Disusun Oleh:
TAHUN 2019
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena atas berkat rahmat dan
hidayah-Nya kami dapat menyusun dan menyelesaikan makalah “Asuhan Keperawatan
Gerontik dengan Diabetes Mellitus” ini tepat pada waktu yang telah ditentukan. Makalah ini
diajukan guna memenuhi tugas yang diberikan dosen pada mata kuliah Keperawatan
Gerontik.
Pada kesempatan ini juga kami berterima kasih atas bimbingan dan masukan dari
semua pihak yang telah memberi kami bantuan wawasan untuk dapat menyelesaikan makalah
ini, baik itu secara langsung maupun tidak langsung.
Kami menyadari isi makalah ini masih jauh dari kategori sempurna, baik dari segi
kalimat, isi, maupun dalam penyusunan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun
dari dosen mata kuliah yang bersangkutan dan rekan-rekan semuanya, sangat kami harapkan
demi kesempurnaan makalah ini dan makalah-makalah selanjutnya.
Kelompok
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ii
BAB I PENDAHULUAN 4
II.1 Prevalensi 6
II.2 Pengertian dan Etiologi 8
II.3 Tanda dan Gejala 12
II.4 Komplikasi 13
II.5 Pencegahan 13
II.6 Terapi Modalitas 18
II.7 Penatalaksanaan 20
II.8 Konsep Mobilisasi dan Keamanan pada Lansia 21
II.9 Perubahan yang Terkait Dengan Usia yang Mempengaruhi Mobilitas
dan Keamanan ................................................................................................................. 39
II.10 Konesekuensi Fungsional yang Memengaruhi Kesehatan Musculoskeletal ......... 43
II.11 Kondisi Patologis yang Memengaruhi Fungsi Muskuloskeletas Osteoarthritis .... 46
II.12 Morse Fall Scale 47
II.13 Teori Penuaan sesuai Kasus 51
II.14 Diagnosa dan Intervensi Keperawatan 52
II.15 Etika dan Peran Perawat 63
III.1 Simpulan 65
III.2 Saran 65
DAFTAR PUSTAKA 57
3
BAB I
PENDAHULUAN
Jatuh merupakan salah satu bahaya yang mengancam keamanan dan keselamatan
terhadap manusia. Selain itu, 90% jenis kecelakaan yang dilaporkan dan seluruh kecelakaan
yang terjadi di RS adalah jatuh. Dalam makalah ini penyusun akan mencoba membahas
tentang asuhan keperawatan apa yang bisa dilaksanakan untuk mencegah resiko jatuh
terhadap lansia.
Jatuh sering terjadi atau dialami oleh usia lanjut. Banyak faktor berperan
didalamnya, baik faktor intrinsik dalam diri lansia tersebut seperti gangguan gaya berjalan,
kelemahan otot ekstremitas bawah, kekakuan sendi, sinkoppe dan dizzines, serta faktor
ekstrinsik seperti lantai yang licin dan tidak rata, tersandung benda-benda, penglihatan
kurang karena cahaya kurang terang, dan sebagainya. Jatuh adalah
kejadian yang mengakibatkan seseorang mendadak terbaring/terduduk di lantai/tempat yang
lebih rendah dengan atau tanpa kehilangan kesadaran atau luka. Berdasarkan survei di
masyarakat AS, Tinetti (1992) mendapatkan seitar 30% lansia lebih dari umur 65 tahun jatuh
setipa tahunnya, separuh dari angka tersebut mengalami jatuh berulang.
Reuben dkk (1996) mendapatkan insiden jatuh di masyarakat AS pada umum lebih
dari 65 tahun berkisar 1/3 populasi lansia setiap tahun, dengan rata-rata jatuh 0.6/orang.
Insiden di rumah-rumah perawatan 3 kali lebih banyak. Lima persen dari penderita jatuh ini
mengalami patah tulang atau memerlukan perawatan di rumah sakit. Kecelakaan merupakan
penyebab kematian no.6 di Amerika Serikat tahun 1992. kematian akibat jatuh sangat sulit
didefinisikan karena sering tidak disadari oleh keluarga atau dokter pemeriksanya,
sebaliknya jatuh juga merpakan akibat penyakit lain misalnya serangan jantung mendadak.
Fraktur kolum femoris merupakan komplikasi utama akibat jatuh pada lansia.
Fraktur kolum femoris merupakan fraktur yang berhubungan dengan proses menua dan
osteoporosis. Wanita mempunyai resiko tinggi dibanding laki-laki untuk terjadinya fraktur
dan perlukaan akibat jatuh. Lansia yang sehat juga mempunyai resiko lebih tinggi dibanding
lansia yang lemah atau cacat untuk terjadinya fraktur dan perlukaan akibat jatuh.resiko
untuk terjadinya perlikaan akibat jatuh merupakan efek gabungan dari penurunan respon
perlindungan diri ketika jatuh dan besar kekuatan terbantingnya. Sehingga dalam mencegah
jatuh pada lansia perlu dianjurkan untuk melakukan aktivitas fisik meliputi pola gerakan
4
yang beragam seperti latihan kekuatan atau kelas aerobik yang dapat meningkatkan massa
tulang sehingga tulang lebih padat dan dapat menurunkan risiko jatuh.
BAB II
TINJAUAN TEORI
5
Berdasarkan data proyeksi penduduk, diperkirakan tahun 2017 terdapat 23,66 juta jiwa penduduk
lansia di Indonesia (9,03%). Diprediksi jumlah penduduk lansia tahun 2020 (27,08 juta), tahun
2025 (33,69 juta), tahun 2030 (40,95 juta) dan tahun 2035 (48,19 juta).
6
PREVALENSI JATUH PADA LANSIA
Proporsi penduduk di atas 60 tahun di dunia tahun 2000 sampai 2050 akan berlipat
ganda dari sekitar 11% menjadi 22%, atau secara absolut meningkat dari 605 juta menjadi 2
milyar lansia (World Health Organization, 2015). (Nazam, 2013) melakukan survei tentang
kejadian pasien jatuh di AS, di mana hasil survei tersebut menunjukkan 2,3-7% per 1000
lansia mengalami jatuh dari tempat tidur setiap hari dan 29-48% lansia mengalami luka
ringan dan 7,5% dengan luka-luka serius. Proporsi lansia Di Amerika Serikat, sekitar tiga
perempat kematian diakibatkan oleh jatuh, pada 13 persen populasi lanjut usia 65 tahun
keatas. Sekitar 40persen dari kelompok usia 65 tahun keatas yang tinggal dirumah
mengalami setidaknya jatuh sekali dalam setahun, dan sekitar 1 dari 40 orang dirawat di
rumah sakit dikarenakan jatuh (Rubenstein, 2006).Berdasarkan survei masyarakat di Jepang,
didapatkan sekitar 30% usia lanjut yang berumur >75 tahun, setiap tahunnya mengalami
jatuh. Separuh dari angka tersebut mengalami jatuh berulang. Insiden jatuh di Indonesia
tercatat dari 115 penghuni panti sebanyak 30 orang usia lanjut atau sekitar 43,47%
mengalami jatuh. Rubenztein dalam penelitiannya melaporkan bahwa 93,1% dari usia lanjut
yang mengalami kelemahan, sebesar 68,7% di antaranya memiliki pola Activity of Daily
Living (ADL) yang buruk yang dapat meningkatkan risiko jatuh.
Di Indonesia survei yang dilakukan oleh riset kesehatan dasar (RISKESDAS) tahun
2013 menyatakan bahwa prevalensi cidera akibat jatuh pada penduduk diatas usia 55 tahun
mencapai49,4%, pada usia 65-74 tahun sekitar 67,1% dan pada usia 75 tahun keatas sekitar
78,2%. Insidensi jatuh setiap tahunnya di antara lansia yang tinggal di komunitas meningkat
dari 25% pada usia 70 tahun menjadi 35% setelah berusia lebih dari 75 tahun (Stanley &
7
Beare, 2012). Kongres XII PERSI (2012) melaporkan bahwa angka kejadian pasien jatuh di
Indonesia bulan Januari-September 2012 sebesar 14%, hal ini menggambarkan presentasi
angka pasien jatuh masuk ke dalam lima besar insiden medis selain medicine eror
(Komariah, 2015). Kejadian jatuh dilaporkan terjadi pada sekitar 30% lansia berusia 65
tahun ke atas yang tinggal di rumah (komunitas), separuh dari angka tersebut mengalami
jatuh berulang. Lansia yang tinggal dirumah mengalami jatuh sekitar 50% dan memerlukan
perawatan di rumah sakit sekitar 10-25%. (Darmojo & Martono, 2009).
3. Osteoporosis
Osteoporosis berasal dari kata osteodanporous, osteo artinya tulang, dan porous
berarti berlubang-lubang atau keropos. Jadi, osteoporosis adalah tulang yang keropos,
yaitu penyakit yang mempunyai sifat khas berupa massa tulangnya rendah atau
berkurang, disertai gangguan mikro-arsitektur tulang dan penurunan kualitas jaringan
tulang, yang dapat menimbulkan kerapuhan tulang( Tandra, 2009).
Menurut WHO pada International Consensus Development Conference, di Roma,
Itali, 1992 Osteoporosis adalah penyakit dengan sifat-sifat khas berupa massa tulang
yang rendah, disertai perubahan mikro arsitektur tulang, dan penurunan kualitas jaringan
tulang, yang pada akhirnya menimbulkan akibat meningkatnya kerapuhan tulang dengan
risiko terjadinya patah tulang (Suryati, 2006).
Menurut National Institute of Health (NIH), 2001 Osteoporosis adalah kelainan
kerangka, ditandai dengan kekuatan tulang yang mengkhawatirkan dan dipengaruhi oleh
meningkatnya risiko patah tulang. Sedangkan kekuatan tulang merefleksikan gabungan
dari dua faktor, yaitu densitas tulang dan kualitas tulang (Junaidi, 2007).
Beberapa penyebab osteoporosis, yaitu:
9
a) Osteoporosis pasca menopause terjadi karena kurangnya hormon estrogen (hormon
utama pada wanita), yang membantu mengatur pengangkutan kalsium ke dalam
tulang. Biasanya gejala timbul pada perempuan yang berusia antara 51-75 tahun,
tetapi dapat muncul lebih cepat atau lebih lambat. Hormon estrogen produksinya
mulai menurun 2-3 tahun sebelum menopause dan terus berlangsung 3-4 tahun setelah
menopause. Hal ini berakibat menurunnya massa tulang sebanyak 1-3% dalam waktu
5-7 tahun pertama setelah menopause.
b) Osteoporosis senilis kemungkinan merupakan akibat dari kekurangan kalsium yang
berhubungan dengan usia dan ketidakseimbangan antara kecepatan hancurnya tulang
(osteoklas) dan pembentukan tulang baru (osteoblas). Senilis berarti bahwa keadaan
ini hanya terjadi pada usia lanjut. Penyakit ini biasanya terjadi pada orang-orang
berusia di atas 70 tahun dan 2 kali lebih sering menyerang wanita. Wanita sering kali
menderita osteoporosis senilis dan pasca menopause.
c) Kurang dari 5% penderita osteoporosis juga mengalami osteoporosis sekunder yang
disebabkan oleh keadaan medis lain atau obat-obatan. Penyakit ini bisa disebabkan
oleh gagal ginjal kronis dan kelainan hormonal (terutama tiroid, paratiroid, dan
adrenal) serta obat-obatan (misalnya kortikosteroid, barbiturat, anti kejang, dan
hormone tiroid yang berlebihan). Pemakaian alkohol yang berlebihan dan merokok
dapat memperburuk keadaan ini.
4. Jatuh
Jatuh merupakan masalah keperawatan utama pada lansia, yang menyebabkan
cedera, hambatan mobilitas dan kematian (Sattin, 2004).
Selain cedera fisik yang berkaitan dengan jatuh, individu dapat mengalami
dampak psikologis, seperti takut terjatuh kembali, kehilangan kepercayaan diri,
peningkatan kebergantungan dan isolasi sosial (Downton dan Andrews, 2006).
Jatuh merupakan suatu kejadian yang dilaporkan penderita atau saksi mata yang
melihat kejadian, yang mengakibatkan seseorang mendadak terbaring/ terduduk di lantai
atau tempat yang lebih rendah dengan atau tanpa kehilangan kesadaran atau luka (Ruben,
2005).
10
Berdasarkan beberapa pengertian jatuh di atas, dapat disimpulkan bahwa jatuh
adalah kejadian tiba-tiba dan tidak disengaja yang mengakibatkan seseorang terbaring
atau terduduk di lantai dengan atau tanpa kehilangan kesadaran atau luka.
5. Demensia
Demensia adalah suatu sindroma penurunan kemampuan intelektual progresif
yang menyebabkan deteriorasi kognisi dan fungsional, sehingga mengakibatkan
gangguan fungsi sosial, pekerjaan dan aktivitas sehari-hari (Asosiasi Alzheimer
Indonesia, 2003).
Demensia adalah sindrom penurunan fungsi intelektual dibanding sebelumnya
yang cukup berat sehingga mengganggu aktivitas social dan profesional yang tercermin
dalam aktivitas hidup keseharian, biasanya ditemukan juga perubahan perilaku dan tidak
disebabkan oleh delirium maupun gangguan psikiatri mayor (Ong dkk, 2015).
Beberapa faktor risiko yang dapat menyebabkan demensia antara lain:
a) Usia
Risiko terjadinya penyakit Alzheimer meningkat secara nyata dengan meningkatnya
usia, meningkat dua kali lipat setiap 5 tahun pada individu di atas 65 tahun dan 50%
individu di atas 85 tahun mengalami demensia. Dalam studi pupolasi, usia di atas 65
tahun risiko untuk semua demensia adalah OR=1,1 dan untuk penyakit Alzheimer
OR=1,2 (Ong dkk, 2015).
11
b) Jenis Kelamin
Beberapa studi prevalensi menunjukkan bahwa penyakit Alzheimer lebih tinggi pada
wanita dibanding pria. Angka harapan hidup yang lebih tinggi dan tingginya
prevalensi AD pada wanita yang tua dan sangat tua disbanding pria. Risiko untuk
semua jenis demensia dan penyakit Alzheimer untuk wanita adalah OR=1,7 dan
OR=2,0. Kejadian demensia vascular lebih tinggi pada pria secara umum walaupun
menjadi seimbang pada wanita yang lebih tua (Ong dkk, 2015).
c) Riwayat Keluarga dan Faktor Genetik
Penyakit Alzheimer Awitan Dini (Early Onset Alzheimer Disease/EOAD) terjadi
sebelum usia 60 tahun, kelompok ini menyumbang 6-7% dari kasus penyakit
Alzheimer. Sekitar 13% dari EOAD ini memperlihatkan transmisi autosomal dominan.
Tiga mutasi gen yang teridentifikasi untuk kelompok ini adalah amiloid-β protein
precursor pada kromosom 14 ditemukan pada 30-70% kasus, presenilin pada
kromosom 1 ditemukan pada kurang dari 5% kasus. Sampai saat ini tidak ada mutasi
genetik tunggal yang teridentifikasi untuk Penyakit Alzheimer AwitanLambat. Diduga
faktor genetik dan lingkungan saling berpengaruh. Di antara semua faktor genetik, gen
Apolipoprotein E (APOE E) yang paling banyak diteliti. Telaah secara sistematik studi
populasi menerangkan bahwa APOE E4 signifikan meningkatkan risiko demensia
penyakit Alzheimer terutama pada wanita dan populasi antara 55-56 tahun, pengaruh
ini berkurang pada usia yang lebih tua (Ong dkk, 2015).
Secara singkat faktor risiko jatuh pada lanjut usia dibagi dalam dua golongan besar:
a. Faktor instrinsik
Faktor instrinsik adalah variabel-variabel yang menentukan mengapa seseorang dapat
jatuh pada waktu tertentu dan orang lain dalam kondisi yang sama mungkin tidak jatuh
(Gardner, 2000). Faktor intrinsik tersebut antara lain adalah gangguan muskuloskeletal
misalnya menyebabkan gangguan gaya berjalan, kelemahan ekstremitas bawah,
kekakuan sendi, sinkope yaitu kehilangan kesadaran secara tiba-tiba yang disebabkan
oleh berkurangnya aliran darah ke otak dengan gejala lemah, penglihatan gelap, keringat
dingin, pucat dan pusing.
b. Faktor ekstrinsik
Faktor ekstrinsik merupakan faktor dari luar (lingkungan sekitarnya) diantaranya cahaya
ruangan yang kurang terang, lantai yang licin, tersandung benda-benda. Faktor-faktor
12
ekstrinsik tersebut antara lain lingkungan yang tidak mendukung meliputi cahaya
ruangan yang kurang terang, lantai yang licin, tempat berpegangan yang tidak kuat, tidak
stabil, atau tergeletak di bawah, tempat tidur atau WC yang rendah atau jongkok, obat-
obatan yang diminum dan alat-alat bantu berjalan (Darmojo, 2009)
II. 4 Komplikasi
1. Perlukaan (injury)
a. Rusaknya jaringan lunak, robeknya jaringan otot arteri atau vena, yang dirasakan
sangat nyeri.
b. Patah tulang (fraktur)
Pelvis, femur, humerus, lengan bawah, tungkai bawah, atau tulang selangka
c. Hematom Subdural
2. Perawatan rumah sakit
- Akibat imobilisasi, dekubitus, dan lain-lain.
3. Disabilitas akibat dari:
- Penurunan mobilitas karena perlukaan fisik
- penurunan mobilitas akibat jatuh, hilangnya kepercayaan diri, dan pembatasan gerak.
4. Risiko untuk dimasukkan “Nursing Home”
5. Kematian
II. 5 Pencegahan
A. Pencegahan Osteoartritis
1. Pencegahan Primer
Pada prinsipnya upaya pencegahan primer adalah mempertahankan gaya hidup yang
sudah ada dan benar dalam masyarakat serta melakukan modifikasi, penyesuaian
terhadap resiko yang ada atau berlangsung dalam masyarakat. Untuk penyakit
osteoartrhitis, pencegahan primernya antara lain:
a. Promosi kesehatan :
d. Menjaga lingkungan agar tetap sehat dan tehindar dari faktor resiko OA.
2. Pencegahan Sekunder
1) Sinar X
Merupakan gelombang radio dan medan magnet kuat untuk menghasilkan gambar
yang jelas dari tulang dan jaringan lunak, termasuk tulang rawan. Hal ini dapat
membantu untuk mengetahui penyebab pasti rasa sakit pada persendian
3) Tes Darah
Tes darah dapat membantu mengetahui penyebab lain dari sakit persendian,
misalnya rheumatoid arthritis.
Digunakan jarum khusus untuk menyedot cairan dari persendian yang sakit,
kemudian cairan tersebut diperiksakan di laboratorium untuk menentukan apakah
ada peradangan atau disebabkan oleh encok atau infeksi.
b. Menjaga berat badan. Yang merupakan faktor penting agar beban yang ditanggung
oleh sendi menjadi ringan.
c. Melakukan jenis olahraga yang tidak banyak menggunakan persendian atau yang
menyebabkan terjadinya perlukaan sendi. Contohnya berenang dan olahraga yang bisa
dilakukan sambil duduk dan tiduran. Aktivitas olahraga hendaknya disesuaikan
dengan umur. Jangan memaksa untuk melakukan olahraga porsi berat pada usia lanjut.
14
d. Menghindari trauma (perlukaan) pada persendian.
j. Jika ada deformitas pada lutut, misalnya kaki berbentuk O, jangan dibiarkan. Hal
tersebut akan menyebabkan tekanan yang tidak merata pada semua permukaan tulang.
3. Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier dilakukan dengan cara rehabilitasi terhadap penderita agar tidak
mengalami kekambuhan atau sakit lagi, cara rehabilitasi untuk penyakit osteoatritis ini
antara lain :
1. Pencegahan Primer
Pencegahan primer dapat dilakukan pada kelompok yang memiliki factor resiko
mengalami diabetes mellitus dengan cara penyuluhan-penyuluhan factor resiko yang
dapat menyebabkan diabetes mellitus serta hal-hal yang harus dilakukan dan dihindari
agar terhindar dari penyakit diabetes mellitus (Ulfa, 2015). Kejadian diabetes mellitus
dapat dicegah, salah satunya adalah dengan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang
faktor resiko yang dapat menyebabkan diabetes mellitus (Fatimah, 2015). Menurut
Trisnawati dan Setyorogo (2013) factor resiko yang dapat menyebabkan diabetes mellitus
adalah umur, riwayat diabetes mellitus, aktifitas fisik, Indeks Massa Tubuh, tekanan
darah, stress dan kadar kolesterol.
Pencegahan ini merupakan suatu upaya yang ditujukan pada kelompok risiko
tinggi. Mereka yang belum menderita DM, tetapi berpotensi untuk menderita penyakit
15
ini, yaitu mereka yang tergolong kelompok usia dewasa (di atas 45 tahun), kegemukan,
tekanan darah tinggi (lebih dari 140/90 mmhg), riwayat keluarga DM, dan lain-lain.
Upaya yang perlu dilakukan pada tahap ini adalah menghilangkan faktor-faktor tersebut.
2. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder dilakukan pada pasien yang baru terdiagnosa diabetes
mellitus dengan cara penyuluhan atau pendidikan kesehatan untuk mendeteksi secara dini
komplikasi yang terjadi pada penderita diabetes mellitus (Ulfa, 2015). Toharin, Cahyati
& Zainafree (2015) menyatakan bahwa pengendalian diabetes mellitus dapat dilakukan
dengan memodifikasi gaya hidup yang tidak sehat menjadi sehat seperti berhenti
merokok, latihan jasmani atau olahraga, pengaturan makanan atau diet makanan serta
patuh mengkonsumsi obat.
Pencegahan ini berupaya mencegah atau menghambat timbulnya penyulit dengan
tindakan deteksi dini dan dilakukan sejak awal penyakit. Tindakan ini berarti mengelola
DM dengan baik agar tidak timbul penyakit lanjut. Penyuluhan mengenai DM dan
pengelolaannya memegang peran yang penting untuk meningkatkan kepatuhan berobat.
3. Pencegahan Tersier
Hasdianah (2012) menyatakan bahwa pencegahan tersier diabetes mellitus
merupakan upaya yang dilakukan untuk mencegah komplikasi lebih cepat akibat diabetes
mellitus meliputi cara perawatan komplikasi lebih lanjut dan upaya rehabilitasi untuk
mempertahankan kualitas hidup yang optimal pada penderita diabetes mellitus.
Perawatan yang menyeluruh dan kolaborasi antar tenaga kesehatan sangat diperlukan
dalam pencegahan tersier, halinikarenakomplikasi yang disebabkan oleh diabetes mellitus
sangat kompleks (Ulfa, 2015).
Kalau penyakit menahun DM ternyata terjadi juga maka pengelolaan harus
berusaha mencegah terjadinya kecacatan lebih lanjut dan merehabilitasi pasien sedini
mungkin sebelum kecacatan tersebut menetap. Contohnya, aspirin dosis rendah (80-325
mg) dapat dianjurkan diberikan secara rutin bagi pasien DM yang sudah mempunyai
penyakit mikroangiopati.
C. Pencegahan Osteoporosis
16
1. Pencegahan Primer
Pencegahan ini merupakan suatu upaya yang ditujukan pada kelompok risiko tinggi.
Pencegahan primer merupakan upaya terbaik serta dirasa paling murah dan mudah.
Yang termasuk ke dalam pencegahan primer adalah:
a. Kalsium
Mengkonsumsi kalsium cukup baik dari makanan sehari-hari ataupun dari
tambahan kalsium, pada umumnya aman kecuali pada pasien dengan hiperkalsemia
atau nefrolitiasis. Jenis makanan yang cukup mengandung kalsium adalah sayuran
hijau dan jeruk sitrun. Sedangkan diet tinggi protein hewani dapat menyebabkan
kehilangan kalsium bersama urin. Dalam suatu penelitian dikatakan bahwa
perempuan yang melakukan diet vegetarian lebih dari 20 tahun mengalami
kehilangan mineral tulang lebih rendah yaitu sebesar 18% dibandingkan perempuan
non vegetarian sebesar 35%.
b. Latihan Fisik (Exercise)
Latihan fisik harus mempunyai unsur pembebanan pada anggota tubuh/ gerak dan
penekanan pada aksis tulang seperti jalan, joging, aerobik atau jalan naik turun
bukit. Olahraga renang tidak memberikan manfaat yang cukup berarti. Sedangkan
jika latihan berlebihan yang mengganggu menstruasi (menjadi amenorrhea) sangat
tidak dianjurkan karena akan mengakibatkan terjadinya peningkatan kehilangan
massa tulang. Demikian pula pada laki-laki dengan latihan fisik berat dan berat
dapat terjadi kehilangan massa tulang. Hindari faktor yang dapat menurunkan
absorpsi kalsium, meningkatkan resorpsi tulang, atau mengganggu pembentukan
tulang, seperti merokok, minum alkohol dan mengkonsumsi obat yang berkaitan
dengan terjadinya osteoporosis. Kondisi yang diduga akan menimbulkan
osteoporosis sekunder, harus diantisipasi sejak awal.
2. Pencegahan Sekunder
Pencegahan ini berupaya mencegah atau menghambat timbulnya penyulit dengan
tindakan deteksi dini dan dilakukan sejak awal penyakit.
a. Konsumsi Kalsium Tambahan
Konsumsi kalsium dilanjutkan pada periode menopause, 1200-1500 mg per hari,
untuk mencegah negative calcium balance. Pemberian kalsium tanpa penambahan
estrogen dikatakan kurang efektif untuk mencegah kehilangan massa tulang pada
awal periode menopause. Penurunan massa tulang terlihat jelas pada perempuan
menopause yang asupan kalsiumnya kurang dari 400 mg per hari. Hasil penelitian
17
menunjukkan bahwa pemberian kalsium bersama dengan estrogen dapat
menurunkan dosis estrogen yang diperlukan sampai dengan 50%<2).
b. Estrogen Replacement Therapy (ERT)
Semua perempuan pada saat menopause mempunyai resiko osteoporosis. Karena
itu dianjurkan pemakaian ERT pada mereka yang tidak ada kontraindikasi. ERT
menurunkan resiko fraktur sampai dengan 50% pada panggul, tulang radius dan
vertebra.
c. Latihan fisik (Exercise)
Latihan fisik bagi penderita osteoporosis bersifat spesifik dan individual.
Prinsipnya tetap sama dengan latihan beban dan tarikan pada aksis tulang. Perlu
diperhatikan berat ringannya osteoporosis yang terjadi karena hal ini berhubungan
dengan dosis dan cara gerakanyang bersifat spesifik tersebut. Latihan tidak dapat
dilakukan secara masal karena perlu mendapat supervisi dari tenaga medis/
paramedis terlatih individu per individu.
d. Pemberian Kalsitonin
Kalsitonin bekerja menghambat resorpsi tulang dan dapat meningkatkan massa
tulang apabila digunakan selama 2 tahun. Nyeri tulang juga akan berkurang karena
adanya efek peningkatan stimulasi endorfin. Pemakaian kalsitonin diindikasikan
bagi pasien yang tidak dapat menggunakan ERT, pasien pasca menopause lebih dari
15tahun, pasien dengan nyeri akibat fraktur osteoporosis, dan bagi pasienyang
mendapat terapi kortikosteroid dalam waktu lama.
e. Terapi
Terapi yang juga diberikan adalah vitamin D dan tiazid, tergantung kepada
kebutuhan pasien. Vitamin D membantu tubuh menyerap dan memanfaatkan
kalsium. Dua puluh lima hidroksi vitamin D dianjurkan diminum setiap hari bagi
pasien yang menggunakan suplemen kalsium.
3. Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier adalah upaya untuk mencegah terjadinya kecacatan lebih
lanjut dan merehabilitasi pasien sedini mungkin sebelum kecacatan tersebut menetap.
Setelah pasien mengalami fraktur osteoporosis,pasien jangan dibiarkan
mobilisasi terlalu lama. Sejak awal perawatan disusun rencana mobilisasi mulai dari
mobilisasi pasif sampai dengan aktif dan berfungsi mandiri. Beberapa obat yang
mempunyai manfaat adalah bisfosfonat, kalsitonin, dan NSAID bila ada nyeri. Dari
sudut rehabilitasi medik, pemakaian ortose spinal/ korset dan program fisioterapi/
okupasi terapi akan mengembalikan kemandirian pasien secara optimal.
18
II. 6 Terapi Modalitas
A. Terapi Osteoarthritis
Penanganan non-farmakologi pada osteoarthritis (OA) terdiri dari:
1. Olahraga: jenis olahraga yang dianjurkan adalah olahraga yang tidak member beban
terhadap sendi, seperti olahraga akuatik, jalan cepat, tai chi, dan aerobik
2. Penurunan berat badan: dilakukan pada pasien OA simtomatik dan pasien dengan IMT
> 25 kg/m2, dengan target IMT 18,5 – 25 kg/m2
3. Diet rendah kalori
4. Fisioterapi: dapat dilakukan untuk memperkuat otot dan memperluas ROM
5. Penggunaan alat bantu gerak
6. Elektro terapi: belum dapat dipastikan dalam beberapa pedoman terapi internasional
7. Akupuntur: tidak dianjurkan dalam beberapa pedoman terapi, tetapi dapat
dipertimbangkan pada OA lutut.
• Karbohidrat : 60-70%
• Protein : 10-15%
• Lemak : 20-25%
Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stress akut,
dan kegiatan fisik, yang pada dasarnya ditujukan untuk mencapai dan
mempertahankan berat badan ideal (DEPKES RI, 2005).
2. Olahraga
Berolahraga secara teratur dapat menurunkan dan menjaga kadar gula darah tetap
19
normal. Prinsipnya, tidak perluolah raga berat, olah raga ringan asal dilakukan secara
teratur akan sangatbagus pengaruhnyabagikesehatan. Disarankanolah raga yang
bersifat CRIPE (Continuous, Rhytmical, Interval,Progressive, Endurance Training).
Sedapat mungkin mencapai zona sasaran 75-85% denyut nadi maksimal (220-umur),
disesuaikan dengan kemampuan dan kondisi penderita. Beberapa contoh olah raga
yang disarankan, antara lain jalan atau lari pagi, bersepeda, berenang, dan lain
sebagainya. Olahraga aerobic ini paling tidak dilakukan selama total 30-40 menit per
hari didahului dengan pemanasan 5-10 menit dan diakhiri pendinginan antara 5-10
menit. Olah raga akan memperbanyak jumlah dan meningkatkan aktivitas reseptor
insulin dalam tubuh dan juga meningkatkan penggunaan glukosa (DEPKES RI, 2005).
Selain itu, latihan aerobic dapat meningkatkan sensitivitas insulin dan control
glikemik dan dapat mengurangi factor risiko kardiovaskular, membantu untuk
penurunan berat badan atau pemeliharaan, dan meningkatkan kesehatan (DiPiro,
2015).
3. Berhenti Merokok
Kandungan nikotin dalam rokok dapat mengurangi penyerapan glukosa oleh sel
(Tjay&Raharja, 2007). Dari penelitian yang dilakukan terhadap subyek uji pasien
lansia bahwa merokok 2 batang dalam sehari dapat menyebabkan resiko nefropati dan
menghambat absorbsi insulin (Lee, 2009).
Ii. 7 Penatalaksanaan
1. Pencegahan primer
Pencegahan primer merupakan proses yang berlangsung sepanjang kehidupan dan
episodik. Sebagai suatu proses yang berlangsung sepanjang kehidupan, moblilitas dan
aktivitas tergantung pada fungsi system muskuloskeletal, kardiovaskuler, pulmonal.
Sebagai suatu proses episodic pencegahan primer diarahkan pada pencegahan masalah-
masalah yang dapat timbul akibat imoblitas atau ketidakaktifan.
a. Hambatan terhadap latihan
Berbagai hambatan mempengaruhi partisipasi lansia dalam latihan secara teratur.
Bahaya-bahaya interpersonal termasuk isolasi sosial yang terjadi ketika teman-teman
dan keluarga telah meninggal, perilaku gaya hidup tertentu (misalnya merokok dan
kebiasaan diet yang buruk) depresi gangguan tidur, kurangnya transportasi dan
kurangnya dukungan. Hambatan lingkungan termasuk kurangnya tempat yang aman
untuk latihan dan kondisi iklim yang tidak mendukung.
b. Pengembangan program latihan
20
Program latihan yang sukses sangat individual, diseimbangkan, dan mengalami
peningkatan. Program tersebut disusun untuk memberikan kesempatan pada klien
untuk mengembangkan suatu kebiasaan yang teratur dalam melakukan bentuk aktif
dari rekreasi santai yang dapat memberikan efek latihan. Ketika klien telah memiliki
evaluasi fisik secara seksama, pengkajian tentang faktor-faktor pengganggu berikut ini
akan membantu untuk memastikan keterikatan dan meningkatkan pengalaman:
Aktivitas saat ini dan respon fisiologis denyut nadi sebelum, selama dan setelah
aktivitas diberikan)
Kecenderungan alami (predisposisi atau peningkatan ke arah latihan khusus)
Kesulitan yang dirasakan
Tujuan dan pentingnya latihan yang dirasakan
Efisiensi latihan untuk diri sendiri (derajat keyakinan bahwa seseorang akan
berhasil)
c. Keamanan
Ketika program latihan spesifik telah diformulasikan dan diterima oleh klien, instruksi
tentang latihan yang aman harus dilakukan. Mengajarkan klien untuk mengenali
tanda-tanda intoleransi atau latihan yang terlalu keras sama pentingnya dengan
memilih aktivitas yang tepat.
2. Pencegahan Sekunder
Spiral menurun yang terjadi akibat aksaserbasi akut dari imobilitas dapat dikurangi atau
dicegah dengan intervensi keperawatan. Keberhasilan intervensi berasal dari suatu
pengertian tentang berbagai faktor yang menyebabkan atau turut berperan terhadap
imobilitas dan penuaan. Pencegahan sekunder memfokuskan pada pemeliharaan fungsi
dan pencegahan komplikasi. Diagnosis keperawatan dihubungkan dengan pencegahan
sekunder adalah gangguan mobilitas fisik.
3. Pencegahan Tersier
Upaya-upaya rehabilitasi untuk memaksimalkan mobilitas bagi lansia melibatkan upaya
multidisiplin yang terdiri dari perawat, dokter, ahli fisioterapi, dan terapi okupasi,
seorang ahli gizi, aktivitas sosial, dan keluarga serta teman-teman.
1. Defnisi
21
Mobilisasi merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak bebas, mudah,
teratur, mempunyai tujuan memenuhi kebutuhan hidup aktivitasnya guna
mempertahankan kesehatannya (Hidayat, 2006).
a. Rentang gerak
Rentang gerak merupakan jumlah maksimum gerakan yang mungkin dilakukan
sendi pada salah satu dari tiga potongan tubuh: sagital, frontal, dan tranversal.
Potongan sagital adalah garis yang melewati tubuh dari depan kebelakang,
membagi tubuh menjadi bagian kiri dan kanan. Potongan prontal melewati tubuh
dari sisi ke sisi dan membagi tubuh menjadi bagian depan dan belakang. Potongan
trasversal adalah garis horizontal yang membagi tubuh menjadi bagian atas dan
bawah.
b. Gaya berjalan
Istilah gaya berjalan digunakan untuk menggambarkan cara utama atau gaya ketika
berjalan (Fish & Nielsen, 1993). Dengan mengkaji gaya berjalan klien
memungkinkan perawat untuk membuat kesimpulan tentang keseimbangan, postur,
keamanan, dan kemampuan berjalan tanpa bantuan. Mekanika gaya berjalan
manusia mengikuti kesesuaian system skeletal, syaraf dan otot tubuh manusia (Fish
& Nielsen, 1993)
e. Berdiri
Hal-hal yang harus dikaji berfakus pada kesejajaran tubuh klien yang berdiri antara
lain:
1) Kepala tegak, leher dan tulang belakang berada dalam kesejajaran yang lurus.
2) Berat badan terbagi rata pada bokong dan paha
3) Paha sejajar dan berada pada potongan horizontal
4) Kedua kaki ditopang dilantai.
5) Jarak 2-4 cm dipertahankan antara sudut tempat duduk dan ruang popliteal pada
permukaan lutut bagian posterior.
6) Lengan bawah klien ditopang pada pegangan tangan, dipangkuan, atau diatas
meja depan kursi.
g. Berbaring
Pada orang sadar mempunyai kontrol otot volunter dan persepsi normal terhadap
tekan. Pengkajian kesejajaran tubuh ketika berbaring membutuhkan posisi lateral
pada klein dengan menggunakan satu bantal dan semua penompagnya diangkat dari
tempat tidur.
23
3. Anatomi dan Fisiologi
Apabila ada perubahan mobilisasi, maka setiap sistem tubuh beresiko terjadi
gangguan. Tingkat keparahan dari gangguan tersebut tergantung pada umur klien, dan
kondisi kesehatan secara keseluruhan, serta tingkat imobilisasi yang di alami.
Misalnya, perkembangan pengaruh imobilisasi lansia berpenyakit kronik lebih cepat
dibandingkan klien lebih muda (Perry dan Potter, 1994).
a. Perubahan Metabolik
Perubahan metabolik, sistem endokrin, merupakan produksi hormone-sekresi
kelenjar, membantu mempertahankan dan mengatur fungsi vital seperti: respon
terhadap stress dan cidera, pertumbuhan dan perkembangan, reproduksi,
homeostatis ion, dan metabolism energi. Ketika cedera atau stress terjadi, sistem
endokrin memicu serangkain respon yang bertujuan mempertahankan tekanan
darah dan memelihara hidup. Sistem endokrin berperan dalam pengaturan
lingkungan internal dengan memprtahankan keseimbangan nutrium, kalium, air dan
keseimbangan asam-basa. Sehingga, sistem endokrin bekerja sebagai pengatur
metabolisme energi. Hormon tiroid meningkatkan laju metabolik basal (basal
metabolic rate, BMR), dan energi dibuat sehingga dapat dipakai sel-sel melalui
integritas kerja antara hormone gastrointestinal dan pancreas (Price dan Wilson,
1992).
24
d. Perubahan Sistem Integument
Dekubitus terjadi akibat dan anoreksia jaringan. Jaringan yang tertekan, darah
membengkok, dan konstriksi kuat pada pembuluh darah akibat tekanan persisten
pada kulit dan struktur di bawah kulit, sehingga resoirasi selular terganggu, dan sel
menjadi mati (ebersole dan Hess, 1994).
Dekubitus adalah salah satu penyakit iatrogenic paling umum dalam perawatan
kesehatan dimana berpengaruh terhadap populasi klien khusus-lansia dan yang
imobilisasi (Alterescu, 1992).
b. Pengaruh Skelet
Imobilisasi menyebabkan dua perubahan terhadap skelet: gangguan metabolism
kalsium dank kelainan sendi. Karena imobilisasi berakibat pada resorpsi tulang,
25
sehingga jaringan tulang menjadi kurang padat, dan terjadi osteoporosis (Holm,
1989)
c. Gaya Hidup
Perubahan gaya hidup dapat mempengaruhi kemampuan mobilitas sseorang karena
gaya hidup berdampak pada prilaku atau kebiasaan sehari-hari (Hidayat, 2006).
d. Prosses penyakit/cedera
Proses penyakit dapat mempengaruhi kemampuan mobilitas karena dapat
mempengaruhi fungsi sistem tubuh (Hidayat, 2006).
e. Kebudayaan
Kemampuan melakukan mobilitas dapat juga di pengaruhi kebudayaan. Misalnya
orang yang memiliki budaya sering berjalan jauh memiliki kemampuan mobilitas
yang kuat (Hidayat, 2006).
f. Tingkat Energi
Energi adalah sumber untuk melakukan mobilitas. Agar seseorang dapat melakukan
mobilitas dengan baik, dibutuhkan energi yang cukup.
g. Usia dan Status Perkembangan (Hidayat, 2006).
Terdapat perbedaan kemampuan mobilitas pada tingkat usia yang berbeda. Hal ini
di kkarenakan kemampuan atau kematangan fungsi alat gerak sejalan dengan
perkembangan usia (Hidayat, 2006).
a. Berdasarkan hasil pengkajian praktek keperawatan di Ruang rawat RA4 kamar III2,
RSUP H. Adam Malik Medan, masalah keperawatan yang di dapat,
ketidaknyamanan nyeri dan yang menjadi prioritas masalah adalah gangguan
mobilisasi. Maka penulis perlu membahas masalah gangguan mobilisasi. adalah
atrofi. Atrofi adalah suatu keadaan yang dipandang Pengkajian
Menurut (Hidayat, 2006) pengkajian yang dilakukan pada gangguan mobilisasi
adalah:
4) Kemampuan Mobilitas
Pengkajian kemampuan mobilitas dilakukan dengan tujuan untuk menilai
kemampuan gerak posisi miring, duduk, berdiri, bangun, dan berpindah tanpa
bantuan.
7) Perubahan Psikologis
Pengkajian perubahan psikologis yang disebabkan oleh adanya gangguan
mobilitas dan imobilitas, antara lain perilaku, peningkatan emosi, perubhan
dalam mekanisme koping, dan lain-lain.
b. Analisa Data
Klien tampak berbaring ditempat tidur, klien tidak dapat menggerakkan tangan
kanan dan tungkai kanannya karena lemah tidak dapat di gerakkan akibat dri
penyakit yang di deritanya (Hidayat, 2006).
c. Perencanaan
Perawat membuat perencanaan intervensi terapeutik terhadap klien yang
bermasalah kesejajaran tubuh dan mobilisasi yang aktual maupun beresiko.
Perawat merencanakan terapi sesuia dengan derajat risiko klien dan perencanaan
bersifat individu disesuaikan perkembangan klien, tingkat kesehatan dan gaya
hidup (Hidayat, 2006).
27
neuromuskuler yang ditandai dengan tangan kanan dan kaki kanan pasien
lemah.
kemampuannya.
Meningkat.
Menurut (Hidayat, 2006) intervensi dan rasional dari penkajian diatas adalah :
No Intervensi Rasional
1 − Kaji Kemampuan secara − Mengidentifikasi atrofi otot,
fungsional. meningkatkan sirkulasi,
mencegah kontraktur.
− Menurunkan resiko terjadinya
iskemia jaringan.
− Ubah posisi minimal setiap 2 − Meminimalkan atrofi otot,
jam. meningkatkan sirkulasi,
− Ajarkan Pasien latihan membantu mencegah
rentang gerak aktif dan pasif, kontraktur.
libatkan Keluarga dalam − Hal ini mendukung frekuensi
melakukan tindakan. latihan pada sendi yang terkena
− Buat jadwal latihan aktif dan mengurangi resiko
diantara waktu makan dan perkembangan kontraktur.
mandi. − Peningkatan kemampuan dalam
− Kolaborasi dengan ahli mobilsasi ekstremitas dapat
fisioterapi untuk latihan fisik ditingkatkan dengan latihan fisik
pasien. dari tim fisioterapi.
d. Evaluasi Keperawatan
28
Menurut (Hidayat, 2006) evaluasi yang diharapkan dari hasil tindakan
keperawatan untuk mengatasi gangguan mobilitas adalah sebagai berikut:
Definisi Keamanan
Keamanan adalah keadaan aman dan tenteram (Tarwoto dan Wartonah, 2010).
Keamanan tidak hanya mencegah rasa sakit atau cedera tapi keamanan juga dapat membuat
individu aman dalam aktifitasnya, mengurangi stres dan meningkatkan kesehatan umum.
Keamanan fisik (biologic safety) merupakan keadaan fisik yang aman terbebas dari ancaman
kecelakaan dan cedera (injury) baik secara mekanis, thermis, elektris maupun bakteriologis.
Kebutuhan keamanan fisik merupakan kebutuhan untuk melindungi diri dari bahaya yang
mengancam kesehatan fisik, yang pada pembahasan ini akan difokuskan pada providing for
safety atau memberikan lingkungan yang aman (Fatmawati, 2009).
Karakteristik Keamanan
2. Pervasiveness (insidensi)
Keamanan bersifat pervasive artinya luas mempengaruhi semua hal. Artinya klien
membutuhkan keamanan pada seluruh aktifitasnya seperti makan, bernafas, tidur, kerja,
dan bermain.
29
3. Perception (persepsi)
Persepsi seseorang tentang keamanan dan bahaya mempengaruhi aplikasi keamanan
dalam aktifitas sehari-harinya. Tindakan penjagaan keamanan dapat efektif jika
individu mengerti dan menerima bahaya secara akurat.
4. Management (pengaturan)
Ketika individu mengenali bahaya pada lingkungan klien akan melakukan tindakan
pencegahan agar bahaya tidak terjadi dan itulah praktek keamanan. Pencegahan
adalah karakteristik mayor dari keamanan (Fatmawati, 2009).
Klasifikasi Keamanan
Keamanan fisik
Mempertahankan keamanan fisik melibatkan keadaan mengurangi atau mencegah
ancaman pada tubuh atau kehidupan. Ancaman tersebut mungkin penyakit, kecelakaan,
bahaya, pada lingkungan. Pada saat sakit seorang klien mungkin rentan terhadap
komplikasi seperti infeksi, oleh karena itu bergantung pada profesional dalam sistem
pelayan kesehatan untuk perlindungan. Memenuhi kebutuhan keselamatan fisik kadang
mengambil prioritas lebih dahulu di atas pemenuhan kebutuhan fisiologis. Misalnya,
seorang perawat mungkin perlu melindungi klien dari kemungkinan jatuh dari tempat
tidur sebelum memberikan perawatan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi (Potter dan
Perry, 2005).
Keamanan psikologis
Untuk selamat dan aman secara psikologi, seorang manusia harus memahami apa yang
diharapkan dari orang lain, termasuk anggota keluarga dan profesional pemberi
perawatan kesehatan. Seseorang harus mengetahui apa yang diharapkan dari prosedur,
pengalaman yang baru, dan hal-hal yang dijumpai dalam lingkungan. Setiap orang
merasakan beberapa ancaman keselamatan psikologis pada pengalaman yang baru dan
yang tidak dikenal (Potter dan Perry, 2005). Orang dewasa yang sehat secara umum
mampu memenuhi kebutuhan keselamatan fisik dan psikologis merekat tanpa bantuan
dari profesional pemberi perawatan kesehatan. Bagaimanapun, orang yang sakit atau
cacat lebih rentan terancam kesejahteraan fisik dan emosinya, sehingga intervensi yang
dilakukan perawat adalah untuk membantu melindungi mereka dari bahaya (Potter dan
Perry, 2005).
1) Usia
Pada usia anak-anak tidak terkontrol dan tidak mengetahui akibat dari apa yang
dilakukan. Pada orang tua/lansia akan mudah sekali jatuh atau rapuh tulang.
2) Tingkat kesadaran
Pada pasien koma, menurunnya respon terhadap rangsang, paralisis, disorientasi dan
kurang tidur.
3) Emosi
Emosi seperti kecemasan, deperesi, dan marah akan mudah sekali terjadi dan
berpengaruh terhadap masalah keselamtan dan keamanan.
4) Status mobilitas
Keterbatasan aktivitas, pararlisis, kelemahan otot, dan kesadaran menurun
memudahkan terjadinya resiko injuri/gangguan integritas kulit.
6) Informasi/komunikasi
Gangguan komunikasi seperti aphasia atau tidak dapat membaca dapat menimbulkan
kecelakaan.
8) Keadaan imunitas
Gangguan imunitas akan menimbulkan daya tahan tubuh yang kurang sehingga mudah
terserang penyakit.
Beberapa bahaya yang sering mengancam klien baik yang berada di tempat pelayanan
kesehatan, rumah, maupun komunitas diantaranya:
1. Api /kebakaran
Api adalah bahaya umum baik di rumah maupun rumah sakit. Penyebab kebakaran
yang paling sering adalah rokok dan hubungan pendek arus listrik. Kebakaran dapat
terjadi jika terdapat tiga elemen sebagai berikut: panas yang cukup, bahanbahan yang
mudah terbakar, dan oksigen yang cukup.
Scald adalah luka bakar yang diakibatkan oleh cairan atau uap panas, seperti uap air
panas. Burn adalah luka bakar diakibatkan terpapar oleh panas tinggi, bahan kimia,
listrik, atau agen radioaktif. Klien dirumah sakit yang berisiko terhadap luka bakar
adalah klien yang mengalami penurunan sensasi suhu dipermukaan kulit.
3. Jatuh.
Terjatuh bisa terjadi pada siapa saja terutama bayi dan lansia. Jatuh dapat terjadi
akibat lantai licin dan berair, alat-alat yang berantakkan, lingkungan dengan
pencahayaan yang kurang.
4. Keracunan.
Racun adalah semua zat yang dapat mencederai atau membunuh melalui aktivitas
kimianya jika dihisap, disuntikkan, digunakan, atau diserap dalam jumlah yang
cukup sedikit. Penyebab utama keracunan pada anak-anak adalah penyimpanan
bahan berbahaya atau beracun yang sembarangan, pada remaja adalah gigitan
serangga dan ular atau upaya bunuh diri. Pada lansia biasanya akibat salah makan
obat (karena penurunan pengelihatan) atau akibat overdosis obat (karena penurunan
daya ingat).
5. Sengatan listrik
Sengatan listrik dan hubungan arus pendek adalah bahaya yang harus diwaspadai
oleh perawat. Perlengkapan listrik yang tidak baik dapat menyebabkan sengatan
listrik bahkan kebakaran, contoh: percikan listrik didekat gas anestesi atau oksigen
konsentrasi tinggi. Salah satu pencegahannya adalah dengan menggunakan alat
listrik yang grounded yaitu bersifat mentransmisi aliran listrik dari suatu objek
langsung kepermukaan tanah.
6. Suara bising.
7. Radiasi.
Cedera radiasi dapat terjadi akibat terpapar zat radioaktif yang berlebihan atau
pengobatan melalui radiasi yang merusak sel lain. Zat radioaktif digunakan dalam
prosedur diagnoostik seperti radiografi, fluoroscopy, dan pengobatan nuklir. Contoh
isotop yang sering digunakan adalah kalsium, iodine, fosfor.
9. Lain-lain
Kecelakaan bisa juga disebabkan oleh alat-alat medis yang tidak berfungsi dengan
baik (equipment-related accidents) dan kesalahan prosedur yang tidak disengaja
(procedure-related equipment).
5) Menghindari kecelakaan :
b) Tempat tidur dalam keadaan rendah dan ada penghalang pada pasien yang
gelisah.
7) Mencegah kecelakaan pada klien yang menggunakan alat yang mudah meledak
seperti tabung oksigen dan termos.
8) Memasang lebel pada obat, botol, dan obat-obatan yang mudah terbakar.
13) Menyiapkan alat pemadam kebakaran dalam keadaan siap pakai dan mampu
menggunakannya.
Isaack (2014), mengatakan bahwa pengkajian untuk keamanan pasien bisa dilakukan
dengan mengkaji :
1. Riwayat. Tinjau kembali riwayat klien untuk adanya stressor pencetus dan data
yang signifikan.
a. Kerentanan genetik-biologik (riwayat keluarga)
b. Peristiwa hidup yang menimbulkan stres
c. Hasil pemeriksaan status mental
d. Riwayat psikiatrik dan kepatuhan terhadap pengobatan di masa lalu
e. Riwayat pengobatan
f. Penggunaan obat dan alkohol
g. Riwayat pendidikan dan pekerjaan
2. Kaji klien untuk adanya gejala-gejala karakteristik
a. Apakah anda percaya bahwa anda menderita suatu penyakit?
b. Apakah anda pernah dirawat sebelumnya? Apa yang bermanfaat bagi anda
saat itu?
c. Menurut anda, apa yang menjadi kelebihan anda? Apa yang anda anggap
sebagai kesulitan-kesulitan anda?
d. Apakah anda mendengar suara-suara yang tidak didengar oleh orang lain atau
melihat hal-hal yang tidak dilihat oleh orang lain?
e. Apakah anda percaya bahwa seseorang atau sekelompok orang berencana
untuk menentang atau mencoba menyakiti anda?
f. Obat apa yang anda minum? Apakah anda mengalami masalah dengan obat
anda?
g. Siapa yang anda anggap sebagai orang yang dapat membantu dalam hidup
anda?
h. Apa aktivitas anda sehari-hari?
i. Kegiatan dan acara apa yang anda sukai?
4 Kaji pengetahuan dasar klien dan keluarga. Kaji apakah klien dan keluarganya
mempunyai pengetahuan yang cukup tentang:
a. Gangguan skizofrenia
b. Rekomendasi medikasi dan pengobatan
c. Tanda-tanda kekambuhan
d. Tindakan untuk mengurangi stres
Mobilitas adalah salah satu aspek terpenting dari fungsi fisiologis karena sangat
penting untuk menjaga independensi dan karena konsekuensi serius terjadi ketika
independensi hilang. Untuk orang dewasa yang lebih tua, mobilitas dipengaruhi oleh
perubahan terkait usia sampai batas tertentu, tetapi faktor risiko memainkan peran yang
jauh lebih besar. Karena banyak risiko yang memengaruhi mobilitas, jatuh dan patah
tulang merupakan kejadian yang lazim di usia tua. Orang dewasa yang lebih tua memiliki
tantangan ganda yaitu mempertahankan keterampilan mobilitas dan menghindari jatuh
dan patah tulang. Karena alasan ini, keselamatan merupakan aspek integral dari mobilitas.
Tulang, sendi, dan otot adalah struktur tubuh yang paling erat terkait dengan
mobilitas, tetapi banyak aspek fungsional tambahan yang terlibat dalam mobilitas yang
aman. Fungsi neurologis, misalnya, mempengaruhi semua aspek kinerja muskuloskeletal,
dan fungsi visual memengaruhi kemampuan untuk berinteraksi secara aman dengan
lingkungan. Dalam sistem muskuloskeletal, osteoporosis adalah perubahan terkait usia
yang memiliki dampak keseluruhan paling signifikan, paling banyak dipelajari, dan paling
dapat diterima untuk intervensi yang ditujukan untuk pencegahan dan manajemen.
a. Tulang
Tulang menyediakan kerangka kerja untuk seluruh sistem muskuloskeletal dan
bekerja bersama dengan sistem otot untuk memfasilitasi gerakan. Fungsi tambahan
tulang dalam tubuh manusia termasuk menyimpan kalsium, memproduksi sel darah,
dan mendukung serta melindungi organ dan jaringan tubuh. Tulang terdiri dari
lapisan luar yang keras, yang disebut tulang kortikal atau padat, dan bagian dalam,
jaring-jaring kenyal, disebut tulang trabekuler atau kanselus. Proporsi komponen
kortikal ke trabekuler bervariasi sesuai dengan jenis tulang. Tulang panjang, seperti
jari-jari dan tulang paha, terdiri dari sebanyak 90% sel kortikal, sedangkan tulang
datar dan tulang belakang terutama terdiri dari sel-sel trabekuler. Kedua komponen
tulang kortikal dan trabekuler dipengaruhi oleh perubahan terkait usia, tetapi laju dan
dampak perubahan terkait usia berbeda pada kedua jenis tulang.
Pertumbuhan tulang mencapai kematangan di awal masa dewasa, tetapi
remodeling tulang berlanjut sepanjang hidup seseorang. Perubahan terkait usia
berikut ini memengaruhi proses renovasi pada semua orang dewasa yang lebih tua:
Peningkatan resorpsi tulang (mis., Kerusakan tulang yang diperlukan untuk
remodeling)
Mengurangi penyerapan kalsium
Peningkatan hormon paratiroid serum
Gangguan regulasi aktivitas osteoblas
Gangguan pembentukan tulang sekunder akibat berkurangnya produksi
osteoblastik dari matriks tulang
Lebih sedikit sel sumsum fungsional karena penggantian sumsum dengan sel
lemak
Penurunan estrogen pada wanita dan testosteron pada pria.
b. Otot
Otot rangka, yang dikendalikan oleh neuron motorik, secara langsung
memengaruhi semua aktivitas kehidupan sehari-hari (ADL). Perubahan terkait usia
yang memiliki dampak terbesar pada fungsi otot termasuk
Ukuran dan jumlah serat otot berkurang
Hilangnya neuron motorik
Penggantian jaringan otot dengan jaringan ikat dan, akhirnya, dengan jaringan
lemak
Memburuknya membran sel otot dan keluarnya cairan dan kalium
Penurunan sintesis protein
Efek keseluruhan dari perubahan yang berkaitan dengan usia ini adalah kondisi
yang disebut sarkopenia, yang merupakan kehilangan massa otot, kekuatan, dan daya
tahan.
d. Sistem saraf
Pemeliharaan keseimbangan dalam posisi tegak adalah keterampilan kompleks
yang dipengaruhi oleh perubahan sistem saraf yang berkaitan dengan usia: perubahan
kemampuan visual; penurunan refleks meluruskan; gangguan proprioception,
khususnya pada wanita; dan sensasi getaran yang berkurang dan rasa posisi sendi
pada ekstremitas bawah. Selain itu, perubahan yang berkaitan dengan usia dalam
kontrol postural menyebabkan peningkatan goyangan tubuh, yang merupakan ukuran
gerakan tubuh saat berdiri. Akhirnya, karena perlambatan yang berkaitan dengan
usia, orang dewasa yang lebih tua berjalan lebih lambat dan kurang mampu
merespons secara tepat waktu terhadap rangsangan lingkungan. Para peneliti telah
menemukan bahwa orang dewasa yang lebih tua dapat belajar untuk
mengkompensasi perubahan yang terjadi pada sistem saraf pusat untuk menghindari
jatuh (Doumas, Rapp, & Krampe, 2009).
Orang dewasa yang lebih tua dapat mengkompensasi sebagian perubahan terkait
usia yang memengaruhi fungsi muskuloskeletal melalui intervensi promosi kesehatan,
seperti nutrisi yang baik dan aktivitas fisik. Namun, konsekuensi fungsional dari
osteoporosis cukup serius, seperti juga konsekuensi fungsional yang dihasilkan dari
banyak faktor risiko yang menyebabkan jatuh dan patah tulang pada orang dewasa yang
lebih tua. Seperti halnya banyak aspek fungsi lainnya pada usia dewasa yang lebih tua,
efek kumulatif dan interaksi faktor-faktor risiko daripada perubahan terkait usia paling
signifikan mempengaruhi fungsi dan kualitas hidup.
3. Takut Jatuh
Sejak awal 1980-an, gerontologis telah mengakui suatu sindrom yang
terkait dengan peningkatan kecemasan tentang jatuh. Frase post-fall syndrome
pada awalnya digunakan untuk menggambarkan pola gaya berjalan yang berbeda
yang diadopsi oleh orang tua yang telah jatuh dan dirawat di rumah sakit untuk
cedera pasca-jatuh (Murphy & Isaacs, 1982). Dalam beberapa tahun terakhir, ada
banyak penelitian tentang ketakutan akan jatuh, yang merupakan ketakutan yang
paling umum dilaporkan di antara orang dewasa yang lebih tua dan telah
diidentifikasi sebagai masalah kesehatan masyarakat yang sama pentingnya
dengan jatuh (Kempen, van Haastreg, McKee, Delbaere, & Zijlstra, 2009). Studi
telah menemukan bahwa ketakutan jatuh terkait dengan usia yang lebih tua,
depresi, jatuh sebelumnya, penggunaan alat bantu berjalan, gangguan
keseimbangan, dan keterbatasan dalam ADL (Sharaf & Ibrahim, 2008; Kempen et
al., 2009). Meskipun ketakutan akan jatuh dapat memiliki efek perlindungan
ketika itu menyebabkan orang dewasa yang lebih tua mengambil tindakan
pencegahan, penelitian menunjukkan bahwa kekhawatiran yang berlebihan tentang
jatuh menyebabkan keterbatasan aktivitas dan perubahan dalam gaya berjalan
yang benar-benar menurunkan stabilitas berjalan dan dapat meningkatkan risiko
jatuh (Delbaere, Sturnieks, Crombez, & Lord, 2009). Studi juga menemukan
bahwa ketakutan jatuh menyebabkan depresi, peningkatan kecemasan,
keterbatasan fungsional, dan penurunan kualitas hidup (Boyd & Stevens, 2009;
Iglesias, Manca, & Torgerson, 2009; Schmid et al., 2009).
Pengasuh keluarga dari orang dewasa yang lebih tua juga mungkin sangat
cemas tentang kemungkinan jatuh, dan mereka mungkin mengalami kekhawatiran
berlebihan tentang kemungkinan bahwa orang yang lebih tua mungkin jatuh.
Ketakutan ini dapat menyebabkan keputusan yang membatasi kegiatan orang
dewasa yang lebih tua tidak perlu atau yang mengakibatkan pindah ke pengaturan
yang memberikan tingkat bantuan atau pengawasan yang lebih besar daripada
yang diinginkan orang tua (Fitzgerald, Hadjistavropoulos, & MacNab, 2009).
Meskipun pindah ke lingkungan yang tidak dikenal tidak akan selalu melindungi
orang tersebut dari jatuh dan bahkan mungkin meningkatkan risiko jatuh,
pengasuh yang mendorong atau membuat keputusan seperti itu dapat memperoleh
ketenangan pikiran karena mereka merasa bahwa orang yang lebih tua lebih aman.
Sekarang diketahui secara luas bahwa pengekangan tidak mencegah jatuh dan
cenderung berkontribusi pada cedera serius yang terkait dengan jatuh; namun,
beberapa pengasuh mungkin secara keliru percaya bahwa pengekangan dan
aktivitas terbatas adalah intervensi pencegahan jatuh yang aman dan efektif.
Osteoartritis adalah penyakit inflamasi degeneratif yang menyerang sendi dan otot,
tendon, dan ligamen yang melekat; itu ditandai dengan rasa sakit, bengkak, dan gerakan
terbatas pada sendi. Osteoartritis, penyebab utama kecacatan di Amerika Serikat,
mempengaruhi orang dewasa yang lebih tua secara tidak proporsional. Meskipun tidak
semua orang dewasa yang lebih tua memiliki gejala osteoartritis, kondisi ini sering
dipandang sebagai perkembangan ekstrem dari perubahan terkait usia. Osteoartritis adalah
proses penyakit yang sangat kompleks yang dihasilkan dari interaksi faktor-faktor risiko
seperti trauma, genetika, obesitas, dan perubahan yang berkaitan dengan usia. Karena
perawatan diri merupakan aspek penting dalam pengelolaan osteoartritis, perawat fokus
pada intervensi pendidikan kesehatan. Perawat dapat mengajar orang dengan
osteoarthritis tentang kegiatan berikut untuk pencegahan dan pengobatan:
● Berpartisipasi dalam program latihan berdampak rendah yang diawasi yang berfokus
pada peningkatan kekuatan, keseimbangan, dan ketahanan otot tulang
● Menggunakan alat bantu jalan dan alat bantu lainnya yang sesuai untuk meringankan
sendi yang menahan beban, meningkatkan keseimbangan, atau mencapai fungsi mandiri
Morse Fall Scale (MFS) adalah metode cepat dan sederhana untuk menilai
kemungkinan pasien jatuh. Sebagian besar perawat (82,9%) menilai skala sebagai “cepat
dan mudah digunakan,” dan 54% memperkirakan butuh kurang dari 3 menit untuk
member peringkat pada pasien. Ini terdiri dari enam variabel yang cepat dan mudah untuk
dinilai, dan itu telah terbukti memiliki validitas prediktif dan reliabilitas antar penilai.
MFS digunakan secara luas dalam perawatan akut pengaturan, baik di rumahs akit dan
pengaturan rawat inap perawatan jangka panjang.
Dalam Morse Fall Scale (MFS) terdapat beberapa skala item yang tergantung
dengan jumlah nilai nya. Item dalam skala diberi skor sebagai berikut:
1. Riwayat jatuh: Ini dinilai sebagai 25 jika pasien telah jatuh selama masuk rumah sakit
saat ini atau jika ada riwayat kejatuhan fisiologis langsung, seperti dari kejang atau
gaya berjalan yang terganggu sebelumnya penerimaan. Jika pasien belum jatuh, ini
diberi skor 0.
Catatan: Jika pasien jatuh untuk pertama kali, maka pasiennya atau skornya segera
meningkat sebesar 25.
2. Diagnosis sekunder: Ini dinilai sebagai 15 jika lebih dari satu diagnosis medister daftar
pada pasien grafik; jika tidak, skor 0.
3. Alat bantu ambulans: Ini diberi nilai 0 jika pasien berjalan tanpa alat bantu jalan
(walaupun dibantu oleh perawat), menggunakan kursi roda, atau sedang istirahat dan
tidak bangun sama sekali.
Catatan : Jika pasien menggunakan kruk, tongkat, atau alat bantu jalan, item ini skor
15; jika pasien berniat mencengkeram furniture mendukung, skor item ini 30.
4. Terapi intravena: Ini dinilai sebagai 20 jika pasien memiliki alat intravena atau kunci
heparin dimasukkan; jika tidak, skor 0.
5. Kiprah: Kiprah normal ditandai oleh pasien berjalan dengan kepala tegak, lengan
berayun bebas di samping, dan melangkah tanpa ragu-ragu. Kiprah ini skor 0. Dengan
kiprah yang lemah (skor 10), pasien adalah bungkuk tetapi mampu mengangkat kepala
sambil berjalan tanpa kehilangan keseimbangan. Langkahnya pendek dan pasien dapat
mengocok. Dengan gaya berjalan yang terganggu (skor 20), pasien mungkin
mengalami kesulitan bangkit dari kursi, berusaha bangkit dengan mendorong lengan
kursi / atau dengan memantul (mis., dengan menggunakan beberapa upaya untuk naik).
Kepala pasien tiarap, dan ia mengawasi tanah. Karena keseimbangan pasien adalah
miskin, pasien menggenggam furnitur, orang yang mendukung, atau bantuan berjalan
untuk dukungan dan tidak bisa berjalan tanpa bantuan ini.
6. Status mental: Saat menggunakan Skala ini, status mental diukur dengan memeriksa
sendiri pasien penilaian kemampuannya sendiri untuk ambulasi. Tanyakan pasien,
"Apakah Anda bisa pergi ke kamar mandi sendirian atau apakah Anda memerlukan
bantuan? "Jika pasien menjawab menilai kemampuannya sendiri konsisten dengan
perintah rawat jalan di Kardex, pasien dinilai "normal" dan diberi nilai 0. Jika respons
pasien tidak konsisten dengan perintah keperawatan atau jika respons pasien tidak
realistis, maka pasien dianggap melebih-lebihkan kemampuannya sendiri dan lupa
akan keterbatasan serta mencetak 15.
7. Penilaian dan Tingkat Risiko: Skor tersebut kemudian dihitung dan dicatat pada grafik
pasien. Tingkat risiko dan tindakan yang disarankan (mis. tidak ada intervensi yang
diperlukan, intervensi pencegahan jatuh standar, risiko tinggi intervensi pencegahan)
kemudian diidentifikasi.
Catatan Penting: Skala Kejatuhan Morse harus dikalibrasi untuk setiap pengaturan
atau unit perawatan kesehatan tertentu sehingga strategi pencegahan jatuh ditargetkan
untuk mereka yang paling berisiko. Dengan kata lain, skor pengurangan risiko
mungkin berbeda tergantung pada apakah Anda menggunakannya di rumah sakit
perawatan akut, panti jompo atau rehabilitasi fasilitas. Selain itu, skala dapat diatur
secara berbeda antara unit tertentu dalam fasilitas yang diberikan.
NamaLansia :
Umur :
Tanggal :
6. Status Mental
- Lansia menyadari kondisi dirinya 0
- Lansia mengalami keterbatasan daya ingat 15
Total Nilai
Pemeriksa
( )
Keterangan:
Teori pakai dan usang (wear and Tear Theory) menjelaskan bahwa penuaan terjadi
perubahan kumulatif yang terjadi pada sel manusia dan merusak system metabolism
seluler.
Pengaplikasian dalam kasus: Seorang lansia laki-laki berusia 68 tahun tinggal di
wisma anggrek sudah mengidap penyakit Diabetes Melitus (DM) dan Osteoarthritis
sejak 2 tahun lalu.
3. Teori Genetik
Teori genetic mengidentifikasi lokasi masing-masing gen manusia dan
mempengaruhi penyakit yang terkait usia.
Pengaplikasian dalam kasus: Lansia yang terkena diabetes mellitus dapat
menurunkan penyakit tersebut terhadap keturunannya.
B. Teori Sosiokultural
1. Teori Pelepasan
2. Teori Aktivitas
Teori aktivitas menjelaskan bahwa lansia mampu melakukan sebuah aktifitas ringan
sampai sedang meskipun terdapat batasan dalam melakukan kegiatan.
Pengaplikasian dalam kasus: lansia sering berjalan mondar-mandir tanpa arah,
sering melihat ruangan lansia lainnya tanpa tujuan yang jelas, terkadang lansia
mengikuti PJ wisma ke mana pun dia pergi.
C. Teori Psikologis
1. Teori Kebutuhan Manusia
Human needs theory merupakan teori yang menjelaskan setiap individu memiliki
hirarki dari dalam diri mulai dari kebutuhan fisiologi sehingga aktualisasi diri.
Pengaplikasian dalam kasus: lansia tidak dapat memenuhi ADLnya sendiri seperti
memotong kuku dan rambut serta mandi.
Kasus
Seorang lansia laki-laki (68 tahun) tinggal di Wisma Anggrek tanpa ditemani oleh
social worker/care giver. Lansia menderita osteoarthritis sejak 2 tahun yang lalu ,
menderita DM dan osteoporosis. Lansia berjalan menggunakan alat bantu crutches, lansia
pernah jatuh di kamar mandi 2 bulan yang lalu. Kamar mandi tidak ada pegangan/rail di
dekat closet dan tidak terpasang karpet antislip, hasil pengkajian Morse Fall Scale : 65.
Penanggung jawab wisma mengatakan lansia sering berjalan mondar-mandir tanpa arah,
sering melihat ruangan lansia lainnya tanpa tujuan yang jelas, terkadang lansia mengikuti
PJ wisma kemanapun dia pergi. Terkadang lansia ditemukan di luar pintu panti dan tidak
tau arah kembali ke wisma.
Data Tambahan
Lansia mengatakan lututnya sakit sampai sekarang semenjak jatuh 2 tahun lalu.
Lansia senang mengkonsumsi makanan yang manis. Kaki lansia terlihat tremor ketika
berjalan sehingga lansia rentan terjatuh. Lansia mengeluh sulit melakukan aktivitas fisik
yang berat dan merasa tidak nyaman karena nyeri pada lututnya. Lansia tidak mengetahui
mengenai penyakitnya dan menganggap penyakitnya hanya penyakit biasa karena sudah
tua. Kamar mandi yang sering digunakan lansia terlihat kotor dan licin karena jarang
dibersihkan oleh petugas wisma. Selain itu penerangan di dekar kamar mandi kurang dan
lansia jarang meminta bantuan jika kesulitan saat beraktifitas. sejak sebulan yang lalu
Lansia sudah 2 kali terjatuh saat akan berdiri dari tempat duduk. Saat ini, lansia belum
bisa menggunakan alat bantu dengan benar sehingga kadang hampir terjatuh. Lansia
sering meminta pembicara untuk mengulang pertanyaan, lansia juga sering terlihat
gelisah. Lansia terlihat bingung saat mengobrol dan saat ditanya lansia tidak tahu dimana
saat ini dia berada. Skala nyeri : 4, lansia sering mengeluh sulit tidur karena meraskan
nyeri pada lututnya. Kuku dan rambut terlihat panjang dan badan pasien bau pesing. Di
wisma anggrek hanya terdapat 1 perawat sehingga asuhan keperawatan yang diberikan
tidak efektif. Perawat melakukan pemeriksaan GDS setiap hari dan langsung memberikan
insulin tanpa dijelaskan apa keuntungan dan kerugian dari pemberian insulin tersebut.
Hasil GDS : 300mg/dl. Perawat tidak memberikan pendidikan kesehatan mengenai
pengertian, penyebab, tanda gejala dan pengobatan mengenai DM, osteoarthritis, dan
osteoporosis. Perawat juga mengajarkan cara benar minum obat kepada lansia agar tidak
terjadi kesalahan. Perawat terlihat tidak mau melakukan pemeriksaan fisik terhadap lansia
karena lansia jarang mandi dan bau pesing. Perawat bekerjasama dengan dokter dan
fisioterapis untuk kesembuhan lansia.
Analisa Data
N DATA MASALAH
O
1. DS : Nyeri Kronis
Lansia mengatakan lututnya sakit sampai sekarang semenjak jatuh 2
tahun lalu
Lansia mengeluh sulit melakukan aktivitas fisik yang berat karena
nyeri pada lututnya
Lansia sering mengeluh sulit tidur karena meraskan nyeri pada
lututnya
DO :
Skala nyeri : 4
TTV TD: 130/80 S: 36.7 N : 80x/menit RR : 24x/menit
2. DS : Resiko Jatuh
Lansia mengatakan pernah jatuh di kamar mandi 2 bulan yang lalu
1 bulan yang lalu Lansia mengatakan sudah 2 kali terjatuh saat akan
berdiri dari tempat duduk
DO :
Kamar mandi tidak ada pegangan/rail di dekat closet dan tidak
terpasang karpet antislip
Penerangan di sekitar kamar mandi kurang
Hasil pengkajian Morse Fall Scale : 65
Kamar mandi yang sering digunakan lansia terlihat kotor dan licin
karena jarang dibersihkan
Lansia berjalan menggunakan alat bantu crutches, tetapi belum bisa
menggunakan alat bantu dengan benar sehingga terkadang hampir
terjatuh
lansia jarang meminta bantuan kepada petugas
3. DS: Keluyuran
Penanggung jawab wisma mengatakan lansia sering berjalan mondar-
mandir tanpa arah, sering melihat ruangan lansia lainnya tanpa tujuan
yang jelas, dan terkadang lansia mengikuti PJ wisma kemanapun dia
pergi.
DO:
Terkadang lansia ditemukan di luar pintu panti dan tidak tau arah
kembali ke wisma.
Lansia seringkali terlihat bingung saat diajak berbicara
Saat ditanya lansia tidak tahu dimana saat ini dia berada
Lansia sering meminta pembicara untuk mengulang pertanyaan
Lansia sering terlihat gelisah
3. DS : Defisiensi
Lansia mengatakan tidak mengetahui mengenai penyakitnya dan Pengetahuan
menganggap penyakitnya hanya penyakit biasa karena sudah tua
DO :
Perawat di panti tidak memberikan pendidikan kesehatan mengenai
pengertian, penyebab, tanda gejala dan pengobatan mengenai DM,
osteoarthritis, dan osteoporosis
Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri Kronis
2. Resiko Jatuh
3. Keluyuran
4. Defisiensi Pengetahuan
Intervensi
b. Menginformasikan
kepada klien
mengenai orang,
tempat dan waktu
jika dibutuhkan.
c. Labeli barang-barang
yang ada di
lingkungan klien
untuk meningkatkan
pengenalan klien
d. Menggunakan
petunjuk lingkungan
untuk menstimulasi
memori, reorientasi
dan meningkatkan
perilaku yang sesuai.
III. 1 Simpulan
III. 2 Saran
Perawat sebagai tenaga kesehatan yang profesional mempunyai kesempatan paling
besar untuk memberikan pelayanan/asuhan keperawatan yang komprehensif dengan
membantu klien memenuhi kebutuhan dasar yang holistik, salah satunya dalam
pemenuhan kebutuhan keselamatan dan keamanan. Sehingga sebagai perawat kita bisa
melakukan penkes terkait resiko jatuh kepada para lansia, senam lansia, posyandu lansia
dan pemeriksaan rutin lansia setiap bulannya.
DAFTAR PUSTAKA
Jurnal Nursing and Public Health. Volume 6 NO. 1, April 2018. Faktor-Faktor Yang
BerhubunganDenganResikoJatuhPadaLansia Di Bpplu Kota Bengkulu Tahun 2017.
FikesUniversitasDehasen Bengkulu
JurnalPenyakitDalam Indonesia. Vol. 4, No. 4. Desember 2017. Hubungan antara Usia dan
Aktivitas Sehari-Hari dengan Risiko Jatuh Pasien Instalasi Rawat Jalan Geriatri.
FakultasKedokteranUniversitasAirlangga
Pusat Data dan Informasi. Analisis Lansia di Indonesia. Kementerian Kesehatan RI. 2017
Stanley, Mickey. Beare, Patricia. 2006. Buku Ajar KeperawaanGerontik ed. 2. Jakarta. EGC