Disusun oleh :
Reza Muchlas F
218.041.010.56
Pembimbing :
dr. Bayu Sukresno, Sp.PD
1
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala
dengan judul “Chronic Kidney Disease (CKD)” tepat pada waktunya. Terimakasih
penulis sampaiakan kepada dr. Bayu Sukresno, Sp.PD selaku dokter pembimbing
dalam tugas kepaniteraan klinik madya stase Ilmu Penyakit Dalam ini.
Laporan kasus ini dibuat untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik madya stase
Ilmu Penyakit Dalam serta untuk menambah wawasan mengenai kasus CKD.
Penulis menyadari bahwa dalam laporan ini masih jauh dari sempurna, oleh karena
itu kritik dan saran untuk penyempurnaan sangat penulis harapkan. Semoga telah
ini dapat berguna dan memberikan manfaat bagi kita semua. Amin.
Penulis
i
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang .................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah ............................................................... 1
1.3. Tujuan ................................................................................ 2
1.4. Manfaat .............................................................................. 2
BAB II STATUS PASIEN
2.1. Identitas Pasien ................................................................... 3
2.2. Anamnesa ........................................................................... 3
2.3. Pemeriksaan Fisik ............................................................... 4
2.4. Pemeriksaan Penunjang ...................................................... 8
2.5. Resume ............................................................................. 8
2.6. Diagnosis Banding .............................................................. 9
2.7. Dignosa ............................................................................. 9
2.8. Rencana Terapi .................................................................... 9
2.9. Follow up ........................................................................... 9
BAB III TINJAUAN PUSTAKA
3.1. Definisi ................................................................................ 10
3.2. Epidemiologi ........................................................................ 10
3.3. Faktor Genetik ...................................................................... 11
3.4 Klasifikasi............................................................................. 12
3.5 Patofisiologi ........................................................................ 14
3.6 Diagnosis ............................................................................. 17
3.7 Tatalaksana ......................................................................... 21
3.8 Komplikasi ......................................................................... 22
3.9 Pencegahan ......................................................................... 22
BAB IV PEMBAHASAN
4.1. Dasar Penegakan Diagnosis ................................................. 23
4.2. Dasar Pemilihan Terapi ....................................................... 25
ii
BAB V PENUTUP
5.1. Simpulan .............................................................................. 26
5.2. Saran .................................................................................... 26
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 27
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
merupakan pembawa sifat penyakit ini, bahkan mungkin lebih besar
jumlahnya.2
1.3 Tujuan
1. Mengetahui dan memahami definisi dari CKD.
2. Mengetahui dan memahami epidemiologi dari CKD.
3. Mengetahui dan memahami patofisiologi dari CKD.
4. Mengetahui dan memahami diagnosis dari CKD.
5. Mengetahui dan memahami tatalaksana dari CKD.
BAB II
STATUS PASIEN
2.2 Anamnesa
1. Keluhan Utama :
Lemas
2. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang dengan keluhan lemas sejak beberapa bulan yang lalu. Lemas
dirasakan diseluruh tubuh terutama pada pinggang. Pasien mengaku lemas
dirasakan bila pasien kekurangan Hb, hal ini dikarenakan pasien rutin
transfusi darah. Keluhan lemas disertai pusing, dan sesak nafas. Pasien juga
mengatakan sesak nafas timbul bila pasien jalan menanjak dan sedikit jauh.
Sesak yang dirasakan disertai rasa berat di dada. Selain sesak pasien
mengaku mengalami pusing hingga pandangan kabur, hal ini dirasakan
bersamaan dengan keluhan yang lainnya. Pasien juga mengaku tubuhnya
sedikit kekuningan. Mual (-), muntah (-), demam (-), ba/pil (-/-), diare (-),
BAK normal.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat Tekana Daah Tinggi : +
Keluhan pasien dirasakan pada saat pasien berusia 28 tahun saat itu
pasien merasa lemas dan tekanan darah pasien pada saat itu 140/80.
Riwayat Diabetes Melitus :+
Riwayat Penyakit Jantung :-
Riwayat asma :-
Riwayat Kejang :-
4. Riwayat penyakit Keluarga : Ayah, ibu dan anggota keluarga yang lain tidak
ada keluhan yang sama dengan yang dialami pasien.
5. Riwayat pengobatan : Riwayat tranfusi darah pada tanggal 12-20 Agustus
2018. Pasien rutin mengkonsumsi obat Glibenclamid, Glikuidon, Ibesartan
(1x1), Atorvastatin (0-0-1).
3
6. Riwayat kehamilan : Pasien.hamil 3x dengan kelahiran normal. Riwayat
demam saat hamil (-), HT (-), DM (-), keputihan (-), perdarahan (-),trauma
(-), konsumsi obat hanya vitamin dari bidan, jamu (-).
7. Riwayat gizi : Pasien mengkonsumsi nasi, sayuran, tahu dan tempe.
8. Riwayat alergi : obat (-), makanan (-), suhu (-)
9. Riwayat Sos-Ekonomi : Pasien berasal dari keluarga menengah ke bawah
6. Kepala :
Bentuk kepala normochepal, rambut sedikit, tidak ada luka maupun
benjolan.
7. Mata :
Anemia +/+, Ikterik -/-, pupil isokor, refleks cahaya +/+, mata tidak cowong,
sclera sedikit kekuningan.
8. Hidung :
Tidak ada deformitas, tidak ada atrofi konka, mukosa intake, tidak ada
sekret dan krusta, tidak ada obstruksi.
9. Mulut :
Tidak bau mulut, tidak ada stomatitis, gigi normal, kelainan lidah tidak ada,
mukosa faring tidak hiperemi, tidak ada pembesaran tonsil.
4
10. Telinga :
Tidak ada sekret, tidak ada serumen, tidak ada benda asing, membran
timpani intake, pendengaran normal.
11. Tenggorokan :
Simetris, tidak ada pembesaran kel.tiroid
12. Leher :
Tidak ada kaku, JVP tidak dievaluasi, tidak ada pembesaran KGB
13. Thoraks:
Pulmo
Inspeksi : bentuk normal, pengembangan dada kanan dan kiri sama.
Palpasi : fremitus raba kiri sama dengan kanan
Perkusi : sonor/sonor
Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+),wheezing (-/-), ronkhi (-/-).
Cor
Laki-laki 13 - 17
2.5 Resume
Pasien kiriman dari IGD dengan keluhan lemas pada seluruh badan sejak
beberpa bulan yang lalu. Lemas dirasakan diseluruh tubuh terutama pada
pinggang. Pasien mengaku lemas dirasakan bila pasien kekurangan Hb, hal ini
dikarenakan pasien rutin transfusi darah. Keluhan lemas disertai dengan sesak
nafas, dan pusing. Pasien juga mengatakan sesak nafas timbul bila pasien jalan
menanjak dan sedikit jauh. Sesak yang dirasakan disertai rasa berat di dada
tanpa adanya penjalaran dan nyeri dada. Selain sesak pasien mengaku
mengalami pusing hingga pandangan kabur, hal ini dirasakan bersamaan
dengan keluhan yang lainnya. Pasien juga mengaku tubuhnya sedikit
kekuningan.
Pasien memiliki riwayat hipertensi sejak usia pasien 28 thun hal ini
diketahui saat pasien melakukan medical check up untuk syarat pekerjaan
sebagai seorang TKW. Pasien mengaku bila tekanan darahnya 140/80 maka
pasien akan mengalami pusing dan lemas, sedangkan tekanan darah pasien
secara nirmal adalah 160/90. Pasien terdiagnosa CKD pada bulan agustus 2018
saat itu pasien merasakan hal yang sama yaitu lemas kemudian disrankan untuk
cek Hb dan didapatkan HB pasien 5,0. Kemudian pasien menjalankan tranfusi
darah hingga 3 kantung.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan TD 146/91 mmHg, HR 84x/menit, RR
20x/menit, Tax 36 oC, BB 53 kg, TB 160 cm, anemis pada kedua konjungtiva
mata, kulit sedikit kekuningan dan adanya thrill saat pemeriksaan thorax. Dari
pemeriksaan Hb didapatkan penurunan jumlah Hb yaitu 7,8 g/dl.
6
2.6 Diagnosis Banding
Chronic Kidney Disease
Diabetes Mellitus 2
Diabetic Kidney Disesae
Hipetensi
Anemia
2.9 Follow Up
Tgl S O A P
Pasien kiriman IGD dengan - KU: lemah thala - Transfusi PRC
anemia + thalasemia. Pasien - GCS: 456 semi 1 labu pertama
terdiagnosa thalasemia saat - HR: a
usia pasien 2 tahun. Pasien 100x/min
datang untuk melakukan - RR: 25x/min
2/11/ transfusi darah rutin. Pasien - Tax: 36,30C
18 sudah rutin transfusi darah - konjungtiva
sebelumnya, yaitu 7 bulan anemis +/+
sekali selama 2 kali trasfusi - pembesaran
dan selebihnya 2 bulan sekali limpa (+)
hingga sekarang. Terakhir schuffner 2
transfusi darah 2 bulan yang
7
lalu. Pucat, lemas (+), nafsu Lab DL:
makan (<<) Hb: 7,8 g/dl
4/11/ Pucat (-), lemas (-), ma/mi - KU: baik thala - ACC KRS
18 (+/+) - GCS: 456 semi
- Nadi: a
110x/min
- RR: 24x/min
- Tax: 36,20C
- pembesaran
limpa (+)
schuffner 2
Hb post
tranfusi: 13,7
g/dl
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi
Thalasemia adalah suatu penyakit kongenital herediter yang diakibatkan
oleh kelainan sintesis hemoglobin dimana terjadi kegagalan pembentukan
salah satu atau lebih dari empat rantai asam amino yang membentuk
hemoglobin, sehingga hemoglobin tidak terbentuk sempurna.3
8
ke seluruh tubuh serta membawa karbon dioksida dari tubuh ke paru-paru
untuk dilepaskan melalui pernapasan. Hemoglobin juga memberi warna merah
pada eritrosit. Hemoglobin manusia terdiri dari persenyawaan hem dan globin.
Hem terdiri dari zat besi (Fe) dan globin adalah suatu protein yang terdiri dari
rantai polipeptida. Hemoglobin pada manusia normal terdiri dari 2 rantai alfa
(α) dan 2 rantai beta (β). Pada orang dewasa sehat hemoglobin meliputi HbA
(α2β2 = 97%), sebagian lagi HbA2 (α2δ2 = 2,5%) sisanya HbF (α2ƴ2 = 0,5%).3
3.2 Epidemiologi
Penyakit ini merupakan kelainan genetik yang disebabkan oleh mutasi gen
tunggal dengan kasus yang terbanyak di dunia. Frekuensi pembawa atau
carrier penyakit ini (mempunyai gen terganggu tapi pemyakitnya tidak
nampak) di masyarakat Indonesia cukup tinggi yaitu sekitar 5%. Penderita
thalasemia akan lahir dari suami istri yang keduanya carrier thalasemia,
sehingga timbul ide pre-marital screening (pemeriksaan sebelum nikah) untuk
mendeteksi thalasemia. Berdasarkan angka ini, diperkirakan lebih 2000
penderita baru dilahirkan setiap tahunnya di Indonesia. Biasanya lebih dari
30% penderita mengandung kadar HbF yang tinggi dan 45% juga mempunyai
HbE. Kadang-kadang ditemukan hemoglobin patologik.2
9
Di Indonesia sendiri, jumlah penderita Thalasemia mengalami kenaikan.
Pada tahun 1994, jumlah penderita Thalesemia mencapai 500 jiwa. Angka
tersebut meningkat 3 kali lipat menjadi 1500 jiwa pada tahun 2008, dan
memprediksikan pada tahun 2020 nanti, angka penderita Thalasemia naik
drastis menjadi 22.500 jiwa.2
10
hemoglobin dalam jumlah cukup diakibatkan sumsum tulangnya tidak dapat
memproduksi sel darah merah dalam kadar yang dibutuhkan.4
3.4 Klasifikasi
Thalasemia diklasifikasikan berdasarkan molekuler menjadi dua yaitu
thalasemia alfa dan thalasemia beta.5
11
Thalasemia-α di tandai dengan penurunan sintesis rantai α globin karena
delesi salah satu sampai keempat gen α globin yang seharusnya ada.
Thalasemia α terdiri dari:5
c. Hb H disease
Delesi pada 3 rantai globin alfa. Ciri hematologis ditandai adanya
akumulasi dari rantai globin-β yang mudah larut membentuk tetramer β₄
yang disebut HbH yang pada pemeriksaan pewarnaan supravital
dijumpai adanya badan inklusi (Heinzs bodies). Diagnosis penyakit HbH
dengan menggunakan pemeriksaan hemoglobin Elektroforesis. Penyakit
HbH memiliki gejala anemia hipokromik mikrositik dengan Hb 8-10
g/dL. Pada pemeriksaan fisik dijumpai adanya pembesaran hepar dan
spleen.
12
berat, mengalami oedem yang luas, ascites, efusi pleura, dan efusi
pericardial. Pada pemeriksaan apusan darah tepi banyak dijumpai
immature red cell, hipokrom, mikrositer, gambaran sel darah merah
anisopoikilositosis.
13
didiagnosis banding dengan anemia mikrositik hipokromik akibat
defisiensi besi.
b) Thalassemia-β intermedia
Ditandai oleh gambaran klinis dan derajat keparahan yang berada di
antara bentuk mayor dan minor. Penderita ini secara genetik bersifat
heterogen. Umumnya penderita dengan kelainan ini cukup sehat dan
hanya membutuhkan transfusi darah pada saat terjadinya infeksi.
c) Thalassemia-β mayor
Keadaan ini menimbulkan salah satu dari dua sindrom; 1) ditandai
dengan anemia berat biasanya timbul antara bulan kedua dan keduabelas
dari kehidupan (Talasemia-ß mayor) dan 2) ditandai dengan anemia
moderat yang timbul setelah usia 1-2 tahun (Talasemia-ß intermedia).
Anemia berat ini disebabkan karena kekurangan Hb A (α2ß2).
Ketidakmampuan untuk memproduksi rantai ß menyebabkan adanya
rantai α yang berlebihan pada tahap awal dan akhir dari eritroblas
polikromatik. Rantai α mengendap dalam sel dan mengakibatkan
timbulnya gangguan terhadap berbagai fungsi sel, serta terjadi fagositosis
dan degradasi dari sebagian eritroblas yang mengandung endapan
tersebut oleh makrofag sumsum tulang. Perjalanan penyakit talasemia
mayor biasanya singkat karena bila penderita tidak didukung dengan
transfusi, kematian terjadi pada usia dini akibat anemia yang berat.
Transfusi darah memperbaiki anemia dan juga menekan gejala sekunder
(deformitas tulang) karena eritropoiesis berlebihan. Penderita yang
sering di transfusi akan mengalami gagal jantung akibat kelebihan besi
yang progresif, dan hemokromatosis sekunder merupakan penyebab
morbiditas dan mortalitas yang penting.
3.5 Patofisiologi
Talasemia merupakan salah satu bentuk kelainan genetik hemoglobin yang
ditandai dengan kurangnya atau tidak adanya sintesis satu rantai globin atau
lebih, sehingga terjadi ketidak seimbangan jumlah rantai globin yang
terbentuk. Mutasi gen pada globin alfa akan menyebabkan penyakit alfa-
14
thalassemia dan jika itu terjadi pada globin beta maka akan menyebabkan
penyakit beta-thalassemia.6
Pada thalassemia homozigot, sintesis rantai menurun atau tidak ada sintesis
sama sekali. Ketidakseimbangan sintesis rantai alpha atau rantai non alpha,
khususnya kekurangan sintesis rantai β akan menyebabkan kurangnya
pembentukan Hb.6
Thalasemia beta
Sel darah merah yang sudah rusak tersebut akan dihancurkan oleh limpa,
hepar, dan sumsum tulang, menggambarkan komponen hemolitik dari penyakit
ini. Sel darah merah yang mengandung jumlah Hb F yang lebih tinggi
mempunyai umur yang lebih panjang.6
16
Gambar 3.4 Patofisiologi thalasemia beta
Thalasemia alpha
Rantai globin yang berlebihan pada thalasemia α adalah rantai γ dan yang
kurang atau hilang sintesisnya dalah rantai α. Rantai γ bersifat larut sehingga
mampu membentuk hemotetramer yang meskipun relatif tidak stabil, mampu
bertahan dan memproduksi molekul Hb yang lain seperti Hb Bart (γ4) dan Hb
H (β4). Perbedaan dasar inilah yang mempengaruhi lebih ringannya
manisfestasi klinis dan tingkat keparahan penyakitnya dibandingkan dengan
thalasemia beta.6
3.6 Diagnosis
1) Anamnesis7
17
Pucat
Penurunan nafsu makan
Gangguan tumbuh kembang
Mata kuning
Warna kencing gelap
Sering demam karena hipermetabolik eritropoiesis
Umumnya mulai timbul saat usia 6 bulan
Diagnosis hanya berdasarkan adanya kelainan hematologi
Bila menerima transfusi pertumbuhan akan normal sampai puber. Namun
semakin dewasa akan terjadi penumpukan besi yang dapat menyebabkan
efek samping seperti DM, hipertiroid, hipoparatiroid, gagal hati, dan
gagal jantung.
2) Pemeriksaan fisik7
Fasies mongoloid atau facies Cooley
Terjadi keaktifan sumsum tulang yang luar biasa pada tulang muka dan
tulang tengkorak hingga nengakibatkan perubahan perkembangan tulang
tersebut dan umumnya terjadi pada anak usia lebih dari 2 tahun.
Pucat
Merupakan gejala umum pada penderita thalassemia, yang berkaitan
dengan anemia berat. Penyebab anemia pada thalassemia bersifat primer
dan sekunder. Primer adalah berkurangnya sintesis Hb A dan eritropoesis
yang tidak efektif disertai penghancuran sel-sel eritrosit intramedular.
18
Sedangkan yang sekunder mengakibatkan hemodilusi, dan destruksi
eritrosit oleh sistem retikuloendotelial dalam limpa dan hati.
Hitung retikulosit
Hitung retikulosit meningkat antara 2-8 %.
HDT
Anemia pada thalassemia mayor mempunyai sifat mikrositik
hipokrom. Pada gambaran sediaan darah tepi akan ditemukan
retikulosit, poikilositosis, tear drops sel dan target sel.
LFT
Kadar unconjugated bilirubin akan meningkat sampai 2-4 mg%. bila
angka tersebut sudah terlampaui maka harus dipikir adanya
20
kemungkinan hepatitis, obstruksi batu empedu dan cholangitis. Serum
SGOT dan SGPT akan meningkat dan menandakan adanya kerusakan
hepar. Akibat dari kerusakan ini akan berakibat juga terjadi kelainan
dalam faktor pembekuan darah.
b) Elektroforesis Hb
Diagnosis definitif ditegakkan dengan pemeriksaan eleltroforesis
hemoglobin. Pemeriksaan ini tidak hanya ditujukan pada penderita
thalassemia saja, namun juga pada orang tua, dan saudara sekandung jika
ada. Pemeriksaan ini untuk melihat jenis hemoglobin dan kadar Hb A2.
petunjuk adanya thalassemia α adalah ditemukannya Hb Barts dan Hb H.
Pada thalassemia β kadar Hb F bervariasi antara 10-90%, sedangkan
dalam keadaan normal kadarnya tidak melebihi 1%.
c) Sumsum tulang
Pada sumsum tulang akan tampak suatu proses eritropoesis yang sangat
aktif sekali. Ratio rata-rata antara myeloid dan eritroid adalah 0,8. pada
keadaan normal biasanya nilai perbandingannya 10 : 3.
d) Pemeriksaan rongent
Ada hubungan erat antara metabolisme tulang dan eritropoesis. Bila tidak
mendapat tranfusi dijumpai osteopeni, resorbsi tulang meningkat,
mineralisasi berkurang, dan dapat diperbaiki dengan pemberian tranfusi
darah secara berkala. Apabila tranfusi tidak optimal terjadi ekspansi
rongga sumsum dan penipisan dari korteknya. Trabekulasi memberi
gambaran mozaik pada tulang. Tulang terngkorak memberikan
gambaran yang khas, disebut dengan “hair on end” yaitu menyerupai
rambut berdiri potongan pendek pada anak besar.
21
Gambar 3.8 Gambar hair on end dan trabekulasi tulang pada thalasemia
4) Diagnosis prenatal7
Bertujuan untuk mengetahui sedini mungkin apakah janin yang
dikandung menderita talasemia mayor. Diagnosis ini terutama ditujukan
pada janin dari pasangan baru yang sama-sama pengemban sifat talasemia
serta janin dari pasangan yang telah mendapat bayi talasemia sebelumnya.
Diagnosis ini dilakukan dengan menggunakan darah yang diperoleh dari
fetus berusia 18-20 minggu, kemudian dilanjutkan dengan analisis terhadap
produksi rantai ß retikulosit. Diagnosis talasemia-ß homozigot ditegakkan
jika tidak terdapat produksi rantai ß atau produksinya sangat rendah.
3.7 Tatalaksana
Hingga saat ini belum ada obat yang dapat menyembuhkan penyakit
talasemia. Penatalaksanaan penyakit ini dilakukan dengan beberapa cara,
yaitu:8
1) Suportif
a. Transfusi darah
Tujuan dari transfusi darah yaitu untuk mempertahankan kadar Hb
sebagai dampak adanya anemia berat. Hb pasien dipertahankan antara
8g/dl sampai 9,5 dimana keadaan ini akan memberikan supresi sumsum
tulang yang adekuat, darah diberikan dalam bentuk PRC 3 ml/kgBB
untuk setiap kenaikan Hb 1g/dl. Transfusi biasanya setiap dua sampai
tiga minggu sekali tergantung dari kondisi anak.8
22
b. Medikamentosa
- Pemberian iron chelating agent untuk mengeluarkan besi dari
jaringan tubuh. Pemberian secara teratur membantu mengurangi
terjadinya hemosiderosis.
Indikasi jika ferritin 1000 μg/L atau transferin >50% atau 10-20 kali
transfusi.
3.8 Komplikasi
23
Anemia yang berat dan lama sering mengakibatkan terjadinya gagal
jantung. Transfusi darah yang berulang-ulang dan adanya proses hemolisis
menyebabkan kadar besi dalam darah sangat tinggi, sehingga ditimbun dalam
berbagai jaringan tubuh seperti hepar, limpa, kulit, jantung, dan lain-lain. Hal
ini dapat mengakibatkan gangguan fungsi organ-organ tersebut
(hemokromatosis). Limpa yang besar mudah mengalami ruptur dengan trauma
yang ringan. Kadang-kadang talasemia disertai oleh tanda hipersplenisme
seperti leukopenia dan trombopenia. Kematian terutama disebabkan oleh
infeksi dan gagal jantung.8
3.9 Pencegahan
Kelahiran penderita talasemia dapat dicegah dengan9:
1. Pencegahan primer
Penyuluhan sebelum perkawinan untuk mencegah perkawinan diantara
penderita talasemia agar tidak medapat keturunan yang homozigot atau
varian-varian talasemia dengan mortalitas yang tinggi.
2. Pencegahan sekunder
Pencegahan kelahiran bayi homozigot dari pasangan suami istri dengan
talasemia heterozigot.
24
BAB IV
PEMBAHASAN
26
menanyakan status gizi yang diberikan oleh keluarga di rumah serta pola
eliminasi pasien saat di rumah.
Pada pemeriksaan fisik abdomen tampak abdomen sedikit buncit pada regio
kuadran kiri atas dan tengah, teraba kenyal namun tidak nyeri tekan. Setelah di
lakukan pemeriksaan palpasi dalam dan perkusi diketahui bahwa terdapat
pembesaran limpa pada titik Schuffner 2. Hal ini sesuai dengan teori dimana
pada pemeriksaan fisik pasien thalasmeia dapat ditemukan tanda salah satunya
adalah spleenomegali / pembesaran limpa. Pembesaran limpa ini terjadi karena
adanya hemopoiesis ekstramedular. Karena Hb yang tidak terbentuk dengan
sempurna sehingga sel darah merah banyak yang mati secara dini dan produksi
sel darah merah dari sum-sum tulang tidak mencukupi, maka limpa melakukan
kompensasi dengan melakukan hemopoiesis ekstramedular. Telah diketahui
bahwa limpa juga bekerja untuk menghancurkan sel darah merah yang yang
sudah waktunya mati maupun sel darah merah yang abnormal. Sehingga
dengan tugas ini, maka tugas limpa akan semakin berat. Karena hal tersebut,
sel-sel limpa semakin berproliferasi untuk mengimbangi tugas beratnya
sehingga bermanifestasi berupa spleenomegali.
Sesuai dengan teori, darah diberikan dalam bentuk PRC 3 ml/kgBB untuk
setiap kenaikan Hb 1g/dl. Pada pasien ini diketahui Hb masuk sebesar 7,8
mg/dl. Dengan menggunakan rumus PRC 3ml/kgBB untuk setiap kenaikan Hb
1g/dl, maka untuk meningkatkan kadar Hb dengan target Hb post tranfusi
adalah 12 gr/dl dibutuhkan PRC ±350 cc. Terdapat rumus lain yang lebih teliti
yang dapat digunakan untuk menghitung kebutuhan PRC yaitu: [(Hb terget –
Hb saat ini) x BB x 4]. Dengan rumus tersebut maka kebutuhan PRC pada
pasien ini sebanyak 453,6 cc. Pada pasien ini diberikan PRC 2 labu (500 cc)
dengan harapan kadar Hb meningkat mencapai nilai normal.
Selain diberikan terapi tranfusi pada pasien juga diberikan terapi khelasi
besi berupa deferiprone (ferriprox) sirup 3x5 ml. Deferiprone merupakan agen
khelasi besi yang berfungsi mengikat zat besi yang berlebihan di dalam
jaringan dan mengeluarkannya dari tubuh. Tranfusi darah yang berulang-ulang
dan adanya proses hemolisis menyebabkan kadar besi dalam darah sangat
tinggi, sehingga ditimbun dalam berbagai jaringan tubuh seperti hepar, limpa,
kulit, jantung, dan lain-lain. Zat besi yang menumpuk dan tertimbun di dalam
jaringan tersebut apabila tidak dikeluarkan akan memberikan efek buruk
berupa hemisiderosis yang akan menimbulkan komplikasi yang lebih fatal.
Pasien juga diberikan tablet vitamin E sebagai antioksidan dengan harapan
28
dapat memperpanjang umur sel darah merah. Diberikan juga tablet asam folat
untuk memenuhi kebutuhan produksi sel darah merah yang meningkat.
BAB V
PENUTUP
5.1 Simpulan
Thalasemia adalah suatu penyakit kongenital herediter yang diakibatkan
oleh kelainan sintesis hemoglobin dimana terjadi kegagalan pembentukan
salah satu atau lebih dari empat rantai asam amino yang membentuk
hemoglobin. Akibatnya akan terjadi anemia mikrositik oleh karena
hemoglobinisasi eritrosit yang tidak efektif. Di Indonesia sendiri, jumlah
penderita thalasemia mengalami kenaikan setiap tahunnya. Thalasemia
diturunkan secara autosomal resesif menurut hukum Mendel dari orang tua
kepada anak-anaknya. Thalasemia diklasifikasikan berdasarkan molekuler
menjadi dua yaitu thalasemia alfa dan thalasemia beta. Thalasemia alfa terbagi
menjadi 4 berdasarkan delesi dari rantai globin alfa yaitu: 1) silent carrier state
2) alfa thalasemia trait/carrier 3) Hb H disease 4) alfa thalasemia mayor
(hydrops fetalis). Sedangkan thalasemia beta dibagi menjadi: 1) thalasemia
beta minor (trait) 2) thalasemia beta intermedia 3) thalasemia beta mayor.
Diagnosis thalasemia ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang. Hingga saat ini belum ada obat yang dapat
menyembuhkan penyakit talasemia. Penatalaksanaan penyakit ini dilakukan
dengan beberapa cara, yaitu suportif (tranfusi darah dan pemberian obat-
29
obatan) dan pembedahan. Komplikasi yang sering timbul adalah gagal jantung
akibat anemia yang berat. Transfusi darah yang berulang-ulang dan adanya
proses hemolisis menyebabkan kadar besi dalam darah sangat tinggi, sehingga
ditimbun dalam berbagai jaringan tubuh dan dapat mengakibatkan gangguan
fungsi organ-organ (hemokromatosis). Pencegahan kelahiran thalasemia dapat
dicegah dengan pencegahan primer dan sekunder. Pencegahan primer
dilakukan melalui penyuluhan sebelum perkawinan, dan pencegahan sekunder
dilakukan melalui pencegahan kelahiran bayi homozigot dari pasangan suami
istri dengan thalasemia heterozigot.
5.2 Saran
Pemahaman tentang penyakit thalasemia masih sangat kurang di
masyarakat, terutama pada masyarakat dengan pendidikan rendah sehingga
meningkatkan angka morbiditas dan mortalitas pada anak. Dengan demikian
perlu diberikan komunikasi, informasi, dan edukasi kepada masyarakat terkait
pencegahan kelahiran thalasemia agar tidak muncul penderita thalasemia
dengan jumlah yang semakin meningkat.
30
DAFTAR PUSTAKA
31
9. Hoffbrand AV, Pettit JE. Kapita Selekta Hematologi (Edisi kedua). Jakarta:
ECG,1996; p.78-83. 10
32