Anda di halaman 1dari 7

JADIKAN IKHLAS SEBAGAI PONDASI SEGALA AMAL PERBUATAN

Oleh : Zainuddin Tamsir


Segala amal perbuatan apa saja, baik yang berhubungan langsung kepada Allah dan
Rosul-NYA, Shollalloohu 'alaihi wasallam maupun yang berhubungan dengan
masyarakat, dengan sesama makhluq pada umumnya, baik yang wajib, yang sunnah
maupun yang wenang, asal bukan perbuatan yang merugikan / bukan perbuatan
yang tidak diridloi Allah Subhanahu wata’ala, melaksanakannya supaya didasari niat
dan tujuan hanya mengabdikan diri kepada Allah Tuhan Yang Maha Esa dengan
IKHLAS ! (LILLAHI TA’ALA).
Penerapan “LILLAH” umumnya ulama’ dan ummat Islam menyebutnya “IKHLASH”.
Jika dua kalimat tersebut disatukan menjadi “Ikhlas Lillah”. Umumnya Ulama dan
masyarakat umum mengambil kalimat yang depan yakni IKHLAS dan istilah di sini
mengambil yang belakang, yakni “LILLAH” dengan maksud agar lebih mengarah
kepada tujuan yang pokok. Karena kalimat “ikhlas” sudah tercampur dengan
pengertian “rela” atau “senang”. Seperti ucapan “saya ikhlas memberikan sesuatu
kepada kekasihku”. Ucapan ini belum pasti didasari tujuan semata-mata karena
ALLAH (LILLAHI TA'ALA). Kemungkinan besar karena kepada kekasihnya dia rela
memberikan sesuatu. Berarti pemberiannya itu karena kekasih (Lil-kekasih) belum
karena ALLAH (LILLH). Akan tetapi jika ucapannya “saya memberi seseuatu kepada
kekasihku dengan LILLAH", berarti pemberiannya itu didasari ikhlas karena ALLAH
(LILLAH). Selain itu dengan ucapan LILLAH sekaligus berdzikir kepada ALLAH.
Di kalangan masyarakat sering terjadi pengartian ikhlas yang salah kaprah. Misalnya
; ikhlas adalah “ketika seseorang melakukan amal ibadah dan setelah itu dia
melupakannya seakan-akan tidak pernah beramal”. Dicontohkan seperti orang
mengeluarkan ludah, Setelah itu dia tak pernah berangan-angan / tidak merasa
kehilangan ludah. Penerapan seperti ini belum mengarah kepada tujuan ibadah
karena ALLAH (belum LILLAH); Masih dimungkinkan pelaksanannya itu karena selain
ALLAH. Yang lebih tepat ungkapan tersebut digunakan untuk menjaga kemurnian
ikhlas LILLAH. Supaya ikhlas LILLAH-nya tidak rusak dengan timbulnya riya (pamer)
atau membanggakan diri (‘ujub), maka di antara cara menjaganya seperti perkataan
tersebut.
Ada lagi yang mengatakan : “Saya bekerja untuk mencari bekal ibadah”. Ucapan
seperti ini jika diterapkan dalam hati masih belum mengarah kepada tujuan LILLAH.
Benarkah hasil kerjanya nanti untuk ibadah kepada ALLAH atau hanya untuk
menuruti kesenangan nafsuinya ? Masih belum jelas dan dikhawatirkan
penyalahgunaannya. Sedangkan bekerjanya itu sendiri bisa langsung dijadikan
ibadah karena ALLAH. Jadi yang lebih tepat adalah “Saya bekerja karena ALLAH
(LILLAH)” atau karena melaksanakan perintah ALLAH, atau semata-mata beribadah
kepada ALLAH. Seamuanya merupakan penerapan “LILLAH”.
Syekh Sahal At-Tustari berkata ; “Penerapan ikhlas adalah hendaknya gerak
diamnya seseorang, baik pada saat sendirian maupun ada orang lain semata-mata
hanya karena ALLAH Ta’ala (LILLAH), tidak dicampuri karena sesuatu baik dorongan
nafsu, menuruti kehendak / kesenangan nafsu maupun pamrih duniawi lainnya”
(Dikutip dari kitab At-Tibyan An-Nawawi Bab 4)
Jadi beribadah itu tidak hanya terbatas pada menjalankan syahadat, sholat, zakat,
puasa dan haji yang menjadi rukun Islam itu saja, juga tidak hanya terbatas pada
menjalankan ibadah-ibadah sunnah seperti membaca Al Qur’an, membaca dzikir,
membaca sholawat, dan sebagainya. Akan tetapi disamping itu semua, segala gerak
gerik manusia, segala tingkah laku dan perbuatannya, sepanjang tidak melanggar
larangan Allah Subhanahu Wata’ala, harus dijadikan sebagai pelaksanaan ibadah
kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Jika hidup manusia ini tidak selalu diarahkan
untuk pengabdian diri / beribadah kepada Allah, ini berarti manusia telah
menyimpang dari haluan hidup dan tujuan dihidupkan sebagaimana yang digariskan
Allah Subhanahu Wata’ala dalam Al-Qur’an Surat no. 51 Adz- Dzaariaat Ayat 56 :
Artinya kurang lebih : “Dan tiada AKU menciptakan jin dan manusia melain-kan agar
supaya mereka beribadah mengabdikan diri kepada-KU” (51-Adz Dzaariyat : 56)
Penyelewengan / penyalahgunaan mandat merupaka suatu kesalahan yang harus
segera ditobati.
Salah satu syarat yang prinsip yang harus diterapkan dalam hati ketika menjalankan
ibadah atau amal perbuatan yang bernialai baik adalah adanya tujuan (niat) di
dalam pelaksanaannya. Setiap niat yang baik bisa diikut sertakan dalam tujuan
beribadah. Akan tetapi sebagai pondasi yang harus dikokohkan yang seandainya
pondasi tersebut hancur akan hancur pula semua yang terbangun di atasnya, yaitu
niat beribadah karena ALLAH (LILLAH). Jika tidak disertai niat beribadah, atau ada
tujuan yang tidak benar, apapun macamnya perbuatan, perbuatan taat sekalipun,
amal perbuatan tersebut bisa jadi tidak dicatat sebagai ibadah.
Suatu contoh pelaksanaan sholat fardlu atau sunnah. Jika pelaksanaannya tidak
didasari karena Allah (LILLAH), misalnya karena ingin memperoleh pujian atau
sesuatu dari orang lain, maka sholat tersebut belum bisa dinamakan pengabdian
kepada Allah yang murni semata-mata karena-NYA (LILLAH). Tapi masih karena
selain Allah. (Lighoirillah). Amal ibadah yang karena selain ALLAH itu namanya amal
“LIN-NAFSI” (hanya menuruti nafsu) atau menyembah nafsu. Padahal Allah Ta'ala
tidak akan menerima suatu amal kebaikan (ibadah) yang pelaksanaannya karena
selain-Nya. Ini namanya “syirik khofi fil-'ubudiyah” (menyekutukan tujuan dalam
pelaksanaan ibadah dengan selain Allah); Sekalipun diistilahkan “khofi” tapi tetap
berbahaya dan terkecam. Lebih-lebih merupakan suatu amal batin/ dilakaukan
dalam hati.
Begitu pula amal-amal ibadah fardlu dan sunnat lainnya; Sekalipun sudah tepat
syarat dan rukunnya dalam pelaksanaan lahirnya akan tetapi tidak LILLAH dalam
hatinya, namanya penipuan kepada Allah Subhanahu Wata’ala , kepada dirinya
sendiri dan kepada orang lain. Hal ini sangat berbahaya karena akan ditolak oleh
Allah Subhanahu Wata’ala. Firman Allah (Q.S. 2 – Al-Baqarah : 9) artinya : “Mereka
menipu Allah dan orang-orang yang beriman. Padahal mereka hanya menipu dirinya
sendiri sedangkan mereka tidak merasa”)
Begitu pula sebaliknya; jika suatu amal ibadah yang sudah bisa disertai niat LILLAH
akan tetapi pelaksanaan lahirnya tidak sesuai dengan aturan Allah dan Rasul-Nya,
tidak tepat syarat, rukun dan adab-adabnya maka amal ibadah tersebut menjadi
batal. Jadi dalam pelaksanaan ibadah disamping harus tepat tata cara
pelaksanaannya secara lahiriyah, juga harus tepat niat dan tujuannya secara
batiniyah, yakni semata-mata karena ALLAH (LILLAH);
Suatu perbuatan yang bersifat duniawi atau berhukum jawaz / mubah akan berobah
menjadi amal ukhrowi atau amal ibadah jika pelaksanaannya didukung / disertai
tujuan dan niat semata-mata karena Allah (LILLAH); Misalnya; pada saat nafsu
seseorang menginginkan makan (bernafsu makan), saat itu pula hati mengarahkan
keinginan nafsunya dengan merobah tujuan makannya. Yang semula “karena
keinginan atau kesenangan” lalu dirobah menjadi “karena Allah (LILLAH)”, tidak
karena kesenangan nafsunya. Dengan demikian makan yang dia lakukan itu bernilai
ibadah karena Allah. Dia menjadi hamba Allah bukan hamba nafsu makan. Sekalipun
sudah LILLAH namun urusan pelaksanaan syari’atnya makan harus tetap
diperhatikan. Misalnya ; makanannya harus halal, diawali dengan bacaan Basmalah
dan do’a sebelum makan, dan adab-adabnya supaya tetap dijaga.
Amal perbuatan yang harus didasari LILLAH hanyalah amal perbuatan yang baik,
yang diridloi Allah. Perbuatan yang dilarang atau tidak dibenarkan oleh syari’at, yang
merugikan pihak lain, dan sebaginya sama sekali tidak boleh didasari dengan
LILLAH. Misalnya “saya berzina, mencuri, mabuk-mabukan, dll. semata-mata karena
Allah”. Ini namanya pelecehan dan pengihinaan kepada Allah. Dosanya menjadi
dobel.
Sabda Rosululloh menegaskan hal niat ini sebagai berikut :
“INNAMAL-A’MAALU BIN-NIYYAAT, WA-INNAMAA LIKULLI-MRI-IN MAA NAWAA,
FAMAN KAANAT HIJROTUHUU ILALLOOH I WAROSUULIHI FAHIJROTUHUU ILALLOOHI
WAROSUULIH. WAMAN KAANAT HIJROTUHU ILAA DUN-YAN YUSHIIBUHAA AW ILA-
MRO-ATIN YANKIHUHAA FAHIJROTUHU ILAA MAA HAAJARO ILAIHI”
Artinya lebih kurang :
“Sesungguhnya segala amal perbuatan itu ditentukan (dinilai) menurut niatnya; dan
sesungguhnya yang diperoleh seseorang itu sesuai dengan yang dia niatkan. Maka
barang siapa hirahnya (amalnya) semata-mata menuju Allah (LILLAH) dan mengikuti
Rosul-Nya (LIRROSUL) maka hijrahnya itu sampai kepada Allah wan Rasul-Nya. Dan
barang siap hijrahnya hanya untuk memperoleh harta dunia atau karena seorang
wanita yang akan dinikahinya maka hijrahnya hanya sampai pada yang dia tuju”
(Riwayat Bukhori, Muslim dan lainnya dari Umar Ibnul Khottob RodiyAllahu
‘anhumaa.)
Penerapan LILLAH ini letaknya di dalam hati. Kelihatannya seperti sesuatu yang
sepele (tiada arti) akan tetapi sangat menentukan sekali. Jika kurang mendapat
perhatian atau kurang tepat penerapannya, bisa menghancurkan bangunan ibadah
dan amal kebaikan secara keseluruhan. Begitu pula penerapan LILLAH ini tidak
mudah, kecuali bagi orang yang mendapat hidayah dan taufiq dari Allah. Oleh
karena itu disamping berlatih setiap saat juga harus berusaha bagaimana cara
memperoleh hidayah dan taufiq tersebut. Cara untuk memperolehnya, dalam
Wahidiyah, pengamalnya dibimbing untuk melakukan “mujahadah” dengan
pengamalan Sholawat Wahidiyah dan selalu berlatih setiap saat menerapkan Ajaran
Wahidiyah yang diantaranya adalah "LILLAH" ini.
Sekali lagi harus diingat bahwa yang boleh dan bahkan harus disertai niat ibadah
LILLAH adalah terbatas pada perbuatan yang baik / yang tidak terlarang.
Adapun perbuatan yang melanggar syari’at atau undang-undang, yang tidak diridloi
oleh ALLAH, yang merugikan, baik merugikan diri sendiri dan lebih-lebih merugikan
orang lain, sama sekali tidak boleh dilakukan dengan disertai niat ibadah LILLAH.
Harus dijauhi dan ditinggalkan. Betapapun kecil dan remehnya. Harus berusaha
sekuat mungkin untuk menjauhi dan meninggalkan ! Dan pada saat menjauhi atau
meninggalkan itulah yang harus disertai niat ibadah LILLAH. Jangan sampai dalam
kita menjauhi atau meninggalkan munkarot itu didorong oleh kemauan nafsu. Harus
LILLAH - beribadah kepada ALLAH, menjalankan perintah ALLAH (Subhanahu
wata’ala) ! Titik. Tidak ingin begini dan begitu.
Ikhlas LILLAH di sini supaya dijadikan sebagai pondasi dari segala amal. Di atas
pondasi itu dibangun berbagai bangunan amal perbuatan, termasuk tujuan / niat lain
yang tidak bertentangan dengan syari’at. Misalnya; datang ke rumah saudara.
Kedatangannya itu supaya didasari niat “LILLAAHI TA’ALA” Begitu pula tujuan / niat
shilaturahim, memberi bantuan, dan sebagainya supaya didasari LILLAH. Sehingga
kadatangan, shilaturahim, dan pemberian bantuannya masing-masing tercatat
ibadah karena ALLAH. Demikian seterusnya di dalam kita menjalankan perbuatan-
perbuatan yang tidak bertentangan dengan syari’at,. Jangan karena terdorong oleh
kepentingan nafsu supaya begini dan begitu, agar tidak merusak dan
menghancurkan nilai bangunan amal yang kita kerjakan.
Masalah pamrih atau berkeinginan terhadap sesuatu yang menggembirakan dan
menyenangkan, ingin kepada kebaikan-kebaikan; seperti ingin pahala, surga dan
sebagainya atau takut dari sesuatu yang menakutkan ; seperti kesusahan,
penderitaan, siksa neraka dan lain sebagainya, itu diperbolehkan. Bahkan
sewajarnya harus begitu. Sebab manusia tidak lepas dari sifat basyariyah yang
mempunyai keinginan dan harapan serta kemauan-kemauan yang semuanya
bersumber dari nafsu, dan nafsu itupun suatu anugrah Tuhan yang diberikan kepada
manusia sehingga menjadi makhluk yang lebih lengkap dan paling sempurna di
antara makhluk-makhluk lainnya. Maka nafsu seperti itulah yang harus diarahkan.
Diarahkan ke arah yang telah digariskan oleh Allah (Subhanahu wata’ala); yaitu
“Liya’buduuni” tersebut. Diarahkan untuk ibadah kepada Allah (Subhanahu
wata’ala). Jika tidak diarahkan, pasti akan terjadi timbunan hawa nafsu yang
serakah dan mengakibatkan penyelewengan dan penyalahgunaan yang akibatnya
akan menghancurkan manusia itu sendiri. Bahkan bisa menghancurkan ummat dan
masyarakat. Oleh karena itu di dalam berkeinginan atau pamrih seperti di atas harus
disertai niat ibadah kepada Allah Subhanahu wata’ala dengan ikhlas LILLAH (semata-
mata karena Allah).
Jadi lebih jelasnya, ketika kita bersembahyang, berpuasa, mengeluarkan zakat,
menunaikan ibadah haji, membaca Qur’an, membaca dzikir, membaca sholawat dan
sebagainya supaya disertai niat beribadah yang sungguh-sungguh ikhlas LILLAH.
Jangan sampai kita melakukan semua tadi hanya karena ingin surga, ingin pahala,
takut neraka, ingin terhormat, ingin terpuji, ingin kaya dan sebagainya. Begitu juga
ketika kita bekerja, belajar, berjuang untuk bangsa, agama dan negara, mengurus
dan mengatur rumah tangga, kita ke sawah, ke pasar, ke kantor, ke toko, dan ketika
kita makan, minum, tidur, istirahat, mandi dan sebagainya dan sebagainya, selama
bukan pekerjaan yang melanggar aturan supaya disertai dengan niat ibadah kepada
Allah (Subhanahu wata’ala) dengan ikhlas semata-mata karena ALLAH (LILLAH)
tanpa pamrih. Begitu juga ketika kita berkeinginan, berkemauan, berangan-angan,
berfikir dan sebagainya harus disertai niat ibadah kepada Allah. (LILLAH). Jadi
benar-benar melaksanakan pernyataan yang kita baca pada setiap sholat yaitu :
“INNA SHOLAATI WANUSUKII WAMAHYAAYA WAMAMAATII LILLAAHI
ROBBIL-‘ALAMIIN”
“Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidup dan matiku adalah untuk ALLAH Robbil
‘Aalamiin”.
dan menerapkan di dalam hati kandungan ayat yang sering kita baca di dalam Surat
Al Fatihah : “IYYAAKA NA’BUDU WAIYYAAKA NASTA’IIN. (“Hanya kepada-MU (yaa
ALLAH) kami mengabdikan diri”)
Dengan demikian bagi yang telah mampu menerapkan hal-hal tersebut boleh
dikatakan hatinya senantiasa ber-tahlil : “LAA ILAAHA ILLALLAH” (TiadaTuhan
melainkan ALLAH”).
Ilmiah dan pengertian mudah dipelajari / mudah dihafal. Akan tetapi disamping
pengertian, perlu diusahakan penerapan dan pelaksanaan ilmiah yang sudah kita
miliki. Tidak cukup hanya dipelajari, dibahas, diperdebatkan keshahihan dasar,
didiskusikan, diseminarkan dan lain sebagainya. Kalau tidak diamalkan dan
diterapkan dalam hati akan menjadi tambahan penyakit.
Sabda Nabi (Shollalloohui ‘alaihi wasallam) yang artinya : “Sesungguhnya ALLAH
Ta’ala tidak memandang bentuk lahiriyahmu (kepandaian, kemasyhuran,
kedudukanmu) dan harta bendamu, melainkan Allah Ta’ala memandang hatimu dan
amal perbuatanmu” (H.R. Muslim dan Ibnu Majah dari Abi Hurairah,
Rodliyalloohu’anhu).
Jadi jelasnya, amal perbuatan apa saja, berupa sholat sekalipun, jika tidak disertai
niat ibadah LILLAH otomatis disalahgunakan oleh nafsu atau LINNAFSI, menuruti
keinginan nafsu. Dan nafsu adalah sebagai sarang iblis dan syetan.
Mari kita mengadakan koreksi kepada diri kita masing-masing. Sudahkah kita
senantiasa berikhlash LILLAH dalam segala amal perbuatan kita yang baik ? Kalau
sudah, kita harus bersyukur kepada ALLAH (Subhanahu wata’ala) karena
keikhlasannya itu semata-mata karena fadlol dari-NYA. Kalau belum bisa ikhlas mari
bersama-sama kita berusaha dan berlatih dengan sungguh-sungguh serta berdo’a
semoga ALLAH (Subhanahu wata’ala) segera berkenan membukakan pintu hidayah-
Nya kepada kita bersama. Amiin
DASAR-DASAR BERAMAL DENGAN IKHLASH LILLAH
a. Firman ALLAH (Subhanahu wata’ala) dalam QS 98 : Al-Bayyinah : 5 :
“Padahal mereka tidak diperintah kecuali agar menyembah ALLAH dengan
memurnikan keta’atan kepada-NYA dalam (menjalankan) agama dengan lurus
(dengan ikhlas LILLAH)”.
b. Firman ALLAH (Subhanahu wata’ala) dalam Q.S. 51 : Adz-Dzariyat 56 :
“Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali agar supaya mereka
mengabdikan diiri kepada-KU”.
c. Rosululloh (Shollalloohui ‘alaihi wasallam) bersabda :
“Sesungguhnya semua amal itu tergantung pada niat, dan seseorang mendapat
balasan sesuai dengan niatnya. Barang siapa hijrahnya (beramalnya) menuju
ALLAH (LILLAH) dan Rasul-NYA (LIRROSUL) maka hijrahnya diterima oleh ALLAH
dan Rasul-NYA, dan barang siapa hijrahnya (beramalnya) untuk memperoleh
materi atau mempersunting perempuan maka nilai hijrahnya sesuai dengan yang
ditujunya ”. (H.R. Bukhori, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi dan An-Nasa-I dari
Sayyidina Umar bin Khotthob )
Yang dimaksud ”A’maalu” dalam hadits adalah semua amal perbuatan yang tidak
bertentangan dengan syari’at baik berupa ucapan maupun perbuatan anggota
badan lainnya. Nilai suatu amal sangat ditentukan oleh niatnya.
Jadi segala perbuatan dan tingkah laku manusia dalam segala keadaan, siatuasi
dan kondisi yang bagaimanapun, hidup di dunia ini harus diarahkan untuk
pengabdian diri / beribadah kepada Allah (Subhanahu wata’ala) sebagai
pelaksanaan tugas “LIYA’BUDUUNI”.
d. Rosululloh (Shollalloohui ‘alaihi wasallam) bersabda :
“Ikhlaskan amalmu hanya kerena ALLAH (LILLAH) sebab ALLAH tidak akan
menerima amal kecuali amal yang ikhlas kepada-Nya”.
e. Rosululloh (Shollalloohui ‘alaihi wasallam) bersabda :
“Dunia seisinya dila’nat (dikutuk oleh ALLAH) kecuali sesuatu yang digunakan/
dilakukan semata-mata mengharap ridlo-NYA (Lillah)” (H.R. Thabrany)
KEUNTUNGAN BAGI YANG BERIKHLAS LILLAH
a. Firman Allah (Q.S. 16 – An-Nahl- 97) :
“Barang siapa mengerjakan amal shaleh (LILLAH), baik laki-laki maupun
perempuian dalam keadaan beriman (BILLAH) maka sesungguhnya akan Kami
berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri
balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”.
Suatu amal perbuatan seseorang dinamakan shaleh menurut pandangan ALLAH
jika dilakukannya dengan ikhlas semata-mata hanya karena-NYA (LILLAH).
b. Dalam suatu hadits, Beliau (Shollalloohui ‘alaihi wasallam) bersabda :
“Ikhlaskanlah amalmu semata-mata karena ALLAH (LILLAH), maka sedikit amal
dengan ikhlas sudah memadai (mencukupi) bagimu”. (HR Abu Mansur dan Ad-
Dailami)
c., Rosululloh (Shollalloohui ‘alaihi wasallam) bersabda :
“Tiada seseorang beramal dengan ikhlas karena Allah selama 40 hari kecuali
akan memancar sumber-sumber hikmah dari hati sampai ke lisannya”. (HR. Ibnul
Juzy dan Ibnul ‘Addy dari Abi Musa Al-Asy’ary, Ra ).
d. Rosululloh (Shollalloohui ‘alaihi wasallam) bersabda :
“Barang siapa meninggal dunia dia senantiasa berikhlas karena ALLAH semata
(LILLAH) dan tiada menyekutukan-NYA (BILLAH) (pada masa hidupnya) serta
menegakkan sholat dan menunaikan zakat maka dia meninggal dunia dengan
memperoleh ridlo Allah “ (H.R. Ibnu Majah dan Al-Hakim dari Anas bin Malik)
e. Rosululloh (Shollalloohui ‘alaihi wasallam) bersabda :
“Barangsiapa cinta karena ALLAH (Lillah), benci karena ALLAH, memberi karena
ALLAH dan menolak (tidak memberi) karena Allah, maka sungguh telah sempurna
imannya”. (HR. Abu Dawud dan Adh-Dhiya’ dari Abi Umamah dengan sanad
shoheh).
f. Ditegaskan pula dalam hadits Nabi (Shollalloohui ‘alaihi wasallam) yang lain :
“Alangkah bahagianya orang-orang yang beramal dengan ikhlas (LILLAH).
Mereka itulah sebagai lampu-lampu petunjuk yang menghilangkan kegelapan
fitnah" (HR. Baihaqi dan Abu Nu’aim dari Tsauban)
g. Ikhlas menurut Imam Ghozaly adalah diam dan geraknya seseorang itu hanya
karena ALLAH. (LILLAH) Begitu pula Syekh Zaini Dakhlan berpendapat bahwa
ikhlas itu adalah kesamaan antara lahir dan batin bagi seseorang dalam
menjalankan suatu amal; Artinya secara lahir ia menjalankan amal sesuai
perintah Allah, dan hatinya berniat semata-mata karena ALLAH (LILLAH).
Disamping itu ia tidak akan berubah karena keadaan; baik ada orang maupun
tidak.
KERUGIAN DAN KECAMAN BAGI YANG TIDAK MENERAPKAN LILLAH
Orang yang tidak menerapkan ikhlas LILLAH termasuk dalam firman ALLAH yang
artinya :
“Mereka menipu AlLLOH dan menipu orang-orang yang beriman. Sebenarnya
mereka tiada menipu kecuali kepada dirinya sendiri sedangkan mereka tidak
merasa” (Q.S. 2. Al-Baqarah 9)
Dalam Hadits Qudsi disebutkan : “ALLAH berfirman: “Aku tidak memerlukan
persekutuan dan Aku tidak memerlukan suatu amal yang dipersekutukan dengan
selain-KU. Barangsiapa beramal dengan menyekutukan selain Aku (tidak murni
karena Aku), maka Aku terlepas darinya”. ( disebutkan oleh Al-faqih As-Samar-
qondy dalam kitab Tanbihul-Ghofilin dari hadits Abi Huroiroh, Ra).
Rosululloh (Shollalloohui ‘alaihi wasallam) bersabda : “INNALLOOHA LAA YAQBALU
MINAL-‘AMALI ILLAA MAA KAANA LAHUU KHOOLISHON WABTUGHIYA BIHII
WAJHUHU”
“Sesungguhnya ALLAH tidak menerima suatu amal kecuali amal yang ikhlas
(LILLAH) dan dilakukan semata-mata mengharap ridlo-NYA”. (HR.Nasa’i dari Abi
Umamah).
ALLAH (Subhanahu wata’ala) berfirman (Q.S.15 Al-hIjr : 39-40 ) menghikayahkan
ucapan iblis :
“Iblis berkata: “Yaa Tuhanku, sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku tersesat,
pasti aku akan menjadikan mereka (manusia) memandang baik perbuatan
ma’siatnya di muka bumi ini, dan pasti aku akan menyesatkan mereka, kecuali
hamba-hamba Engkau yang berikhlas di antara mereka”.
Logikanya orang-orang yang tidak benar-benar beramal dengan ikhlas LILLAH dia
dengan mudah akan diombang-ambingkan dalam kesesatan oleh Iblis. Sekalipun
kelihatannya beramal baik kemungkinan besar di balik kebaikannya itu ada
keburukan bahkan mungkin ada kejahatan yang berlindung. Apabila kejadian seperti
ini tidak diperhatikan dan dibiarkan berlarut-larut mewabah ke lubuk hati setiap
insan maka akan berakibat fatal. Penipuan (sekalipun dangan cara yang halus),
penyalahgunaan hak, kerakusan, kemunkarotan dan sebagainya akan terjadi di
semua sektor kehidupan masyarakat. Dengan demikian tidak mustahil lagi jika
keadaan ummat manusia semakin tersesat dengan hawa nafsunya dan tidak
memperoleh petunjuk dari ALLAH (Subhanahu wata’ala).
ALLAH (Subhanahu wata’ala) berfirman dalam(Q.S. 28 - Al-Qoshos 50 : “Tiada
seseorang yang lebih tersesat dari pada orang yang mengikuti hawa nafsunya serta
tidak mendapat petunjuk dari ALLAH. Sesungguhnya ALLAH tidak akan memberi
petunjuk kepada kaum (orang-orang) yang zhalim”.
Rosululloh (Shollalloohui ‘alaihi wasallam) bersabda: “Sesembahan di atas bumi
yang sangat dimurkai ALLAH adalah hawa nafsu”. (HR. Thobroni dari Abi Umamah)
WALLOOHU A'LAMU BISH-SHOWAB.
Penulis : Zainuddin Tamsir

Anda mungkin juga menyukai