paling penting. Suatu kebijakan pembiayaan kesehatan yang efektif dan efesien,
apabila jumlahnya mencukupi untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang
dibutuhkan dengan penyebaran dana sesuai kebutuhan serta pemanfaatan yang
diatur secara seksama sehingga tidak terjadi peningkatan biaya yang berlebihan.
Dengan demikian, aspek ekonomi dan sosial dari kebijakan pembiayaan kesehatan
dapat berdaya guna dan berhasil guna bagi seluruh masyarakat yang
membutuhkannya. Tulisan ini bisa juga dilihat pada blog pribadi:
http://yantigobel.wordpress.com

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/yantigobel/kebijakan-pembiayaan-
kesehatan_550ee41ca33311b92dba8544

Anda mungkin juga menyukai