Anda di halaman 1dari 14

PENGUMPULAN AL-QUR’AN

TUGAS

Disusun untuk memenuhi mata kuliah Ulumul Qur’an dan Hadits pada jurusan
Perbankan syariah

Dosen Pembina:

Asmaul Husna,S.Pd.I.,MA.

Disusun Oleh:

M.Faris Ardian -180603007

Azfa Azkia Ulhaq -180603031

Zikrillah Irwanda -180603024

Muhammad Haikal -180603268

PROGRAM SARJANA PERBANKAN SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

UIN AR-RANIRY

BANDA ACEH

TAHUN AJARAN 2019-2020

i
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, Puja dan
Puji syukur kami panjatkan kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan Rahmat, Hidayah, dan
Inayah-Nya sehingga kami dapat merampungkan penyusunan makalah Ulumul Qur’an dan
Hadist dengan judul "Pengumpulan Al-Qur’an" tepat pada waktunya.

Penulisan makalah ini telah semaksimal mungkin kami upayakan dan didukung
bantuan berbagai pihak, sehingga dapat memperlancar dalam penyusunannya. Untuk itu tidak
lupa kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam
pembuatan makalah ini.

Namun tidak lepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih terdapat
kekurangan baik dari segi penyusunan bahasa dan aspek lainnya. Oleh karena itu, dengan
lapang dada kami membuka selebar-lebarnya pintu bagi para pembaca yang ingin memberi
saran maupun kritik demi memperbaiki makalah ini.

Akhirnya penyusun sangat mengharapkan semoga dari makalah sederhana ini dapat
diambil manfaatnya dan besar keinginan kami dapat menginspirasi para pembaca untuk
mengangkat permasalah lain yang berkaitan pada makalah-makalah selanjutnya.

BandaAceh,1 Mei 2019

Penyusun

ii
Daftar Isi

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang ...................................................................................................... 1


2. Rumusan Masalah ................................................................................................. 2
3. Tujuan ................................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN

1. Pengumpulan al-Qur’an Pada Masa Nabi Muhammad ........................................ 3


2. Pengumpulan al-Qur’an Pada Masa Abu Bakar ................................................... 5
3. Pengumpulan al-Qur’an Pada Masa ‘Utsman ....................................................... 6
4. Tertib Ayat dan Surat Dalam al-Qur’an................................................................ 8

BAB III PENUTUP

Kesimpulan ..................................................................................................................... 10

Daftar Pustaka ................................................................................................................. 11

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Al-Qur’an, sebagaimana yang disampaikan oleh as-Shabuni adalah Kalam Allah yang
bernilai Mu’jizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad dengan perantara Malaikat Jibril
yang tertulis dalam Mashahif. Dan membacanya bernilai Ibadah. Yang diawali dengan Surat
al-Fatihah dan diakhiri dengan Surat an-Nas.1

Mengacu pada definisi tersbut agaknya kita akan memahami bahwa al-Qur’an memang
berupa satuan buku yang tertulis. kendati al-Qur’an diwahyukan secara lisan, Al-Qur'an
sendiri secara konsisten menyebut dirinya sebagai kitab tertulis. Penulisan Wahyu memang
telah dilakukan sejak Zaman Rasulullah, bahkan Nabi sendiri yang memerintahkan hal
tersebut.

Namun untuk pembukuannya bukanlah nabi yang memerintahkan, al-Qur’an dibukukan


setalah Nabi Wafat. Terlebih jika kita membaca al-Qur’an yang saat ini biasa kita baca, maka
kita akan dikejutkan dengan fakta bahwa ayat yang pertama kali turun justru diletakan
dibagian akhir dari al-Qur’an, bukan di awal. Seharusnya itu menjadi pertanyaan tersendiri
bagi kita, lantas siapa yang yang menyusun al-Qur’an hingga akhirnya bisa menjadi seperti
yang kita baca saat ini?.

Untuk itu maka perlu kajian yang khusus membahas hal tersebut guna setidaknya
memberikan informasi yang memadai mengenai hal tersebut, mengingat kajian semacam itu
akan berpengaruh bagi pembuktian atas keorisinilan al-Qur’an yang kita baca saat ini.
Berdasarkan hal tersebut maka penulis merasa perlu untuk menyusun sebuah makalah pendek
dengan judul “Pengumpulan dan Penertiban al-Qur’an”.

Makalah ini tentu saja bukan makalah yang sangat sempurna dan tidak ada kesalahan
sama sekali, atas hal tersbut penulis meminta maaf atas segala kesalahan yang ada dalam
kmakalah ini, serta mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk penyusunan
makalah-makalah setelahnya.

1
. Muhammad Ali ash- Shabuni, Ikhtisar Ulumul Qur’an Praktis, (Jakarta : Pustaka Amani, 2001). Hal. 3.

1
2.Rumusan Masalah

1. Bagaimana Pengumpulan al-Qur’an dilakukan?


2. Bagaimana Penentuan Urutan Ayat dan Surat dalam al-Qur’an?

3.Tujuan

1. Untuk mengetahui sejarah Pengumpulan al-Qur’an.


2. Untuk mengetahui Penentuan Urutan Ayat dan Surat dalam al-Qur’an.

2
BAB II
PEMBAHASAN

1. Pengumpulan al-Qur’an Pada Masa Rasulullah

Pengertian pengumpulan Al-Qur’an menurut para ‘ulama terbagi menjadi 2 macam


yaitu: Pertama, pengumpulan dalam arti hifzhuhu (menghafalnya dalam hati). Kedua,
pengumpulan dalam arti Kitabatuhu kulluhu (penulisan qur’an semuanya) baik dengan
memisahkan ayat-ayat dan surat-suratnya, atau menertibkan ayat-ayat semata dan setiap surat
ditulis dalam satu lembaran secara terpisah, ataupun menertibkan ayat-ayat dan surat-
suratnya dalam lembaran-lembaran yang terkumpul, yang menghimpun semua surat
sebagiannya ditulis sesudah bagian yang lain.2

Sejak awal pewahyuan Al-Qur’an hingga menjadi sebuah mushaf, telah melalui
proses panjang. Mulai dari Ayat yang pertama turun sampai ayat yang terakhir turun, benar-
benar terjaga kemurniaanya. Upaya untuk menjaga dan memelihara ayat-ayat agar tidak
terlupakan atau terhapus dari ingatan terus-menerus dilakukan. Upaya-upaya tersebut dengan
cara yang sederhana yaitu Nabi Menghafal Ayat-ayat itu dan menyampaikannya kepada para
sahabat yang kemudian juga menghafalnya sesuai dengan yang disampaikan Nabi. Upaya
kedua yang dilakukan Umat Islam dalam upaya pemeliharaan Al-Qur’an adalah mencatat
atau menuliskannya dengan persetujuan Nabi.3

Pada mulanya, bagian-bagian al-Quran yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad


dipelihara dalam ingatan Nabi dan para sahabatnya. Tradisi hafalan yang kuat di kalangan
masyarakat Arab telah memungkinkan terpeliharanya al-Quran dalam cara semacam itu.
Jadi, setelah menerima suatu wahyu, Nabi Lalu menyampaikannya kepada para pengikutnya,
yang kemudian menghafalkannya. Sejumlah hadits menjelaskan berbagai upaya Nabi dalam
merangsang penghafalan wahyu-wahyu yang telah diterimanya. Salah satu di antaranya
adalah yang diriwayatkan oleh Utsman ibn Affan bahwa Rasulullah pernah bersabda: “Yang
terbaik di antara kamu adalah mereka yang mempelajari al-Quran dan kemudian
mengajarkannya.”4

Semasa hidup Nabi Muhammad dikenal beberapa orang yang dijuluki sebagai Qari’
yaitu seorang yang menghafal al-Qur’an, adapun para Qari’ pada masa Nabi Muhammad

2. Mana’ Qathan, Mabahits Fi ‘Ulum al-Qur’an, (Cairo : Maktabah Wahbah, 1995). Hal. 114
3. H.M. Rusdi Khalid, Mengkaji Ilmu-ilmu Al-Qur’an, ( Alauddin Universiti Press : Makassar, 2011). Hal. 55
4 . Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an, (Jakarta : Yayasan Abad Demokrasi, 2011). Hal. 151

3
adalah sebagai berikut : Keempat Khulafa’ur Rasyidin, Tholhah, Said, Ibn Mas’ud, Hudaifa,
Abu Hurairah, Ibn ‘Umar, Ibn Abbas, ‘Amr bin ‘Ash, Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash,
Mu’awiyah bin Abu Sufyan, Ibn Jabir, Abdullah bin Sa’ib, ‘Aisyah, Hafshah, Ummu
Salamah.5

Sedangkan untuk penulisan wahyu yang turun, dikenal beberapa sahabat yang
bertugas untuk menuliskan wahyu yang turun atas perintah Rasulullah sendiri. Para penulis
wahyu tersebut kemudian mendapat julukan sebagai Kutabul Wahyu. Adapun para penulis
wahyu pada masa nabi muhammad yaitu Khulafaur Rasyidin, Muawiyah, Zaid bin Sabit,
‘Ubai bin Ka’ab, Khalid bin Al-Walid dan Tsabit bin Qays.6

Namun karena keterbatasan media tulis yang digunakan pada waktu itu sehingga para
sahabat menggunakan apa saja yang dapat digunakan sebagai media tulis dalam menuliskan
wahyu. Beberapa media tulis yang digunakan para sahabat untuk menuliskan wahyu
sebegaimana yang disampaikan oleh az-Zarqany adalah : lembaran lontar atau perkamen
(Riqa), batu tulis berwarna putih (Likhaf), pelapah kurma (Asib), tulang belikat(Aktaf), tulang
rusuk (Adlla’), lembaran kulit (Adim).7

Namun yang menjadi catatan dari pengumpulan al-Qur’an pada masa Rasulullah
adalah walupun telah ada penulisan pada masa Rasulullah atas perintah beliau sendiri, hanya
saja pada saat itu al-Qur’an yang dituli masih berupa lembaran yang tercecer dan belum
disatukan. Mengenai hal tersebut, az-Zarqany secara khusus menjelaskan alasan yang
mendasari hal tersebut, yaitu :8

1. Keterbatasan Media untuk membukukan al-Qur’an pada masa Rasulullah, tidak


seperti pada masa Abu Bakar bahkan ‘Utsman yang cenderung lebih mudah
menemukan bahan baku pembukuannya.
2. Pada saat itu para Qari’ masih sangat banyak, dan Islam belum menyebar seperti pada
masa Abu Bakar maupun Ustman.
3. Singkatnya jarak antara berhentinya wahyu dan wafatnya Nabi.
4. Ayat-Ayat al-Qur’an yang turun terkadang untuk menghapus keberlakuan ayat
sebelumnya.

5. Muhammad Abdul Adzim az-Zarqany, Manahil al-‘Irfan Fi ‘Ulum al-Qur’an, Jilid I, (Beirut : Dar al-Kitab al-`Araby,
1995). Hal. 199
6. Shubhi Sholih, Mabahits Fi ‘Ulum al-Qur’an, Cet. X. (Beirut : Dar al-Ilmi, 1977). Hal. 68
7 . az-Zarqany, Ibid. Hal. 202
8
. az-Zarqany, Ibid. Hal. 204

4
5. Al-Qur’an tidak turun sekaligus, melainkan dengan jalan sedikit demi sedikit
(Munajaman) selama rentang duapuluh tahun atau lebih.
6. Urutan ayat turun kepada Nabi berdasarkan Asbabun Nuzul, sedangkan urutan ayat
dalam al-Qur’an tidak disusun berdasakan hal tersebut.
2. Pengumpulan al-Qur’an Pada Masa Abu Bakar

Ketika Rasulullah telah Wafat, al-Qur’an memang telah terkumpul di dada para
sahabat berupa hafalan serta telah dituliskan dalam lembaran-lembaran. Namun al-Qur’an
yang ditulis para sahabat tersebut masih berupa lembaran-lembaran yang tercecer ditangan
para sahabat atau dengan kata lain al-Qur’an pada saat itu masih belum sepenuhnya
terbukukan. Sehingga ketia terjadi perang Yamamah yang terjadi setahun setelah wafatnya
Nabi yang menewaskan 70 Qari’ menimbulkan kegelisahan dihati ‘Umar bin Khattab hingga
kemudian mendesak Abu Bakar untuk segera membukukan al-Qur’an mengingat para Qari’
telah banyak yang meninggal sedangkan al-Qur’an yang tertulis masih berupa lembaran-
lembaran yang tercecer.9

Atas desakan ‘Umar tersebut kemudian Abu Bakar berkenan untuk memerintahkan
pengumpulan tersebut walaupun pada awalnya beliau menolaknya dengan alasan bahwa hal
tersebut bukanlah perbuatan yang dilakukan oleh Nabi, namun ‘Umar meyakinkannya
dengan alasan bahwa pembukuan tersebut adalah hal yang baik dan sangat penting. Setelah
Abu Bakar merasa yakin dengan keputusannya tersebut, maka diutuslah Zaid bin Tsabit
untuk mulai mengumpulkan al-Qur’an.10

Pemilihan Zaid sebagai orang yang ditugasi untuk mengumpulkan al-Qur’an menurut
beberapa Ahli Ilmu Qur’an didasarkan oleh beberapa alasan diantaranya adalah Zaid adalah
seorang yang cerdas, masih muda, dan tidak memiliki sifat tercela, selain itu peranannya
sebagai penulis wahyu dimasa Rasulullah menjadi alasan yang mendsari pemilihannya.11

Dalam mengumpulkan al-Qur’an Zaid menggunakan metode yang sangat teliti


berdasarkan arahan yang diberikan oleh abu Bakar dan ‘Umar. Selama pengumpulan
tersebut, Zaid tidak serta-merta mengandalkan hafalan yang dimilikinya, tidak juga dengan

9 . Philip K. Hitti, History of The Arabs, (Jakarta : PT. Serambi Ilmu Semesta, 2013). Hal. 154.
10. Badruddin Muhammad bin Abdullah az-Zarkasy, al-Burhan Fi Ulum al-Qur’an, (Cairo : Dar at-Turats, tt). Hal. 233
11. az-Zarqany, Ibid. Hal. 206

5
apa yang telah ditulisnya maupun yang telah didengarkannya. Dalam pengumpulan tersebut,
zaid menggunakan dua rujukan utama, yaitu 12:

1. Berdasarkan ayat yang telah ditulis dihadapan Rasulullah dan telah disaksikan
langsung oleh beliau.
2. Ayat yang dihafal dan ditulis dalam lembaran dengan menyertakan dua saksi yang
adil yang menyaksikan bahwa ayat tersebut telah benar-benar ditulis dihadapan
Rasulullah.

Adapun yang dimaksud dimaksud dengan disaksikan oleh dua orang adalah, bahwa
hal itu merupakan sesuatu yang ditulis sebagaimana bentuk yang dengannya al-Qur’an telah
diturunkan, atau bahwa yang ditulis itu memang telah ditulis di depan Rasulullah saw. Tujuan
dari penyertaan syarat tersebut adalah agar al-Qur’an tersebut tidak ditulis dengan tulisan
yang sama dengan yang ditulis di depan Rasulullah saw.
Karena itu, kesaksian tersebut bukan kesaksian atas al-Qur’an, karena hal itu tidak
perlu diragukan. Mengingat jumlah para penghafal dan pembacanya sangat banyak. Namun,
kesaksian yang dimaksud di sini adalah kesaksian atas tulisan yang ditulis di depan Nabi saw.
Dengan cara itulah, penulisan tersebut telah selesai dengan sempurna sehingga terkumpul
dalam lembaran yang diikat dengan benang, sebagaimana yang dijelaskan dalam sebagian
riwayat. Inilah peranan yang dimainkan oleh Zayd bin Tsâbit.

3. Pengumpulan al-Qur’an Pada Masa ‘Ustsman bin ‘Affan

Pengumpulan al-Qur’an pada masa ‘Utsman bin ‘Affan punya motif berbeda dengan
pengumpulan al-Qur’an dimasa Abu Bakar, Jika motif Abû Bakar mengumpulkan al-Qur’an
karena khawatir akan hilangnya materi yang tertulis tadi sebagai akibat dari banyaknya para
penghafal dan pembaca yang telah meninggal dunia, maka motif ‘Utsmân adalah karena takut
akan terjadinya perbedaan yang meruncing mengenai ragam bacaan.

Pada masa ‘Utsman ini Islam telah tersebar luas dan kaum Muslimin telah hidup
berpencar ke berbagai pelosok. Di berbagai daerah telah terkenal Qira’at sahabat yang
mengajarkan al-Qur’an kepada penduduk setempat. Penduduk Syam memakai Qira’at Ubay
bin Kaab, penduduk Kuffah memakai Qira’at Abullah bin Mas’ud, penduduk di wilayah
lainnya menggunakan Qira’at Abu Musa al-Asy’ary. Tidak jarang terjadi pertentangan

12. Ibid.

6
mengenai masalah bacaan dikalangan pengikut sahabat-sahabat tersebut, hingga kemudian
pertentangan tersebut memuncak menjadi perpecahan dikalangan Muslimin sendiri.13

Kondisi semacam ini kemudian didengar oleh Hudaifah bin Yaman. Ketika Hudaifah
mengetaui hal tersebut, maka dengan sesegera mungkin beliau melaporkannya kepada
Khalifah ‘Utsman agas segera ditindak lanjuti. Setelah mendapatkan laporan tersebut,
‘Utsman segerah mengirim surat kepada Hafshah yang berisikan perintah untuk memberikan
al-Qur’an yang telah dibukukan Zaid sebelumnya untuk kemudian diperbanyak dan
disebarluaskan ke seluruh penjuru. Untuk membukukan al-Qur’an tersebut, ‘Ustman
mengutus empat orang sahabat untuk membukukan al-Qur’an, dari keempat orang tersebut
tiga diantaranya adalah muhajirin dan satu orang lainnya adalah kaum anshar, empat orang
tersebut adalah : Zaid bin Tsabit, ‘Abdullâh bin Zubayr, Sa’id bin al-‘Ash, ‘Abdurrahmân bin
al-Harits bin Hisyam.14
Dalam melakukan pembukuan tersebut, keempat orang tersebut berpegang pada
arahan dari ‘Utsman, yaitu 15:
1. Menjadikan Mushaf Abu Bakar yang telah dibukukan oleh Zaid bin Tsabit
sebagai acuan pokok dan dumber utama dalam penulisan al-Qur’an.
2. Mengacu pada Mushaf Abu Bakar tersebu dalam hal penulisan dan urutannya, dan
apabila terdapat perbedaan pendapat dikalangan para anggota panitia, maka
mengacu berdasarkan dialek Quraisy karena al-Qur’an diturunkan dengan dialek
Quraisy.
3. Dan al-Qur’an tidak ditulis kecuali berdasarkan persetujuan antara para panitia,
dan para sahabat bersepakat bahwa al-Qur’an yang telah dibukukan tersebut
sebagai al-Qur’an sebagaimana yang diturunkan kepada Rasulullah.

Usaha yang dilakukan oleh ‘Ustman tersebut mendapatkan apresiasi yang sangat
dikalangan sahabat, sehingga hasil dari usaha tersebut mendapat pengakuan dari kalangan
sahabat dan mereka meyakini bahwa al-Qur’an yang dikumpulkan oleh ‘Utsman tersebut
telah sesuai dan sama persis dengan al-Qur’an yang ada pada masa Nabi Muhammad. Baik
dari segi urutan ayat (Tartibul Ayat), maupun urutan Surat (Tartibus suwar), maupun
Qira’atnya. Mushaf ‘Utsman yang telah mendapatkan pengakuan dari para sahabat tersebut

13. Muhammad Ali ash- Shabuni, Ibid, Hal. 89.


14. Badruddin Muhammad bin Abdullah az-Zarkasy, Op. Cit. Hal. 236
15. Musthofa Dhib al-Bigha dan Muhyiddin Dhib Matu, al-Wadih Fi Ulum al-Qur’an, (Damaskus : Dar al-Ulum al-

Insaniyah, 1998). Hal. 91-92

7
kemudian disebarkan dan menjadi pegangan dalam penulisan al-Qur’an hingga saat ini yang
dikenal dengan Mushaf atau Rasm ‘Ustmany.16

4. Tertib Ayat dan Surat dalam al-Qur’an

Umumnya para Ulama’ sependapat bahwa tertib ayat dalam al-Qur’an sebagaimana
yang kita kenal saat ini menganut pedoman ‘Utsman dan penetapan tersebut bersifat Tauqifi
atau ketetapan dari Nabi, riwayat yang masyhur dikalangan para Ulama’ menyebutkan bahwa
Nabi Muhammad ketika turun sebuah ayat akan memerintahkan para sahabat untuk menulis.
Ketika memerintahkan untuk menulis tersebut Nabi berkata : “ Telah datang Jibril kepadaku,
dan dia memerintahkanku untuk meletakan ayat kedalam tempat ini dalam surat ini”.17
Berdasarkan kisah tersebut maka dapat diketahui bahwa ketetapan posisi ayat dalam
al-Qur’an bukan hanya dari Nabi sendiri, bahkan sebenarnya ketetapan tersebut berdasarkan
perintah Allah yang disampaikan lewat perantara Jibril.
Jika susunan Ayat dalam al-Qur’an yang bersifat Tauqifi dan itu telah disepakati oleh
jumhur ‘Ulama, maka hal berbada dialami oleh susunan Surat dalam al-Qur’an. Ketika
membahas susunan suat dalam al-Qur’an para ‘Ulama berbeda pendapat.
Sebagaimana pendapat yang disampaikan oleh as-Suyuthi bahwa para ‘Ulama terpagi
menjadi dua golongan dalam menentukan tertib Surat dalam al-Qur’an. Pendapat yang
Pertama menyatakan bahwa tertib surat dalam al-Qur’an sebagian bersifat Tauqifi sama
seperti tertib Ayat yang bersifat Tauqifi, dan sebagian yang lainnya berdasarkan ijtihad
sahabat. Pendapat ini didukung oleh salah satunya Ibn Faris yang berargumen bahwa
sebagian memang bersifat Tauqifi sebagai mana perintah Allah kepada Nabi Muhammad,
namun sebagian lainnya berdasarkan bacaan para sahabat. Argumen semacam itu didasari
oleh kenyataan bahwa Mushaf para sahabat memiliki Urutan Surat yang berbeda-beda seperti
Mushaf Ali yang disusun berdasarkan kronologi turunnya ayat.18
Sedangkan pendapat kedua menyatakan bahwa susunan surat dalam al-Qur’an bersifat
Tauqifi sepenuhnya. Pendapat ini didukung oleh beberapa tokoh salah satunya al-Kirmani
yang menyatakan bahwa urutan surat dan ayat sudah seperti itu sejak dari Lauhil Mahfudz.
Argumen tersebut didasari oleh riwayat yang mengisahkan bahwa setiap setahun sekali Jibril
mendatangi Rasulullah untuk memeriksa hafalannya, dan pada tahun wafatnya Rasulullah,

16. Mana’ Qathan, Ibid, Hal. 126


17. As-Suyuthi, Ibid. Hal. 396
18. As-Suyuthi, Ibid. Hal. 406.

8
Jibril mendangi beliau setahun dua kali.19 Sedangkan mengenai perbedaan mushaf dikalangan
para sahabat, berkomentar bahwa perbedaan tersebut terjadi karena beberapa sahabat
menyusun al-Qur’an berdasarkan apa yang diketahui berdasarkan Asbabun Nuzul (seperti
kasus Mushaf yang ditulis oleh Ali misalnya).20

19. Ibid. Hal. 407


20. Ibid.

9
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1. Upaya yang dilakukan Rasulullah untuk menjaga dan memelihara ayat-ayat agar tidak
terlupakan atau terhapus dari ingatan dengan cara yang sederhana yaitu Nabi
Menghafal Ayat-ayat itu dan menyampaikannya kepada para sahabat yang kemudian
juga menghafalnya sesuai dengan yang disampaikan Nabi. Upaya kedua yang
dilakukan Umat Islam dalam upaya pemeliharaan Al-Qur’an adalah mencatat atau
menuliskannya dengan persetujuan Nabi.
2. Pembukuan al-Qur’an yang dilakukan oleh Abu Bakar didasari oleh kekhawatiran al-
Qur’an akan hilang jika tidak dikumpulkan karena telah banyak para Qari’ yang
meninggal dan Mushaf al-Qur’an masih tercecer. Atas desakan ‘Umar akhirnya Abu
Bakar berkenan untuk membukukannya dengan memerintahkan Zaid untuk
membukukan al-Qur’an.
3. Pembukuan al-Qur’an yang dilakukan pada masa ‘Ustman didasari oleh perpecahan
dikalngan sahabat akibat perbedaan bacaan yang mereka gunakan sehingga ‘Utsman
memerintahkan untuk membukukan ulang Mushaf yang sudah ada dimasa Abu Bakar
dan menyebar luaskan diseluruh penjuru. Untuk melakukan tugas tersebut ‘Utsman
memerintahkan empat orang sahabat yaitu : Zaid bin Tsabit, ‘Abdullâh bin Zubayr,
Sa’id bin al-‘Ash, ‘Abdurrahmân bin al-Harits bin Hisyam.
4. Jumhur ‘Ulama sepakat bahwa urutan Ayat al-Qur’an adalah Tauqifi berdasarkan
perintah dari Allah yang disampaikan oleh Rasulullah. Sedangkan untuk urutan Surat,
‘Ulama terbagi atas dua pendapat yaitu : Pertama, urutan Surat sebagian adalah
Tauqifi, sebagian lain berdasarkan Qia’at sahabat. Kedua, urutan surat dalam al-
Qur’an sepenuhnya Tauqifi dari Allah.

10
Daftar Pustaka

Mana’ Qathan, Mabahits Fi ‘Ulum al-Qur’an, (Cairo : Maktabah Wahbah, 1995).


H.M. Rusdi Khalid, Mengkaji Ilmu-ilmu Al-Qur’an, ( Alauddin Universiti Press : Makassar,
2011).
Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an, (Jakarta : Yayasan Abad Demokrasi,
2011).
Muhammad Abdul Adzim az-Zarqany, Manahil al-‘Irfan Fi ‘Ulum al-Qur’an, Jilid I,
(Beirut : Dar al-Kitab al-`Araby, 1995).
Shubhi Sholih, Mabahits Fi ‘Ulum al-Qur’an, Cet. X. (Beirut : Dar al-Ilmi, 1977).
Philip K. Hitti, History of The Arabs, (Jakarta : PT. Serambi Ilmu Semesta, 2013).
Badruddin Muhammad bin Abdullah az-Zarkasy, al-Burhan Fi Ulum al-Qur’an, (Cairo : Dar
at-Turats, tt).
Muhammad Ali ash- Shabuni, Ikhtisar Ulumul Qur’an Praktis, (Jakarta : Pustaka Amani,
2001).
Musthofa Dhib al-Bigha dan Muhyiddin Dhib Matu, al-Wadih Fi Ulum al-Qur’an,
(Damaskus : Dar al-Ulum al-Insaniyah, 1998).

11

Anda mungkin juga menyukai