Anda di halaman 1dari 8

Proses penuaan merupakan proses yang pasti terjadi pada individu.

Proses tersebut akan


mempengaruhi dan memberikan perubahan pada individu. Salah satu contoh perubahan yang
terjadi pada lansia adalah perubahan kognitif. Perubahan kognitif pada lansia cenderung
relative stabil, namun terdapat beberapa fungsi tubuh yang berubah sehingga tidak
menyebabkan gangguan dalam kehidupan sehari-hari secara signifikan (Tabloski, 2014).
Perubahan dan hilangnya fungsi kognitif secara signifikan dan tiba-tiba biasanya diakibatkan
oleh penyakit fisik atau mental seperti alzheimer, stroke, atau depresi serius (Tabloski, 2014).
Adapun perubahan pada lansia yang mampu mempengaruhi kemampuan kognitif lansia secara
umum terdiri atas perubahan sistem saraf pusat, kecerdasan cairan dan kristalisasi, daya ingat,
dan perkembangan psikologis lansia (Miller, 2012).
Perubahan Kognitif pada Lansia

Perubahan sistem saraf pusat yang dapat mempengaruhi kemampuan kognitif pada
lansia seperti penurunan berat otak, berkurangnya aliran darah ke otak, kehilangan dan
penyusutan neuron, serta berkurangnya neurotransmitter (Miller, 2012). Hal ini akan
menyebabkan terjadinya respon reaksi lebih lambat dan mempengaruhi kecepatan dalam
mengolah informasi. Selanjutnya, perubahan kognitif lansia juga dapat dipengaruhi kecerdasan
cairan dan kristalisasi. Kecerdasan cairan bergantung pada fungsi sistem saraf pusat dan
meliputi atas keterampilan kognitif integrasi, penalaran induktif, pemikiran abstrak, dan
pemikiran fleksibel serta adaptif (Miller, 2012). Sementara itu, kecerdasan kristalisasi mengacu
pada keterampilan kognitif seperti kosa kata, informasi, dan pemahaman verbal yang diperoleh
individu melalui budaya, pendidikan, pembelajaran informal, dan pengalaman hidup lainnya.
Perubahan kognitif berikutnya pada lansia yaitu memori. Memori atau daya ingat akan berubah
dalam proses penuaan. Pada umumnya, memori untuk kejadian masa lalu lebih banyak
diretensi dan lebih banyak diingat daripada informasi yang masih baru (Stanley & Beare,
2007).
Perubahan penting lain pada lansia yang dapat mempengaruhi kemampuan kognitif
individu adalah perkembangan psikologis lansia. Teori tentang perkembangan psikologis
merumuskan bahwa pemikiran orang dewasa menjadi semakin kompleks dan menunjukkan
reorganisasi keterampilan intelektual yang progresif (Labouvie-Vief & Blanchard-Fields, 1982
dalam Miller 2012). Salah satu contoh dari teori tersebut adalah pengambilan keputusan dan
pemecahan masalah sehari-hari. Berdasarkan teori tersebut dapat disimpulkan bahwa adanya
pengaruh dan motivasi sebagai prediktor kuat dalam mengambil keputusan pada lansia, lansia
lebih selektif dalam informasi yang mereka gunakan untuk pengambilan keputusan, lansia
membutuhkan lebih banyak waktu untuk membuat keputusan yang setara kualitasnya dengan
orang dewasa yang lebih muda, serta keahlian tugas dan pengalaman sebelumnya berkontribusi
pada keputusan lansia (Miller, 2012).
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Fungsi Kognitif Lansia
Lansia memiliki kemampuan dalam berbagai aspek, salah satunya yaitu aspek kognitif.
Kemampuan kognitif meliputi proses berpikir, belajar dan mengingat (Potter, Perry, Stockert
& Hall, 2013). Penuaan fungsi kognitif lansia merupakan salah satu stereotip yang berkembang
di masyarakat. Perawat perlu mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi fungsi kognitif
lansia agar dapat memperbaiki stereotip atau pandangan buruk mengenai kemampuan kognitif
lansia.
Adapun berbagai faktor yang mempengaruhi fungsi kognitif lansia diantaranya faktor
personal, kesehatan fisik dan mental, medikasi dan lingkungan. Faktor personal yang dapat
mempengaruhi kemampuan kognitif lansia yaitu pekerjaan, pendidikan, hubungan sosial, ras,
etnis, aktivitas yang menggunakan intelektual dan dilakukan saat waktu luang serta gaya hidup
meliputi pemenuhan nutrisi tubuh dan aktivitas fisik. Tingkat pendidikan formal merupakan
faktor personal yang paling mempengaruhi kemampuan kognitif lansia (Miller, 2012).
Faktor kedua yang mempengaruhi fungsi kognitif lansia yaitu faktor kesehatan fisik dan
mental. Kesehatan fisik lansia dipengaruhi oleh penurunan fungsi sistem tubuh sehingga
berisiko mengalami masalah kesehatan, salah satunya berupa penyakit kronis. Penyakit kronis
yang dapat menimbulkan gangguan fungsi kognitif lansia diantaranya gangguan tiroid,
diabetes, demensia dan gangguan kardiovaskular (Miller, 2012). Kesehatan lansia juga
dipengaruhi oleh status nutrisi tubuh. Kondisi nutrisi tubuh yang dapat menurunkan fungsi
kognitif lansia yaitu rendahnya kadar beta-karotin, vitamin B, C dan D.
Selain status nutrisi, gangguan kesehatan fisik lainnya yaitu gangguan sensorik.
Gangguan sensorik merupakan salah satu masalah kesehatan yang dapat menurunkan fungsi
kognitif lansia. Gangguan sensorik pada pendengaran dan penglihatan dapat membatasi
kemampuan lansia dalam menerima informasi (Miller, 2012).
Kesehatan mental juga berhubungan dengan fungsi kognitif lansia. Gangguan mental
yang dapat menurunkan kemampuan kognitif lansia diantaranya stres psikologis, cemas dan
depresi (Miller, 2012). Stres psikologis terutama yang berkepanjangan dapat menekan
perkembangan neuron baru. Studi penelitian membuktikan bahwa kecemasan dapat merusak
kemampuan kognitif lansia hingga menimbulkan rasa khawatir yang berlebihan, keraguan
dalam diri, mempersempit rentang perhatian dan menurunkan kecepatan dalam menerima
suatu informasi. Depresi dapat menurunkan fungsi kognitif terutama pada bagian memori atau
ingatan lansia (Touhy & Jett, 2014).
Gaya hidup juga berkaitan dengan fungsi kognitif lansia. Perilaku gaya hidup sehat dapat
mempertahankan kemampuan kognitif yang baik. Perilaku gaya hidup sehat perlu
diimplementasikan dalam kehidupan lansia diantaranya perilaku tidak merokok, melakukan
aktivitas fisik secara rutin, mengonsumsi sayuran dan tetap terlibat dalam aktivitas sosial di
masyarakat (Miller, 2012). Aktivitas fisik yang dilakukan secara rutin dapat meningkatkan
fungsi kognitif. Gaya hidup tidak sehat menyebabkan lansia tidak dapat mempertahankan
fungsi kognitif dan status kesehatannya dengan baik sehingga berisiko tinggi mengalami
gangguan kognitif dan gangguan kesehatan fisik.
Faktor ketiga yang dapat mempengaruhi fungsi kognitif lansia yaitu efek medikasi.
Medikasi yang dijalani atau pengonsumsian obat dapat menghilangkan beberapa memori dan
menurunkan fungsi kognitif lansia dengan berbagai cara sesuai jenis obat yang dikonsumsi
(Touhy & Jett, 2014). Obat antikolinergik dapat mempengaruhi fungsi kognitif dan memori
serta menyebabkan perubahan status mental pada lansia (Miller, 2012). Faktor lain yang dapat
mempengaruhi kemampuan kognitif lansia yaitu perilaku merokok dan kondisi lingkungan.
Faktor yang menyebabkan lansia berisiko mengalami penurunan fungsi kognitif yaitu perilaku
merokok dan paparan racun lingkungan (Miller, 2012).
Gangguan Kognitif Lansia

Akan dibahas mengenai perubahan kognitif lansia yang bersifat patologis, yaitu delirium
dan demensia.

Delirium
Delirium merupakan sindrom yang ditandai dengan onset akut (yaitu dalam jam atau
hari); fluktuasi (biasanya mempengaruhi siklus tidur-bangun); dan gangguan pada pikiran,
ingatan, perhatian, perilaku, persepsi, orientasi, dan kesadaran (Wallace, 2008 dan Miller,
2012). Ada tiga jenis perilaku delirium, yaitu hiperaktif, hipoaktif, dan campuran (Yang el al.,
2009 dalam Miller, 2012). Gambaran klinis delirium hiperaktif meliputi kewaspadaan
berlebihan, mudah terganggu, peningkatan aktivitas psikomotor, halusinasi, agitasi dan agresif,
dan berbicara cepat. Sedangkan, delirium hipoaktif ditandai dengan pergerakan yang
melambat, tidak responsif, berkurangnya ekspresi wajah, dan berbicara terbatas. Sedangkan,
delirium campuran merupakan tanda dan gejala baik dari hipoaktif dan hiperaktif (Thouhy &
Jett, 2014).
Delirium terjadi ketika pengiriman dan penerimaan informasi di otak menjadi
terganggu. Terganggunya proses ini dapat dipengaruhi oleh faktor predisposisi dan
presipitasinya. Faktor predisposisi yang meningkatkan kerentana delirium yaitu usia lebih dari
65 tahun, pengkonsumsi alkohol, demensia, ketergantungan fungsional, nyeri, depresi,
gangguan perilaku, jumlah obat, dehidrasi, dan malnutrisi (Miller, 2012 dan Busby-Whitehead,
et al, 2009). Menurut Touhy & Jett (2014), faktor presipitasi yang mendukung untuk
munculnya delirium yaitu infeksi, operasi, dan kondisi khusus (misalnya luka bakar, AIDS,
fraktur, hipoksemia, insufisiensi organ, dan gangguan metabolik). Tanda dan gejala delirium
sendiri, yaitu penurunan tingkat kesadaran, disorientasi, penurunan memori jangka pendek,
agitasi atau gelisah, penurunan perhatian, gangguan persepsi, delusi, dan insomnia (Tabloski,
2014).
Demensia
Demensia bukanlah suatu penyakit, melainkan sindrom yang timbul dari berbagai
penyebab yang berbeda. Berdasarkan data dari WHO (2012) diketahui bahwa 35,6 juta jiwa di
dunia menderita demensia dan pada tahun 2050 mendatang, diperkirakan presentasi dari orang-
orang berusia 60 tahun ke atas akan mencapai 22% jumlah populasi dunia. Sedangkan jumlah
penyandang demensia di Indonesia sendiri hampir satu juta orang pada tahun 2011 (Gitahafas,
2011). Dimensia dibagi menjadi empat tipe, yaitu Penyakit Alzheimer (AD), Vaskular
Demensia (VaD), lewy body dementia, dan demensia lobus frontotemporal (Tabloski, 2014).

Penyakit Alzheimer (AD) merupakan penyebab paling umum dari sindrom dimensia,
80% dari penderita yang diagnosa demensia mengalami AD. Penyakit VaD yang merupakan
penyakit kedua paling umum (terjadi 77% kasus pada lansia dan biasanya timbul secara tiba-
tiba atau mendadak (Morris, 2005 dalam Miller, 2012). Penyakit Lewy Body Dementia yang
termasuk demensia Parkinson dengan demensia (PDD) dan demensia tubuh Lewy (DLB).
Demensia ini memiliki patologi khusus yaitu kehadiran struktur bulat, atau tubuh Lewy, dan
neuritis yang ditemukan di otak. Tanda dan gejalanya, yaitu halusinasi visual, delusi dan gejala-
gejala ekstrapiramidal seperti getaran, kekakuan dan ketidakstabilan postural (Tabloski, 2014).
Penyakit demensia lobus frontotemporal yang umunya terjadi pada pertengahan usia 50
tahun, jarang sekali terjadi pada lebih dari 70 tahun. Selain itu 30-50% kasus demensia ini
terjadi pada usia kurang dari 65 tahun dan usia rata-rata onset 54 tahun (Kertesz, 2010 dalam
Miller, 2012). Demensia ini hadir dengan perubahan kepribadian dan atrofi dari lobus
frontotemporal otak (Tabloski, 2014).
Proses terjadinya demensia ini bertahap, dimulai dengan 1). Dewasa normal yaitu tidak
mengalami defisit atau keluhan; 2). Gangguan memori berhubungan dengan penuaan yaitu
defisit konsisten dengan penuaan normal terkait umur, seperti tidak dapat menemukan barang
objektif dan kesulitan menemukan kata; 3). Gangguan kognitif ringan yaitu gangguan dalam
melaksanakan tugas-tugas kompleks, gangguan dalam pemenuhan kebutuhan sosial dan kerja,
dan keterampilan organisasi berkurang; 4). Demensia ringan yaitu kemampuan untuk
melakukan tugas-tugas kompleks berkurang (misalnya, perencanaan makan, pengelolaan
keuangan); 5). Demensia moderat yaitu defisit kognitif yang jelas, seperti tidak mampu
mengelola tugas-tugas harian yang kompleks tanpa pengawasan atau bantuan; kesulitan
mengingat nama orang yang dekat dengan dia; 6). Demensia cukup berat yaitu terjadi
peningkatan gangguan kognitif (misalnya, disorientasi, gangguan memori jangka pendek yang
signifikan), perubahan kepribadian dan emosi (misalnya, kecemasan, delusi), hilangnya
kemampuan dalam mengenakan pakaian dengan benar tanpa bantuan, tidak dapat mandi secara
mandiri, tidak dapat menangani semua aspek dari pergi ke toilet; dan 7). Demensia berat yaitu
hilangnya semua kemampuan verbal dan psikomotorik secara progresif (Miller, 2012).

Metode Pengkajian untuk Perubahan Kognitif pada Lansia


Pengkajian kognitif lansia dilakukan dengan beberapa metode, yaitu pengkajian status
fungsional, pengkajian status kognitif/afektif, dan pengkajian fungsi sosial.

Pengkajian Status Fungsional

Contoh: Indeks Barthel

Adalah merupakan pengkajian untuk mengukur kemampuan lansia dalam menjalani


aktivitasnya sehari-hari, atau dengan kata lain, penentuan kemandirian. Pengkajian dapat
dilakukan dengan beberapa jenis indeks, meliputi Indeks Katz, Barthel, dan Sullivan.
Pengkajian Status Afektif

Merupakan pemeriksaan status


mental untuk mengukur kemampuan
mental lansia dalam fungsi intelektual.
Secara spesifik, pengkajian dilakukan
pada tingkat kesadaran, perhatian,
keterampilan berbahasa, ingatan
interpretasi bahasa, keterampilan
menghitung dan menulis, kemampuan
konstruksional.

Ada banyak indeks yang dapat


digunakan untuk pengkajian status
afektif, meliputi: Short Portable Mental
Status Questionnaire (SPMSQ). Mini-
Mental State Exam (MMSE),
Inventaris Depresi Beck (IDB), dan
Skala Depresi Geritrik Yesavage.

Contoh: MMSE

Pengkajian Fungsi Sosial

Merupakan pengkajian mengenai hubungan lansia


dengan keluarga sebagai sentral hubungan sosialnya.
Dikarenakan perawatan jangka panjang memerlukan dukungan
fisik dan emosional dari keluarga (atau setidaknya kerabat),
mengkaji tentang hubungan sosial dapat memberikan
informasi mengenai jaringan pendukung lansia. Indeks yang
biasa digunakan untuk pengkajian ini adalah Adaptation,
Partnership, Growth, Affection, Resolve (APGAR).
Peran Perawat Terkait Perubahan Fungsi Kognitif pada Lansia
Penelitian di beberapa decade ini mendukung sudut pandang yang lebih opimis terkait
fungsi kognitif lansia dan mencoba untuk mengembangkan intervensi-intervensi yang bisa
meningkatkan kemampuan kognitif pada lansia (Miler, 2012). Untuk itulah perawat sangat
berperan penting dalam meningkatkan kualitas hidup lansia. Salah satu cara yang paling
signifikan yang bisa dilakukan perawat untuk meningkatkan kesadaran kesehatan pada lansia
ialah dengan memperbaiki mitos-mitos yang ada mengenai lansia dan mendorong lansia untuk
tetap melakukan aktivitasnya agar kemampuan kognitifnya selalu terasah (Miler, 2012).
Kebanyakan lansia merasa malu untuk mencari pelayanan kesehatan terkait
psikososialnya sehingga mereka tidak mendapatkan terapi ataupun obat walaupun lansia-lansia
ini membutuhkannya. Perawat gerontik bisa menjalankan perannya sebagai advocator dan
edukator sehingga lansia bisa mengunjungi fasilitas kesehatan mental ketika mengalami
masalah kejiwaan (Tabloski, 2014). Sebagai advocator, perawat bisa menyarankan atau
merujuk pelayanan kesehatan yang sesuai dengan kebutuhan lansia. Sedangkan sebagai,
edukator perawat bisa mengedukasi lansia dan keluarganya mengenai fakta-fakta tentang
fungsi kognitif lansia dan mengoreksi apabila ada mitos atau pemahaman yang salah mengenai
fungsi kognitif lansia.
Perawat memiliki peran kunci dalam melakukan edukasi kepada lansia mengenai
beberapa strategi berdasarkan fakta untuk mengetahui kesehatan kognitif lansia:
1. Nutrisi yang baik: meliputi makanan yang tinggi antioksidan (sayur dan buah) dan
asam lemak omega-3 (seperti minyak ikan); membatasi garam, kolestrol dan lemak;
membatasi asupan kalori untuk mengatur berat badan
2. Latihan mental: mendorong lansia untuk belajar melakukan hal yanru yang menarik
(merangkai bunga, membuat kerajinan tangan, dll.)
3. Latihan fisik: meliputi aerobic moderat, latihan keuatan otot, latihan keseimbangan
dan kelenturan
4. Berperan dalam aktivitas yang menantang: menari, bermain permainan papan,
bermain music, mengerjakan teka teki silang dan membaca
5. Memilih aktifitas yang bisa mengontrol indera: mempelajari cara menggunakan
computer, mempelajari Bahasa baru, dan belajar cara main music
6. Mengembangkan hubungan sosial yang kuat: mengelola hubungan sosial yang baik
dengan teman dan keluarga
Perawat juga bisa mengedukasi lansia mengenai kemampuan ingat dan fungsi
kognitifnya. Salah satu program mengemukakan pentingnya mengajarkan lansia untuk hidup
sehat yang bisa secara efektif mencegah penurunan fungsi kognitif pada lansia. Selain itu
perawat juga bisa mengajarkan lansia mengenai healthy brain aging. Konsep metakognisi
mengatakan bahwa pengetahuan seseorang mengenai proses kognitif bisa mempengaruhi
orang tersebut dalam mengingat. Contohnya, seseorang yang mencoba mengingat sederet
nama butuh untuk mengingat dan memiliki pengetahuan mengenai cara mengingat. Penelitian
menemukan bahwa latihan mengingat bisa efektif untuk meningkatkan metamemori,
pengetahuan mengingat, dan melakukan pengingatan objektif pada lansia (Miler, 2012).
Latihan mengingat ini bisa meliputi mengendarai mobil, bermain permainan puzzle dll. Hal
lain yang bisa dilakukan untuk meningkatkan fungsi kognitif lansia ialah dengan meningkatkan
daya konsentrasi dan fokus lansia. Teknik ini bisa dilakukan dengan cara seperti meditasi,
relaksasi, imajinari yang bisa meningkatkan fokus dan konsentrasi lansia sehingga dapat
mengingkatkan daya ingat dan fungsi kognitif lansia. (Miler, 2012).
Penggunaan terapi komplementer dan alternative pun bisa digunakan untuk
meningkatkan fungsi kognitif lansia. Di Asia Ginko biloba dipercaya bisa meningkatkan daya
ingat dan kognitif seseorang (Tabloski, 2014). Akan tetapi terapi ini sebaiknya tidak dilakukan
bersamaan dengan pengonsumsian war farin, aspirin, ibuprofen, dan obat anti koagulan lain
karena dapat meningkatkan subdral hematom dan perdarahan kranial. Valerian yang
merupakan suplemen herbal yang biasa digunakan untu obat tidur dan obat anti ansietas bisa
digunakan untuk menenangkan dan memfoskuskan pikiran lansia. Walaupun penggunaan
terapi alternative atau komplementer ini baik digunakan dan terbukti, penting bagi perawat
untuk tetap memantau perkembangan, efek samping, dan interaksi antara pengobatan lainnya
(Tabloski, 2014).
Daftar Pustaka
Busby-Whitehead, J., Arenson, C. and Durso, S. (2009). Reichel's Care of the Elderly. 6th ed.
Cambridge: Cambridge University Press.

David, Meagher. (2011). Cognitive assessment of older people. University of Limerick.


Gitahafas. (2011). Kesehatan otak. Diakses dari http://www. health.detik.com.

Miller, C. A. (2012). Nursing for wellness in older adults. 6th ed. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins.
Stanley, M., & Beare, P. G. (2007). Gerontological nursing: a health promotiom / protection
approach). 2nd ed. Philadelphia: Davis Company
Tabloski, P. A. (2014). Gerontological nursing. 3rd ed. New Jersey: Pearson Education.
Touhy, T. A., & Jett, K. F. (2014). Ebersole and Hess’ Gerontological Nursing & Healthy
Aging. St. Louis, Missouri: Elsevier Mosby.
Wallace, M. (2008). Essentials of gerontological nursing. New York: Springer Publishing
Company.
WHO. (2012). Health of the Ederly. Geneva: WHO.

Anda mungkin juga menyukai