Anda di halaman 1dari 36

LAPORAN KASUS

CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD)

Disusun untuk memenuhi tugas


Laboratorium Ilmu Penyakit Dalam

Disusun oleh :
Reza Muchlas F
218.041.010.56

Pembimbing :
dr. Bayu Sukresno, Sp.PD

KEPANITERAAN KLINIK MADYA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM MALANG


LABORATORIUM ILMU PENYAKIT DALAM
RSUD KANJURUHAN MALANG
2018

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala

rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus

dengan judul “Chronic Kidney Disease (CKD)” tepat pada waktunya. Terimakasih

penulis sampaiakan kepada dr. Bayu Sukresno, Sp.PD selaku dokter pembimbing

dalam tugas kepaniteraan klinik madya stase Ilmu Penyakit Dalam ini.

Laporan kasus ini dibuat untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik madya stase

Ilmu Penyakit Dalam serta untuk menambah wawasan mengenai kasus CKD.

Penulis menyadari bahwa dalam laporan ini masih jauh dari sempurna, oleh karena

itu kritik dan saran untuk penyempurnaan sangat penulis harapkan. Semoga telah

ini dapat berguna dan memberikan manfaat bagi kita semua. Amin.

Malang, 10 April 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................... i


DAFTAR ISI .................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang .................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah ............................................................... 1
1.3. Tujuan ................................................................................ 2
1.4. Manfaat .............................................................................. 2
BAB II STATUS PASIEN
2.1. Identitas Pasien ................................................................... 3
2.2. Anamnesa ........................................................................... 3
2.3. Pemeriksaan Fisik ............................................................... 4
2.4. Pemeriksaan Penunjang ...................................................... 8
2.5. Resume ............................................................................. 8
2.6. Diagnosis Banding .............................................................. 9
2.7. Dignosa ............................................................................. 9
2.8. Rencana Terapi .................................................................... 9
2.9. Follow up ........................................................................... 9
BAB III TINJAUAN PUSTAKA
3.1. Definisi ................................................................................ 10
3.2. Epidemiologi ........................................................................ 10
3.3. Faktor Genetik ...................................................................... 11
3.4 Klasifikasi............................................................................. 12
3.5 Patofisiologi ........................................................................ 14
3.6 Diagnosis ............................................................................. 17
3.7 Tatalaksana ......................................................................... 21
3.8 Komplikasi ......................................................................... 22
3.9 Pencegahan ......................................................................... 22
BAB IV PEMBAHASAN
4.1. Dasar Penegakan Diagnosis ................................................. 23
4.2. Dasar Pemilihan Terapi ....................................................... 25
ii
BAB V PENUTUP
5.1. Simpulan .............................................................................. 26
5.2. Saran .................................................................................... 26
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 27

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Thalasemia adalah suatu penyakit kongenital herediter yang diakibatkan
oleh kelainan sintesis hemoglobin dimana terjadi kegagalan pembentukan
salah satu atau lebih dari empat rantai asam amino yang membentuk
hemoglobin, sehingga hemoglobin tidak terbentuk sempurna, ditandai dengan
anemia hipokromatik dan mikrositik.1

Thalasemia juga merupakan sindroma kelainan darah herediter yang paling


sering terjadi didunia, sangat umum dijumpai disepanjang sabuk thalasemi
yang sebagian besar wilayahnya merupakan endemis malaria. Heterogenitas
molecular penyakit tersebut carrier thalasemia- β sangat bervariasi dan
berkaitan erat dengan pengelompokan populasi sehingga dapat dijadikan
pertanda genetik populasi tertentu. Keberadaan Thalasemia merupakan
penyakit menurun terbanyak di dunia. Berdasarkan data terakhir dari Badan
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan 250.000.000 penduduk
dunia (4.5%) membawa genetik Thalasemia. Dari 250.000.000, 80.000-90.000
diantaranya membawa genetik Thalasemia Beta. Sementara itu, 300.000 anak
terinfeksi tiap tahunnya, dan 60.000-70.000 diantara menderita Thalasemia
Beta. Secara keseluruhan populasi pembawa genetik Thalasema naik secara
signifikan.2

Di Indonesia sendiri, jumlah penderita Thalasemia mengalami kenaikan.


Pada tahun 1994, jumlah penderita Thalesemia mencapai 500 jiwa. Angka
tersebut meningkat 3 kali lipat menjadi 1500 jiwa pada tahun 2008, dan
memprediksikan pada tahun 2020 nanti, angka penderita Thalasemia naik
drastis menjadi 22.500 jiwa.2

Berdasarkan catatan Kementerian Kesehatan Yayasan Thalassaemia


Indonesia (YTI) pada tahun 2008, jumlah orang dengan thalasemia kini
mencapai lebih dari 6.000 dan orang hampir 10% penduduk Indonesia

1
merupakan pembawa sifat penyakit ini, bahkan mungkin lebih besar
jumlahnya.2

1.2 Rumusan Masalah


1. Apakah definisi dari CKD?
2. Bagaimanakah epidemiologi dari CKD?
3. Bagaimanakah patofisiologi dari CKD?
4. Bagaimanakah diagnosis dari CKD?
5. Bagaimanakah tatalaksana dari CKD?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui dan memahami definisi dari CKD.
2. Mengetahui dan memahami epidemiologi dari CKD.
3. Mengetahui dan memahami patofisiologi dari CKD.
4. Mengetahui dan memahami diagnosis dari CKD.
5. Mengetahui dan memahami tatalaksana dari CKD.

BAB II

STATUS PASIEN

2.1 Identitas Pasien


Nama : Ny. M
Umur : 55 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Sukodono, Dampit, Kabupaten Malang
Status perkawinan : Kawin
Suku : Jawa
Agama : Islam
2
Pendidikan : SMP
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Tanggal periksa : 05 April 2019

2.2 Anamnesa
1. Keluhan Utama :
Lemas
2. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang dengan keluhan lemas sejak beberapa bulan yang lalu. Lemas
dirasakan diseluruh tubuh terutama pada pinggang. Pasien mengaku lemas
dirasakan bila pasien kekurangan Hb, hal ini dikarenakan pasien rutin
transfusi darah. Keluhan lemas disertai pusing, dan sesak nafas. Pasien juga
mengatakan sesak nafas timbul bila pasien jalan menanjak dan sedikit jauh.
Sesak yang dirasakan disertai rasa berat di dada. Selain sesak pasien
mengaku mengalami pusing hingga pandangan kabur, hal ini dirasakan
bersamaan dengan keluhan yang lainnya. Pasien juga mengaku tubuhnya
sedikit kekuningan. Mual (-), muntah (-), demam (-), ba/pil (-/-), diare (-),
BAK normal.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
 Riwayat Tekana Daah Tinggi : +
Keluhan pasien dirasakan pada saat pasien berusia 28 tahun saat itu
pasien merasa lemas dan tekanan darah pasien pada saat itu 140/80.
 Riwayat Diabetes Melitus :+
 Riwayat Penyakit Jantung :-
 Riwayat asma :-
 Riwayat Kejang :-
4. Riwayat penyakit Keluarga : Ayah, ibu dan anggota keluarga yang lain tidak
ada keluhan yang sama dengan yang dialami pasien.
5. Riwayat pengobatan : Riwayat tranfusi darah pada tanggal 12-20 Agustus
2018. Pasien rutin mengkonsumsi obat Glibenclamid, Glikuidon, Ibesartan
(1x1), Atorvastatin (0-0-1).

3
6. Riwayat kehamilan : Pasien.hamil 3x dengan kelahiran normal. Riwayat
demam saat hamil (-), HT (-), DM (-), keputihan (-), perdarahan (-),trauma
(-), konsumsi obat hanya vitamin dari bidan, jamu (-).
7. Riwayat gizi : Pasien mengkonsumsi nasi, sayuran, tahu dan tempe.
8. Riwayat alergi : obat (-), makanan (-), suhu (-)
9. Riwayat Sos-Ekonomi : Pasien berasal dari keluarga menengah ke bawah

2.3 Pemeriksaan Fisik


1. Keadaan Umum : cukup
2. Kesadaran : compos mentis, GCS 456
3. Tanda Vital
- Tekanan darah : 146/91 mmHg
- Nadi : 84x / menit
- RR : 20x / menit
- Suhu : 36 0C
4. Antropometri
- BB : 53 kg
- TB : 160 cm
5. Kulit :
Berwarna coklat kekuningan, tidak ada gatal, kulit tidak kering, turgor baik.

6. Kepala :
Bentuk kepala normochepal, rambut sedikit, tidak ada luka maupun
benjolan.
7. Mata :
Anemia +/+, Ikterik -/-, pupil isokor, refleks cahaya +/+, mata tidak cowong,
sclera sedikit kekuningan.
8. Hidung :
Tidak ada deformitas, tidak ada atrofi konka, mukosa intake, tidak ada
sekret dan krusta, tidak ada obstruksi.
9. Mulut :
Tidak bau mulut, tidak ada stomatitis, gigi normal, kelainan lidah tidak ada,
mukosa faring tidak hiperemi, tidak ada pembesaran tonsil.
4
10. Telinga :
Tidak ada sekret, tidak ada serumen, tidak ada benda asing, membran
timpani intake, pendengaran normal.
11. Tenggorokan :
Simetris, tidak ada pembesaran kel.tiroid
12. Leher :
Tidak ada kaku, JVP tidak dievaluasi, tidak ada pembesaran KGB
13. Thoraks:
Pulmo
 Inspeksi : bentuk normal, pengembangan dada kanan dan kiri sama.
 Palpasi : fremitus raba kiri sama dengan kanan
 Perkusi : sonor/sonor
 Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+),wheezing (-/-), ronkhi (-/-).
Cor

 Inspeksi : ictus cordis tidak tampak


 Palpasi : ictus cordis kuat angkat, cardiac heave tidak teraba,
thrill (+)
 Perkusi :
 Batas kiri atas : ICS II para sternal line sinistra
 Batas kanan atas : ICS II para sternal line dekstra
 Batas kiri bawah : ICS VI midclavicular line sinistra
 Batas kanan bawah : ICS IV para sternal linea dekstra
 Auskultasi :bunyi jantung I-II intensitas normal, regular, gallop (-),
murmur (-)
14. Abdomen:
 Inspeksi : normal
 Auskultasi: Bising usus (+) normal
 Perkusi : Timpani
 Palpasi : tegang, konsistensi kenyal, nyeri tekan (-), pembesaran
hepar (-) pembesaran lien (-).
15. Ekstremitas :
 Superior : palmar eritema (-/-), edema (-/-), akral hangat (+/+)
5
 Inferior : palmar eritema (-/-), edema (-/-), akral hangat (+/+)

2.4 Pemeriksaan Penunjang


 Hb (2 November 2018)
Jenis Hasil Nilai Normal Satuan
Pemeriksaan

Hb 7,8 Perempuan 11,5 – 16 g/dl

Laki-laki 13 - 17

2.5 Resume
Pasien kiriman dari IGD dengan keluhan lemas pada seluruh badan sejak
beberpa bulan yang lalu. Lemas dirasakan diseluruh tubuh terutama pada
pinggang. Pasien mengaku lemas dirasakan bila pasien kekurangan Hb, hal ini
dikarenakan pasien rutin transfusi darah. Keluhan lemas disertai dengan sesak
nafas, dan pusing. Pasien juga mengatakan sesak nafas timbul bila pasien jalan
menanjak dan sedikit jauh. Sesak yang dirasakan disertai rasa berat di dada
tanpa adanya penjalaran dan nyeri dada. Selain sesak pasien mengaku
mengalami pusing hingga pandangan kabur, hal ini dirasakan bersamaan
dengan keluhan yang lainnya. Pasien juga mengaku tubuhnya sedikit
kekuningan.
Pasien memiliki riwayat hipertensi sejak usia pasien 28 thun hal ini
diketahui saat pasien melakukan medical check up untuk syarat pekerjaan
sebagai seorang TKW. Pasien mengaku bila tekanan darahnya 140/80 maka
pasien akan mengalami pusing dan lemas, sedangkan tekanan darah pasien
secara nirmal adalah 160/90. Pasien terdiagnosa CKD pada bulan agustus 2018
saat itu pasien merasakan hal yang sama yaitu lemas kemudian disrankan untuk
cek Hb dan didapatkan HB pasien 5,0. Kemudian pasien menjalankan tranfusi
darah hingga 3 kantung.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan TD 146/91 mmHg, HR 84x/menit, RR
20x/menit, Tax 36 oC, BB 53 kg, TB 160 cm, anemis pada kedua konjungtiva
mata, kulit sedikit kekuningan dan adanya thrill saat pemeriksaan thorax. Dari
pemeriksaan Hb didapatkan penurunan jumlah Hb yaitu 7,8 g/dl.
6
2.6 Diagnosis Banding
Chronic Kidney Disease
Diabetes Mellitus 2
Diabetic Kidney Disesae
Hipetensi
Anemia

2.7 Working Diagnosis


Chronic Kidney Disease

2.8 Rencana Terapi


Medikamentosa
- Trasfusi PRC 2 labu (500 cc)  1 labu (250 cc) / hari
- P.O deferiprone (ferriprox) syrup 3 dd 5ml
- P.O vitamin E 2x1 tablet
- P.O asam folat 1x1 mg
Non medikamentosa
- KIE keluarga pasien terkait tatalaksana yang akan dilakukan
- Renacana untuk Haemodialisa

2.9 Follow Up

Tgl S O A P
Pasien kiriman IGD dengan - KU: lemah thala - Transfusi PRC
anemia + thalasemia. Pasien - GCS: 456 semi 1 labu pertama
terdiagnosa thalasemia saat - HR: a
usia pasien 2 tahun. Pasien 100x/min
datang untuk melakukan - RR: 25x/min
2/11/ transfusi darah rutin. Pasien - Tax: 36,30C
18 sudah rutin transfusi darah - konjungtiva
sebelumnya, yaitu 7 bulan anemis +/+
sekali selama 2 kali trasfusi - pembesaran
dan selebihnya 2 bulan sekali limpa (+)
hingga sekarang. Terakhir schuffner 2
transfusi darah 2 bulan yang

7
lalu. Pucat, lemas (+), nafsu Lab DL:
makan (<<) Hb: 7,8 g/dl

Lemas (+), pucat berkurang, - KU: cukup thala - Transfusi PRC


ma/mi (+/+) - GCS: 456 semi labu kedua
- HR: a
100x/min
3/11/ - RR: 27x/min
18 - Tax: 36,10C
- pembesaran
limpa (+)
schuffner 2

4/11/ Pucat (-), lemas (-), ma/mi - KU: baik thala - ACC KRS
18 (+/+) - GCS: 456 semi
- Nadi: a
110x/min
- RR: 24x/min
- Tax: 36,20C
- pembesaran
limpa (+)
schuffner 2

Hb post
tranfusi: 13,7
g/dl

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi
Thalasemia adalah suatu penyakit kongenital herediter yang diakibatkan
oleh kelainan sintesis hemoglobin dimana terjadi kegagalan pembentukan
salah satu atau lebih dari empat rantai asam amino yang membentuk
hemoglobin, sehingga hemoglobin tidak terbentuk sempurna.3

Hemoglobin merupakan molekul protein tetramerik terdiri dari


protoporphyrin dan besi, yang ditemukan di eritrosit (sel darah merah)
semua vertebrata. Hemoglobin bekerja untuk membawa oksigen dari paru-paru

8
ke seluruh tubuh serta membawa karbon dioksida dari tubuh ke paru-paru
untuk dilepaskan melalui pernapasan. Hemoglobin juga memberi warna merah
pada eritrosit. Hemoglobin manusia terdiri dari persenyawaan hem dan globin.
Hem terdiri dari zat besi (Fe) dan globin adalah suatu protein yang terdiri dari
rantai polipeptida. Hemoglobin pada manusia normal terdiri dari 2 rantai alfa
(α) dan 2 rantai beta (β). Pada orang dewasa sehat hemoglobin meliputi HbA
(α2β2 = 97%), sebagian lagi HbA2 (α2δ2 = 2,5%) sisanya HbF (α2ƴ2 = 0,5%).3

Gambar 3.1 Molekul hemoglobin

3.2 Epidemiologi
Penyakit ini merupakan kelainan genetik yang disebabkan oleh mutasi gen
tunggal dengan kasus yang terbanyak di dunia. Frekuensi pembawa atau
carrier penyakit ini (mempunyai gen terganggu tapi pemyakitnya tidak
nampak) di masyarakat Indonesia cukup tinggi yaitu sekitar 5%. Penderita
thalasemia akan lahir dari suami istri yang keduanya carrier thalasemia,
sehingga timbul ide pre-marital screening (pemeriksaan sebelum nikah) untuk
mendeteksi thalasemia. Berdasarkan angka ini, diperkirakan lebih 2000
penderita baru dilahirkan setiap tahunnya di Indonesia. Biasanya lebih dari
30% penderita mengandung kadar HbF yang tinggi dan 45% juga mempunyai
HbE. Kadang-kadang ditemukan hemoglobin patologik.2

9
Di Indonesia sendiri, jumlah penderita Thalasemia mengalami kenaikan.
Pada tahun 1994, jumlah penderita Thalesemia mencapai 500 jiwa. Angka
tersebut meningkat 3 kali lipat menjadi 1500 jiwa pada tahun 2008, dan
memprediksikan pada tahun 2020 nanti, angka penderita Thalasemia naik
drastis menjadi 22.500 jiwa.2

Berdasarkan catatan Kementerian Kesehatan Yayasan Thalassaemia


Indonesia (YTI) pada tahun 2008, jumlah orang dengan thalasemia kini
mencapai lebih dari 6.000 dan orang hampir 10% penduduk Indonesia
merupakan pembawa sifat penyakit ini, bahkan mungkin lebih besar
jumlahnya.2

3.3 Faktor Genetik Thalasemia


Talasemia adalah penyakit genetik yang diturunkan secara autosomal
resesif menurut hukum Mendel dari orang tua kepada anak-anaknya. Penyakit
talasemia meliputi suatu keadaan penyakit dari gejala klinis yang paling ringan
(bentuk heterozigot) yang disebut talasemia minor atau talasemia trait (carrier
/ pengemban sifat) hingga yang paling berat (bentuk homozigot) yang disebut
talasemia mayor. Bentuk heterozigot diturunkan oleh salah satu orang tuanya
yang mengidap penyakit talasemia, sedangkan bentuk homozigot diturunkan
oleh kedua orang tuanya yang mengidap penyakit talasemia.4

Permasalahan talasemia akan muncul jika talasemia trait kawin dengan


sesamanya sehingga kemungkinan yang bisa terjadi adalah 25% dari
keturunannya menurunkan talasemia mayor, 50% anak mereka menderita
talasemia trait dan hanya 25% anak mempunyai darah normal. Jika satu dari
orang tua menderita thalasemia trait/bawaan maka kemungkinan 50% sehat
dan 50% thalasemia trait.4

Umumnya penderita talasemia minor tidak merasakan gejala apapun. Hanya


kadang-kadang mengalami anemia kekurangan zat besi ringan. Berbeda
dengan talasemia minor, anak yang menderita talasemia mayor perlu mendapat
perhatian dan perawatan khusus karena di dalam tubuhnya tidak tersedia

10
hemoglobin dalam jumlah cukup diakibatkan sumsum tulangnya tidak dapat
memproduksi sel darah merah dalam kadar yang dibutuhkan.4

Gambar 3.2 Mekanisme penurunan penyakit thalasemia

3.4 Klasifikasi
Thalasemia diklasifikasikan berdasarkan molekuler menjadi dua yaitu
thalasemia alfa dan thalasemia beta.5

1) Thalasemia alfa (α)


Terdapat dua globin α yang berhubungan erat dalam kromosom 16.
Dengan demikian terdapat empat gen globin α per selnya.

Gambar 3.3 Gen alfa globin dan gen beta globin

11
Thalasemia-α di tandai dengan penurunan sintesis rantai α globin karena
delesi salah satu sampai keempat gen α globin yang seharusnya ada.
Thalasemia α terdiri dari:5

a. Silent carrier state


Delesi pada 1 rantai globin alfa. Keadaan ini tidak timbul gejala sama
sekali. Biasanya hanya ditemukan sedikit kelainan berupa sel darah
merah yang tampak lebih pucat atau hanya ditemukan penurunan RBC.
Diagnosis tidak dapat dipastikan melalui elektroforesis.

b. Alfa thalasemia trait / carrier


Delesi pada 2 rantai globin alpha. Penderita mengalami anemia ringan
dengan sel darah merah hipokrom dan mikrositer, dapat menjadi carrier.
Disebut juga thalasemia alfa minor.

c. Hb H disease
Delesi pada 3 rantai globin alfa. Ciri hematologis ditandai adanya
akumulasi dari rantai globin-β yang mudah larut membentuk tetramer β₄
yang disebut HbH yang pada pemeriksaan pewarnaan supravital
dijumpai adanya badan inklusi (Heinzs bodies). Diagnosis penyakit HbH
dengan menggunakan pemeriksaan hemoglobin Elektroforesis. Penyakit
HbH memiliki gejala anemia hipokromik mikrositik dengan Hb 8-10
g/dL. Pada pemeriksaan fisik dijumpai adanya pembesaran hepar dan
spleen.

d. Alfa thalasemia mayor (Hydrops fetalis)


Merupakan delesi dari ke 4 rantai globin alfa. Janin yang terkena akan
meninggal di dalam kandungan pada trimester kedua atau trimester
ketiga kehamilan atau tidak lama setelah lahir. Keadaan ini terjadi pada
thalassemia-α homozigot, tidak terbentuknya ke empat rantai globin-α.
Pada keadaan ini hemoglobin fetus (HbF atau α2γ2) tidak terbentuk pada
masa janin dalam kandungan yang mengakibatkan rantai globin-γ yang
tidak mendapatkan pasangan selanjutnya akan mengalami agregasi
membentuk tetramer γ4 yang disebut Hb Bart’s. Terjadi anemia yang

12
berat, mengalami oedem yang luas, ascites, efusi pleura, dan efusi
pericardial. Pada pemeriksaan apusan darah tepi banyak dijumpai
immature red cell, hipokrom, mikrositer, gambaran sel darah merah
anisopoikilositosis.

Gambar 3.4 klasifikasi thalasemia alfa

2) Thalasemia beta (β)


Penyakit ini ditandai oleh berkurangnya sintesis ß globin. Berbeda dengan
gen α, tiap kromosom hanya mengandung satu gen ß yang berhubungan erat
dengan kromosom 11 (lihat gambar 3.3). Thalasemia beta terjadi jika
terdapat mutasi pada satu atau dua rantai globin beta yang ada. Thalasemia
beta terdiri dari:5

a) Thalassemia-β minor (trait)


Adanya satu gen normal pada individu heterozigot memungkinkan
sintesis rantai ß globin yang memadai sehingga penderita biasanya secara
klinis asimtomatik. Pemeriksaan apusan darah tepi seringkali
menunjukkan anemia ringan dengan derajat bervariasi. Biasanya terdapat
abnormalitas yang khas dari morfologi sel darah merah. Umumnya
hemoglobin yang ditemukan adalah Hb A, dan yang khas proporsi Hb
A2 (α2δ2) meningkat dengan nilai kira-kira 4-7% dari total hemoglobin,
tidak seprti halnya dengan angka normal, yaitu sekitar 2-3%. Pengenalan
ciri Talasemia-β penting untuk konseling genetik. Selain itu juga perlu

13
didiagnosis banding dengan anemia mikrositik hipokromik akibat
defisiensi besi.

b) Thalassemia-β intermedia
Ditandai oleh gambaran klinis dan derajat keparahan yang berada di
antara bentuk mayor dan minor. Penderita ini secara genetik bersifat
heterogen. Umumnya penderita dengan kelainan ini cukup sehat dan
hanya membutuhkan transfusi darah pada saat terjadinya infeksi.

c) Thalassemia-β mayor
Keadaan ini menimbulkan salah satu dari dua sindrom; 1) ditandai
dengan anemia berat biasanya timbul antara bulan kedua dan keduabelas
dari kehidupan (Talasemia-ß mayor) dan 2) ditandai dengan anemia
moderat yang timbul setelah usia 1-2 tahun (Talasemia-ß intermedia).
Anemia berat ini disebabkan karena kekurangan Hb A (α2ß2).
Ketidakmampuan untuk memproduksi rantai ß menyebabkan adanya
rantai α yang berlebihan pada tahap awal dan akhir dari eritroblas
polikromatik. Rantai α mengendap dalam sel dan mengakibatkan
timbulnya gangguan terhadap berbagai fungsi sel, serta terjadi fagositosis
dan degradasi dari sebagian eritroblas yang mengandung endapan
tersebut oleh makrofag sumsum tulang. Perjalanan penyakit talasemia
mayor biasanya singkat karena bila penderita tidak didukung dengan
transfusi, kematian terjadi pada usia dini akibat anemia yang berat.
Transfusi darah memperbaiki anemia dan juga menekan gejala sekunder
(deformitas tulang) karena eritropoiesis berlebihan. Penderita yang
sering di transfusi akan mengalami gagal jantung akibat kelebihan besi
yang progresif, dan hemokromatosis sekunder merupakan penyebab
morbiditas dan mortalitas yang penting.

3.5 Patofisiologi
Talasemia merupakan salah satu bentuk kelainan genetik hemoglobin yang
ditandai dengan kurangnya atau tidak adanya sintesis satu rantai globin atau
lebih, sehingga terjadi ketidak seimbangan jumlah rantai globin yang
terbentuk. Mutasi gen pada globin alfa akan menyebabkan penyakit alfa-
14
thalassemia dan jika itu terjadi pada globin beta maka akan menyebabkan
penyakit beta-thalassemia.6

Secara genetik, gangguan pembentukan protein globin dapat disebabkan


karena kerusakan gen yang terdapat pada kromosom 11 atau 16 yang ditempati
lokus gen globin. Kerusakan pada salah satu kromosom homolog menimbulkan
terjadinya keadaan heterozigot, sedangkan kerusakan pada kedua kromosom
homolog menimbulkan keadaan homozigot (-/-).6

Pada thalassemia homozigot, sintesis rantai menurun atau tidak ada sintesis
sama sekali. Ketidakseimbangan sintesis rantai alpha atau rantai non alpha,
khususnya kekurangan sintesis rantai β akan menyebabkan kurangnya
pembentukan Hb.6

Ketidakseimbangan dalam rantai protein globin alfa dan beta disebabkan


oleh sebuah gen cacat yang diturunkan. Untuk menderita penyakit ini,
seseorang harus memiliki 2 gen dari kedua orang tuanya. Jika hanya 1 gen yang
diturunkan, maka orang tersebut hanya menjadi pembawa/carier.6

Thalasemia beta

Secara biokimia kelainan yang paling mendasar adalah menurunnya


biosintesis dari unit  globin pada Hb A. Pada thalasemia β heterozigot, sintesis
β globin kurang lebih separuh dari nilai normalnya. Pada thalasemia β
homozigot, sintesis β globin dapat mencapai nol.6

Karena adanya defisiensi yang berat pada rantai β, sintesis Hb A total


menurun dengan sangat jelas atau bahkan tidak ada, sehingga pasien dengan
thalasemia β homozigot mengalami anemia berat. Sebagai respon kompensasi,
maka sintesis rantai γ menjadi teraktifasi sehingga hemoglobin pasien
mengandung proporsi Hb F yang meningkat. Namun sintesis rantai γ ini tidak
efektif dan secara kuantitas tidak mencukupi.6

Pada thalasemia β homozigot, sintesis rantai α tidak mengalami perubahan


dan tidak mampu membentuk Hb tetramer. Ketidak-seimbangan sintesis dari
rantai polipeptida ini mengakibatkan kelebihan adanya rantai α bebas di dalam
15
sel darah merah yang berinti dan retikulosit. Rantai α bebas ini mudah
teroksidasi. Mereka dapat beragregasi menjadi suatu inklusi protein (haeinz
bodys), menyebabkan kerusakan membran pada sel darah merah dan destruksi
dari sel darah merah imatur dalam sumsum tulang sehingga jumlah sel darah
merah matur yang diproduksi menjadi berkurang sehingga sel darah merah
yang beredar menjadi kecil, terdistorsi, dipenuhi oleh inklusi α globin, dan
mengandung komplemen hemoglobin yang menurun dan memberikan
gambaran dari Anemia Cooley/anemia mikrositik hipokrom yaitu hipokromik,
mikrosisitk dan poikilositik.6

Sel darah merah yang sudah rusak tersebut akan dihancurkan oleh limpa,
hepar, dan sumsum tulang, menggambarkan komponen hemolitik dari penyakit
ini. Sel darah merah yang mengandung jumlah Hb F yang lebih tinggi
mempunyai umur yang lebih panjang.6

Anemia yang berat terjadi akibat adanya penurunan oksigen carrying


capacity dari setiap eritrosit dan tendensi dari sel darah merah matur (yang
jumlahnya sedikit) mengalami hemolisa secara prematur.6

Eritropoetin meningkat sebagai respon adanya anemia, sehingga sumsum-


sumsum tulang dipacu untuk memproduksi eritroid prekusor yang lebih
banyak. Namun mekanisme kompensasi ini tidak efektif karena adanya
kematian yang prematur dari eritroblas. Hasilnya adalah suatu ekspansi
sumsum tulang yang masif yang memproduksi sel darah merah baru.6

Sumsum tulang mengalami ekspansi secara masif, menginvasi bagian


kortikal dari tulang, menghabiskan sumber kalori yang sangat besar pada umur-
umur yang kritis pada pertumbuhan dan perkembangan, mengalihkan sumber-
sumber biokimia yang vital dari tempat-tempat yang membutuhkannya dan
menempatkan suatu stress yang sangat besar pada jantung. Secara klinis terlihat
sebagai kegalan dari pertumbuhan dan perkembangan, kegagalan jantung high
output, kerentanan terhadap infeksi, deformitas dari tulang, fraktur patologis,
dan kematian di usia muda tanpa adanya terapi transfusi.6

16
Gambar 3.4 Patofisiologi thalasemia beta

Thalasemia alpha

Rantai globin yang berlebihan pada thalasemia α adalah rantai γ dan yang
kurang atau hilang sintesisnya dalah rantai α. Rantai γ bersifat larut sehingga
mampu membentuk hemotetramer yang meskipun relatif tidak stabil, mampu
bertahan dan memproduksi molekul Hb yang lain seperti Hb Bart (γ4) dan Hb
H (β4). Perbedaan dasar inilah yang mempengaruhi lebih ringannya
manisfestasi klinis dan tingkat keparahan penyakitnya dibandingkan dengan
thalasemia beta.6

Patofisiologi thalasemia α sebanding dengan jumlah gen yang terkena. Pada


thalasemia α homozigot (-/-) tidak ada rantai α yang diproduksi. Pasiennya
hanya memiliki Hb Bart’s yang tinggi dengan Hb embrionik. Meskipun kadar
Hb nya tinggi tapi hampir semuanya adalah Hb Bart’s sehingga sangat
hipoksik yang menyebabkan sebagian besar pasien lahir mati dengan tanda
hipoksia intrauterin.6

Bentuk thalasemia α heterozigot (α0 dan -α+) menghasilkan


ketidakseimbangan jumlah rantainya tetapi pasiennya dapat mampu bertahan
dengan HbH dimana kelainan ini ditandai dengan adanya anemia hemolitik
karena HbH tidak bisa berfungsi sebagai pembawa oksigen.6

3.6 Diagnosis
1) Anamnesis7
17
 Pucat
 Penurunan nafsu makan
 Gangguan tumbuh kembang
 Mata kuning
 Warna kencing gelap
 Sering demam karena hipermetabolik eritropoiesis
 Umumnya mulai timbul saat usia 6 bulan
 Diagnosis hanya berdasarkan adanya kelainan hematologi
 Bila menerima transfusi pertumbuhan akan normal sampai puber. Namun
semakin dewasa akan terjadi penumpukan besi yang dapat menyebabkan
efek samping seperti DM, hipertiroid, hipoparatiroid, gagal hati, dan
gagal jantung.
2) Pemeriksaan fisik7
 Fasies mongoloid atau facies Cooley
Terjadi keaktifan sumsum tulang yang luar biasa pada tulang muka dan
tulang tengkorak hingga nengakibatkan perubahan perkembangan tulang
tersebut dan umumnya terjadi pada anak usia lebih dari 2 tahun.

Gambar 3.5 Facies Cooley pada thalasemia mayor

 Pucat
Merupakan gejala umum pada penderita thalassemia, yang berkaitan
dengan anemia berat. Penyebab anemia pada thalassemia bersifat primer
dan sekunder. Primer adalah berkurangnya sintesis Hb A dan eritropoesis
yang tidak efektif disertai penghancuran sel-sel eritrosit intramedular.
18
Sedangkan yang sekunder mengakibatkan hemodilusi, dan destruksi
eritrosit oleh sistem retikuloendotelial dalam limpa dan hati.

 Pembesaran perut (hepatospleenomegali)


Pada anak yang besar tampak perut yang membuncit akibat pembesaran
hati dan limpa. Hati dan limpa membesar akibat dari hemopoisis
ekstrameduler dan hemosiderosis. Dan akibat dari penghancuran eritrosit
yang berlebihan itu dapat menyebabkan terjadinya peningkatan biliribin
indirek, sehingga menimbulkan kuning pada penderita thalassemia dan
kadang ditemui trombositopenia.

Gambar 3.6 Hepatospleenomegali

 Ikterus atau sub-ikterus


 Kardiomegali karena anemia kronik
 Terkadang ditemukan pembesaan ginjal yang disebabkan oleh
hemopoiesis ekstramedular
 Pertumbuhan terhambat, bahkan tidak dapat mencapai adolesens karena
adanya anemia kronik
 Bila pasien ini mencapai pubertas, akan timbul komplikasi akibat
penimbunan besi yaitu Keterlambatan menarke (pada anak perempuan)
dan gangguan perkembangan sifat seks sekunder akibat dari
hemosiderosis yang terjadi pada kelenjar endokrin. Selain pada kelenjar
endokrin, hemosiderosis pada pankreas dapat menyebabkan diabetes
mellitus. Siderosis miokardium menyebabkan komplikasi ke jantung.
19
3) Pemeriksaan penunjang7
a) Darah
 Darah rutin
Kadar hemoglobin menurun. Dapat ditemukan peningkatan jumlah
lekosit, ditemukan pula peningkatan dari sel PMN. Bila terjadi
hipersplenisme akan terjadi penurunan dari jumlah trombosit.

 Hitung retikulosit
Hitung retikulosit meningkat antara 2-8 %.

 HDT
Anemia pada thalassemia mayor mempunyai sifat mikrositik
hipokrom. Pada gambaran sediaan darah tepi akan ditemukan
retikulosit, poikilositosis, tear drops sel dan target sel.

Gambar 3.7 Gambaran darah tepi pada thalasemia

 Serum Iron & Total Iron Binding Capacity


Kedua pemeriksaan ini dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan
anemia terjadi karena defisiensi besi. Pada anemia defisiensi besi SI
akan menurun, sedangkan TIBC akan meningkat.

 LFT
Kadar unconjugated bilirubin akan meningkat sampai 2-4 mg%. bila
angka tersebut sudah terlampaui maka harus dipikir adanya
20
kemungkinan hepatitis, obstruksi batu empedu dan cholangitis. Serum
SGOT dan SGPT akan meningkat dan menandakan adanya kerusakan
hepar. Akibat dari kerusakan ini akan berakibat juga terjadi kelainan
dalam faktor pembekuan darah.

b) Elektroforesis Hb
Diagnosis definitif ditegakkan dengan pemeriksaan eleltroforesis
hemoglobin. Pemeriksaan ini tidak hanya ditujukan pada penderita
thalassemia saja, namun juga pada orang tua, dan saudara sekandung jika
ada. Pemeriksaan ini untuk melihat jenis hemoglobin dan kadar Hb A2.
petunjuk adanya thalassemia α adalah ditemukannya Hb Barts dan Hb H.
Pada thalassemia β kadar Hb F bervariasi antara 10-90%, sedangkan
dalam keadaan normal kadarnya tidak melebihi 1%.

c) Sumsum tulang
Pada sumsum tulang akan tampak suatu proses eritropoesis yang sangat
aktif sekali. Ratio rata-rata antara myeloid dan eritroid adalah 0,8. pada
keadaan normal biasanya nilai perbandingannya 10 : 3.

d) Pemeriksaan rongent
Ada hubungan erat antara metabolisme tulang dan eritropoesis. Bila tidak
mendapat tranfusi dijumpai osteopeni, resorbsi tulang meningkat,
mineralisasi berkurang, dan dapat diperbaiki dengan pemberian tranfusi
darah secara berkala. Apabila tranfusi tidak optimal terjadi ekspansi
rongga sumsum dan penipisan dari korteknya. Trabekulasi memberi
gambaran mozaik pada tulang. Tulang terngkorak memberikan
gambaran yang khas, disebut dengan “hair on end” yaitu menyerupai
rambut berdiri potongan pendek pada anak besar.

21
Gambar 3.8 Gambar hair on end dan trabekulasi tulang pada thalasemia

4) Diagnosis prenatal7
Bertujuan untuk mengetahui sedini mungkin apakah janin yang
dikandung menderita talasemia mayor. Diagnosis ini terutama ditujukan
pada janin dari pasangan baru yang sama-sama pengemban sifat talasemia
serta janin dari pasangan yang telah mendapat bayi talasemia sebelumnya.
Diagnosis ini dilakukan dengan menggunakan darah yang diperoleh dari
fetus berusia 18-20 minggu, kemudian dilanjutkan dengan analisis terhadap
produksi rantai ß retikulosit. Diagnosis talasemia-ß homozigot ditegakkan
jika tidak terdapat produksi rantai ß atau produksinya sangat rendah.

3.7 Tatalaksana
Hingga saat ini belum ada obat yang dapat menyembuhkan penyakit
talasemia. Penatalaksanaan penyakit ini dilakukan dengan beberapa cara,
yaitu:8

1) Suportif
a. Transfusi darah
Tujuan dari transfusi darah yaitu untuk mempertahankan kadar Hb
sebagai dampak adanya anemia berat. Hb pasien dipertahankan antara
8g/dl sampai 9,5 dimana keadaan ini akan memberikan supresi sumsum
tulang yang adekuat, darah diberikan dalam bentuk PRC 3 ml/kgBB
untuk setiap kenaikan Hb 1g/dl. Transfusi biasanya setiap dua sampai
tiga minggu sekali tergantung dari kondisi anak.8

22
b. Medikamentosa
- Pemberian iron chelating agent untuk mengeluarkan besi dari
jaringan tubuh. Pemberian secara teratur membantu mengurangi
terjadinya hemosiderosis.
Indikasi jika ferritin 1000 μg/L atau transferin >50% atau 10-20 kali
transfusi.

Desferioxamin, dosis 25-50 mg/kgBB/hari diberikan secara IV selama


5 hari berturut-turut setiap selesai transfusi.

Deferiprone (ferriprox) 50-75 mg/kgBB/hari diberikan 3 kali sehari.


Efek timbunan ke organ minimal, sehingga paling sering digunakan.

Deferasirox 20-30 mg/kgBB/hari diberikan 1 kali sehari.

- Pemberian asam folat 2-5 mg/hari untuk memenuhi kebutuhan yang


meningkat, khususnya pada pasien yang jarang mendapat transfusi
darah.
- Vitamin E 200-400 IU (International Unit) setiap hari sebagai
antioksidan dapat memperpanjang umur sel darah merah.
- Vitamin C 100-250 mg/hari selama pemberian kelasi besi, untuk
meningkatkan efek kelasi besi
2) Bedah8
- Splenektomi diindikasikan bila terjadi hipersplenisme yang membatasi
gerak pasien, meningkatkan tekanan intraabdominal yang mengganggu
pernapasan, serta beresiko ruptur limpa.
- Transplantasi sumsum tulang: perlu dipertimbangkan pada setiap kasus
baru dengan talasemia mayor. Pada saat ini keberhasilannya hanya
mencapai 30% kasus.
3) Lain-lain8
Dilakukan pemantauan fungsi organ lainnya seperti jantung, paru-paru, hati,
organ endokrin (termasuk kadar glukosa darah), gigi, telinga, mata, dan
tulang.

3.8 Komplikasi
23
Anemia yang berat dan lama sering mengakibatkan terjadinya gagal
jantung. Transfusi darah yang berulang-ulang dan adanya proses hemolisis
menyebabkan kadar besi dalam darah sangat tinggi, sehingga ditimbun dalam
berbagai jaringan tubuh seperti hepar, limpa, kulit, jantung, dan lain-lain. Hal
ini dapat mengakibatkan gangguan fungsi organ-organ tersebut
(hemokromatosis). Limpa yang besar mudah mengalami ruptur dengan trauma
yang ringan. Kadang-kadang talasemia disertai oleh tanda hipersplenisme
seperti leukopenia dan trombopenia. Kematian terutama disebabkan oleh
infeksi dan gagal jantung.8

3.9 Pencegahan
Kelahiran penderita talasemia dapat dicegah dengan9:
1. Pencegahan primer
Penyuluhan sebelum perkawinan untuk mencegah perkawinan diantara
penderita talasemia agar tidak medapat keturunan yang homozigot atau
varian-varian talasemia dengan mortalitas yang tinggi.

2. Pencegahan sekunder
Pencegahan kelahiran bayi homozigot dari pasangan suami istri dengan
talasemia heterozigot.

24
BAB IV

PEMBAHASAN

4.1 Dasar Penegakan Diagnosis


Penegakan diagnosis thalasemia didapatkan dari anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis pada pasien ini didapatkan
bahwa pasien mengeluh lemas, ibu pasien juga mengatakan bahwa anaknya
tampak pucat, malas beraktivitas dan nafsu makan menurun. Hal ini sesuai
dengan teori dimana pada pasien dengan thalasemia terjadi kegagalan
pembentukan salah satu atau seluruh rantai asam amino pembentuk Hb,
sehingga Hb tidak terbentuk sempurna. Karena Hb tidak terbentuk sempurna,
maka membran sel eritrosit akan mengalami kerusakan yang mengakibatkan
eritrosit menjadi lisis (hemolisis). Akibatnya jumlah Hb maupun eritrosit
dalam darah dibawah nilai normal dan terjadilah anemia. Selain kerusakan
membran sel darah, hemoglobin yang tidak terbentuk sempurna juga akan
menyebabkan terjadinya presipitasi prekursor eritroid di dalam sum-sum
tulang yang mengakibatkan prekursor eritroid mengalami kematian prematur
sehingga eritropoiesis tidak efektif dan terjadi anemia. Karena hemoglobin
tidak terbentuk dengan sempurna, maka transport oksigen dari paru-paru ke
jaringan tubuh akan mengalami gangguan sehingga pasien merasa lemas.
25
Karena pasien merasa lemas, nafsu makan pun ikut menurun dan lebih sering
cepat lelah walaupun melakukan aktivitas ringan.

Ibu pasien juga mengatakan bahwa anaknya sudah didiagnosis thalasemia


sejak usia 2 tahun dan sudah rutin melakukan transfusi darah. Dari pernyataan
ibu pasien ini sangat mendukung diagnosis thalasemia. Namun karena pada
saat penulis ingin melihat hasil pemeriksaan elektroforesis Hb saat pasien
pertama kali terdoagnosis, pada saat itu keluarga mengatakan bahwa hasil
pemeriksaanya tertinggal di rumah sehingga penulis tidak mengetahui pasien
ini termasuk klasifikasi thalasemia alfa atau beta. Namun berdasarkan teori
bahwa pasien thalasemia alfa mayor kebanyakan lahir mati atau meninggal di
dalam kandungan. Dari teori tersebut penulis menduga bahwa pasien ini
mengalami thalasemia jenis beta mayor. Ibu pasien juga mengatakan bahwa
pasien sudah sering melakukan tranfusi, hal ini memperkuat pernyataan
bahwasannya penderita thalasemia beta mayor, hidupnya bergantung dari
tranfusi darah. Selain itu, pernyataan ini juga dapat menyingkirkan diagnosis
banding thalasemia minor, karena pada thalasemia minor penderita lebih
banyak tanpa gejala. Sebaliknya pad apasien ini disertai dengan gejala yang
jelas.

Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum lemah, HR 100x/menit,


RR 25x/menit, Tax 36,3 oC, dimana tanda vital dalam batas normal. Pada status
antropometri didapatkan BB 27 kg, TB 110 cm. Berdasarakan grafik CDC
berat badan terhadap usia pasien disini melebihi persentil 95 sehingga
dikategorikan tidak normal (melebihi) menurut usinya. Sedangkan tinggi badan
berdasarkan usia berada dibawah persentil 75, sehingga termasuk dalam
kategori normal. Berdasarkan data berat badan dan tinggi badan, diketahui
BMI dari pasien ±22 kg/m2 dimana nilai ini dimasukkan ke dalam grafik CDC
BMI terhadap usia termasuk kedalam tipe overgeight. Keadaan ini berbanding
terbalik dengan keadaan pasien thalasemia pada umumnya dimana mereka
sering mengalami gangguan tumbuh kembang. Penulis tidak mengetahui
secara pasti alasan kedaan pasien terkait hal ini karena penulis tidak

26
menanyakan status gizi yang diberikan oleh keluarga di rumah serta pola
eliminasi pasien saat di rumah.

Pada pemeriksaan fisik ditemukan anemis pada kedua konjungtiva mata.


Hal ini sesuai dengan teori bahwa pada pasien thalasemia akan ditemukan
manifestasi klinis berupa anemia yang bisa dilihat pada konjungtiva dari
pasien. Karena konjungtiva bersifat transparan maka sangat baik untuk melihat
kondisi anemia karena pembuluh darah lebih tampak jelas. Pada orang normal
pembuluh darah dibawah konjungtiva akan terlihat merah karena jumlah sel
darah maupun Hb mencukupi untuk sampai ke jaringan perifer dengan baik,
sebaliknya pada pasien thalasemia akan terlihat lebih pucat karena jumlah Hb
maupun sel darah merah dibawah nilai normal.

Pada pemeriksaan fisik abdomen tampak abdomen sedikit buncit pada regio
kuadran kiri atas dan tengah, teraba kenyal namun tidak nyeri tekan. Setelah di
lakukan pemeriksaan palpasi dalam dan perkusi diketahui bahwa terdapat
pembesaran limpa pada titik Schuffner 2. Hal ini sesuai dengan teori dimana
pada pemeriksaan fisik pasien thalasmeia dapat ditemukan tanda salah satunya
adalah spleenomegali / pembesaran limpa. Pembesaran limpa ini terjadi karena
adanya hemopoiesis ekstramedular. Karena Hb yang tidak terbentuk dengan
sempurna sehingga sel darah merah banyak yang mati secara dini dan produksi
sel darah merah dari sum-sum tulang tidak mencukupi, maka limpa melakukan
kompensasi dengan melakukan hemopoiesis ekstramedular. Telah diketahui
bahwa limpa juga bekerja untuk menghancurkan sel darah merah yang yang
sudah waktunya mati maupun sel darah merah yang abnormal. Sehingga
dengan tugas ini, maka tugas limpa akan semakin berat. Karena hal tersebut,
sel-sel limpa semakin berproliferasi untuk mengimbangi tugas beratnya
sehingga bermanifestasi berupa spleenomegali.

Dari pemeriksaan penunjang darah didapatkan Hb pasien 7,8 g/dl dimana


nilai tersebut lebih rendah dari nilai normal. Hal ini sesuai dengan teori dimana
pada pasien dengan thalasemia terjadi defek pada pembentukan Hb sehingga
Hb tidak terbentuk sempurna, sehingga pada pemeriksaan didapatkan nilai Hb
akan lebih rendah dari normal.
27
Pada pasien ini tidak dilakukan pemeriksaan penunjang lain untuk
menyingkirkan diagnosis anemia yang disebabkan non thalasemia karena pada
awal keluhan sudah dilakukan pemeriksaan Hb elektroforeis dan ditegakkan
diagnosis thalasemia.

Dari data hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang


working diagnosis dari pasien adalah thalasemia.

4.2 Dasar Pemilihan Terapi


Hingga saat ini belum ada obat yang dapat menyembuhkan penyakit
talasemia. Pengobatan hanya ditujukan untuk tindakan supportif. Pada pasien
ini diberikan terapi berupa transfusi PRC dengan tujuan untuk
mempertahankan kadar Hb sebagai dampak adanya anemia berat.

Sesuai dengan teori, darah diberikan dalam bentuk PRC 3 ml/kgBB untuk
setiap kenaikan Hb 1g/dl. Pada pasien ini diketahui Hb masuk sebesar 7,8
mg/dl. Dengan menggunakan rumus PRC 3ml/kgBB untuk setiap kenaikan Hb
1g/dl, maka untuk meningkatkan kadar Hb dengan target Hb post tranfusi
adalah 12 gr/dl dibutuhkan PRC ±350 cc. Terdapat rumus lain yang lebih teliti
yang dapat digunakan untuk menghitung kebutuhan PRC yaitu: [(Hb terget –
Hb saat ini) x BB x 4]. Dengan rumus tersebut maka kebutuhan PRC pada
pasien ini sebanyak 453,6 cc. Pada pasien ini diberikan PRC 2 labu (500 cc)
dengan harapan kadar Hb meningkat mencapai nilai normal.

Selain diberikan terapi tranfusi pada pasien juga diberikan terapi khelasi
besi berupa deferiprone (ferriprox) sirup 3x5 ml. Deferiprone merupakan agen
khelasi besi yang berfungsi mengikat zat besi yang berlebihan di dalam
jaringan dan mengeluarkannya dari tubuh. Tranfusi darah yang berulang-ulang
dan adanya proses hemolisis menyebabkan kadar besi dalam darah sangat
tinggi, sehingga ditimbun dalam berbagai jaringan tubuh seperti hepar, limpa,
kulit, jantung, dan lain-lain. Zat besi yang menumpuk dan tertimbun di dalam
jaringan tersebut apabila tidak dikeluarkan akan memberikan efek buruk
berupa hemisiderosis yang akan menimbulkan komplikasi yang lebih fatal.
Pasien juga diberikan tablet vitamin E sebagai antioksidan dengan harapan

28
dapat memperpanjang umur sel darah merah. Diberikan juga tablet asam folat
untuk memenuhi kebutuhan produksi sel darah merah yang meningkat.

BAB V

PENUTUP

5.1 Simpulan
Thalasemia adalah suatu penyakit kongenital herediter yang diakibatkan
oleh kelainan sintesis hemoglobin dimana terjadi kegagalan pembentukan
salah satu atau lebih dari empat rantai asam amino yang membentuk
hemoglobin. Akibatnya akan terjadi anemia mikrositik oleh karena
hemoglobinisasi eritrosit yang tidak efektif. Di Indonesia sendiri, jumlah
penderita thalasemia mengalami kenaikan setiap tahunnya. Thalasemia
diturunkan secara autosomal resesif menurut hukum Mendel dari orang tua
kepada anak-anaknya. Thalasemia diklasifikasikan berdasarkan molekuler
menjadi dua yaitu thalasemia alfa dan thalasemia beta. Thalasemia alfa terbagi
menjadi 4 berdasarkan delesi dari rantai globin alfa yaitu: 1) silent carrier state
2) alfa thalasemia trait/carrier 3) Hb H disease 4) alfa thalasemia mayor
(hydrops fetalis). Sedangkan thalasemia beta dibagi menjadi: 1) thalasemia
beta minor (trait) 2) thalasemia beta intermedia 3) thalasemia beta mayor.
Diagnosis thalasemia ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang. Hingga saat ini belum ada obat yang dapat
menyembuhkan penyakit talasemia. Penatalaksanaan penyakit ini dilakukan
dengan beberapa cara, yaitu suportif (tranfusi darah dan pemberian obat-

29
obatan) dan pembedahan. Komplikasi yang sering timbul adalah gagal jantung
akibat anemia yang berat. Transfusi darah yang berulang-ulang dan adanya
proses hemolisis menyebabkan kadar besi dalam darah sangat tinggi, sehingga
ditimbun dalam berbagai jaringan tubuh dan dapat mengakibatkan gangguan
fungsi organ-organ (hemokromatosis). Pencegahan kelahiran thalasemia dapat
dicegah dengan pencegahan primer dan sekunder. Pencegahan primer
dilakukan melalui penyuluhan sebelum perkawinan, dan pencegahan sekunder
dilakukan melalui pencegahan kelahiran bayi homozigot dari pasangan suami
istri dengan thalasemia heterozigot.

5.2 Saran
Pemahaman tentang penyakit thalasemia masih sangat kurang di
masyarakat, terutama pada masyarakat dengan pendidikan rendah sehingga
meningkatkan angka morbiditas dan mortalitas pada anak. Dengan demikian
perlu diberikan komunikasi, informasi, dan edukasi kepada masyarakat terkait
pencegahan kelahiran thalasemia agar tidak muncul penderita thalasemia
dengan jumlah yang semakin meningkat.

30
DAFTAR PUSTAKA

1. Berhman, RE; Kliegman, RM ; Arvin: Nelson Ilmu Kesehatan Anak, volume


2, edisi 15. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta : 2005, hal1708-1712
2. Berhman, RE; Kliegman, RM and Jensen, HB: Nelson Text Book of Pediatrics,
16th edition. WB Saunders company, Philadelphia: 2000, page 1630-1634
3. Permono, H. BAmbang; Sutaryo; Windiastuti, Endang; Abdulsalam, Maria;
IDG Ugrasena: Buku Ajar Hematologi-Onkologi Anak, Cetakan ketiga.
Penerbit Badan Penerbit IDAI, Jakarta : 2010, hlm 64-84
4. Lawrence TM et al. Diagnosis dan terapi kedokteran penyakit dalam. Jakarta:
Salemba Medika, 2003.
5. Paediatrica Indonesiana, The Indonesian Journal of pediatrics and Perinatal
Medicine, volume 46, No.5-6. Indonesian Pediatric Society, Jakarta: 2006,
page 134-138
6. Children's Hospital & Research Center Oakland. 2005. “What is Thalassemia
and Treating Thalassemia”.
7. Cotran RS, Kumar V, Collins T. Robbins Pathologic basis of diseases (Sixth
Edition). Philadelphia: WB Saunders Co, 1999.
8. Hugnes–Jones NC, Wickramasinghe SN. Catatan kuliah hematology (Edisi
kelima). Jakarta: ECG; p.46-51.

31
9. Hoffbrand AV, Pettit JE. Kapita Selekta Hematologi (Edisi kedua). Jakarta:
ECG,1996; p.78-83. 10

32

Anda mungkin juga menyukai