SISTEM ENDOKRIN
Pemeriksaan ini untuk mengukur kadar glukosa darah yang diambil kapan saja, tanpa
memperhatikan waktu makan. Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui kadar glukosa
dalam darah sewaktu (Maulana, 2009).
b. Sampel
Sampel yang digunakan pada pemeriksaan yaitu darah dengan atau tanpa antikoagulan
(EDTA, Heparin, dan NaF).
c. Harga Normal
Kadar normal glukosa darah sewaktu yaitu berkisar antara 70 – 100 mg/dl.
Diabetes Mellitus (DM) atau kencing manis yaitu kondisi dimana konsentrasi glukosa
darah berada di atas normal dalam jangka waktu lama (kronis). Penyandang DM harus
menjaga konsentrasi glukosa darahnya dengan baik untuk mencegah timbulnya komplikasi
di kemudian hari. Selain dengan pengaturan pola makan, olahraga dan pengobatan, hal lain
yang perlu dilakukan yaitu pemeriksaan rutin glukosa darah. Ada tiga macam pemeriksaan
glukosa darah, diantaranya glukosa darah sewaktu, puasa, dan 2 jam setelah makan (post
prandial).
Kadar glukosa darah dapat dipengaruhi oleh faktor endogen dan eksogen. Faktor endogen
yaitu humoral faktor seperti insulin, glukagon, kortisol, sistem reseptor di otot dan sel hati.
Faktor eksogen antara lain jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi serta aktivitas fisik
yang dilakukan.
Pemeriksaan glukosa darah yang baik dan sering dilakukan yaitu pemeriksaan glukosa
darah sewaktu, karena pemeriksaan ini sendiri bertujuan untuk upaya deteksi dini penyakit
DM. Adanya upaya deteksi dini DM dengan melakukan screening diharapkan dapat
menurunkan resiko komplikasi dan meningkatkan upaya pengendalian sehingga dapat
meningkatkan kualitas hidup dan memperpanjang usia hidup pederita. Pemeriksaan ini
cukup efektif dan tergolong mudah dikarenakan kita dapat mengambil sampelnya sewaktu-
waktu.
Pemeriksaan ini dapat dilakukan dengan dua alat, yaitu alat TMS Analyzer dengan sampel
serum dan alat kecil (Gluco-DR) atau sering disebut cara strip dengan sampel wholeblood.
Pemeriksaan glukosa darah dengan Gluco-DR tergolong mudah, cepat, dan akurat. Selain
tergolong mudah, cepat, akurat, pemeriksaan ini juga memiliki kekurangan salah satunya
akan menghasilkan hasil rendah palsu jika sampel darah yang digunakan tidak penuh. Hal
itu dikarenakan alat tersebut membaca kadar glukosa darah sesuai sampel yang diberikan
menggunakan biosensornya. Jadi, disini jelas bahwa pemberian sampel wholeblood dalam
alat Gluco-DR harus diperhatikan karena dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan.
· 2. TTGO
Tes toleransi glukosa oral/TTGO (oral glucose tolerance test, OGTT) dilakukan pada
kasus hiperglikemia yang tidak jelas; glukosa sewaktu 140-200 mg/dl, atau glukosa puasa
antara 110-126 mg/dl, atau bila ada glukosuria yang tidak jelas sebabnya. Uji ini dapat
diindikasikan pada penderita yang gemuk dengan riwayat keluarga diabetes mellitus; pada
penderita penyakit vaskular, atau neurologik, atau infeksi yang tidak jelas sebabnya.
TTGO juga dapat diindikasikan untuk diabetes pada kehamilan (diabetes gestasional).
Banyak di antara ibu-ibu yang sebelum hamil tidak menunjukkan gejala, tetapi menderita
gangguan metabolisme glukosa pada waktu hamil. Penting untuk menyelidiki dengan teliti
metabolisme glukosa pada waktu hamil yang menunjukkan glukosuria berulangkali, dan
juga pada wanita hamil dengan riwayat keluarga diabetes, riwayat meninggalnya janin pada
kehamilan, atau riwayat melahirkan bayi dengan berat lahir > 4 kg. Skrining diabetes hamil
sebaiknya dilakukan pada umur kehamilan antara 26-32 minggu. Pada mereka dengan risiko
tinggi dianjurkan untuk dilakukan skrining lebih awal.
Prosedur
Selama 3 hari sebelum tes dilakukan penderita harus mengkonsumsi sekitar 150 gram
karbohidrat setiap hari. Terapi obat yang dapat mempengaruhi hasil laboratorium harus
dihentikan hingga tes dilaksanakan. Beberapa jenis obat yang dapat mempengaruhi hasil
laboratorium adalah insulin, kortikosteroid (kortison), kontrasepsi oral, estrogen,
anticonvulsant, diuretik, tiazid, salisilat, asam askorbat. Selain itu penderita juga tidak boleh
minum alkohol.
Kekurangan karbohidrat, tidak ada aktifitas atau tirah baring dapat mengganggu toleransi
glukosa. Karena itu TTGO tidak boleh dilakukan pada penderita yang sedang sakit, sedang
dirawat baring atau yang tidak boleh turun dari tempat tidur, atau orang yang dengan diit
yang tidak mencukupi.
Sebelum dilakukan tes, penderita harus berpuasa selama 12 jam. Pengambilan sampel darah
dilakukan sebagai berikut :
Pagi hari setelah puasa, penderita diambil darah vena 3-5 ml untuk uji glukosa darah
puasa. Penderita mengosongkan kandung kemihnya dan mengumpulkan sampel urinenya.
Penderita diberikan minum glukosa 75 gram yang dilarutkan dalam segelas air (250ml).
Lebih baik jika dibumbui dengan perasa, misalnya dengan limun.
Pada waktu ½ jam, 1 jam, 1½ jam, dan 2 jam, penderita diambil darah untuk pemeriksaan
glukosa. Pada waktu 1 jam dan 2 jam penderita mengosongkan kandung kemihnya dan
mengumpulkan sampel urinenya secara terpisah.
Selama TTGO dilakukan, penderita tidak boleh minum kopi, teh, makan permen,
merokok, berjalan-jalan, atau melakukan aktifitas fisik yang berat. Minum air putih yang
tidak mengandung gula masih diperkenankan.
Nilai Rujukan
Puasa : 70 – 110 mg/dl (3.9 – 6.1 mmol/L)
½ jam : 110 – 170 mg/dl (6.1 – 9.4 mmol/L)
1 jam : 120 – 170 mg/dl (6.7 – 9.4 mmol/L)
1½ jam : 100 – 140 mg/dl (5.6 – 7.8 mmol/L)
2 jam : 70 – 120 mg/dl (3.9 – 6.7 mmol/L)
Interpretasi
Setelah pemberian glukosa, kadar glukosa darah meningkat dan mencapai puncaknya
pada waktu 1 jam, kemudian turun ke kadar 2 jam yang besarnya di bawah 126 mg/dl (7.0
mmol/L). Tidak ada glukosuria.
Gambaran yang diberikan di sini adalah untuk darah vena. Jika digunakan darah kapiler,
kadar puasa lebih tinggi 5.4 mg/dl (0.3 mmol/L), kadar puncak lebih tinggi 19.8 – 30.6
mg/dl (1.1 – 1.7 mmol/L), dan kadar 2 jam lebih tinggi 10.8 – 19.8 mg/dl (0.6 – 1.1
mmol/L). Untuk plasma vena kadar ini lebih tinggi sekitar 18 mg/dl (1 mmol/L).
Pada banyak kasus diabetes, tidak ada puncak 1 jam karena kadar glukosa darah
meningkat pada keseluruhan waktu tes. Kurva diabetik dari jenis yang sama dijumpai pada
penyakit Cushing yang berat.
Toleransi glukosa yang lemah didapatkan pada obesitas (kegemukan), kehamilan lanjut
(atau karena kontrasepsi hormonal), infeksi yang berat (terutama staphylococci, sindrom
Cushing, sindrom Conn, akromegali, tirotoksikosis, kerusakan hepar yang luas, keracunan
menahun, penyakit ginjal kronik, pada usia lanjut, dan pada diabetes mellitus yang ringan
atau baru mulai.
Tes toleransi glukosa yang ditambah dengan steroid dapat membantu mendeteksi
diabetes yang baru mulai. Pada pagi dini sebelum TTGO dilaksanakan, penderita diberikan
100 mg kortison, maka glukosa darah pada 2 jam bisa meningkat di atas 138.8 mg/dl (7.7
mmol/L) pada orang-orang yang memiliki potensi menderita diabetes.
glukosa darah puasa normal. Terdapat peningkatan glukosa darah yang curam.
Kadar puncak dijumpai pada waktu ½ jam di atas 180 mg/dl (10 mmol/L). Kemudian kadar
menurun tajam dan tingkatan hipoglikemia dicapai sebelum waktu 2 jam. Terdapat
kelambatan dalam memulai homeostasis normal, terutama penyimpanan glukosa sebagai
glikogen. Biasanya ditemukan glukosuria transien.
Kurva seperti ini dijumpai pada penyakit hepar tertentu yang berat dan kadang-
kadang para tirotoksikosis, tetapi lebih lazim terlihat karena absorbsi yang cepat setelah
gastrektomi, gastroenterostomi, atau vagotomi. Kadang-kadang dapat dijumpai pada orang
yang normal.
Kadar glukosa puasa normal atau rendah, dan pada keseluruhan waktu tes kadarnya
tidak bervariasi lebih dari ± 180 mg/dl (1.0 mmol/L). Kurva ini bisa terlihat pada penderita
miksedema (yang mengurangi absorbsi karbohidrat) atau yang menderita antagonis insulin
seperti pada penyakit Addison dan hipopituarisme. Tidak ada glukosuria. Kurva yang rata
juga sering dijumpai pada penyakit seliak. Pada glukosuria renal, kurva toleransi glukosa
bisa rata atau ormal tergantung pada kecepatan hilangnya glukosa melalui urine.
Stress (fisik, emosional), demam, infeksi, trauma, tirah baring, obesitas dapat
meningkatkan kadar glukosa darah.
Aktifitas berlebihan dan muntah dapat menurunkan kadar glukosa darah. Obat
hipoglikemik dapat menurunkan kadar glukosa darah.
Usia. Orang lansia memiliki kadar glukosa darah yang lebih tinggi. Sekresi insulin
menurun karena proses penuaan.
4. PEMERIKSAAN HbA1C
Dalam melakukan kegiatan sehari-hari kita memerlukan energi yang berasal dari berbagai
sumber seperti makanan, yang nantinya akan diserap oleh tubuh dalam bentuk glukosa dan
kemudian akan digunakan oleh sel-sel tubuh yang memerlukan ataupun disimpan dalam hati dan
otot sebagai cadangan energi.
Pemantauan kadar glikosa atau A1c sangat baik dilakukan untuk menilai penanganan
penyakit diabetes karena kontrol glikemik yang buruk dalam jangka panjang akan menyebabkan
komplikasi seperti retinopati, dll.
Diabetes atau penyakit DM (Diabetes Melitus) merupakan suatu penyakit menahun yang
ditandai oleh kadar glukosa darah yang melebihi normal.
Dalam hal ini apabila dibiarkan tidak terkendali maka DM akan menimbulkan penyulit-
penyulit yang dapat berakibat fatal seperti penyakit jantung, ginjal, kebutaan dan amputasi.
Penderita DM harus dapat menjaga agar konsentrasi glukosa darahnya senormal mungkin untuk
mencegah timbulnya komplikasi, oleh sebab itu diperlukan pemeriksaan laboratorium untuk
pemantauan konsentrasi glukosa darahnya
HbA1c dikenal juga sebagai hemoglobin terglikasi, hemoglobin terglikosilasi atau fraksi
hemoglobin yang berikatan langsung dengan glukosa. HbA1c digunakan untuk menggambarkan
komponen stabil hemoglobin yang terbentuk dari reaksi non enzimatik lambat.
Jumlah HbA1c yang terbentuk dalam tubuh sangat dipengaruhi oleh rata-rata konsentrasi
glukosa darah. HbA1c yang dibentuk dalam tubuh akan terakumulasi dalam sel-sel darah merah
dan akan terurai perlahan bersamaan dengan berakhirnya masa hidup sel darah merah (rata-rata
umur sel darah merah adalah 120 hari atau sekitar 3 bulan).
Karena ikatan HbA1c dapat bertahan lama, dan jumlah HbA1c yang terbentuk tergantung
pada konsentrasi glukosa darah, maka pemeriksaan HbA1c dapat menggambarkan konsentrasi
glukosa darah rata-rata selama 1-3 bulan.
Jadi meskipun pada saat pemeriksaan konsentrasi glukosa darah puasa / N dan 2 jam
sesudah makan / PP dalam rentang normal (untuk pasien DM) belum tentu pengendalian
konsentrasi glukosa darahnya baik.
1. Mengukur kadar glukosa darah rata-rata selama 120 hari yang lalu (sesuai usia eritrosit).
2. Menilai efek perubahan terapi 8 - 12 minggu sebelumnya, sehingga tidak dapat digunakan
untuk menilai hasil pengobatan jangka pendek.
Pengertian Pemeriksaan gula darah digunakan untuk mengetahui kadar gula darah
seseorang.
Macam- macam pemeriksaan gula darah:
Kriteria diagnostik WHO untuk diabetes mellitus pada sedikitnya 2
kali pemeriksaan :
1. Glukosa plasma sewaktu ≤ 200 mg/dl (11,1 mmol/L)
2. Glukosa plasma puasa ≤ 140 mg/dl (7,8 mmol/L)
3. Glukosa plasma dari sampel yang diambil 2 jam kemudian sesudah
mengkonsumsi 75 gr karbohidrat (2 jam post prandial (pp) ≤ 200
mg/dl.
Indikasi Klien yang tidak mengetahui proses penyakitnya.
Petugas Perawat
Tujuan 1. Untuk mengetahui kadar gula pada pasien.
2. Mengungkapkan tentang proses penyakit dan pengobatannya.
Persiapan Alat 1. Glukometer
2. Kapas Alkohol
3. Hand scone
4. Stik GDA
5. Lanset
6. Bengkok
7. Sketsel
Persiapan Menjaga privace klien.
Lingkungan
Prosedur kerja 1. Jelaskan prosedur tindakan yang akan dilakukan kepada pasien.
2. Mencuci tangan.
3. Pasang sketsel.
4. Memakai handscone
5. Atur posisi pasien senyaman mungkin.
6. Dekatkan alat di samping pasien.
7. Pastikan alat bisa digunakan.
8. Pasang stik GDA pada alat glukometer.
9. Menusukkan lanset di jari tangan pasien.
10. Menghidupkan alat glukometer yang sudah terpasang stik GDA.
11. Meletakkan stik GDA dijari tangan pasien.
12. Menutup bekas tusukkan lanset menggunakan kapas alkohol.
13. Alat glukometer akan berbunyi dan hasil sudah bisa dibaca.
14. Membereskan dan mencici alat.
15. Mencuci tangan.
Evaluasi Sikap 1. Sabar
2. Teliti
3. Sopan-santun
“ PEMBERIAN INSULIN ”
A. Pengertian
Insulin adalah suatu hormon yang diproduksi oleh sel beta pulau Langerhans kelenjar pankreas.
Insulin menstimulasi pemasukan asam amino kedalam sel dan kemudian meningkatkan sintesa
protein. Insulin meningkatkan penyimpanan lemak dan mencegah penggunaan lemak sebagai
bahan energi. Insulin menstimulasi pemasukan glukosa ke dalam sel untuk digunakan sebagai
sumber energi dan membantu penyimpanan glikogen di dalam sel otot dan hati. Insulin endogen
adalah insulin yang dihasilkan oleh pankreas, sedang insulin eksogen adalah insulin yang
disuntikan dan merupakan suatu produk farmasi.
Semua penyandang DM tipe I memerlukan insulin eksogen karena produksi insulin oleh
sel beta tidak ada atau hampir tidak ada.
Penyandang DM tipe II tertentu mungkin membutuhkan insulin bila terapi jenis lain
tidak dapat mengendalikan kadar glukosa darah.
Keadaan stress berat, seperti pada infeksi berat, tindakan pembedahan, infark miokard
akut atau stroke.
DM gestasional dan penyandang DM yang hamil membutuhkan insulin bila diet saja
tidak dapat mengendalikan kadar glukosa darah.
Ketoasidosis diabetik.
Hiperglikemik hiperosmolar non ketotik.
Penyandang DM yang mendapat nutrisi parenteral atau yang memerlukan suplemen
tinggi kalori, untuk memenuhi kebutuhan energi yang meningkat, secara bertahap akan
memerlukan insulin eksogen untuk mempertahankan kadar glukosa darah mendekati
normal selama periode resistensi insulin atau ketika terjadi peningkatan kebutuhan
insulin.
Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat.
Kontra indikasi atau alergi terhadap obat hipoglikemi oral.
Pemberian insulin secara sliding scale dimaksudkan agar pemberiannya lebih efisien dan tepat
karena didasarkan pada kadar gula darah pasien pada waktu itu. Gula darah diperiksa setiap 6
jam sekali.
IV, IM, SC
Infus ( AA / Glukosa / elektrolit )
Jangan bersama darah ( mengandung enzim merusak insulin )
Insulin kerja menengah / panjang :
Saat ini juga tersedia insulin campuran (premixed) kerja cepat dan kerja menengah.
Lokasi penyuntikan juga harus diperhatikan benar, demikian pula mengenai rotasi tempat suntik.
Apabila diperlukan, sejauh sterilitas penyimpanan terjamin, semprit insulin dan jarumnya dapat
dipakai lebih dari satu kali oleh pasien yang sama. Harus diperhatikan kesesuaian kosentrasi
insulin (U40, U100) dengan semprit yang dipakai. Dianjurkan dipakai konsentrasi yang tetap.
Penyerapan paling cepat terjadi di daerah abdomen yang kemudian diikuti oleh daerah lengan,
paha bagian atas bokong. Bila disuntikan secara intramuskular dalam maka penyerapan akan
terjadi lebih cepat dan masa kerja akan lebih singkat. Kegiatan jasmaniyang dilakukan segera
setelah penyuntikan akan mempercepat onset kerja dan juga mempersingkat masa kerja.
Indikasi pemberiaan insulin pada pasien DM lanjut usia seperti pada non lanjut usia, uyaitu
adanya kegagalan terapi ADO, ketoasidosis, koma hiperosmolar, adanya infeksi ( stress ) dll.
Dianjurkan memakai insulin kerja menengah yang dicampur dengan kerja insulin kerja cepat,
dapat diberikan satu atau dua kali sehari.
Kesulitan pemberiaan insulin pada pasien lanjut usia ialah karena pasien tidak mau menyuntik
sendiri karena persoalnnya pada matanya, tremor, atau keadaan fisik yang terganggu serta
adanya demensia. Dalam keadaan seperti ini tentulah sangat diperlukan bantuan dari
keluarganya.
Hipoglikemia
Lipoatrofi
Lipohipertrofi
Alergi sistemik atau lokal
Resistensi insulin
Edema insulin
Sepsis
Hipoglikemia merupakan komplikasi yang paling berbahaya dan dapat terjadi bila terdapat
ketidaksesuaian antara diet, kegiatan jasmani dan jumlah insulin. Pada 25-75% pasien yang
diberikan insulin konvensional dapat terjadi Lipoatrofi yaitu terjadi lekukan di bawah kulit
tempat suntikan akibat atrofi jaringan lemak. Hal ini diduga disebabkan oleh reaksi imun dan
lebih sering terjadi pada wanita muda terutama terjadi di negara yang memakai insulin tidak
begitu murni. Lipohipertrofi yaitu pengumpulan jaringan lemak subkutan di tempat suntikan
akibat lipogenik insulin. Lebih banyak ditemukan di negara yang memakai insulin murni.
Regresi terjadi bila insulin tidak lagi disuntikkan di tempat tersebut.
Reaksi alergi lokal terjadi 10x lebih sering daripada reaksi sistemik terutama pada penggunaan
sediaan yang kurang murni. Reaksi lokal berupa eritem dan indurasi di tempat suntikan yang
terjadi dalam beberpa menit atau jam dan berlagsung.
Selama beberapa hari. Reaksi ini biasanya terjadi beberapa minggu sesudah pengobatan insulin
dimulai. Inflamasi lokal atau infeksi mudah terjadi bila pembersihan kulit kurang baik,
penggunaan antiseptiK yang menimbulkan sensitisasi atau terjadinya suntikan intrakutan, reaksi
ini akan hilang secara spontan. Reaksi umum dapat berupa urtikaria, erupsi kulit, angioudem,
gangguan gastrointestinal, gangguan pernapasan dan yang sangat jarang ialah hipotensi dan
shock yang diakhiri kematian.
Interaksi
Guanetidin menurunkan gula darah dan dosis insulin perlu disesuaikan bila obat ini ditambahkan
/ dihilangkan dalam pengobatan. Beberapa antibiotik (misalnya kloramfenikol, tetrasiklin),
salisilat dan fenilbutason meningkatkan kadar insulin dalam plasma dan mungkin
memperlihatkan efek hipoglikemik.
Hipoglikemia cenderung terjadi pada penderita yang mendapat penghambat adrenoseptor ß, obat
ini juga mengaburkan takikardi akibat hipoglikemia. Potensiasi efek hipoglikemik insulin terjadi
dengan penghambat MAO, steroid anabolik dan fenfluramin.
STANDART OPERATING PROSEDUR (SOP)
“ PEMBERIAN INSULIN”
Implementasi Tindakan :
1. Mencuci tangan.
2. Memakai handscoen bersih.
3. Megambil vial insulin dan aspirasi sebanyak dosis yang
diperlukan untuk klien (berdasarkan daftar obat klien/instruksi
medik).
4. Memilih lokasi suntikan. Periksa apakah dipermukaan kulitnya
terdapat kebiruan, inflamasi, atau edema.
5. Melakukan rotasi tempat/lokasi penyuntikan insulin. Lihat
catatan perawat sebelumnya.
6. Mendesinfeksi area penyuntikan dengan kapas alcohol/alcohol
swab, dimulai dari bagian tengah secara sirkuler ± 5 cm.
7. Mencubit kulit tempat area penyuntikan pada klien yang kurus
dan regangkan kulit pada klien yang gemuk dengan tangan yang
tidak dominan.
8. Menyuntikkan insulin secara subcutan dengan tangan yang
domin secara lembut dan perlahan.
9. Mencabut jarum dengan cepat, tidak boleh di massage, hanya
dilalukan penekanan pada area penyuntikan dengan
menggunakan kapas alkohol.
10. Membuang spuit ke tempat yang telah ditentukan dalam
keadaan jarum yang sudah tertutup dengan tutupnya.
Dokumentasi
1. Mencatat respon klien setelah pemebrian injeksi insulin.
2. Mencatat kondisi tempat tusukan injeksi insulin.
3. Mencatat tanggal dan waktu pemberin injeksi insulin.
Senam Kaki Diabetes Melitus
A. LATAR BELAKANG
Menurut dr Sapto Adji H SpOT dari bagian bedah ortopedi Rumah Sakit
Internasional Bintaro (RSIB), komplikasi yang paling sering dialami pengidap diabetes
adalah komplikasi pada kaki (15 persen) yang kini disebut kaki diabetes. Dari sudut ilmu
kesehatan,tidak diragukan lagi bahwa alah raga apabila dilakukan sebagaimana mestinya
menguntungkan bagi kesehatan dan kekuatan pada umumnya.selain itu telah lama pula
olah raga digunakan sebagai bagian pengobatan diabetes melitus namun tidak semua olah
raga dianjurkan bagi pengidap diabetes melitus (bagi orang normal juga demikian) karena
dapat menimbulkan hal-hal yang tidak diharapkan salah satu jenis olah raga yang
dianjurkan terutama pada penderita usia lanjut adalah senam kaki.
B. TUJUAN
1.Tujuan Umum
Mahasiswa dapat memahami dan memperagakan kembali senam kaki pada pasien
penderita diabetes melitus.
2.Tujuan Khusus
c. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan indikasi dan kontra indikasi senam
kaki
d.Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan hal-hal yang harus dikaji sebelum
senam kaki
1. Pengertian
Senam kaki adalah kegiatan atau latihan yang dilakukan oleh pasien diabetes melitus
untuk mencegah terjadinya luka dan membantu melancarkan peredaran darah bagian
kaki. (S,Sumosardjuno,1986)
Senam kaki dapat membantu memperbaiki sirkulasi darah dan memperkuat otot-otot
kecil kaki dan mencegah terjadinya kelainan bentuk kaki. Selain itu dapat meningkatkan
kekuatan otot betis, otot paha, dan juga mengatasi keterbatasan pergerakan sendi.
(www.diabetesmelitus.com)
2. Tujuan
a. Indikasi
Senam kaki ini dapat diberikan kepada seluruh penderita Diabetes mellitus dengan
tipe 1 maupun 2. Namun sebaiknya diberikan sejak pasien didiagnosa menderita
Diabetes Mellitus sebagai tindakan pencegahan dini.
b. Kontraindikasi
1) Klien mengalami perubahan fungsi fisiologis seperti dipsnu atau nyeri dada.
d. Perhatikan indikasi dan kontraindiikasi dalam pemberian tindakan senam kaki tersebut
b. Resiko kerusakan integritas kulit b.d perubahan sirkulasi darah, hambatan mobilitas
fisik
6. Implementasi
a. Persiapan Alat :
Kertas Koran 2 lembar, Kursi (jika tindakan dilakukan dalam posisi duduk),
handscoen.
b. Persiapan Klien :
c. Persiapan lingkungan :
d. Prosedur Pelaksanaan :
3) Dengan Meletakkan tumit dilantai, jari-jari kedua belah kaki diluruskan keatas
lalu dibengkokkan kembali kebawah seperti cakar ayam sebanyak 10 kali
4) Dengan meletakkan tumit salah satu kaki dilantai, angkat telapak kaki ke atas.
Pada kaki lainnya, jari-jari kaki diletakkan di lantai dengan tumit kaki
diangkatkan ke atas. Cara ini dilakukan bersamaan pada kaki kiri dan kanan
secara bergantian dan diulangi sebanyak 10 kali.
5) Tumit kaki diletakkan di lantai. Bagian ujung kaki diangkat ke atas dan buat
gerakan memutar dengan pergerakkan pada pergelangan kaki sebanyak 10 kali.
6) Jari-jari kaki diletakkan dilantai. Tumit diangkat dan buat gerakan memutar
dengan pergerakkan pada pergelangan kaki sebanyak 10 kali.
7) Angkat salah satu lutut kaki, dan luruskan. Gerakan jari-jari kedepan turunkan
kembali secara bergantian kekiri dan ke kanan. Ulangi sebanyak 10 kali.
8)
Luruskan salah satu kaki diatas lantai kemudian angkat kaki tersebut dan
gerakkan ujung jari kaki kearah wajah lalu turunkan kembali kelantai.
9)
Angkat kedua kaki lalu luruskan. Ulangi langkah ke 8, namun gunakan kedua
kaki secara bersamaan. Ulangi sebanyak 10 kali.
11) Luruskan salah satu kaki dan angkat, putar kaki pada pergelangan kaki ,
tuliskan pada udara dengan kaki dari angka 0 hingga 10 lakukan secara
bergantian.
12) Letakkan sehelai koran dilantai. Bentuk kertas itu menjadi seperti bola dengan
kedua belah kaki. Kemudian, buka bola itu menjadi lembaran seperti semula
menggunakan kedua belah kaki. Cara ini dilakukan hanya sekali saja
8. Dokumentasi Tindakan
a. Respon klien
Smeltzer, Suzzanne C.2001.Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth
Ed.8.Jakarta: EGC.