Anda di halaman 1dari 28

REFERAT

GANGGUAN PENDENGARAN AKIBAT BISING

(NOISE INDUCED HEARING LOSS)

Untuk Memenuhi Persyaratan


Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorokan

Oleh :
Veni Devitasari
61112109

Pembimbing :
dr. Azwan Mandai, Sp.THT-KL

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT THT


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BATAM
RSUD EMBUNG FATIMAH KOTA BATAM
2017
KATA PENGANTAR

Puji Syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkat dan rahmat-
Nya sehingga referat yang berjudul ”GANGGUAN PENDENGARAN AKIBAT
BISING (NOISE INDUCED HEARING LOSS)” ini dapat diselesaikan.
Referat ini merupakan salah satu pemenuhan syarat kepaniteraan klinik di
bagian Ilmu Penyakit Telinga Hidung dan Tenggorokan Fakultas Kedokteran
Universitas Batam.
Terimakasih penyusun ucapkan kepada seluruh pihak yang telah banyak
dalam penyusunan referat ini, khususnya kepada dr. Azwan Mandai, Sp.THT-KL
sebagai pembimbing yang telah memberikan saran, bimbingan, serta dukungan
dalam penyusunan referat ini. Penyusun juga mengucapkan terimakasih kepada
rekan-rekan dokter muda dan semua pihak yang banyak membantu dalam
penyusunan referat ini.
Penyusun menyadari sepenuhnya bahwa referat ini masih jauh dari
sempurna, oleh karena itu penyusun mengharapkan kritik dan saran sebagai
masukan untuk perbaikan demi kesempurnaan referat ini. Semoga karya ini bisa
bermanfaat untuk pembaca.
Sekian dan terimakasih.

Batam, 12 Januari 2017

Veni Devitasari
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ........................................................................................... i


KATA PENGANTAR ......................................................................................... ii
DAFTAR ISI ........................................................................................................ iii
DAFTAR TABEL ............................................................................................... iv
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ v
BAB I PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG ............................................................................... 1
1.2 RUMUSAN MASALAH .......................................................................... 2
1.3 TUJUAN PENULISAN ............................................................................ 2
1.4 MANFAAT PENULISAN ........................................................................ 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI .................................................................................................. 3
2.2 EPIDEMIOLOGI ...................................................................................... 4
2.3 ETIOLOGI ................................................................................................ 4
2.4 KLASIFIKASI .......................................................................................... 7
2.5 PATOGENESIS ...................................................................................... 10
2.6 MANIFESTASI KLINIS ....................................................................... 11
2.7 DIAGNOSIS ............................................................................................ 13
2.8 PENATALAKSANAAN ......................................................................... 17
2.9 PENCEGAHAN ....................................................................................... 17
2.10PROGNOSIS ............................................................................................ 21
BAB III PENUTUP ............................................................................................ 22
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 23
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Intensitas dan waktu pemaaparan ........................................................ 17


DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Sel rambut normal dan sel rambut yang mengalami kerusakan ...... 4
Gambar 2.2 Pemeriksaan Audiometri ................................................................ 14
Gambar 2.3 Pemasangan Peredam Akustik ......................................................... 18
Gambar 2.4 Alat Pelindung Dengar .................................................................... 20
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Bising lingkungan kerja merupakan masalah utama pada kesehatan kerja di


berbagai negara. Sedikitnya 7 juta orang (35% dari total populasi industri di
Amerika dan Eropa) terpajan bising 85 dB atau lebih. Ketulian yang terjadi dalam
industri menempati urutan pertama dalam daftar penyakit akibat kerja di Amerika
dan Eropa. Di Amerika lebih dari 5,1 juta pekerja terpajan bising dengan
intensitas lebih dari 85 dB. Barrs melaporkan pada 246 orang tenaga kerja yang
memeriksakan telinga untuk keperluan ganti rugi asuransi, ditemukan 85%
menderita tuli saraf, dan dari jumlah tersebut 37% didapatkan gambaran takik
pada frekuensi 4000 Hz dan 6000 Hz. Di Polandia diperkirakan 600.000 dari 5
juta pekerja industri mempunyai risiko terpajan bising , dengan perkiraan 25%
dari jumlah yang terpajan terjadi gangguan pendengaran akibat bising. Dari
seluruh penyakit akibat kerja dapat diidentifikasi penderita tuli akibat bising lebih
dari 36 kasus baru dari 100.000 pekerja setiap tahun.1,2

Di Indonesia penelitian tentang gangguan pendengaran akibat bising telah


banyak dilakukan sejak lama. Hasil Survei Kesehatan Indera Penglihatan dan
Pendengaran tahun 2010-2012 yang dilaksanakan di 7 (tujuh) propinsi di
Indonesia menunjukkan prevalensi ketulian 0,4%, morbiditas telinga 18,5%.
Penyakit telinga luar (6,8%), penyakit telinga tengah (3,9%), presbikusis (2,6%),
Ototoksisitas (0,3%), tuli mendadak (0,2%) dan tuna rungu (0,1%). Penyebab
terbanyak dari morbiditas telinga luar adalah serumen prop (3,6%) dan penyebab
terbanyak morbiditas telinga tengah adalah Otitis Media Supurativa Kronik
(OMSK) tipe jinak (3,0%). Serumen prop mempunyai potensi menyebabkan
gangguan pendengaran, hal ini dapat ditanggulangi dengan melibatkan dokter
umum/dokter Puskesmas. OMSK tipe jinak umumnya juga disertai gangguan
pendengaran, hal ini juga dapat ditanggulangi di Puskesmas agar tidak berlanjut
menjadi tipe yang berbahaya atau menimbulkan komplikasi.3
1.2 RUMUSAN MASALAH

Referat ini dibatasi pada pembahasan defenisi, epidemiologi, etiologi,


klasifikasi, patogenesis, manifestasi klinis, diagnosis, penatalaksanaan,
pencegahan, prognosis Gangguan Pendengaran Akibat Bising (Noise Induces
Hearing Loss).

1.3 TUJUAN PENULISAN

a. Dapat menegetahui dan memahami defenisi, epidemiologi, etiologi, klasifikasi,


patogenesis, manifestasi klinis, diagnosis, penatalaksanaan, pencegahan,
prognosis Gangguan Pendengaran Akibat Bising (Noise Induces Hearing
Loss).
b. Mengetahui tugas kegiatan Kepaniteraan Klinik Senior Stase Ilmu Penyakit
THT-KL

1.4 MANFAAT PENULISAN

Referat ini diharapkan dapat memberikan informasi dan pengetahuan bagi


penulis dan pembaca tentang Gangguan Pendengaran Akibat Bising (Noise
Induces Hearing Loss).
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI

Gangguan pendengaran akibat bising (Noise Induces Hearing Loss) adalah


gangguan pendengaran yang disebabkan akibat terpajan oleh bising yang cukup
keras dalam jangka waktu yang cukup lama dan biasanya disebabkan oleh bising
lingkungan kerja.4

Secara umum bising adalah bunyi yang tidak diinginkan atau yang terlalu
keras yang dialami oleh seseorang.1,3 Secara audiologik bising adalah campuran
bunyi nada murni dengan berbagai frekuensi. Bising yang intensitasnya 85 desibel
(dB) atau lebih dapat mengakibatkan kerusakan pada reseptor pendengaran Corti
di telinga dalam, yang sering mengalami kerusakan adalah alar Corti untuk
reseptor bunyi yang berfrekuensi 3000 Hertz (Hz) sampai dengan 6000 Hz dan
yang terberat kerusakan Corti untuk reseptor bunyi yang berfrekuensi 4000 Hz.1,4

Menurut Peraturan menkes.no.718/Men.Kes/Per XII/1997, tentang


kebisingan yang berhubungan dengan kesehatan, maka di lakukan pembagian
daerah sesuai kebisingan yang terdiri dari 4 zona, yang terdiri dari:
1. Zona A: Zona yang diperuntukkan bagi tempat penelitian, RS, tempat
perawatan kesehatan/sosial & sejenisnya.
2 Zona B: Zona yang diperuntukkan bagi perumahan, tempat pendidikan,
rekreasi dan sejenisnya.
3 Zona C: Zona yang diperuntukkan bagi perkantoran, perdagangan, pasar dan
sejenisnya.
4 Zona D: Zona yang diperuntukkan bagi industri, pabrik, stasiun KA, terminal
bis, dan sejenisnya.3
2.2 EPIDEMIOLOGI

Sedikitnya 7 juta orang (35 % dari total populasi industri di Amerika dan
Eropa) terpajan bising 85 dB atau lebih. Ketulian yang terjadi dalam industri
menempati urutan pertama dalam daftar penyakit akibat kerja. Di Amerika lebih
dari 5,1 juta pekerja terpajan bising dengan intensitas lebih dari 85 dB. Barrs
melaporkan pada 246 orang tenaga kerja yang memeriksakan telinga untuk
keperluan ganti rugi asuransi, ditemukan 85 % menderita tuli saraf, dan dari
jumlah tersebut 37% didapatkan gambaran takik pada frekuensi 4000 Hz dan
6000 Hz. Di Polandia diperkirakan 600.000 dari 5 juta pekerja industri
mempunyai risiko terpajan bising, dengan perkiraan 25% dari jumlah yang
terpajan terjadi gangguan pendengaran akibat bising. Di Indonesia penelitian
tentang gangguan pendengaran akibat bising telah banyak dilakukan. Dari seluruh
penyakit akibat kerja dapat diidentifikasi penderita tuli akibat bising lebih dari 36
kasus baru dari 100.000 pekerja setiap tahun.1,3,5

2.3 ETIOLOGI

Faktor-faktor yang mempengaruhi pemaparan kebisingan:


1. Intensitas kebisingan
Bising yang intensitasnya 85 desibel (dB) atau lebih dapat mengakibatkan
kerusakan pada reseptor pendengaran Corti di telinga dalam. Yang sering
mengalami kerusakan adalah alat Corti untuk reseptor bunyi yang
berfrekuensi 3000 Hz sampai 6000 Hz dan yang terberat kerusakan alat Corti
untuk reseptor bunyi yang berfrekuensi 4000 Hz.3

Gambar 2.1 Sel rambut normal dan sel rambut yang mengalami kerusakan.5
2. Tipe bising
Berdasarkan sifat dan frekuensi bising (Gambar 2.1), bising dapat
dibagi atas:
a. Bising kontinyu dengan spektrum frekuensi yang luas (terus menerus) :
Bising ini tetap dalam batas kurang lebih 5 dB untuk periode 0,5 detik
berturut-turut. Misalnya mesin kipas angin dan lampu pijar.6
b. Bising yang kontinyu dengan spektrum frekuensi yang sempit (bising
yang berfluktuasi): Bising ini juga relatif tetap, akan tetapi dia hanya
mempunyai frekuensi tertentu saja (pada frekuensi 500, 1000, dan 4000).
Misalnya gergaji seluler dan katup gas.6
c. Bising terputus-putus (intermitten): Bising di sini tidak terjadi secara terus-
menerus, melainkan ada periode relatif tenang. Selain itu bising di sini
mengganggu di berbagai periode. Misalnya lalu lintas dan lapangan
terbang.5,6
d. Bising impulsif (bising yang berbentuk dentuman): Bising jenis ini
memiliki perubahan tekanan suara melebihi 40 dB dalam waktu sangat
cepat dan biasanya mengejutkan pendengarannya. Misalnya tembakan,
suara ledakan, meriam. Bising impusif memiliki karakteristik yang
berubah dengan cepat tekanannya yang terdiri dari intensitas, gelombang
pendek, diikuti oleh dengung jauh lebih kecil dan gema yang terjadi lebih
banyak. Bising impulsif berulang: Sama dengan bising impulsif hanya saja
di sini terjadi secara berulang-ulang. Misalnya mesin tempa.5
3. Lamanya masa kerja
Diperlukan waktu bekerja dilingkungan bising selama 10-15 tahun
untuk dapat mengakibatkan menjadi NIPPTS.3
4. Periode pemaparan bising
Menurut Hiperkes, lama pajanan yang diperkenankan dengan tingkat
kebisingan 85 dB adalah 8 jam sehari dan 40 jam seminggu dan tidak boleh
terpajan kebisingan lebih dari 140 dB walaupun hanya sesaat. Hal ini sesuai
dengan KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA NOMOR
KEP.51/MEN/1999 di halaman lampiran.2,3
5. Kerentanan individu
Setelah dilakukan penelitian, beberapa orang mampu mengadakan
toleransi untuk bising frekuensi tinggi dalam jangka panjang, tetapi tidak
untuk orang yang lainnya meskipun berada dalam ligkungan yang sama,
bahkan bisa menjadi lebih cepat. Resiko itu seperti interaksi antara
kerentanan genetik dengan intensitas paparan bising.4,5
6. Usia
Usia juga ikut berpengaruh terhadap fungsi pendengaran. Usia lebih tua
relatif akan mengalami penurunan kepekaan terhadap rangsangan suara
karena adanya faktor presbikusis, yaitu proses degenerasi organ pendengaran
yang dimulai pada usia 40 tahun ke atas. Presbikusis ditandai dengan adanya
perubahan rentang frekuensi pendengaran dari 16-20000 Hz menjadi 50-
10000 Hz, sedangkan pada NIHL terdapat notch pada 4000 Hz.4,5
NIHL dan presbikusis sering kali terjadi bersamaan pada populasi yang
tua. Penelitian yang besar menyebutkan bahwa hal ini merupakan bahan
penelitian dari waktu ke waktu dan sedang dibuat upaya dalam mengukur
interaksi ini.4
7. Kelainan di telinga tengah
Penyalit telinga Otitis Media adalah infeksi telinga yang banyak terjadi
pada anak-anak usia 2–5 tahun. Pada penyakit ini terjadi sekresi aktif dari
kelenjar pada lapisan ruang telinga tengah sehingga mengakibatkan terjadinya
tuli konduktif. Bila seorang anak mendapatkan penyakit ini dan tidak
mendapatkan pengobatan secara adekuat maka penyakit ini akan menjadi
kronis dan terus berlanjut sehingga anak menjadi otitis media kronik. Gejala
otitis media kronik adalah keluarnya cairan berwarna kuning abu-abu disertai
bau, nyeri, dan gangguan pendengaran yang bersifat konduktif.4
Trauma pada telinga dapat mengakibatkan perforasi dari membran
telinga. Bentuk trauma dapat berupa ledakan, perubahan tekanan mendadak
atau karena benda asing dalam liang telinga. Gejala yang timbul akibat
trauma pada telinga antara lain nyeri, keluarnya sekret berdarah dan gangguan
pendengaran (suara terasa bergema). Yang diperhatikan adalah bisa terjadi
perforasi yang menyebakan putusnya rantai osikula. Cedera ini dicurigai bila
terdapat kehilangan pendengaran lebih dari 25 dB dan vertigo.5
8. Sifat lingkungan
Lingkungan tempat pekerja terpapar bising tentu saja dianggap penting.
Papan-papan yang berbunyi, ruang yang bergema dan dinding yang
memantulkan akan memperkuat lagi bising yang keras.5
9. Posisi telinga terhadap gelombang suara
Posisi masing-masing telinga terhadap bunyi merupakan faktor yang
penting pada anggota militer yang terpapar pada ledakkan dan tembakan
pistol, dan kadang-kadang pada pekerja industri yang karena tugasnya yang
khas memerlukan posisi kepala yang khusus dalam mengerjakan tugas
tertentu. Karenanya salah satu telinga akan menderita pemaparan bising yang
lebih besar, menyebabkan perbedaan ambang dengar antara kedua telinga.5

2.4 KLASIFIKASI

Klasifikasi dibedakan menjadi jenis gangguan pendengaran dan efek auditori


pemaparan bising terhadap pendengaran manusia. Berdasarkan gangguan
pendengaran dibagi menjadi:
1. Gangguan Dengar Konduktif (Conductive Hearing Losss/CHL)
Gangguan dengar konduktif adalah gangguan dengar dimana penyebab
gangguan pendengaran terletak pada telinga luar, liang telinga atau telinga
tengah. Penyebab ketulian konduktif adalah prnyumbatan CAE (cerumen),
OMA, OMSK, dan penyumbatan tuba Eustachius.6
2. Gangguan Dengar Sensorineural (Sensorineural Hearing Loss/SNHL)
Gangguan dengar sensorineural adalah gangguan dengar yang terjadi
pada kohlea, n.auditorius (N.VIII) sampai ke pusat pendengaran termasuk
kelainan di daerah batang otak (brainstem). Istilah “retrokohlear” digunakan
untuk sistem pendengaran sesudah kohlea, tetapi tidak termasuk cortex
serebri. Sedangkan yang termasuk di dalamnya adalah N.VIII dan batang otak
(brainstem). Contoh kelainan kohlea adalah tuli kongenital, penyakit Meniere,
ketulian mendadak, ketulian akibat bising dan obat ototoksik. Sedangkan
contoh kelainan retrokohlear adalah tumor N.VIII (neuroma akustik), trauma,
infeksi, kelainan vaskuler yang mengenai saraf ini, penyalit multiple
sklerosis, syphilis dan presbikusis.6
3. Gangguan Dengar Campuran (Mix Hearing Loss/MHL)
Gangguan dengar campuran adalah gangguan fungsi kohlea disertai
sumbatan serumen yang padat. Dalam keadaan ini, level konduksi tulang
menunjukan gangguan fungsi kohlea ditambah dengan penurunan
pendengaran karena sumbatan konduksi udara.6
Secara umum, efek pemaparan bising pada auditori, dibagi atas 2 kategori yaitu:
1. Noise Induced Temporary Threshold Shift (TTS)
Seseorang yang pertama sekali terpapar suara bising akan mengalami
berbagai perubahan, yang mula-mula tampak adalah ambang pendengaran
bertambah tinggi pada frekuensi tinggi. Pada gambaran audiometri tampak
sebagai “notch“ yang curam pada frekwensi 4000 Hz, yang disebut juga
acoustic notch.6
Pada tingkat awal terjadi pergeseran ambang pendengaran yang bersifat
sementara, yang disebut juga NITTS. Apabila beristirahat diluar lingkungan
bising biasanya pendengaran dapat kembali normal dalam menit, jam sampai
hari bergantung pada durasinya.5,6
Gejala pada TTS sering disertai bersama sejumlah gejala yang lain pada
gangguan pendengaran termasuk tinitus, loundness recruitment, meredam
suara dan diplakusis.5
Secara histopatologi, TTS berkaitan dengan penekukan pillar bodies di
daerah frekuensi yang mendapat efek paparan maksimal.5

2. Noise Induced Permanent Threshold Shift ( NIPTS )


Didalam praktek sehari-hari sering ditemukan kasus kehilangan
pendengaran akibat suara bising, dan hal ini disebut dengan “occupational
hearing loss“ atau kehilangan pendengaran karena pekerjaan atau nama
lainnya ketulian akibat bising industri. Dalam PTS sudut elevasi pada batas
pendengaran adalah menetap sebab terjadi kerusakan struktur yang permanen
dari bagian penting pada koklea. Hubungan yang lebih persis antara tahap
TTS dan PTS akibat pajanan bising tidak diketahui.5,6
Dikatakan bahwa untuk merubah NITTS menjadi NIPTS terjadi apabila
TTS belum pulih sedangkan pajanan bising yang keras lagi dan tidak dicegah
maka akan terjadi NIPTS. Pajanan bising (trauma akustik) yang berulang
yang menstimulasi terjadinya awal TTS yang pada kondisi berikutnya
mengakibatkan juga berhubungan perubahan halus pada sensitive outer hair
cell (OHC) yang tidak dapat dideteksi oleh cahaya mikroskop. Mofologi yang
tidak normal, secara konsisten berhubungan dengan PTS adalah kehilangan
fokal dari sel-sel rambut dan degenerasi yang komplit dari hubungan serat
saraf terakhir. Hal ini dapat berupa hilang sel rambut secara permanen,
dengan tampilan akar stereocillia tampak retak dan terjadi kerusakan dari sel
sensoris dimana ditemukan scar tissue yang tidak dapat berfungsi. Secara
histopatologis, apabila menggunakan kontras, terdapat abnormalitas
morfologi berupa kehilangan focus cell rambut dengan degenerasi lengkap
dari bagian akhir dari saraf yang bersangkutan.5,6
NIPTS dapat disebabkan oleh stimulai akustik yang berlebih yang
dibedakan dalam dua kelompok:
a. Trauma akustik: Disebabkan oleh pajanan yang terjadi secara singkat dan
tunggal sampai ke pajanan suara yang berlanjut. Sebagai contoh berupa
explosive blast. Biasanya sakit dan kehilangan pendengaran.6
b. Biasanya ditunjukan pada NIHL dan dihasilkan dari pajanan kronik
sampai level yang kurang intens. NIHL (noise induce hearing loss) adalah
gangguan pendengaran yang disebabkan akibat terpajan oleh bisisng yang
cukup keras dalam jangka waktu yang cukup lama dan biasanya
diakibatkan oleh bising lingkungan kerja.6
NIPTS biasanya terjadi disekitar frekuensi 4000 Hz dan perlahan-
lahan meningkat dan menyebar ke frekuensi sekitarnya. NIPTS mula-mula
tanpa keluhan tetapi apabila sudah menyebar sampai ke frekuensi yang
lebih rendah (2000 dan 3000 Hz) keluhan akan timbul. Pada mulanya
seseorang akan mengalami kesulitan untuk mengadakan pembicaraan di
tempat yang ramai, tetapi bila sudah menyebar ke frekuensi yang lebih
rendah maka akan timbul kesulitan untuk mendengar suara yang sangat
lemah. Notch bermula pada frekuensi 3000 – 6000 Hz, dan setelah
beberapa waktu gambaran audiogram menjadi datar pada frekwensi yang
lebih tinggi. Kehilangan pendengaran pada frekuensi 4000 Hz akan terus
bertambah dan menetap setelah 10 tahun dan kemudian perkembangannya
menjadi lebih lambat.5,6

2.5 PATOGENESIS

NIHL dihasilkan dari trauma pada Sensori epithelium dari koklea. Sensori
epithelium dari koklea terdiri dari satu innerhair cell dan tiga baris outer
stereocillia hair cell dalam organ Corti.4 Kepekaan terhadap stress pada sel
rambut luar ini berada dalam kisaran 0-50 dB, sedangkan untuk sel rambut dalam
diatas 50 dB. Sel rambut luar lebih mudah terangsang suara dan membutuhkan
energi yang lebih besar sehingga menjadi lebih rentan terhadap cedera akibat
iskemia.3
1. Noise Induced Temporary Threshold Shift (NITTS)
Pajanan suara yang keras dalam beberapa detik sampai jam dapat
menyebabkan kehilangan pendengaran sementara. Besaran dari TTS dapat
diperkirakan dari parameter akustik berupa intensitas, spektrum, dan bentuk
temporal. Kenyataannya semakin keras suara maka akan menyebabkan
pergeseran semakin besar. Frekuensi nada tinggi (contohnya nada 4 kHz)
biasanya lebih merusak daripada nada frekuensi rendah) dari intensitas yang
sama. Suatu trauma akustik dengan frekuensi tinggi akan mengakibatkan
rusaknya sel-sel rambut bagian basal, sedangkan trauma akustik dengan
frekuensi rendah akan mengakibatkan rusaknya sel-sel rambut bagian apex.
Resiko tidak dapat diprediksi dari level dB saja.4,6
Daerah organ Corti sekitar 8-10 mm dari ujung basal (sesuai dengan
daerah 4 Khz pada audiogram) dianggap sebagai daerah yang secara khas
rentan terhadap kebisingan. Hal ini dikarenakan insufisiensi vaskular akibat
bentuk anatomis yang tidak biasa di daerah ini dan amplitudo pemindahan di
dalam saluran kokhlea mulai terbentuk di daerah 4 Khz saat kecepatan
perambatan gelombang yang berjalan masih cukup tinggi dan struktur
anatomi koklea menyebabkan pergeseran cairan pada daerah 4 Khz.4,5,6
Efek dari TTS lebih kompleks. Sampai pada suatu titik tertentu, pajanan
yang panjang mengakibatkan TTS meningkat, tetapi pajanan yang dipotong
menyebabkan berkurangnya TTS daripada pajanan berlanjut. 5
Dalam TTS, beberapa efek potensial yaitu:
a. Kekakuan dari stereocillia ke dua ketika akar akan berkontraksi.
b. Terjadi perubahan intraseluler dalam sel rambut termasuk perubahan
metabolik dan perubahan mikrovaskular.
c. Edema pada saraf akhir pendengaran.
d. Degenerasi dari sinapsis dalam nukleus koklearis.5,6

2. Noise Induced Permanent Threshold Shift (NIPTS)


Terjadi perubahan menetap apabila terjadi patah dalam struktur akar,
gangguan dari saluran koklea dan gangguan organ korti yang menyebabkan
pencampuran endolimfe dan perilimfe, kehilangan sel sel rambut, dan
degenerasi serat saraf kolea.5
Akustik trauma menyebabkan gangguan yang hebat, dan
mengakibatkan kehilangan pendengaran yang menetap. Intensitas pajanan
yang tinggi dapat menyebabkan kerusakan secara langsung pada membran
timpani, ossicles, telinga dalam dan organ Corti.4,6

2.6 MANIFESTASI KLINIS

Umumnya pasien NIHL melakukan konsultasi karena mengalami kesusahan


dalam mendengar dan mengerti pembicaraan, khususnya pada tempat yang
memiliki bising latar belakang. Bising latar belakang, dimana biasanya
merupakan frekuensi tinggi yang membuatnya kehilangan pedengaran, perubahan
suara ketika mereka mendengar orang sedang berbicara dalam nada tinggi.
Sehingga bila orang tersebut berkomunikasi di tempat yang ramai akan mendapat
kesulitan mendengar dan mengerti pembicaraan. Keadaan ini di sebut dengan
cocktail party deafness.1,4,5
ACOM (American College of Occupational medicine) memperkenalkan
prinsip-prinsip karakteristik untuk tuli akibat bising (noise induced hearing loss)
adalah :
a. Bersifat sensorineural yang mengenai sel rambut pada telinga dalam
b. Hasi audiogram biasanya selalu simetris bilateral
c. Hampir tidak pernah menyebabkan tuli derajat sangat berat. Biasanya pada
frekuensi rendah terbatas pada 40 dB dan frekuensi tinggi terbatas pada 75
dB.
d. Apabila paparan bising berhenti, ketulian akibat bising tidak akan
bertambah.
e. Kerusakan paling dulu terlihat pada frekwensi 3000, 4000 dan 6000 Hz,
dimana kerusakan yang paling berat terjadi pada frekwensi 4000 Hz.
f. Dengan kondisi pajanan menetap, ketulian pada frekwensi 3000, 4000 dan
6000 Hz akan mencapai tingkat yang maksimal dalam 10 – 15 tahun.
g. Pajanan bising terus menerus selama bertahun-tahun adalah lebih merusak
dari pajanan bising yang terputus-putus, dimana telinga mempunyai waktu
untuk istirahat. 3,6

Kriteria audiologi menurut Bashirudin mengenai gambaran audiologi hilang


fungsi pendengaran akibat bising adalah :
1. Rata-rata ambang dengar pada frekuensi 500-4000 Hz lebih dari 25 dB, atau
pada frekuensi 4000 Hz lebih dari 45 dB atau pada frekuensi 500-2000 Hz
lebih dari 30 dB.
2. Perbedaan antar telinga kanan dan kiri pada frekuensi 500-2000 Hz lebih
dari 15 dB atau pada frekuensi 4000-8000 Hz lebih dari 30 dB.
3. Perubahan data besar (Baseline) dalam 2 tahun terakhir yaitu pada frekuensi
500-2000 Hz lebih dari 15 dB, pada ferekuensi 3000 Hz lebih dari 20 dB,
dan frekuensi 4000-8000 Hz lebih dari 30 dB.6

Apabila dilakukan pemeriksaan audiologi khusus, hasil menunjukan adanya


fenomena rekrutment (khususnya TTS). Fenomena Rekrutmen merupakan suatu
fenomena pada sensorineural koklea, di mana telinga yang tuli menjadi lebih
sensitif terhadap kenaikan intensitas bunyi yang kecil pada frekuensi tertentu
setelah terlampaui ambang dengarnya. Sebagai contoh orang yang
pendengarannya normal, tidak dapat mendeteksi kenaikan bunyi 1 dB bila sedang
mendengarkan bunyi nada murni yang kontinyu, sedangkan bila ada rekruitmen
dapat mendeteksi kenaikan bunyi tersebut. Contoh sehari-hari orang tua yang
menderita tuli presbikusis (tuli sensorineural koklea akibat proses penuaan) bila
kita berbicara dengan volume yang keras biasa dia mengatakan jangan berisik,
tetapi bila kita berbicara agak keras dia mengatakan jangan berteriak, sedangkan
orang yang pendengarannya normal tidak menganggap kita berteriak.4,5
Gejala lain yang terdapat pada pasien NIHL biasanya berupa adanya suara
yang teredam dan tinitus. Sering kali pasien menjelaskan frekuensi tinggi
terdengar seperti mendengung, memukul, dan suitan atau terkadang seperti bunyi
klik. Jika pajanan bising terus berlangsung, maka akan terjadi penurunan
kemampuan mendengar nada tinggi, seperti huruf S,T,K,C.5

2.7 DIAGNOSIS
Diagnosis untuk NIHL dapat dibuat dengan cara :
1. Anamnesis
Anamnesis dilakukan baik untuk occupational maupun
nonoccupational berdasarkan intensitas dan durasinya. Apabila tersedia,
pengukuran terhadap bising dapat dilakukan di tempat kerja dan dijadikan
dokumen untuk seluruh karyawan. Selain mencari intensitas dan durasi,
harus ditanyakan juga mengenai turunan, konsumsi obat yang menyebabkan
ototoxicity, trauma kepala dan lain-lain.4,5
2. Pemeriksaan Audiometri
Audiometri berasal dari kata audire dan metrios yang berarti
mendengar dan mengukur (uji pendengaran). Audiometri tidak saja
digunakan untuk pengukuran ketajaman pendengaran, tetapi juga dapat
dipergunakan untuk menentukan lokasi kerusakan anatomis yang
menimbulkan gangguan pendengaran. Ada tiga syarat yang diperlukan untuk
keabsahan pemeriksaan audiometri, yaitu alat audiometer yang telah
dikaliberasi, lingkungan yang cocok untuk pemeriksaan dan pemeriksa yang
terampil. Lingkungan pemeriksaan yang baik ialah dengan menempatkan
pasien di dalam bilik yang dibuat khusus untuk meredam transmisi suara
melalui dindingnya.6

Gambar 2.2 Pemeriksaan Audiometri.6

Beberapa lembaga yang diakui, mengeluarkan standar untuk menilai


derajat gangguan pendengaran misalnya International Standardization
Organization (ISO) dan American Speech, Language and Hearing
association (ASHA). International Standardization Organization (ISO) telah
menetapkan nilai untuk pendengaran normal yang dinyatakan dengan
frekuensi (Hertz) dan intensitas (desibel/dB).4,5
Jenis audiometri terdiri dari Audiometri nada murni dan audiometri
nada tutur:
1. Audiometri nada murni (pure tone audiogram)
Suatu sistem uji pendengaran dengan mempergunakan alat listrik yang
dapat menghasilkan bunyi nada-nada mumi dari berbagai frekuensi 250-
500-1000 -2000-4000-8000 Hz dan dapat diatur intensitasnya dalam
satuan (dB). Bunyi yang dihasilkan disalurkan melalui telepon kepala
dan vibrator tulang ke telinga orang yang diperiksa pendengarannya.
Masing-masing untuk mengukur ketajaman pendengaran melalui
hantaran udara dan hantaran tulang pada tingkat intensitas nilai ambang,
sehingga akan didapatkan kurva hantaran tulang dan hantaran udara.4
a. Hantaran Udara (air conduction): Kegunaan audiogram hantaran
udara adalah untuk mengukur kepekaan seluruh mekanisme
pedengaran, teling luar, dan telinga tengah serta mekanisme
sensorineural koklea dan nervus auditori.4
b. Hantaran Tulang (bone conduction): Kegunaan audiometri hantaran
tulang adalah untuk mengukur kepekaan mekanisme sensorineural
saja. Audiogram hantaran tulang diperoleh dengan memberikan
bunyi penguji langsung ke tengkorak paasien menggunakan vibrator
hantaran tulang.4
Dengan membaca audiogram ini kita dapat mengetahui jenis dan
derajat kurang pendengaran seseorang. Gambaran audiogram rata-rata
sejumlah orang yang berpendengaran normal dan berusia sekitar 20-29
tahun merupakan nilai ambang baku pendengaran untuk nada murni.4,5

Menurut Skurr, derajat ketulian adalah sebagai berikut:


a. < 26 dB: Pendengaran Normal
b. 26-40 dB: Gangguan Dengar Ringan
c. 41-55 dB: Gangguan Dengar Sedang
d. 56-70 dB: Gangguan Dengar Sedang Berat
e. 71-90 dB: Gangguan Dengar Berat
f. >90 dB: Gangguan Dengar Sangat Berat.3

2. Audiometri nada Tutur (speech audiogram)


Audiometri tutur adalah sistem uji pendengaran yang menggunakan
kata-kata terpilih yang telah dibakukan, dituturkan melalui suatu alat
yang telah dikalibrasi, untuk mengukur beberapa aspek kemampuan
pendengaran. Prinsip audiometri tutur hampir sama dengan audiometri
nada murni, hanya disini sebagai alat uji pendengaran digunakan daftar
kata terpilih yang dituturkan pada penderita. Kata-kata tersebut dapat
dituturkan langsung oleh pemeriksa melalui mikrofon yang dihubungkan
dengan audiometer tutur, kemudian disalurkan melalui telpon kepala ke
telinga yang diperiksa pendengarannya atau kata-kata direkam lebih
dahulu pada piringan hitam atau pita rekaman, kemudian baru diputar
kembali dan disalurkan melalui audiometer tutur. Si penderita diminta
untuk menirukan dengan jelas setiap kata yang didengar, dan apabila
kata-kata yang didengar makin tidak jelas karena intensitasnya makin
dilemahkan, si pendengar diminta untuk menebaknya. Pemeriksa
mencatat persentasi kata-kata yang ditirukan dengan benar dari tiap
denah pada tiap intensitas. Hasil ini dapat digambarkan pada suatu
diagram yang absisnya adalah intensitas suara kata-kata yang didengar,
sedangkan ordinatnya adalah presentasi kata-kata yang ditirukan dengan
benar.4
Dari gmbaran audiogram tutur ini dapat diketahui dua dimensi
kemampuan pendengaran yaitu :
a) Kemampuan pendengaran dalam menangkap 50% dari sejumlah
kata-kata yang dituturkan pada suatu intensitas minimal dengan
benar, yang lazimnya disebut nilai ambang persepsi tutur atau NPT,
dan dinyatakan dengan satuan desibel (dB).
b) Kemampuan maksimal pendengaran untuk mendiskriminasikan tiap
satuan bunyi (fonem) dalam kata-kata yang dituturkan, yang
dinyatakan dengan nilai diskriminasi tutur atau NDT.5
Dengan demikian berbeda dengan audiometri nada murni, pada
audiometri tutur intensitas pengukuran pendengaran tidak saja pada
tingkat nilai ambang (NPT), tetapi juga jauh di atasnya (NDT).

3. Hasil Test dari pemeriksaan lain.


a. Pada pemeriksaan audiologi, tes penala didapatkan hasil Rinne positif,
Weber latelarisasi ke telinga yang lebih baik, dan Scwabah memendek.
Kesan jenis ketuliannya sensorineural.
b. Pemeriksaan laboratorium dan radiologi tidak dapat digunakan untuk
mendiagnosis NIHL.5,6
2.8 PENATALAKSANAAN

Sesuai dengan penyebab ketulian, penderita sebaiknya dipindahkan kerjanya


dari lingkungan bising. Bila tidak mungkin dipindahkan dapt dipergunakan alat
pelindung telinga terhadap bising, seperti sumbat telinga (ear plug), tutup telinga
(ear muff) dan pelindung kepala (helmet).4
Oleh karena itu akibat bising adalah tuli sensorineural yang bersifat
menetap, bila gangguan pendengaran sudah mengakibatkan kesulitan
berkomunikasi dengan volume percakapan biasa, dapat dicoba pemsangan alat
bantu dengar/ ABD (hearing aid). Apabila pendengaran sudah sedemikian buruk,
sehingga dengan memakai ABD pun tidak dapat berkomunikasi denga adekuat
perlu dilakukan psikoterapiagar dapat menerima keadaannya. Latihan
pendengaran (auditory training) agar dapat menggunakan sisa pendengara dengan
ABD secara efisien dibantu dengan membaca ucapan bibir (lip reading), mimik
dan gerakan anggota badan, serta bahasa isyarat untuk dapat berkomunikasi. Di
samping itu, oleh karena pasien mendengar suaranya sendiri sangat lemah,
rehabilitasi suara juga diperlukan agar dapat mengendalikan volume, tinggi
rendah dan irama percakapan. Pada pasien yang telah mengalami tuli total
bilateral dapat dipertimbangkan untuk pemasangan implan koklea (cochlear
implant).4,6

2.9 PENCEGAHAN

Batas pajanan bising yang diperkenankan sesuai dengan keputusan Menteri


Tenaga Kerja 1999
Tabel 2.1 Intensitas dan Waktu Pemaparan2
Waktu pemaparan/hari Batas suara (dB.A)
Jam 24 80
16 82
8 85
4 88
2 91
1 94
Menit 30 97
15 100
7,50 103
3,75 106
1,88 109
0,94 112
Detik 28,12 115
14,06 118
7,03 121
3,52 124
1,76 127
0,88 130
0,44 133
0,22 136
0,11 139

Dengan adanya pemaparan 8 jam tiap hari, batas suara yang masih di
perbolehkan adalah 85 dB.A. Tidak bo;eh terpajan lebih dari 140 dB walau
sesaat.

Kebisingan dapat dikendalikan dengan :


1. Pengurangan kebisingan pada sumbernya
Hal ini dapat dilakukan misalnya dengan penempatan peredam pada
sumber getaran.7

Gambar 2.3 Pemasangan Peredam Akustik7


Tetapi umumnya hal itu dilakukan dengan penelitian dan perencanaan
mesin baru. Hal ini sangat bergantung pada permintaan para usahawan
sebagai pembeli mesin-mesin kepada pabrik pembuatnya dengan memajukan
persyaratan kebisingan dari mesin sebelumnya. Bukan saja tingkat bahaya
yang diperhatikan, tetapi juga intensitasnya yang dapat diterima sebagai tidak
mengganggu daya kerja dan kenikmatan kerja. Pengalaman menekankan,
bahwa modifikasi mesin atau bangunan untuk maksud pengurangan
kebisingan adalah sangat mahal dan kurang efektif, maka dari itu
perencanaan sejak semula adalah paling utama.6,7
2. Penempatan penghalang pada jalan transmisi
Isolasi tenaga kerja atau mesin adalah usaha segera dan baik bagi usaha
megurangi kebisingan. Untuk ini perencanaan harus sempurna dan bahan-
bahan yang dipakai harus mampu menyerap suara. 7
3. Proteksi dengan sumbat atau tutup telinga
Jika bising ditimbulkan oleh alat-alat seperti mesin tenun, mesin
pengerolan baja, kilang minyak atau bising yang ditimbulkan sendiri oleh
logam, maka pekerja tersebut harus dilindungi oleh alat pelindung bising,
seperti sumbat telinga, tutup telinga, dan pelindung kepala (Gambar 2.13).
Ketiga alat tersebut melindungi telinga terhadap bising yang berfrekuensi
tinggi dan masing-masing mempunyai keuntungan dan kerugian. Tutup
telinga memberikan proteksi lebih baik daripada sumbat telinga. Earmuff
lebih efektif dan dapat memcegah frekuensi 500 Hz sampai 1 kHz dan dapat
meredam sampai 30-40 dB sedangkan penggunaan earplug (sumbat telinga )
yang tepat, maka dapat mengurangi bising mencapai 15-30 dB dan mencegah
sampai telinga tengah dari bising jenis tinggi. Sedangkan helm selain
pelindung telinga terhadap bising juga sekaligus sebagai pelindung kepala.
Kombinasi antara sumbat telinga dan tutup telinga memberikan proteksi yang
terbaik.5,6
Harus diusahakan perbaikan komunikasi, sebagai akibat pemakaian
alat- alat ini. Masalah utama pemakaian alat proteksi pendengaran adalah
mendidik tenaga kerja agar selalu menggunakannya.2 Menyadarkan para
pekerja untuk tetap menjaga kesehatan adalah sangat sulit. Faktor yang perlu
dipertimbangkan, bukan hanya kehilangan derajat pendengaran, tetapi juga
trauma akustik di lingkungan tempat kerja.2,7

Earplug Earmuff

Gambar 2.4 Alat Pelindung Dengar 6


Sebenarnya pencegahan yang ada sudah diketahui, tetapi untuk alasan
teknik bahwa secara umum derajat pendengaran akan berkurang.
Konsekuensinya deteksi tahap dini dari NIHL adalah penting untuk
mencegah kerusakan lebih lanjut dari reseptor sensori pada organ Corti.6
Pasien juga harus dididik tentang bahaya dari bising dan melakukan
pencegahan untuk melindungi dari sisa sisa pendengaran. Pada akhirnya
dokter harus sensitif pada emosional dari pasien yang mungkin mempunyai
gangguan pendengaran.5,6
Konseling untuk mencegah kehilangan pendengaran lebih lanjut
merupakan bagian yang sangat penting. Pekerja yang berada di lingkukangan
kerja yang tidak menggunakan Program Konsevasi Pendengaran, perlu
dijadwalkan secara periodik untuk dilakukan audiometri dan harus
dikonsultasikan sehubungan dengan penggunaan APD (Alat Pelindung
Dengar) yang tepat. 6
Bagaimanapun NIHL tidak dapat dilakukan pengobatan atau operasi
tetapi lebih kepada masalah pencegahan. Tindakan pencegahan yang
diperlukan adalah control engineering, pendidikan, juga penggunaan APD
(Alat Pelindung Dengar) yang tepat.4,5
2.10 PROGNOSIS

Tuli akibat terpapar bising adalah tuli sensorineural koklea yang sifatnya
menetap, dan tidak dapat diobati dengan obat maupun pembedahan.6 Penggunaan
alat bantu dengar hanya sedikit manfaatnya bagi pasien, bahkan alat tersebut
hanya memberikan rangsangan vibrotaktil dan bukannya perbaikan diskriminasi
bicara pada pasien tersebut. Untuk sebagian pasien dianjurkan pemakaian implan
koklearis. Implan koklearis dirancang untuk pasien-pasien dengan tuli
sensorineural.4,5
BAB III

PENUTUP

NIHL (noise induce hearing loss) adalah gangguan pendengaran yang


disebabkan akibat terpajan oleh bising yang cukup keras dalam jangka waktu
yang cukup lama dan biasanya diakibatkan oleh bising lingkungan kerja. Sifat
ktuliannya adalah tuli sensorineural koklea dan umumnya terjadi pada kedua
telinga.4
Secara umum bising adalah bunyi yang tidak diinginkan atau yang terlalu
keras yang dialami oleh seseorang.3 Secara audiologik bising adalah campuran
bunyi nada murni dengan berbagai frekuensi. Bising yang intensitasnya 85 desibel
(dB) atau lebih dapat mengakibatkan kerusakan pada reseptor pendengaran Corti
di telinga dalam, yang sering mengalami kerusakan adalah alar Corti untuk
reseptor bunyi yang berfrekuensi 3000 Hertz (Hz) sampai dengan 6000 Hz dan
yang terberat kerusakan Corti untuk reseptor bunyi yang berfrekuensi 4000 Hz.3

Banyak hal yang mempermudah seseorang menjadi tuli akibat terpajan


bising, antara lain intensitas bising yang lebih tinggi, berfrekuensi tinggi, lebih
lama terpapar bising.4
NIHL dapat dicegah dengan penggunaan alat-alat keselamatan kerja seperti
penutup telinga.5
DAFTAR PUSTAKA

1. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Telinga Sehat Pendengaran


Baik [internet]. 1999. Tersedia di: http://www.depkes.go.id/
index.php/berita/press-release/840-telinga-sehat-pendengaran-baik.html
2. Kimia, I. Nilai Ambang Batas Kebisingan Berdasarkan Keputusan Menteri
Tenaga Kerja Nomor KEP. 51/MEN/1999. 2010. Tersedia di: http://nilai-
ambang-batas-kebisingan-berdasarkan-keputusan-menteri-tenaga-kerja-
nomor-kep-51men1999.htm
3. Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia. keputusan menteri tenaga kerja
nomor : kep–51/men/i999 tentang nilai ambang batas faktor fisika di
tempat kerja. 1999. Tersedia di: http://www.
depkes.go.id.id/files/cdk/files/cdk_039_problema_dan_tatalaksana_kekura
ngan_pendengaran.pdf
4. Bashiruddin, J., Soetiro, I. Noise-Induced Hearing Loss. In: Soepardi,
A.E., Iskandar, N., Bashiruddin, J., Restuti, D.R., Eds. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. 6th ed. Jakarta:
Balai Penerbit FK UI; 2006. 16-20, 49-56.
5. Buchari. Kebisingan Industri dan Haring Conversation Program [internet].
2007. Tersedia di: http://www.repository.usu. ac. id/bitstream
/123456789/1435/1/07002749.pdf
6. Rambe, M.Y.A. gangguan pendengaran akibat bising. 2003. Tersedia di:
http://www.library.usu.ac.id/download/fk/tht-andrina1.pdf
7. Oginawati, K. Kebisingan (Noise) [internet]. Tersedia di:
http://www.repository.usu.ac.id/files/cdk/files/03RencanaPemeliharaan009
.pdf/03RencanaPemeliharaan009.pdf

Anda mungkin juga menyukai