Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH

PARASITOLOGI

“NEMATODA YANG HIDUP PARASIT PADA USUS MANUSIA”

DISUSUN OLEH

KELOMPOK III

Arun Bhaswara (2016310310)

A. Dian Mutmainnah (2016310341)

Fitri Handayani (2016310322)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI

SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

MUHAMMADIYAH BULUKUMBA

TAHUN AKADEMIK 2019/2020


KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat
dan karunia-Nya yang begitu besar, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
Parasitologi yang berjudul “Nematoda Yang Hidup Parasit Pada Usus Manusia”.

Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita, Nabi
Muhammaad SAW, yang dimana telah membawa kita semua dari zaman kegelapan
menuju zaman yang terang benderang seperti saat ini.

Kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua yang
membacanya dan dapat sedikit mewujudkan pengetahuan di dalam lembaran ini.

Bulukumba, 23 April 2019

Penulis

DAFTAR ISI

SAMPUL.......................................................................................................i

KATA PENGANTAR.........................................................................................ii
DAFTAR ISI..................................................................................................iii

BAB 1 PENDAHULUAN

a. Latar Belakang.............................................................................................1

b. Rumusan masalah.........................................................................................2

c. Tujuan.........................................................................................................3

BAB 11 PEMBAHASAN

a. Pengertian Nematoda...................................................................................5

b. Jenis Nematoda Usus.....................................................................................6

c. Epidemiologi Infeksi Nematoda Usus.....................................................7


d. Faktor Resiko Infeksi Nematoda Usus.............................................................8

e. Jenis Nematoda Usus yang ditularkan melalui tanah........................................9

f. Pemeriksaan Tinja pada Infeksi Nematoda Usus...........................................10

g. Dampak Infeksi Kecacingan Pada Orang Dewasa............................................13

h. Pencegahan dan Pemberantasan Infeksi Kecacingan....................................14

i. Pengendalian Infeksi Nematoda Usus............................................................16

BAB 111 PENUTUP

a. Kesimpulan...............................................................................................17

b. Saran........................................................................................................17

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................18
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Nematoda mempunyai jumlah spesies yang banyak diantaranya cacing-cacing


yang hidup sebagai parasit. Cacing-cacing tersebut berbeda-beda dalam habitat, daur
hidup dan hubungan hospes parasit. Manusia merupakan hospes beberapa nematoda
usus.
Dewasa ini masih sering terdengar berbagai penyakit yang mengganggu
kesehatan masyarakat di Indonesia yang di sebabkan oleh nematoda parasit usus
tersebut. Nematoda parasit usus ini mempunyai beberapa jenis cacing, cacing-cacing
itu mempunyai karakteristik masing-masing. Seperti hospes dan penyakit yang
berbeda, distribusi geografik, morfologi, daur hidup, diagnosis, pengobatan,
prognosis sampai epidemiologi yang berbeda. Pada dasarnya nematoda parasit usus
banyak di temukan di daerah tropis seperti Indonesia. Infeksi parasit usus terdiri dari
Soil Transmitted Helminths (STH) dan protozoa usus. Bahkan masih banyak pasien
yang menderita penyakit akibat nematoda parasit usus, karena parasit usus dapat
menginfeksi berbagai usia, dan dampak terbesar dialami oleh anak. Penyakit tersebut
antara lain anemia defisiensi besi, diare, malabsorbsi, malnutrisi, obstruksi usus, dan
lebih lanjut gangguan tumbuh kembang dan kognitif serta respons imun terhadap
infeksi bakteri, virus, protozoa. Pada golongan dewasa infeksi cacing dapat
menurunkan produktivitas kerja. (Agnes Kurniawan,2011)
Salah satu spesies dari nematoda parasit usus tersebut adalah Ascaris
lumbricoides (cacing perut), penyebab penyakit askariasis ini paling banyak di
temukan dan diperkirakan sekitar 1 milyar penduduk dunia terinfeksi, sedangkan
Giardia duodenalis adalah protozoa usus yang sering ditemukan, menginfeksi sekitar
200 juta penduduk dunia. Selain itu masih banyak spesies dari nematoda lainnya
yang dapat merugikan. (Agnes Kurniawan,2011)
Cacing dapat menyebabkan kekurangan gizi, karena mereka menyerap nutrisi
tubuh melalui hilangnya nafsu makan sehingga anak-anak makan lebih sedikit, atau
melalui menghentikan makanan yang diserap dengan baik setelah telah dimakan.
Anak-anak dengan infeksi cacing kronis dan sejumlah besar cacing dapat terhambat
dan kurus. Berkenaan dengan hal tersebut, penulis tertarik untuk menyusun makalah
tentang Nematoda Parasit Usus.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari pembuatan makalah ini yaitu:
a. Apa pengertian nematoda usus?
b. Jelaskan jenis nematoda usus!
c. Jelaskan epidemiologi infeksi nematoda usus!
d. Jelaskan faktor resiko infeksi nematoda usus!
e. Jelaskan pemeriksaan tinja pada infeksi nematoda usus!
f. Jelaskan dampak infeksi kecacingan pada orang dewasa
g. Jelaskan pencegahan dan pemberantasan infeksi kecacingan!
h. Jelaskan pengendalian infeksi nematoda usus!

C. Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk:

a. Mengetahui bagaimana Pengertian Nematoda


b. Mengetahui apa itu Jenis Nematoda Usus
c. Mengetahui tentang Epidemiologi Infeksi Namatoda Usus
d. Mengetahui tentang Faktor Resiko Infeksi Nematoda Usus
e. Mengetahui Jenis Nematoda Usus yang Ditularkan Melalui Tanah (Soil
Transmitted Helminth)
f. Mengetahui apa itu Pemeriksaan Tinja pada Infeksi Nematoda Usus
g. Mengetahui Dampak Infeksi Kecacingan pada Orang Dewasa
h. Mengetahui Pencegahan dan Pemberantasan Infeksi Kecacingan
i. Mengetahui Pengendalian Infeksi Nematoda Usus
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Nematoda
Nematoda berasal dari bahasa Yunani, Nema artinya benang. Nematoda adalah
cacing yang bentuknya panjang, silindrik, tidak bersegmen dan tubuhnya bilateral
simetrik, panjang cacing ini mulai dari 2 mm sampai 1 m. Nematoda yang ditemukan
pada manusia terdapat dalam organ usus, jaringan dan sistem peredaran darah,
keberadaan cacing ini menimbulkan manifestasi klinik yang berbeda-beda tergantung
pada spesiesnya dan organ yang dihinggapi.

Nematoda merupakan salah satu jenis cacing parasit yang paling sering
ditemukan pada tubuh manusia. Nematoda yang hidup dalam usus manusia disebut
dengan nematoda usus. Ciri-ciri umum dari parasit ini diantara lain simetris bilateral,
tripoblastik, tidak memiliki appendages, memiliki coelom yang disebut
pseudocoelomata, alat pencernaan lengkap alat ekskresi dengan selrenette atau sistem
havers, belum memiliki organ peredaran darah, respirasi dengan permukaan tubuh,
cincin saraf yang mengellingi esophagus merupakan pusat system saraf berumah dua,
fertilisasi internal, tidak dapat melakukan reproduksi aseksual, dan hidup bebas.
Nematoda usus terdiri dari beberapa spesies, spesies tersebut diantaranya
Ascaris lumbricoides, Strongyloides stercoralis, Ancylostoma duodenale, Necator
americanus, Enterobius vermicularis, Trichinella spiralis dan lain-lain.

B. Jenis Nematoda Usus

Nematoda merupakan salah satu jenis cacing parasit yang paling sering
ditemukan pada tubuh manusia. Nematoda yang hidup dalam usus manusia disebut
dengan nematoda usus. Nematoda usus sering disebut sebagai cacing gilig, di antara
filum yang lain , filum ini mempunyai anggota terbanyak baik jenis maupun
individunya.

Di antara nematoda usus ini yang paling sering menginfeksi manusia adalah
yang ditularkan melalui tanah atau disebut ”soil transmitted helminths ”. Empat jenis
Soil Transmitted Helminths (STH) yang paling sering menginfeksi adalah roundworm
(Ascaris lumbricoides), whipworm (Trichuris trichiura), dan hookworm
(Ancylostoma duodenale dan Necator americanus) sedangkan Strongyloides
stercoralis jarang ditemukan terutama pada daerah yang beriklim dingin (Srisari G.,
2006). Namun STH yang hanya dapat dibantu transmisinya oleh pedagang makanan
(food handler) melalui kontaminasi tangan adalah Ascaris lumbricoides dan
Trichiuris trichiura.
Gambar 2.1. Jenis Soil Transmitted Helminths (STH) (Soedarto, 1991)

C. Epidemiologi Infeksi Namatoda Usus

Data WHO menyebutkan lebih dari 2 milyar orang di seluruh dunia menderita
kecacingan. Asia Tenggara merupakan salah satu wilayah yang memiliki prevalensi
tinggi infeksi cacing di dunia (de Silva et.al., 2003). Di Indonesia, infeksi cacing masih
merupakan masalah besar dalam kesehatan masyarakat karena prevalensinya masih tinggi
yaitu kurang lebih 45– 65%, bahkan di wilayah-wilayah tertentu yang memiliki sanitasi
lingkungan buruk, panas, dan kelembaban tinggi prevalensi infeksi cacing bisa mencapai
80%.

Cacing penyebab utama di Penyakit Perkiraan populasi yang


seluruh dunia terinfeksi (juta)
Ascaris lumbricoides Infeksi cacing gelang 807-1221
Trichuris trichiura Infeksi cacing cambuk 604-795
Necator americanus dan Infeksi cacing tambang 576-740
Ancylostoma duodenale
Strongyloides stercoralis Infeksi cacing benang 30-100
(threadworm)
Enterobius vermicularis Infeksi cacing kremi 4-28%

http://www.cdc.gov/parasites/ascariasis/biology.html

D. Faktor Resiko Infeksi Nematoda Usus


Faktor host dan lingkungan merupakan faktor resiko infeksi cacing pada
manusia diantaranya :
1. Faktor individu
a. Genetik Sampai saat ini belum berhasil diindentifikasi adanya gen yang
dapat mengendalikan infeksi cacing. Namun demikian, hasil pemindain terakhir
tentang genom memberikan gambaran kemungkinan adanya kromosom 1 dan 13
untuk mengendalikan Ascaris lumbricoides (Hotez et al., 2006).
b. Higiene Perorangan (Kebersihan diri) Menurut Entjang (2001) usaha
kesehatan pribadi (higiene perorangan) adalah upaya dari seseorang untuk
memelihara dan mempertinggi derajat kesehatannya. Pedagang dengan kebersihan
diri yang buruk mempunyai kemungkinan lebih besar untuk terinfeksi oleh semua
jenis cacing (Brown, 1983).
c. Perilaku Perilaku manusia pada hakekatnya merupakan aktifitas dari
manusia itu sendiri. Perilaku masyarakat untuk buang air besar di sembarang
tempat dan kebiasaan tidak memakai alas kaki mempunyai intensitas infeksi
cacing yang tinggi. Selain itu, perilaku manusia yang seringkali kurang
memperhatikan pentingnya penggunaan air bersih untuk kehidupan, juga berperan
terhadap terjadinya infeksi.
d. Faktor sosial Golongan penduduk yang kurang mampu, kepadatan
penduduk dan tingkat pendidikan rendah merupakan salah satu faktor resiko
terinfeksi cacing.
2.Faktor Lingkungan
a. Iklim dan Suhu Telur dan larva cacing lebih dapat berkembang pada daerah
yang lembab yaitu di negara yang beriklim tropis dan subtropis. Perkembangan telur
Ascaris lumbricoides yang optimum terjadi pada suhu 25°C, telur Trichuris trichiura
pada suhu 30°C. Suhu optimum Necator americanus adalah 28-32°C, sedangkan
Ancylostoma duodenale adalah 23-25°C.
b. Sinar matahari
Telur dapat mengalami kerusakan oleh bahan kimia dan sinar matahari
langsung. Telur cacing dapat tumbuh optimal pada tempat teduh dan terlindung dari
sinar matahari (Brown, 1979).
c. Angin
Kecepatan angin dapat mengeringkan telur sehingga dapat mematikan telur
dan larva cacing, disamping itu juga dapat membantu menyebarkan telur cacing
bersama debu (Brown, 1979).

E. Jenis Nematoda Usus yang Ditularkan Melalui Tanah (Soil Transmitted


Helminth)
1. Ascaris lumbricoides
a. Siklus Hidup Gambaran umum siklus hidup cacing Ascaris lumbricoides
dapat dilihat pada gambar berikut ini :
Gambar 2.2. Siklus Hidup Ascaris lumbricoides Dikutip dari : Centers for Disease
Control and Prevention (CDC), 2009. Ascariasis: Biology,
Atlanta: Centers for Disease Control and Prevention. Diunduh dari:
http://www.cdc.gov/parasites/ascariasis/biology.html

Keterangan :
1. Cacing dewasa hidup di saluran usus halus. Seekor cacing betina mampu
menghasilkan telur sampai 240.000 per hari, yang akan keluar bersama feses.
2. Telur yang sudah dibuahi mengandung embrio dan menjadi infektif setelah 18 hari
sampai beberapa minggu di tanah.
3. Perkembangan telur tergantung pada kondisi lingkungan (kondisi optimum:
lembab, hangat, tempat teduh).
4. Telur infektif tertelan.
5. Telur masuk ke usus halus dan menetas mengeluarkan larva yang kemudian
menembus mukosa usus, masuk kelenjar getah bening dan aliran darah dan terbawa
sampai ke paru-paru.
6. Larva mengalami pendewasaan di dalam paru-paru (10-14 hari), menembus
dinding alveoli, naik ke saluran pernafasan dan akhirnya tertelan kembali. Ketika
mencapai usus halus, larva tumbuh menjadi cacing dewasa. Waktu yang diperlukan
mulai dari tertelan telur infektif sampai menjadi cacing dewasa sekitar 2 sampai 3
bulan. Cacing dewasa dapat hidup 1 sampai 2 tahun di dalam tubuh (Albert, 2006).
b. Gejala Klinis
Gejala yang timbul pada penderita dapat disebabkan oleh cacing dewasa dan
larva. Gangguan karena larva biasanya terjadi pada saat berada di paru. Pada orang
yang rentan terjadi perdarahan kecil pada dinding alveolus dan timbul gangguan paru
yang disertai dengan batuk, demam dan eosinofilia. Pada foto toraks tampak infiltrat
yang menghilang dalam waktu tiga minggu. Keadaan ini disebut Sindrom Loffler.
Gangguan yang disebabkan cacing dewasa biasanya ringan. Kadang-kadang penderita
mengalami gejala gangguan usus ringan seperti mual, nafsu makan berkurang, diare
atau konstipasi.
Pada infeksi berat, terutama pada anak dapat terjadi malabsorbsi sehingga
memperberat keadaan malnutrisi. Efek yang serius terjadi bila cacing-cacing ini
menggumpal dalam usus sehingga terjadi obstruksi usus (ileus). Pada keadaan
tertentu, cacing dewasa mengembara ke saluran empedu, apendiks, atau bronkus dan
menimbulkan keadaan gawat darurat sehingga kadang-kadang perlu tindakan operatif
c.Diagnosa
Diagnosa dengan menemukan telur di dalam tinja. Selain itu, diagnosis dapat
pula dibuat apabila cacing dewasa yang keluar sendiri baik melalui mulut, hidung,
maupun tinja.
2. Trichuris trichiura
a. Siklus Hidup Gambaran umum siklus hidup cacing Trichuris trichiura
dapat dilihat pada gambar berikut ini :
Gambaran umum siklus hidup cacing Trichuris trichiura dapat dilihat pada gambar
berikut ini :
Gambar 2.3. Siklus Hidup Trichuris trichiura Dikutip dari :
Centers for Disease Control and Prevention (CDC), 2009. Trichuriasis:
Biology, Atlanta: Centers for Disease Control and Prevention. Diunduh dari:
http://www.cdc.gov/parasites/whipworm/biology.html

Keterangan :
1. Manusia merupakan hospes perantara cacing ini. Telur yang telah dibuahi keluar
bersama tinja.
2.Awalnya telur mengandung dua sel selanjutnya membelah menjadi multiseluler,
kemudian menjadi embrio.
3. Telur tersebut menjadi matang dalam waktu 3-6 minggu dalam lingkungan yang
sesuai, yaitu pada tanah yang lembab dan tempat yang teduh. Telur matang ialah telur
yang berisi larva dan merupakan bentuk infektif.
4. Cara infeksi langsung bila secara kebetulan hospes menelan telur matang.
5. Larva keluar melalui dinding telur dan masuk ke dalam usus halus.
6. Sesudah menjadi dewasa, cacing turun ke usus bagian distal dan masuk ke daerah
kolon, terutama sekum. Cacing betina diperkirakan menghasilkan telur setiap hari
sebanyak 3000-20.000 butir. Cacing ini tidak mempunyai siklus paru. Masa
pertumbuhan mulai dari telur yang tertelan sampai cacing dewasa betina meletakkan
telur kira-kira 30-90 hari. Jangka hidup (life span) selama 4-6 tahun, bahkan dapat
juga menginfeksi sampai 8 tahun (Srisari G, 2006).
b. Gejala Klinis
Cacing Trichuris trichiura pada manusia terutama hidup di sekum, akan tetapi
dapat juga ditemukan di kolon asendens. Pada infeksi berat, terutama pada anak,
cacing ini tersebar di seluruh kolon dan rektum. Kadang-kadang terlihat di mukosa
rektum yang mengalami prolapsus akibat mengejannya penderita pada waktu
defekasi. Cacing ini memasukkan kepalanya ke dalam mukosa usus, hingga terjadi
trauma yang menimbulkan iritasi dan peradangan mukosa usus. Pada tempat
perlekatannnya dapat terjadi perdarahan. Selain itu, cacing ini mengisap darah
hospesnya, sehingga dapat menyebabkan anemia. Penderita terutama anak dengan
infeksi Trichuris trichuira yang berat dan menahun, menunjukkan gejala-gejala nyata
seperti diare yang sering diselingi dengan sindrom disentri, anemia, berat badan
turun, dan kadang-kadang disertai prolapsus rektum. Infeksi berat Trichuris trichuira
sering disertai infeksi cacing lainnya atau protozoa. Infeksi ringan biasanya tidak
memberikan gejala klinis yang jelas atau sama sekali tanpa gejala (Sutanto, 2008).
j. Diagnosa parasit ini dengan ditemukannya telur pada pemeriksaan tinja.
3. Ancylostoma duodenale dan Necator americanus (hookworm)
a. Siklus Hidup Gambaran umum siklus hidup cacing hookworm dapat dilihat
pada gambar berikut ini :
Gambar 2.4. Siklus Hidup Hookworm Dikutip dari :
Centers for Disease Control and Prevention (CDC), 2009. Trichuriasis: Biology,
Atlanta: Centers for Disease Control and Prevention. Diunduh dari:
http://www.cdc.gov/parasites/hookworm/biology.html

Keterangan :
1. Telur dikeluarkan oleh hospes bersama tinja
2. Setelah menetas dalam waktu 1-1,5 hari keluarlah larva rhabditiform.
3. Dalam waktu kira-kira 3 hari larva rhabditiform tumbuh menjadi larva
filariform.
4. Larva filariform dapat hidup selama 7-8 minggu di tanah. Larva filarform dapat
menembus kulit menginfeksi manusia.
Daur hidupnya sebagai berikut :
Telur → larva rhabditiform → larva filariform → menembus kulit → kapiler darah
→ jantung kanan → paru → bronkus → trakea → laring → usus halus.
b. Gejala Klinis
1) Stadium Larva Bila banyak larva filariform sekaligus menembus kulit,
maka terjadi perubahan kulit yang disebut ground itch. Perubahan pada paru
biasanya ringan.
2) Stadium Dewasa Gejala tergantung pada spesies dan jumlah cacing, serta
keadaan gizi penderita (Ferum dan Protein). Tiap cacing Ancylostoma
duodenale menyebabkan kehilangan darah 0,08-0,34 cc sehari, sedangkan
Necator americanus 0,005-0,1 cc sehari. Biasanya terjadi anemia hipokrom
mikrositer pada infeksi berat. Disamping itu juga terdapat eosinofilia. Bukti
adanya toksin yang menyebabkan anemia belum ada. Biasanya tidak
menyebabkan kematian, tetapi daya tahan berkurang dan prestasi kerja
menurun.
c. Diagnosa ditegakkan dengan menemukan telur dalam tinja segar. Untuk
membedakan spesies Ancylostoma duodenale dan Necator americanus dapat
dilakukan biakan tinja dengan cara Harada-Mori.

F. Pemeriksaan Tinja pada Infeksi Nematoda Usus


Pemeriksaan yang umumnya dilakukan dalam mendiagnosis infeksi nematoda
usus berupa mendeteksi telur cacing atau larva pada feses manusia (Suali, 2009;
Maguire, 2010; WHO, 2012). Pemeriksaan rutin feses dilakukan secara makroskopis
dan mikroskopis. Pemeriksaan makroskopis dilakukan untuk menilai warna,
konsistensi, jumlah, bentuk, bau, dan ada-tidaknya mukus. Pada pemeriksaan ini juga
dinilai ada-tidaknya gumpalan darah yang tersembunyi, lemak, serat daging, empedu,
sel darah putih, dan gula sedangkan pemeriksaan mikroskopis bertujuan untuk
memeriksa parasit dan telur cacing.
Pemeriksaan mikroskop telur-telur cacing dari feses terdiri dari dua macam cara
pemeriksaan, yaitu secara kuantitatif dan kualitatif. Pemeriksaan kuantitatif dilakukan
dengan metode Kato dan Metode Stoll. Pemeriksaan kualitatif dilakukan dengan
metode natif (direct slide) , Metode Apung (Flotation method), Metode Selotif dan
Metode Modifikasi Kato Katz.
Pemeriksaan kuantitatif diperlukan untuk menentukan intensitas infeksi atau berat
ringannya penyakit dengan mengetahui jumlah telur per gram tinja (EPG) pada setiap
jenis cacing. Hasil pemeriksaan tinja kualitatif berupa positif atau negatif cacingan.
Prevalensi cacingan dapat berupa prevalensi seluruh jenis cacing atau per jenis
cacing. .
Teknik Kato-Katz merupakan metode yang dipergunakan secara luas dalam
survei epidemiologi terhadap infeksi cacing yang terdapat di dalam usus manusia
(intestinal helminth) (Glinz et al., 2010; World Heatlh Organization, 2012). Teknik
ini dipilih karena mudah, murah, dan mempergunakan sistem yang dapat
mengelompokkan intensitas infeksi menjadi beberapa kelas berbeda berdasarkan
perhitungan telur cacing.
Teknik Kato-Katz memiliki kelemahan, yaitu tingkat kesensitivitasan rendah
dalam mendeteksi infeksi dengan intensitas ringan. Pemakaian sampel feses yang
sedikit (sekitar 41,7 mg) menyebabkan teknik Kato-Katz memilikisensitivitas yang
rendah dalam mendeteksi telur cacing yang memiliki frekuensi sedikit atau sangat
berkelompok (sensitivitas analitik secara teori = 24 telur per gram feses) (Glinz et al.,
2010). Namun, sensitivitasnya dapat ditingkatkan dengan melakukan beberapa
pemeriksaan Kato-Katz apusan tebal yang dipersiapkan dari sampel feses
sebelumnya, atau lebih baik lagi dari beberapa sampel feses. Klasifikasi intensitas
infeksi merupakan angka serangan dari masing-masing jenis cacing. Klasifikasi
tersebut digolongkan menjadi tiga, yaitu ringan, sedang dan berat. Intensitas infeksi
menurut jenis cacing dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 2.2. - Klasifikasi Intensitas Infeksi Menurut Jenis Cacing (WHO, 2012)

No. Klasifikasi Jenis Cacing (telur)


Cacing gelang Cacing Cacing tambung
cambuk
1. Ringan 1-4.999 1-999 1-1,999
2. Sedang 5.000-49,999 1.000-9.000 2.000-3.999
3. Berat ≥50.000 ≥10.000 ≥4.000
(sensitivitas analitik secara teori = 24 telur per gram feses)
Namun, pada penelitian ini hanya dilakukan pemeriksaan tinja secara
kualitatif dengan Teknik Modifikasi Kato Katz dengan menilai positif atau negatif
cacing pada feses . Angka kejadian infeksi cacing dapat berupa seluruh jenis cacing
atau per jenis cacing.
Selain pemeriksaan Kato-Katz, terdapat juga pemeriksaan antibodi, deteksi
antigen, dan diagnosis molekular dengan menggunakan PCR (World Heatlh
Organization, 2012). Serodiagnosis dapat menjadi pemeriksaan pilihan dalam
mendiagnosis infeksi nematoda usus. Kekurangan pemeriksaan ini adalah bersifat
invasif (seperti dengan pengambilan sampel darah), antibodi tetap terdeteksi setelah
penatalakasanaan, dan terdapat kemungkinan terjadinya reaksi silang dengan
nematoda lainnya (Knopp et al., 2008). Akibatnya, fungsi pemeriksaan serologi ini
masih kontroversial, terutama pada daerah endemis.

G. Dampak Infeksi Kecacingan pada Orang Dewasa


1. Dampak terhadap Status Kesehatan dan Gizi
Cacing yang menginfeksi manusia membutuhkan makanan untuk hidupnya, semakin
banyak cacing yang ada semakin banyak makanan yang dibutuhkan. Dengan
demikian, adanya cacing dalam perut mengakibatkan berkurangnya zat gizi yang
diserap oleh usus untuk kebutuhan hidup manusia, sehingga mengakibatkan
seseorang mengalami kekurangan gizi. Dengan menurunnya status gizi seseorang,
akan mengakibatkan menurunnya daya tahan sehingga lebih mudah untuk terserang
penyakit.
2. Dampak terhadap Intelektual dan Produktivitas Menurut penelitian
Rukwono (1972), infeksi cacing menurunkan prestasi kerja dan daya tahan tubuh.
Selain itu, infeksi cacing dapat mengganggu proses kognitif manusia sehingga dapat
menurunkan produktifitas penderita dan menurunkan sumber daya manusia (WHO,
2010; Depkes RI, 2006).

H. Pencegahan dan Pemberantasan Infeksi Kecacingan


Pencegahan dan pemberantasan penyakit kecacingan pada umumnya adalah
dengan pemutusan rantai penularan. Pemberian obat-obatan hanya bersifat mengobati
tetapi tidak memutuskan mata rantai penularan yang antara lain dilakukan dengan
pengobatan massal, perbaikan sanitasi di lingkungan dan hygiene perorangan serta
pendidikan kesehatan (Soedarto, 1991).
Hal-hal yang perlu dibiasakan agar tercegahnya dari penyakit kecacingan
adalah
1. Memutuskan rantai daur hidup dengan menjaga kebersihan dengan cuci tangan dan
menggunting kuku secara rutin.
2. Hindari makanan yang akan dijajakan terbuka dengan dunia luar dan kurangi
intensitas memegang makanan dengan menggunakan tangan.
3. Mencuci sayuran mentah atau lalapan dengan air bersih yang mengalir terlebih
dahulu.
4. Berdefekasi di jamban dan mencuci tangan setelah defekasi dengan menggunakan
sabun.
5. Pencegahan infeksi cacing tambang dengan membiasakan masyarakat untuk
memakai alas kaki.
I. Pengendalian Infeksi Nematoda Usus
1. Pemberian obat cacing
Obat yang direkomendasikan untuk mengendalikan infeksi cacing di
masyarakat adalah benzimidazole, albendazole (dosis tunggal 400 mg, dan untuk
anak usia 12–24 bulan dikurangi menjadi 200 mg) atau mebendazole (dosis tunggal
500 mg) dapat juga diberikan levamisole atau pirantel pamoat (10 mg / kg BB dosis
tunggal, dosis maksimal 1 gram).
Tujuan utama dari pengobatan infeksi cacing adalah mengeluarkan semua
cacing dewasa dari saluran gastrointestinal. Obat yang banyak digunakan untuk
mengeluarkan infeksi cacing adalah mebendazole dan albendazole. Benzimidazole
bekerja menghambat polimerisasi dari microtubule parasit yang menyebabkan
kematian dari cacing dewasa dalam beberapa hari. Walaupun albendazole dan
mebendazole merupakan obat broad-spectrum terdapat perbedaan penggunaanya
dalam klinik. Kedua obat sangat efektif terhadap ascariasis dengan pemberian dosis
tunggal. Sebaliknya, albendazole dosis tunggal tidak efektif untuk kasus trichiuriasis.
Obat cacing benzimidazole adalah embriotoksik dan teratogenik pada tikus yang
hamil, sehingga jangan digunakan untuk bayi dan selama kehamilan. Pirantel
pamoate dan levamisole merupakan pengobatan alternatif untuk infeksi Ascaris ,
walaupun pirantel pamoate tidak efektif untuk mengobati trichiuriasis.
Pengobatan dilakukan dengan menggunakan obat yang aman, berspektrum
luas, efektif, tersedia, harga terjangkau, serta dapat membunuh cacing dewasa, larva,
dan telur. Pelaksanaan kegiatan pengobatan diawali dengan survei data dasar berupa
pemeriksaan feses. Apabila pada pemeriksaan feses sampel didapati hasil dengan
prevalensi 30% atau lebih, dilakukan pengobatan massal. Namun, bila dari hasil
pemeriksaan feses sampel prevalensi hanya didapati kurang dari 30%, dilakukan
pemeriksaan menyeluruh (total screening). Apabila hasilpemeriksaan total screening
menunjukkan prevalensi lebih dari 30%, harus dilakukan pengobatan massal. Tetapi
bila prevalensi kurang dari 30%, pengobatan dilakukan secara selektif, yaitu pada
orang dengan hasil positif saja.
2. Pendidikan Kesehatan (Edukasi)
Pendidikan kesehatan bertujuan menurunkan penyebaran dan terjadinya reinfeksi
dengan cara memperbaiki perilaku kesehatan. Untuk infeksi nematoda usus,
tujuannya adalah mengurangi kontaminasi dengan tanah dan air melalui promosi
penggunaan jamban dan perilaku kebersihan. Tanpa perubahan kebiasaan buang air
besar, pengobatan secara teratur ternyata tidak mampu menurunkan penyebaran
infeksi kecacingan. Pendidikan kesehatan dapat menurunkan biaya pengendalian
infeksi cacing dan terjadinya reinfeksi.
3. Sanitasi
Perbaikan sanitasi bertujuan untuk mengendalikan penyebaran STH dengan cara
menurunkan kontaminasi air dan tanah. Sanitasi merupakan intervensi utama untuk
menghilangkan infeksi kecacingan, tetapi supaya intervensi ini efektif harus
mencakup populasi yang luas. Namun strategi ini memerlukan biaya yang tidak
sedikit dan sulit dilaksanakan bila biaya yang tersedia sangat terbatas. Lagipula bila
digunakan sebagai intervensi primer untuk mengendalikan infeksi STH diperlukan
waktu bertahun-tahun bahkan puluhan tahun supaya dapat efektif.

BAB 111
PENUTUP
A. Kesimpulan
Nematoda usus terdiri dari beberapa spesies, spesies tersebut diantaranya
Ascaris lumbricoides, Strongyloides stercoralis, Ancylostoma duodenale, Necator
americanus, Enterobius vermicularis, Trichinella spiralis.
Nematoda dalam usus memiliki perbedaan anatara satu dengan lainnya antara lain
perbedaan dalam klasifikasi, morfologi, siklus hidup, patologi, epidemiologi.
B. Saran
Kritik dan saran diperlukan untuk membangun dan memper!aiki makalah ini untuk
kemudian bisa disempurnakan di kemudian hari.

DAFTAR PUSTAKA
http://www.cdc.gov/parasites/hookworm/biology.html
(WHO, 2010; Depkes RI, 2006).Dampakinfeksi kecacingan pada orang dewasa
(Brown, 1979). Fakto-rresiko-infeksi-nematoda-usus

Anda mungkin juga menyukai