Anda di halaman 1dari 16

PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10

PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA


13 - 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

STUDI KARAKTERISTIK MINERALISASI TIMAH PRIMER TIPE ENDAPAN


GREISEN BLOK LEMBAH JAMBU, TEMPILANG, BANGKA BARAT,
KEPULAUAN BANGKA & BELITUNG

Miftah Mukifin Ali1


Sutanto2
Suprapto2
1
Mahasiswa Teknik Geologi UPN “Veteran” Yogyakarta
2
Staff Pengajar Teknik Geologi UPN “Veteran” Yogyakarta
Jl. SWK 104 Lingkar Utara, Depok , Sleman, Yogyakarta 55281
*corresponding author:miftahmukifin@gmail.com

ABSTRAK
Pulau Bangka merupakan satu dari sekian banyak daerah di Indonesia yang memiliki potensi
sumberdaya mineral yang cukup melimpah. Produksi timah merupakan komoditas utama dalam
eksplorasi endapan mineral logam di Pulau Bangka yang membuat Indonesia merupakan salah satu
negara penghasil timah terbesar di dunia. Pembentukan endapan timah yang tersebar di sepanjang
Pulau Bangka secara umum berasal dari pembentukan magma asam akibat proses peleburan kerak
benua pada proses kolisi. Blok Lembah Jambu merupakan daerah IUP PT. Timah Tbk. Blok Lembah
Jambu secara administrasi terletak pada Kecamatan Tempilang, Kabupaten Bangka Barat, Provinsi
Bangka dan Belitung. Secara geografis lokasi penelitian berada pada koordinat UTM 48N 576500 mE
– 578000 mE dan 9768400 mN– 9770400 mN. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karaktristik
mineralisasi timah primer yang meliputi kondisi geologi, mengetahui pola persebaran alterasi dan
mineralisasi, mengetahui hubungan antara litologi, alterasi, mineralisasi, serta struktur geologi,
mengetahui karakteristik tipe endapan dan untuk mengetahui sejarah dan proses geologi pada lokasi
penelitian. Penelitian dilakukan dengan pemetaan geologi permukaan dan soil sampling dengan
menggunakan bor auger. Analisa yang dilakukan adalah analisa petrografi, analisa mineralgrafi,
analisa ASD (Analitycal Spectral Devices), dan Analisa XRF (X-Ray Fluorosence). Susunan
stratigrafi lokasi penelitin dari yang berumur tua ke muda secara berurutan adalah Satuan Batupasir
Tanjunggenting (Trias Awal-Trias Tengah), Satuan Coarse Graine Granit Klabat (Trias Akhir-Jura
Awal), Satuan Fine Graine Granit Klabat (Trias Akhir-Jura Awal dan Satuan Endapan Alluvial
(Kuarter). Himpunan mineral ubahan di lokasi penelitian berdasarkan hasil dari analisa ASD
merupakan hasil dari proses hidrotermal yang terdiri dari lima zonasi himpunan mineral yaitu
Tourmaline + Chlorite, Tourmaline + Kaolinite ± Phengite, Kaolinite + Kuarsa ± Illite ± Muscovite,
Kaolinite ± Phengite ± Kuarsa dan Kuarsa + Kaolinite ± Palygorskite. Dijumpai pula alterasi oksida
yang merupakan hasil dari proses permukaan pada semua zonasi. Mineralisai Timah Primer dijumpai
dalam mineral kasiterit (SnO2) yang terdapat pada urat-urat berlembar kuarsa, clay dan oksida serta
dijumpai dalam lode. Kontrol struktur geologi menjadi faktor yang paling penting dalam proses
alterasi dan mineralisasi. Struktur yang berkembang dalam menggontrol mineralisasi timah primer
adalah kekar dan sesar mendatar kiri dengan arah baratlaut-tenggara, dimana pada zona sesar ini
terdapat mineralisasi Sn dengan kadar tinggi. Berdasarkan parameter karakteristik tipe endapan di
lapangan dan kemudian dilakukan analisa laboratorium, tipe endapan pada lokasi penelitian
berdasarkan Stempork (1977) adalah tipe endapan greisen dalam fase pengendapan urat.
Kata kunci : Greisen, Alterasi, Mineralisasi Sn, Urat

1. Pendahuluan
Endapan hidrotermal merupakan suatu endapan mineral penting yang banyak dicari
oleh para ahli geologi karena menghasilkan komoditas logam dengan harga jual tinggi dan
banyak digunakan di dunia. Dewasa ini kebutuhan mineral semakin meningkat, sedangkan
cadangan yang telah diketahui semakin sedikit. Oleh karena itu, diperlukan pengembangan
eksplorasi guna mendapatkan cadangan endapan yang baru. Pulau Bangka merupakan satu
dari sekian banyak daerah di Indonesia yang memiliki potensi sumberdaya mineral yang

1149
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 - 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

cukup melimpah. Produksi timah merupakan komoditas utama dalam eksplorasi endapan
mineral logam di Pulau Bangka yang membuat Indonesia merupakan salah satu negara
penghasil timah terbesar di dunia. Pembentukan endapan timah yang tersebar di sepanjang
Pulau Bangka secara umum berasal dari pembentukan magma asam akibat proses peleburan
kerak benua pada proses kolisi. Blok Lembah Jambu, Tempilang, Bangka Barat, Kepulauan
Bangka Belitung merupakan salah satu daerah yang kaya akan mineralisasi. Jenis dan tipe
batuan yang terdapat di daerah ini sebagian besar telah terubah akibat kerja intrusi yang
membentuk tipe endapan greisen.
1.1. Fisiografi Regional Pulau Bangka
Menurut Van Bemmelen (1949), Pulau Bangka termasuk kedalam gugusan
pulau yang berada di Paparan Sunda (Sunda Shelf), dimana pulau-pulau ini dahulunya
merupakan bagian dari Daratan Sunda (Sunda Land). Bagian dari Daratan Sunda yang
kini dikenal sebagai Paparan Sunda tersusun oleh Pulau Bangka bersama dengan
Pulau Belitung, Lingga dan Singkep, Kepulauan Natuna, Anambas dan Tambelan,
Riau, Karimata, Karimunjawa dan Bawean. Akibat dari proses peneplainasi yang
berlangsung dalam jangka waktu yang lama, banyak dari tinggian pada pulau-pulau
ini lapuk dan tererosi. Hal ini dibuktikan dengan tebalnya profil tanah yang dapat
dijumpai di pulau-pulau ini. Selain proses peneplainasi, fenomena naik-turun muka air
laut yang terjadi pada Zaman Kuarter juga mengakibatkan gugusan pulau ini terpisah
oleh perairan dangkal seperti sekarang. Meskipun sekarang pulau-pulau ini dipisahkan
oleh perairan dangkal, susunan dari pulau-pulau ini terlihat mengindikasikan arah
struktur utama yang menghubungkan Asia Tenggara dengan tiga pulau besar yang
termasuk dalam Daratan Sunda yakni Pulau Jawa, Sumatera dan Kalimantan. Pulau
dengan luas 11.534,142 Km2 ini dikelilingi oleh Pulau Sumatera dan Selat Bangka di
sebelah barat daya, Pulau Belitung di sebelah timur, Pulau Kalimantan di sebelah
timur laut, Kepulauan Riau di sebelah barat laut, Pulau Anambas dan Laut Cina
Selatan di sebelah utara serta Laut Jawa di sebelah tenggara.
Secara fisiografi Pulau Bangka merupakan pulau terbesar dalam Paparan
Sunda (Sunda Shelf) dan merupakan Sunda Peneplain, dicirikan oleh daerah berbukit
dengan ketinggian batuan dasar yang membatasi Cekungan Sumatra Selatan di bagian
timur dan Cekungan Sunda di bagian utara.
1.2. Tektonik Dan Struktur Geologi Regional
Melihat Pulau Bangka dari koridor tektoniknya, evolusi tektonik dari Pulau
Bangka sangat berkaitan erat dengan pembentukkan inti benua Asia Tenggara yang
juga dikenal sebagai Daratan Sunda (Sunda Land). Metcalfe (2011) memasukkan
Pulau Bangka sebagai bagian dari blok Indocina–Malaya Timur (Indochina–East
Malaya block) yang berasal dari bagian timurlaut Gondwana. Blok benua ini mulai
memisahkan diri dari Gondwana pada Silur Akhir dan bergerak hingga membentuk
kerangka dari Asia Tenggara pada Devon Awal.
Kerangka tektonik Asia Tenggara pada Resen, terlihat bahwa blok Indocina-
Malaya Timur dibatasi oleh batas-batas tektonik di sekelilingnya. Di bagian timur,
blok ini berbatasan dengan blok Kalimantan Baratdaya (Southwest Borneo block). Di
bagian selatan dan barat, blok ini berbatasan dengan blok Sibumasu. Sedangkan di
bagian utara, blok ini berbatasan dengan blok Cina Selatan (South China block). Blok-
blok tersebut, bersama dengan blok Burma Barat (West Burma
block) dan blok Sumatera Barat (West Sumatra block) membentuk Daratan Sunda.

1150
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 - 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

Evolusi tektonik dari pembentukkan Daratan Sunda telah dimulai semenjak


Silur Akhir hingga Jura (Metcalfe, 2011). Pada Silur Akhir, terjadi fenomena rifting
pada batas timurlaut Gondwana yang menyebabkan blok Cina Selatan, Tarim,
Indocina dan Cina Utara berpisah dari Gondwana (Metcalfe, 1996 dalam Metcalfe,
2011). Rifting yang terjadi memicu pembukaan laut PaleoTetis pada Devon Awal
hingga Devon Tengah yang dibuktikan dengan keberadaan endapan rijang radiolarian
laut dalam pada zona sutur. Pada Karbon Awal, blok Cina Selatan dan Indocina–
Malaya Timur telah teramalgamasi sepanjang zona sutur Song Ma, membentuk blok
yang dinamakan Daratan Cathaysia (Cathaysialand). Hal ini ditandai dengan
kemiripan fauna pada zaman tersebut (Laveine dkk., 1999 dalam Metcalfe, 2011).
Pada Karbon Akhir hingga Perm Awal, blok Sibumasu mulai melepaskan diri dari
baratlaut Gondwana dan bergerak kearah utara. Hal ini mengakibatkan laut Paleo-
Tetis tertutup dan mensubduksi Daratan Cathaysia. Subduksi ini menyebabkan
terjadinya back-arc spreading yang menghasilkan pembentukkan Busur Sukhotai
kearah barat sebagai busur kepulauan pada Perm Akhir. Namun, akibat dari desakan
subduksi laut Paleo-Tetis, busur tersebut terdorong kearah timur, menyebabkan back-
arc collapse berupa kolisi antara Busur Sukhotai dan Daratan Cathaysia membentuk
zona sutur Jinghon, Nan-Uttaradit dan Sra Kaeo pada akhir Perm (Sone dan Metcalfe,
2008 dalam Metcalfe, 2011). Pada Trias Awal, penutupan laut Paleo-Tetis yang diikuti
dengan kolisi antara blok Sibumasu dan Busur Sukhotai menghasilkan zona sutur
Changnin-Menglian, Inthanon dan Bentong-Raub. Selain itu, pada masa ini juga
terjadi pergerakan transcurrent baratlaut dari blok Burma Barat dan Baratdaya Borneo
akibat pembukaan laut Meso-Tetis kearah utara dan pegerakan laut Paleo-Pasifik
kearah barat. Kedua blok tersebut kemudian teramalgamasi dengan blok Sibumasu
pada Jura. Gambar 4.4 mengilustrasikan evolusi tektonik yang terjadi pada saat blok
Sibumasu terpisah dari Gondwana hingga beramalgamasi membentuk zona sutur
Bentong-Raub.
Pulau Bangka yang posisinya berada di baratdaya dari blok Indocina-Malaya
Timur membuat Pulau tersebut sangat dekat dengan perbatasan Daratan Cathaysia dan
blok Sibumasu. Kedua blok ini dibatasi oleh zona sutur Bentong-Raub (Bentong-Raub
Suture Zone) yang terbentuk di Trias Awal dan memanjang sepanjang Semenanjung
Malaya (Malaya Peninsula) (Metcalfe, 2000).
Menurut Katili (1967), menjelaskan bahwa pada batuan metamorf dan sedimen
di Bangka Utara terdapat adanya perlipatan silang akibat dua buah deformasi.
Deformasi pertama mengakibatkan lipatan dengan arah baratlaut-tenggara, umurnya
sulit ditentukan dengan pasti.
Struktur lipatan berarah timurlaut-baratdaya (orogen II) disebabkan oleh
deformasi pada Yura atas. Orogen yang kedua ini menghilangkan jejak orogen yang
lebih tua. Struktur lipatan ini kemungkinan merupakan hasil tumbukan lempeng yang
ada pada barat sumatera karena wilayah Bangka relatif stabil atau tidak terlalu
terganggu oleh pergerakan tektonik karena posisinya yang berada di back volcanic arc.
1.3. Rangkaian Granit Regional Pulau Bangka
Pulau Bangka termasuk Tin Islands, terletak pada Sundaland Craton Lempeng
Eurasia (Barber et al., 2005), serta merupakan bagian Sabuk Timah Asia Tenggara
(Cobbing, 2005).
Keberadaan pulau-pulau timah erat kaitannya dengan sabuk bagian tengah
Semenajung Malaysia yang mempunyai umur kisaran 207 – 230 ma (Cobbing dkk,
1992), dimana rangkaian sabuk-sabuk sebaran granit membentuk kelompok-kelompok

1151
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 - 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

granit yang berbeda serta terdistribusikan secara luas sebagai pluton dan batolit. Granit
pembawa timah mempunyai komposisi kisaran kandungan SiO2 umumnya di atas
70%, yang kemudian dikorelasikan mempunyai kesamaan dengan sabuk bagian
tengah (main range provinces) dimana granit pada sabuk ini dikenal sebagai granit tipe
S yang mengandung timah (Hutchison, 1989).
1.4. Greisen
Greisen merupakan istilah yang definisikan sebagai suatu agregat granoblastik
kuarsa dan muscovit (atau lepidolit) dengan mineral aksesoris antara lain topaz,
tourmalin dan flourite yang dibentuk oleh post-magmatik alterasi metasomatik dari
granit (Best, 1982; Stemprok, 1987). Sistem endapan greisen merupakan sistem
endapan bijih yang terbentuk pada fase post magmatik suatu pembekuan magma. Fase
post magmatik merupakan fase dimana batuan sudah membeku dan mengahasilkan
fluida sisa pembekuan magma yang didominasi fase gas, kemuadian fluida inilah yang
akan bereaksi dengan batuan samping. Proses ini juga diistilahkan sebagai fase
Penumatolitis. Lebih jauh dalam suatu endapan mineral dimana fluida hidrotermal
menjadi salah satu faktor pengontrolnya maka fluida hidrotermal ini dapat di bagi
menjadi dua yaitu fase gas dan fase cair. Pada fase gas inilah yang disebut sebagai fase
penumatolitis dan fase cair sebagai fase hidrotermal.
2. Metode
Metode yang digunakan selama penelitian adalah dengan pemetaan geologi
permukaan dan pemetaan alterasi yang kemudian diamati detail secara megaskopis. Soil
sampling dengan menggunakan bor auger dilakukan guna membantu melengkapi lokasi
pengamatan. Analisa laboratorium yang dilakukan, yaitu analisa (petrografi), analisa sayatan
poles (mineralgrafi), analisa ASD (Analitycal Spectral Devices), dan Analisa XRF (X-Ray
Fluorosence) .Hasil analisa menjadi dasar pembuatan peta alterasi, peta mineralisasi Sn lokasi
telitian. Peta tersebut akan menjadi acuan dalam penentuan prospek mineralisasi timah
primer.
2.1. Geomorfologi
Berdasarkan klasifikasi Van Zuidam pada tahun 1979, yang berdasarkan
aspek-aspek geomorfologi yaitu aspek morfografi, aspek morfologi, aspek morfometri,
dan aspek morfogenesa daerah penelitian terbagi menjadi beberapa bentukasal.
Bentukasal yang terdapat pada daerah penelitian yaitu terbagi menjadi 3 bentukasal,
yatiu bentukasal antropogenik, bentukasal denudasional dan bentukasal fluvial.
Bentuk asal antropogenik dibagi lagi menjadi 2 satuan bentuklahan, yaitu satuan
bentuklahan pit dan satuan bentuklahan tailing. Satuan bentukasal denudasional terdiri
dari 2 bentuklahan, yaitu satuan bentuklahan bukit terisolir dan satuan bentuklahan
dataran bergelombang. Bentukasal fluvial terdiri dari satuan bentuklahan dataran
alluvial (Tabel 1). Peta persebaran satuan geomorfologi dan penampang geomorfologi
dapat dilihat pada
3. Hasil Dan Pembahasan
3.1. Geologi Lokasi Penelitian
Berdasarkan pengambilan data lapangan yang selanjutnya dilakukan analisa
laboratorium pada lokasi penelitian, didapatkan 4 satuan batuan yang menyusun lokasi
penelitian. Dasar pembagian satuan batuan ialah berdasarkan aspek fisika dan kimia
dari batuan yang tercermin dari kenampakan struktur, tekstur dan komposisi dari
batuan tersebut. Untuk meyakinkan jenis batuan, analisa petrografi dilakukan pada 14

1152
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 - 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

sampel di 3 satuan batuan yang berbeda. Satuan batuan yang didapatkan pada lokasi
penelitian dari yang berumur tua-muda, yaitu satuan Batupasir Tanjunggenting (Trias
Awal-Tengah), satuan Coarse Grain Granit Klabat (Trias Akhir-Jura Awal), Fine
Grain Granit Klabat (Trias Akhir-Jura Awal) dan Endapan Alluvial (Kuarter) (Tabel
2).
3.2. Struktur Geologi Lokasi Penelitian
Struktur geologi yang berkembang pada Blok Lembah Jambu terdiri dari
kedudukan batuan, kekar dan sesar. Kedudukan perlapisan batuan memiliki
kedudukan umum N 029ᴼ E/20ᴼ SE. Kekar pada lokasi penelitian memiliki tegasan
utama N 028ᴼ E. Kekar-kekar berlembar yang terisi mineral oksida, kuarsa dan
mineral lempung. Kekar-kekar tersebut berperan sebagai celah untuk fluida
hidrotermal masuk dan mengendapkan timah. Sesar pada lokasi penelitian yaitu sesar
mendatar kiri dengan arah baratlaut – tenggara (Kapur-Trias) dan sesar mendatar
kanan dengan arah timurlaut – baratdaya (Yura) (Katili, 1967). Sesar dengan arah
baratlaut – tenggara berperan dalam mengontrol mineralisasi, dimana pada sesar ini
dijumpai timah dengan kadar tinggi.
3.3. Alterasi Hidrotermal
Himpunan mineral ubahan di lokasi penelitian berdasarkan hasil dari analisa
ASD (Analitycal Spectral Devices), merupakan hasil dari proses hidrotermal yang
terdiri dari lima zonasi himpunan mineral yaitu Tourmaline + Chlorite, Tourmaline +
Kaolinite ± Phengite, Kaolinite + Kuarsa ± Illite ± Muscovite, Kaolinite ± Phengite ±
Kuarsa dan Kuarsa + Kaolinite ± Palygorskite.
Tahap pembentukan dari himpunan mineral alterasi pada zona ini memiliki
kisaran temperatur fluida 200˚-300˚C. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan,
sample pada lokasi ini secara keseluruhan bewarna kemerahan pada host rock
batupasir dengan terdapat mineral Tourmaline dan Chlorite (Gambar ). Mineral
Oksida seperti Hematite hadir secara melimpah disertai hadirnya Geothite dan
Gibbsite yang terjadi akibat proses supergen. Setelah dilakukan perhitungan harga Kx
dari analisa ASD (Analitycal Spectral Devices), fluida yang berperan pada proses ini
adalah fluida hidrotermal. Berdasarkan Corbett dan Leach (1998), zona alterasi
Tourmaline + Chlorite memiliki kisaran pH 3-6 atau asam-netral pada saat
pembentukanya.
Tahap pembentukan dari himpunan mineral alterasi pada zona ini sudah
mengalami penurunan temperature, dimana kisaran temperatur fluida 160˚-300˚C.
Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan secara keseluruhan berwarna orange
hingga kemerahan pada host rock batupasir dan sebagian granit (Gambar ). Mineral
Oksida seperti Hematit hadir melimpah pada zonasi ini. Setelah dilakukan perhitungan
harga Kx dari analisa ASD (Analitycal Spectral Devices), fluida yang berperan pada
proses ini adalah fluida hidrotermal. Berdasarkan Corbett dan Leach (1998), zona
alterasi Tourmaline + Kaolinite ± Phengite memiliki kisaran pH 3-4 atau asam- neur
netral pada saat pembentukanya.
Tahap pembentukan dari himpunan mineral alterasi pada zona ini sudah
mengalami penurunan temperature, dimana kisaran temperatur fluida 140˚-300˚C.
Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan secara keseluruhan berwarna orange
hingga kemerahan pada host rock batupasir dan sebagian granit (Gambar ). Mineral
Oksida seperti Hematit hadir melimpah pada zonasi ini. Setelah dilakukan perhitungan
harga Kx dari analisa ASD (Analitycal Spectral Devices), fluida yang berperan pada

1153
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 - 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

proses ini adalah fluida hidrotermal. Berdasarkan Corbett dan Leach (1998), zona
alterasi Kaolinite + Kuarsa ± Illite ± Muscovite memiliki kisaran pH 3-4 atau asam -
neur netral pada saat pembentukanya.
Tahap pembentukan dari himpunan mineral alterasi pada zona ini sudah
mengalami penurunan temperature, dimana kisaran temperatur fluida 140˚-300˚C.
Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan secara keseluruhan berwarna orange
hingga kemerahan pada host rock batupasir. Mineral Oksida seperti Hematit hadir
melimpah pada zonasi ini (Gambar ). Setelah dilakukan perhitungan harga Kx dari
analisa ASD (Analitycal Spectral Devices), fluida yang berperan pada proses ini adalah
fluida hidrotermal. Berdasarkan Corbett dan Leach (1998), zona alterasi Kaolinite ±
Phengite ± Kuarsa memiliki kisaran pH 2-3 atau asam- neur netral pada saat
pembentukanya.
Tahap pembentukan dari himpunan mineral alterasi pada zona ini semakain
mengalami penurunan temperature, dimana kisaran temperatur fluida 40˚-180˚C.
Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan secara keseluruhan berwarna orange
hingga kemerahan pada host rock batupasir (Gambar ). Mineral Oksida seperti
Ferrihydrit dan Hematit hadir melimpah serta terdapat sedikit Goethite dan Gibbsite
pada zonasi ini. Setelah dilakukan perhitungan harga Kx dari analisa ASD fluida yang
berperan pada proses ini adalah fluida hidrotermal. Berdasarkan Corbett dan Leach
(1998), zona alterasi Kuarsa + Kaolinite ± Palygorskite memiliki kisaran pH 2-3 atau
asam- neur netral pada saat pembentukanya.
Tahap pembentukan dari himpunan mineral alterasi oksida hadir pada setiap
zona himpunan mineral kisaran temperatur fluida 0˚-360˚C. Mineralisasi oksida ini
terbentuk pada permukaan dimana proses yang berperan adalah proses pengkayaan
supergen. Proses ini terjadi pada saat mineral yang memiliki unsur logam, karena
proses pelapukan dan pelindian kemudian mineral yang memiliki unsur logam tersebut
terlarut menjadi senyawa sulfat. Senyawa sulfat yang mengandung unsur logam
tersebut kemudian masuk bersamaan dengan air meteorik melalui rekahan sampai
menembus muka air tanah hingga proses oksidasi sudah tidak terjadi dan kemudian
terendapkan kembali.
3.4. Mineralisasi Bijih
Berdasarkan hasil analisa XRF (X-Ray Fluorosence) didapatkan kadar unsur Sn
dari mineral Cassiterite (SnO2) yang beragam. Kadar yang ada dapat diklasifikasikan
menjadi beberapa kelas yaitu, Very High Grade (>800 ppm), High Grade (400-800
ppm), Medium Grade (200-400 ppm), Low Grade (100-200 ppm).
Mineralisasi cassiterite yang hadir sebgian besar berupa pengisian pada urat-
urat berlembar yang berasosiasi dengan urat kuarsa, urat clay dan urat oksida.
Dibeberaa lokasi penelitian juga dijumpai mineralisasi cassiterite pada lode vein.
3.5. Tipe dan Model Endapan
Berdasarkan alterasi yang dijumpai pada lokasi penelitian serta diperkuat oleh
data analisa ASD (Analitycal Spectral Devices), tipe endapan pada lokasi penelitian
yang terdiri dari lima zonasi himpunan mineral yaitu Tourmaline + Chlorite,
Tourmaline + Kaolinite ± Phengite, Kaolinite + Kuarsa ± Illite ± Muscovite, Kaolinite
± Phengite ± Kuarsa dan Kuarsa + Kaolinite ± Palygorskite. Tipe Endapan Greisen di
lokasi penelitian yang berdasar pada modifikasi Scherba, 1970; dalam Pirajno, 2009
termasuk pada fase Limit of Exsegreisen Enviroment (Gambar 5 ).

1154
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 - 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

4. Kesimpulan
1. Secara aspek geomorfologi, memiliki 3 bentuk asal, yaitu bentukasal antropogenik
(Bentuklahan Pit dan Bentuklahan Tailing), bentukasal denudasional (Bentuklahan
Daratan Denudasional dan Bukit Terisolir), dan bentuk asal fluvial (Dataran Alluvial).
2. Secara stratigrafi terdiri dari 4 satuan batuan yaitu, Batupasir Tanjunggenting (Trias
Awal-Tengah), satuan Coarse Grain Granit Klabat (Trias Akhir-Jura Awal), Fine
Grain Granit Klabat (Trias Akhir-Jura Awal) dan Endapan Alluvial (Kuarter).
3. Struktur geologi yang berkembang pada Blok Lembah Jambu berupa kedudukan
batuan, kekar dan sesar. Kekar-kekar tersebut berperan sebagai celah untuk fluida
hidrotermal masuk dan mengendapkan timah. Sesar dengan arah baratlaut – tenggara
berperan dalam mengontrol mineralisasi, dimana pada sesar ini dijumpai timah dengan
kadar tinggi.
4. Alterasi yang berkembang diindikasikan sebagai alterasi hidrotermal dibagi menjadi 5
himpunan mineral, yaitu Tourmaline + Chlorite, Tourmaline + Kaolinite ± Phengite,
Kaolinite + Kuarsa ± Illite ± Muscovite, Kaolinite ± Phengite ± Kuarsa dan Kuarsa +
Kaolinite ± Palygorskite. Dijumpai pula alterasi oksida yang merupakan hasil proses
permukaan.
5. Tipe mineralisasi timah primer adalah berupa pengisiian pada urat-urat berlembar dan
lode vein. Mineral pembawa timah primer yaitu cassiterite yang terdapat pada urat-
urat berlembar berasosiasi dengan urat kuarsa, urat clay dan urat oksida.
Acknowledgement
Paper ini pertama kali dipaparkan pada Seminar Nasional Kebumian Geoweek 2017 di
Yogyakarta, September 2017. Paper ini merupakan hasil diskusi dengan Sutanto dan Suprapto
(Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta). Terimakasih kami ucapkan
kepada PT. Timah Tbk. Dan kepada Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknologi Mineral,
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta atas terselesaikanya penelitian ini.
Daftar Pustaka
Asikin, Suparka S.,1981, Pemikiran Perkembangan Tektonik Pra Tersier di Sumatera Bagian
Tengah, Riset Geologi dan Pertambangan, Jilid 4 No. 1 1981
Bateman, A. M,. 1981. Deposit Mineral 3rd edition. John Wiley and Sons, New York.
Barber, A.J., Crow, M.J. dan De Smet, M.E.M. (2005). Tectonic Evolution In: Barber, A.J.,
Crow, M.J., Milsom, J.S. (Eds.), Sumatra: Geology, Resources and Tectonic
Evolution. Geological Society Memoar, 31, pp.54-62

Bemmelen, R.W. Van, 1949, The Geology of Indonesia, Vol. 1 A, Government Printing
Office, The Hauge, Amsterdam.
Chappel, B. W. And White, A.J.R., “Two Contrasting Granite Types”, Pacific Geology, 8,
173-174, 1974.
Cobbing, E.J., Mallick, D.I.J., Pitfield, P.E.J., Dan Teoh, L.H., ”The Granites of the Southeast
Asian Tin Belt“, Journal of the Geological Society, 143, 537-550, 1986.
Corbett, G.J., 2002b, Structural controls to Porphyry Cu-Au and Epithermal Au-Ag deposits
in Applied Structural Geology for Mineral Exploration. Australian Institute of
Geoscientists Bulletin 36, p. 32-35.

1155
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 - 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

John M. Guilbert and Charles F. Park Jr.1986, Ore Deposit.,


Katili, J.A. 1967 Structure And Age of The Indonesian Tin Belt With Special Reference to
Bangka. Tectonophysics Elsevier Publishing Company, Amsterdam.
Katili, J.A. 1980, Geotectonics of Indonesia, p. 10
Mangga, S., Djamal, B., “Peta Geologi Lembar Bangka Utara dan Bangka
Selatan”, Pusat Penelitian Pengembangan Geologi, Bandung, 1994.
Metcalfe, I. (2000), The Bentong-Raub Suture Zone, Jurnal Asian Earth Science, vol. 18, hal.
691 – 712. 73
Pirajno., 2009, Hydrothermal Processes and Mineral Systems: Springer Science + Bussines
Media B.V. 2009.
U. Margono, RJB. Supandjono& E. Partoyo, 1995. “Peta Geologi Lembar Bangka Selatan”,
Pusat Penelitian Pengembangan Geologi, Bandung,
Van Zuidam, R.A. & Van Zuidam-Cancelado, F.I. 1979. Terrain analysis and classification
using aerial photographs. A geomorphological approach. ITC Textbook of Photo-
interpretation. ITC. Enschede.
Verstappen, H.Th, 1983. Applied Geomorphology. Geomorphological Surveys for
Environmental Development. New York, El sevier.

Gambar 1. Peta Geologi Blok Lembah Jambu, Tempilang, Bangka Barat, Kepulauan Bangka &
Belitung

1156
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 - 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

Gambar 2. Peta Zonasi Alterasi Blok Lembah Jambu, Tempilang, Bangka Barat, Kepulauan Bangka
& Belitung

Gambar 3. Peta Anomali Kadar Mineralisasi Sn Blok Lembah Jambu, Tempilang, Bangka Barat,
Kepulauan Bangka & Belitung

1157
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 - 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

Gambar 4. Paragenesa Mineral Lokasi Penelitian (Berdasarkan Lawless dkk., 1998).

1158
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 - 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

Gambar 5. Penampang skematik dari sistem endapan greisen (modifikasi Scherba, 1970; dalam
Pirajno, 2009).

1159
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 - 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

1160
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 - 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

1161
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 - 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

Tabel 1. Pemerian Satuan Bentuklahan Geomorfologi Daerah Penelitian Berdasarkan Modifikasi


Verstapen (1985).

1162
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 - 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

Tabel 2. Kolom Stratigrafi Lokasi Penelitian Mengacu kepada Berdasarkan Mangga dan Djamal,
1994; Margono dkk., 1995.

1163
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 - 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

Tabel 3. Analisa X-RF

1164

Anda mungkin juga menyukai