Anda di halaman 1dari 38

TINJAUAN PUSTAKA

GAMBARAN HISTOPATOLOGI
PADA PASIEN ERITRODERMA
DENGAN HYPERIMMUNOGLOBULIN E
DI RS. DR. SAIFUL ANWAR TAHUN 2015 & 2018

Oleh :
dr. Nurul Laili Nahlia

Pembimbing I:
dr. Diah Prabawati Retnani, Sp.PA

Pembimbing II:
dr. Anggun Putri Yuniaswan, Sp.KK

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I


DEPT./SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH dr. SAIFUL ANWAR
MALANG
2018

i
LEMBAR PERSETUJUAN

TINJAUAN PUSTAKA

GAMBARAN HISTOPATOLOGI
PADA PASIEN ERITRODERMA
DENGAN HYPERIMMUNOGLOBULIN E
DI RS. DR. SAIFUL ANWAR TAHUN 2015 & 2018

Telah disetujui untuk dibacakan pada

Juli 2018

Peserta PPDS-1

dr. Nurul Laili Nahlia

Menyetujui,
Pembimbing I Pembimbing II

dr. Diah Prabawati Retnani, Sp.PA dr. Anggun Putri Yuniaswan, Sp.KK

ii
DAFTAR ISI

Hal
DAFTAR ISI iii
DAFTAR TABEL iv
DAFTAR GAMBAR v
DAFTAR SINGKATAN vi
BAB 1 PENDAHULUAN 1
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Eritroderma 2
2.2 Epidemiologi Eritroderma 2
2.3 Etiologi Eritroderma 3
2.4 Patogenesis Eritroderma 5
2.5 Manifestasi Klinis Eritroderma 5
2.6 Pendekatan Diagnosis Eritroderma 7
2.7 Gambaran Histopatologi Eritroderma 7
2.8 Eritroderma yang disebabkan HIES 11
2.8.1 Genodermatosis 11
2.8.2 Sindroma hyperimmunoglobulin E (HIES) 12
2.8.3 Patogenesis HIES 12
2.8.4 Epidemiologi Eritroderma yang disebabkan HIES 13
2.8.5 Gambaran Klinis Eritroderma yang disebabkan HIES 14
2.8.6 Histopatologi Eritroderma yang disebabkan oleh HIES 15
BAB 3 SERIAL KASUS
3.1 Kasus A: Eritroderma yang disebabkan Hyperimmunoglobulin E 21
pada anak 11 tahun (2015)
3.2 Kasus 2: Eritroderma yang disebabkan Hyperimmunoglobulin E pada 25
anak 7 tahun (2018)
BAB 4 RINGKASAN 30
DAFTAR PUSTAKA 31

iii
DAFTAR TABEL

Hal
Tabel 1 Etiologi eritroderma pada kelompok pediatrik 4
Tabel 2 Petunjuk histologi untuk menentukan diagnosis etiologi eritroderma 9
Tabel 3 Temuan kelainan kulit pada sindroma hyper IgE autosomal dominan 15

iv
DAFTAR GAMBAR

Hal
Gambar 1 Sindroma Netherton (NS) 16
Gambar 2 Histopatologi PSS-B 17
Gambar 3 Gambaran klinis dan histopatologi Sindroma SAM 18
Gambar 4 Gambaran histopatologi psoriasis, pengecatan H&E 19
Gambar 5 Histopatologi dermatitis atopik 19
Gambar 6 Gambaran histopatologi eritroderma pada HIES 20
Gambar 7 Kondisi klinis pasien an.Y, 11 tahun 23
Gambar 8 Histopatologi eritroderma pada an. Y, perbesaran 40x 23
Gambar 9 Histopatologi eritroderma pada an. Y, perbesaran 100x 24
Gambar 10 Histopatologi eritroderma pada an. Y, perbesaran 400x 24
Gambar 11 Kondisi klinis an. A, 7 tahun 26
Gambar 12 Histopatologi eritroderma pada an. A, perbesaran 40x 27
Gambar 13 Histopatologi eritroderma pada an. A, perbesaran 100x 28
Gambar 14 Histopatologi eritroderma pada an. A, perbesaran 400x 28
Gambar 15 Histopatologi eritroderma pada an. A, perbesaran 400x 29
Gambar 16 Histopatologi eritroderma pada an. A, perbesaran 400x 29

v
DAFTAR SINGKATAN

AD Autosomal dominan
AR Autosomal resesif
CDSN Corneodesmosin
CTCL cutaneous T-cell lymphoma
CT-scan computed tomography scan
FNAC Fine needle aspiration cytology
GCS Glasgow coma scale
GVHD Graft-versus-host-disease
H&E Hematoxylin and eosin
HIES Hyper immunoglobulin E syndrome
HIV Human immunodeficiency virus
ICAM-1 intercellular adhesion molecule-1
IgE Immunoglobulin E
IgG Immunoglobulin G
IL Interleukin
IPEX Immune dysregulation, polyendrocrinopathy, enteropathy, X-linked
syndrome
LEKTI lympho-epithelial Kazal-type related inhibitor
MF Mycosis fungoides
PID Penyakit imunodefisiensi primer
PRP Pityriasis rubra pilaris
PSS-B Syndrome peeling skin tipe B
RSSA Rumah Sakit dr. Saiful Anwar
SAM Severe dermatitis, multiple allergies, and metabolic wasting
SLE Systemic lupus erythematosus
SPINK5 Serine protease inhibitor Kazal-type 5
SS Sezary syndrome
SSSS Staphylococcal scalded skin syndrome
STAT5 Signal transducer and activator of transcription 5
TNF Tumor necrosis factor

vi
BAB I
PENDAHULUAN

Eritroderma atau dermatitis eksfoliatif merupakan kelainan inflamasi kulit yang


mengenai ≥90% luas permukaan kulit, dengan tingkat pengelupasan kulit (skuama) yang
beragam. Eritroderma dapat terjadi dalam durasi akut maupun kronik. Pola penyakit
bergantung pada etiologi yang mendasari serta efek dari terapi awal.1,2,3,4 Insidens
eritroderma pada anak-anak <10% dari populasi.5 Gambaran klinis eritroderma pada anak
hampir sama dengan dewasa. Pada pediatri, penyebab tersering adalah induksi obat
(29%), genodermatosis, psoriasis (18%), dermatitis atopi (12%), dan dermatitis seboroik
(5%). Pemeriksaan histopatologi dapat membedakan setiap etiologi eritroderma tersebut.
Pada anak, kondisi ini dapat mengancam jiwa, sehingga penting bagi klinisi untuk
menentukan diagnosis etiologi serta penatalaksanaan yang tepat.6
Pada pemeriksaan histopatologi, kulit eritroderma kehilangan banyak karakteristik
spesifiknya. Gambaran histopatologi eritroderma menyerupai lesi awal psoriasis.
Terdapat parakeratosis dan hipogranulosis yang bervariasi. Seiring waktu, terdapat
gambaran hyperplasia psoriasiform dan spongiotik, walaupun korelasi dengan penyakit
psoriasis beragam.15
Sindroma hyper-IgE (HIES) merupakan kondisi defek sistem imun primer yang
langka dengan triad klasik peningkatan kadar IgE serum, infeksi kulit berulang akibat
infeksi staphylococcus sp., dan pneumonia.7,8 Terdapat dua bentuk yaitu yang disebabkan
oleh mutasi autosomal dominan dan autosomal resesif (kelainan genetik masih belum
jelas). Manifestasi klinis mulai terlihat sejak usia bayi atau anak-anak. Dermatitis
eksematus hampir selalu ada sebelum usia 18 tahun (95%) dan terutama pada wajah, kulit
kepala, dada, dan pantat.9 Pasien dengan HIES, sebanyak 20% dapat berkembang menjadi
eritroderma.10
Pada tinjauan pustaka ini akan dibahas tentang gambaran histopatologi
eritroderma yang disebabkan sindroma hyper-IgE (HIES), disertai dengan dua serial
kasus eritroderma yang disebabkan sindroma hyper-IgE (HIES) pada anak-anak di
Rumah Sakit Saiful Anwar (RSSA) Malang pada tahun 2015 dan tahun 2018.

1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Eritroderma


Eritoderma berasal dari bahasa Yunani, yaitu erythro- (red = merah) + derma,
dermatos (skin = kulit), merupakan keradangan kulit yang mengenai 90% atau lebih pada
permukaan kulit, dengan tingkat pengelupasan kulit (skuama) yang beragam. 6,13 Pada
beberapa kasus, skuama tidak selalu ditemukan, misalnya pada eritroderma yang
disebabkan oleh alergi obat secara sistemik, pada mulanya tidak disertai skuama. Pada
eritroderma yang kronik, eritema tidak begitu jelas karena bercampur dengan
hiperpigmentasi.13 Beberapa kasus juga disertai dengan erosi (lepasnya epidermis hingga
lapisan basal), crusting (serous, sanguineous, atau pustular), dan perubahan potensial
pada rambut dan kuku.3,6
Definisi eritroderma pada anak-anak serupa dengan dewasa, dimana mengenai luas
permukaan tubuh secara total atau hampir total, dengan eritema dan/atau pengelupasan
kulit sedang hingga ekstensif. Pada bayi, eritema dapat timbul terlokalisir pada awalnya
dan kemudian berkembang menjadi eritema yang ekstensif. 5
Dermatitis eksfoliatif merupakan sinonim yang biasa digunakan, meskipun
sebenarnya mempunyai pengertian yang agak berbeda. 2 Kata ‘eksfoliasi’ berdasarkan
pengelupasan skuama yang terjadi, walaupun kadang-kadang tidak begitu terlihat, dan
kata ‘dermatitis’ digunakan berdasarkan terdapatnya reaksi peradangan.13 Eritroderma
dan dermatitis eksfoliatif merupakan satu perjalanan klinis, yakni tahap awal berupa kulit
eritema generalisata yang kemudian diikuti dengan deskuamasi atau pengelupasan
kulit.1,14 Pada makalah ini selanjutnya akan menggunakan terminologi eritroderma.

2.2 Epidemiologi Eritroderma


Beberapa penelitian besar melaporkan insiden yang bervariasi pada eritroderma,
berkisar antara 0,9 hingga 71,0 per 100.000 pasien. Rasio laki-laki:perempuan 2:1 hingga
4:1. Dapat terjadi pada rentang usia berapapun, rata-rata onset terjadinya pada usia 41-61
tahun, dengan mengeksklusikan populasi anak-anak. Eritroderma dapat terjadi pada
semua ras.1

2
Eritroderma jarang terjadi pada anak-anak, dan hanya sedikit data epidemiologi
terhadap populasi anak-anak. Sebagian besar data yang ada merupakan studi retrospektif
sehingga sulit mendapatkan angka insidensi yang tepat.1,2
Pada sebuah studi oleh Sarkar et al (1999), dalam periode 6 tahun terdapat 17
pasien eritroderma, dengan rata-rata usia 3,3 tahun dan perbandingan laki-laki:perempuan
0,89:1,5.1 Sehgal dan Srivasta (1986) menyebutkan, insidensi eritroderma keseluruhan
sebanyak 35 per 100.000 dari keseluruhan populasi pasien dermatologis pada
cosmopolitan. Dari 80 orang pasien dengan eritroderma, hanya 7 dari kelompok anak-
anak, tiga pasien pada usia 0-3 tahun dan sisanya usia 4-13 tahun, setara dengan insidensi
8,8%. Rasio laki-laki:perempuan setara, dimana usia terjadinya onset bervariasi sesuai
etiologinya. Pada penelitian yang meliputi eritroderma pada neonatus dan bayi (hingga
usia 1 tahun), didapatkan insidensi bervariasi (30% pada kondisi adanya defek sistem
imun, 24% pada ichthyosis, 18% pada sindroma Netherton, 20% memiliki dermatoses
papuloskuamous/eksim, dan 8% idiopatik). 5

2.3 Etiologi Eritroderma


Eritroderma dapat disebabkan oleh berbagai penyakit kulit yang telah diderita
sebelumnya. Terdapat 4 faktor penyebab timbulnya eritroderma, yaitu perluasan penyakit
kulit yang telah ada (dermatosis primer), reaksi obat, keganasan, dan kelainan idiopatik.
Proporsi pasien yang dapat ditegakkan etiologinya hanya sedikit, dan biasanya termasuk
dalam kelainan idiopatik. Folow up berkelanjutan dapat mengarahkan pada etiologi yang
tepat.2
Eritema pada kulit sering menjadi gambaran morfologis dari penyakit sistemik atau
penyakit kulit yang mendasari pada eritroderma. Etiologi dapat diingat dengan mnemonic
SCALPID3:
1. S : Dermatitis seboroik/sarcoidosis
2. C : Dermatitis kontak (alergi atau iritan, misalnya dermatitis stasis generalisata)
3. A : Dermatitis atopic / penyakit autoimun (lupus sistemik / dermatosyositis /
pemfigoid bulosa / pemphigus foliaceous/lichen planus / graft-versus-host-disease)
4. L : Limfoma/leukemia (termasuk sindroma sezary) (L)
5. P : Psoriasis, termasuk sindroma Reiter/pityriasis rubra pilaris (PRP)
6. I : Infeksi (HIV, dermatofitosis), iktiosis, infestasi (norwegian scabies)

3
D : Reaksi obat
Eritroderma memiliki spektrum etiologi yang luas, seperti yang ditunjukkan pada
Tabel 1. Induksi obat menjadi pencetus eritroderma dengan presentase kejadian tertinggi
yaitu 29%, genodermatos, psoriasis dan staphylococcal scalded skin syndrome (SSSS)
masing-masing 18%, dermatitis atopik 12% dan dermatitis seboroik 5%. 5 Pada neonatus
dan bayi, eritroderma sering berhubungan dengan genodermatosis (terutama variasi dari
ichtyosis), dermatitis atopic, psoriasis berat atau dermatitis seboroik, defisiensi imun
primer, dan penyakit metabolic. Leclerc- Mercier et al melakukan riset dari 72 pasien
berusia 1 tahun atau lebih muda yang dirawat inap karena eritroderma, ditemukan bahwa
penyebab paling sering adalah defek sistem imun, ichtyosis, sindroma Netherton (bentuk
ichtyosis autosomal resesif), dermatitis atopic, dan psoriasis. 2
Untuk menentukan etiologi pasti dari eritroderma pada anak, diperlukan koordinasi
antara dermatologis, dokter umum, pediatris, ginekologis serta neonatologis. Para klinisi
tersebut sebaiknya mengumpulkan dan mengkoordinasikan informasi mengenai
eritroderma sehingga dapat membentuk konsensus untuk menyediakan manajemen
pendekatan pasien yang lebih baik.5

Tabel 1 Etiologi eritroderma pada kelompok pediatrik (disadur dari Virendra et al, 2006)

No. Penyebab Penyakit/sindroma


1. Kelainan imunologis Omenn’s syndrome
Graft vs. host disease
Cutaneous T-cell lymphoma
Hypogamma globulinemia
Di–George’s syndrome
2. Kelainan Kwashiorkor
metabolik/nutrisi Renal failure
Acrodermatitis enteropathica
Cystic fibrosis dermatitis
Leiner’s disease
Amino acid disorders
3. Infeksi Staphylococcal scalded skin syndrome
Scarlet fever
Neonatal candidosis
Toxic shock syndrome
4. Reaksi/toksisitas obat Boric acid toxicity
Drug-induced erythroderma/exfoliative dermatitis
5. Bagian dari sindroma Netherton’s syndrome
Sjogren Larssen syndrome

4
Keratitis–ichthyosis–deafness syndrome
Ectodermal dysplasias
Neutral lipid storage disease with ichthyosis
Conradi–Hunermann syndrome
Trichothiodystrophy
6. Kelainan kulit Atopic dermatitis
Psoriasis vulgaris
Ichthyosis–Harlequin (Lamellar/Bullous)
Diffuse cutaneous mastocytosis
Toxic epidermal necrolysis
Pityriasis rubra pilaris
Seborrhoeic dermatitis
Norwegian Scabies

2.4 Patogenesis Eritroderma


Patogenesis eritroderma masih belum jelas. Saat ini, dipercaya bahwa kondisi ini
sekunder terhadap interaksi yang kompleks dari sitokin dan molekul adhesi selular,
termasuk interleukin-1, interleukin-2, dan interleukin-8, intercellular adhesion molecule-
1 (ICAM-1), dan tumor necrosis factor (TNF). Interaksi ini menghasilkan peningkatan
dramatis pada kecepatan epidermal turnover, menyebabkan kecepatan mitosis yang lebih
tinggi dari normal dan peingkatan jumlah absolut sel kulit germinatif. Lebih jauh lagi,
waktu yang dibutuhkan sel-sel untuk menjadi matur dan melintasi epidermis berkurang,
sehingga bermanifestasi sebagai peningkatan hilangnya material epidermis, bersamaan
dengan hilangnya protein dan folat secara signifikan. 2,5 Sebaliknya, pengelupasan dari
epidermis normal jauh lebih lambat dan mengandung sedikit material penting seperti
asam nukleat, protein terlarut, atau asam amino. 2

2.5 Manifestasi Klinis Eritroderma


Eritroderma awalnya berupa patch eritema disertai pruritus. Patch eritema melebar
dan berkumpul membentuk area eritema yang ekstensif, yang dengan cepat menyebar ke
seluruh permukaan kulit. Eritroderma juga berhubungan dengan pengelupasan kulit yang
luas, dengan onset 2-6 hari setelah timbulnya eritema, perjalanan klinis bervariasi pada
tiap individu. Bentuk akut ditandai dengan skuama yang lebar, sedangkan bentuk kronis
ditandai dengan skuama yang tipis. Kulit berwarna merah terang, kering, bersisik, teraba
panas, dan terdapat indurasi. Biasanya terdapat gatal dengan skala ringan hingga berat,
mirip dengan gatal pada liken simpleks kronik. Kuku dapat menebal, mengkilat, kering,

5
rapuh, dan nail plate tampak berkelok-kelok. Inflamasi kulit periorbita dan edema dapat
menyebabkan ektropion dan epifora. Bisa juga terdapat limfadenopati,
hepatosplenomegali, edema kaki/tumit, dan ginekomastia. Pada orang kulit hitam,
kehilangan pigmentasi secara luas biasa terjadi. Kecepatan metabolik basal meningkat
dan kondisi katabolik menyebabkan penurunan berat badan yang signifikan. Dalam
kondisi eritroderma, pasien dapat terjatuh pada kondisi hipo- atau hipertermia yang
ireversibel. Dapat juga terjadi ventricular bradikardi dan hipotensi. Peningkatan aliran
darah perifer dapat menyebabkan gagal jantung akibat tingginya curah jantung. Semua
sistem tubuh dapat terkena akibat kondisi ini. 2
Kondisi eritroderma dapat menyebabkan perubahan yang besar terhadap
metabolisme tubuh. Peningkatan aliran darah kulit dapat menyebabkan hipotermia dan
kehilangan panas yang amat besar. Kompensasi hipermetabolik dan peningkatan
kecepatan metabolik basal tanpa adanya peningkatan aktivitas tiroid dapat terjadi.
Kehilangan protein yang berlebihan akibat pengelupasan dan kebocoran dari kulit,
hemodilusi akibat peningkatan volume plasma, dan hipermetabolisme dapat
menyebabkan kondisi hyperalbuminemia dan edema berat. Lebih jauh lagi, gagal jantung
akibat tingginya curah jantung dapat terjadi sewaktu-waktu.2
Gambaran umum dapat berubah sesuai sifat alami dari penyakit yang mendasari,
setelah diketahui etiologi dan diberikan terapi yang sesuai. Dermatitis generalisata
biasanya terjadi pada dekade keenam atau ketujuh kehidupan; walaupun begitu,
dermatitis atopi dapat terjadi pada usia berapapun. Pruritus dapat menjadi gejala yang
paling berat pada pasien usia tua.2
Gejala klinis utama adalah gatal (41%) dan rasa terbakar (18%). Wajah merupakan
lokasi awal yang terlibat pada mayoritas pasien (52,9%) serta kulit kepala (53%), yang
dapat terjadi akibat proses penyakit generalisata yang cepat. Keterlibatan kulit kepala
tanpa disertai alopesia terjadi pada 10 dari 20 pasien (30%) eritroderma pada neonatus
dan bayi. Pruszkowski et al menunjukkan bahwa kondisi defek sistem imun dicurigai
ketika mendiagnosis pasien dengan kondisi ini. Keterlibatan kuku tampak pada 18%
pasien dan perubahan yang terjadi seperti kuku yang mengkilat, pitting, garis Beau, dan
paronikia, yang juga terjadi pada pasien dewasa. 6
Pada kelompok neonatus dan bayi, eritroderma biasanya tidak disertai dengan
gambaran sistemik. Namun, pada kelompok pediatrik, eritroderma dapat disertai keluhan

6
sistemik yaitu demam (53%), takikardi (53%), dan edema kaki (12%). Didapatkan pula
limfadenopati (18%) dan hepatomegali (12%). 6

2.6 Pendekatan Diagnosis Eritroderma


Anamnesis yang mendetail dari setiap kejadian yang menyebabkan perkembangan
hingga menjadi eritroderma merupakan prasyarat pada semua pasien.2 Dari anamnesa,
perlu ditanyakan usia terjadinya keluhan, riwayat keluarga, hubungan darah/kekerabatan,
riwayat gagal tumbuh, infeksi berulang, keluhan sistemik yang berhubungan terutama
keluhan neurologi, demam, konsumsi obat, serta riwayat transfusi. Pada pemeriksaan
fisik, gambaran klinis seperti tipe skuama (iktiosiform atau skuama kasar seperti sisik
ikan), area yang terkena, lesi spesifik (misalnya papul keratotik folikular atau plak
psoriasiform, area erosi atau blister yang intak, tanda Nikolsky, kulit yang konsistensinya
berubah), distribusi (predominan pada fleksural atau ekstensor), kondisi kuku, rambut,
dan mukosa, dapat mengarahkan pada diagnosis. 6
Pemeriksaan histopatologi merupakan pemeriksaan yang paling penting, dan
memberi manfaat pada 50% kasus. Jika ditemukan pembesaran kelenjar getah bening,
perlu dilakukan pemeriksaan Fine needle aspiration cytology (FNAC) penting untuk
membedakan lesi limfoproliferatif maligna dengan limfadenitis dermatopatik.. 2

2.7 Gambaran Histopatologi Eritroderma


Biopsi kulit, jika diambil dengan jumlah yang mencukupi, dan pada kondisi yang
tepat, masih menjadi metode diagnosis dan follow up terbaik pada pasien eritroderma. 16
Direkomendasikan untuk mengambil spesimen biopsi “shave” dari dua atau lebih area
kulit untuk mengevaluasi histologi pada pasien eritroderma. 11 Jika terdapat lebih dari satu
morfologi klinis (misalnya kulit merah dan bersisik vs plak tebal vs blister), perlu
dilakukan biopsi di tiap perubahan kulit untuk diagnosis yang tepat, seringnya pada
ekstremitas atau trunkus. Biopsi punch 4 mm perlu dilakukan dari lokasi yang
representatif. Pemeriksaan histopatologi dengan imunofluoresens dapat dilakukan pada
kasus dengan kecurigaan penyakit autoimun. Jika limfadenopati tampak dan diperkirakan
potensial abnormal dan tidak reaktif, perlu dipertimbangkan kemungkinan diagnosis
limfoma serta kolaborasi dengan departemen penyakit dalam atau bedah. Pada pasien
dengan kecurigaan limfoma atau infiltrate leukemia, yang termasuk bentuk akut

7
eritroderma pada cutaneous T-cell lymphoma (sindroma Sezary), dapat dilakukan
pemeriksaan computed tomography scan (CT-scan), positron emission tomography scan
magnetic resonance imaging, dan biopsi limfonodi.3
Biopsi perlu dilakukan kembali pada tempat berbeda, ketika pasien menunjukkan
respon terapi yang buruk, serta pada gambaran histologi yang tidak jelas. Menurut
Montgomery, kapanpun dimungkinkan, biopsi perlu dilakukan pada area aktif yang
belum diterapi, jauh dari area abdomen atau area seboroik. 16 Beberapa penelitian
menyatakan, pada kondisi eritroderma kulit kehilangan banyak karakteristik histologinya,
sehingga sulit bagi patologis untuk menentukan diagnosis etiologi secara akurat. 11 Biopsi
pada beberapa lokasi dapat meningkatkan akurasi diagnosis histopatologi dan gambaran
penyakit yang mendasari.3
Biopsi kulit dapat menjadi alat diagnostik utama untuk mengidentifikasi etiologi
yang mendasari eritroderma, namun interpretasi dari spesimen cukup sulit. Gambaran
diagnostik kelainan kulit yang mendasari dapat serupa dengan bentuk konvensional,
namun seringkali menjadi kabur karena perubahan nonspesifik pada eritroderma, dan
biopsi mungkin diperlukan untuk diulang ketika kondisi klinis nonspesifik membaik.
Pada kondisi eritroderma, perubahan mikroskopis memiliki spesifisitas yang rendah. 3,5
Beberapa patologi non-spesifik yang ditemukan pada eritroderma2,3:
1. Orthokeratosis (Hiperkeratosis, parakeratosis)
2. Akantosis (penebalan epidermis)
3. Infiltrat sel radang perivaskular kronis dengan atau tanpa eosinofilia
Walaupun gambaran klinis dari eritroderma cenderung homogen, etiologinya
beragam dan menentukan penyebab utama merupakan tantangan bagi klinisi. Diagnosis
etiologi eritroderma dapat ditentukan dengan pemeriksaan histopatologi hanya pada 50-
66% kasus.2,5 Pada dewasa, sekitar 65% kasus disebabkan oleh penyakit inflamasi kulit
yang sudah ada seperti psoriasis atau dermatitis spongiotik, 15% penyebab sekunder dari
limfoma atau leukemia, sekitar 10% etiologi tidak dapat ditentukan.5 Petunjuk diagnosis
etiologi eritroderma dari gambaran histopatologi ditunjukkan pada Tabel 2.
Tabel 2. Petunjuk histologi untuk menentukan diagnosis etiologi eritroderma (disadur
dari Sehgal et al, 2004)
Penyakit Kelainan histologi
Psoriasis Parakeratosis, mikroabses Munro, penipisan suprapapila plate,
squirting papilla, akantosis regular

8
CTCL*/Sezary Eksositosis sel-sel mononuclear, epidermotropism, mikroabses
Pautrier
Reaksi obat Perubahan vascular, nekrosis keratinosit
Actinic reticuloid Hyperkeratosis, akantosis, infiltrat leukosit campuran dengan
beberapa sel-sel mononuclear atipik pada dermis superfisial
dan dalam
Pityriasis rubra Orthokeratosis dan parakeratosis saling bertindihan (vertical
pilaris dan horizontal) dengan atau tanpa keratotic plug
Sarcoidosis Granuloma epitheloid “naked” noncaseous dermal, sel raksasa
(giant cell) jarang-jarang dikelilingi limfosit tipis
Dermatitis kontak Spongiosis, eosinofil pada infiltrate dermal
Penyakit Pola interstisial dari sel atipik diantara bundle kolagen
limfoproliferatif
Scabies Infiltrat perivascular dan interstisial dengan eosinofil, tungau
scabies/skibala pada stratum korneum
Dermatofitosis Parakeratosis fokal, hifa pada stratum korneum
Pemphigus Celah intraepidermal suprabasal, keratinosit akantolitik (sel
akantolitik), imunofluoresens direk menunjukkan IgG terikat
pada permukaan sel, antibodi yang bersirkulasi
Pemfigoid Subepidermal bulla dengan eosinofil
GVHD* akut Perubahan vacuolar, nekrosis sel satelit
Dermatitis atopi Spongiosis, eosinofil di dalam infiltrat dermis
Dermatitis seboroik Parakeratosis dengan neutrofil pada bibir dari ostium folikular
Dermatomyositis/su Perubahan vacuolar, badan koloid, peningkatan dermal mucin
bcutaneous lupus
erythematosus (SLE)
Subakut idiopatik Parakeratosis, spongiosis, hyperplasia epidermal, edema
papilla dermis, infiltrat limfohistiositik perivascular superfisial
Kronik idiopatik Hyperkeratosis padat, hyperplasia psoriasiform, spongiosis
minimal, penebalan papilla dermal
*CTCL, cutaneous T-cell lymphoma; GVHD, graft-vesus-host disease; IgG,
immunoglobulin G.

Walsh et al (1994) membandingkan diagnosis etiologi pasien eritroderma hanya


dari gambaran histopatologi saja. Dari 56 sampel biopsi (40 pasien) eritroderma,
didapatkan diagnosis final psoriasis pada 15 pasien (16 biopsi), dermatitis spongiotik
pada 9 pasien (14 biopsi), limfoma sel-T kutan (CTCL) pada 3 pasien (8 biopsi), erupsi
obat pada 4 pasien (6 biopsi), pityriasis rubra pilaris pada 4 pasien (6 biopsi), pada 5
pasien (6 biopsi) tidak dapat ditentukan diagnosisnya. Perbandingan diagnosis dari
beberapa patologis memiliki tingkat akurasi 53%. Tingkat akurasi yang paling tinggi
ditemukan pada kasus dermatitis spongiotik dan paling rendah pada kasus PRP. 17
Biopsi paling sering menjadi standar diagnostik pada eritroderma yang
berhubungan dengan CTCL, dan lebih jarang pada psoriasis dan dermatitis spongiotic.

9
Meskipun demikian, satu dari tiga biopsi pada pasien eritroderma yang berhubungan
dengan CTCL tidak diagnostik. Pada CTCL, imunofenotip sel T dapat banyak ditemukan;
populasi sel T klonal biasanya nampak. Terdapat infiltrat sel inflamasi sedang hingga
berat pada dermis bagian atas: yang seringkali terdistribusi perivaskular dan pada waktu
lain dapat lebih difus. Sel-sel atipik dengan nucleus cerebriform terlihat pada infiltrat.
Eosinofil dapat ditemukan pada infiltrat dan adakalanya jumlahnya banyak. Eksositosis
dari limfosit merupakan temuan yang sering. 15
Diagnosis CTCL (SS atau MF) berdasarkan keberadaan limfosit berukuran
kecil/sedang dengan halo pada epidermis. Sindroma Sezary dan eritroderma MF,
keduanya dapat memiliki gambaran spongiosis yang dapat menutupi limfosit atipikal.
Korelasi klinis patologis sangat penting dan biopsi lanjutan mungkin dibutuhkan. 11
Gambaran histopatologi dari eritroderma psoriasis menyerupai gambaran pada
psoriasis lesi awal dengan hanya terdapat hiperplasia ringan, tumpukan parakeratosis
dengan neutrofil yang sedikit, dan ekstravasasi sel darah merah pada papilla dermis, tidak
didapatkan eosinofil. Pembuluh darah pada dermis atas biasanya dilatasi dan terkadang
terdapat edema endotel. Biasanya, terdapat variasi parakeratosis dan hipogranulosis.
Epidermis menunjukkan akantosis sedang, dan pada saat yang sama, terdapat hiperplasia
psoriasiform, namun temuan ini tidak selalu berkorelasi dengan adanya kondisi psoriasis.
Spongiosis ringan umum ditemukan bahkan dengan penyakit psoriasis yang mendasari. 15
Walaupun kumpulan neutrofil pada stratum korneum merupakan karakteristik
psoriasis, keberadaan neutrofil pada pasien dengan eritroderma tidak selalu mengarah
pada diagnosis tertentu, dapat juga reaksi sekunder akibat kolonisasi bakteri. Psoriasis
eritroderma juga dapat menunjukkan gambaran spongiosis. Ciri khas yang dapat
mendukung diagnosis psoriasis adalah hilangnya lapisan granular, hiperplasia epidermal
yang regular, dan dilatasi kapiler yang berliku-liku, serta tidak didapatkan eosinofil.11
Kasus yang berhubungan dengan obat seringkali menyerupai gambaran mycosis
fungoides, dengan eksositosis yang menonjol dan sel-sel atipik yang tersebar dengan
nukleus cerebriform pada infiltrat. Berkebalikan dengan MF, mikroabses Pautrier tidak
tampak pada eritroderma benigna. Eosinofil tidak selalu tampak pada kasus yang
berhubungan dengan obat, seperti yang seringkali diharapkan. Sangat jarang keberadaan
keratinosit yang apoptotik menjadi petunjuk untuk etiologi obat. Lebih jarang lagi, jika
gambaran menyerupai tipe likenoid.15

10
Kelainan yang mudah didiagnosa meliputi crusted scabies (ditemukan tungau) dan
pemphigus foliaceous (akantolisis). Jika dicurigai pemphigus foliaceous dan temuan
histologi tidak mendukung diagnosis maka pemeriksaan immunofluorescence dapat
membantu.11
Dermatitis, psoriasis, PRP, dan hipersensitivitas terhadap obat memiliki gambaran
histopatologi yang serupa yaitu akantosis, parakeratosis, dan infiltrate limfosit superfisial.
Membedakan diantara penyebab-penyebab tersebut tidak selalu mudah, terutama jika
hanya satu biopsi yang diambil.11 Temuan yang dapat mengarahkan pada dermatitis
antara lain spongiosis dan krusta serous, termasuk likenifikasi. Temuan yang dapat
mengarahkan PRP termasuk pelebaran infundibulum folikular yang terisi keratin, dan
parakeratosis atau orthokeratosis baik pada penampang horizontal maupun tegak lurus
pada stratum korneum.11

2.8 Eritroderma yang Disebabkan HIES


2.8.1 Genodermatosis
Berdasarkan para ahli imunologi, ketika salah satu sistem imun tidak ada atau
tidak berfungsi dengan baik, dapat menyebabkan penyakit defek sistem imun. Jika
penyebabnya adalah genetik atau didapat, disebut dengan penyakit defek sistem imun
primer. Genodermatosis adalah kelainan genetik dengan manifestasi utama pada
kulit.18
Hubungan antara eksim berat dan peningkatan kadar imunoglobulin E plasma
merupakan karakteristik dari dermatitis atopi dan genodermatosis seperti: sindroma
hyperimmunoglobulin E (HIES), sindroma Omenn, sindroma Netherton, sindroma
pengelupasan kulit tipe B (peeling skin syndrome type B, PSS-B) dan dermatitis berat,
multiple allergies and metabolic wasting (SAM) syndrome, sindroma Wiskott-
Aldrich, defisiensi prolidase, sindroma Loeys-Dietz, sindroma IPEX, defisiensi
STAT5B, dan pentasomi X. Manifestasi klinis dari genodermatosis tersebut sesuai
dengan dermatitis atopik berat. Eritroderma dapat terjadi pada semua genodermatosis
tersebut, dengan frekuensi yang bervariasi. 18
Ketika dihadapkan dengan pasien dengan tanda dan gejala klinis sesuai dengan
dermatitis atopik yang berat, namun tidak berespon terhadap terapi tradisional
(intervensi higiene dan diet, kortikosteroid topikal atau sistemik, siklosporin,

11
methotrexate, atau azathioprine), serta terdapat peningkatan kadar IgE serum dari hari
pertama kehidupan, perlu dicurigai adanya salah satu dari sindroma defek sistem imun
primer.18

2.8.2 Sindroma Hyperimmunoglobulin E (HIES)


Sindroma hiperimmunoglobulin E (HIES), adalah sebuah kelainan defek sistem
imun primer yang kejadiannya sangat langka. HIES diklasifikasikan berdasarkan pola
transmisi: autosomal dominan (AD) dan autosomal resesif (AR). Keduanya memiliki
karakteristik peningkatan kadar IgE lebih dari 10 kali lipat kadar normal (>2000
IU/mL), dominasi gangguan pada kulit eksim aku sedang hingga berat dan eksim
subakut yang menyerupai dermatitis atopi disertai infeksi stafilokokus berulang, dan
infeksi sistem respirasi.18
Sindroma HIES awalnya dilaporkan tahun 1966 oleh Davis et al dengan sebutan
sindroma Job dan oleh Buckley et al pada tahun 1972. Berdasarkan pola transmisi,
sindroma ini diklasifikasikan menjadi 2: autosomal dominan (AD) dan autosomal
resesif (AR). Kelainan genetik yang mendasari pada autosomal dominan adalah
defisiensi STAT3. Sedangkan pada autosomal resesif, kelainan genetik diduga
terdapat pada lebih dari satu lokus gen. Diagnosis definitif dengan pemeriksaan
genetik, dapat mengidentifikasi penyebab mutasi. Secara klinis, sistem skoring
digunakan untuk mendiagnosis HIES, pada kedua pola transmisi gen.
Diagnosis banding dari sindroma hyper IgE yaitu dermatitis atopi dan
genodermatosis lain. Manifestasi kelainan kulit biasanya terjadi pada onset awal.
Gambaran klinis dapat bervariasi, namun pada semua kondisi, dapat terjadi
eritroderma dengan frekuensi yang bervariasi. Pada sindroma Netherton dan PSS-B,
eritroderma iktiosiform menjadi gambaran klinis yang dominan dan terjadi pada awal
kehidupan. Diagnosis definitif dengan mengidentifikasi penyebab mutasi. 18

2.8.3 Patogenesis HIES


Beberapa disregulasi sistem imun berperan pada patogenesis HIES, walaupun
defek imunologis dan penyebab pasti pada HIES belum dapat dipahami sepenuhnya.
Kelainan paling sering pada HIES adalah peningkatan serum IgE, eosinofilia,
peningkatan GM-CSF (granulocyte-macrophage colony-stilumating-factor),

12
penurunan reseptor C3b pada neutrofil, penurunan molekul adhesi L-selectin,
penurunan produksi IFN-γ, kurangnya TGF-beta, respon lemah terhadap stimulasi IL-
12, dan kemotaksis neutrofil abnormal. 7
Pada kondisi normal, sintesis IgE meningkat oleh sitokin Th2 (IL-4 dan IL-13),
dan berkurang oleh sitokin Th1 (IFN-γ dan IL-12). Eosinofil juga dipengaruhi oleh
sitokin dari sel-T helper. Sitokin Th2 (IL-4, IL-10, IL-13) menginduksi pembentukan
IgE, aktivasi IL-5, dan diferensiasi eosinofil. Sitokin Th1 (IFN-γ dan IL-12) merepresi
sintesis IgE. Pada HIES, sintesis IgE menjadi suatu proses yang kompleks yang
melibatkan interaksi sel-T dan sel-B serta pelepasan sitokin-sitokin T-helper. Terjadi
ketidakseimbangan serta disregulasi Th1/Th2, sitokin, dan produksi kemokin.
Inkonsistensi defek kemotaksis dan variasi penyakit bertambah seiring waktu.
Peningkatan kadar IgE merupakan akibat sekunder dari banyaknya sitokin Th2 (IL-4,
IL-13, dan IL-6), juga akibat rusaknya katabolisme IgE.7
Disfungsi respon selular dan humoral berperan utama pada HIES. IFN-γ
merupakan indikator dari sitokin Th1, diproduksi oleh sel-T dan sel-NK, mengaktivasi
respon imun selular. Sitokin Th2 (IL-4, IL-10) mengaktivasi respon imun humoral.
Rendahnya rekresi IFN-γ, menyebabkan dominansi terhadap sel Th2. Sitokin Th1
berperan penting pada imunitas terhadap mikroorganisme intraselular. Infeksi
lokal/sistemik dari jamur kandida, mikobakterium, Pneumocystis carinii, atau
Cryptococcus neoformans pada HIES menandakan adanya respon imun seluler yang
abnormal. Terdapat defek pada aksis IL-12/IL-18/IFN-γ, yang menyebabkan
terganggunya biositensis IFN-γ.7 Walaupun penurunan populasi sel-sel supresor tidak
spesifik pada HIES, dapat juga terjadi pada stadium aktif systemic lupus erythematosus
(SLE), multiple sclerosis, acute-versus-gram host disease, serta dermatitis atopi.16

2.8.4 Epidemiologi Eritroderma yang disebabkan HIES


Pada sebuah penelitian di rumah sakit di India, penyebab eritroderma pada
neonatal dan bayi sebanyak 18% adalah genodermatosis. 3 Pada penelitian
Pruszkowski pada neonatal dan bayi, defek sistem imun merupakan penyebab utama
(30%) dari eritroderma.6
Penyakit defek sistem imun primer (PID) terdiri dari beberapa penyakit yang
serius dan langka akibat variasi defek genetik pada sistem imun, seringkali tampak

13
pada bayi atau anak-anak. Perubahan kondisi kulit seringkali menjadi awal diagnosa
adanya defek imun. Dari 60 pasien yang diteliti selama periode 7 tahun di rumah sakit
di Libya, 8% merupakan HIES. Semua memiliki manifestasi kulit berupa abses, dan
20% terjadi eritroderma.10
Bayi yang lahir normal namun kemudian terdapat gejala seperti demam, diare
dan dermatitis eksfoliasi yang timbul dengan cepat (eritroderma),
hypogammaglobulinemia memiliki hubungan yang dominan.5

2.8.5 Gambaran Klinis Eritroderma yang disebabkan HIES


Pada AD-HIES, terdapat gambaran klinis antara lain peningkatan kadar IgE
serum (>2000 IU/L), eosinofilia, eksim, cold abses berulang akibat infeksi
stafilokokus, pneumonia dengan komplikasi bronkiektasis dan pneumatocele, gigi
susu tertahan, hiperekstensibilats sendi, osteopenia, fraktur patologis dari tulang,
skoliosis, dan wajah yang menonjol. Infeksi seringkali disebabkan oleh bakteri
ekstraselular (Staphylococcus aureus, Haemophilus influenzae, Pseudomonas
aeruginosa) dan jamur (Aspergillus species, Candida species, Cryptococcus
neoformans, Pneumocystiis jirovecii). Infeksi mukokutan dengan spesies Candida
biasa terjadi. Terdapat sistem skoring multikomponen yang mencakup temuan klinis
pada AD-HIES.9
Ruam papulopustular pada wajah dan kulit kepala sebelum usia 2 bulan terdapat
pada 67% pasien. Awal ruam dibedakan dari erupsi pustular nonatus dengan adanya
papul dan pustul yang berkrusta, intensitas ruam, dan berlanjut menjadi dermatitis
kronikk. Dermatitis eksematus hampir selalu ada sebelum usis 18 tahun (95%) dan
terutama pada wajah, kulit kepala, dada, dan pantat. semua pasien mengalami infeksi
dermatitis (Staphylococcus aureus) dan 59% memiliki kandidiasis kronik dari mukosa
oral dan kuku. Infeksi virus herpes pada kutan biasanya tidak berat. Raut wajah yang
kasar muncul saat pubertas, dan terkadang pada usia yang lebih muda, dengan
follicular ostia yang menonjol menyerupai atrophoderma vermiculatum yang tidak
berhubungan dengan akne berat atau abses wajah. Ketika berhubungan dengan kadar
IgE serum yang 10 kali dari kadar normalnya, ruam papulopustular pada neonatus
yang berprogre menjadi dermatitis impetiginasata kronis yang berbeda dari dermatitis
atopik klasik, sangat tinggi kemungkinannya mengarah pada AD-HIES. Pengenalan

14
awal penting untuk inisiasi terapi antistafilokokal dan antifungi. 9 Ringkasan dari
temuan klinis manifestasi kulit pada pasien dengan syndrome hyper IgE autosomal
dominan pada Tabel 3.

Tabel 3. Temuan kelainan kulit pada sindroma hyper IgE autosomal dominan (disadur
dari Amani et al, 2011)
Onset waktu
Persentase Mean Median Min Maks
Ruam awal 67%
Ruam papulopustular sebelum usia 2 bulan,
muncul pada wajah dan kulit kepala;
gambaran spesifik yaitu ruam papulopustular
yang kemudian timbul krusta, berbeda
dengan akne pada neonatus
Eksim dermatitis 95%
Ruam popular atau papulopustular sebelum
usia 18 bulan, pada wajah, leher, bahu,
aksila, trunkus bagian atas, serta gluteal;
terjadi secara kronik dan ruam berbeda dari
dermatitis atopic klasik.
Abses kulit 90% 49 36 1 166
Pada leher dan trunkus, tanpa disertai tanda bulan bulan bulan bulan
inflamasi local atau general, disebabkan oleh
infeksi stafilokokus
“Karakteristik” wajah 47% Menonjol pada remaja dan
Tekstur wajah yang kasar, jarak antar hidung dewasa, namun dapat juga
lebar, ujung hidung yang besar terjadi pada anak-anak
Kandidiasis kronik 59%
Kandidiasis oral, paronikia kronis
Atopi 23%
Usia saat diagnosis 104 72 1 348
bulan bulan bulan bulan

2.8.6 Histopatologi Eritroderma yang disebabkan oleh HIES


Eritroderma dapat menjadi salah satu manifestasi klinis dari sindroma defek
sistem imun. Gambaran klinis tidak spesifik dan dapat saling menyerupai pada banyak
kelainan. Gambaran histopatologi sangat bermanfaat pada kondisi eritroderma.
Gambaran yang mengarah pada sindroma defek sistem imun antara lain nekrosis
keratinosit, sel limfosit satelit, dan infiltrat limfosit atau eosinofil dengan jumlah
signifikan.21 Dermatitis perivaskular dengan banyak eosinofil dan spongiosis sering
terdapat pada HIES.18 Diagnosis banding histopatologi eritroderma HIES antara lain
psoriasis eritroderma, dermatitis atopi, serta genodermatosis lain: sindroma Netherton,
PSS-B, SAM, sindroma Omenn, sindroma Wisskott-Aldrich.15

15
Biopsi kulit dari sindroma Netherton memperlihatkan hipogranulosis,
parakeratosis, dan subcorneal detachment, sekresi prematur dari badan lamelar terlihat
pada mikroskop elektron; pemeriksaan imunohistokimia menunjukkan tidak adanya
LEKTI (lympho-epithelial Kazal-type related inhibitor, inhibitor serine protease yang
dikode oleh gen SPINK5) pada lapisan granular dan inner root sheaf (gambar 1).
Semua ini akibat diferensiasi yang abnormal dan percepatan pengelupasan epidermis
pada penyakit ini.

Gambar 1. Sindroma Netherton (NS). A. Bayi dengan NS, eritroderma kongenital. B.


Parakeratosis, nucleus besar, pemanjangan rete ridges regular, tidak terdapat penipisan
suprapapiler, pengecatan Hematein Eosin Saffron, pembesaran 200x. C. Splitting pada stratum
korneum, pengecatan Hematein Eosin Saffron, pembesaran 200x. D. Splitting pada beberapa
lapisan epidermis, pengecatan Hematein Eosin Saffron, pembesaran 200x. E. Pseudo-vesikel
splitting, pengecatan Hematein Eosin Saffron, pembesaran 400x. F. LEKTI* pada kulit normal,
pembesaran 100x. G. LEKTI* tidak ada pada pasien NS, pembesaran 200x.19
*NS: Netherton syndrome; LEKTI: lympho-epithelial Kazal type related inhibitor.

16
Sindroma Peeling skin merupakan kondisi kelainan kulit yang diturunkan
autosomal resesif. Kelainan kulit utama adalah pengelupasan stratum korneum tanpa
adanya perdarahan atau nyeri. Pada tipe B (PSS-B), ditandai dengan lesi eritematus
yang kemudian mengelupas, meninggalkan patch eritematus dengan collarette perifer.
Kelainan genetik yaitu mutasi korneodesmosin. Gambaran histopatologi PSS-B yaitu
epidermis dengan reaksi psoriasiform dengan lapisan granular hilang/menipis, serta
parakeratosis. Terdapat splitting pada lapisan granular. 22 Terdapat akantolisis
subkorneal, infiltrat inflamasi superfisial, dan kekurangan ekspresi gen
korneodesmosin (CDSN) epidermal pada pemeriksaan imunohistokimia. Terlihat
gambaran kehilangan korneodermosom pada mikroskop elektron (Gambar 2A).20
Gambaran histopatologi pada sindroma Omenn didapatkan parakeratosis pada
epidermis. Pada dermis terdapat infiltrat limfohistiosit sedang hingga banyak. Tampak
eksositosis, vakuola sel basal, dan nekrosis keratinosit fokal. Sel-sel limfosit
imunoreaktif terhadap CD8 dan tidak mengekspresikan CD4. Histiosit
mengekspresikan CD68, S-100 negatif (Gambar 2B).20

Gambar 2. A. Histopatologi PSS-B, epidermis dengan reaksi psoriasiform dengan lapisan


granular hilang/menipis, serta parakeratosis. Terdapat splitting pada lapisan granular. 22 B.
Histopatologi sindroma Omenn, tampak parakeratosis pada epidermis (←) dan infiltrat
limfohistiosit. Pengecatan H&E, pembesaran 200x.20

Pada SAM, akantolisis subkorneal dan intragranular dan dermatitis psoriasiform


berbolak balik dengan orthokeratosis/parakeratosis dan hypo- atau hipergranulosis
juga ditemukan. Terdapat hiperkeratosis dan parakeratosis diatas epidermis yang
akantosis. Lapisan granular menghilang, dan tidak terdapat akantolisis. Infiltrat sel
radang di superfisial dermis terdiri dari limfosit, neutrofil, dan histiosit. Jika terdapat
pustul, lokasinya di intraepidermal dan terbatas pada stratum korneum. Mikroskopis
rambut, tidak terdapat trikoreksis invaginata. 23 Pada pemeriksaan menggunakan

17
mikroskop elektron tampak distribusi iregular dari desmosom pada sebagian atas
epidermis, dengan histologi folikular yang normal. Direk imunofluorescence
menunjukkan distribusi sitoplasmik anomali dari desmoglein 1 di keratinosit
epidermal (Gambar 3).18

Gambar 3. Gambaran klinis dan histopatologi Sindroma SAM*. A. Eritroderma generalisata dan
iktiosis, terdapat hipotrikosis dan makrosefali. B. Setelah terapi. C. Keratoderma plantaris. D.
Eritema, skuama dan hipotrikosis difus pada scalp. E. Pustulosis pada abdomen. F. Histopatologi
kulit, tampak hiperplasia psoriasiform ireguler, hiperkeratosis dan parakeratosis, serta infiltrat sel
radang ringan pada dermis superfisial. G. Subkorneal pustular dermatosis. 23
*Severe dermatitis, multiple allergies, and metabolic wasting syndrome

Psoriasis merupakan proses dinamis dan gambaran histopatologi dapat


bervariasi sesuai evolusi dari lesi. Psoriasis eritroderma terjadi pada 2% dari seluruh
penderita psoriasis, berkontribusi pada 20% etiologi eritroderma. Gambaran
histopatologi menyerupai lesi awal psoriasis. Dilatasi pembuluh darah supefisial
biasanya menonjol, lapisan tanduk biasanya tidak nampak. Lesi awal psoriasis, tampak
parakeratosis, terdapat neutrofil yang bermigrasi ke epidermis, dapat terlihat
mikroabses Munro. Epidermis menunjukkan reaksi hiperplasia psoriasiform, dengan
penipisan suprapapilar (Gambar 4).15

18
Gambar 4. Gambaran histopatologi psoriasis, pengecatan H&E. A. Psoriasiform hiperplasis pada
epidermis. B. Tampak neutrofil diatas lapisan parakeratosis. C. Spongiosis ringan diatas rete
ridge. D. Neutrofil bermigrasi menuju parakeratosis. E. Pelebaran pembuluh darah papilla dermis.
F. Hiperplasia epidermis ringan, spongiosis ringan, parakeratosis dengan sedikit neutrofil, dilatasi
pembuluh darah pada dermis superfisial.15

Dermatitis atopi memiliki spektrum klinis akut, subakut dan kronik, sesuai
dengan proses sopngiotik. Pada lesi kronik, gambaran histopatologi menunjukkan
hioperkeratosis, hiperplasia psoriasiform dan spongiosis ringan. Sel mast banyak
terdapat pada infiltrat perivaskular, dengan eosinofil. Tampak peningkatan jumlah
pembuluh darah kecil, serta penebalan pada dinding. Nervus pada kulit tampak
demyelinasi, vakuola fokal, dan fibrosis. Keratinosit epidermal memproduksi banyak
neuotrophin-4 pada lesi pruritus kronis. Jumlah sel Langerhans meningkat pada
epidermis dan dermis (Gambar 5).15

Gambar 5. Histopatologi dermatitis atopik. A & B Tampak peningkatan volume epidermal,


dengan sebagian lipatan psoriasiform. Tampak fokal parakeratosis. Pewarnaan H&E. 15

19
Studi Amani et al (2011), terdapat 2 dari total 21 pasien dengan kecurigaan AD-
HIES yang dilakukan prosedur biopsi. Pemeriksaan histopatologi menunjukkan
gambaran tidak spesifik pada satu kasus, dan dermatitis spongiotik eosinofilik dan
eosinofilik folikulitis pada lainnya (gambar 6A).9 Sehgal et al (2017) melaporkan
sebuah kasus eritroderma pada anak laki-laki 11 tahun. Gambaran histopatologi
dengan pewarnaan hematoxylin dan eosin menunjukkan hyperkeratosis ringan,
parakeratosis fokal, hyperplasia psoriasiform yang tidak rata dengan rete ridge yang
melebar. Tampak area spongiosis fokal diantara eksositosis limfositik. Garis fibrosis
vertikal tampak pada papilla dermis. Edema perivascular diantara pembuluh darah
dermis bagian atas, infiltrat limfosit yang padat, dan inkontinensia pigmen fokal.
Lapisan dermis dalam dan subkutan tidak terdapat kelainan (gambar 6B).12

Gambar 6. Gambaran histopatologi eritroderma pada HIES. A. Gambaran histopatologi pada


autosomal dominan hyper-IgE dengan eritroderma. Folikulitis eosionofilik pada sindroma
hyper-IgE autosomal dominan. Gambaran histopatologi menunjukkan spongiosis dan eksositosis
pada regio infundibulum folikel rambut dengan pustulosis folikular superfisial dan beberapa
nekrosis folikular superfisial. (Perbesaran 100x)9. B. fokus spongiosis pada epidermis serta
eksositosis limfositik. Garis fibrosis vertical pada papilla dermis, pengecatan H&E, 40x.12

20
BAB 3
SERIAL KASUS

3.1 Kasus 1: Eritroderma yang disebabkan Hyperimmunoglobulin E pada anak


11 tahun (2015)
Seorang anak perempuan berusia 11 tahun, suku Jawa, dirawat di bagian anak
Rumah Sakit dr. Saiful Anwar Malang (RSSA) dengan keluhan utama kulit seluruh tubuh
kemerahan dan bersisik, yang dikeluhkan sejak 2 bulan sebelum masuk rumah sakit.
Awalnya bercak kemerahan dengan sisik tipis kekuningan muncul di wajah, leher, dan
lengan, kemudian menyebar ke seluruh tubuh serta kulit kepala, diikuti dengan kulit yang
mengelupas dan terasa gatal. Terdapat kerontokan rambut serta alis mata. Pasien juga
mengeluh demam dan berat badan turun drastis. Pasien sempat berobat ke rumah sakit,
namun keluhan belum hilang sepenuhnya.
Keluhan kulit kemerahan dan bersisik memberat lagi 3 hari sebelum masuk rumah
sakit, disertai dengan kejang dan demam (41oC). Pasien juga mengeluhkan batuk
berdahak 2 hari, tidak sesak. Pasien dibawa ke RS Pare dan dirawat inap selama 3 hari,
kemudian dirujuk ke RSSA.
Pasien pernah mengeluhkan sakit kulit yang sama sebelumnya, 3 bulan sebelum
masuk rumah sakit. Keluhan kulit diawali dengan muncul benjolan kecil kemerahan
diantara jari-jari tangan dan kaki, terasa gatal terutama saat malam hari. Benjolan tersebut
semakin memerah kemudian mengelupas, sampai ke seluruh tubuh dalam waktu kurang
dari 1 bulan. Ibu pasien mengobati keluhan kulit tersebut dengan salep permethrin 5%,
salep inerson (desoximethasone) dan air rebusan daun sirih namun keluhan tidak
berkurang. Pasien kemudian berobat ke RS Pare dan disarankan rawat inap oleh
departemen anak, dengan diagnose pitodermatitis, diberi terapi tablet loratadine, tablet
ketokonazol, dan metilprednisolon. Pasien dirawat selama 7 hari, keluhan kulit membaik
namun tidak hilang sepenuhnya. Diketahui terdapat riwayat atopi pada ibu pasien, pada
pasien disangkal.

Dari pemeriksaan fisik generalis didapatkan pasien dalam kondisi somnolen GCS
335, tampak sakit berat, dengan TD: 110/70 denyut jantung 112 kali/menit regular kuat
angkat, laju pernafasan 28 kali/menit, temperatur aksila 37,8 oC, berat badan 40kg.

21
Didapatkan pembesaran kelenjar getah bening pada limfonodi inguinal kanan, soliter,
diameter 0,5cm, padat, melekat pada dasar.
Pada pemeriksaan dermatologis, pada lebih dari 90% luas permukaan kulit dengan
distribusi generalisata, didapatkan adanya plak eritematus, batas tidak tegas, bentuk
ireguler, dengan skuama putih kekuningan tipis diatasnya. Pada kuku-kuku tangan dan
kaki didapatkan hiperkeratosis subungual, dengan perubahan warna kekuningan.
Terdapat alopesia (gambar 7). Pasien di diagnosis dengan dermatitis eksfoliatif yang
disebabkan oleh dermatitis seboroik/crusted scabies/sindroma sezary.
Hasil pemeriksaan darah tepi dan sumsum tulang menunjukkan suatu Leukemoid
reaction dengan eosinophilia. Pada pemeriksaan scraping kulit dalam minyak emersi,
tidak didapatkan tungau sarcoptes, telur, maupun skibala. Kadar IgE serum >50.000
IU/mL.
Dilakukan prosedur pemeriksaan biopsi kulit dengan plong dilakukan pada bagian
lengan pasien. Hasil biopsi dipulas dengan pengecatan Hematoxyllin dan Eosin, lalu
dilihat pada mikroskop cahaya. Pada pembesaran 40x, tampak jaringan kulit yang terdiri
dari epidermis dan dermis. Tampak epidermis dengan reaksi psoriasiform hyperplasia,
adneksa dermis dalam batas normal. Pada pembesaran 100x tampak epidermis dan
sebagian dermis. Tampak epidermis dengan reaksi psoriasiform hiperplasia, terdapat
spongiosis. Tidak terdapat parakeratosis maupun hiperkeratosis. Dermis superfisial
mengandung infiltrat sel radang yang padat. Tampak infiltrat sel radang limfosit dan
eosinofil. Papilla dermis tampak edematous. Tidak tampak sel limfosit atipik. Pada
pembesaran 400x, tampak sebagian epidermis dengan reaksi spongiosis yang dominan,
dengan sebaran eosinofil. Tampak pembentukan microabses/bulla subkorneal. Tidak
didapatkan badan sarcoptes scabei. Dari pemeriksaan histopatologi disimpulkan bahwa
gambaran paling dominan pada slide histopatologi ini adalah dermatitis spongiotic
kronik. Gambaran ini bisa didapatkan pada kondisi dermatitis kontak alergi (gambar 8-
10).

22
A B C D E

F G H
Gambar 7. Kondisi klinis pasien an.Y, 11 tahun. A Wajah. B Trunkus anterior. C
Trunkus posterior. D Lengan atas kanan. E Lengan atas kiri. F Tungkain bawah. G
Kuku. H Pedis.

Gambar 8. Histopatologi eritroderma pada an. Y. Tampak epidermis dengan reaksi


hiperplasia psoriasiform. Adneksa dermis tampak normal, Pengecatan H&E, perbesaran
40x.

23
Gambar 9. Histopatologi eritroderma pada an. Y. Epidermis dengan reaksi
psoriasiform hiperplasia, tampak spongiosis. Tidak terdapat parakeratosis maupun
hiperkeratosis. Dermis superfisial mengandung infiltrat sel radang yang padat (↑).
Papilla dermis tampak edematous (↑). Pengecatan H&E, perbesaran 100x.

Gambar 10. Histopatologi eritroderma pada an. Y. Reaksi spongiosis tampak dominan.
Pembentukan microabses/bulla subkorneal (↑). Tampak infiltrat sel radang limfosit (↑)
dan eosinophil (↑). Pengecatan H&E, perbesaran 400x.

3.2 Kasus 2: Eritroderma yang disebabkan Hyperimmunoglobulin E pada anak 7


tahun (2018)

24
Seorang anak perempuan berusia 11 tahun, suku Jawa, dirawat di bagian anak
RSSA dengan keluhan utama kulit seluruh tubuh kemerahan, bersisik dan mengelupas,
disertai kulit yang pecah-pecah sejak 10 hari sebelum masuk rumah sakit. Awalnya
muncul sisik-sisik tipis di dahi, kemudian meluas ke wajah, leher, badan, lengan serta
tungkai, semakin menebal dan mulai pecah-pecah sejak 4 hari sebelum masuk rumah
sakit. Pasien sulit bergerak dan kulit terasa tertarik serta sakit saat digerakkan. Kedua
mata sulit menutup. Pasien menggigil dan sudah tidak mandi selama 4 hari. Pasien juga
mengeluhkan batuk berdahak sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit. Pasien rutin
mengonsumsi obat dari poli anak RSSA, serta mengolesi minyak zaitun 2-3 kali/hari pada
bagian kening, namun keluhan pasien tidak membaik.
Pasien mengeluhkan kulitnya kehitaman dimulai dari dada lalu menyebar ke hampir
seluruh tubuh sejak bulan Januari 2018, serta kulit mengelupas di sebagian tubuhnya yang
terasa gatal sejak bulan maret 2018. Pasien pernah dirawat di RSSA sebelumnya
sebanyak 2x, pada bulan maret 2018 dengan diagnosa utama pneumonia dan bulan april
2018 dengan diagnosa utama sindroma hyperimmunoglobulin E + dermatitis eksfoliatif
+ pneumonia, dirawat selama 20 hari, lalu keluar rumah sakit dengan kondisi kulit
mengering.
Riwayat batuk berdahak dan demam berulang sejak bulan Desember 2017.
Terdapat riwayat atopi pada pasien yaitu gatal dan merah di pantat dan tungkai bila makan
mie instan, gatal di tubuh tanpa kemerahan bila makan telur ayam negeri. Tidak
didapatkan riwayat muncul ruam lenting-lenting, eksim yang terus menerus maupun
musiman, benjolan yang nyeri maupun tidak nyeri.
Dari pemeriksaan fisik generalis didapatkan pasien dalam kondisi sadar penuh dan
tampak sakit berat, dengan denyut jantung 84 kali/menit regular kuat angkat, laju
pernafasan 24 kali/menit, temperature aksila 37oC, berat badan 18kg. Tidak didapatkan
pembesaran kelenjar getah bening pada leher, aksila, maupun inguinal.
Pada pemeriksaan dermatologis, pada lebih dari 90% luas permukaan kulit dengan
distribusi generalisata, didapatkan adanya patch eritematus batas tidak tegas, bentuk
ireguler, ukuran bervariasi, berkonfluen, dengan skuama putih tebal diatasnya, serta
tampak multiple fissure pada daerah lipatan-lipatan, oil paper test negatif. Pada bibir dan
sudut mata kiri didapatkan fissure yang tertutup krusta hemoragik, bibir sulit menutup
maupun membuka lebar. Pada kedua mata didapatkan ektropion, tidak didapatkan secret.

25
Tidak didapatkan kelainan pada kuku-kuku (gambar 11). Terdapat peningkatan kadar
IgE total 15.040 IU/mL. Pasien didiagnosis dengan eritroderma yang disebabkan oleh
sindroma hyper-IgE/dermatitis seboroik.

Gambar 11. Kondisi klinis an. A, 7 tahun. A Wajah dan leher. B Leher belakang. C
Bibir. D Trunkus anterior. E Trunkus posterior. F&G Tungkai bawah. H Cruris. I
Dorsal pedis. J Manus.

Dilakukan prosedur pemeriksaan biopsi kulit dengan plong, dilakukan pada bagian
paha kiri lateral pasien, dimana patch eritema terlihat paling berat. Pada pembesaran 40x,
tampan jaringan kulit yang terdiri dari epidermis dan dermis. Tampak epidermis dengan
reaksi hiperplasia psoriasiform, adneksa dermis dalam batas normal. Pada pembesaran
100x, tampak epidermis dan sebagian dermis. Tampak akantosis, hiperkeratosis, reaksi
spongiotic ringan. Papilla dermis tampak edematous sebagian, tidak terdapat
parakeratosis. Pada dermis tampak infiltrat limfosit band-like disertai debris neutrofil dan
eosinofil. Tampak pula pembuluh-pembuluh darah yang melebar pada dermis
superfisialis. Dari pemeriksaan histopatologi disimpulkan bahwa gambaran paling
dominan pada slide histopatologi ini adalah dermatitis psoriasiform dengan eosinofilia.

26
Gambaran ini bisa didapatkan pada kondisi eritroderma dengan penyebab hyper-IgE
(gambar 12-16).

Gambar 12. Histopatologi eritroderma pada an. A. Epidermis terlihat hiperplasia


psoriasiform. Tampak hiperkeratosis dengan area bekas garukan. Tampak infiltrat pada
dermis. Adneksa dermis tampak normal. Pengecatan H&E. Perbesaran 40x.

Gambar 13. Histopatologi eritroderma pada an. A. Epidermis terlihat hiperplasi


psoriasiform, akantosis, tampak pula hiperkeratosis. Tidak tampak parakeratosis. Pada
dermis tampak infiltrat limfosit membentuk band-like pattern. Pengecatan H&E.
Perbesaran 100x.

27
Gambar 14. Histopatologi eritroderma pada an. A. Sel basal apoptotik (↑). Spongiosis
minimal (↑). Akantosis minimal. Infiltrat limfosit di papilla demis dan dermis
superfisial. Pengecatan H&E. Perbesaran 400x.

Gambar 15. Histopatologi eritroderma pada an. A. Tampak eosinofil (↑). Pengecatan
H&E. Perbesaran 400x.

28
Gambar 16. Histopatologi eritroderma pada an. A. Tampak infiltrat limfosit yang padat
disertai debris neutrofil dan eosinofil (↑). Pengecatan H&E. Perbesaran 400x.

29
BAB 4
RINGKASAN

Ketika dihadapkan pada pasien anak-anak dengan kondisi kulit eritema dan
mengelupas pada hampir seluruh tubuh, perlu dilakukan anamnesis yang mendetail dari
setiap kejadian yang menyebabkan perkembangan hingga menjadi eritroderma.
Perjalanan penyakit dapat mengarahkan diagnosis etiologi pada eritroderma. Diagnosis
klinis eritroderma tidak sulit, dengan gambaran klinisi yang cenderung homogen. Namun,
menentukan penyebab yang mendasarinya diperlukan anamnesis, pemeriksaan fisik serta
pemeriksaan penunjang yang teliti. Secara klinis, eritroderma yang diakibatkan HIES
memilki diagnosis banding eritroderma yang disebabkan psoriasis atau genodermatosis
lain.

Pemeriksaan histopatologi dapat menentukan etiologi dari sebagian besar kasus


eritroderma. Gambaran histopatologi yang ditemukan pada pasien eritroderma dapat
bervariasi, baik pada dewasa maupun anak-anak. Beberapa patologi non-spesifik yang
ditemukan pada eritroderma yaitu orthokeratosis, akantosis, serta infiltrat sel inflamasi
perivascular dermis.

Dari dua kasus histopatologi eritroderma yang disebabkan HIES yang dilaporkan,
terdapat gambaran reaksi spongiotik dan psoriasiform. Tampak pula infiltrat sel radang
yang padat terdiri dari limfosit, eosinofil, serta neutrofil pada papilla dan dermis
superfisial. Gambaran histopatologi eritroderma psoriasis, reaksi psoriasiform yang
regular dan tidak terdapat eosinofil. Pada sindroma Netherton dan PSS-B terdapat
splitting atau pseudo-vesikel splitting pada subkorneal. Pada sindroma Omenn terdapat
banyak infiltrat limfohistiosit.

Secara histopatologi, eritroderma yang disebabkan HIES dapat dibedakan dengan


psoriasis, dermatitis atopic kronis, sindroma Netherton, sindroma Omenn, serta
genodermatosis lain.

30
DAFTAR PUSTAKA

1. Grant-Kels JM, Fedeles F, Rothe MJ. Chapter 23 Exfoliative Dermatitis In:


Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine. 8th ed. New York: McGraw-Hill
Book Co; 2012. p. 266-78.
2. Sehgal, Srivastava, Sardana. Erythroderma/exfoliative dermatitis: a synopsis.
International Journal of Dermatology 2004, 43, 39–47.
3. Mistry N et al. A Review of the Diagnosis and Management of Erythroderma
(Generalized Red Skin). Advances in Skin & Wound Care, Vol. 28 No. 5.
4. Sarkar R, Garg VK. Erythroderma in children.Indian J Dermatol Venereol Leprol
2010;76:341-347.
5. Virendra N. Sehgal, MD, and Govind Srivastava, MD. Erythroderma / generalized
exfoliative dermatitis in pediatric practice: An overview. International Journal of
Dermatology 2006, 45, 831–839.
6. Sarkar R, Garg VK. Erythroderma in children. Indian J Dermatol Venereol Leprol
2010;76:341-7
7. Hashemi H et al. Hyperimmunoglobulin E syndrome: Genetics,
immunopathogenesis, clinical findings, and treatment modalities. J Res Med Sci
2017;22:53.
8. Huifeng F et al. Pediatric hyperimmunoglobulin E syndrome. A case series of 4
children in China. Fan et al. Medicine (2018) 97:14.
9. Amani Olaiwan et al. Cutaneous Findings in sporadic and familial autosomal
dominant hyper-IgE syndrome: A retrospective, single-center study of 21 patients
diagnosed using molecular analysis. J Am Acad Dermatol 2011;65:1167-72.
10. Elfaituri SS, Matoug I. Cutaneous Manifestations of Primary Immunodeficiency
Diseases in Libyan Children. J Clin Dermatol Ther 2017, 4: 025 DOI:
10.24966/CDT-8771/
11. D. F. Mutasim, Practical Skin Pathology. Chapter 26 Exfoliative Erythroderma. ©
Springer International Publishing Switzerland 2015. DOI 10.1007/978-3-319-
14729-1_26.
12. Sehgal VN et al. Erythroderma: An association or a manifestation extraordinary of
hyper-Immunoglobulin E. Indian J Paediatr Dermatol 2017;18:306-9.
13. Earlia N et al. Penderita Eritroderma di Instalasi Rawat Inap Kesehatan Kulit dan
Kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya Tahun 2005-2007. Berkala Ilmu Kesehatan
Kulit & Kelamin. Vol. 21 No. 2 Agustus 2009.
14. Yuan dkk. Erythroderma: A clinical-etiological study of 82 cases. Eur J Dermatol.
2010 May-Jun;20(3):373-7. doi: 10.1684/ejd.2010.0943.
15. David Weedon. Weedon’s Skin Pathology 3rd edition. © 2010, Elsevier Limited
All rights reserved
16. Geha RS et al. Deficiency of Suppressor T Cells in the Hyperimmunoglobulin E
Syndrome. J. Clni. Invest. Volume 68 September 1981, 783-791.

31
17. Walsh NMG et al. Histopathology in erythroderma: review of a series of cases by
multiple observers. J Cutan Pathol 1994:419-423.
18. Arjona A, Albarrán P, Tercedor S. Differential Diagnosis of Genetic Disorders
Associated with Moderate to Severe Refractory Eczema and Elevated
Immunoglobulin E. Actas Dermosiliogr. 2016;107(2):116-124.
19. Stepahie LM et al. Skin biopsy in netherton syndrome: a histological review of a
large series and new findings. Am J Dermatopathol 2016;38:83–91. Diakses dari:
https://doi.org/10.1097/DAD.0000000000000425
20. Elnour IB et al. Omenn's Syndrome, A rare primary immunodeficiency disorder.
Sultan Qaboos Univ Med J. 2007 Aug; 7(2): 133–138.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3074865/
21. Pruszkowski A et al. Neonatal and Infantile Erythrodermas, A Retrospective Study
of 51 Patients. Arch Dermatol. 2000;136(7):875-880.
doi:10.1001/archderm.136.7.875
22. Mawla MYA. Keratinization disorders. Diakses dari
https://www.slideshare.net/yousrydermatology/keratinization-disorders-by-
myabdelmawlamd/38, tanggal 27 Juli 2018.
23. McAleer MA et al. Severe dermatitis, multiple allergies, and metabolic wasting
syndrome caused by a novel mutation in the N-terminal plakin domain of
desmoplakin. The Journal of allergy and clinical immunology, June 2015. DOI:
10.1016/j.jaci.2015.05.002

32

Anda mungkin juga menyukai