Anda di halaman 1dari 62

Asuhan Keperawatan Jatuh pada Lansia

Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Gerontik

Dosen Pengampu: Ns. Sang Ayu M, S.Kep, Sp. Kep. Kom

Disusun Oleh:

Endang Dwi S 1610711055 Januarita Akhrina 1610711057


Ismi Zakiah 1610711056 Fina Alfya S 1610711058
Amelia Diah Wardani 1610711065 Purwandari Nurfaizah 1610711059
Gustina Rahmiandini P 1610711071 Amastia Ikayuwandari 1610711060
An’nisaa Eka Rahmawati 1610711072 Assyfa Siti R 1610711061
Leni Marlia 1610711073 Adinda Zein Nur 1610711062
Hannisa Rizki Riansyah 1610711079 Putri Zalfa 1610711064
Diah Ayu K 1610711067 Farah Nabilah 1610711068
Cintya Veronica 1610711069 Tessya Deant E 1610711070
Erliana Mandasari 1610711074 Asya Shalbiah M 1610711075
Anggryta Putry 1610711082 Nessa Ishmah M 1610711083
Ardhita Qory 1610711063

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL "VETERAN" JAKARTA

TAHUN 2019

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena atas berkat rahmat dan
hidayah-Nya kami dapat menyusun dan menyelesaikan makalah “Asuhan Keperawatan
Gerontik dengan Diabetes Mellitus” ini tepat pada waktu yang telah ditentukan. Makalah ini
diajukan guna memenuhi tugas yang diberikan dosen pada mata kuliah Keperawatan
Gerontik.

Pada kesempatan ini juga kami berterima kasih atas bimbingan dan masukan dari
semua pihak yang telah memberi kami bantuan wawasan untuk dapat menyelesaikan makalah
ini, baik itu secara langsung maupun tidak langsung.

Kami menyadari isi makalah ini masih jauh dari kategori sempurna, baik dari segi
kalimat, isi, maupun dalam penyusunan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun
dari dosen mata kuliah yang bersangkutan dan rekan-rekan semuanya, sangat kami harapkan
demi kesempurnaan makalah ini dan makalah-makalah selanjutnya.

Depok, April 2019

Kelompok

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ii

DAFTAR ISI iii

BAB I PENDAHULUAN 4

I.1 Latar Belakang 4

I.2 Rumusan Masalah 5

I.3 Tujuan Penulisan 5

BAB II TINJAUAN TEORI6

II.1 Prevalensi 6
II.2 Pengertian dan Etiologi 8
II.3 Tanda dan Gejala 12
II.4 Komplikasi 13
II.5 Pencegahan 13
II.6 Terapi Modalitas 18
II.7 Penatalaksanaan 20
II.8 Konsep Mobilisasi dan Keamanan pada Lansia 21
II.9 Perubahan yang Terkait Dengan Usia yang Mempengaruhi Mobilitas
dan Keamanan ................................................................................................................. 39
II.10 Konesekuensi Fungsional yang Memengaruhi Kesehatan Musculoskeletal ......... 43
II.11 Kondisi Patologis yang Memengaruhi Fungsi Muskuloskeletas Osteoarthritis .... 46
II.12 Morse Fall Scale 47
II.13 Teori Penuaan sesuai Kasus 51
II.14 Diagnosa dan Intervensi Keperawatan 52
II.15 Etika dan Peran Perawat 63

BAB III PENUTUP 65

III.1 Simpulan 65

III.2 Saran 65

DAFTAR PUSTAKA 57

3
BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Jatuh merupakan salah satu bahaya yang mengancam keamanan dan keselamatan
terhadap manusia. Selain itu, 90% jenis kecelakaan yang dilaporkan dan seluruh kecelakaan
yang terjadi di RS adalah jatuh. Dalam makalah ini penyusun akan mencoba membahas
tentang asuhan keperawatan apa yang bisa dilaksanakan untuk mencegah resiko jatuh
terhadap lansia.
Jatuh sering terjadi atau dialami oleh usia lanjut. Banyak faktor berperan
didalamnya, baik faktor intrinsik dalam diri lansia tersebut seperti gangguan gaya berjalan,
kelemahan otot ekstremitas bawah, kekakuan sendi, sinkoppe dan dizzines, serta faktor
ekstrinsik seperti lantai yang licin dan tidak rata, tersandung benda-benda, penglihatan
kurang karena cahaya kurang terang, dan sebagainya. Jatuh adalah
kejadian yang mengakibatkan seseorang mendadak terbaring/terduduk di lantai/tempat yang
lebih rendah dengan atau tanpa kehilangan kesadaran atau luka. Berdasarkan survei di
masyarakat AS, Tinetti (1992) mendapatkan seitar 30% lansia lebih dari umur 65 tahun jatuh
setipa tahunnya, separuh dari angka tersebut mengalami jatuh berulang.
Reuben dkk (1996) mendapatkan insiden jatuh di masyarakat AS pada umum lebih
dari 65 tahun berkisar 1/3 populasi lansia setiap tahun, dengan rata-rata jatuh 0.6/orang.
Insiden di rumah-rumah perawatan 3 kali lebih banyak. Lima persen dari penderita jatuh ini
mengalami patah tulang atau memerlukan perawatan di rumah sakit. Kecelakaan merupakan
penyebab kematian no.6 di Amerika Serikat tahun 1992. kematian akibat jatuh sangat sulit
didefinisikan karena sering tidak disadari oleh keluarga atau dokter pemeriksanya,
sebaliknya jatuh juga merpakan akibat penyakit lain misalnya serangan jantung mendadak.
Fraktur kolum femoris merupakan komplikasi utama akibat jatuh pada lansia.
Fraktur kolum femoris merupakan fraktur yang berhubungan dengan proses menua dan
osteoporosis. Wanita mempunyai resiko tinggi dibanding laki-laki untuk terjadinya fraktur
dan perlukaan akibat jatuh. Lansia yang sehat juga mempunyai resiko lebih tinggi dibanding
lansia yang lemah atau cacat untuk terjadinya fraktur dan perlukaan akibat jatuh.resiko
untuk terjadinya perlikaan akibat jatuh merupakan efek gabungan dari penurunan respon
perlindungan diri ketika jatuh dan besar kekuatan terbantingnya. Sehingga dalam mencegah
jatuh pada lansia perlu dianjurkan untuk melakukan aktivitas fisik meliputi pola gerakan

4
yang beragam seperti latihan kekuatan atau kelas aerobik yang dapat meningkatkan massa
tulang sehingga tulang lebih padat dan dapat menurunkan risiko jatuh.

I.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana prevalensi jatuh pada lansia?


2. Apa pengertian dan etiologi jatuh?
3. Apa tanda dan gejalanya?
4. Apa komplikasi jatuh?
5. Bagaimana pencegahan jatuh?
6. Apa terapi modalitas jatuh?
7. Bagaimana penatalaksanaan jatuh?
8. Bagimana konsep mobilisasi dan keamanan pada lansia?
9. Bagaimana konsep morse fall scale?
10. Apa teori penuaan sesuai kasus?
11. Apa diagnosa dan intervensi keperawatan?
12. Bagaimana etika dan peran perawat sesuai kasus?

I.3 Tujuan Penelitian

1. Mengetahui prevalensi jatuh pada lansia


2. Mengetahui pengertian dan etiologi jatuh
3. Mengetahui tanda dan gejala jatuh
4. Mengetahui komplikasi jatuh
5. Mengetahui pencegahan jatuh
6. Mengetahui terapi modalitas jatuh
7. Mengetahui penatalaksanaan jatuh
8. Mengetahui konsep mobilisasi dan keamanan pada lansia
9. Mengetahui morse fall scale
10. Mengetahui teori penuaan sesuai kasus
11. Mengetahui diagnosa dan intervensi keperawatan
12. Megetahui etika dan peran perawat
13. Mengetahui perawatan lansia dengan diabetes mellitus

BAB II

TINJAUAN TEORI

II. 1 Prevalensi Lansia

5
Berdasarkan data proyeksi penduduk, diperkirakan tahun 2017 terdapat 23,66 juta jiwa penduduk
lansia di Indonesia (9,03%). Diprediksi jumlah penduduk lansia tahun 2020 (27,08 juta), tahun
2025 (33,69 juta), tahun 2030 (40,95 juta) dan tahun 2035 (48,19 juta).

6
PREVALENSI JATUH PADA LANSIA

Proporsi penduduk di atas 60 tahun di dunia tahun 2000 sampai 2050 akan berlipat
ganda dari sekitar 11% menjadi 22%, atau secara absolut meningkat dari 605 juta menjadi 2
milyar lansia (World Health Organization, 2015). (Nazam, 2013) melakukan survei tentang
kejadian pasien jatuh di AS, di mana hasil survei tersebut menunjukkan 2,3-7% per 1000
lansia mengalami jatuh dari tempat tidur setiap hari dan 29-48% lansia mengalami luka
ringan dan 7,5% dengan luka-luka serius. Proporsi lansia Di Amerika Serikat, sekitar tiga
perempat kematian diakibatkan oleh jatuh, pada 13 persen populasi lanjut usia 65 tahun
keatas. Sekitar 40persen dari kelompok usia 65 tahun keatas yang tinggal dirumah
mengalami setidaknya jatuh sekali dalam setahun, dan sekitar 1 dari 40 orang dirawat di
rumah sakit dikarenakan jatuh (Rubenstein, 2006).Berdasarkan survei masyarakat di Jepang,
didapatkan sekitar 30% usia lanjut yang berumur >75 tahun, setiap tahunnya mengalami
jatuh. Separuh dari angka tersebut mengalami jatuh berulang. Insiden jatuh di Indonesia
tercatat dari 115 penghuni panti sebanyak 30 orang usia lanjut atau sekitar 43,47%
mengalami jatuh. Rubenztein dalam penelitiannya melaporkan bahwa 93,1% dari usia lanjut
yang mengalami kelemahan, sebesar 68,7% di antaranya memiliki pola Activity of Daily
Living (ADL) yang buruk yang dapat meningkatkan risiko jatuh.

Di Indonesia survei yang dilakukan oleh riset kesehatan dasar (RISKESDAS) tahun
2013 menyatakan bahwa prevalensi cidera akibat jatuh pada penduduk diatas usia 55 tahun
mencapai49,4%, pada usia 65-74 tahun sekitar 67,1% dan pada usia 75 tahun keatas sekitar
78,2%. Insidensi jatuh setiap tahunnya di antara lansia yang tinggal di komunitas meningkat
dari 25% pada usia 70 tahun menjadi 35% setelah berusia lebih dari 75 tahun (Stanley &
7
Beare, 2012). Kongres XII PERSI (2012) melaporkan bahwa angka kejadian pasien jatuh di
Indonesia bulan Januari-September 2012 sebesar 14%, hal ini menggambarkan presentasi
angka pasien jatuh masuk ke dalam lima besar insiden medis selain medicine eror
(Komariah, 2015). Kejadian jatuh dilaporkan terjadi pada sekitar 30% lansia berusia 65
tahun ke atas yang tinggal di rumah (komunitas), separuh dari angka tersebut mengalami
jatuh berulang. Lansia yang tinggal dirumah mengalami jatuh sekitar 50% dan memerlukan
perawatan di rumah sakit sekitar 10-25%. (Darmojo & Martono, 2009).

II. 2 Pengertian dan Etiologi


1. Osteoarthritis
Osteoartritis (OA) merupakan penyakit degenerasi pada sendi yang melibatkan
kartilago, lapisan sendi, ligamen, dan tulang sehingga menyebabkan nyeri dan kekakuan
pada sendi (CDC, 2014). Dalam Perhimpunan Reumatologi Indonesia Osteoartritis
secara sederhana didefinisikan sebagai suatu penyakit sendi degeneratif yang terjadi
karena proses inflamasi kronis pada sendi dan tulang yang ada di sekitar sendi tersebut
(Hamijoyo, 2007). Sjamsuhidajat, dkk (2011) mendefinisikan OA sebagai kelainan sendi
kronik yang disebabkan karena ketidakseimbangan sintesis dan degradasi pada sendi,
matriks ekstraseluler, kondrosit serta tulang subkondral pada usia tua (Sjamsuhidajat
et.al, 2011).
Berdasarkan etiopatogenesisnya OA dibagi menjadi dua, yaitu OA primer dan OA
sekunder. OA primer disebut juga OA idiopatik yang mana penyebabnya tidak diketahui
dan tidak ada hubunganya dengan penyakit sistemik, inflamasi atau pun perubahan local
pada sendi, sedangkan OA sekunder merupakan OA yang ditengarai oleh faktor-faktor
seperti penggunaan sendi yang berlebihan dalam aktifitas kerja, olahraga berat, adanya
cedera sebelumnya, penyakit sistemik, inflamasi. OA primer lebih banyak ditemukan
daripada OA sekunder (Davey, 2006).

2. Diabetes Mellitus (DM)


Diabetes mellitus adalah suatu keadaan didapatkan peningkatan kadar gula darah
yang kronik sebagai akibat dari gangguan pada metabolism karbohidrat, lemak, dan
protein karena kekurangan hormone insulin. Masalah utama pada penderita DM ialah
terjadinya komplikasi, khususnya komplikasi DM kronik yang merupakan penyebab
utama kesakitan dan kematian penderita DM (Surkesda, 2008). DM adalah suatu sindrom
kronik gangguan metabolism karbohidrat, protein, dan lemak akibat ketidakcukupan
sekresi insulin atau resistensi insulin pada jaringan yang dituju (Dorland, 2005).
8
Pada lansia cenderung terjadi peningkatan berat badan, bukan karena
mengkonsumsi kalori berlebih namun karena perubahan rasio lemak-otot dan penurunan
laju metabolisme basal. Hal ini dapat menjadi faktor predisposisi terjadinya diabetes
mellitus. Penyebab diabetes mellitus pada lansia secara umum dapat digolongkan ke
dalam dua besar:
 Proses menua/ kemunduran (Penurunan sensitifitas indra pengecap, penurunan fungsi
pankreas, dan penurunan kualitas insulin sehingga insulin tidak berfungsi dengan
baik).
 Gaya hidup (life style) yang jelek (banyak makan, jarang olahraga, minum alkohol,
dll.)
Keberadaan penyakit lain, sering menderita stress juga dapat menjadi penyebab
terjadinya diabetes mellitus.Selain itu perubahan fungsi fisik yang menyebabkan
keletihan dapat menutupi tanda dan gejala diabetes dan menghalangi lansia untuk
mencari bantuan medis. Keletihan, perlu bangun pada malam hari untuk buang air kecil,
dan infeksi yang sering merupakan indikator diabetes yang mungkin tidak diperhatikan
oleh lansia dan anggota keluarganya karena mereka percaya bahwa hal tersebut adalah
bagian dari proses penuaan itu sendiri.

3. Osteoporosis

Osteoporosis berasal dari kata osteodanporous, osteo artinya tulang, dan porous
berarti berlubang-lubang atau keropos. Jadi, osteoporosis adalah tulang yang keropos,
yaitu penyakit yang mempunyai sifat khas berupa massa tulangnya rendah atau
berkurang, disertai gangguan mikro-arsitektur tulang dan penurunan kualitas jaringan
tulang, yang dapat menimbulkan kerapuhan tulang( Tandra, 2009).
Menurut WHO pada International Consensus Development Conference, di Roma,
Itali, 1992 Osteoporosis adalah penyakit dengan sifat-sifat khas berupa massa tulang
yang rendah, disertai perubahan mikro arsitektur tulang, dan penurunan kualitas jaringan
tulang, yang pada akhirnya menimbulkan akibat meningkatnya kerapuhan tulang dengan
risiko terjadinya patah tulang (Suryati, 2006).
Menurut National Institute of Health (NIH), 2001 Osteoporosis adalah kelainan
kerangka, ditandai dengan kekuatan tulang yang mengkhawatirkan dan dipengaruhi oleh
meningkatnya risiko patah tulang. Sedangkan kekuatan tulang merefleksikan gabungan
dari dua faktor, yaitu densitas tulang dan kualitas tulang (Junaidi, 2007).
Beberapa penyebab osteoporosis, yaitu:

9
a) Osteoporosis pasca menopause terjadi karena kurangnya hormon estrogen (hormon
utama pada wanita), yang membantu mengatur pengangkutan kalsium ke dalam
tulang. Biasanya gejala timbul pada perempuan yang berusia antara 51-75 tahun,
tetapi dapat muncul lebih cepat atau lebih lambat. Hormon estrogen produksinya
mulai menurun 2-3 tahun sebelum menopause dan terus berlangsung 3-4 tahun setelah
menopause. Hal ini berakibat menurunnya massa tulang sebanyak 1-3% dalam waktu
5-7 tahun pertama setelah menopause.
b) Osteoporosis senilis kemungkinan merupakan akibat dari kekurangan kalsium yang
berhubungan dengan usia dan ketidakseimbangan antara kecepatan hancurnya tulang
(osteoklas) dan pembentukan tulang baru (osteoblas). Senilis berarti bahwa keadaan
ini hanya terjadi pada usia lanjut. Penyakit ini biasanya terjadi pada orang-orang
berusia di atas 70 tahun dan 2 kali lebih sering menyerang wanita. Wanita sering kali
menderita osteoporosis senilis dan pasca menopause.
c) Kurang dari 5% penderita osteoporosis juga mengalami osteoporosis sekunder yang
disebabkan oleh keadaan medis lain atau obat-obatan. Penyakit ini bisa disebabkan
oleh gagal ginjal kronis dan kelainan hormonal (terutama tiroid, paratiroid, dan
adrenal) serta obat-obatan (misalnya kortikosteroid, barbiturat, anti kejang, dan
hormone tiroid yang berlebihan). Pemakaian alkohol yang berlebihan dan merokok
dapat memperburuk keadaan ini.

d) Osteoporosis juveni lidiopatik merupakan jenis osteoporosis yang penyebabnya tidak


diketahui. Hal ini terjadi pada anak-anak dan dewasa muda yang memiliki kadar dan
fungsi hormon yang normal, kadar vitamin yang normal, dan tidak memiliki penyebab
yang jelas dari rapuhnya tulang (Junaidi, 2007).

4. Jatuh
Jatuh merupakan masalah keperawatan utama pada lansia, yang menyebabkan
cedera, hambatan mobilitas dan kematian (Sattin, 2004).

Selain cedera fisik yang berkaitan dengan jatuh, individu dapat mengalami
dampak psikologis, seperti takut terjatuh kembali, kehilangan kepercayaan diri,
peningkatan kebergantungan dan isolasi sosial (Downton dan Andrews, 2006).

Jatuh merupakan suatu kejadian yang dilaporkan penderita atau saksi mata yang
melihat kejadian, yang mengakibatkan seseorang mendadak terbaring/ terduduk di lantai
atau tempat yang lebih rendah dengan atau tanpa kehilangan kesadaran atau luka (Ruben,
2005).

10
Berdasarkan beberapa pengertian jatuh di atas, dapat disimpulkan bahwa jatuh
adalah kejadian tiba-tiba dan tidak disengaja yang mengakibatkan seseorang terbaring
atau terduduk di lantai dengan atau tanpa kehilangan kesadaran atau luka.

Beberapa penyebab terjadinya jatuh antara lain:

a) Osteoporosis menyebabkan tulang menjadi rapuh dan dapat mencetuskan fraktur.


b) Perubahan refleks baroreseptor
Cenderung membuat lansia mengalami hipotensi postural, menyebabkan pandangan
berkunang-kunang, kehilangan keseimbangan, dan jatuh.
c) Perubahan lapang pandang, penurunan adaptasi terhadap keadaan gelap dan
penurunan penglihatan perifer, ketajaman persepsi kedalaman, dan persepsi warna
dapat menyebabkan salah interpretasi terhadap lingkungan, dan dapat mengakibatkan
lansia terpeleset dan jatuh.
d) Gaya berjalan dan keseimbangan
Akibat penurunan fungsi system saraf, otot, rangka, sensori, sirkulasi dan pernapasan.
Semua perubahan ini mengubah pusat gravitasi, mengganggu keseimbangan tubuh dan
menyebabkan limbung, yang pada akhirnya mengakibatkan jatuh. Perubahan
keseimbangan dan properosepsi membuat lansia sangat rentan terhadap perubahan
permukaan lantai (contoh lantai licin dan mengkilat). Akhirnya, usia yang sangat tua
atau penyakit parah dapat mengganggu fungsi refleks perlindungan dan membuat
individu yang bersangkutan berisiko terhadap jatuh (Lord, 2005).

5. Demensia
Demensia adalah suatu sindroma penurunan kemampuan intelektual progresif
yang menyebabkan deteriorasi kognisi dan fungsional, sehingga mengakibatkan
gangguan fungsi sosial, pekerjaan dan aktivitas sehari-hari (Asosiasi Alzheimer
Indonesia, 2003).
Demensia adalah sindrom penurunan fungsi intelektual dibanding sebelumnya
yang cukup berat sehingga mengganggu aktivitas social dan profesional yang tercermin
dalam aktivitas hidup keseharian, biasanya ditemukan juga perubahan perilaku dan tidak
disebabkan oleh delirium maupun gangguan psikiatri mayor (Ong dkk, 2015).
Beberapa faktor risiko yang dapat menyebabkan demensia antara lain:
a) Usia
Risiko terjadinya penyakit Alzheimer meningkat secara nyata dengan meningkatnya
usia, meningkat dua kali lipat setiap 5 tahun pada individu di atas 65 tahun dan 50%
individu di atas 85 tahun mengalami demensia. Dalam studi pupolasi, usia di atas 65
tahun risiko untuk semua demensia adalah OR=1,1 dan untuk penyakit Alzheimer
OR=1,2 (Ong dkk, 2015).

11
b) Jenis Kelamin
Beberapa studi prevalensi menunjukkan bahwa penyakit Alzheimer lebih tinggi pada
wanita dibanding pria. Angka harapan hidup yang lebih tinggi dan tingginya
prevalensi AD pada wanita yang tua dan sangat tua disbanding pria. Risiko untuk
semua jenis demensia dan penyakit Alzheimer untuk wanita adalah OR=1,7 dan
OR=2,0. Kejadian demensia vascular lebih tinggi pada pria secara umum walaupun
menjadi seimbang pada wanita yang lebih tua (Ong dkk, 2015).
c) Riwayat Keluarga dan Faktor Genetik
Penyakit Alzheimer Awitan Dini (Early Onset Alzheimer Disease/EOAD) terjadi
sebelum usia 60 tahun, kelompok ini menyumbang 6-7% dari kasus penyakit
Alzheimer. Sekitar 13% dari EOAD ini memperlihatkan transmisi autosomal dominan.
Tiga mutasi gen yang teridentifikasi untuk kelompok ini adalah amiloid-β protein
precursor pada kromosom 14 ditemukan pada 30-70% kasus, presenilin pada
kromosom 1 ditemukan pada kurang dari 5% kasus. Sampai saat ini tidak ada mutasi
genetik tunggal yang teridentifikasi untuk Penyakit Alzheimer AwitanLambat. Diduga
faktor genetik dan lingkungan saling berpengaruh. Di antara semua faktor genetik, gen
Apolipoprotein E (APOE E) yang paling banyak diteliti. Telaah secara sistematik studi
populasi menerangkan bahwa APOE E4 signifikan meningkatkan risiko demensia
penyakit Alzheimer terutama pada wanita dan populasi antara 55-56 tahun, pengaruh
ini berkurang pada usia yang lebih tua (Ong dkk, 2015).

II. 3 Tanda dan Gejala

Secara singkat faktor risiko jatuh pada lanjut usia dibagi dalam dua golongan besar:

a. Faktor instrinsik
Faktor instrinsik adalah variabel-variabel yang menentukan mengapa seseorang dapat
jatuh pada waktu tertentu dan orang lain dalam kondisi yang sama mungkin tidak jatuh
(Gardner, 2000). Faktor intrinsik tersebut antara lain adalah gangguan muskuloskeletal
misalnya menyebabkan gangguan gaya berjalan, kelemahan ekstremitas bawah,
kekakuan sendi, sinkope yaitu kehilangan kesadaran secara tiba-tiba yang disebabkan
oleh berkurangnya aliran darah ke otak dengan gejala lemah, penglihatan gelap, keringat
dingin, pucat dan pusing.

b. Faktor ekstrinsik
Faktor ekstrinsik merupakan faktor dari luar (lingkungan sekitarnya) diantaranya cahaya
ruangan yang kurang terang, lantai yang licin, tersandung benda-benda. Faktor-faktor

12
ekstrinsik tersebut antara lain lingkungan yang tidak mendukung meliputi cahaya
ruangan yang kurang terang, lantai yang licin, tempat berpegangan yang tidak kuat, tidak
stabil, atau tergeletak di bawah, tempat tidur atau WC yang rendah atau jongkok, obat-
obatan yang diminum dan alat-alat bantu berjalan (Darmojo, 2009)

II. 4 Komplikasi

Jatuh pada usia lanjut dapat menimbulkan komplikasi-komplikasi sebagai berikut:

1. Perlukaan (injury)
a. Rusaknya jaringan lunak, robeknya jaringan otot arteri atau vena, yang dirasakan
sangat nyeri.
b. Patah tulang (fraktur)
Pelvis, femur, humerus, lengan bawah, tungkai bawah, atau tulang selangka

c. Hematom Subdural
2. Perawatan rumah sakit
- Akibat imobilisasi, dekubitus, dan lain-lain.
3. Disabilitas akibat dari:
- Penurunan mobilitas karena perlukaan fisik
- penurunan mobilitas akibat jatuh, hilangnya kepercayaan diri, dan pembatasan gerak.
4. Risiko untuk dimasukkan “Nursing Home”
5. Kematian

II. 5 Pencegahan

A. Pencegahan Osteoartritis

1. Pencegahan Primer

Pada prinsipnya upaya pencegahan primer adalah mempertahankan gaya hidup yang
sudah ada dan benar dalam masyarakat serta melakukan modifikasi, penyesuaian
terhadap resiko yang ada atau berlangsung dalam masyarakat. Untuk penyakit
osteoartrhitis, pencegahan primernya antara lain:

a. Promosi kesehatan :

1) Pemberian informasi kesehatan (terkait osteoarthriris) di posyandu lansia

2) Promosi tentang bahaya dari penyakit osteoarthritis

3) Mengadakan penyuluhan akan kesedaran pola hidup sehat


13
b. Membuat sarana olahraga umum seperti jogging track dan fasiitas olahraga lainnya

c. Mempertahankan pola makan yang sehat.

d. Menjaga lingkungan agar tetap sehat dan tehindar dari faktor resiko OA.

2. Pencegahan Sekunder

a. Pemeriksaan dini di pelayanan kesehatan berupa :

1) Sinar X

Pencitraan dengan sinar X terhadap persendian yang terkena osteoarthritis dapat


melihat penyempitan di persendian. Kondisi ini mengindikasikan bahwa tulang
rawan kian terkikis. Sinar X juga mengetahui adanya penonjolan tulang di sekitar
sendi, bahkan banyak orang yang sudah tahu mereka menderita osteoarthritis
setelah menjalani pemeriksaaan dengan sinar X, meskipun belum muncul gejala.

2) Magnetic Resonance Imarging (MRI)

Merupakan gelombang radio dan medan magnet kuat untuk menghasilkan gambar
yang jelas dari tulang dan jaringan lunak, termasuk tulang rawan. Hal ini dapat
membantu untuk mengetahui penyebab pasti rasa sakit pada persendian

3) Tes Darah

Tes darah dapat membantu mengetahui penyebab lain dari sakit persendian,
misalnya rheumatoid arthritis.

4) Analisis Cairan Sendi

Digunakan jarum khusus untuk menyedot cairan dari persendian yang sakit,
kemudian cairan tersebut diperiksakan di laboratorium untuk menentukan apakah
ada peradangan atau disebabkan oleh encok atau infeksi.

b. Menjaga berat badan. Yang merupakan faktor penting agar beban yang ditanggung
oleh sendi menjadi ringan.

c. Melakukan jenis olahraga yang tidak banyak menggunakan persendian atau yang
menyebabkan terjadinya perlukaan sendi. Contohnya berenang dan olahraga yang bisa
dilakukan sambil duduk dan tiduran. Aktivitas olahraga hendaknya disesuaikan
dengan umur. Jangan memaksa untuk melakukan olahraga porsi berat pada usia lanjut.

14
d. Menghindari trauma (perlukaan) pada persendian.

e. Meminum obat-obatan suplemen sendi (atas konsultasi dan anjuran dokter).

f. Mengkonsumsi makanan sehat.

g. Memilih alas kaki yang tepat & nyaman.

h. Lakukan relaksasi dengan berbagai teknik.

i. Hindari gerakan yang meregangkan sendi jari tangan.

j. Jika ada deformitas pada lutut, misalnya kaki berbentuk O, jangan dibiarkan. Hal
tersebut akan menyebabkan tekanan yang tidak merata pada semua permukaan tulang.

3. Pencegahan Tersier

Pencegahan tersier dilakukan dengan cara rehabilitasi terhadap penderita agar tidak
mengalami kekambuhan atau sakit lagi, cara rehabilitasi untuk penyakit osteoatritis ini
antara lain :

a. Melatih mobilisasi dan mengkonsumsi makanan bergizi (khususnya tinggi kalsium)

b. Senam osteoarthritis misalnya yoga.

c. Rehabilitasi agar tidak terjadi komplikasi yang lebih parah.

B. Pencegahan Diabetes Mellitus

1. Pencegahan Primer
Pencegahan primer dapat dilakukan pada kelompok yang memiliki factor resiko
mengalami diabetes mellitus dengan cara penyuluhan-penyuluhan factor resiko yang
dapat menyebabkan diabetes mellitus serta hal-hal yang harus dilakukan dan dihindari
agar terhindar dari penyakit diabetes mellitus (Ulfa, 2015). Kejadian diabetes mellitus
dapat dicegah, salah satunya adalah dengan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang
faktor resiko yang dapat menyebabkan diabetes mellitus (Fatimah, 2015). Menurut
Trisnawati dan Setyorogo (2013) factor resiko yang dapat menyebabkan diabetes mellitus
adalah umur, riwayat diabetes mellitus, aktifitas fisik, Indeks Massa Tubuh, tekanan
darah, stress dan kadar kolesterol.
Pencegahan ini merupakan suatu upaya yang ditujukan pada kelompok risiko
tinggi. Mereka yang belum menderita DM, tetapi berpotensi untuk menderita penyakit

15
ini, yaitu mereka yang tergolong kelompok usia dewasa (di atas 45 tahun), kegemukan,
tekanan darah tinggi (lebih dari 140/90 mmhg), riwayat keluarga DM, dan lain-lain.
Upaya yang perlu dilakukan pada tahap ini adalah menghilangkan faktor-faktor tersebut.

2. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder dilakukan pada pasien yang baru terdiagnosa diabetes
mellitus dengan cara penyuluhan atau pendidikan kesehatan untuk mendeteksi secara dini
komplikasi yang terjadi pada penderita diabetes mellitus (Ulfa, 2015). Toharin, Cahyati
& Zainafree (2015) menyatakan bahwa pengendalian diabetes mellitus dapat dilakukan
dengan memodifikasi gaya hidup yang tidak sehat menjadi sehat seperti berhenti
merokok, latihan jasmani atau olahraga, pengaturan makanan atau diet makanan serta
patuh mengkonsumsi obat.
Pencegahan ini berupaya mencegah atau menghambat timbulnya penyulit dengan
tindakan deteksi dini dan dilakukan sejak awal penyakit. Tindakan ini berarti mengelola
DM dengan baik agar tidak timbul penyakit lanjut. Penyuluhan mengenai DM dan
pengelolaannya memegang peran yang penting untuk meningkatkan kepatuhan berobat.

3. Pencegahan Tersier
Hasdianah (2012) menyatakan bahwa pencegahan tersier diabetes mellitus
merupakan upaya yang dilakukan untuk mencegah komplikasi lebih cepat akibat diabetes
mellitus meliputi cara perawatan komplikasi lebih lanjut dan upaya rehabilitasi untuk
mempertahankan kualitas hidup yang optimal pada penderita diabetes mellitus.
Perawatan yang menyeluruh dan kolaborasi antar tenaga kesehatan sangat diperlukan
dalam pencegahan tersier, halinikarenakomplikasi yang disebabkan oleh diabetes mellitus
sangat kompleks (Ulfa, 2015).
Kalau penyakit menahun DM ternyata terjadi juga maka pengelolaan harus
berusaha mencegah terjadinya kecacatan lebih lanjut dan merehabilitasi pasien sedini
mungkin sebelum kecacatan tersebut menetap. Contohnya, aspirin dosis rendah (80-325
mg) dapat dianjurkan diberikan secara rutin bagi pasien DM yang sudah mempunyai
penyakit mikroangiopati.

C. Pencegahan Osteoporosis

Osteoporosis merupakan penyakit tersembunyi, terkadang tanpa gejala dan tidak


terdeteksi, sampai timbul gejala nyeri karena mikrofraktur atau karena patah tulang
anggota gerak. Karena tingginya morbiditas yang terkait dengan patah tulang, maka
upaya pencegahan merupakan prioritas. Pencegahan osteoporosis dapat dibagi dalam 3
kategori yaitu primer, sekunder dan tersier (sesudah terjadi fraktur).

16
1. Pencegahan Primer
Pencegahan ini merupakan suatu upaya yang ditujukan pada kelompok risiko tinggi.
Pencegahan primer merupakan upaya terbaik serta dirasa paling murah dan mudah.
Yang termasuk ke dalam pencegahan primer adalah:
a. Kalsium
Mengkonsumsi kalsium cukup baik dari makanan sehari-hari ataupun dari
tambahan kalsium, pada umumnya aman kecuali pada pasien dengan hiperkalsemia
atau nefrolitiasis. Jenis makanan yang cukup mengandung kalsium adalah sayuran
hijau dan jeruk sitrun. Sedangkan diet tinggi protein hewani dapat menyebabkan
kehilangan kalsium bersama urin. Dalam suatu penelitian dikatakan bahwa
perempuan yang melakukan diet vegetarian lebih dari 20 tahun mengalami
kehilangan mineral tulang lebih rendah yaitu sebesar 18% dibandingkan perempuan
non vegetarian sebesar 35%.
b. Latihan Fisik (Exercise)
Latihan fisik harus mempunyai unsur pembebanan pada anggota tubuh/ gerak dan
penekanan pada aksis tulang seperti jalan, joging, aerobik atau jalan naik turun
bukit. Olahraga renang tidak memberikan manfaat yang cukup berarti. Sedangkan
jika latihan berlebihan yang mengganggu menstruasi (menjadi amenorrhea) sangat
tidak dianjurkan karena akan mengakibatkan terjadinya peningkatan kehilangan
massa tulang. Demikian pula pada laki-laki dengan latihan fisik berat dan berat
dapat terjadi kehilangan massa tulang. Hindari faktor yang dapat menurunkan
absorpsi kalsium, meningkatkan resorpsi tulang, atau mengganggu pembentukan
tulang, seperti merokok, minum alkohol dan mengkonsumsi obat yang berkaitan
dengan terjadinya osteoporosis. Kondisi yang diduga akan menimbulkan
osteoporosis sekunder, harus diantisipasi sejak awal.

2. Pencegahan Sekunder
Pencegahan ini berupaya mencegah atau menghambat timbulnya penyulit dengan
tindakan deteksi dini dan dilakukan sejak awal penyakit.
a. Konsumsi Kalsium Tambahan
Konsumsi kalsium dilanjutkan pada periode menopause, 1200-1500 mg per hari,
untuk mencegah negative calcium balance. Pemberian kalsium tanpa penambahan
estrogen dikatakan kurang efektif untuk mencegah kehilangan massa tulang pada
awal periode menopause. Penurunan massa tulang terlihat jelas pada perempuan
menopause yang asupan kalsiumnya kurang dari 400 mg per hari. Hasil penelitian

17
menunjukkan bahwa pemberian kalsium bersama dengan estrogen dapat
menurunkan dosis estrogen yang diperlukan sampai dengan 50%<2).
b. Estrogen Replacement Therapy (ERT)
Semua perempuan pada saat menopause mempunyai resiko osteoporosis. Karena
itu dianjurkan pemakaian ERT pada mereka yang tidak ada kontraindikasi. ERT
menurunkan resiko fraktur sampai dengan 50% pada panggul, tulang radius dan
vertebra.
c. Latihan fisik (Exercise)
Latihan fisik bagi penderita osteoporosis bersifat spesifik dan individual.
Prinsipnya tetap sama dengan latihan beban dan tarikan pada aksis tulang. Perlu
diperhatikan berat ringannya osteoporosis yang terjadi karena hal ini berhubungan
dengan dosis dan cara gerakanyang bersifat spesifik tersebut. Latihan tidak dapat
dilakukan secara masal karena perlu mendapat supervisi dari tenaga medis/
paramedis terlatih individu per individu.
d. Pemberian Kalsitonin
Kalsitonin bekerja menghambat resorpsi tulang dan dapat meningkatkan massa
tulang apabila digunakan selama 2 tahun. Nyeri tulang juga akan berkurang karena
adanya efek peningkatan stimulasi endorfin. Pemakaian kalsitonin diindikasikan
bagi pasien yang tidak dapat menggunakan ERT, pasien pasca menopause lebih dari
15tahun, pasien dengan nyeri akibat fraktur osteoporosis, dan bagi pasienyang
mendapat terapi kortikosteroid dalam waktu lama.
e. Terapi
Terapi yang juga diberikan adalah vitamin D dan tiazid, tergantung kepada
kebutuhan pasien. Vitamin D membantu tubuh menyerap dan memanfaatkan
kalsium. Dua puluh lima hidroksi vitamin D dianjurkan diminum setiap hari bagi
pasien yang menggunakan suplemen kalsium.

3. Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier adalah upaya untuk mencegah terjadinya kecacatan lebih
lanjut dan merehabilitasi pasien sedini mungkin sebelum kecacatan tersebut menetap.
Setelah pasien mengalami fraktur osteoporosis,pasien jangan dibiarkan
mobilisasi terlalu lama. Sejak awal perawatan disusun rencana mobilisasi mulai dari
mobilisasi pasif sampai dengan aktif dan berfungsi mandiri. Beberapa obat yang
mempunyai manfaat adalah bisfosfonat, kalsitonin, dan NSAID bila ada nyeri. Dari
sudut rehabilitasi medik, pemakaian ortose spinal/ korset dan program fisioterapi/
okupasi terapi akan mengembalikan kemandirian pasien secara optimal.
18
II. 6 Terapi Modalitas
A. Terapi Osteoarthritis
Penanganan non-farmakologi pada osteoarthritis (OA) terdiri dari:
1. Olahraga: jenis olahraga yang dianjurkan adalah olahraga yang tidak member beban
terhadap sendi, seperti olahraga akuatik, jalan cepat, tai chi, dan aerobik
2. Penurunan berat badan: dilakukan pada pasien OA simtomatik dan pasien dengan IMT
> 25 kg/m2, dengan target IMT 18,5 – 25 kg/m2
3. Diet rendah kalori
4. Fisioterapi: dapat dilakukan untuk memperkuat otot dan memperluas ROM
5. Penggunaan alat bantu gerak
6. Elektro terapi: belum dapat dipastikan dalam beberapa pedoman terapi internasional
7. Akupuntur: tidak dianjurkan dalam beberapa pedoman terapi, tetapi dapat
dipertimbangkan pada OA lutut.

B. Terapi Diabetes Melitus

1. Terapi Nutrisi dan Pengaturan Diet


Terapi nutrisi medis dianjurkan untuk semua pasien. Untuk tipe 1 DM,
fokusnya adalah pada fisiologis yang mengatur pemberian insulin dengan diet
seimbang untuk mencapai dan mempertahankan berat badan yang sehat.
Merencanakan makan dengan jumlah karbohidrat yang moderat dan rendah lemak
jenuh, dengan focus pada makanan seimbang. Pasien dengan DM tipe 2 sering
membutuhkan keseimbangan kalori untuk meningkatkan berat badan (DiPiro, 2015).

Dianjurkan diet dengan komposisi makanan yang seimbang dalam hal


karbohidrat, lemak, dan protein sesuai dengan kecukupan gizi yang baik sebagai
berikut:

• Karbohidrat : 60-70%
• Protein : 10-15%
• Lemak : 20-25%
Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stress akut,
dan kegiatan fisik, yang pada dasarnya ditujukan untuk mencapai dan
mempertahankan berat badan ideal (DEPKES RI, 2005).

2. Olahraga
Berolahraga secara teratur dapat menurunkan dan menjaga kadar gula darah tetap
19
normal. Prinsipnya, tidak perluolah raga berat, olah raga ringan asal dilakukan secara
teratur akan sangatbagus pengaruhnyabagikesehatan. Disarankanolah raga yang
bersifat CRIPE (Continuous, Rhytmical, Interval,Progressive, Endurance Training).
Sedapat mungkin mencapai zona sasaran 75-85% denyut nadi maksimal (220-umur),
disesuaikan dengan kemampuan dan kondisi penderita. Beberapa contoh olah raga
yang disarankan, antara lain jalan atau lari pagi, bersepeda, berenang, dan lain
sebagainya. Olahraga aerobic ini paling tidak dilakukan selama total 30-40 menit per
hari didahului dengan pemanasan 5-10 menit dan diakhiri pendinginan antara 5-10
menit. Olah raga akan memperbanyak jumlah dan meningkatkan aktivitas reseptor
insulin dalam tubuh dan juga meningkatkan penggunaan glukosa (DEPKES RI, 2005).
Selain itu, latihan aerobic dapat meningkatkan sensitivitas insulin dan control
glikemik dan dapat mengurangi factor risiko kardiovaskular, membantu untuk
penurunan berat badan atau pemeliharaan, dan meningkatkan kesehatan (DiPiro,
2015).

3. Berhenti Merokok
Kandungan nikotin dalam rokok dapat mengurangi penyerapan glukosa oleh sel
(Tjay&Raharja, 2007). Dari penelitian yang dilakukan terhadap subyek uji pasien
lansia bahwa merokok 2 batang dalam sehari dapat menyebabkan resiko nefropati dan
menghambat absorbsi insulin (Lee, 2009).

Ii. 7 Penatalaksanaan
1. Pencegahan primer
Pencegahan primer merupakan proses yang berlangsung sepanjang kehidupan dan
episodik. Sebagai suatu proses yang berlangsung sepanjang kehidupan, moblilitas dan
aktivitas tergantung pada fungsi system muskuloskeletal, kardiovaskuler, pulmonal.
Sebagai suatu proses episodic pencegahan primer diarahkan pada pencegahan masalah-
masalah yang dapat timbul akibat imoblitas atau ketidakaktifan.
a. Hambatan terhadap latihan
Berbagai hambatan mempengaruhi partisipasi lansia dalam latihan secara teratur.
Bahaya-bahaya interpersonal termasuk isolasi sosial yang terjadi ketika teman-teman
dan keluarga telah meninggal, perilaku gaya hidup tertentu (misalnya merokok dan
kebiasaan diet yang buruk) depresi gangguan tidur, kurangnya transportasi dan
kurangnya dukungan. Hambatan lingkungan termasuk kurangnya tempat yang aman
untuk latihan dan kondisi iklim yang tidak mendukung.
b. Pengembangan program latihan
20
Program latihan yang sukses sangat individual, diseimbangkan, dan mengalami
peningkatan. Program tersebut disusun untuk memberikan kesempatan pada klien
untuk mengembangkan suatu kebiasaan yang teratur dalam melakukan bentuk aktif
dari rekreasi santai yang dapat memberikan efek latihan. Ketika klien telah memiliki
evaluasi fisik secara seksama, pengkajian tentang faktor-faktor pengganggu berikut ini
akan membantu untuk memastikan keterikatan dan meningkatkan pengalaman:
 Aktivitas saat ini dan respon fisiologis denyut nadi sebelum, selama dan setelah
aktivitas diberikan)
 Kecenderungan alami (predisposisi atau peningkatan ke arah latihan khusus)
 Kesulitan yang dirasakan
 Tujuan dan pentingnya latihan yang dirasakan
 Efisiensi latihan untuk diri sendiri (derajat keyakinan bahwa seseorang akan
berhasil)
c. Keamanan
Ketika program latihan spesifik telah diformulasikan dan diterima oleh klien, instruksi
tentang latihan yang aman harus dilakukan. Mengajarkan klien untuk mengenali
tanda-tanda intoleransi atau latihan yang terlalu keras sama pentingnya dengan
memilih aktivitas yang tepat.

2. Pencegahan Sekunder
Spiral menurun yang terjadi akibat aksaserbasi akut dari imobilitas dapat dikurangi atau
dicegah dengan intervensi keperawatan. Keberhasilan intervensi berasal dari suatu
pengertian tentang berbagai faktor yang menyebabkan atau turut berperan terhadap
imobilitas dan penuaan. Pencegahan sekunder memfokuskan pada pemeliharaan fungsi
dan pencegahan komplikasi. Diagnosis keperawatan dihubungkan dengan pencegahan
sekunder adalah gangguan mobilitas fisik.

3. Pencegahan Tersier
Upaya-upaya rehabilitasi untuk memaksimalkan mobilitas bagi lansia melibatkan upaya
multidisiplin yang terdiri dari perawat, dokter, ahli fisioterapi, dan terapi okupasi,
seorang ahli gizi, aktivitas sosial, dan keluarga serta teman-teman.

II. 8 Konsep Dasar Mobilitas dan Keamanan

A. Konsep Dasar Mobilisasi

1. Defnisi
21
Mobilisasi merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak bebas, mudah,
teratur, mempunyai tujuan memenuhi kebutuhan hidup aktivitasnya guna
mempertahankan kesehatannya (Hidayat, 2006).

Gangguan mobilisasi mengacu pada kemampuan seseorang untuk bergerak


dengan bebas, dan imobilisasi mengacu mengacu pada ketidakmampuan seseorang
untuk bergerak dengan bebas. Mobilisasi dan imobilisasi berada pada suatu rentang
dengan banyak tingkatan imobilisasi parsial di antaranya. Beberapa klien mengalami
kemunduran dan selanjutnya berada di antara rentang mobilisasi-imobilisasi, tetapi
pada klien lain, berada pada kondisi imobilisasi mutlak dan berlanjut sampai jangka
waktu tidak terbatas (Potter dan Perry, 1994).

2. Hal-hal Yang Harus Dikaji


Dalam asuhan keperawatan mobilisasi menurut (Hidayat, 2006). sebagai berikut:

a. Rentang gerak
Rentang gerak merupakan jumlah maksimum gerakan yang mungkin dilakukan
sendi pada salah satu dari tiga potongan tubuh: sagital, frontal, dan tranversal.
Potongan sagital adalah garis yang melewati tubuh dari depan kebelakang,
membagi tubuh menjadi bagian kiri dan kanan. Potongan prontal melewati tubuh
dari sisi ke sisi dan membagi tubuh menjadi bagian depan dan belakang. Potongan
trasversal adalah garis horizontal yang membagi tubuh menjadi bagian atas dan
bawah.

b. Gaya berjalan
Istilah gaya berjalan digunakan untuk menggambarkan cara utama atau gaya ketika
berjalan (Fish & Nielsen, 1993). Dengan mengkaji gaya berjalan klien
memungkinkan perawat untuk membuat kesimpulan tentang keseimbangan, postur,
keamanan, dan kemampuan berjalan tanpa bantuan. Mekanika gaya berjalan
manusia mengikuti kesesuaian system skeletal, syaraf dan otot tubuh manusia (Fish
& Nielsen, 1993)

c. Latihan dan Toleransi Aktivitas


Latihan adalah aktivitas fisik untuk membuat kondisi tubuh, meningjatkan
kesehatan dan mempertahankan kesehatas jasmani. Sedangkan toleransi aktivitas
adalah jenis dan jumlah latihan atau kerja yang dapat dilakukan seseorang.
Prngkajian toleranssi aktivitas diperlukan jika ada perencanaan aktivitas seprti
jalan, latihan rentang gerak, atau aktivitas sehari-hari dengan penyakit akut dan
kronik.
22
d. Kesejajaran Tubuh
Pengkajian kesejajaran tubuh dapat dilakukan pada klien yang berdiri, duduk, atau
berbaring.

e. Berdiri
Hal-hal yang harus dikaji berfakus pada kesejajaran tubuh klien yang berdiri antara
lain:

1) Kepala tegak dan midline


2) Ketika dilihat dari arah posterior, bahu dan pinggul lurus dan sejajar
3) Ketika dilihat dari arah posterior tulang belakang lurus
4) Ketika klien dari arah lateral kepala tegak dan garis tulang belakang di garis
dalam pola s terbalik.
5) Ketika dilihat dari arah lateral, perut berlipat ke bagian dalam dengan nyaman
dan lutut dengan pergelangan kaki agak melengkung.
6) Lengan klien nyaman di samping
7) Kaki di tempatkan sedikit berjauhan untuk mendapatkan dasar penopang, dan
jari-jari kaki menghadap ke depan.
8) Ketika klien dilihat dari arah anterior, pusat gravitasi berada di tengan tubuh,
dan garis gravitasi mulai dari tengah kepala bagian depan sampai titik tengah
antara kedua kaki.
f. Duduk
Perawat mengkaji kesejajjaran pada klien yang duduk dengan mengobservasi hal-
hal sebagai berikut:

1) Kepala tegak, leher dan tulang belakang berada dalam kesejajaran yang lurus.
2) Berat badan terbagi rata pada bokong dan paha
3) Paha sejajar dan berada pada potongan horizontal
4) Kedua kaki ditopang dilantai.
5) Jarak 2-4 cm dipertahankan antara sudut tempat duduk dan ruang popliteal pada
permukaan lutut bagian posterior.
6) Lengan bawah klien ditopang pada pegangan tangan, dipangkuan, atau diatas
meja depan kursi.
g. Berbaring
Pada orang sadar mempunyai kontrol otot volunter dan persepsi normal terhadap
tekan. Pengkajian kesejajaran tubuh ketika berbaring membutuhkan posisi lateral
pada klein dengan menggunakan satu bantal dan semua penompagnya diangkat dari
tempat tidur.
23
3. Anatomi dan Fisiologi
Apabila ada perubahan mobilisasi, maka setiap sistem tubuh beresiko terjadi
gangguan. Tingkat keparahan dari gangguan tersebut tergantung pada umur klien, dan
kondisi kesehatan secara keseluruhan, serta tingkat imobilisasi yang di alami.
Misalnya, perkembangan pengaruh imobilisasi lansia berpenyakit kronik lebih cepat
dibandingkan klien lebih muda (Perry dan Potter, 1994).

a. Perubahan Metabolik
Perubahan metabolik, sistem endokrin, merupakan produksi hormone-sekresi
kelenjar, membantu mempertahankan dan mengatur fungsi vital seperti: respon
terhadap stress dan cidera, pertumbuhan dan perkembangan, reproduksi,
homeostatis ion, dan metabolism energi. Ketika cedera atau stress terjadi, sistem
endokrin memicu serangkain respon yang bertujuan mempertahankan tekanan
darah dan memelihara hidup. Sistem endokrin berperan dalam pengaturan
lingkungan internal dengan memprtahankan keseimbangan nutrium, kalium, air dan
keseimbangan asam-basa. Sehingga, sistem endokrin bekerja sebagai pengatur
metabolisme energi. Hormon tiroid meningkatkan laju metabolik basal (basal
metabolic rate, BMR), dan energi dibuat sehingga dapat dipakai sel-sel melalui
integritas kerja antara hormone gastrointestinal dan pancreas (Price dan Wilson,
1992).

b. Perubahan Sistem Kardiovaskuler


Sistem kardiovaskuler juga dipengaruhi oleh imobilisasi. Ada tiga perubahan utama
yaitu hipotensi ortotastik, peningkatan beban kerja jantung, dan pembentukan
thrombus. Hipotensi ortostatik adalah penurunan tekanan darah sistolik 25 mmHg
dan diastolik 10 mmHg ketika klien bangun dari posisi berbaring atau duduk ke
posisi berdiri. Pada klien imobilisasi, terjadi penurunan sirkulasi volume cairan,
pengumpulan darah pada ekstremitas bawah, dan penurunan aliran balik vena,
diikuti oleh penurunan curah jantung yang terlihat pada penurunan tekanan darah
(McCance and Huether, 1994).

c. Perubahan Sistem Muskuluoskeletal


Pengaruh imobilisasi pada sistem musculoskeletal meliputi gangguan mobilisasi
permanen. Keterbatasan mobilisasi pengaruh otot klien melalui kehilangan daya
tahan, penurunan massa otot, atrofi, dan penurunan stabilitas. Pengaruh lain dari
keterbatasan mobilisasi yang mempengaruhi sistem skeletal adalah gangguan
metabolisnme kalsium dan gangguan mobilisasi sensi (Kasper et al, 1993).

24
d. Perubahan Sistem Integument
Dekubitus terjadi akibat dan anoreksia jaringan. Jaringan yang tertekan, darah
membengkok, dan konstriksi kuat pada pembuluh darah akibat tekanan persisten
pada kulit dan struktur di bawah kulit, sehingga resoirasi selular terganggu, dan sel
menjadi mati (ebersole dan Hess, 1994).

Dekubitus adalah salah satu penyakit iatrogenic paling umum dalam perawatan
kesehatan dimana berpengaruh terhadap populasi klien khusus-lansia dan yang
imobilisasi (Alterescu, 1992).

4. Masalah-masalah Kebutuhan Mobilisasi


Perubahan dalam tingkat mobilisasi fisik dapata mengakibatkan instruksi pembatasan
gerak dalam bentuk tirah baring, pembatasan gerak fisik selama penggunaan alat bantu
eksternal (mis. Gips atau traksi rangka), pembatasan gerakan volunteer, atau
kehilangan fungsi motorik. Pengaruh penurunan kondisi otot dikaitkan dengan
penurunan aktivitas fisik akan terlihat jelas dalam beberapa hari. Pada individu normal
dengan kondisi tirah baring akan mengalami kurangnya kekuatan otot dari tingkat
dasarnya pada rata-rata 3% sehari. Tirah baring juga dikaitkan dengan perubahan pada
kardiovaskuler, skelet, dan organ lainnya. Istilah antrofi disuse digunakan untuk
menggambarkan pengukuran ukuran normal serat otot secara patologis setelah
aktivitas yang lama akibat tirah baring, trauma, pemakaian gips, atau kerusakan saraf
lokal (McCance dan Hueterher, 1994).

5. Faktor yang Mempengaruhi


a. Pengaruh Otot
Akibat pemecahan protein, klien mengalami kehilangan massa tubuh, yang
membentuk sebagian massa otot. Oleh karena itu, penurunan massa otot tidak
mampu mempertahankan aktivitas tanpa peningkatan kelelahan. Massa otot
menurun akibat metabolisme dan tidak digunakan.Penurunan mebilisasi dan
gerakan mengakibatkan kerusakan muskuloskeletalyang besar, yang perubahan
patofisiologi utamanyasecara luas sebagai respon terhadap penyakit dan penurunan
aktivitas sehari-hari, seperti pada respon imobilisasi dan tirah baring (Kaspernet al,
1993).

b. Pengaruh Skelet
Imobilisasi menyebabkan dua perubahan terhadap skelet: gangguan metabolism
kalsium dank kelainan sendi. Karena imobilisasi berakibat pada resorpsi tulang,

25
sehingga jaringan tulang menjadi kurang padat, dan terjadi osteoporosis (Holm,
1989)

c. Gaya Hidup
Perubahan gaya hidup dapat mempengaruhi kemampuan mobilitas sseorang karena
gaya hidup berdampak pada prilaku atau kebiasaan sehari-hari (Hidayat, 2006).

d. Prosses penyakit/cedera
Proses penyakit dapat mempengaruhi kemampuan mobilitas karena dapat
mempengaruhi fungsi sistem tubuh (Hidayat, 2006).

e. Kebudayaan
Kemampuan melakukan mobilitas dapat juga di pengaruhi kebudayaan. Misalnya
orang yang memiliki budaya sering berjalan jauh memiliki kemampuan mobilitas
yang kuat (Hidayat, 2006).

f. Tingkat Energi
Energi adalah sumber untuk melakukan mobilitas. Agar seseorang dapat melakukan
mobilitas dengan baik, dibutuhkan energi yang cukup.
g. Usia dan Status Perkembangan (Hidayat, 2006).
Terdapat perbedaan kemampuan mobilitas pada tingkat usia yang berbeda. Hal ini
di kkarenakan kemampuan atau kematangan fungsi alat gerak sejalan dengan
perkembangan usia (Hidayat, 2006).

6. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan

a. Berdasarkan hasil pengkajian praktek keperawatan di Ruang rawat RA4 kamar III2,
RSUP H. Adam Malik Medan, masalah keperawatan yang di dapat,
ketidaknyamanan nyeri dan yang menjadi prioritas masalah adalah gangguan
mobilisasi. Maka penulis perlu membahas masalah gangguan mobilisasi. adalah
atrofi. Atrofi adalah suatu keadaan yang dipandang Pengkajian
Menurut (Hidayat, 2006) pengkajian yang dilakukan pada gangguan mobilisasi
adalah:

1) Riwayat Keperawatan Sekarang


Pengkajian riwayat pasien dengan gangguan mobilisasi saat ini meliputi alasan
pasien yang menyebabkan terjadi keluhan/gangguan dalam mobilitas dan
imobilitas, seperti adanya nyeri, kelemahan otot, kelelahan, tingkat mobilitas
dan imobilitas, daerah terganggunya mobilitas dan imobilitas, dan lama
terjadinya gangguan mobilitas.
26
2) Riwayat Keperawatn Penyakit yang Pernah Diderita
Pengkajian riwayat penyakit yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan
mobilitas, misalnya adanya riwayat penyakit sistem neurologis, riwayat penyakit
sistem kardiovaskulear, riwayat penyakit sistem muskuloskctal.

3) Kemampuan Fungsi Motorik


Pengkajian fungsi motorik antara lain pada tangan kanan dan kiri, kakin kanan
dan kiri untuk menilai ada atau tidaknya kelemahan, kekuatan, atau spastis.

4) Kemampuan Mobilitas
Pengkajian kemampuan mobilitas dilakukan dengan tujuan untuk menilai
kemampuan gerak posisi miring, duduk, berdiri, bangun, dan berpindah tanpa
bantuan.

5) Kemampuan Rentang Gerak


Pengkajian rentang gerak (range of mation-ROM) dilakukan pada daerah seperti
bahu, siku, lengan, panggul, dan kaki.

6) Kekuatan Otot dan Gangguan Koordinasi


Dalam mengkaji kekuatan otot dapat ditentukan kekuatan secara bilateral atau
tidak.

7) Perubahan Psikologis
Pengkajian perubahan psikologis yang disebabkan oleh adanya gangguan
mobilitas dan imobilitas, antara lain perilaku, peningkatan emosi, perubhan
dalam mekanisme koping, dan lain-lain.

b. Analisa Data
Klien tampak berbaring ditempat tidur, klien tidak dapat menggerakkan tangan
kanan dan tungkai kanannya karena lemah tidak dapat di gerakkan akibat dri
penyakit yang di deritanya (Hidayat, 2006).

c. Perencanaan
Perawat membuat perencanaan intervensi terapeutik terhadap klien yang
bermasalah kesejajaran tubuh dan mobilisasi yang aktual maupun beresiko.
Perawat merencanakan terapi sesuia dengan derajat risiko klien dan perencanaan
bersifat individu disesuaikan perkembangan klien, tingkat kesehatan dan gaya
hidup (Hidayat, 2006).

1) Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kelemahan/kerusakan

27
neuromuskuler yang ditandai dengan tangan kanan dan kaki kanan pasien
lemah.

Tujuan : pasien mampu melaksanakan aktifitas fisik sesuai dengan

kemampuannya.

Kriteria Hasil : Gangguan Mobilitas Fisik Teratasi, Dan Tonus Otot

Meningkat.

Menurut (Hidayat, 2006) intervensi dan rasional dari penkajian diatas adalah :

Tabel 2.1 Intervensi dan Rasional

No Intervensi Rasional
1 − Kaji Kemampuan secara − Mengidentifikasi atrofi otot,
fungsional. meningkatkan sirkulasi,
mencegah kontraktur.
− Menurunkan resiko terjadinya
iskemia jaringan.
− Ubah posisi minimal setiap 2 − Meminimalkan atrofi otot,
jam. meningkatkan sirkulasi,
− Ajarkan Pasien latihan membantu mencegah
rentang gerak aktif dan pasif, kontraktur.
libatkan Keluarga dalam − Hal ini mendukung frekuensi
melakukan tindakan. latihan pada sendi yang terkena
− Buat jadwal latihan aktif dan mengurangi resiko
diantara waktu makan dan perkembangan kontraktur.
mandi. − Peningkatan kemampuan dalam
− Kolaborasi dengan ahli mobilsasi ekstremitas dapat
fisioterapi untuk latihan fisik ditingkatkan dengan latihan fisik
pasien. dari tim fisioterapi.

d. Evaluasi Keperawatan

28
Menurut (Hidayat, 2006) evaluasi yang diharapkan dari hasil tindakan
keperawatan untuk mengatasi gangguan mobilitas adalah sebagai berikut:

a. Peningkatan fungsi sistem tubuh


b. Peningkatan kekuatan dan ketahanan sistem tubuh
c. Peningkatan fleksibilitas sendi

B. Konsep Dasar Keamanan

Definisi Keamanan

Keamanan adalah keadaan aman dan tenteram (Tarwoto dan Wartonah, 2010).
Keamanan tidak hanya mencegah rasa sakit atau cedera tapi keamanan juga dapat membuat
individu aman dalam aktifitasnya, mengurangi stres dan meningkatkan kesehatan umum.
Keamanan fisik (biologic safety) merupakan keadaan fisik yang aman terbebas dari ancaman
kecelakaan dan cedera (injury) baik secara mekanis, thermis, elektris maupun bakteriologis.
Kebutuhan keamanan fisik merupakan kebutuhan untuk melindungi diri dari bahaya yang
mengancam kesehatan fisik, yang pada pembahasan ini akan difokuskan pada providing for
safety atau memberikan lingkungan yang aman (Fatmawati, 2009).

Karakteristik Keamanan

2. Pervasiveness (insidensi)
Keamanan bersifat pervasive artinya luas mempengaruhi semua hal. Artinya klien
membutuhkan keamanan pada seluruh aktifitasnya seperti makan, bernafas, tidur, kerja,
dan bermain.

29
3. Perception (persepsi)
Persepsi seseorang tentang keamanan dan bahaya mempengaruhi aplikasi keamanan
dalam aktifitas sehari-harinya. Tindakan penjagaan keamanan dapat efektif jika
individu mengerti dan menerima bahaya secara akurat.

4. Management (pengaturan)
Ketika individu mengenali bahaya pada lingkungan klien akan melakukan tindakan
pencegahan agar bahaya tidak terjadi dan itulah praktek keamanan. Pencegahan
adalah karakteristik mayor dari keamanan (Fatmawati, 2009).

Klasifikasi Keamanan

 Keamanan fisik
Mempertahankan keamanan fisik melibatkan keadaan mengurangi atau mencegah
ancaman pada tubuh atau kehidupan. Ancaman tersebut mungkin penyakit, kecelakaan,
bahaya, pada lingkungan. Pada saat sakit seorang klien mungkin rentan terhadap
komplikasi seperti infeksi, oleh karena itu bergantung pada profesional dalam sistem
pelayan kesehatan untuk perlindungan. Memenuhi kebutuhan keselamatan fisik kadang
mengambil prioritas lebih dahulu di atas pemenuhan kebutuhan fisiologis. Misalnya,
seorang perawat mungkin perlu melindungi klien dari kemungkinan jatuh dari tempat
tidur sebelum memberikan perawatan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi (Potter dan
Perry, 2005).

 Keamanan psikologis

Untuk selamat dan aman secara psikologi, seorang manusia harus memahami apa yang
diharapkan dari orang lain, termasuk anggota keluarga dan profesional pemberi
perawatan kesehatan. Seseorang harus mengetahui apa yang diharapkan dari prosedur,
pengalaman yang baru, dan hal-hal yang dijumpai dalam lingkungan. Setiap orang
merasakan beberapa ancaman keselamatan psikologis pada pengalaman yang baru dan
yang tidak dikenal (Potter dan Perry, 2005). Orang dewasa yang sehat secara umum
mampu memenuhi kebutuhan keselamatan fisik dan psikologis merekat tanpa bantuan
dari profesional pemberi perawatan kesehatan. Bagaimanapun, orang yang sakit atau
cacat lebih rentan terancam kesejahteraan fisik dan emosinya, sehingga intervensi yang
dilakukan perawat adalah untuk membantu melindungi mereka dari bahaya (Potter dan
Perry, 2005).

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keamanan


Faktor-faktor yang mempengaruhi kebutuhan keamanan (Wartonah, 2010):

1) Usia
Pada usia anak-anak tidak terkontrol dan tidak mengetahui akibat dari apa yang
dilakukan. Pada orang tua/lansia akan mudah sekali jatuh atau rapuh tulang.

2) Tingkat kesadaran
Pada pasien koma, menurunnya respon terhadap rangsang, paralisis, disorientasi dan
kurang tidur.

3) Emosi
Emosi seperti kecemasan, deperesi, dan marah akan mudah sekali terjadi dan
berpengaruh terhadap masalah keselamtan dan keamanan.

4) Status mobilitas
Keterbatasan aktivitas, pararlisis, kelemahan otot, dan kesadaran menurun
memudahkan terjadinya resiko injuri/gangguan integritas kulit.

5) Gangguan persepsi sensori


Kerusakan sensori akan mempengaruhi adaptasi terhadap rangsangan yang berbahaya
seperti gangguan penciuman dan penglihatan.

6) Informasi/komunikasi
Gangguan komunikasi seperti aphasia atau tidak dapat membaca dapat menimbulkan
kecelakaan.

7) Penggunaan antibiotik yang tidak rasional


Antibiotik dapat menimbulkan resisten dan anafilaktik syok.

8) Keadaan imunitas
Gangguan imunitas akan menimbulkan daya tahan tubuh yang kurang sehingga mudah
terserang penyakit.

9) Ketidakmampuan tubuh dalam memproduksi sel darah putih


Sel darah putih berfungsi sebagai pertahanan tubuh terhadap suatu penyakit.

10) Status nutrisi


Keadaan nutrisi yang kurang dapat menimbulkan kelemahan dan mudah terserang
penyakit demikian sebaliknya, kelebihan nutrisi beresiko terhadap penyakit tertentu.

11) Tingkat pengetahuan


Kesadaran akan terjadinya gangguan keselamatan dan keamanan dapat diprediksi
sebelumnya
Kaplan dan Sadock (2007), mengatakan bahwa faktor yang menyebabkan gangguan
keamanan yang berisiko terhadap bunuh diri:

1 Perbedaan jenis kelamin


2 Usia
3 Ras
4 Agama
5 Status pernikahan
6 Kependudukan
7 Iklim
8 Kesehatan fisik
9 Penyakit mental
10 Pasien jiwa
11 Gangguan depresi
12 Skizofrenia
13 Ketergantungan alkohol
14 Ketergantungan zat lainnya
15 Gangguan kepribadian
16 Gangguan kecemasan
17 Perilaku bunuh diri sebelumnya

MACAM-MACAM BAHAYA / KECELAKAAN

Beberapa bahaya yang sering mengancam klien baik yang berada di tempat pelayanan
kesehatan, rumah, maupun komunitas diantaranya:

1. Api /kebakaran

Api adalah bahaya umum baik di rumah maupun rumah sakit. Penyebab kebakaran
yang paling sering adalah rokok dan hubungan pendek arus listrik. Kebakaran dapat
terjadi jika terdapat tiga elemen sebagai berikut: panas yang cukup, bahanbahan yang
mudah terbakar, dan oksigen yang cukup.

2. Luka bakar (Scalds and burns).

Scald adalah luka bakar yang diakibatkan oleh cairan atau uap panas, seperti uap air
panas. Burn adalah luka bakar diakibatkan terpapar oleh panas tinggi, bahan kimia,
listrik, atau agen radioaktif. Klien dirumah sakit yang berisiko terhadap luka bakar
adalah klien yang mengalami penurunan sensasi suhu dipermukaan kulit.

3. Jatuh.

Terjatuh bisa terjadi pada siapa saja terutama bayi dan lansia. Jatuh dapat terjadi
akibat lantai licin dan berair, alat-alat yang berantakkan, lingkungan dengan
pencahayaan yang kurang.

4. Keracunan.

Racun adalah semua zat yang dapat mencederai atau membunuh melalui aktivitas
kimianya jika dihisap, disuntikkan, digunakan, atau diserap dalam jumlah yang
cukup sedikit. Penyebab utama keracunan pada anak-anak adalah penyimpanan
bahan berbahaya atau beracun yang sembarangan, pada remaja adalah gigitan
serangga dan ular atau upaya bunuh diri. Pada lansia biasanya akibat salah makan
obat (karena penurunan pengelihatan) atau akibat overdosis obat (karena penurunan
daya ingat).

5. Sengatan listrik

Sengatan listrik dan hubungan arus pendek adalah bahaya yang harus diwaspadai
oleh perawat. Perlengkapan listrik yang tidak baik dapat menyebabkan sengatan
listrik bahkan kebakaran, contoh: percikan listrik didekat gas anestesi atau oksigen
konsentrasi tinggi. Salah satu pencegahannya adalah dengan menggunakan alat
listrik yang grounded yaitu bersifat mentransmisi aliran listrik dari suatu objek
langsung kepermukaan tanah.

6. Suara bising.

Suara bising adalah bahaya yang dapat menyebabkan hilangnya fungsi


pendengaran, tergantung dari: tingkat kebisingan, frekuensi terpapar kebisingan,
dan lamanya terpapar kebisingan serta kerentanan individu. Suara diatas 120 desibel
dapat menyebabkan nyeri dan gangguan pendengaran walaupun klien hanya
terpapar sebentar. Terpapar suara 85-95 desibel untuk beberapa jam per hari dapat
menyebabkan gangguan pendengaran yang progressive. Suara bising dibawah 85
desibel biasanya tidak mengganggu pendengaran.

7. Radiasi.
Cedera radiasi dapat terjadi akibat terpapar zat radioaktif yang berlebihan atau
pengobatan melalui radiasi yang merusak sel lain. Zat radioaktif digunakan dalam
prosedur diagnoostik seperti radiografi, fluoroscopy, dan pengobatan nuklir. Contoh
isotop yang sering digunakan adalah kalsium, iodine, fosfor.

8. Suffocation (asfiksia) atau Choking (tersedak).

Tersedak (suffocation atau asphyxiation) adalah keadaan kekurangan oksigen akibat


gangguan dalam bernafas. Suffocation bisa terjadi jika sumber udara
terhambat/terhenti contoh pada klien tenggelam atau kepalanya terbungkus plastik.
Suffocation juga bisa disebabkan oleh adanya benda asing di saluran nafas atas
yang menghalangi udara masuk ke paru-paru. Jika klien tidak segera ditolong bisa
terjadi henti nafas dan henti jantung serta kematian.

9. Lain-lain

Kecelakaan bisa juga disebabkan oleh alat-alat medis yang tidak berfungsi dengan
baik (equipment-related accidents) dan kesalahan prosedur yang tidak disengaja
(procedure-related equipment).

D.PENCEGAHAN KECELAKAAN DI RUMAH SAKIT.

1) Mengkaji tingkat kemampuan pasien untuk melindungi diri sendiri dari


kecelakaan.

2) Menjaga keselamatan pasien yang gelisah selama berada di tempat tidur.

3) Menjaga keselamatan klien dari infeksi dengan mempertahankan teknik aseptik,


menggunakan alat kesehatan sesuai tujuan.

4) Menjaga keselamatan klien yang dibawa dengan kursi roda.

5) Menghindari kecelakaan :

a) Mengunci roda kereta dorong saat berhenti.

b) Tempat tidur dalam keadaan rendah dan ada penghalang pada pasien yang
gelisah.

c) Bel berada pada tempat yang mudah dijangkau.


d) Meja yang mudah dijangkau.

e) Kereta dorong ada penghalangnya.

6) Mencegah kecelakaan pada pasien yang menggunakan alat listrik misalnya


suction, kipas angin, dan lain-lain.

7) Mencegah kecelakaan pada klien yang menggunakan alat yang mudah meledak
seperti tabung oksigen dan termos.

8) Memasang lebel pada obat, botol, dan obat-obatan yang mudah terbakar.

9) Melindungi semaksimal mungkin klien dari infeksi nosokomial seperti


penempatan klien terpisah antara infeksi dan non-infeksi.

10) Mempertahankan ventilasi dan cahaya yang adekuat.

11) Mencegah terjadinya kebakaran akibat pemasangan alat bantu penerangan.

12) Mempertahankan kebersihan lantai ruangan dan kamar mandi.

13) Menyiapkan alat pemadam kebakaran dalam keadaan siap pakai dan mampu
menggunakannya.

14) Mencegah kesalahan prosedur : identitas klien harus jelas.

Konsep Dasar Asuhan Keperawatan (Keamanan)

Isaack (2014), mengatakan bahwa pengkajian untuk keamanan pasien bisa dilakukan
dengan mengkaji :

1. Riwayat. Tinjau kembali riwayat klien untuk adanya stressor pencetus dan data
yang signifikan.
a. Kerentanan genetik-biologik (riwayat keluarga)
b. Peristiwa hidup yang menimbulkan stres
c. Hasil pemeriksaan status mental
d. Riwayat psikiatrik dan kepatuhan terhadap pengobatan di masa lalu
e. Riwayat pengobatan
f. Penggunaan obat dan alkohol
g. Riwayat pendidikan dan pekerjaan
2. Kaji klien untuk adanya gejala-gejala karakteristik
a. Apakah anda percaya bahwa anda menderita suatu penyakit?
b. Apakah anda pernah dirawat sebelumnya? Apa yang bermanfaat bagi anda
saat itu?
c. Menurut anda, apa yang menjadi kelebihan anda? Apa yang anda anggap
sebagai kesulitan-kesulitan anda?
d. Apakah anda mendengar suara-suara yang tidak didengar oleh orang lain atau
melihat hal-hal yang tidak dilihat oleh orang lain?
e. Apakah anda percaya bahwa seseorang atau sekelompok orang berencana
untuk menentang atau mencoba menyakiti anda?
f. Obat apa yang anda minum? Apakah anda mengalami masalah dengan obat
anda?
g. Siapa yang anda anggap sebagai orang yang dapat membantu dalam hidup
anda?
h. Apa aktivitas anda sehari-hari?
i. Kegiatan dan acara apa yang anda sukai?

3. Kaji sistem pendukung keluarga dan komunitas, termasuk:


a. Pengaturan hidup saat ini dan tingkat pengawasan
b. Keterlibatan dan dukungan keluarga
c. Manajer kasus atau ahli terapi
d. Partisipasi dalam program pengobatan komunitas

4 Kaji pengetahuan dasar klien dan keluarga. Kaji apakah klien dan keluarganya
mempunyai pengetahuan yang cukup tentang:
a. Gangguan skizofrenia
b. Rekomendasi medikasi dan pengobatan
c. Tanda-tanda kekambuhan
d. Tindakan untuk mengurangi stres

5 Analisis gejala positif dan negatif


6 Analisis kekuatan dan kelemahan klien, terutama: kemampuan mengurus diri,
sosialisasi, komunikasi, menguji realitas, keterampilan pekerjaan.
7 Analisis faktor-faktor yang meningkatkan risiko ekspresi perilaku yang tidak
disadari, termasuk: agitasi, maraha, curiga, adanya halusinasi yang mengancam.
II.9 Perubahan yang Terkait Dengan Usia yang Mempengaruhi Mobilitas dan Keamanan

Mobilitas adalah salah satu aspek terpenting dari fungsi fisiologis karena sangat
penting untuk menjaga independensi dan karena konsekuensi serius terjadi ketika
independensi hilang. Untuk orang dewasa yang lebih tua, mobilitas dipengaruhi oleh
perubahan terkait usia sampai batas tertentu, tetapi faktor risiko memainkan peran yang
jauh lebih besar. Karena banyak risiko yang memengaruhi mobilitas, jatuh dan patah
tulang merupakan kejadian yang lazim di usia tua. Orang dewasa yang lebih tua memiliki
tantangan ganda yaitu mempertahankan keterampilan mobilitas dan menghindari jatuh
dan patah tulang. Karena alasan ini, keselamatan merupakan aspek integral dari mobilitas.

Tulang, sendi, dan otot adalah struktur tubuh yang paling erat terkait dengan
mobilitas, tetapi banyak aspek fungsional tambahan yang terlibat dalam mobilitas yang
aman. Fungsi neurologis, misalnya, mempengaruhi semua aspek kinerja muskuloskeletal,
dan fungsi visual memengaruhi kemampuan untuk berinteraksi secara aman dengan
lingkungan. Dalam sistem muskuloskeletal, osteoporosis adalah perubahan terkait usia
yang memiliki dampak keseluruhan paling signifikan, paling banyak dipelajari, dan paling
dapat diterima untuk intervensi yang ditujukan untuk pencegahan dan manajemen.

a. Tulang
Tulang menyediakan kerangka kerja untuk seluruh sistem muskuloskeletal dan
bekerja bersama dengan sistem otot untuk memfasilitasi gerakan. Fungsi tambahan
tulang dalam tubuh manusia termasuk menyimpan kalsium, memproduksi sel darah,
dan mendukung serta melindungi organ dan jaringan tubuh. Tulang terdiri dari
lapisan luar yang keras, yang disebut tulang kortikal atau padat, dan bagian dalam,
jaring-jaring kenyal, disebut tulang trabekuler atau kanselus. Proporsi komponen
kortikal ke trabekuler bervariasi sesuai dengan jenis tulang. Tulang panjang, seperti
jari-jari dan tulang paha, terdiri dari sebanyak 90% sel kortikal, sedangkan tulang
datar dan tulang belakang terutama terdiri dari sel-sel trabekuler. Kedua komponen
tulang kortikal dan trabekuler dipengaruhi oleh perubahan terkait usia, tetapi laju dan
dampak perubahan terkait usia berbeda pada kedua jenis tulang.
Pertumbuhan tulang mencapai kematangan di awal masa dewasa, tetapi
remodeling tulang berlanjut sepanjang hidup seseorang. Perubahan terkait usia
berikut ini memengaruhi proses renovasi pada semua orang dewasa yang lebih tua:
 Peningkatan resorpsi tulang (mis., Kerusakan tulang yang diperlukan untuk
remodeling)
 Mengurangi penyerapan kalsium
 Peningkatan hormon paratiroid serum
 Gangguan regulasi aktivitas osteoblas
 Gangguan pembentukan tulang sekunder akibat berkurangnya produksi
osteoblastik dari matriks tulang
 Lebih sedikit sel sumsum fungsional karena penggantian sumsum dengan sel
lemak
 Penurunan estrogen pada wanita dan testosteron pada pria.

b. Otot
Otot rangka, yang dikendalikan oleh neuron motorik, secara langsung
memengaruhi semua aktivitas kehidupan sehari-hari (ADL). Perubahan terkait usia
yang memiliki dampak terbesar pada fungsi otot termasuk
 Ukuran dan jumlah serat otot berkurang
 Hilangnya neuron motorik
 Penggantian jaringan otot dengan jaringan ikat dan, akhirnya, dengan jaringan
lemak
 Memburuknya membran sel otot dan keluarnya cairan dan kalium
 Penurunan sintesis protein
Efek keseluruhan dari perubahan yang berkaitan dengan usia ini adalah kondisi
yang disebut sarkopenia, yang merupakan kehilangan massa otot, kekuatan, dan daya
tahan.

c. Sendi dan Jaringan Penghubung


Banyak perubahan terkait usia mempengaruhi fungsi semua sendi
muskuloskeletal, termasuk sendi yang tidak menahan beban. Berbeda dengan tulang
atau otot, yang mendapat manfaat dari olahraga, persendian dirugikan dengan
penggunaan berkelanjutan dan mulai menunjukkan efek keausan pada awal masa
dewasa. Faktanya, proses degeneratif mulai mempengaruhi tendon, ligamen, dan
cairan sinovial selama awal masa dewasa, bahkan sebelum maturitas kerangka
tercapai. Beberapa perubahan sendi terkait usia yang paling signifikan meliputi yang
berikut:
 Mengurangi viskositas cairan sinovial
 Degenerasi sel kolagen dan elastin
 Fragmentasi struktur berserat di jaringan ikat
 Pertumbuhan klaster kartilaginosa karena keausan terus menerus
 Pembentukan jaringan parut dan area kalsifikasi dalam kapsul sendi dan jaringan
ikat
 Perubahan degeneratif pada kartilago artikular yang menyebabkan fraying,
cracking, dan shredding yang luas, selain permukaan yang diadu dan menipis.
Konsekuensi dari perubahan ini termasuk gangguan fleksi dan ekstensi,
penurunan fleksibilitas struktur fibrosa, berkurangnya perlindungan dari kekuatan
pergerakan, erosi tulang yang mendasari perkembangan tulang rawan, dan
berkurangnya kemampuan jaringan ikat untuk mentransmisikan gaya tarik yang
bekerja pada itu.

d. Sistem saraf
Pemeliharaan keseimbangan dalam posisi tegak adalah keterampilan kompleks
yang dipengaruhi oleh perubahan sistem saraf yang berkaitan dengan usia: perubahan
kemampuan visual; penurunan refleks meluruskan; gangguan proprioception,
khususnya pada wanita; dan sensasi getaran yang berkurang dan rasa posisi sendi
pada ekstremitas bawah. Selain itu, perubahan yang berkaitan dengan usia dalam
kontrol postural menyebabkan peningkatan goyangan tubuh, yang merupakan ukuran
gerakan tubuh saat berdiri. Akhirnya, karena perlambatan yang berkaitan dengan
usia, orang dewasa yang lebih tua berjalan lebih lambat dan kurang mampu
merespons secara tepat waktu terhadap rangsangan lingkungan. Para peneliti telah
menemukan bahwa orang dewasa yang lebih tua dapat belajar untuk
mengkompensasi perubahan yang terjadi pada sistem saraf pusat untuk menghindari
jatuh (Doumas, Rapp, & Krampe, 2009).

e. Osteopenia dan Osteoporosis


Kehilangan massa tulang adalah perubahan terkait usia yang memengaruhi
semua orang dewasa seiring bertambahnya usia. Sejauh mana itu terjadi,
bagaimanapun, dipengaruhi oleh banyak variabel, dan penekanan perlu ditempatkan
pada intervensi promosi kesehatan yang membatasi tingkat dan konsekuensi dari
kehilangan tulang (Horan & Timmins, 2009). Karena ketersediaan luas teknik
pencitraan sederhana, yang disebut densitometri tulang, dalam beberapa tahun
terakhir, kepadatan massa tulang sekarang secara rutin dievaluasi pada orang dewasa
yang dimulai sekitar dekade ke-6. Kepadatan massa tulang dinilai menurut standar
deviasi di bawah dewasa muda yang sehat, yang disebut skor-T. Ketika skor-T adalah
antara 1 dan 2,5 standar deviasi di bawah kisaran ini, kondisi ini disebut osteopenia;
ketika skor-T lebih rendah dari ini, kondisi ini disebut osteoporosis. Osteoporosis
biasanya tanpa gejala; Namun, itu dapat menyebabkan rasa sakit, kehilangan
ketinggian, punuk janda, dan peningkatan risiko patah tulang. Selain didiagnosis
berdasarkan skor densitometri tulang, osteoporosis didiagnosis ketika fraktur terjadi
tanpa adanya trauma.
Prevalensi osteoporosis meningkat dengan bertambahnya usia, dengan 6% pada
usia 50 tahun dan 50% setelah usia 80 tahun (Rahmani & Morin, 2009). Meskipun
osteoporosis telah diakui sebagai kondisi umum di antara wanita pascamenopause
selama beberapa dekade, hanya dalam beberapa dekade terakhir telah diakui sebagai
kondisi yang mempengaruhi pria juga. Peningkatan perhatian ini dibenarkan karena
seperlima pria dan setengah wanita berusia 50 tahun ke atas akan mengalami patah
tulang karena osteoporosis selama masa hidup mereka (Khosla, 2010; Rahmani &
Morin, 2009).
Perbedaan gender menjelaskan tingkat osteoporosis yang relatif lebih tinggi di
antara wanita dibandingkan dengan pria. Baik pria dan wanita mencapai massa tulang
puncak di pertengahan 30-an, tetapi ada perbedaan yang signifikan dalam pola
kehilangan tulang antara pria dan wanita. Wanita memiliki periode stabilitas massa
tulang antara tingkat puncak dan timbulnya menopause, ketika penurunan tingkat
estrogen secara signifikan mempengaruhi massa tulang. Selama dekade pertama
setelah mulai menopause, tingkat kehilangan tulang tahunan mungkin sebesar 7%,
tetapi setelah menopause, itu adalah antara 1% dan 2%. Sebaliknya, tingkat
kehilangan tulang tahunan pada pria hanya sekitar 1% setelah massa tulang puncak
telah tercapai. Singkatnya, osteoporosis terjadi pada pria dan wanita, tetapi wanita
memiliki persentase kehilangan tulang yang jauh lebih besar sepanjang hidup mereka
dan mengalami kehilangan tulang yang lebih besar pada usia lebih dini.

II. 10 Konesekuensi Fungsional yang Memengaruhi Kesehatan Musculoskeletal

Orang dewasa yang lebih tua dapat mengkompensasi sebagian perubahan terkait
usia yang memengaruhi fungsi muskuloskeletal melalui intervensi promosi kesehatan,
seperti nutrisi yang baik dan aktivitas fisik. Namun, konsekuensi fungsional dari
osteoporosis cukup serius, seperti juga konsekuensi fungsional yang dihasilkan dari
banyak faktor risiko yang menyebabkan jatuh dan patah tulang pada orang dewasa yang
lebih tua. Seperti halnya banyak aspek fungsi lainnya pada usia dewasa yang lebih tua,
efek kumulatif dan interaksi faktor-faktor risiko daripada perubahan terkait usia paling
signifikan mempengaruhi fungsi dan kualitas hidup.

1. Efek pada Fungsi Muskuloskeletal


Kekuatan otot, daya tahan, dan koordinasi dipengaruhi sampai batas
tertentu oleh perubahan terkait usia, bahkan tanpa adanya faktor risiko. Mulai
sekitar usia 40 tahun, kekuatan otot menurun secara bertahap, menghasilkan
penurunan keseluruhan dari 30% menjadi 50% pada usia 80 tahun, dengan
penurunan kekuatan otot yang lebih besar pada ekstremitas bawah daripada
ekstremitas atas. Kekuatan otot yang berkurang disebabkan terutama oleh
hilangnya massa otot yang berkaitan dengan usia. Selain itu, tingkat aktivitas
seseorang saat ini dan pola latihan seumur hidup dapat memengaruhi kekuatan
otot pada usia berapa pun. Daya tahan dan koordinasi otot berkurang sebagai
akibat dari perubahan otot dan sistem saraf pusat. Karena perubahan ini, orang
dewasa yang lebih tua mengalami kelelahan otot setelah periode latihan yang lebih
pendek dibandingkan dengan rekan-rekan mereka yang lebih muda.
Fungsi sendi mulai menurun selama masa dewasa awal dan berkembang
secara bertahap untuk menyebabkan perubahan rentang gerak sebagai berikut:
 Berkurangnya rentang gerak di lengan atas
 Penurunan fleksi punggung bawah
 Penurunan rotasi pinggul eksternal
 Penurunan fleksi pinggul dan lutut
 Penurunan dorsofleksi kaki.

Perubahan-perubahan ini mengakibatkan kinerja kegiatan sehari-hari yang


lambat, seperti menulis, makan, merawat, dan memakai sepatu dan kaus kaki;
kesulitan menaiki tangga dan trotoar; dan berkurangnya kemampuan untuk
merespons rangsangan lingkungan secara keseluruhan.
Perubahan gaya berjalan, yang berbeda pada pria dan wanita, adalah salah
satu konsekuensi fungsional yang lebih terlihat yang terjadi setelah usia 75 tahun.
Wanita memiliki kontrol otot yang lebih sedikit, mengembangkan kiprah berdiri
dan berjalan yang lebih sempit, dan mengembangkan perubahan tipe bowlegged
yang memengaruhi ekstremitas bawah dan mengubah sudut pinggul. Pria yang
lebih tua mengembangkan gaya berjalan dan berdiri yang lebih luas, ditandai
dengan lebih sedikit ayunan lengan, langkah yang lebih pendek, penurunan
ketinggian steppage, dan posisi kepala dan batang yang lebih lentur daripada
ketika mereka masih muda. Dampak keseluruhan dari perubahan ini adalah bahwa
pria dan wanita yang lebih tua memiliki kecepatan berjalan yang lebih lambat dan
menghabiskan lebih banyak waktu dalam fase dukungan dari gaya berjalan
daripada di fase swing. Setiap perubahan gaya berjalan signifikan yang terjadi
bukan disebabkan oleh penuaan saja tetapi merupakan konsekuensi dari kondisi
lain, seperti osteoartritis atau gangguan neurologis (mis., Demensia, penyakit
Parkinson).

2. Kerentanan terhadap Jatuh dan Fraktur


Kombinasi perubahan yang berkaitan dengan usia dan berbagai faktor
risiko yang berinteraksi secara ganda membahayakan orang dewasa yang lebih tua
dengan meningkatkan kemungkinan jatuh dan patah tulang. Fraktur tidak unik
untuk orang dewasa yang lebih tua, tetapi mereka memang berbeda dalam banyak
hal dari yang terjadi pada populasi yang lebih muda. Pertama, tulang orang
dewasa yang lebih tua dapat patah dengan sedikit atau tanpa trauma, sedangkan
tulang anak-anak yang sehat dan orang dewasa yang lebih muda biasanya patah
sebagai respons terhadap dampak yang kuat. Fraktur yang dihasilkan dari dampak
yang tidak lebih parah daripada yang terjadi akibat jatuh ke lantai dari posisi
berdiri diklasifikasikan sebagai fraktur osteoporosis (juga disebut fraktur
kerapuhan, atau fraktur nontraumatic). Kedua, risiko patah tulang meningkat
sehubungan langsung dengan usia. Ketiga, lebih mungkin bahwa patah tulang
pada orang dewasa yang lebih tua, terutama patah tulang pinggul, akan memiliki
konsekuensi serius yang mempengaruhi independensi, kualitas hidup, dan
morbiditas dan mortalitas. Studi menunjukkan bahwa orang dewasa yang lebih tua
yang mengalami patah tulang berisiko lebih tinggi mengalami penurunan
fungsional, jatuh berulang, masuk permanen ke fasilitas keperawatan, dan harapan
hidup yang lebih pendek (Ioannidis et al., 2009; Kannegaard, Van Der Mark,
Eiken, & Abrahamsen, 2010; Lloyd et al., 2009; Pereira, Puts, Portela, & Sayeg,
2009).

3. Takut Jatuh
Sejak awal 1980-an, gerontologis telah mengakui suatu sindrom yang
terkait dengan peningkatan kecemasan tentang jatuh. Frase post-fall syndrome
pada awalnya digunakan untuk menggambarkan pola gaya berjalan yang berbeda
yang diadopsi oleh orang tua yang telah jatuh dan dirawat di rumah sakit untuk
cedera pasca-jatuh (Murphy & Isaacs, 1982). Dalam beberapa tahun terakhir, ada
banyak penelitian tentang ketakutan akan jatuh, yang merupakan ketakutan yang
paling umum dilaporkan di antara orang dewasa yang lebih tua dan telah
diidentifikasi sebagai masalah kesehatan masyarakat yang sama pentingnya
dengan jatuh (Kempen, van Haastreg, McKee, Delbaere, & Zijlstra, 2009). Studi
telah menemukan bahwa ketakutan jatuh terkait dengan usia yang lebih tua,
depresi, jatuh sebelumnya, penggunaan alat bantu berjalan, gangguan
keseimbangan, dan keterbatasan dalam ADL (Sharaf & Ibrahim, 2008; Kempen et
al., 2009). Meskipun ketakutan akan jatuh dapat memiliki efek perlindungan
ketika itu menyebabkan orang dewasa yang lebih tua mengambil tindakan
pencegahan, penelitian menunjukkan bahwa kekhawatiran yang berlebihan tentang
jatuh menyebabkan keterbatasan aktivitas dan perubahan dalam gaya berjalan
yang benar-benar menurunkan stabilitas berjalan dan dapat meningkatkan risiko
jatuh (Delbaere, Sturnieks, Crombez, & Lord, 2009). Studi juga menemukan
bahwa ketakutan jatuh menyebabkan depresi, peningkatan kecemasan,
keterbatasan fungsional, dan penurunan kualitas hidup (Boyd & Stevens, 2009;
Iglesias, Manca, & Torgerson, 2009; Schmid et al., 2009).
Pengasuh keluarga dari orang dewasa yang lebih tua juga mungkin sangat
cemas tentang kemungkinan jatuh, dan mereka mungkin mengalami kekhawatiran
berlebihan tentang kemungkinan bahwa orang yang lebih tua mungkin jatuh.
Ketakutan ini dapat menyebabkan keputusan yang membatasi kegiatan orang
dewasa yang lebih tua tidak perlu atau yang mengakibatkan pindah ke pengaturan
yang memberikan tingkat bantuan atau pengawasan yang lebih besar daripada
yang diinginkan orang tua (Fitzgerald, Hadjistavropoulos, & MacNab, 2009).
Meskipun pindah ke lingkungan yang tidak dikenal tidak akan selalu melindungi
orang tersebut dari jatuh dan bahkan mungkin meningkatkan risiko jatuh,
pengasuh yang mendorong atau membuat keputusan seperti itu dapat memperoleh
ketenangan pikiran karena mereka merasa bahwa orang yang lebih tua lebih aman.
Sekarang diketahui secara luas bahwa pengekangan tidak mencegah jatuh dan
cenderung berkontribusi pada cedera serius yang terkait dengan jatuh; namun,
beberapa pengasuh mungkin secara keliru percaya bahwa pengekangan dan
aktivitas terbatas adalah intervensi pencegahan jatuh yang aman dan efektif.

II.11 Kondisi Patologis yang Memengaruhi Fungsi Muskuloskeletas Osteoarthritis

Osteoartritis adalah penyakit inflamasi degeneratif yang menyerang sendi dan otot,
tendon, dan ligamen yang melekat; itu ditandai dengan rasa sakit, bengkak, dan gerakan
terbatas pada sendi. Osteoartritis, penyebab utama kecacatan di Amerika Serikat,
mempengaruhi orang dewasa yang lebih tua secara tidak proporsional. Meskipun tidak
semua orang dewasa yang lebih tua memiliki gejala osteoartritis, kondisi ini sering
dipandang sebagai perkembangan ekstrem dari perubahan terkait usia. Osteoartritis adalah
proses penyakit yang sangat kompleks yang dihasilkan dari interaksi faktor-faktor risiko
seperti trauma, genetika, obesitas, dan perubahan yang berkaitan dengan usia. Karena
perawatan diri merupakan aspek penting dalam pengelolaan osteoartritis, perawat fokus
pada intervensi pendidikan kesehatan. Perawat dapat mengajar orang dengan
osteoarthritis tentang kegiatan berikut untuk pencegahan dan pengobatan:
● Berpartisipasi dalam program latihan berdampak rendah yang diawasi yang berfokus
pada peningkatan kekuatan, keseimbangan, dan ketahanan otot tulang

●Menghindari kegiatan berdampak tinggi

● Mengenakan sepatu penyerap goncangan yang baik

● Menyeimbangkan aktivitas menahan beban dengan periode istirahat

● Menurunkan berat badan jika perlu

● Mendapatkan asupan vitamin C dan D yang memadai

● Menggunakan alat bantu jalan dan alat bantu lainnya yang sesuai untuk meringankan
sendi yang menahan beban, meningkatkan keseimbangan, atau mencapai fungsi mandiri

● Menggunakan panas lembab dan analgesik untuk nyeri.

Rencana perawatan untuk mengelola osteoarthritis paling efektif ketika mereka


didasarkan pada pendekatan interdisipliner yang mencakup obat-obatan, perawatan, dan
terapi fisik dan pekerjaan. Karena ada banyak intervensi medis dan bedah untuk
osteoartritis, perawat menekankan pentingnya memperoleh perawatan medis reguler
untuk evaluasi dan perawatan yang berkelanjutan ketika kondisi ini berubah. Perawat juga
dapat mengajar orang dewasa yang lebih tua tentang meminta rujukan untuk terapi fisik
untuk mempelajari strategi penguatan otot yang efektif untuk osteoartritis tungkai bawah
(Bennell, Hunt, Wrigley, LIm, & Hinman, 2009). Praktik perawatan diri yang
direkomendasikan oleh pedoman berbasis bukti termasuk aquaterapi, latihan
keseimbangan, latihan berbasis lahan, tai chi, terapi dingin, dan pengurangan berat badan
(jika ada) (Royal Australian College of General Practitioners, 2009; Williams, Brand, Hill
, Hunt, & Moran, 2010).

II. 12 Morse Fall Scale (Mfs) / Skala Jatuh Morse

Morse Fall Scale (MFS) adalah metode cepat dan sederhana untuk menilai
kemungkinan pasien jatuh. Sebagian besar perawat (82,9%) menilai skala sebagai “cepat
dan mudah digunakan,” dan 54% memperkirakan butuh kurang dari 3 menit untuk
member peringkat pada pasien. Ini terdiri dari enam variabel yang cepat dan mudah untuk
dinilai, dan itu telah terbukti memiliki validitas prediktif dan reliabilitas antar penilai.
MFS digunakan secara luas dalam perawatan akut pengaturan, baik di rumahs akit dan
pengaturan rawat inap perawatan jangka panjang.

Dalam Morse Fall Scale (MFS) terdapat beberapa skala item yang tergantung
dengan jumlah nilai nya. Item dalam skala diberi skor sebagai berikut:

1. Riwayat jatuh: Ini dinilai sebagai 25 jika pasien telah jatuh selama masuk rumah sakit
saat ini atau jika ada riwayat kejatuhan fisiologis langsung, seperti dari kejang atau
gaya berjalan yang terganggu sebelumnya penerimaan. Jika pasien belum jatuh, ini
diberi skor 0.

Catatan: Jika pasien jatuh untuk pertama kali, maka pasiennya atau skornya segera
meningkat sebesar 25.

2. Diagnosis sekunder: Ini dinilai sebagai 15 jika lebih dari satu diagnosis medister daftar
pada pasien grafik; jika tidak, skor 0.

3. Alat bantu ambulans: Ini diberi nilai 0 jika pasien berjalan tanpa alat bantu jalan
(walaupun dibantu oleh perawat), menggunakan kursi roda, atau sedang istirahat dan
tidak bangun sama sekali.

Catatan : Jika pasien menggunakan kruk, tongkat, atau alat bantu jalan, item ini skor
15; jika pasien berniat mencengkeram furniture mendukung, skor item ini 30.

4. Terapi intravena: Ini dinilai sebagai 20 jika pasien memiliki alat intravena atau kunci
heparin dimasukkan; jika tidak, skor 0.

5. Kiprah: Kiprah normal ditandai oleh pasien berjalan dengan kepala tegak, lengan
berayun bebas di samping, dan melangkah tanpa ragu-ragu. Kiprah ini skor 0. Dengan
kiprah yang lemah (skor 10), pasien adalah bungkuk tetapi mampu mengangkat kepala
sambil berjalan tanpa kehilangan keseimbangan. Langkahnya pendek dan pasien dapat
mengocok. Dengan gaya berjalan yang terganggu (skor 20), pasien mungkin
mengalami kesulitan bangkit dari kursi, berusaha bangkit dengan mendorong lengan
kursi / atau dengan memantul (mis., dengan menggunakan beberapa upaya untuk naik).
Kepala pasien tiarap, dan ia mengawasi tanah. Karena keseimbangan pasien adalah
miskin, pasien menggenggam furnitur, orang yang mendukung, atau bantuan berjalan
untuk dukungan dan tidak bisa berjalan tanpa bantuan ini.

6. Status mental: Saat menggunakan Skala ini, status mental diukur dengan memeriksa
sendiri pasien penilaian kemampuannya sendiri untuk ambulasi. Tanyakan pasien,
"Apakah Anda bisa pergi ke kamar mandi sendirian atau apakah Anda memerlukan
bantuan? "Jika pasien menjawab menilai kemampuannya sendiri konsisten dengan
perintah rawat jalan di Kardex, pasien dinilai "normal" dan diberi nilai 0. Jika respons
pasien tidak konsisten dengan perintah keperawatan atau jika respons pasien tidak
realistis, maka pasien dianggap melebih-lebihkan kemampuannya sendiri dan lupa
akan keterbatasan serta mencetak 15.

7. Penilaian dan Tingkat Risiko: Skor tersebut kemudian dihitung dan dicatat pada grafik
pasien. Tingkat risiko dan tindakan yang disarankan (mis. tidak ada intervensi yang
diperlukan, intervensi pencegahan jatuh standar, risiko tinggi intervensi pencegahan)
kemudian diidentifikasi.

Catatan Penting: Skala Kejatuhan Morse harus dikalibrasi untuk setiap pengaturan
atau unit perawatan kesehatan tertentu sehingga strategi pencegahan jatuh ditargetkan
untuk mereka yang paling berisiko. Dengan kata lain, skor pengurangan risiko
mungkin berbeda tergantung pada apakah Anda menggunakannya di rumah sakit
perawatan akut, panti jompo atau rehabilitasi fasilitas. Selain itu, skala dapat diatur
secara berbeda antara unit tertentu dalam fasilitas yang diberikan.

FORMAT MORSE FALL SCALE (MFS)/ SKALA JATUH DARI MORSE

NamaLansia :

Umur :

Tanggal :

NO PENGKAJIAN SKALA NILAI KET.


1. Riwayat jatuh: apakah lansia pernah jatuh Tidak 0
dalam 3 bulan terakhir? Ya 25

2. Diagnosa sekunder: apakah lansia memiliki Tidak 0


Lebih dari satu penyakit? Ya 15

3. Alat Bantu jalan:


- Bed rest/ dibantu perawat 0
- Kruk/ tongkat/ walker 15
- Berpegangan pada benda-benda di sekitar 30
(kursi, lemari, meja)
4. Terapi Intravena: apakah saat ini lansia Tidak 0
Terpasang infus? Ya 20

5. Gaya berjalan/ cara berpindah:


- Normal/ bed rest/ immobile (tidak dapat 0
Bergerak sendiri)
- Lemah (tidak bertenaga) 10
- Gangguan/ tidak normal (pincang/ diseret) 20

6. Status Mental
- Lansia menyadari kondisi dirinya 0
- Lansia mengalami keterbatasan daya ingat 15

Total Nilai

Pemeriksa

( )

Keterangan:

Tingkatan Risiko Nilai MFS Tindakan

Tidak berisiko 0 - 24 Perawatan dasar

Risiko rendah 25 - 50 Pelaksanaan intervensi pencegahan jatuh standar

Risiko tinggi ≥ 51 Pelaksanaan intervensi pencegahan jatuh risiko tinggi

II.13 Teori Penuaan Sesuai Kasus


A. Bological Aging Theory

1. Teori pakai dan usang

Teori pakai dan usang (wear and Tear Theory) menjelaskan bahwa penuaan terjadi
perubahan kumulatif yang terjadi pada sel manusia dan merusak system metabolism
seluler.
Pengaplikasian dalam kasus: Seorang lansia laki-laki berusia 68 tahun tinggal di
wisma anggrek sudah mengidap penyakit Diabetes Melitus (DM) dan Osteoarthritis
sejak 2 tahun lalu.

2. Teori Jaringan Konektif ( Teori Cross-Linkage)

Teori Jaringan Konektif (Teori Cross-Linkage) mengungkapkan bahwa seiring


berjalannya waktu proses biokimia menciptakan hubungan antara struktur yang
biasanya tidak terkoneksi.
Pengaplikasian dalam kasus: Lansia mengatakan kesulitan berjalan karna mengidap
oeteoporosis bahkan ia sampi terjatuh di toilet dan harus menggunakan alat bantu

3. Teori Genetik
Teori genetic mengidentifikasi lokasi masing-masing gen manusia dan
mempengaruhi penyakit yang terkait usia.
Pengaplikasian dalam kasus: Lansia yang terkena diabetes mellitus dapat
menurunkan penyakit tersebut terhadap keturunannya.

B. Teori Sosiokultural

1. Teori Pelepasan

Teori tersebut menerangkan bahwa dengan berubahnya usia seseorang secara


berangsur-angsur mulai melepaskan diri dari kehidupan sosialnya. Keadaan ini
mengakibatkan interaksi social lansia menurun.
Pengaplikasian dalam kasus: lansia sering ditemukan di luar pintu panti dan tidak
tahu arah kembali ke wisma.

2. Teori Aktivitas
Teori aktivitas menjelaskan bahwa lansia mampu melakukan sebuah aktifitas ringan
sampai sedang meskipun terdapat batasan dalam melakukan kegiatan.
Pengaplikasian dalam kasus: lansia sering berjalan mondar-mandir tanpa arah,
sering melihat ruangan lansia lainnya tanpa tujuan yang jelas, terkadang lansia
mengikuti PJ wisma ke mana pun dia pergi.
C. Teori Psikologis
1. Teori Kebutuhan Manusia
Human needs theory merupakan teori yang menjelaskan setiap individu memiliki
hirarki dari dalam diri mulai dari kebutuhan fisiologi sehingga aktualisasi diri.
Pengaplikasian dalam kasus: lansia tidak dapat memenuhi ADLnya sendiri seperti
memotong kuku dan rambut serta mandi.

II.14 Diagnosa dan Intervensi Keperawatan

Kasus

Seorang lansia laki-laki (68 tahun) tinggal di Wisma Anggrek tanpa ditemani oleh
social worker/care giver. Lansia menderita osteoarthritis sejak 2 tahun yang lalu ,
menderita DM dan osteoporosis. Lansia berjalan menggunakan alat bantu crutches, lansia
pernah jatuh di kamar mandi 2 bulan yang lalu. Kamar mandi tidak ada pegangan/rail di
dekat closet dan tidak terpasang karpet antislip, hasil pengkajian Morse Fall Scale : 65.
Penanggung jawab wisma mengatakan lansia sering berjalan mondar-mandir tanpa arah,
sering melihat ruangan lansia lainnya tanpa tujuan yang jelas, terkadang lansia mengikuti
PJ wisma kemanapun dia pergi. Terkadang lansia ditemukan di luar pintu panti dan tidak
tau arah kembali ke wisma.

Data Tambahan

Lansia mengatakan lututnya sakit sampai sekarang semenjak jatuh 2 tahun lalu.
Lansia senang mengkonsumsi makanan yang manis. Kaki lansia terlihat tremor ketika
berjalan sehingga lansia rentan terjatuh. Lansia mengeluh sulit melakukan aktivitas fisik
yang berat dan merasa tidak nyaman karena nyeri pada lututnya. Lansia tidak mengetahui
mengenai penyakitnya dan menganggap penyakitnya hanya penyakit biasa karena sudah
tua. Kamar mandi yang sering digunakan lansia terlihat kotor dan licin karena jarang
dibersihkan oleh petugas wisma. Selain itu penerangan di dekar kamar mandi kurang dan
lansia jarang meminta bantuan jika kesulitan saat beraktifitas. sejak sebulan yang lalu
Lansia sudah 2 kali terjatuh saat akan berdiri dari tempat duduk. Saat ini, lansia belum
bisa menggunakan alat bantu dengan benar sehingga kadang hampir terjatuh. Lansia
sering meminta pembicara untuk mengulang pertanyaan, lansia juga sering terlihat
gelisah. Lansia terlihat bingung saat mengobrol dan saat ditanya lansia tidak tahu dimana
saat ini dia berada. Skala nyeri : 4, lansia sering mengeluh sulit tidur karena meraskan
nyeri pada lututnya. Kuku dan rambut terlihat panjang dan badan pasien bau pesing. Di
wisma anggrek hanya terdapat 1 perawat sehingga asuhan keperawatan yang diberikan
tidak efektif. Perawat melakukan pemeriksaan GDS setiap hari dan langsung memberikan
insulin tanpa dijelaskan apa keuntungan dan kerugian dari pemberian insulin tersebut.
Hasil GDS : 300mg/dl. Perawat tidak memberikan pendidikan kesehatan mengenai
pengertian, penyebab, tanda gejala dan pengobatan mengenai DM, osteoarthritis, dan
osteoporosis. Perawat juga mengajarkan cara benar minum obat kepada lansia agar tidak
terjadi kesalahan. Perawat terlihat tidak mau melakukan pemeriksaan fisik terhadap lansia
karena lansia jarang mandi dan bau pesing. Perawat bekerjasama dengan dokter dan
fisioterapis untuk kesembuhan lansia.

Analisa Data

N DATA MASALAH
O
1. DS : Nyeri Kronis
 Lansia mengatakan lututnya sakit sampai sekarang semenjak jatuh 2
tahun lalu
 Lansia mengeluh sulit melakukan aktivitas fisik yang berat karena
nyeri pada lututnya
 Lansia sering mengeluh sulit tidur karena meraskan nyeri pada
lututnya
DO :
 Skala nyeri : 4
 TTV TD: 130/80 S: 36.7 N : 80x/menit RR : 24x/menit
2. DS : Resiko Jatuh
 Lansia mengatakan pernah jatuh di kamar mandi 2 bulan yang lalu
 1 bulan yang lalu Lansia mengatakan sudah 2 kali terjatuh saat akan
berdiri dari tempat duduk
DO :
 Kamar mandi tidak ada pegangan/rail di dekat closet dan tidak
terpasang karpet antislip
 Penerangan di sekitar kamar mandi kurang
 Hasil pengkajian Morse Fall Scale : 65
 Kamar mandi yang sering digunakan lansia terlihat kotor dan licin
karena jarang dibersihkan
 Lansia berjalan menggunakan alat bantu crutches, tetapi belum bisa
menggunakan alat bantu dengan benar sehingga terkadang hampir
terjatuh
 lansia jarang meminta bantuan kepada petugas
3. DS: Keluyuran
Penanggung jawab wisma mengatakan lansia sering berjalan mondar-
mandir tanpa arah, sering melihat ruangan lansia lainnya tanpa tujuan
yang jelas, dan terkadang lansia mengikuti PJ wisma kemanapun dia
pergi.
DO:
 Terkadang lansia ditemukan di luar pintu panti dan tidak tau arah
kembali ke wisma.
 Lansia seringkali terlihat bingung saat diajak berbicara
 Saat ditanya lansia tidak tahu dimana saat ini dia berada
 Lansia sering meminta pembicara untuk mengulang pertanyaan
 Lansia sering terlihat gelisah
3. DS : Defisiensi
Lansia mengatakan tidak mengetahui mengenai penyakitnya dan Pengetahuan
menganggap penyakitnya hanya penyakit biasa karena sudah tua
DO :
 Perawat di panti tidak memberikan pendidikan kesehatan mengenai
pengertian, penyebab, tanda gejala dan pengobatan mengenai DM,
osteoarthritis, dan osteoporosis

 Perawat di panti langsung memberikan insulin tanpa dijelaskan apa


keuntungan dan kerugian dari pemberian insulin tersebut
 Lansia senang mengkonsumsi makanan yang manis karena tidak
mengetahui dampak terhadap penyakitnya.
 Hasil GDS : 300mg/dl

Diagnosa Keperawatan

1. Nyeri Kronis

2. Resiko Jatuh

3. Keluyuran

4. Defisiensi Pengetahuan

Intervensi

No. Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi


Keperawatan
1. Nyeri kronis Tujuan umum: 1. Manajemen lingkungan:
Setelah diberikan tindakan keperawatan kenyamanan
3x24 jam diharapkan pasien mampu a. Posisikan pasien untuk
mengontrol rasa nyerinya. memfasilitasi
kenyamanan (mis.
Tujuan khusus: sokong sendi selama
1. Nyeri: efek yang mengganggu pergerakan)
a. Ketidaknyamanan b. Sediakan lingkungan
dipertahankan pada tingkat yang aman dan
sedang (skala 3) dan mendukung
ditingkatkan ke tingkat ringan c. Berikan sumber-sumber
(skala 4) edukasi yang relevan
dan berguna mengenai
b. Gangguan pergerakan fisik
manajemen penyakit
dipertahankan pada tingkat
dan risiko cedera pada
cukup berat (2) dan ditingkatkan
pasien
ke tingkat ringan (4)
2. Manajemen nyeri
c. Gangguan dalam rutinitas a. Kurangi atau eliminasi
dipertahankan pada tingkat faktor-faktor yang
cukup berat (2) dan ditingkatkan dapat mencetuskan
ke tingkat ringan (4) atau meningkatkan

2. Kepuasan klien: manajemen nyeri nyeri


b. Ajarkan prinsip-
a. Nyeri dapat terkontrol
prinsip manajemen
dipertahankan pada tingkat agak
nyeri
puas (2) dan ditingkatkan ke
c. Ajarkan metode
cukup puas (3)
farmakologi (obat
b. Klien dapat mengambil tindakan yang disediakan di
untuk mengurangi nyeri panti) maupun teknik
dipertahankan pada tingkat agak non farmakologi
puas (2) dan ditingkatkan ke (relaksasi napas
sangat puas (4) dalam) untuk
menurunkan nyeri
c. Klien dapat mengambil tindakan
3. Terapi latihan: pergerakan
untuk memberikan kenyamanan
sendi
dipertahankan pada tingkat agak
a. Monitor lokasi dan
puas (2) dan ditingkatkan ke
kedenderungan
sangat puas (4)
adanya nyeri dan
3. Pergerakan ketidaknyamanan
selama pergerakan
a. Keseimbangan tidak terganggu
b. Dukung latihan
dipertahankan pada tingkat
ROM aktif, sesuai
cukup terganggu (3) dan
jadwal yang teratur
ditingkatkan ke sedikit
dan terencana
terganggu (4)
c. Bantu untuk
b. Klien dapat bergerak dengan melakukan
mudah dipertahankan pada pergerakan sendi
tingkat banyak terganggu (2) yang ritmis dan
dan ditingkatkan ke tingkat teratur sesuai kadar
cukup terganggu (3) nyeri yang bisa

c. Klien dapat berjalan dengan ditoleransi

mudah dipertahankan pada


tingkat banyak terganggu (2)
dan ditingkatkan ke tingkat
cukup terganggu (3)
2. Diagnosa Tujuan dan kriteria hasil (NOC) Intevensi (NIC)
Keperawatan
Risiko jatuh Setelah dilakukan intervensi diharapkan: 1. Pencegahan jatuh (6490
1. Kejadian jatuh (1912) hlm. 274)
a. Jatuh saat berdiri dipertahankan a. Identifikasi kekurangan
pada 1-3 kali/ 1 bulan ditingkatkan baik kognitif atau fisik
ke tidak ada riwayat jatuh saat dari klien yang
berdiri (4 ke 5) meningktakan potensi
b. Jatuh saat berjalan dipertahankan jatuh
pada 1-3 kali / 2 bulan b. identifikasi perilaku
ditingkatkan ke tidak ada kejadian dan faktor yang
jatuh saat berjalan (4 ke 5) memengaruhi risiko
2. Pengetahuan pencegahan jatuh (1828) jatuh
a. Pengetahuan alat bantu yang benar c. kaji ulang riwayat jatuh
dipertahakan pada pengetahuan d. monitor gaya berjalan
terbatas ditingkatkan ke e. identifikasi
pengetahuan banyak (2 ke 4) karakteristik
b. Mengetahui kapan meminta lingkungan yang
bantuan profesional dipertahankan mungkin meningkatkan
pada pengetahuan sedang potensi jatuh
ditingkatkan ke pengetahuan f. dukung klien untuk
banyak (3 ke 4) menggunakan alat
3. Perilaku pencegahan jatuh bantu dengan tepat
a. meminta bantuan dipertahakan g. sediakan tempat duduk
pada jarang menunjukkan dengan ketinggian
ditingkatkan ke sering yang tepat dengan
menunjukan( 2 ke 4) sandaran tangan dan
b. menggunakan alat bantu dengan punggung yang mudah
benar dipertahankan pada jarang dipindahkan
menunjukan ditingkatkan pada h. sediakan pencahayaan
secara konsisten menunjukan (2 ke yang cukup
5) i. sediakan permukaan
4. Keamanan Lingkungan perawatan lantai yang tidak licin
kesehatan (1934) dan antislip
a. Penyediaan pencahayaan j. lakukan program
dipertahankan pada cukup adekuat latihan fisik rutin
ditingkatkan ke sepenuhnya meliputi berjalan
adekuat (3 ke 5) k. instruksikan klien
b. penempatan alat untuk pegangan untuk memangil
tangan dari tidak ada ditingkatkan bantuan terkait
ke sepenuhnya adekuat ( 1 ke 5) pergerakan dengan
tepat.
2. Terapi latihan :
keseimbangan (hlm 438)
a. sediakan lingkungan
yang aman untuk
latihan
b. instruksikan pasien
mengenai pentingnya
terapi latihan dalam
menjaga dan
meningkatkan
keseimbangan
c. instruksikan klien
untuk melakukan
latihan keseimbangan
dengan bantuan alat.
d. bantu klien untuk
pindah dari berdiri ke
posisi duduk dan
sebaliknya
3. Manajemen lingkungan :
keselamatan (hlm. 192)
a. identifikasi hal-hal
yang membahayakan di
lingkungan.
b. singkirkan bahan
berbahaya/hal-hal yang
berbahaya dari
lingkungan
c. modifikasi lingkungan
untuk meminimalkan
risiko jatuh
d. sediakan alat untuk
beradaptasi
(pegangan/rail)
e. kolaborasi dengan
lembaga lain terkait
keselamatan
lingkungan.
Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil ( NOC ) Intervensi (NIC)
Keperawatan
3. Keluyuran Tujuan umum: 1. Manajemen demensia :
Setelah diberikan tindakan keperawatan Keluyuran (162)
diharapkan pasien mampu : a. Identifikasi pola bias
Tujuan khusus: dari perilaku
1. Keluyuran Yang Aman (123) berkeliaran (klien)
a. Ketika tidak ditemani, tetap
b. Beri tanda dengan
bertahan di area yang aman
gelang atau kalung
dipertahankan pada tingkat
tanda medis
jarang menunjukkan (2) dan
ditingkatkan ke tingkat sering c. Menggunakan

menunjukkan (4) symbol daripada


hanya tanda-tanda
b. Menunjukkan kegelisahan
dipertahankan pada tingkat tertulis untuk
jarang menunjukkan (2) dan membantu klien
ditingkatkan ke tingkat sering menemukan ruangan,
menunjukkan (4) kamar mandi, atau
area lain.
c. Tersesat di area aman
dipertahankan pada tingkat d. Memberikan satu
jarang menunjukkan (2) dan arahan sederhana
ditingkatkan ke tingkat sering pada suatu waktu
menunjukkan (4)
e. Memberikan batas-
2. Tingkat Kecemasan (572) batas, seperti pita
merah atau kuning di
a. Berjalan mondar-mandir
lantai, ketika unit
dipertahankan pada tingkat
rendah stimulus tidak
cukup berat (2) dan ditingkatkan
tersedia
ke ringan (4)
2. Pengurangan kecemasan
b. Perasaan gelisah dipertahankan
(319)
pada tingkat cukup berat (2) dan
a. Gunakan pendekatan
ditingkatkan ke ringan (4)
yang tenang dan
c. Kesulitan konsentrasi meyakinkan.
dipertahankan pada tingkat
b. Pahami situasi krisis
cukup berat (2) dan ditingkatkan
yang terjadi dari
ke ringan (4)
prespektif klien
3. Tingkat demensia (569)
c. Dukung penggunaan
a. Kesulitan memproses informasi mekanisme koping yang
dipertahankan pada tingkat sesuai
cukup berat(2) dan ditingkatkan
d. Ciptakan atmosfer rasa
ke ringan (4)
aman untuk
b. Kesulitan menemukan jalan ke meningkatkan
tempat yang lazim dikenal kepercayaan
dipertahankan pada tingkat
e. Identifikasi pada saat
cukup berat(2) dan ditingkatkan
terjadi perubahan
ke ringan (4)
tingkat kecemasan
c. Disorientasi tempat
3. Orientasi Realita (239)
dipertahankan pada tingkat
cukup berat(2w) dan a. Bicara jelas dengan
ditingkatkan ke ringan (4) kecepatan suara,
volume dan intonasi
suara yang tepat

b. Menginformasikan
kepada klien
mengenai orang,
tempat dan waktu
jika dibutuhkan.

c. Labeli barang-barang
yang ada di
lingkungan klien
untuk meningkatkan
pengenalan klien

d. Menggunakan
petunjuk lingkungan
untuk menstimulasi
memori, reorientasi
dan meningkatkan
perilaku yang sesuai.

No. Diagnosa Tujuan dan kriteria hasil (NOC) Intervensi (NIC)


Keperawatan
4. Defisiensi Tujuan umum : 1. Pendidikan Kesehatan
pengetahuan Setelah diberikan tindakan keperawatan 3x24 a. Tentukan pengetahuan
jam diharapkan lansia mampu mewngetahui kesehatan dan gaya
mengenai penyakit yang dideritanya hidup perilaku saat ini
pada individu keluarga
Tujuan khusus : atau kelompok sasaran
1. Pengetahuan : promosi kesehatan b. Libatkan individu
a. Perilaku yang meningkatkan keluarga dan kelompok
kesehatan dipertahankan pada dalam perencanaan dan
tidak ada pengetahuan (1) dan rencana implementasi
ditingkatkan ke pengetahuan gaya hidup atau
sedang (3) modifikasi perilaku
b. Hubungan antara diet, olahraga kesehatan
dan berat badan dipertahankan c. Tekankan pentingya
pada tidak ada pengetahuan (1) pola makan yang sehat,
dan ditingkatkan ke tidur, berolahraga dan
pengetahuan banyak (4) lain-lain bagi individu
c. Sumber informasi peningkatan keluarga dan kelompok
kesehatan terkemuka 2. Pengajaran : Proses
dipertahankan pada tidak ada Penyakit
pengetahuan (1) dan a. Review pengetahuan
ditingkatkan ke pengetahuan pasien mengenai
banyak (4) kondisinya
2. Pengetahuan : Manajemen Diabetes b. Kenali pengetahuan
a. Tanda dan gejala awal penyakit pasien mengenai
dipertahankan pada tidak ada kondisinya
pengetahuan (1) dan c. Jelaskan tanda dan
ditingkatkan ke pengetahuan gejala yang umum dari
banyak (4) penyakit, sesuai
b. Peran diet dalam mengontrol kebutuhan
kadar glukosa darah d. Jelaskan mengenai
dipertahankan pada tidak ada proses penyakit, sesuai
pengetahuan (1) dan kebutuhan
ditingkatkan ke pengetahuan e. Berikan informasi pada
banyak (4) pasien mengenai
c. Pentingnya menjaga kadar kondisinya, sesuai
glukosa darah dalam kisaran kebutuhan
target dipertahankan pada tidak 3. Pengajaran : Peresepan
ada pengetahuan (1) dan diet
ditingkatkan ke pengetahuan a. Kaji tingkat
sedang (3) pengetahuan pasien
3. Pengetahuan : Diet yang disarankan mengenai diet yang
a. Diet yang dianjurkan di disarankan
pertahankan pada tidak ada b. Kaji pola makan saat
pengetahuan (1) dan Ini dan sebelumnya,
ditingkatkan ke pengetahuan termasuk makanan
banyak (4) yang disukai dan pola
b. Manfaat diet yang dianjurkan makan saat ini
dipertahankan pada tidak ada c. Jelaskan pada pasien
pengetahuan (1) dan mengenai tujuan
ditingkatkan ke pengetahuan kepatuhan terhadap diet
banyak (4) yang disarankan terkait
c. Makanan yang di perbolehkan dengan kesehatan
dalam diet dipertahankan pada secara umum
tidak ada pengetahuan (1) dan d. Bantu pasien untuk
ditingkatkan ke pengetahuan memilih makanan
banyak (4) kesukaan yang sesuai
d. Makanan yang tidak di dengan diet yang
perbolehkan dalam diet disarankan
dipertahankan pada tidak ada e. Instruksikan pada
pengetahuan (1) dan pasien untuk
ditingkatkan ke pengetahuan merencanakan diet
banyak (4) yang sesuai

II.15 Etika Dan Peran Perawat Sesuai Kasus

1. Peran Perawat sesuai Kasus


a. Care giver
Perawat melakukan pemeriksaan GDS setiap hari dan langsung memberikan
insulin.
b. Educator/Pendidik
Perawat mengajarkan cara benar minum obat kepada lansia agar tidak terjadi
kesalahan
c. Collaborator
Perawat bekerja sama dengan dokter dan fisioterapis untuk kesembuhan lansia.
2. Etik yang dilanggar
a. Non Maleficiency
Perawat tidak menjelaskan apa keuntungan dan kerugian dari pemberian insulin.
b. Beneficiency
Perawat tidak memberikan pendidikan kesehatan mengenai pengertian, penyebab,
tanda gejala dan pengobatan mengenai DM, osteoarthritis, dan osteoporosis.
c. Justice
Perawat terlihat tidak mau melakukan pemeriksaan fisik terhadap lansia karena
lansia jarang mandi dan bau pesing.
BAB III
PENUTUP

III. 1 Simpulan

Kebutuhan Keselamatan dan Keamanan merupakan kebutuhan dasar bagi lansia.


Di sini perawat dalam pemenuhan kebutuhan keamanan dapat berperan secara langsung
maupun tidak langsung yaitu sebagai Pemberi Perawatan Langsung (care giver),
Pendidik, Pengawas Kesehatan, Konsultan, dan Kolaborasi. Keselamatan adalah suatu
keadaan seseorang atau lebih yang terhindar dari ancaman bahaya atau kecelakaan,
sedangkan keamanan adalah keadaan aman dan tentram. Masalah yang tersering dialami
pada lansia terkait keselamatan dan keamanan ini umumnya resiko jatuh/cidera.
Dimana jatuh merupakan salah satu geriatric giant yang terjadi pada usia lanjut, penyebab
tersering adalah masalah di dalam dirinya sendiri (gangguan gait, sensorik, kognitif,
sistem syaraf pusat) didukung oleh keadaan lingkungan rumahnya yang berbahaya (alat
rumah tangga yang tua / tidak stabil, lantai yang licin dan tidak rata). Jatuh sering
mengakibatkan komplikasi dari memar dan keseleo sampai dengan patah tulang bahkan
kematian. Oleh karena itu, hal ini harus dicegah agar jatuh tidak terjadi berulang-ulang
pada lansia dengan cara identifikasi faktor risiko, penilaian keseimbangan dan gaya
berjalan serta mengatur / mengatasi faktor situasional. Pada prinsipnya mencegah
terjadinya jatuh pada usia lanjut sangat penting dan lebih utama daripada mengobati
akibatnya.

III. 2 Saran
Perawat sebagai tenaga kesehatan yang profesional mempunyai kesempatan paling
besar untuk memberikan pelayanan/asuhan keperawatan yang komprehensif dengan
membantu klien memenuhi kebutuhan dasar yang holistik, salah satunya dalam
pemenuhan kebutuhan keselamatan dan keamanan. Sehingga sebagai perawat kita bisa
melakukan penkes terkait resiko jatuh kepada para lansia, senam lansia, posyandu lansia
dan pemeriksaan rutin lansia setiap bulannya.
DAFTAR PUSTAKA

Jurnal Nursing and Public Health. Volume 6 NO. 1, April 2018. Faktor-Faktor Yang
BerhubunganDenganResikoJatuhPadaLansia Di Bpplu Kota Bengkulu Tahun 2017.
FikesUniversitasDehasen Bengkulu

JurnalPenyakitDalam Indonesia. Vol. 4, No. 4. Desember 2017. Hubungan antara Usia dan
Aktivitas Sehari-Hari dengan Risiko Jatuh Pasien Instalasi Rawat Jalan Geriatri.
FakultasKedokteranUniversitasAirlangga

Pusat Data dan Informasi. Analisis Lansia di Indonesia. Kementerian Kesehatan RI. 2017

Stanley, Mickey. Beare, Patricia. 2006. Buku Ajar KeperawaanGerontik ed. 2. Jakarta. EGC

Anda mungkin juga menyukai