Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dari studi pendahuluan dan pengkajian yang telah kelompok
lakukan, didapatkan data bahwa masalah terbanyak yang terdapat di
Desa Bantur Kecamatan Bantur adalah retardasi mental. Penderita
retardasi mental pada satu wilayah Posyandu Desa Bantur kurang lebih
23 orang dengan retardasi mental. Mayoritas penderita retardasi mental
di Desa Bantur telah mampu mandiri dalam ADL namun masih sangat
kurang dalam komunikasi verbal. Hal ini mendorong kelompok untuk
melakukan terapi aktivitas kelompok (TAK) yang merupakan salah satu
terapi modalitas keperawatan untuk mendukung dan mengoptimalkan
intervensi yang telah dilakukan oleh perawat.
Terapi aktivitas kelompok merupakan salah satu bentuk kegiatan
terapi psikologik yang dilakukan dalam sebuah aktivitas dan
diselenggarakan secara kolektif dalam rangka pencapaian penyesuaian
psikologis, perilaku dan pencapaian adaptasi optimal pasien. Dalam
kegiatan aktivitas kelompok. Tujuan ditetapkan berdasarkan kebutuhan
dan masalah yang dihadapi oleh sebagian besar klien dan sedikit banyak
dapat diatasi dengan pendekatan terapi aktivitas kolektif.
Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) Sensori Sensori merupakan terapi
modalitas yang dapat digunakan sebagai upaya untuk menstimulasi
semua panca indra (sensori) agar memberi respon yang adekuat. TAK
Stimulasi Sensori yang akan dilakukan ditujukan pada kelompok klien
dengan masalah yang sama, yang dalam hal ini adalah gangguan
komunikasi verbal. Terapi modalitas ini merupakan terapi yang
dikembangkan pada kelompok klien untuk meningkatkan kemampuan
verbal klien sehingga diharapkan dengan TAK asuhan keperawatan jiwa
adalah asuhan keperawatan spesialistik namun tetap holistik. Sehingga
pada proposal ini kelompok berkeinginan mengajukan TAK Stimulasi
Sensori untuk penderita Retardasi Mental sebagai terapi modalitas untuk
meningkatkan kemampuan komunikasi verbal penderita Retardasi Mental
di Desa Bantur Kecamatan Bantur.

1.2 Tujuan
Tujuan umum TAK Stimulasi Sensori yaitu peserta dapat
meningkatkan kemampuan komunikasi verbal dalam kelompok secara
bertahap. Sementara, tujuan khususnya adalah:
1. Peserta mampu mensensorikan stimulus yang dipaparkan
dengan tepat
2. Peserta mampu menyelesaikan masalah dari stimulus yang
dialami

1.3 Manfaat
1.3.1 Manfaat Bagi Klien
 Sebagai cara untuk meningkatkan kemampuan klien
dengan retardasi mental untuk berkomunikasi secara verbal
dengan orang lain dalam kelompok secara bertahap
1.3.2 Manfaat Bagi Terapis
 Sebagai upaya untuk memberikan asuhan keperawatan jiwa
secara holistik
 Sebagai terapi modalitas yang dapat dipilih untuk
mengoptimalkan Strategi Pelaksanaan dalam implementasi
rencana tindakan keperawatan klien
1.3.3 Manfaat Bagi Institusi Pendidikan
 Sebagai informasi untuk pihak akademisi, pengelola dan
sebagai bahan kepustakaan, khususnya bagi mahasiswa
PSIK sebagai aplikasi dari pelayanan Mental Health Nurse
yang optimal pada klien dengan Retardasi Mental.
1.3.4 Manfaat Bagi Puskesmas Bantur
 Sebagai masukkan dalam implementasi asuhan
keperawatan yang holistik pada pasien dengan Retardasi
Mental pada khususnya, sehingga diharapkan
keberhasilan terapi lebih optimal.
BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1 Retardasi Mental


2.1.1 Definisi
Menurut Crocker AC (dikutip dari Soetjiningsih, 1995:191), retardasi
mental adalah suatu kondisi yang ditandai oleh intelegensi yang rendah,
yang disertai adanya kendala dalam penyesuaian perilaku, dan gejalanya
timbul pada masa perkembangan. Sedangkan menurut Melly Budhiman
(dikutip dari Soetjiningsih, 1995: 191), seseorang dikatakan retardasi
mental jika memenuhi kriteria sebagai berikut: (1) fungsi intelektual umum
dibawah normal, (2) terdapat kendala dalam perilaku adaptif sosial, (3)
gejalanya timbul dalam masa perkembangan yaitu dibawah usia 18
tahun.
Yang dimaksud fungsi intelektual dibawah normal adalah IQ yang
kurang dari 70. Anak dengan retardasi mental tidak mampu untuk
mengikuti pendidikan di sekolah biasa seperti anak lainnya karena cara
berpikirnya yang terlalu sederhana. Anak ini bersekolah di sekolah luar
biasa tingkat C (SLB-C), yang dikhususkan untuk anak tunagrahita atau
retardasi mental.
Menurut PPDGJ-III (2003), retardasi mental atau tunagrahita
adalah suatu keadaan perkembangan jiwa yang terhenti atau tidak
lengkap, yang terutama ditandai oleh terjadinya hendaya ketrampilan
selama masa perkembangan sehingga berpengaruh terhadap tingkat
kecerdasan secara menyeluruh, misalnya kemampuan kognitif, bahasa,
motorik, dan sosial. Beberapa orang yang mengalami retardasi mental
bersifat pasif dan tergantung, sedangkan yang lain bersikap agresif dan
impulsif (Videbeck, 2008:560).
Jadi retardasi mental adalah suatu kondisi yang ditandai intelegensi
yang rendah yang disertai kendala ketrampilan dan penyesuaian perilaku
selama masa perkembangan yaitu dibawah usia 18 tahun.
2.1.2 Penyebab
Secara garis besar faktor penyebab dapat dibagi empat golongan,
yaitu (Soetjiningsih, 1995):
a. Faktor genetik
Akibat kelainan kromosom, seperti: (1) kelainan jumlah kromosom,
misalnya trisomi-21 atau dikenal dengan Mongolia atau Down
Syndrome, (2) kelainan bentuk kromosom.
b. Faktor prenatal
Dimaksudkan adalah keadaan tertentu yang telah diketahui ada
sebelum atau pada saat kelahiran, tetapi tidak dapat dipastikan
sebabnya. Ada beberapa kemungkinan penyebab, antara lain: (1)
keracunan pada saat di dalam kandungan, (2) faktor psikologi ibu
ketika mengandung, (3) infeksi di dalam kandungan, (3)
kekurangan gizi pada saat hamil, (4) penyakit karena virus yang
diderita ibu ketika hamil, (5) konsumsi beragam obat yang
dilakukan oleh sang ibu untuk mengurangi penderitaan ketika hamil
muda, (6) kelainan pada kelenjar gondok, yang mengakibatkan
pertumbuhan kurang wajar, (7) penyinaran dengan sinar rontgen
dan radiasi atom yang mengakibatkan kelainan bayi dalam rahim
ibunya (Mulya, 2011).
c. Faktor perinatal
Yang menjadi faktor perinatal yang pertama adalah proses
kelahiran yang lama misalnya plasenta previa, rupture tali
umbilicus. Faktor yang kedua posisi janin yang abnormal seperti
letak bokong atau melintang, anomaly uterus, dan kelainan bentuk
jalan lahir. Kemudian faktor yang terakhir adalah kecelakaan waktu
lahir dan distress fatal. Menurut Mulya (2011), kekurangan zat
asam yang menyebabkan kerusakan pada sel otak dan sesak
napas ketika dilahirkan juga berkontribusi dalam menyebabkan
retardasi mental.
d. Faktor pascanatal
Yang meliputi faktor pascanatal adalah akibat infeksi (meningitis,
ensefalitis, meningoensefalitis, dan infeksi), trauma kapitis dan
tumar otak, kelainan tulang tengkorak, kelainan endokrin dan
metabolik, keracunan pada otak.

2.1.3 Klasifikasi
Menurut nilai IQ-nya, maka intelegensi seseorang dapat
digolongkan sebagai berikut (Swaiman dikutip oleh Soetjiningsih, 1995:
1992):
a. Sangat superior (130 atau lebih).
b. Superior (120-129).
c. Diatas rata-rata (110-119).
d. Rata-rata (90-110).
e. Dibawah rata-rata (80-89).
f. Retardasi mental borderline (70-79).
g. Retardasi mental ringan (mampu didik) (52-69).
h. Retardasi mental sedang (mampu latih) (36-51).
i. Retardasi mental berat (20-35).
j. Retardasi mental sangat berat (dibawah 20).
Sedangkan menurut Asosiasi Retardasi Mental Amerika (The
American Association on Mental Retardation [AAMR]) dan PPDGJ-III
klasifikasi retardasi mental berdasarkan tingkat IQ adalah sebagai berikut:
retardasi mental ringan (50-69), retardasi mental sedang (35-49),
retardasi mental berat (20-34), retardasi mental sangat berat (di bawah
20).
Menurut Semiun (2006), anak-anak dengan IQ 51-69 dan usia
mental berkisar 6 atau 7 sampai 11 tahun disebut moron, anak-anak
dalam rentang IQ 25-50 dan rentang usia mental 3-6 atau 7 tahun disebut
imbisil, anak-anak dalam rentang IQ di bawah 25 dan usia mental 0-3
tahun disebut idiot.
Dari berbagai klasifikasi yang ditampilkan dapat disimpulkan bahwa
anak-anak dengan IQ kurang dari 70 disebut retardasi mental. Menurut
Soetjiningsih (1995), untuk mengetahui fungsi intelektual dapat dilakukan
tes fungsi kecerdasana dan hasilnya dinyatakan sebagai suatu taraf
kecerdasan atau IQ (Intelegence Quotient).
IQ adalah MA / CA x 100%
MA = Mental Age, umur mental yang didapat dari hasil tes.
CA = Chronological Age, umur berdasarkan perhitungan tanggal
lahir.

2.1.4 Manifestasi Klinis


Dalam diagnosis retardasi mental biasanya ditetapkan tingkatan
cacat dengan tingkatan IQ dan taraf kemampuan penyesuaian diri sosial
(Semiun, 2006:266). Tingkatan tersebut dibagi menjadi moron, imbisil,
dan idiot. Seperti yang sudah dijelaskan di atas, manifestasi yang
ditimbulkan dalam tingkatan tersebut adalah sebagai berikut (Semiun,
2006):
a. Moron
Dengan dilatih orang-orang yang cakap dan dengan penuh kasih
sayang, mereka dapat mencapai kelas V atau kelas VI sekolah
dasar (Semiun, 2006). Anak pada tingkatan ini masih memiliki
kemampuan yang dapat dikembangkan meskipun tidak maksimal.
Dengan pelatihan dan pendidikan, anak-anak pada tingkat ini
dapat membaca, menulis, dan berhitung meskipun cara berpikirnya
masih sederhana. Mereka juga dapat menyesuaikan diri dan
sedikit menggantungkan diri pada orang lain, serta masih memiliki
ketrampilan sederhana untuk kepentingan kerja dikemudian hari.
Menurut pembagian secara klinis, moron dibagi atas dua tipe yaitu
tipe stabil dan tipe tidak stabil (Semiun, 2006). Dalam tipe stabil,
mereka masih mempunyai minat dan perhatian pada
lingkungannya, mentalnya seimbang, bertingkah laku baik. Mereka
dapat dilatih untuk melakukan beberapa tugas tertentu (tukang cuci
piring, pembantu rumah tangga, tukang kebun, dan sebagainya)
(Semiun, 2006). Dalam tipe tidak stabil, pada umumnya sangat
rebut dan tidak mampu mengontrol diri sendiri, selalu merasa
gelisah dan selalu bergerak (Semiun, 2006).
b. Imbisil
Anak imbisil dapat belajar bicara, dan dengan demikian mereka
dapat menyampaikan kebutuhan dasarnya, dan biasanya tidak
mampu untuk belajar membaca dan menulis (Semiun, 2006).
Mereka mampu untuk belajar mengurus diri sendiri, belajar untuk
menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya, dan mampu
mempelajari kegunaan ekonomi di rumahnya.
c. Idiot
Mereka pada umumnya tidak mampu menjaga dirinya sendiri
terhadap bahaya-bahaya yang dating dari luar (Semiun, 2006).
Meskipun sudah dewasa tetapi mereka seolah-olah masih anak
kecil, untuk mengurus kebutuhan diri-sendiri sangat membutuhkan
orang lain.
Menurut Mulya (2011), anak tunagrahita digolongkan menurut
IQnya dengan sebutan moron atau tunagrahita ringan, imbisil atau
tunagrahita sedang, dan idiot atau tunagrahita berat. Pada anak dengan
tunagrahita ringan, mereka masih mampu dilatih untuk mambaca, menulis
dan berhitung sederhana (Mulya, 2011). Hal ini sama dengan yang
dikatakan Semiun (2006), bahwa anak moron dapat membaca, menulis,
dan berhitung meskipun cara berpikirnya masih sederhana. Anak pada
tipe ini mampu dididik menjadi tenaga kerja semi-skilled seperti pekerja
laundry, pertanian, peternakan, pekerjaan rumah tangga, dan pekerja
pabrik dengan sedikit pengawasan (Mulya, 2011).
Anak imbisil mampu mengurus diri sendiri, melindungi diri sendiri
dari bahaya. Seperti menghindari kebakaran, berjalan di jalan raya,
berlindung dari hujan, dll (Mulya, 2011). Semiun (2006) juga mengatakan
hal serupa, anak imbisil mampu untuk belajar mengurus diri sendiri,
belajar untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya, dan
mampu mempelajari kegunaan ekonomi di rumahnya. Anak idiot
memerlukan perawatan secara total dalam kehidupan sehari-hari dan
memerlukan perlindungan dari bahaya sepanjang hidupnya (Mulya,
2011).
2.1.5 Terapi
Memberi layanan pembelajaran pada anak dengan retardasi
mental tentunya banyak menemui hambatan. Namun, ada banyak cara
yang bisa dicoba untuk memdudahkan hal tersebut, yaitu dengan
menggunakan terapi permainan. Ada beberapa peran terapi permainan
dalam pembelajaran, yaitu (Mulya, 2011):
a. Terapi permainan sebagai saranan pencegahan. Mencegah
kesulitan, menambah masalah, dan mencegah terhambatnya
proses pembelajaran.
b. Terapi permainan sebagai sarana penyembuhan. Dalam hal ini
terapi permainan dapat mengembalikan fungsi, psiko-terapi, fungsi
sosial, melatih komunikasi, dan lain-lain.
c. Terapi permainan sebagai saranan untuk mempertajam
penginderaan. Misalinya permainan sebagai sarana untuk
mengembangkan kepribadian.
d. Terapi permainan sebagai saran untuk melatih aktivitas dalam
kehidupan sehari-hari. Khususnya anak perempuan.
Menurut Sutini dkk (2009), penyuluhan kesehatan untuk keluarga
berisi tentang perkembangan anak untuk tiap tahap usia didukung
keterlibatan orang tua dalam perawatan anak, bimbingan antisipasi dan
manajemen menghadapi perilaku anak yang sulit, informasikan sarana
pendidikan yang ada.

2.2 Terapi Aktivitas Kelompok


2.2.1 Definisi kelompok
Kelompok adalah kumpulan individu yang memiliki hubungan 1
dengan yang lain, saling bergantung dan mempunyai norma yang sama
(stuart dan Laraia, 2001). Anggota kelompok mungkin datang dari
berbagai latar belakang yang harus ditangani sesuai dengan keadaannya,
seperti agresif, takut, kebencian, kompetitif, kesamaan, ketidaksamaan,
kesukaan, dan menarik (Yolam, 1995 dalam stuart dan laraia, 2001).
Semua kondisi ini akan mempengaruhi dinamika kelompok, ketika
anggota kelompok memberi dan menerima umpan balik yang berarti
dalam berbagai interaksi yang terjadi dalam kelompok.
2.2.2 Tujuan dan Fungsi Kelompok
Tujuan kelompok adalah membantu anggotanya berhubungan
dengan orang lain serta mengubah perilaku yang destruktif dan
maladaptif. Kekuatan kelompok ada pada konstribusi dari setiap anggota
dan pimpinan dalam mencapai tujuannya.
Kelompok berfungsi sebagai tempat berbagi pengalaman dan
saling membantu satu sama lain, untuk menemukan cara menyelesaikan
masalah. Kelompok merupakan laboraturium tempat untuk mencoba dan
menemukan hubungan interpersonal yang baik, serta mengembangkan
perilaku yang adaptif. Anggota kelompok merasa dimiliki, diakui, dan
dihargai eksistensi nya oleh anggota kelompok yang lain.

2.2.3 Jenis Terapi Kelompok


1. Terapi kelompok
Terapi kelompok adalah metode pengobatan ketika klien ditemui
dalam rancangan waktu tertentu dengan tenaga yang memenuhi
persyaratan tertentu. Fokus terapi kelompok adalah membuat sadar
diri (self-awareness), peningkatan hubungan interpersonal, membuat
perubahan, atau ketiganya.
2. kelompok terapeutik
Kelompok terapeutik membantu mengatasi stress emosi, penyakit
fisik krisis, tumbuh kembang, atau penyesuaian sosial, misalnya,
kelompok wanita hamil yang akan menjadi ibu, individu yang
kehilangan, dan penyakit terminal. Banyak kelompok terapeutik yang
dikembangkan menjadi self-help-group. Tujuan dari kelompok ini
adalah sebagai berikut:
a. mencegah masalah kesehatan
b. mendidik dan mengembangkan potensi anggota kelompok
c. mengingatkan kualitas kelompok. Antara anggota kelompok
saling membantu dalam menyelesaikan masalah.
3. Terapi Aktivitas Kelompok
Wilson dan Kneisl (1992), menyatakan bahwa TAK adalah manual,
rekreasi, dan teknik kreatif untik menfasilitasi pengalaman seseorang
serta meningkatkan respon sosial dan harga diri. Aktivitas yang
digunakan sebagai erapi didalam kelompok yaitu membaca puisi,
seni, musik, menari, dan literatur. Terapi aktivitas kelompok dibagi
menjadi empat, yaitu terapi aktivitas kelompok stimulasi
kognitif/Sensori, terapi aktivitas kelompok stimulasi sensori, terapi
aktivitas kelompok stimulasi realita, dan terpi aktivitas kelompok
Stimulasi Sensori.
Terapi aktivitas kelompok stimulasi kognitif/Sensori melatih
memSensorikan stimulus yang disediakan atau stimulud yang pernah
dialami, diharapkan respon klien terhadap berbagai stimulus dalam
kehidupan menjadi adaptif. Terapi aktivitas kelompok stimulasi
sensori digunakan sebagai stimulus pada sensori klien. Terapi
aktivitas kelompok orientasi realita melatih klien mengorientasikan
pada kenyataan yang ada disekitar klien. Terapi aktivitas kelompok
Stimulasi Sensori untuk membantu klien melakukan Stimulasi Sensori
dengan individu yang ada disekitar klien.

2.3 Terapi Aktivitas Kelompok Stimulasi Sensori


Terapi aktivitas kelompok (TAK) Stimulasi Sensori adalah upaya
untuk menstimulasi semua panca indra (sensori) agar memberi respon
yang adekuat.
Tujuan :
Tujuan umum TAK Stimulasi Sensori yaitu klien dapat berespon
pada stimulus panca indra yang diberikan. Sementara tujuan khususnya
adalah:
1. Klien mampu berespon terhadap suara yang didengar
2. Klien mampu berespon terhadap gambar yang dilihat
3. Klien mampu mengekspresikan perasaan melalui gambar
BAB III
PELAKSANAAN TERAPI AKTIVITAS KELOMPOK MEMBUAT NOTE
BOOK DI DESA BANTUR KECAMATAN BANTUR KABUPATEN
MALANG

3.1 AKTIVITAS DAN INDIKASI


Klien yang mempunyai indikasi mengikuti TAK adalah klien dengan
gangguan sebagai berikut berikut:
1. Klien yang tidak mengalami gangguan fisik
2. Klien yang mudah mendengarkan dan mempraktekkannya
3. Klien dengan retardasi mental
4. Klien yang mudah diajak berinteraksi

Proses seleksi
1. Mengobservasi klien dengan retardasi mental

3.2 TUGAS DAN WEWENANG


1. Tugas Leader dan Co-Leader
- Memimpin acara; menjelaskan tujuan dan hasil yang diharapkan.
- Menjelaskan peraturan dan membuat kontrak dengan klien
- Memberikan motivasi kepada klien
- Mengarahkan acara dalam pencapaian tujuan
- Memberikan reinforcemen positif terhadap klien
2. Tugas Fasilitator
- Ikut serta dalam kegiatan kelompok
- Memastikan lingkungan dan situasi aman dan kondusif bagi klien
- Menghindarkan klien dari distraksi selama kegiatan berlangsung
- Memberikan stimulus/motivasi pada klien lain untuk berpartisipasi
aktif
- Memberikan reinforcemen terhadap keberhasilan klien lainnya
- Membantu melakukan evaluasi hasil
3. Tugas Observer
- Mengamati dan mencatat respon klien
- Mencatat jalannya aktivitas terapi
- Melakukan evaluasi hasil
- Melakukan evaluasi pada organisasi yang telah dibentuk (leader,
co leader, dan fasilitator)
4. Tugas Klien
- Mengikuti seluruh kegiatan
- Berperan aktif dalam kegiatan
- Mengikuti proses evaluasi

3.3 PERATURAN KEGIATAN


1. Klien diharapkan mengikuti seluruh acara dari awal hinggga akhir
2. Klien tidak boleh berbicara bila belum diberi kesempatan; perserta
tidak boleh memotong pembicaraan orang lain
3. Klien dilarang meninggalkan ruangan bila acara belum selesai
dilaksanakan
4. Klien yang tidak mematuhi peraturan akan diberi sanksi :
- Peringatan lisan
- Dihukum : Menyanyi, Menari, atau Menggambar
- Diharapkan berdiri dibelakang pemimpin selama lima menit
- Dikeluarkan dari ruangan/kelompok

3.4 TEKNIK PELAKSANAAN


TERAPI AKTIVITAS KELOMPOK STIMULASI SENSORI
SESI 1: Membuat Celengan dari Botol Bekas

Tema : Terapi Aktivitas Kelompok “Membuat Celengan dari Botol


Bekas”
Sasaran : Pasien Retardasi Mental
Hari/ tanggal : Selasa, 19 Januari 2016
Waktu : 45 menit
Tempat : Di Balai Desa Desa Bantur Kecamatan Bantur
Terapis :
1. Leader : Firdani Sam Lubis
2. Co Leader : Hesty Putri Hapsari
3. Fasilitator 1 : Tan Nina Fibriola
4. Fasilitator 2 : Nurul Amborowati
5. Fasilitator 3 : Kartika Puspa
6. Observer : Dika

Tahapan Sesi :
Sesi 1: Memperkenalkan Diri
Sesi 2 : Membuat Celengan dari Botol Bekas
A. Tujuan
 Sesi 1: klien mampu memperkenalkan diri dengan menyebutkan: nama
lengkap, nama panggilan, alamat rumah dan hobi
B. Sesi 2: klien mampu membuat kerajinan membuat Celengan dari Botol
Bekas
1. Kooperatif
2. Tidak terpasang restrain

C. Nama Klien
1. Rohman
2. Rohim
3. Ita
4. Erna
5. Ardi
6. Nurul
7. Galuh
8. Indra
9. Erna
10. Wiwik
11. Fani

D. Setting
 Terapis dan klien duduk bersama dalam satu lingkaran
 Ruangan nyaman dan tenang
E. MAP

L
F F

K
K

K
K

C F
K K
O

Keterangan :
L : Leader
C : Co Leader
O : Observer
F : Fasilitator
K : Klien

F. Alat
 Botol Bekas
 Kain Perca
 Gunting
 Lem
 Mata Kucing

G. Metode
 Dinamika kelompok
 Diskusi dan tanya jawab

H. Langkah-Langkah Kegiatan
1. Persiapan
a. Memilih klien sesuai dengan indikasi
b. Membuat kontrak dengan klien tentang TAK
c. Mempersiapkan alat dan tempat pertemuan
2. Orientasi
a. Salam terapeutik
Salam dari terapis kepada klien.
b. Evaluasi/validasi
Menanyakan perasaan klien saat ini.
c. Kontrak
1) Menjelaskan tujuan kegiatan, yaitu membuat celengan dari
botol bekas
2) Menjelaskan aturan main berikut:
- Jika ada klien yang ingin meninggalkan kelompok, harus
meminta izin kepada terapis.
- Lama kegiatan 45 ment.
- Setiap klien mengikuti kegiatan dari awal sampai selesai.
3. Tahap Kerja
a. Membagikan botol bekas, gunting, kain perca, lem dan mata kucing.
b. Menginstruksikan peserta untuk menggunting botol bekas yang
disediakan dan disatukan dengan menggunakan lem dan dibentuk
menyerupai hewan babi, kemudian di hias menggunakan kain perca
dan mata kucing.
c. Memberi pujian untuk setiap kelompok dengan memberi tepuk tangan
4. Tahap terminasi
a. Evaluasi
1. Terapis menanyakan perasaan klien setelah mengikuti TAK.
2. Terapis memberikan pujian atas keberhasilan kelompok.
b. Tindak lanjut
1. Menganjurkan tiap anggota kelompok melakukan kehgiatan
tersebut secara berkala
c. Kontrak yang akan datang
1. Menyepakati kegiatan TAK yang akan datang.
2. Menyepakati waktu dan tempat.

I. Evaluasi

a. Kemampuan verbal

No. Aspek yang Dinilai Nama Klien

1. Menyebutkan nama lengkap

2. Menyebutkan nama panggilan

3. Menyebutkan alamat

4. Menyebutkan hobi

Jumlah

b. Kemampuan nonverval
No. Aspek yang Dinilai Nama Klien

1. Kontak mata

2. Duduk tegak

3. Menggunakan bahasa tubuh yang sesuai

4. Mengikuti kegiatan dari awal sampai akhir

Jumlah

c. Kemampuan membuat celengan dari botol bekas

No. Aspek yang Dinilai Nama Klien

1. Menggunting botol bekas sesuai bentuk

2. Menyatukan botol dengan lem

3. Menghias botol dengan kain perca dan


mata kucing

Jumlah

Petunjuk:

1. Di bawah judul nama klien, tulis nama panggilan klien yang ikut TAK.
2. Untuk tiap klien, semua aspek dinilai dengan memberi tanda (+) jika
ditemukan pada klien atau (-) jika tidak ditemukan.

Bantur, 19 Januari 2015


Mengetahui,

Perseptor Akademik Perseptor Klinik

Ns. Retno Lestari, M.N Ns. Soebagijono, S.Kep.,


M.MKes
DAFTAR RUJUKAN

Hamid, A.Y.S. 1999. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Kesehatan Jiwa Pada
Anak dan Remaja, Widya Medika, Jakarta.
Hendriani, Wiwin, Hadariyati, Ratih dan Sakti, Tirta Malia. Penerimaan Keluarga
terhadap Individu yang Mengalami Keterbelakangan Mental. Insan Vol.8
No.2, 2006.
Hurlock, E. 1998. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan SEpanjang
Rentang Kehidupan, Edisi 5, Erlangga, Jakarta.
Hyun Sung Lim and Jae Won Lee. Parenting Stress and Depression among
Mothers of Children with Mental Retardation in South Korea: An
Examination of Moderating and Mediating Effects of Social Support.
Pacific Science Review, 2007; 9 (2): 150-159.
Mulya, Lara Asih. 2011. Tunagrahita/Retardasi Mental: Klasifikasi Anak
Tunagrahita, (Online), s(http://tunagrahita.com/2011/04/klasifikasi-anak-
tunagrahita/, diakses 10 Agustus 2011).

Mulya , Lara Asih. 2011. Tunagrahita/Retardasi Mental: Peran Terapi Permainan


Untuk Anak Tunagrahita, (Online), (http://tunagrahita.com/2011/04/terapi-
permainan-untuk-tunagrahita/, diakses 10 Agustus 2011).
Peshawaria et al. 2009. Asia Pasific Disability Rehabilitation Journal, 2009: A
Study of Facilitators and Inhibitors That Affect Coping in Parents of
Children With Mental Retardation in India, (Online),
(http://www.dinf.ne.jp/doc/english/asia/resource/apdrj/z13jo0100/z13jo01
08.html, diakses pada 20 Agustus 2011).
Rasmun. 2004. Stress, Koping, dan Adaptasi Teori dan Pohon Masalah
Keperawatan, Sagung Seto, Jakarta.
Stuart, Gail and Laraia, M. 2005. Principles and Practice of Psychiatric Nursing,
8th edition, Mosby, St. Louis.

Stuart & Sundeen. 1995. Principles an Practice of Psychiatric Nursing, fifth


edition, Mosby, St.Louis.

Anda mungkin juga menyukai