GAMBARAN HISTOPATOLOGI
PADA PASIEN ERITRODERMA
DENGAN HYPERIMMUNOGLOBULIN E
DI RS. DR. SAIFUL ANWAR TAHUN 2015 & 2018
Oleh :
dr. Nurul Laili Nahlia
Pembimbing I:
dr. Diah Prabawati Retnani, Sp.PA
Pembimbing II:
dr. Anggun Putri Yuniaswan, Sp.KK
i
LEMBAR PERSETUJUAN
TINJAUAN PUSTAKA
GAMBARAN HISTOPATOLOGI
PADA PASIEN ERITRODERMA
DENGAN HYPERIMMUNOGLOBULIN E
DI RS. DR. SAIFUL ANWAR TAHUN 2015 & 2018
Juli 2018
Peserta PPDS-1
Menyetujui,
Pembimbing I Pembimbing II
dr. Diah Prabawati Retnani, Sp.PA dr. Anggun Putri Yuniaswan, Sp.KK
ii
DAFTAR ISI
Hal
DAFTAR ISI iii
DAFTAR TABEL iv
DAFTAR GAMBAR v
DAFTAR SINGKATAN vi
BAB 1 PENDAHULUAN 1
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Eritroderma 2
2.2 Epidemiologi Eritroderma 2
2.3 Etiologi Eritroderma 3
2.4 Patogenesis Eritroderma 5
2.5 Manifestasi Klinis Eritroderma 5
2.6 Pendekatan Diagnosis Eritroderma 7
2.7 Gambaran Histopatologi Eritroderma 7
2.8 Eritroderma yang disebabkan HIES 11
2.8.1 Genodermatosis 11
2.8.2 Sindroma hyperimmunoglobulin E (HIES) 12
2.8.3 Patogenesis HIES 12
2.8.4 Epidemiologi Eritroderma yang disebabkan HIES 13
2.8.5 Gambaran Klinis Eritroderma yang disebabkan HIES 14
2.8.6 Histopatologi Eritroderma yang disebabkan oleh HIES 15
BAB 3 SERIAL KASUS
3.1 Kasus A: Eritroderma yang disebabkan Hyperimmunoglobulin E 21
pada anak 11 tahun (2015)
3.2 Kasus 2: Eritroderma yang disebabkan Hyperimmunoglobulin E pada 25
anak 7 tahun (2018)
BAB 4 RINGKASAN 30
DAFTAR PUSTAKA 31
iii
DAFTAR TABEL
Hal
Tabel 1 Etiologi eritroderma pada kelompok pediatrik 4
Tabel 2 Petunjuk histologi untuk menentukan diagnosis etiologi eritroderma 9
Tabel 3 Temuan kelainan kulit pada sindroma hyper IgE autosomal dominan 15
iv
DAFTAR GAMBAR
Hal
Gambar 1 Sindroma Netherton (NS) 16
Gambar 2 Histopatologi PSS-B 17
Gambar 3 Gambaran klinis dan histopatologi Sindroma SAM 18
Gambar 4 Gambaran histopatologi psoriasis, pengecatan H&E 19
Gambar 5 Histopatologi dermatitis atopik 19
Gambar 6 Gambaran histopatologi eritroderma pada HIES 20
Gambar 7 Kondisi klinis pasien an.Y, 11 tahun 23
Gambar 8 Histopatologi eritroderma pada an. Y, perbesaran 40x 23
Gambar 9 Histopatologi eritroderma pada an. Y, perbesaran 100x 24
Gambar 10 Histopatologi eritroderma pada an. Y, perbesaran 400x 24
Gambar 11 Kondisi klinis an. A, 7 tahun 26
Gambar 12 Histopatologi eritroderma pada an. A, perbesaran 40x 27
Gambar 13 Histopatologi eritroderma pada an. A, perbesaran 100x 28
Gambar 14 Histopatologi eritroderma pada an. A, perbesaran 400x 28
Gambar 15 Histopatologi eritroderma pada an. A, perbesaran 400x 29
Gambar 16 Histopatologi eritroderma pada an. A, perbesaran 400x 29
v
DAFTAR SINGKATAN
AD Autosomal dominan
AR Autosomal resesif
CDSN Corneodesmosin
CTCL cutaneous T-cell lymphoma
CT-scan computed tomography scan
FNAC Fine needle aspiration cytology
GCS Glasgow coma scale
GVHD Graft-versus-host-disease
H&E Hematoxylin and eosin
HIES Hyper immunoglobulin E syndrome
HIV Human immunodeficiency virus
ICAM-1 intercellular adhesion molecule-1
IgE Immunoglobulin E
IgG Immunoglobulin G
IL Interleukin
IPEX Immune dysregulation, polyendrocrinopathy, enteropathy, X-linked
syndrome
LEKTI lympho-epithelial Kazal-type related inhibitor
MF Mycosis fungoides
PID Penyakit imunodefisiensi primer
PRP Pityriasis rubra pilaris
PSS-B Syndrome peeling skin tipe B
RSSA Rumah Sakit dr. Saiful Anwar
SAM Severe dermatitis, multiple allergies, and metabolic wasting
SLE Systemic lupus erythematosus
SPINK5 Serine protease inhibitor Kazal-type 5
SS Sezary syndrome
SSSS Staphylococcal scalded skin syndrome
STAT5 Signal transducer and activator of transcription 5
TNF Tumor necrosis factor
vi
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2
Eritroderma jarang terjadi pada anak-anak, dan hanya sedikit data epidemiologi
terhadap populasi anak-anak. Sebagian besar data yang ada merupakan studi retrospektif
sehingga sulit mendapatkan angka insidensi yang tepat.1,2
Pada sebuah studi oleh Sarkar et al (1999), dalam periode 6 tahun terdapat 17
pasien eritroderma, dengan rata-rata usia 3,3 tahun dan perbandingan laki-laki:perempuan
0,89:1,5.1 Sehgal dan Srivasta (1986) menyebutkan, insidensi eritroderma keseluruhan
sebanyak 35 per 100.000 dari keseluruhan populasi pasien dermatologis pada
cosmopolitan. Dari 80 orang pasien dengan eritroderma, hanya 7 dari kelompok anak-
anak, tiga pasien pada usia 0-3 tahun dan sisanya usia 4-13 tahun, setara dengan insidensi
8,8%. Rasio laki-laki:perempuan setara, dimana usia terjadinya onset bervariasi sesuai
etiologinya. Pada penelitian yang meliputi eritroderma pada neonatus dan bayi (hingga
usia 1 tahun), didapatkan insidensi bervariasi (30% pada kondisi adanya defek sistem
imun, 24% pada ichthyosis, 18% pada sindroma Netherton, 20% memiliki dermatoses
papuloskuamous/eksim, dan 8% idiopatik). 5
3
D : Reaksi obat
Eritroderma memiliki spektrum etiologi yang luas, seperti yang ditunjukkan pada
Tabel 1. Induksi obat menjadi pencetus eritroderma dengan presentase kejadian tertinggi
yaitu 29%, genodermatos, psoriasis dan staphylococcal scalded skin syndrome (SSSS)
masing-masing 18%, dermatitis atopik 12% dan dermatitis seboroik 5%. 5 Pada neonatus
dan bayi, eritroderma sering berhubungan dengan genodermatosis (terutama variasi dari
ichtyosis), dermatitis atopic, psoriasis berat atau dermatitis seboroik, defisiensi imun
primer, dan penyakit metabolic. Leclerc- Mercier et al melakukan riset dari 72 pasien
berusia 1 tahun atau lebih muda yang dirawat inap karena eritroderma, ditemukan bahwa
penyebab paling sering adalah defek sistem imun, ichtyosis, sindroma Netherton (bentuk
ichtyosis autosomal resesif), dermatitis atopic, dan psoriasis. 2
Untuk menentukan etiologi pasti dari eritroderma pada anak, diperlukan koordinasi
antara dermatologis, dokter umum, pediatris, ginekologis serta neonatologis. Para klinisi
tersebut sebaiknya mengumpulkan dan mengkoordinasikan informasi mengenai
eritroderma sehingga dapat membentuk konsensus untuk menyediakan manajemen
pendekatan pasien yang lebih baik.5
Tabel 1 Etiologi eritroderma pada kelompok pediatrik (disadur dari Virendra et al, 2006)
4
Keratitis–ichthyosis–deafness syndrome
Ectodermal dysplasias
Neutral lipid storage disease with ichthyosis
Conradi–Hunermann syndrome
Trichothiodystrophy
6. Kelainan kulit Atopic dermatitis
Psoriasis vulgaris
Ichthyosis–Harlequin (Lamellar/Bullous)
Diffuse cutaneous mastocytosis
Toxic epidermal necrolysis
Pityriasis rubra pilaris
Seborrhoeic dermatitis
Norwegian Scabies
5
rapuh, dan nail plate tampak berkelok-kelok. Inflamasi kulit periorbita dan edema dapat
menyebabkan ektropion dan epifora. Bisa juga terdapat limfadenopati,
hepatosplenomegali, edema kaki/tumit, dan ginekomastia. Pada orang kulit hitam,
kehilangan pigmentasi secara luas biasa terjadi. Kecepatan metabolik basal meningkat
dan kondisi katabolik menyebabkan penurunan berat badan yang signifikan. Dalam
kondisi eritroderma, pasien dapat terjatuh pada kondisi hipo- atau hipertermia yang
ireversibel. Dapat juga terjadi ventricular bradikardi dan hipotensi. Peningkatan aliran
darah perifer dapat menyebabkan gagal jantung akibat tingginya curah jantung. Semua
sistem tubuh dapat terkena akibat kondisi ini. 2
Kondisi eritroderma dapat menyebabkan perubahan yang besar terhadap
metabolisme tubuh. Peningkatan aliran darah kulit dapat menyebabkan hipotermia dan
kehilangan panas yang amat besar. Kompensasi hipermetabolik dan peningkatan
kecepatan metabolik basal tanpa adanya peningkatan aktivitas tiroid dapat terjadi.
Kehilangan protein yang berlebihan akibat pengelupasan dan kebocoran dari kulit,
hemodilusi akibat peningkatan volume plasma, dan hipermetabolisme dapat
menyebabkan kondisi hyperalbuminemia dan edema berat. Lebih jauh lagi, gagal jantung
akibat tingginya curah jantung dapat terjadi sewaktu-waktu.2
Gambaran umum dapat berubah sesuai sifat alami dari penyakit yang mendasari,
setelah diketahui etiologi dan diberikan terapi yang sesuai. Dermatitis generalisata
biasanya terjadi pada dekade keenam atau ketujuh kehidupan; walaupun begitu,
dermatitis atopi dapat terjadi pada usia berapapun. Pruritus dapat menjadi gejala yang
paling berat pada pasien usia tua.2
Gejala klinis utama adalah gatal (41%) dan rasa terbakar (18%). Wajah merupakan
lokasi awal yang terlibat pada mayoritas pasien (52,9%) serta kulit kepala (53%), yang
dapat terjadi akibat proses penyakit generalisata yang cepat. Keterlibatan kulit kepala
tanpa disertai alopesia terjadi pada 10 dari 20 pasien (30%) eritroderma pada neonatus
dan bayi. Pruszkowski et al menunjukkan bahwa kondisi defek sistem imun dicurigai
ketika mendiagnosis pasien dengan kondisi ini. Keterlibatan kuku tampak pada 18%
pasien dan perubahan yang terjadi seperti kuku yang mengkilat, pitting, garis Beau, dan
paronikia, yang juga terjadi pada pasien dewasa. 6
Pada kelompok neonatus dan bayi, eritroderma biasanya tidak disertai dengan
gambaran sistemik. Namun, pada kelompok pediatrik, eritroderma dapat disertai keluhan
6
sistemik yaitu demam (53%), takikardi (53%), dan edema kaki (12%). Didapatkan pula
limfadenopati (18%) dan hepatomegali (12%). 6
7
eritroderma pada cutaneous T-cell lymphoma (sindroma Sezary), dapat dilakukan
pemeriksaan computed tomography scan (CT-scan), positron emission tomography scan
magnetic resonance imaging, dan biopsi limfonodi.3
Biopsi perlu dilakukan kembali pada tempat berbeda, ketika pasien menunjukkan
respon terapi yang buruk, serta pada gambaran histologi yang tidak jelas. Menurut
Montgomery, kapanpun dimungkinkan, biopsi perlu dilakukan pada area aktif yang
belum diterapi, jauh dari area abdomen atau area seboroik. 16 Beberapa penelitian
menyatakan, pada kondisi eritroderma kulit kehilangan banyak karakteristik histologinya,
sehingga sulit bagi patologis untuk menentukan diagnosis etiologi secara akurat. 11 Biopsi
pada beberapa lokasi dapat meningkatkan akurasi diagnosis histopatologi dan gambaran
penyakit yang mendasari.3
Biopsi kulit dapat menjadi alat diagnostik utama untuk mengidentifikasi etiologi
yang mendasari eritroderma, namun interpretasi dari spesimen cukup sulit. Gambaran
diagnostik kelainan kulit yang mendasari dapat serupa dengan bentuk konvensional,
namun seringkali menjadi kabur karena perubahan nonspesifik pada eritroderma, dan
biopsi mungkin diperlukan untuk diulang ketika kondisi klinis nonspesifik membaik.
Pada kondisi eritroderma, perubahan mikroskopis memiliki spesifisitas yang rendah. 3,5
Beberapa patologi non-spesifik yang ditemukan pada eritroderma2,3:
1. Orthokeratosis (Hiperkeratosis, parakeratosis)
2. Akantosis (penebalan epidermis)
3. Infiltrat sel radang perivaskular kronis dengan atau tanpa eosinofilia
Walaupun gambaran klinis dari eritroderma cenderung homogen, etiologinya
beragam dan menentukan penyebab utama merupakan tantangan bagi klinisi. Diagnosis
etiologi eritroderma dapat ditentukan dengan pemeriksaan histopatologi hanya pada 50-
66% kasus.2,5 Pada dewasa, sekitar 65% kasus disebabkan oleh penyakit inflamasi kulit
yang sudah ada seperti psoriasis atau dermatitis spongiotik, 15% penyebab sekunder dari
limfoma atau leukemia, sekitar 10% etiologi tidak dapat ditentukan.5 Petunjuk diagnosis
etiologi eritroderma dari gambaran histopatologi ditunjukkan pada Tabel 2.
Tabel 2. Petunjuk histologi untuk menentukan diagnosis etiologi eritroderma (disadur
dari Sehgal et al, 2004)
Penyakit Kelainan histologi
Psoriasis Parakeratosis, mikroabses Munro, penipisan suprapapila plate,
squirting papilla, akantosis regular
8
CTCL*/Sezary Eksositosis sel-sel mononuclear, epidermotropism, mikroabses
Pautrier
Reaksi obat Perubahan vascular, nekrosis keratinosit
Actinic reticuloid Hyperkeratosis, akantosis, infiltrat leukosit campuran dengan
beberapa sel-sel mononuclear atipik pada dermis superfisial
dan dalam
Pityriasis rubra Orthokeratosis dan parakeratosis saling bertindihan (vertical
pilaris dan horizontal) dengan atau tanpa keratotic plug
Sarcoidosis Granuloma epitheloid “naked” noncaseous dermal, sel raksasa
(giant cell) jarang-jarang dikelilingi limfosit tipis
Dermatitis kontak Spongiosis, eosinofil pada infiltrate dermal
Penyakit Pola interstisial dari sel atipik diantara bundle kolagen
limfoproliferatif
Scabies Infiltrat perivascular dan interstisial dengan eosinofil, tungau
scabies/skibala pada stratum korneum
Dermatofitosis Parakeratosis fokal, hifa pada stratum korneum
Pemphigus Celah intraepidermal suprabasal, keratinosit akantolitik (sel
akantolitik), imunofluoresens direk menunjukkan IgG terikat
pada permukaan sel, antibodi yang bersirkulasi
Pemfigoid Subepidermal bulla dengan eosinofil
GVHD* akut Perubahan vacuolar, nekrosis sel satelit
Dermatitis atopi Spongiosis, eosinofil di dalam infiltrat dermis
Dermatitis seboroik Parakeratosis dengan neutrofil pada bibir dari ostium folikular
Dermatomyositis/su Perubahan vacuolar, badan koloid, peningkatan dermal mucin
bcutaneous lupus
erythematosus (SLE)
Subakut idiopatik Parakeratosis, spongiosis, hyperplasia epidermal, edema
papilla dermis, infiltrat limfohistiositik perivascular superfisial
Kronik idiopatik Hyperkeratosis padat, hyperplasia psoriasiform, spongiosis
minimal, penebalan papilla dermal
*CTCL, cutaneous T-cell lymphoma; GVHD, graft-vesus-host disease; IgG,
immunoglobulin G.
9
Meskipun demikian, satu dari tiga biopsi pada pasien eritroderma yang berhubungan
dengan CTCL tidak diagnostik. Pada CTCL, imunofenotip sel T dapat banyak ditemukan;
populasi sel T klonal biasanya nampak. Terdapat infiltrat sel inflamasi sedang hingga
berat pada dermis bagian atas: yang seringkali terdistribusi perivaskular dan pada waktu
lain dapat lebih difus. Sel-sel atipik dengan nucleus cerebriform terlihat pada infiltrat.
Eosinofil dapat ditemukan pada infiltrat dan adakalanya jumlahnya banyak. Eksositosis
dari limfosit merupakan temuan yang sering. 15
Diagnosis CTCL (SS atau MF) berdasarkan keberadaan limfosit berukuran
kecil/sedang dengan halo pada epidermis. Sindroma Sezary dan eritroderma MF,
keduanya dapat memiliki gambaran spongiosis yang dapat menutupi limfosit atipikal.
Korelasi klinis patologis sangat penting dan biopsi lanjutan mungkin dibutuhkan. 11
Gambaran histopatologi dari eritroderma psoriasis menyerupai gambaran pada
psoriasis lesi awal dengan hanya terdapat hiperplasia ringan, tumpukan parakeratosis
dengan neutrofil yang sedikit, dan ekstravasasi sel darah merah pada papilla dermis, tidak
didapatkan eosinofil. Pembuluh darah pada dermis atas biasanya dilatasi dan terkadang
terdapat edema endotel. Biasanya, terdapat variasi parakeratosis dan hipogranulosis.
Epidermis menunjukkan akantosis sedang, dan pada saat yang sama, terdapat hiperplasia
psoriasiform, namun temuan ini tidak selalu berkorelasi dengan adanya kondisi psoriasis.
Spongiosis ringan umum ditemukan bahkan dengan penyakit psoriasis yang mendasari. 15
Walaupun kumpulan neutrofil pada stratum korneum merupakan karakteristik
psoriasis, keberadaan neutrofil pada pasien dengan eritroderma tidak selalu mengarah
pada diagnosis tertentu, dapat juga reaksi sekunder akibat kolonisasi bakteri. Psoriasis
eritroderma juga dapat menunjukkan gambaran spongiosis. Ciri khas yang dapat
mendukung diagnosis psoriasis adalah hilangnya lapisan granular, hiperplasia epidermal
yang regular, dan dilatasi kapiler yang berliku-liku, serta tidak didapatkan eosinofil.11
Kasus yang berhubungan dengan obat seringkali menyerupai gambaran mycosis
fungoides, dengan eksositosis yang menonjol dan sel-sel atipik yang tersebar dengan
nukleus cerebriform pada infiltrat. Berkebalikan dengan MF, mikroabses Pautrier tidak
tampak pada eritroderma benigna. Eosinofil tidak selalu tampak pada kasus yang
berhubungan dengan obat, seperti yang seringkali diharapkan. Sangat jarang keberadaan
keratinosit yang apoptotik menjadi petunjuk untuk etiologi obat. Lebih jarang lagi, jika
gambaran menyerupai tipe likenoid.15
10
Kelainan yang mudah didiagnosa meliputi crusted scabies (ditemukan tungau) dan
pemphigus foliaceous (akantolisis). Jika dicurigai pemphigus foliaceous dan temuan
histologi tidak mendukung diagnosis maka pemeriksaan immunofluorescence dapat
membantu.11
Dermatitis, psoriasis, PRP, dan hipersensitivitas terhadap obat memiliki gambaran
histopatologi yang serupa yaitu akantosis, parakeratosis, dan infiltrate limfosit superfisial.
Membedakan diantara penyebab-penyebab tersebut tidak selalu mudah, terutama jika
hanya satu biopsi yang diambil.11 Temuan yang dapat mengarahkan pada dermatitis
antara lain spongiosis dan krusta serous, termasuk likenifikasi. Temuan yang dapat
mengarahkan PRP termasuk pelebaran infundibulum folikular yang terisi keratin, dan
parakeratosis atau orthokeratosis baik pada penampang horizontal maupun tegak lurus
pada stratum korneum.11
11
methotrexate, atau azathioprine), serta terdapat peningkatan kadar IgE serum dari hari
pertama kehidupan, perlu dicurigai adanya salah satu dari sindroma defek sistem imun
primer.18
12
penurunan reseptor C3b pada neutrofil, penurunan molekul adhesi L-selectin,
penurunan produksi IFN-γ, kurangnya TGF-beta, respon lemah terhadap stimulasi IL-
12, dan kemotaksis neutrofil abnormal. 7
Pada kondisi normal, sintesis IgE meningkat oleh sitokin Th2 (IL-4 dan IL-13),
dan berkurang oleh sitokin Th1 (IFN-γ dan IL-12). Eosinofil juga dipengaruhi oleh
sitokin dari sel-T helper. Sitokin Th2 (IL-4, IL-10, IL-13) menginduksi pembentukan
IgE, aktivasi IL-5, dan diferensiasi eosinofil. Sitokin Th1 (IFN-γ dan IL-12) merepresi
sintesis IgE. Pada HIES, sintesis IgE menjadi suatu proses yang kompleks yang
melibatkan interaksi sel-T dan sel-B serta pelepasan sitokin-sitokin T-helper. Terjadi
ketidakseimbangan serta disregulasi Th1/Th2, sitokin, dan produksi kemokin.
Inkonsistensi defek kemotaksis dan variasi penyakit bertambah seiring waktu.
Peningkatan kadar IgE merupakan akibat sekunder dari banyaknya sitokin Th2 (IL-4,
IL-13, dan IL-6), juga akibat rusaknya katabolisme IgE.7
Disfungsi respon selular dan humoral berperan utama pada HIES. IFN-γ
merupakan indikator dari sitokin Th1, diproduksi oleh sel-T dan sel-NK, mengaktivasi
respon imun selular. Sitokin Th2 (IL-4, IL-10) mengaktivasi respon imun humoral.
Rendahnya rekresi IFN-γ, menyebabkan dominansi terhadap sel Th2. Sitokin Th1
berperan penting pada imunitas terhadap mikroorganisme intraselular. Infeksi
lokal/sistemik dari jamur kandida, mikobakterium, Pneumocystis carinii, atau
Cryptococcus neoformans pada HIES menandakan adanya respon imun seluler yang
abnormal. Terdapat defek pada aksis IL-12/IL-18/IFN-γ, yang menyebabkan
terganggunya biositensis IFN-γ.7 Walaupun penurunan populasi sel-sel supresor tidak
spesifik pada HIES, dapat juga terjadi pada stadium aktif systemic lupus erythematosus
(SLE), multiple sclerosis, acute-versus-gram host disease, serta dermatitis atopi.16
13
pada bayi atau anak-anak. Perubahan kondisi kulit seringkali menjadi awal diagnosa
adanya defek imun. Dari 60 pasien yang diteliti selama periode 7 tahun di rumah sakit
di Libya, 8% merupakan HIES. Semua memiliki manifestasi kulit berupa abses, dan
20% terjadi eritroderma.10
Bayi yang lahir normal namun kemudian terdapat gejala seperti demam, diare
dan dermatitis eksfoliasi yang timbul dengan cepat (eritroderma),
hypogammaglobulinemia memiliki hubungan yang dominan.5
14
awal penting untuk inisiasi terapi antistafilokokal dan antifungi. 9 Ringkasan dari
temuan klinis manifestasi kulit pada pasien dengan syndrome hyper IgE autosomal
dominan pada Tabel 3.
Tabel 3. Temuan kelainan kulit pada sindroma hyper IgE autosomal dominan (disadur
dari Amani et al, 2011)
Onset waktu
Persentase Mean Median Min Maks
Ruam awal 67%
Ruam papulopustular sebelum usia 2 bulan,
muncul pada wajah dan kulit kepala;
gambaran spesifik yaitu ruam papulopustular
yang kemudian timbul krusta, berbeda
dengan akne pada neonatus
Eksim dermatitis 95%
Ruam popular atau papulopustular sebelum
usia 18 bulan, pada wajah, leher, bahu,
aksila, trunkus bagian atas, serta gluteal;
terjadi secara kronik dan ruam berbeda dari
dermatitis atopic klasik.
Abses kulit 90% 49 36 1 166
Pada leher dan trunkus, tanpa disertai tanda bulan bulan bulan bulan
inflamasi local atau general, disebabkan oleh
infeksi stafilokokus
“Karakteristik” wajah 47% Menonjol pada remaja dan
Tekstur wajah yang kasar, jarak antar hidung dewasa, namun dapat juga
lebar, ujung hidung yang besar terjadi pada anak-anak
Kandidiasis kronik 59%
Kandidiasis oral, paronikia kronis
Atopi 23%
Usia saat diagnosis 104 72 1 348
bulan bulan bulan bulan
15
Biopsi kulit dari sindroma Netherton memperlihatkan hipogranulosis,
parakeratosis, dan subcorneal detachment, sekresi prematur dari badan lamelar terlihat
pada mikroskop elektron; pemeriksaan imunohistokimia menunjukkan tidak adanya
LEKTI (lympho-epithelial Kazal-type related inhibitor, inhibitor serine protease yang
dikode oleh gen SPINK5) pada lapisan granular dan inner root sheaf (gambar 1).
Semua ini akibat diferensiasi yang abnormal dan percepatan pengelupasan epidermis
pada penyakit ini.
16
Sindroma Peeling skin merupakan kondisi kelainan kulit yang diturunkan
autosomal resesif. Kelainan kulit utama adalah pengelupasan stratum korneum tanpa
adanya perdarahan atau nyeri. Pada tipe B (PSS-B), ditandai dengan lesi eritematus
yang kemudian mengelupas, meninggalkan patch eritematus dengan collarette perifer.
Kelainan genetik yaitu mutasi korneodesmosin. Gambaran histopatologi PSS-B yaitu
epidermis dengan reaksi psoriasiform dengan lapisan granular hilang/menipis, serta
parakeratosis. Terdapat splitting pada lapisan granular. 22 Terdapat akantolisis
subkorneal, infiltrat inflamasi superfisial, dan kekurangan ekspresi gen
korneodesmosin (CDSN) epidermal pada pemeriksaan imunohistokimia. Terlihat
gambaran kehilangan korneodermosom pada mikroskop elektron (Gambar 2A).20
Gambaran histopatologi pada sindroma Omenn didapatkan parakeratosis pada
epidermis. Pada dermis terdapat infiltrat limfohistiosit sedang hingga banyak. Tampak
eksositosis, vakuola sel basal, dan nekrosis keratinosit fokal. Sel-sel limfosit
imunoreaktif terhadap CD8 dan tidak mengekspresikan CD4. Histiosit
mengekspresikan CD68, S-100 negatif (Gambar 2B).20
17
mikroskop elektron tampak distribusi iregular dari desmosom pada sebagian atas
epidermis, dengan histologi folikular yang normal. Direk imunofluorescence
menunjukkan distribusi sitoplasmik anomali dari desmoglein 1 di keratinosit
epidermal (Gambar 3).18
Gambar 3. Gambaran klinis dan histopatologi Sindroma SAM*. A. Eritroderma generalisata dan
iktiosis, terdapat hipotrikosis dan makrosefali. B. Setelah terapi. C. Keratoderma plantaris. D.
Eritema, skuama dan hipotrikosis difus pada scalp. E. Pustulosis pada abdomen. F. Histopatologi
kulit, tampak hiperplasia psoriasiform ireguler, hiperkeratosis dan parakeratosis, serta infiltrat sel
radang ringan pada dermis superfisial. G. Subkorneal pustular dermatosis. 23
*Severe dermatitis, multiple allergies, and metabolic wasting syndrome
18
Gambar 4. Gambaran histopatologi psoriasis, pengecatan H&E. A. Psoriasiform hiperplasis pada
epidermis. B. Tampak neutrofil diatas lapisan parakeratosis. C. Spongiosis ringan diatas rete
ridge. D. Neutrofil bermigrasi menuju parakeratosis. E. Pelebaran pembuluh darah papilla dermis.
F. Hiperplasia epidermis ringan, spongiosis ringan, parakeratosis dengan sedikit neutrofil, dilatasi
pembuluh darah pada dermis superfisial.15
Dermatitis atopi memiliki spektrum klinis akut, subakut dan kronik, sesuai
dengan proses sopngiotik. Pada lesi kronik, gambaran histopatologi menunjukkan
hioperkeratosis, hiperplasia psoriasiform dan spongiosis ringan. Sel mast banyak
terdapat pada infiltrat perivaskular, dengan eosinofil. Tampak peningkatan jumlah
pembuluh darah kecil, serta penebalan pada dinding. Nervus pada kulit tampak
demyelinasi, vakuola fokal, dan fibrosis. Keratinosit epidermal memproduksi banyak
neuotrophin-4 pada lesi pruritus kronis. Jumlah sel Langerhans meningkat pada
epidermis dan dermis (Gambar 5).15
19
Studi Amani et al (2011), terdapat 2 dari total 21 pasien dengan kecurigaan AD-
HIES yang dilakukan prosedur biopsi. Pemeriksaan histopatologi menunjukkan
gambaran tidak spesifik pada satu kasus, dan dermatitis spongiotik eosinofilik dan
eosinofilik folikulitis pada lainnya (gambar 6A).9 Sehgal et al (2017) melaporkan
sebuah kasus eritroderma pada anak laki-laki 11 tahun. Gambaran histopatologi
dengan pewarnaan hematoxylin dan eosin menunjukkan hyperkeratosis ringan,
parakeratosis fokal, hyperplasia psoriasiform yang tidak rata dengan rete ridge yang
melebar. Tampak area spongiosis fokal diantara eksositosis limfositik. Garis fibrosis
vertikal tampak pada papilla dermis. Edema perivascular diantara pembuluh darah
dermis bagian atas, infiltrat limfosit yang padat, dan inkontinensia pigmen fokal.
Lapisan dermis dalam dan subkutan tidak terdapat kelainan (gambar 6B).12
20
BAB 3
SERIAL KASUS
Dari pemeriksaan fisik generalis didapatkan pasien dalam kondisi somnolen GCS
335, tampak sakit berat, dengan TD: 110/70 denyut jantung 112 kali/menit regular kuat
angkat, laju pernafasan 28 kali/menit, temperatur aksila 37,8 oC, berat badan 40kg.
21
Didapatkan pembesaran kelenjar getah bening pada limfonodi inguinal kanan, soliter,
diameter 0,5cm, padat, melekat pada dasar.
Pada pemeriksaan dermatologis, pada lebih dari 90% luas permukaan kulit dengan
distribusi generalisata, didapatkan adanya plak eritematus, batas tidak tegas, bentuk
ireguler, dengan skuama putih kekuningan tipis diatasnya. Pada kuku-kuku tangan dan
kaki didapatkan hiperkeratosis subungual, dengan perubahan warna kekuningan.
Terdapat alopesia (gambar 7). Pasien di diagnosis dengan dermatitis eksfoliatif yang
disebabkan oleh dermatitis seboroik/crusted scabies/sindroma sezary.
Hasil pemeriksaan darah tepi dan sumsum tulang menunjukkan suatu Leukemoid
reaction dengan eosinophilia. Pada pemeriksaan scraping kulit dalam minyak emersi,
tidak didapatkan tungau sarcoptes, telur, maupun skibala. Kadar IgE serum >50.000
IU/mL.
Dilakukan prosedur pemeriksaan biopsi kulit dengan plong dilakukan pada bagian
lengan pasien. Hasil biopsi dipulas dengan pengecatan Hematoxyllin dan Eosin, lalu
dilihat pada mikroskop cahaya. Pada pembesaran 40x, tampak jaringan kulit yang terdiri
dari epidermis dan dermis. Tampak epidermis dengan reaksi psoriasiform hyperplasia,
adneksa dermis dalam batas normal. Pada pembesaran 100x tampak epidermis dan
sebagian dermis. Tampak epidermis dengan reaksi psoriasiform hiperplasia, terdapat
spongiosis. Tidak terdapat parakeratosis maupun hiperkeratosis. Dermis superfisial
mengandung infiltrat sel radang yang padat. Tampak infiltrat sel radang limfosit dan
eosinofil. Papilla dermis tampak edematous. Tidak tampak sel limfosit atipik. Pada
pembesaran 400x, tampak sebagian epidermis dengan reaksi spongiosis yang dominan,
dengan sebaran eosinofil. Tampak pembentukan microabses/bulla subkorneal. Tidak
didapatkan badan sarcoptes scabei. Dari pemeriksaan histopatologi disimpulkan bahwa
gambaran paling dominan pada slide histopatologi ini adalah dermatitis spongiotic
kronik. Gambaran ini bisa didapatkan pada kondisi dermatitis kontak alergi (gambar 8-
10).
22
A B C D E
F G H
Gambar 7. Kondisi klinis pasien an.Y, 11 tahun. A Wajah. B Trunkus anterior. C
Trunkus posterior. D Lengan atas kanan. E Lengan atas kiri. F Tungkain bawah. G
Kuku. H Pedis.
23
Gambar 9. Histopatologi eritroderma pada an. Y. Epidermis dengan reaksi
psoriasiform hiperplasia, tampak spongiosis. Tidak terdapat parakeratosis maupun
hiperkeratosis. Dermis superfisial mengandung infiltrat sel radang yang padat (↑).
Papilla dermis tampak edematous (↑). Pengecatan H&E, perbesaran 100x.
Gambar 10. Histopatologi eritroderma pada an. Y. Reaksi spongiosis tampak dominan.
Pembentukan microabses/bulla subkorneal (↑). Tampak infiltrat sel radang limfosit (↑)
dan eosinophil (↑). Pengecatan H&E, perbesaran 400x.
24
Seorang anak perempuan berusia 11 tahun, suku Jawa, dirawat di bagian anak
RSSA dengan keluhan utama kulit seluruh tubuh kemerahan, bersisik dan mengelupas,
disertai kulit yang pecah-pecah sejak 10 hari sebelum masuk rumah sakit. Awalnya
muncul sisik-sisik tipis di dahi, kemudian meluas ke wajah, leher, badan, lengan serta
tungkai, semakin menebal dan mulai pecah-pecah sejak 4 hari sebelum masuk rumah
sakit. Pasien sulit bergerak dan kulit terasa tertarik serta sakit saat digerakkan. Kedua
mata sulit menutup. Pasien menggigil dan sudah tidak mandi selama 4 hari. Pasien juga
mengeluhkan batuk berdahak sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit. Pasien rutin
mengonsumsi obat dari poli anak RSSA, serta mengolesi minyak zaitun 2-3 kali/hari pada
bagian kening, namun keluhan pasien tidak membaik.
Pasien mengeluhkan kulitnya kehitaman dimulai dari dada lalu menyebar ke hampir
seluruh tubuh sejak bulan Januari 2018, serta kulit mengelupas di sebagian tubuhnya yang
terasa gatal sejak bulan maret 2018. Pasien pernah dirawat di RSSA sebelumnya
sebanyak 2x, pada bulan maret 2018 dengan diagnosa utama pneumonia dan bulan april
2018 dengan diagnosa utama sindroma hyperimmunoglobulin E + dermatitis eksfoliatif
+ pneumonia, dirawat selama 20 hari, lalu keluar rumah sakit dengan kondisi kulit
mengering.
Riwayat batuk berdahak dan demam berulang sejak bulan Desember 2017.
Terdapat riwayat atopi pada pasien yaitu gatal dan merah di pantat dan tungkai bila makan
mie instan, gatal di tubuh tanpa kemerahan bila makan telur ayam negeri. Tidak
didapatkan riwayat muncul ruam lenting-lenting, eksim yang terus menerus maupun
musiman, benjolan yang nyeri maupun tidak nyeri.
Dari pemeriksaan fisik generalis didapatkan pasien dalam kondisi sadar penuh dan
tampak sakit berat, dengan denyut jantung 84 kali/menit regular kuat angkat, laju
pernafasan 24 kali/menit, temperature aksila 37oC, berat badan 18kg. Tidak didapatkan
pembesaran kelenjar getah bening pada leher, aksila, maupun inguinal.
Pada pemeriksaan dermatologis, pada lebih dari 90% luas permukaan kulit dengan
distribusi generalisata, didapatkan adanya patch eritematus batas tidak tegas, bentuk
ireguler, ukuran bervariasi, berkonfluen, dengan skuama putih tebal diatasnya, serta
tampak multiple fissure pada daerah lipatan-lipatan, oil paper test negatif. Pada bibir dan
sudut mata kiri didapatkan fissure yang tertutup krusta hemoragik, bibir sulit menutup
maupun membuka lebar. Pada kedua mata didapatkan ektropion, tidak didapatkan secret.
25
Tidak didapatkan kelainan pada kuku-kuku (gambar 11). Terdapat peningkatan kadar
IgE total 15.040 IU/mL. Pasien didiagnosis dengan eritroderma yang disebabkan oleh
sindroma hyper-IgE/dermatitis seboroik.
Gambar 11. Kondisi klinis an. A, 7 tahun. A Wajah dan leher. B Leher belakang. C
Bibir. D Trunkus anterior. E Trunkus posterior. F&G Tungkai bawah. H Cruris. I
Dorsal pedis. J Manus.
Dilakukan prosedur pemeriksaan biopsi kulit dengan plong, dilakukan pada bagian
paha kiri lateral pasien, dimana patch eritema terlihat paling berat. Pada pembesaran 40x,
tampan jaringan kulit yang terdiri dari epidermis dan dermis. Tampak epidermis dengan
reaksi hiperplasia psoriasiform, adneksa dermis dalam batas normal. Pada pembesaran
100x, tampak epidermis dan sebagian dermis. Tampak akantosis, hiperkeratosis, reaksi
spongiotic ringan. Papilla dermis tampak edematous sebagian, tidak terdapat
parakeratosis. Pada dermis tampak infiltrat limfosit band-like disertai debris neutrofil dan
eosinofil. Tampak pula pembuluh-pembuluh darah yang melebar pada dermis
superfisialis. Dari pemeriksaan histopatologi disimpulkan bahwa gambaran paling
dominan pada slide histopatologi ini adalah dermatitis psoriasiform dengan eosinofilia.
26
Gambaran ini bisa didapatkan pada kondisi eritroderma dengan penyebab hyper-IgE
(gambar 12-16).
27
Gambar 14. Histopatologi eritroderma pada an. A. Sel basal apoptotik (↑). Spongiosis
minimal (↑). Akantosis minimal. Infiltrat limfosit di papilla demis dan dermis
superfisial. Pengecatan H&E. Perbesaran 400x.
Gambar 15. Histopatologi eritroderma pada an. A. Tampak eosinofil (↑). Pengecatan
H&E. Perbesaran 400x.
28
Gambar 16. Histopatologi eritroderma pada an. A. Tampak infiltrat limfosit yang padat
disertai debris neutrofil dan eosinofil (↑). Pengecatan H&E. Perbesaran 400x.
29
BAB 4
RINGKASAN
Ketika dihadapkan pada pasien anak-anak dengan kondisi kulit eritema dan
mengelupas pada hampir seluruh tubuh, perlu dilakukan anamnesis yang mendetail dari
setiap kejadian yang menyebabkan perkembangan hingga menjadi eritroderma.
Perjalanan penyakit dapat mengarahkan diagnosis etiologi pada eritroderma. Diagnosis
klinis eritroderma tidak sulit, dengan gambaran klinisi yang cenderung homogen. Namun,
menentukan penyebab yang mendasarinya diperlukan anamnesis, pemeriksaan fisik serta
pemeriksaan penunjang yang teliti. Secara klinis, eritroderma yang diakibatkan HIES
memilki diagnosis banding eritroderma yang disebabkan psoriasis atau genodermatosis
lain.
Dari dua kasus histopatologi eritroderma yang disebabkan HIES yang dilaporkan,
terdapat gambaran reaksi spongiotik dan psoriasiform. Tampak pula infiltrat sel radang
yang padat terdiri dari limfosit, eosinofil, serta neutrofil pada papilla dan dermis
superfisial. Gambaran histopatologi eritroderma psoriasis, reaksi psoriasiform yang
regular dan tidak terdapat eosinofil. Pada sindroma Netherton dan PSS-B terdapat
splitting atau pseudo-vesikel splitting pada subkorneal. Pada sindroma Omenn terdapat
banyak infiltrat limfohistiosit.
30
DAFTAR PUSTAKA
31
17. Walsh NMG et al. Histopathology in erythroderma: review of a series of cases by
multiple observers. J Cutan Pathol 1994:419-423.
18. Arjona A, Albarrán P, Tercedor S. Differential Diagnosis of Genetic Disorders
Associated with Moderate to Severe Refractory Eczema and Elevated
Immunoglobulin E. Actas Dermosiliogr. 2016;107(2):116-124.
19. Stepahie LM et al. Skin biopsy in netherton syndrome: a histological review of a
large series and new findings. Am J Dermatopathol 2016;38:83–91. Diakses dari:
https://doi.org/10.1097/DAD.0000000000000425
20. Elnour IB et al. Omenn's Syndrome, A rare primary immunodeficiency disorder.
Sultan Qaboos Univ Med J. 2007 Aug; 7(2): 133–138.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3074865/
21. Pruszkowski A et al. Neonatal and Infantile Erythrodermas, A Retrospective Study
of 51 Patients. Arch Dermatol. 2000;136(7):875-880.
doi:10.1001/archderm.136.7.875
22. Mawla MYA. Keratinization disorders. Diakses dari
https://www.slideshare.net/yousrydermatology/keratinization-disorders-by-
myabdelmawlamd/38, tanggal 27 Juli 2018.
23. McAleer MA et al. Severe dermatitis, multiple allergies, and metabolic wasting
syndrome caused by a novel mutation in the N-terminal plakin domain of
desmoplakin. The Journal of allergy and clinical immunology, June 2015. DOI:
10.1016/j.jaci.2015.05.002
32