Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hukum Islam adalah hukum yang ditetapkan
oleh Allah melalui wahyu-Nya yang kini terdapat
dalam Al Qur’an dan dijelaskan oleh nabi
Muhammad sebagai Rasul-Nya melalui Sunnah
beliau yang kini terhimpun dengan baik dalam kitab-
kitab hadits. Juga dapat diartikan sebagai hukum
yang bersumber dan menjadi bagian dari agama
Islam. Yang diatur tidak hanya hubungan manusia
dengan manusia lain dalam masyarakat, manusia
dengan benda dan alam semesta, tetapi juga
hubungan manusia dengan Tuhan.

B. Rumusan Masalah
1. Apa Istilah Hukum Islam ?
2. Apa Hubungan Syariah Dan Fiqih ?
3. Bagaimana Perceraian Dalam Pandangan Islam
dan Katolik ?
4. Bagaimana Penyelesaian Perceraian Beda
Agama Di Indonesia ?
5. Bagaimana Kewenangan Pengadilan Terhadap
Perkara Perceraian Beda Agama ?

C. Maksud dan Tujuan Penelitian


Dari pembuatan makalah ini adalah untuk
mempelajri hukum islam dan mampu memahami
hukum-hukum yang bersumber berdasarkan hukum
islam.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Istilah-Istilah Hukum Islam

Ada istilah-istilah penting yang dapat


digunakan yakni : syariah, fiqih, dan hukum Islam itu
sendiri. Penggunakan ketiga istilah tersebut
terkadang saling tertukar karena adanya pemahaman
yang tidak tepat. Karena itu, perlu dijelaskan telebih
dahulu makna atau pengertian dari masing-masing
istilah tersebut dan keterkaitannya, terutama
hubungan antara syariah dan fiqih.

a. Syariah

 Dari asal katanya, syariah berasal dari kata al-


syari’ah yang bemakna ‘jalan ke sumber air’
atau jalan yang harus diikuti, yaitu jalan ke
arah sumber pokok bagi kehidupan (Al-
Fairuzabadiy, 1995: 659).

 Kata syariah disamakan dengan jalan air


mengingat bahwa barang siapa yang
mengikuti syariah, ia akan mengalir dan
bersih jiwanya (Amir Syarifuddin, 1999, I: 1).

 Secara terminologis, syariah didefinisikan


dengan sebagai aturan-aturan yang ditetapkan
oleh Allah agar digunakan oleh manusia
dalam hubungannya dengan Tuhannya,
dengan saudaranya sesama Muslim, dengan
saudaranya sesama manusia, dengan alam,

2
dan dalam kaitannya dengan kehidupannya
(Syaltut, 1966: 12).

 Syariah didefinisikan pula sebagai semua


peraturan agama yang ditetapkan oleh Allah
untuk kaum Muslim baik yang ditetapkan
dengan Al quran maupun dengan Sunnah
Rasul (Musa, 1988: 31).

Dari sejumlah definisi syariah di atas dapat


dipahami bahwa syariah adalah aturan-aturan Allah
SWT dan Rasulullah SAW yang mengatur manusia
dalam berhubungan dengan Tuhannya maupun
dengan sesamanya

b. Fiqih

 Kata fiqih berasal dari kata al-fiqh yang


berarti pemahaman atau pengetahuan tentang
sesuatu (Al-Fairuzabadiy, 1995: 1126).

 Secara terminologis, fiqih didefinisikan


sebagai ilmu tentang hukum-hukum syara’
yang bersifat amaliyah (praktis) yang digali
dari dalil-dalil yang terperinci (Khallaf, 1978:
11; Zahrah, 1958: 6).

Dari definisi ini dapat diambil beberapa


pengertian bahwa fiqih merupakan suatu ilmu yang
membahas hukum-hukum syara’ terutama yang
bersifat amaliyah dengan mendasarkan pada dalil-
dalil yang terperinci dari Alquran dan hadis. Dengan
demikian. pengertian fiqih berbeda dengan syariah
baik dari segi etimologis maupun terminologis.
Syariah merupakan seperangkat aturan yang
bersumber dari Allah SWT dan Rasulullah SAW

3
untuk mengatur tingkah laku manusia baik dalam
berhubungan dengan Tuhannya (ibadah) maupun
dalam rangka berhubungan dengan sesamanya
(muamalah). Sedangkan fiqih merupakan penjelasan
atau uraian yang lebih rinci dari apa yang sudah
ditetapkan oleh syariah.

B. Hubungan Antara Syariah Dan Fiqih

Hubungan antara syariah dan fiqih sangat erat


dan tidak dapat dipisahkan. Syariah adalah sumber
atau landasan fiqih, sementara fiqih merupakan
pemahaman terhadap syariah. Secara umum syariah
adalah hukum Islam yang bersumber dari Alquran
dan Sunnah yang belum dicampuri daya nalar
(ijtihad), sedangkan fiqih adalah hukum Islam yang
bersumber dari pemahaman terhadap syariah , baik
Alquran maupun Sunnah.
Asaf A.A.Fyzee menguraikan perbedaan
kedua istilah tersebut dengan penjelasan bahwa
syariah adalah sebuah lingkaran yang besar yang
wilayahnya meliputi semua perilaku dan perbuatan
manusia; sedang fiqih adalah lingkaran kecil yang
mengurusi apa yang umumnya dipahami sebagai
tindakan umum. Syariah selalu mengingatkan kita
akan wahyu, ‘ilmu (pengetahuan) yang tidak akan
pernah diperoleh seandainya tidak ada Alquran dan
Sunnah; dalam fiqih ditekankan penalaran dan
deduksi yang dilandaskan pada ilmu terus-menerus
dikutip dengan persetujuan. Jalan syariah digariskan
oleh Allah dan Rasul-Nya; bangunan fiqih
ditegakkan oleh usaha manusia. Dalam fiqih satu
tindakan dapat digolongkan pada sah atau tidak sah,
boleh atau tidak boleh. Dalam syariah terdapat

4
berbagai tingkat pembolehan maupun pelarangan.
Fiqih adalah istilah yang digunakan bagi hukum
sebagai suatu ilmu; sedangkan syariah bagi hukum
sebagai jalan kesalehan yang dikaruniakan dari langit
(Fyzee, 1974: 21).

C. Perceraian Dalam Pandangan Islam


Dan Katolik

Dalam suatu ikatan perkawinan, semua orang


yang akan dan yang telah berkeluarga pasti bercita-
cita untuk mewujudkan keluarga yang harmonis,
keluarga yang dibalut dengan mawaddah serta
rahmah. Dalam pandangan Islam dan Katholik,
perkawinan merupakan sesuatu yang amat suci dan
sangat sakral. Maka dari itu suami istri hams selalu
menjaga keutuhannya agar tujuan perkawinan itu
tercapai. Baik Islam maupun Katholik, keduanya
sangat membenci perceraian. Karena perceraian
dapat memisahkan atau memutuskan tali silaturrahmi
antara keduanya. Katholik memandang perkawinan
itu merupakan sesuatu yang sangat suci, karena
dalam Katholik, perkawinan merupakanjanji dua
insan dengan Tuhannya. Maka dari itu dalam
Katholik tidak mengenal perceraian. Karena akan
mengingkari janji dengan Tuhan yang telah
mempersatukan mereka. Berangkat dari pemaknaan
sakralitas perkawinan, maka Katholik mengajarkan
tidak mengenal perceraian dalam sebuah
perkawinan. Perceraian berarti mengingkari janji
manusia dengan Tuhannya. Tuhan yang telah
mempersatukan mereka dalam ikatan suci
perkawinan maka yang dapat memisahkan ikatan
mereka hanyalah kematian. Tidak jauh berbeda

5
dengan Katholik, Islam melihat perceraian dalam
sebuah perkawinan sebagai hal yang sangat dibenci
oleh Allah, meskipun pada dasarnya perceraian itu
hukumnya halal. Perceraian itu halal dilakukan
apabila konflik dalam rumah tangga tidak dapat
diselesaikan lagi kecuali dengan perceraian. Jika
perceraian itu dihindari, dikhawatirkan dapat
mendatangkan akibat yang lebih buruk bagi
keduanya. Dalam kajian ini, penyusun berupaya
untuk menjelaskan bagaimana pandangan Islam dan
bagaimana pula pandangan Katholik tentang
perceraian. Berangkat melalui pandangan dari dua
agama tersebut. Akan diketahui perbedaan cl~n
persamaan dari keduunya. Jenis penelitian ini adalah
penelitian pustaka (library research), yaitu jenis
penelitian yang penyusnn htknlom nP.ng:m
menggunakan buku-buku eabagai sumber datanya
dan juga sebagai sumber utamanya. Sedangkan
penelitian ini bersifat deskriptit:-analisis-komparatif.
Maksudnya bahwa penyusun berusaha untuk
mendeskripsikan makna perkawinan serta tujuan
perkawinan dan juga pandangan keduanya tentang
perceraian. Kemudian penyusun menganalisa dari
data yang ada yang sel~jutnya akan dikomparasikan
antara pandangan Islam dan pandangan Katholik
tentang perceraian.Hasil dari penelitian ini
menunjukkan bahwa dalam Islam perceraian itu
dibolehkan atau dihalalkan walaupun perceraian itu
menjadi hal yang sangat dibenci oleh Allah SWT.
Berbeda dengan Islam, Katholik tidak mengenal
perceraian. Katholik mengharamkan perceraian bagi
suami istri yang keduanya telah dibaptis dan juga
perkawinan yang telah di lanjutkan dengan
persenggamaan.

6
D. Penyelesaian Perceraian Beda Agama
Di Indonesia
Indonesia memiliki badan peradilan yang
mencakup 4 (empat) wilayah hukum, yang secara
resmi diakui dan berlaku di Indonesia yaitu Peradilan
Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan
Peradilan Tata Usaha Negara. Masing-masing
peradilan tersebut memiliki kewenangan absolut dan
kewenangan relatif. Berkaitan dengan kewenangan
absolut suatu peradilan, Peradilan agama dan
Peradilan umum memiliki kewenangan yang sama
yaitu bertugas dan berwenang memeriksa, memutus
dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat
pertama salah satunya di bidang Perkawinan. Dalam
hal ini yang membedakannya adalah untuk Peradilan
agama hanya berkaitan dengan perkawinan yang
dilakukan antara orang-orang yang beragama Islam,
sedangkan peradilan umum untuk mereka yang non-
muslim, tetapi jika terjadi perceraian perkawinan
beda agama antara wanita yang beragama Islam
dengan lelaki non-Islam atau sebaliknya, pengadilan
mana yang akan menyelesaikannya. Adapun
permasalahan yang akan dikemukakan pada skripsi
ini, yaitu: 1. Bagaimana penyelesaian perceraian
beda agama di Indonesia. 2. Apa alasan suatu
peradilan di Indonesia menerima perkara perceraian
beda agama. 3. Bagaimana akibat hukum terhadap
anak dan harta dari perceraian beda agama. Penulis
menggunakan metode penelitian yuridis sosiologis
dengan mengadakan pendekatan terhadap masalah
dengan melihat kepada praktek hukum yang
dilakukan masyarakat dengan mencoba mengaitkan

7
dengan aturan - aturan yang berlaku. Penulis
melakukan penelitian ke Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan dengan mewawancarai Bapak Drs. Hari
Sasangka, SH., M.Hum selaku Hakim Ketua Majelis
yang memutus perkara perceraian beda agama Yuni
Shara dan Henry Siahaan. Dari hasil penelitian
proses penyelesaian perceraian beda agama terhadap
perkara Yuni Shara dan Henry Siahaan adalah sama
proses penyelesaiannya dengan penyelesaian
perceraian pada umumnya. Di mana dapat diajukan
gugatan cerainya ke Pengadilan Negeri di wilayah
hukum tempat tinggal penggugat yakni Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan. Pengadilan menerima
perceraian beda agama karena berdasarkan Pasal 66
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan memberlakukan Peraturan Perkawinan
Campuran (Regeling op de Gemengde Huwelijken,
Stb.1898 No.158) yang biasa disingkat dengan GHR,
Hakim Pengadilan menyatakan bahwa perkawinan
beda agama termasuk kedalam perkawinan
campuran dan Yuni Shara dan Henry Siahaan telah
mendaftarkan perkawinan yang dilangsungkannya di
Perth-Australia ke Kantor Catatan Sipil Bekasi serta
dengan alasan pengadilan tidak boleh menolak
perkara yang masuk kepadanya sebagaimana diatur
dalam Pasal 16 ayat (1) Undang-undang Nomor 4
Tahun 2004 tentang Pokok-pokok kekuasaan
kehakiman maka Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
menerima perkara perceraian beda agama tersebut.
Akibat hukum terhadap anak dan harta dari
perceraian beda agama adalah sama dengan
perceraian pada umumnya yaitu berkenaan dengan
hadhanah dan harta dalam perkawinan. Dari perkara
perceraian Yuni Shara dengan Henry Siahaan yang

8
berhak atas hadhanah terhadap kedua anaknya Cavin
Obrient Salomo Siahaan dan Cello Obin Siahaan
jatuh kepada Yuni Shara sebagai ibunya, sedangkan
mengenai penyelesaian harta perkawinan dilakukan
secara terpisah dan dapat di selesaikan menurut
hukumnya masing-masing sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 37 Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan.

E. Kewenangan Pengadilan Terhadap


Perkara Perceraian Beda Agama
Kewenangan pengadilan agama dibagi
menjadi dua bagian yaitu kewenangan relative dan
kewenangan absolute. kewenangan relative
mencakup dalam hal wilayah hukum mengadili suatu
perkara, sedangkan kewenangan absolute mencakup
segala materi yang menjadi perkara peradilan agama.

Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa


Peradilan Agma merupakan salah satu dari badan
peradilan Negara atau kekuasaan kehakiman yang
sah disamping tiga kekuasaan kehakiman yang lain.
adapun kekuasaan kehakiman di lingkungan badan
Pengadilan Agama terdiri dari:

1. Pengadilan Agama, sebagai pengadilan tingkat


pertama yang berkedudukan di Kota Madya
atau Ibu Kota Kabupaten atau Kabupaten.

2. Pengadilan Tinggi Agama adalah pengadilan


tingkat banding yang berkeduudkan di Ibu kota
propinsi dan daerah hukumnya meliputi
wilayah priovinsi.

Tugas dan wewenang Pengadilan Agama


hanya untuk menerima, memeriksa, mengadili dan

9
menyelesaikan perkara tertentu saja tidak secara
umum. maka dapat disimpulkan bahwa pada
prinsipnya kekuasaan Pengadilan Agama hanya
berkompeten pada hal perdata Islam secara umum
dan terbatas. selain itu pengadilan agama hanya
menangani perkara bagi mereka yang beragama
Islam saja dan tidak di luar Islam

Adapun wewenang Pengadilan Agama


sebagaimana yang tercantum dalam Undang-Undang
No. 7 tahun 1989 adalah:

Pasal 49 ayat (1)

Pengadilan Agama bertugas dan berwenang


memeriksa, memutuskan dan meneylesaikan
perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-
orang yang beragama Islam di bidang:

1. Perkawinan

2. Kewarisan, wasiat, dan hibah yang dilakukan


berdasrkan hukm Islam

3. Wakaf dan shodaqoh

Ayat (2)

Bidang perkara sebagaimana yang dimaksud


ayat (1) huruf (a) adalah hal-hal yang diatur dalam
atau berdasarkan Undang-Undang mengenai perkara
yang berlaku.

Ayat (3)

Bidang kewarisan sebagaimana yang


dimaksud dalam ayat (1) huruf (b) adalah penentuan
siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai
harta peninggalan, penentuan masing-masing bagia
ahli waris dan melaksanakan pembagian harta
peningggalan tersebut.

10
Pada Pengadilan Agma alasan dan
pertimbangann hakim dalam memutusperkara
dengan melihat dan memperhatikan secra kronologis,
rinci atau stau persatu dari kedua belah pihak
penggugat dan tergugat abik itu berupa alat bukti
surat, saksi,pengakuan dan sebagainya. sbeelum
adanya putusan, hakim mempertimbangkan
keterangan yang diajukan kkedua belah pihak,
yaitupenggugat dan tergugat apakah rumah
tangganya goyah karena adanya peselisihan agama
sehingga terjadi pertengkarannterus menerus.
bilamana dalam suatu perkawinan terdapat keadaan
yang demikian maka akan terjadi keretakan
hubungan perkawinan antara suami istri tersebut.
apabila dilihat dari beberapa segi tidak adanya
kebaikan, maka salah satu jalan yang dapat ditempu
adalah perceraian.

Perkawinan beda agama merupakan salah


satu hal yang prinsi dalam hukum Islam. oleh karena
itu,dapat dimungkinkan saat perkawinan kedua
mempelai beragama Islam, tetapi setelah menjalani
salah satu pihak mempelai memeluk agama lain.
berkenaan dengan hal itu, menurut pasal 116 huruf k
Kompilasi Hukum Islam (KHI) dengan tegas
ditentukan bahwa peralihan agama yang
meneybabkan terrjadinya ketidakrukunan dalan
rumah tangga sebagai penyebab atau alasan terjadi
perceraian.

Jika hal tersebut terjadi, maka akibat dari


perceraian tersebut adalah berimbas pada hal
perwalian Hadhonah. Menurut pasal 105 KHI
ditentyukan sebagai berikut:

11
a. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau
berumur 12 tahun adalah hak ibunya

b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz


diserahkan kepada anak untuk memilih di antara
ayah atau ibunya sebagai pemegang hak
pemeliharaannya.

c. Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya

Berdasarkan urauan diatas dapat pula


disimpulkan bbahwa hak pemeliharaan anak berada
pada ibunya. hal ini diharapkan agar tidak terjadi
pergantian agama kembali yang nantinya akan
embingungkan anak-anak tersebut, yang beklum
dewasa dalam menerima pemahaman agama yang
berbeda-beda pula. dalam hal ini sudah menjadi
ketentuan yang mengikat bila terjadi terus menerus
ketetuan-ketentuan dalam KHI, sbegaimana yang
telah tertuang dalam instruiksi Presiden Pepublik
Indonesia No 1 tahun 1991, tanggal 10 Juni 1991.

Selain itu, peraturan hukum yang mengatur


tentang penegakan hukum Islam di pengadilan
agama adalah undang-undang No. 7 tahun 1989
tentang peradilan agama jo Undang-undang No. 3
tahun 2006 tentang perubahan atas undang-undang
RI no. 7 tahun 1989 tentang peradilan agama.
Meskipun demikian ketentuan hukum acara perdata
juga diberlakukan, karena berdasarkan pasal 54 UU
No. 7 tahun 1989 ditentukan bahwa “Hukum acara
yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan
peradilan umum, kecuali yang telah diatur secara
khusus dalam undnag-undang ini.”

Sifat kekhususan Hukum Acara Peradilan


Agama tampak dalam salah satu asas hukum acara
yang diatur dalam UU No. 7 tahun 1989 yaitu asas

12
persolitas keislaman, menetukan bahwa peradilam
agama hanya berlaku bagi penganut agama islam
dengan hubungan hukum yang erlandas pada hukum
islam dan menjadi wewenang dari pengadilan agama.
Berarti unsur memeluk agama Islam merupakan
unsur utama kemudia dilihat hubungan hukum
didasrkan pada hukum Ilam pula. Hingga jika terjadi
perceraian berbeda agama di mana perkawinan
awalnya sama-sama beragama Islam, lalau salah satu
pihak beralih agama nin Islam maka hukum yang
berlaku bukanlah hukum yang melahirkan hubungan
hukum perkawinan tetapi hukum dari si penggugat
yaitu ibu.

13
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari pemaparan diatas, dapat diambil
kesimpulan bahwa Keabsahanperkawinan ini telah
diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 1
Tahun1974 tentang Perkawinan (UU
Perakwinan):“Perkawinan adalah sah apabiladilakukan
menurut hukum masing-masing agama dan
kepercayaannya itu”.Pasaltersebut menjelaskan
bahwa aturan agama yang berkenaandengan
syaratperkawinan harus diikuti dengan tidak
meninggalkan aturan yang dibuat oleh negara. Adapun
Pasal 2 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa, “

tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-

undangan yang berlaku”.Pasal ini menjadi dasar untuk


mengatur pencatatan perkawinan di
Indonesia.Perkawinan sebagaimana dijelaskan
dalam definisinya adalah sah apabiladilakukan
menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaan itu.Kemudian tiap-tiap perkawinan
dicatat menurut peraturan perundangan yangberlaku.

46. Dalam artian bahwa, perkawinan menjadi sah


apabila dilakukanmenurut hukum agama masing-masing
dan yang tak kalah pentingnya bahwapernikahan memang
sudah seharusnya dicatat menurut peraturan
perundang-undang.TinjauanSosio-antropologi
Hukum Islam dilakukan adalah untuk menjawab
bahwa pencatatan perkawinan menjadi solusi dimana
status perempuanatau wanita dianggap menjadi istri
yang memang sah dan diakui oleh undang-undang

14
bahkan dampak pencatatan ini jauh memiliki
kebermanfaatan ataukemaslahatan yang menjamin.

B. Saran
Dalam pandangan islam kehidupan keluarga
yang berbeda agama tidak akan terwujud secara
sempurna kecuali jika suami dan sitri berpegang pada
agama yag sama, keduanya beragama dan teguh
melaksanakan ajaran islam. Jika agama kedunya
berbeda akan timbul kesulitan di lingkungan
keluarga, dalam pelaksaan agama, pendidikan anak,
pengaturan makanan, pembinanaan teradisi
keagamaan dan lain sebagainya.

15
DAFTAR PUSTAKA

http://radarcendekiawan.blogspot.com/2013/11/kewenangan-pengadilan-agama-
terhadap.html
http://repo.unand.ac.id/2544/
http://digilib.uin-suka.ac.id/23171/
https://www.hukumonline.com/klinikdetail/cl4909/perceraian-untuk-nikah-beda-agama

16
17

Anda mungkin juga menyukai