Anda di halaman 1dari 19

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA

PERIODE 5 NOVEMBER 2018 – 8 DESEMBER 2018

RS PENDIDIKAN : RUMAH SAKIT UMUM DAERAH


DR. KARDINAH, KOTA TEGAL

JOURNAL READING

TOPIK : KONJUNGTIVITIS VERNAL

Penulis :
Nasya Safira
030.14.137

Pembimbing :
dr. Imamatul Ibaroh, Sp.M

PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TRISAKTI
LEMBAR PERSETUJUAN

Journal reading dengan topik :


“KONJUNGTIVITIS VERNAL”

Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing sebagai syarat


untuk menyelesaikan kepaniteraan klinik Departemen Ilmu Kesehatan Mata
di Rumah Sakit Umum Daerah Kardinah Tegal
periode 5 November 2018 – 8 Desember 2018

Pada hari …………... tanggal ………………………………..

Tegal, ...... September 2018


Pembimbing,

(dr. Imamatul Ibaroh, Sp.M)


KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada kehadirat Tuhan yang Maha Esa karena atas
karunia-Nya journal reading dengan topik “KONNJUNGTIVITIS VERNAL” dapat
selesai dengan semestinya. Journal reading ini disusun untuk memenuhi sebagian
persyaratan dalam untuk menyelesaikan kepaniteraan klinik departemen Ilmu Kesehatan
Mata periode 5 November 2018 – 8 Desembrr 2018.
Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak
yang telah membantu dalam penyusunan dan penyelesaian journal reading ini, terutama
kepada dr. Imamatul Ibaroh, SpM selaku pembimbing yang telah memberikan waktu dan
bimbingannya sehingga journal reading ini dapat terselesaikan.
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan journal reading ini masih banyak
kekurangan, oleh karena itu, segala kritik dan saran dari semua pihak yang membangun
guna menyempurnakan journal reading ini sangat penulis harapkan. Demikian yang
penulis dapat sampaikan, semoga journal reading dapat bermanfaat dalam bidang
kedokteran, khususnya untuk bidang kesehatan mata.

Jakarta, 18 November 2018


Penulis,

Nasya Safira
030.14.137
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA: KONJUNGTIVITS VERNAL

1.1 Definisi
Konjungtivitis vernal adalah peradangan konjungtiva bilateral dan berulang yang khas
dan merupakan suatu reaksi alergi akibat reaksi hipersensitivitas (tipe I). Penyakit ini juga
dikenal sebagai “catarrch musim semi” dan “konjungtivitis musiman” atau “konjungtivitis
musim kemarau”.

1.2 Etiologi
Konjungtivitis vernal terjadi akibat reaksi alergi hipersensitivitas tipe 1 yaitu reaksi antara
antigen atau allergen bebas akan berekasi dengan antibody, dalam hal ini IgE yang terikat pada
sel mast atau sel basophil dengan akibat terlepasnya histamin. Konjungtivitis vernal cenderung
kambuh pada musim panas. Konjungtivitis vernal sering terjadi pada anak-anak, biasanya
dimulai sebelum masa pubertas dan berhenti sebelum usia 20.

1.3 Klasifikasi
Terdapat dua bentuk utama konjungtivitis vernalis (yang dapat berjalan bersamaan), yaitu :
1. Bentuk palpebra : Terutama mengenai konjungtiva tarsal superior. Terdapat
pertumbuhan papil yang besar (cabble stone) yang diliputi secret yang mucoid.
Konjungtiva tarsal bawah tampak hiperemi, edema dan terdapat papil halus
dengan kelainan kornea lebih berat dibanding bentuk limbal. Secara klinik, papil
besar ini tampak sebagai tonjolan bersegi banyak dengan permukaan yang rata
dengan kapiler ditengahnya
2. Bentuk limbal : hipertrofi papil pada limbus superior yang dapat membentuk
jaringan hiperplastik gelatin dengan trantas dot yang merupakan degenerasi epitel
kornea atau eosinophil di bagian epitel limbus kornea, terbentuknya pannus dan
sedikit eosinophil.
Gambar 1. Cobblestone pada VKC tipe Gambar 2. Trantas dot pada VKC tipe
palpebra limbal

1.4 Patofisiologi
Perubahan struktur konjungtiva erat kaitannya dengan timbulnya radang interstitial
yang banyak di dominasi oleh reaksi hipersensitivitas tipe I dan IV. Pada konjungtiva akan
dijumpai hyperemia dan vasodilatasi difus, yang dengan cepat akan diikuti dengan
hiperplasi akibat proliferasi jaringan yang menghasilkan pembentukan jaringan ikat yang
tidak terkendali. Kondisi ini akan diikuti oleh hyalinisasi dan menimbulkan deposit pada
konjungtiva sehingga terbentuklah gambaran cobblestone. Jaringan ikat yang berlebihan ini
akan memberikan warna putih susu kebiruan sehingga konjungtiva tampak buram dan tidak
berkilau. Proliferasi yang spesifik pada konjungtiva tarsal disebut pavement like
granulations. Hipertrofi papil pada konjungtiva tarsal tidak jarang mengakibatkan ptosis
mekanik dan dalam kasus yang berat akan disertai keratitis serta erosi epitel kornea.
Limbus konjungtiva juga memperlihatkan perubahan akibat vasodilatasi dan hipertrofi
yang menghasilkan lesi fokal. Pada tingkat yang berat, kekeruhan pada limbus sering
menimbulkan gambaran distrofi dan menimbulkan gangguan dalam kualitas dan kuantitas
stem cells limbus. Kondisi yang terakhir ini mungkin berkaitan dengan konjungtivalisasi
pada penderita keratokonjungtivitis dan di kemudian hari berisiko timbulnya pterygium
pada usia muda. Di samping itu, juga terdapat kista-kista kecil yang dengan cepat akan
mengalami degenerasi.

1.5 Gejala klinik


Gejala klinis utama adalah rasa gatal yang terus menerus pada mata, mata sering
berair, rasa terbakar atau seperti ada benda asing di mata. Gejala lainnya adalah fotofobia,
ptosis, secret mata berbentuk mucus seperti benang tebal berwarna hijau atau kuning tua.
Konjungtivits Vernalis dapat terjadi pada konjungtiva tarsalis atau limbus, atau terjadi
bersamaan dengan dominasi pada salah satu tempat tersebut.
Pada konjungtiva tarsalis superior dapat dijumpai gambaran papil cobblestone yang
menyerupai gambaran mozaik atau hipertrofi papil. Sedangkan pada limbus dijumpai satu
atau lebih papil berwarna putih yang disebut trantas dots, yaitu degenerasi epitel kornea
akibat tumpukan sel sel eosinophil.

1.6 Diagnosa
Diagnosa ditegakkan berdasarkan anamnesis dari gejala pasien, adanya riwayat atopi,
hasil pemeriksaan segmen anterior mata dan juga pemeriksaan penunjang.z
Pada pemeriksaan penunjang laboratorium didapatkan kadar IgG serum, IgE serum
dan air mata, kadar histamin serum dan air mata meningkat, dan adanya IgE spesifik.
Pada pemeriksaan mikroskopik dari scraping konjungtiva, patognomonik
konjungtivitis vernalis bila di jumpai > 2 sel eosinophil dengan pembesaran lensa objektif
40x. Gambaran histologic dari kikisan konjungtiva akan ditemukan eosinophil, sel mast dan
sel basophil

1.7 Penatalaksanaan
Pada umumnya konjungtivitis vernal dapat sembuh sendiri setelah 2-10 tahun. Tujuan
pengobatan konjungtivits vernal untuk menghilangkan gejala dan menghindari efek
iatrogenik yang serius dari obat yang diberikan (kortikosteroid). Prinsip pengobatan bersifat
konservatif. Tatalaksana konjungtivitis vernalis berdasarkan beratnya gejala dan tanda
penyakit, yaitu :
1. Terapi utama : berupa penghindaran terhadap semua kemungkinan alergi
penyebab
2. Terapi topikal
- Pemberian vasokonstriktor topikal dapat mengurangi gejala kemerahan dan
edema pada konjungtiva. Namun pada beberapa hasil penelitian
menunjukkan bahwa penggunaan kombinasi obat vasokonstriktor dan
antihistamin topikal mempunyai efek yang lebih efektif dibanding
pemberian yang terpisah.
- Pemberian stabilisator sel mast yaitu natrium kromoglikat 2% atau sodium
kromolyn 4% dapat mencegah degranulasi dan lepasnya substansi vasoaktif
sehingga dapat mengurangi kebutuhan akan kortikosteroid topikal.
- Pemberian obat antiinflamasi non steroid topikal seperti diklofenak,
suprofen, flubirofen dan ketorolac dapat menghambat kerja enzim
siklooksigenase.
- Apabila pemberian antihistamin, vasokonstriktor atau sodium kromolyn
tidak adekuat maka dapat dipertimbangkan pemberian steroid topikal.
Tetapi apabila tidak dalam keadaan akut, pemberian steroid topikal tidak
diperbolehkan.
- Untuk kasus berulang yang tidak dapat diobati dengan natrium kromoglikat
atau steroid, diberikan siklosporin topikal 2% yang bekerja menghambat
aksi interleukin 2 pada limfosit T dan menekan efek sel T dan eosinofil
3. Terapi Suportif
- Desentisasi dengan allergen inhalan.
- Kompres dingin pada mata dan menggunakan kacamata hitam
- Tetes mata artifisial dapat melarutkan allergen dan berguna untuk mencuci
mata
- Klimatoterapi seperti pendingin udara di rumah atau pindah ke tempat
berhawa dingin
4. Terapi bedah
Terapi bedah yang dapat dilakukan adalah otograf konjungtiva dan krio terapi.

1.8 Komplikasi
Dapat menimbulkan keratitis epitel atau ulkus kornea superfisila sentral atau
parasentral, yang dapat diikuti dengan pembentukan jaringan sikatriks yang ringan.
Penyakit ini juga dapat menyebabkan penglihatan menurun apabila peradangan telah
mengenai kornea. Kadang kadang didapatkan pannus, yang tidak menutupi seluruh
permukaan kornea. Perjalanan penyakitnya sangat menahun dan berulang, sering
menimbulkan kekambuhan terutama di musim panas.

1.9 Prognosis
Kondisi ini dapat terus berlanjut dari waktu ke waktu (dapat terjadi kekambuhan) dan
akan semakin memburuk selama musim musim tertentu.
BAB II
JOURNAL READING

Tetes Mata Tacrolimus sebagai Monoterapi untuk Keratokonjungtivitis Vernal: Uji Acak Terkontrol
Eduardo Gayger Müller1, Myrna Serapião dos Santos1, denise Freitas1, José Álvaro Pereira
Gomes1, Rubens Belfort Jr.1
Publikasi: 2017

Abstrak
Tujuan: Bertujuan untuk menilai efikasi monoterapi menggunakan tetes mata tacrolimus versus
natrium kromoglikat untuk pengobatan keratokonjungtivitis vernal (VKC).
Metode: Uji acal terkontrol tersamar ganda membandingkan efikasi tetes mata tacrolimus 0,03%
t.i.d. (Kelompok 1) dengan tetes mata natrium kromoglikat 4% t.i.d. (Kelompok 2) untuk kontrol
simptomatik VKC pada hari 0, 15, 30, 45, dan 90 masa tindak lanjut. Ketajaman penglihatan,
tekanan intraokular, dan komplikasi lainnya dievaluasi untuk menilai keamanan dan efek
samping.
Hasil: Secara total, 16 pasien dilibatkan, dengan 8 terdaftar di masing-masing kelompok. Dua
pasien dari kelompok 2 dikeluarkan dari analisis pada hari ke-45 dan 90 karena penggunaan
kortikosteroid. Kebanyakan pasien adalah laki-laki (81,8%) dan dengan manifestasi VKC limbal
(56,3%). Terdapat perbedaan yang signifikan secara statistik yang mendukung tacrolimus dalam
nilai keparahan berikut: gatal pada hari ke 90 (p=0,001); sensasi benda asing pada hari ke 15 (p
= 0,042); fotofobia pada hari ke 30 (p=0,041); keratitis pada hari ke 30 (p = 0,048); dan aktivitas
limbal pada hari ke 15 (p=0,011), 30 (p=0,007), dan 45 (p=0,015). Tidak ada efek samping yang
relevan yang dilaporkan, kecuali untuk sensasi terbakar dengan tacrolimus, meskipun ini tidak
menurunkan kepatuhan pengobatan.
Kesimpulan: Pengobatan dengan tacrolimus lebih unggul daripada natrium kromoglikat ketika
membandingkan nilai keparahan untuk gejala gatal, sensasi benda asing, dan fotofobia, serta
tanda-tanda aktivitas peradangan limbal dan keratitis.

Kata kunci: Konjungtivitis; Alergi; Agen anti-alergi; Tacrolimus; Larutan oftalmik; Kromolin
natrium

Pendahuluan
Alergi okular ditandai dengan reaksi peradangan pada permukaan okular yang disebabkan oleh
reaksi hipersensitivitas tipe I atau IV. Keparahan penyakit terkait dengan besarnya inflamasi yang
dihasilkan dan dipengaruhi oleh usia pasien, serta faktor genetik dan lingkungan. Jenis alergi
okular termasuk konjungtivitis musiman, konjungtivitis tahunan, keratokonjungtivitis atopik, dan
keratokonjungtivitis vernal (VKC) (1).
VKC adalah peradangan alergi kronik, bilateral (meskipun kadang-kadang asimetris), yang
diperburuk oleh musim, terjadi pada konjungtiva tarsal, konjungtiva bulbar, atau keduanya. VKC
lebih sering terjadi pada anak-anak dan dewasa muda dengan riwayat atopi, dan biasanya timbul
dengan pruritus, hiperemia, fotofobia, dan mata berair(2). Perubahan konjungtiva pada VKC
merupakan yang paling jelas dari subtipe alergi okular, yang ditandai dengan pembentukan papil
raksasa pada konjungtiva tarsal atas dan oleh lesi limbal bengkak(3). Patologi juga berbeda dari
konjungtivitis alergi musiman dan tahunan, karena diperantarai oleh limfosit Th2 (reaksi
hipersensitivitas tipe IV). Namun, peran yang tepat dari sel mast, eosinofil, fibroblas, dan sitokin
dalam proses inflamasi dan remodeling jaringan konjungtiva belum diketahui(3). Meskipun
peradangan konjungtiva biasanya membaik dan lesi kornea biasanya sembuh secara spontan
setelah masa remaja, individu mungkin terdapat sekuele dengan jaringan parut pada kornea,
kekeruhan, dan astigmatisme ireguler yang dapat secara permanen mengurangi kualitas
penglihatan(3).
Secara umum, pengobatan VKC dibagi menjadi 3 pilihan yakni preventif, klinis, dan bedah.
Opsi preventif termasuk menghilangkan atau menghindari alergen seperti tungau debu dan serbuk
sari rumah, sementara opsi bedah melibatkan pengikisan fibrin dari ulkus berbentuk seperti
perisai yang tidak sembuh atau papil raksasa pada tarsal atas; Namun, opsi bedah hanya ditujukan
untuk kasus yang parah(4). Mengenai perawatan medis, antihistamin topikal, stabilisator sel mast,
dan obat dengan banyak aksi (misalnya, alcaftadine, olopatadine) adalah pilihan lini pertama yang
khas(4). Natrium kromoglikat adalah stabilisator sel mast yang paling sering digunakan, yang
bertindak dengan menghalangi degranulasi mediator inflamasi, sehingga menghambat reaksi
(5,6)
hipersensitivitas tipe I . Efek stabilisator sel mast terlihat 2 sampai 5 hari setelah memulai
pengobatan, tetapi efek maksimum hanya dicapai dengan 15 hari. Oleh karena itu, natrium
kromoglikat paling baik digunakan untuk mencegah kekambuhan VKC setelah kontrol penyakit
awal. Kortikosteroid topikal juga berguna jika penyakit parah. Namun, karena steroid
beruhubungan dengan efek merugikan terkait pengobatan, seperti katarak, glaukoma, dan keratitis
(7)
, semua itu hanya digunakan untuk penatalaksanaan krisis alergi akut dan tidak lebih dari 2
hingga 4 minggu (8,9).
Immunomodulator, seperti tacrolimus dan siklosporin, baru-baru ini telah digunakan sebagai
pengobatan alternatif karena efek anti-inflamasi yang kuat dan profil efek samping yang
menguntungkan. Memang, agen-agen ini tidak hanya digunakan untuk menggantikan
kortikosteroid untuk krisis alergi okular tetapi juga untuk mengganti agen lain untuk
pemeliharaan VKC yang terkontrol. Tacrolimus adalah imunosupresan dalam golongan
makrolida, termasuk siklosporin. Mekanisme kerjanya terdiri dari pengurangan produksi
mediator inflamasi oleh limfosit T melalui penghambatan kalsineurin, protein intrasitoplasmik
yang penting untuk transkripsi interleukin (IL)-2 dan IL-4(10). Ini telah dipelajari secara ekstensif
karena digunakan secara luas sebagai imunosupresan untuk mengontrol penolakan transplantasi
organ padat (11) dan karena tacrolimus adalah agen yang efektif dalam pengobatan gangguan kulit
autoimun seperti dermatitis atopik dan vitiligo(12). Selanjutnya, telah dilaporkan bahwa tacrolimus
(13)
menghambat pelepasan histamin dari sel mast, merusak sintesis prostaglandin , dan menahan
(14)
pelepasan histamin dari basofil . Ketiga tindakan ini dapat secara efektif mengurangi gejala
alergi di VKC.
Sebuah studi in vitro telah menunjukkan bahwa efek imunosupresif tacrolimus 100 kali lebih
(15) (16)
tinggi daripada siklosporin . Selain itu, telah terbukti tertoleransi lebih baik . Sejumlah
penelitian juga telah menjelaskan penggunaan tacrolimus untuk pengobatan penyakit okular,
seperti penolakan cangkok kornea, ulkus Mooren, uveitis, dan penyakit cangkok-lawan-hospes
(10,17)
. Tacrolimus mungkin mempunyai khasiat yang sama dengan kortikosteroid baik dalam
pengendalian krisis alergi dan dalam pemeliharaan penyakit yang stabil, tetapi mungkin mendapat
manfaat dari insiden efek samping yang lebih rendah (18,19).
Dalam praktek rutin, pasien dengan alergi okular sering menggunakan kombinasi obat tetes
mata, dimana keduanya meningkatkan biaya dan menurunkan kepatuhan pengobatan. Mengingat
ini dan manfaat putatif tacrolimus, kami ingin mengevaluasi efikasi monoterapi topikal dengan
tacrolimus dibandingkan dengan natrium kromoglikat untuk pengobatan VKC.
Metode
Desain studi
Penelitian ini adalah uji klinis acak tersamar ganda prospektif yang dilakukan di satu pusat
perawatan tersier di São Paulo, Brasil. Kami membandingkan efikasi tetes mata tacrolimus 0,03%
topikal dengan tetes mata natrium kromoglikat 4% untuk pengobatan VKC. Penelitian ini
dilakukan sesuai dengan Deklarasi Helsinki dan dimulai setelah disetujui oleh Komite Etik
Penelitian dari Rumah Sakit São Paulo, Universitas Federal São Paulo di bawah nomor CAAE:
47393715.4.0000.5505.

Seleksi Pasien
Pasien dipilih dari Bagian Penyakit Eksternal dan Unit Rawat Jalan Kornea dan dari Unit
Perawatan Darurat Ophtalmik. VKC didiagnosis berdasarkan keluhan kronis gatal, sensasi benda
asing, fotofobia, dan robek, bersama-sama dengan temuan khas adanya aktivitas inflamasi limbal
(yaitu limbal hiperemia dan titik-titik Horner-Trantas) dan papil raksasa pada konjungtiva tarsal
atas. Kami mengeluarkan pasien yang lebih muda dari 7 tahun dan lebih tua dari 18 tahun, yang
mengalami infeksi okular saat itu, yang menggunakan tacrolimus topikal, yang pernah
menggunakan imunosupresan sistemik, atau yang telah menjalani injeksi kortikosteroid
supratarsal. Pasien yang memenuhi kriteria inklusi, bersama dengan wali sah mereka, diminta
untuk membaca dan menyetujui formulir persetujuan tindakan medis.

Protokol percobaan
Individu dialokasikan pada dua kelompok berbeda dalam rasio 1:1 berdasarkan pengacakan
blok sebelumnya (4 pasien per blok) dengan tabel nomor acak yang dibuat menggunakan Stata
12® (StataCorp LP, TX, USA). Kelompok 1 menerima tetes mata tacrolimus 0,03% setiap 8 jam
dan kelompok 2 menerima tetes mata natrium kromoglikat 4% setiap 8 jam (Kedua tetes mata
diperoleh dari Ophthalmos, São Paulo, Brasil). Pasien, penyedia layanan kesehatan, dan
pengumpul data disamarkan dari obat pengobatan. Untuk ketersamaran ganda, botol tetes mata
diberi nomor dan tidak mengandung tanda identifikasi, dan isi botol hanya terungkap pada akhir
periode pengumpulan data.
Setelah pendekatan awal dan penempatan kelompok, kami menerapkan protokol untuk
penilaian tanda dan gejala objektif, yang diadaptasi dari uji klinis dengan metode dan tujuan yang
serupa (20-22). Gejala gatal, sensasi benda asing, fotofobia, dan robek, selain tanda-tanda hiperemia
konjungtiva, papil tarsal atas, aktivitas inflamasi limbal, keratitis, dan sekret, dinilai dan diberi
tingkat dengan keparahan dari 0 hingga 3, dengan nilai yang lebih tinggi menunjukkan keparahan
yang lebih besar (Tabel 1 dan 2). Subtipe penyakit didefinisikan sebagai berikut: pasien dengan
papil tingkat 3 dan limbi tingkat 0 atau 1 digolongkan sebagai memiliki penyakit tarsal; pasien
dengan papil tingkat 0, 1, atau 2 dan limbi tingkat 2 atau 3 digolongkan sebagai penyakit limbal;
dan semua pasien lainnya digolongkan sebagai penyakit campuran tarsal-limbal. Gejala dan tanda
dinilai sebelum dan selama terapi (yaitu, pada 0, 15, 30, 45, dan 90 hari). Variabel dianalisis
secara individual, dan karena sifat bilateral VKC, evaluasi didasarkan pada pemeriksaan kedua
mata, tetapi data dicatat untuk mata yang lebih parah.
Tidak ada kelompok yang diizinkan untuk pengobatan bersamaan dengan tetes mata anti
alergi lainnya atau air mata buatan. Namun, tetes mata deksametason natrium fosfat 0,1%
(Ophthalmos, São Paulo, Brazil) q.i.d. selama 10 hari diizinkan jika krisis alergi berkembang.
Selama masa tindak lanjut, krisis didefinisikan sebagai adanya aktivitas inflamasi limbal tingkat
2 atau 3, keratitis tingkat 1 atau 2, dan gejala yang memengaruhi kehidupan sehari-hari, atau
sebagai pengembangan keratitis tingkat 3 (ulkus berbentuk perisai).

Hasil
Kami menilai perubahan tingkat keparahan untuk gejala dan tanda selama masa tindak lanjut
dengan perbandingan nilai antara kelompok perlakuan pada setiap masa tindak lanjut dan dengan
menganalisis nilai untuk setiap kelompok secara terpisah selama periode penelitian. Kami juga
mengevaluasi keamanan dan efek samping pengobatan dengan mengukur ketajaman visual,
tekanan intraokular, dan infeksi sekunder dan tingkat komplikasi lainnya.

Analisis statistik
Pertama, data dianalisis secara deskriptif, menggunakan frekuensi absolut dan relatif untuk
variabel kategori dan rata-rata dan deviasi pola untuk variabel numerik. Perbandingan usia antara
kelompok perlakuan dilakukan menggunakan uji t satu sampel untuk sampel independen. Karena
ukuran sampel yang kecil, perbandingan distribusi nilai keparahan VKC per kelompok perlakuan
dilakukan pada setiap titik waktu dengan menggunakan uji eksak Fisher. Untuk membandingkan
evolusi nilai keparahan secara terpisah di setiap kelompok perlakuan selama masa tindak lanjut,
kami menggunakan uji non-parametrik Friedman. Ketika perbedaan diverifikasi, perbandingan
antara periode tindak lanjut dilakukan dengan perbandingan ganda Dunn-Bonferroni untuk
mempertahankan tingkat signifikansi global. Untuk semua uji statistik, tingkat signifikansi 5%
diterapkan. Analisis dilakukan menggunakan IBM SPSS untuk Windows, Versi 20.0 (IBM Corp,
Armonk, NY, USA), dan elaborasi grafis dilakukan menggunakan Stata 12 (StataCorp LP, TX,
USA).

Hasil
Karakteristik peserta
Secara total, 16 pasien dimasukkan, dengan 8 per kelompok perlakuan. Semua pasien
dianalisis dari awal sampai hari ke 30 tindak lanjut, setelah dua pasien dalam kelompok 2
dikeluarkan dari tindak lanjut lebih lanjut karena mereka membutuhkan kortikosteroid topikal
untuk mengurus krisis alergi (Gambar 1). Tidak ada perbedaan antara kelompok dalam distribusi
berdasarkan jenis kelamin (p = 0,200), usia (p = 0,154), atau subtipe VKC (p = 0,151). Sebagian
besar pasien adalah laki-laki (81,8%) dan paling sering dengan subtipe VKC limbal (56,3%)
(Tabel 3).

Perbedaan pada gejala klinis antara kelompok dan titik waktu


Mengenai nilai keparahan dalam setiap kelompok selama masa tindak lanjut, terdapat
perbedaan yang signifikan untuk gatal (p <0,001), fotofobia (p = 0,006), dan robek (p <0,001)
pada kelompok 1 ketika membandingkan hari 0-30-45-90. Perbedaan juga signifikan untuk gatal
(p = 0,020) ketika membandingkan hari 0-30-45 dan untuk sensasi benda asing (p= 0,047) ketika
membandingkan hari 0-45 pada kelompok 2 (Gambar 2, lihat huruf a, b, dan c ). Perbedaan nilai
keparahan untuk gatal, sensasi benda asing, dan fotofobia secara statistik signifikan antara
kelompok perlakuan pada hari 90 (p = 0,001), 15 (p = 0,042), dan 30 (p=0,041), masing-masing,
dengan kelompok 2 mengalami gejala yang lebih parah pada setiap titik (Gambar 2, lihat tanda
bintang).

Perbedaan pada tanda klinis antara kelompok dan titik waktu


Pada kelompok 1, penurunan nilai keparahan signifikan ketika membandingkan hari 0-30-
45-90 untuk hiperemia konjungtiva (p <0,001) dan hari 0-30-45 untuk aktivitas inflamasi limbal
(p = 0,006). Pada kelompok 2, penurunan nilai keparahan yang signifikan ketika membandingkan
hari 0-30-45 untuk hiperemia konjungtiva (p = 0,008) dan ketika membandingkan hari 0-45 untuk
aktivitas inflamasi limbal (p = 0,007) (Gambar 3, lihat huruf a dan b).
Perbedaan dalam nilai keparahan untuk aktivitas inflamasi limbal secara statistik signifikan
antara kelompok perlakuan pada hari ke 15 (p = 0,011), 30 (p = 0,007), dan 45 (p = 0,015). Mereka
juga signifikan untuk keratitis pada hari ke 30 (p = 0,048). Penurunan nilai keparahan untuk tanda-
tanda menunjukkan peningkatan yang lebih besar di kelompok 1 (Gambar 3, lihat tanda bintang).
Efek merugikan
Tidak ada efek merugikan yang relevan yang dicatat pada kedua kelompok pasien, meskipun
pasien mengeluh sensasi terbakar ketika tacrolimus diteteskan. Namun, ini tidak mempengaruhi
kepatuhan.

Pembahasan
VKC dan keratokonjungtivitis atopik adalah bentuk alergi okular yang paling parah, dengan
hilangnya penglihatan sebagai risiko potensial karena penyakit itu sendiri atau penggunaan
kortikosteroid sembarangan. Dalam sebuah penelitian retrospektif, Sacchetti et al.(23) mengamati
bahwa pasien dengan VKC yang parah pada manifestasi mengalami lebih banyak kekambuhan
per tahun, lebih banyak kunjungan ke rumah sakit, dan ketajaman visual akhir yang buruk. Dalam
penelitian lain, Bonini et al.(22) menyimpulkan bahwa VKC secara umum memiliki prognosis
yang baik, dengan 52% pasien dalam kohort mereka menunjukkan gejala yang menetap setelah
rata-rata periode tindak lanjut sekitar 5 tahun; tetapi, hanya 6% dari pasien mereka menunjukkan
pengurangan ketajaman visual permanen karena kerusakan kornea.
Dalam penelitian ini, sebagian besar pasien di kedua kelompok memiliki manifestasi ringan.
Ini mungkin karena mereka terlihat di unit perawatan optalmik tersier kami. Meskipun kami
mengobati pasien dengan bentuk alergi okular yang lebih parah, banyak yang sudah diobati
dengan tacrolimus atau sudah menjalani injeksi kortikosteroid supratarsal. Ini juga membatasi
jumlah pasien dengan diagnosa VKC yang memenuhi kriteria inklusi untuk penelitian kami.
Tacrolimus telah terbukti efektif dan aman untuk kontrol krisis alergi okular dan untuk
(24-26)
pemeliharaan VKC . Dalam uji klinis acak, Labcharoenwong et al.(19) membandingkan
tacrolimus 0,1% dengan siklosporin 2% dan melaporkan perkembangan klinis pada kedua
kelompok, tanpa perbedaan yang signifikan antara kedua obat. Namun, Pucci et al.(27) melakukan
percobaan klinis silang membandingkan tacrolimus 0,1% dan siklosporin 1% untuk pengobatan
VKC parah, dan mereka menunjukkan peningkatan yang lebih besar dalam nilai objektif dan
subjektif pada mata yang diobati dengan tacrolimus. Baru-baru ini, Müller et al.(21)
membandingkan tacrolimus sendiri versus tacrolimus ditambah olopatadine untuk pengobatan
VKC. Meskipun perkembangan klinis dilaporkan pada kedua kelompok, perbedaannya secara
statistik tidak signifikan, menunjukkan kemungkinan monoterapi tacrolimus untuk VKC. Hasil
kami mendukung temuan ini, menunjukkan bahwa tacrolimus efektif dan aman sebagai
monoterapi untuk VKC.
Peningkatan jumlah CD4+ limfosit Th2 di konjungtiva, bersama dengan meningkatnya
ekspresi molekul kostimulator dan sitokin, menunjukkan bahwa sel T memainkan peran penting
dalam pengembangan VKC. Selain sitokin dari Th2, sitokin tipe Th1, sitokin proinflamasi, dan
berbagai kemokin, faktor pertumbuhan, dan enzim diekspresikan secara berlebihan pada pasien
dengan VKC (28). Tacrolimus muncul untuk mengontrol VKC dengan menghambat aktivasi sel-T
melalui penghambatan kalsineurin, sehingga mengurangi produksi sitokin inflamasi (yaitu, IL-4
dan IL-5) dan reaksi peradangan selanjutnya (26).
Di antara efek merugikan yang dilaporkan dari tacrolimus topikal adalah sensasi terbakar
lokal dan sensasi gatal, yang keduanya cenderung membaik seiring berjalannya waktu. Selain itu,
gejala yang merugikan biasanya dapat ditoleransi, dengan hanya beberapa laporan pasien yang
perlu menghentikan terapi (29). Hanya satu kasus kekambuhan herpes simplex telah dilaporkan (18).
Dalam penelitian kami, satu-satunya efek yang merugikan adalah sensasi terbakar di mata, dan
tidak ada pasien yang mengalami efek merugikan yang besar atau menghentikan obat tersebut.
Tidak ada laporan literatur tentang peningkatan tekanan intraokular dengan tacrolimus, sehingga
masuk akal untuk mengasumsi bahwa obat ini aman untuk pasien dengan glaukoma, tekanan
intraokular yang diinduksi steroid sebelumnya, atau mereka yang berisiko membentuk katarak.
Menurut Attas-Fox et al.(24), kadar tacrolimus dalam darah setelah penggunaan topikal secara
klinis dapat diabaikan. Ohashi et al.(18) membandingkan dosis yang berbeda dari suspensi
tacrolimus optalmik (0,01%, 0,03%, dan 0,1%), dan menyimpulkan bahwa konsentrasi 0,1%
dikaitkan dengan perbaikan gejala terbesar dengan profil keamanan yang sama seperti persiapan
lainnya. Mendukung ini, Ebihara et al.(30) mengevaluasi kadar salep tacrolimus 0,1% dalam darah
selama 12 minggu, dan mereka menyimpulkan bahwa konsentrasi darah maksimum tetap di
bawah 2 ng/mL, jauh di bawah tingkat (10 ng/mL) di mana risiko reaksi obat yang merugikan
sistemik meningkat. Dalam pengalaman kami, tetes mata tacrolimus 0,03% menghasilkan hasil
klinis yang baik, mirip dengan formulasi salep. Meskipun baik formulasi salep dan tetes mata
tacrolimus tersedia untuk digunakan okular di Brasil, ini hanya melalui peracikan farmasi, yang
membatasi ketersediaan dan mempersulit akses cepat.
Kami memilih untuk tidak memasukkan obat topikal lainnya untuk diberikan selama periode
tindak lanjut untuk menghindari faktor pembaur dan menunjukkan bahwa tacrolimus bisa
mempertahankan semua pasien bebas dari krisis alergi dan meningkatkan gejala dan tanda-tanda
dalam 90 hari. Sebaliknya, dua pasien dari kelompok 2 dikeluarkan dari analisis statistik setelah
hari 45 dan 90 karena ditandai dengan gejala dan tanda yang memburuk yang mengharuskan
terapi penyelamatan dengan kortikosteroid topikal. Perbedaan dalam insiden krisis alergi ini tidak
signifikan secara statistik, dan dapat dijelaskan baik oleh ukuran sampel yang kecil, kemungkinan
perbedaan dalam tingkat keparahan penyakit pada awal, atau oleh perbedaan efikasi obat.
Dalam penelitian ini, monoterapi ketat dengan tacrolimus atau natrium kromoglikat
dibandingkan. Data kami menunjukkan bahwa tetes mata tacrolimus 0,03% lebih unggul daripada
tetes mata natrium kromoglikat 4% dalam mengurangi gejala klinis (gatal, sensasi benda asing,
dan fotofobia) dan tanda-tanda klinis (aktivitas inflamasi limbal dan keratitis) pasien dengan VKC
kondisi ringan. Studi terkontrol dengan sampel yang lebih besar diperlukan untuk
mengkonfirmasi hipotesis kami bahwa monoterapi tacrolimus sesuai untuk penatalaksanaan krisis
akut dan pemeliharaan VKC.
Daftar Pustaka
1. Leonardi A, Motterle L, Bortolotti M. Allergy and the eye. Clin Exp Immunol. 2008;153
Suppl 1:17-21. 

2. Kumar S. Vernal keratoconjunctivitis: a major review. Acta Ophthalmologica. 2009;
87(2):133-47. 

3. Kumagai N, Fukuda K, Fujitsu Y, Yamamoto K, Nishida T. Role of structural cells of
the cornea and conjunctiva in the pathogenesis of vernal keratoconjunctivitis. Prog Retin
Eye Res. 2006;25(2):165-87. 

4. Vichyanond P, Pacharn P, Pleyer U, Leonardi A. Vernal keratoconjunctivitis: a severe
allergic eye disease with remodeling changes. Pediatr Allergy Immunol. 2014; 25(4):314-
22. 

5. Yanni JM, Miller ST, Gamache DA, Spellman JM, Xu S, Sharif NA. Comparative effects
of topical ocular anti-allergy drugs on human conjunctival mast cells. Ann Allergy
Asthma Immunol. 1997;79(6):541-5. 

6. Allansmith MR, Ross RN. Ocular allergy and mast cell stabilizers. Surv Ophthalmol.
1986;30(4):229-44. 

7. Carnahan MC, Goldstein DA. Ocular complications of topical, peri-ocular, and syste-
mic corticosteroids. Curr Opin Ophthalmol. 2000;11(6):478-83. 

8. Takamura E, Uchio E, Ebihara N, Ohno S, Ohashi Y, Okamoto S, et al. Japanese
guideline for allergic conjunctival diseases. Takamura E, Uchio E, Ebihara N, Ohno S,
Ohashi Y, Okamoto S, Kumagai N, Satake Y, Shoji J, Nakagawa Y, Namba K, Fukagawa
K, Fukushi- ma A, Fujishima H; Japanese Society of Allergology: Japanese guideline for
allergic conjunctival diseases. Allergol Int. 2011;60(2):191-203. 

9. Santos MS, Alves MR, Freitas D de, Sousa LB, Wainsztein R, Kandelman S, et al. Ocular
allergy Latin American consensus. Arq Bras Oftalmol. 2011;74(6):452-6.
10. Zhai J, Gu J, Yuan J, Chen J. Tacrolimus in the treatment of ocular diseases. BioDrugs.
2011;25(2):89-103.
11. O’Grady JG, Burroughs A, Hardy P, Elbourne D, Truesdale A; UK and Republic of
Ireland Liver Transplantation Study Group. Tacrolimus versus microemulsified ciclos-
porin in liver transplantation: the TMC randomised controlled trial. Lancet. 2002;
360(9340):1119-25. Comment in: Lancet. 2003;361(9354):356-7; author reply 347;
Lancet. 2002;360(9340):1114-5.
12. Remitz A, Reitamo S. Long-term safety of tacrolimus ointment in atopic dermatitis.
Expert Opin Drug Saf. 2009;8(4):501-6.
13. Ruzicka T, Assmann T, Homey B. Tacrolimus: the drug for the turn of the millennium?
Arch Dermatol. 1999;135(5):574-80.
14. de Paulis A, Stellato C, Cirillo R, Ciccarelli A, Oriente A, Marone G. Anti-inflammatory
effect of FK-506 on human skin mast cells. J Invest Dermatol. 1992;99(6):723-8.
15. KinoT,HatanakaH,HashimotoM,NishiyamaM,GotoT,OkuharaM,etal.FK-506,anovel
immunosuppressant isolated from a Streptomyces. I. Fermentation, isolation, and
physico-chemical and biological characteristics. J Antibiot (Tokyo). 1987;40(9):1249-55.
16. McAlister VC, Haddad E, Renouf E, Malthaner RA, Kjaer MS, Gluud LL. Cyclosporin
versus tacrolimus as primary immunosuppressant after liver transplantation: a me- ta-
analysis. Am J Transplant. 2006;6(7):1578-85.
17. Magalhaes OA, Marinho DR, Kwitko S. Topical 0.03% tacrolimus preventing rejection
in high-risk corneal transplantation: a cohort study. Br J Ophthalmol. 2013;97(11): 1395-
8.
18. Ohashi Y, Ebihara N, Fujishima H, Fukushima A, Kumagai N, Nakagawa Y, et al. A ran-
domized, placebo-controlled clinical trial of tacrolimus ophthalmic suspension 0.1% in
severe allergic conjunctivitis. J Ocul Pharmacol Ther. 2010;26(2):165-74.
19. Labcharoenwongs P, Jirapongsananuruk O, Visitsunthorn N, Kosrirukvongs P, Saengin
P, Vichyanond P. A double-masked comparison of 0.1% tacrolimus ointment and 2%
cyclosporine eye drops in the treatment of vernal keratoconjunctivitis in children. Asian
Pac J Allergy Immunol. 2012;30(3):177-84.
20. PucciN,NovembreE,LombardiE,CianferoniA,BernardiniR,MassaiC,etal.Atopyand
serum eosinophil cationic protein in 110 white children with vernal keratoconjuncti- vitis:
differences between tarsal and limbal forms. Clin Exp Allergy. 2003;33(3):325-30.
Comment in: Clin Exp Allergy. 2003;33(3):279-81.
21. Muller GG, Jose NK, de Castro RS. Topical tacrolimus 0.03% as sole therapy in vernal
keratoconjunctivitis: a randomized double-masked study. Eye Contact Lens. 2014;
40(2):79-83.
22. Bonini S, Bonini S, Lambiase A, Marchi S, Pasqualetti P, Zuccaro O, et al. Vernal kera-
toconjunctivitis revisited: a case series of 195 patients with long-term followup.
Ophthalmology. 2000;107(6):1157-63.
23. Sacchetti M, Lambiase A, Mantelli F, Deligianni V, Leonardi A, Bonini S. Tailored
approach to the treatment of vernal keratoconjunctivitis. Ophthalmology. 2010;117(7):
1294-9.
24. Attas-Fox L, Barkana Y, Iskhakov V, Rayvich S, Gerber Y, Morad Y, et al. Topical
tacroli- mus 0.03% ointment for intractable allergic conjunctivitis: an open-label pilot
study. Curr Eye Res. 2008;33(7):545-9.
25. Tam PM, Young AL, Cheng LL, Lam PT. Topical tacrolimus 0.03% monotherapy for
vernal keratoconjunctivitis--case series. Br J Ophthalmol. 2010;94(10):1405-6.
26. Vichyanond P, Kosrirukvongs P. Use of cyclosporine A and tacrolimus in treatment of
vernal keratoconjunctivitis. Curr Allergy Asthma Rep. 2013;13(3):308-14.
27. Pucci N, Caputo R, di Grande L, de Libero C, Mori F, Barni S, et al. Tacrolimus vs.
cyclosporine eyedrops in severe cyclosporine-resistant vernal keratoconjunctivitis: A
randomized, comparative, double-blind, crossover study. Pediatr Allergy Immunol.
2015;26(3):256-61.
28. Leonardi A, Sathe S, Bortolotti M, Beaton A, Sack R. Cytokines, matrix metallopro-
teases, angiogenic and growth factors in tears of normal subjects and vernal
keratoconjunctivitis patients. Allergy. 2009;64(5):710-7.
29. Miyazaki D, Tominaga T, Kakimaru-Hasegawa A, Nagata Y, Hasegawa J, Inoue Y.
Thera- peutic effects of tacrolimus ointment for refractory ocular surface inflammatory
diseases. Ophthalmology. 2008;115(6):988-92.e5.
30. Ebihara N, Ohashi Y, Fujishima H, Fukushima A, Nakagawa Y, Namba K, et al. Blood
level of tacrolimus in patients with severe allergic conjunctivitis treated by 0.1%
tacrolimus ophthalmic suspension. Allergol Int. 2012;61(2):275-82.

Anda mungkin juga menyukai