Anda di halaman 1dari 2

PEGAF DAN MALARIA

Memulai tulisan ini ijinkan saya memperkenalkan diri saya, saya dr. Christan biasa
disapa kris, tempat tugas saya lumayan menyenangkan skaligus menantang yang merupakan
salah satu distrik di pegunungan Arfak yaitu distrik Anggi. Terkenal akan keindahan alam dan
danaunya yang sangat mempesona sehingga membuat para wisatawan tidak gampang
melupakan pengalaman berkunjung kesana. Sehubungan dengan judul tulisan ini mengenai
malaria, sebenarnya Pegunungan Arfak bisa dibilang unik. Alasan saya mengatakan unik
karena jarang kasus malaria yang dilaporkan hampir di seluruh faskes yang ada di Pegunungan
Arfak. Sampai pernah ada tim peneliti dari kementerian yang datang langsung untuk meneliti
penyebaran nyamuk pembawa malaria di Pegunungan Arfak. Hasilnya, Lingkungan alam
Pegunungan Arfak tidak cocok sebagai tempat hidup bagi nyamuk vector malaria. Dalam
praktik dilapangan selama saya bertugas di Puskesmas Anggi, jarang saya temukan pasien yang
datang berobat dengan keluhan menyerupai gejala malaria, kalau pun ada, tidak bisa saya
pastikan sebagai diagnose malaria karena tidak adanya analis kesehatan atau pun pemeriksaan
lab yang mendukung diagnose malaria. Alat pemeriksaan yang biasa saya gunakan hanyalah
alat tes cepat malaria berupa stik rapid test malaria. Dan bisa ditebak tidak ada satu pun yang
pernah menunjukkan hasil positif. Namun ada satu kasus, yang sempat membuat saya agak
kewalahan, ketika ada seorang pasien yang datang dengan keluhan badan lemas disertai badan
menggigil dan demam yang sudah dialami sejak 3 hari sebelumnya. Penderita juga
mengeluhkan mual dan muntah sejak pagi hari sehingga tidak bisa menelan makanan apa pun.
Pasien juga mengatakan baru beberapa hari di Anggi, sebelumnya bekerja di kota Manokwari.
Setelah dianamnesis secara seksama pasien ternyata sering sakit malaria selama di kota
manokwari, hanya saja obat tidak minum secara teratur. Saya pun melakukan pemeriksaan tes
cepat malaria dan hasilnya tetap negatif. Melihat keadaan pasien yang tidak memungkinkan
untuk dirujuk akhirnya saya tangani di Puskesmas meskipun kondisi obat puskesmas waktu itu
tidak lengkap karena keterlambatan dalam distribusi obat ke Puskesmas dari bagian Farmasi
Dinas Kesehatan kabupaten. Setelah 2 hari dirawat di Puskesmas Anggi, kondisi pasien mulai
membaik dan akhirnya saya ijinkan pulang dengan membawa bekal obat minum untuk
dikonsumsi di rumah. Saya pun menganjurkan kalau memungkinkan agar pasien boleh turun
ke kota manokwari untuk dilakukan pemeriksaan lebih lengkap. 2 Hari kemudian pasien
memberi info kalau ternyata hasil pemeriksaan darah di kota menyatakan bahwa dia terserang
malaria tropika dan dokter tempat dia memeriksakan diri sudah memberikan pasien tersebut
terapi malaria. Dari kasus tersebut saya merenung bahwa sakit malaria yang diderita pasien
tersebut ada kemungkinan sudah diderita dari waktu pasien di kota manokwari atau pun
kemungkinan dia sudah digigit oleh nyamuk vektor malaria selama di kota manokwari, namun
karena masa inkubasi plasmodium malaria yang kurang lebih 1-2 minggu makanya pasien baru
merasakan gejala malaria sewaktu di Pegunungan Arfak. Dari kasus ini pun dapat menjadi
pembelajaran bagi kami sebagai petugas Puskesmas dan juga Dinas Kesehatan Pegunungan
Arfak, untuk kedepannya perlu menambah sumber daya manusia dalam hal ini petugas analis
kesehatan, supaya tidak terjadi keraguan dalam mendiagnosa malaria di Puskesmas-puskesmas
Pegunungan Arfak. Demikian cerita pengalaman saya sebagai dokter di Puskesmas Anggi,
Pegunungan Arfak. Semoga tulisan ini bermanfaat dan menimbulkan kesan bagi para pembaca
sekalian. Akhir kata “ Salam Bebas Malaria dari Kami Pejuang-pejuang Kesehatan
Pegunungan Arfak”.
“Salam Bebas Malaria”
dr. Christan C. Maharibe

Anda mungkin juga menyukai