ETNOFARMASI
Kelompok : 9
Femil Dwi Mariastuti (162210101093)
Ida Ayu Yunita (162210101095)
Rachman Adji Prakoso (162210101100)
Dian Islami (162210101102)
Artemisinin :
Artemisinin merupakan salah satu contoh obat tradisional yang lolos uji klinis
dari abad sebelumnya. Artemisinin berasal dari Arte-misia annua L. (kayu manis
qinghao) yang merupakan semak dan pertama kali di dokumentasikan dalam TCM
pada tahun 168 SM sebagai obat wasir. Sejak abad ke 4 artemisinin ini sudah
digunakan untuk pengobatan demam yang disebabkan oleh malaria, akhirnya peneliti
Tiongkok tertarik untuk mempelajari lebih jauh penyakit malaria sehingga artemisinin
bisa dijadikan obat anti malaria, artemisinin dapat ditentukan strukturnya pada
pertengahan 1970-an. Artemisinin, lakton ses-quiterpene endoperoksida dengan
struktur cincin poliklik yang kompleks, dimodifikasi oleh ion Fe2+ menjadi struktur yang
mengandung radikal bebas berpusatkan karbon. Mengingat bahwa lingkungan
intraseluler parasit malaria kaya akan ion tersebut dari heme, dimana radikal ini, saat
ini dianggap bertanggung jawab atas aktivitas artemisinin antimalarial. Metode yang
digunakan adalah fraksinasi sel. Setelah pengobatan dengan artemisinin radiolabeled
telah mengidentifikasi banyak konstituen seluler yang di alkilasi oleh artemisinin.
Target terkuat yang tervalidasi untuk artemisinin adalah PfATP6, reticulum plasmodium
sarcoendoplasmik Ca2+ ATPase (SERCA) yang dihambat oleh artemisinin.
Studi klinisnya dimulai mulai tahun 1970, menunjukkan bahwa artemisinin dan
turunannya adalah obat anti malaria yang kuat dan efektif. Kombinasinya dengan anti
malaria tradisional terbukti bisa memerangi resistensi obat plasmodium. Terapi
kombinasi tersebut sudah dijadikan terapi utama untuk malaria di Asia. Selain untuk
malaria, artemisinin juga berkhasiat sebagai senyawa anti kanker yang mungkin
bertindak melalui mekanisme antiangiogenik dan proapopotik. Dalam proses
penyebarannya, berbagai cara sudah dilakukan dan tetap saja terhambat oleh masalah
produksinya. Semua rute sintesis sudah dijelaskan, semua komplek, namun hasilnya
rendah. Hal itu yang membuat artemisinin tidak layak secara ekonomi. Disisi lain,
peneliti kimia sintesis telah menawarkan artemisinin semi sintetik dengan peningkatan
kelaratun (ex. Natrium artesunat) dan stabilitas (ex. Artemer). Bahkan senyawa
trioxolane yang sepenuhnya sintetis RBX11160 (OZ277), didukung oleh moox triide
endoperokside artemisinin juga menunjukkan adanya harapan sebagai anti malaria.
Artemisinin secara dominan diproduksi alami oleh tanaman A. annua. Meskipun
upaya memaksimalkan produksi pertanian sudah dilakukan, tetap saja kandungan
artemisinin dalam ekstrak tanaman sangat bervariasi karena kondisi lingkungan :
0,01% - 0,8% berat kering, dan itulah yang membuat obat ini mahal. Akhirnya kultur sel
dan planlet adalah alternative yang menjanjikan karena artemisinin bisa hidup di
kondisi lingkungan yang lebih terkontrol dari pada seluruh tanaman. Untuk
mendapatkan hasil yang baik bisa dengan cara memberikan asupan pada kultur
artemisinin precursor. Dengan rekayasa genetika yang dilakukan dapat ditemukan :
beberapa enzim biosintetik isoprenoid untuk produksi artemisinin telah dikloning dan
A.annua berhasil ditransformasikan dengan Agrobakterium tumefaciens dan menjadi
terlalu banyak mengekspresikan gen biosintesis kunci.
Mungkin strategi yang paling menjanjikan adalah penggunaan mikroba untuk
mengahsilkan artemisinin, dengan rekayasa genetika gabungan aktivitas genetika dari
jalur sintesis isoprenoid mevalonat dengan pengenalan gen A.annua untuk
menghasilkan asam artemisinat dalam ragi Saccharomyces cerevisiae. Senyawa
precursor tersebut yang dapat dengan mudah dikonversi menjadi artemisinin di
laboratorium dan dapat dikeluarkan dalam jumlah besar dari ragi. Strategi kreatif
tersebutlah yang memanfaatkan genetika dan biokimia in vivo.
CASE II
T. wilfordii (Celastraceae) atau anggur dewa Guntur adalah semak panjat
dengan sejarah panjang yang beragam penggunaannya di TCM dan dilakukan upaya
peningkatan kemanjuran dan keamana nilai terapeutik dalam kondisi autoimun dan
inflamasi. Diuji ekstrak antiinflamasi yang dibuat dari akar T. wilfordii. Dua uji klinis
Fase 1 dan Fase 2a yang relatif kecil namun terkontrol dengan baik menunjukkan
manfaat signifikan ekstrak T. wilfordii yang terstandarisasi dan dioptimalkan pada
pasien dengan artritis reumatoid. Studi Fase 2b 24 minggu jauh lebih besar, acak dan
terkontrol secara aktif dengan 121 pasien lebih lanjut mengkonfirmasi efek
menguntungkan dari T. wilfordii. Penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian oral
ekstrak T. wilfordii yang mengandung triptolide dan tripdiolide sebagai bahan aktifnya
itu aman dan sangat efektif dalam mengobati pasien dengan rheumatoid arthritis aktif.
Ekstrak T. wilfordii menunjukkan manfaat yang jauh lebih besar daripada
pembandingnya, sulfasalazine, dan menghasilkan perbaikan cepat dalam tanda-tanda
klinis dan gejala rheumatoid arthritis, dan penanda inflamasi, seperti CRP, laju
sedimentasi eritrosit ESR, dan IL-6.
Kandungan triptolide dalam T.wifordii juga dapat sebagai anti-neoplastic untuk
melawan berbagai macam penyakit kanker seperti kanker kolorektal, kanker mulut,
kanker ovarium, kanker payudara, dan berbagai tumor padat lainnya. Namun
pemberian ekstrak tersebut untuk pria dapat menyebabkan indertilitas sementara dari
efek yang dihasilkan yaitu spermatosidal. Ekstrak T.wilfordii juga efektif dalam
memperlambat kerusakan sendi radiografi, ke tingkat yang jarang dicapai oleh obat
oral. Selain itu, efektif juga untuk penyakit inflamasi seperti multiple sclerosis, lupus,
penyakit ginjal polikistik dominan autosom, dan asma.
CASE III
Camellia sinensis adalah tanaman asli dari Asia Selatan dan Tenggara;
Namun, ini dibudidayakan di seluruh dunia di daerah tropis dan subtropis. Daun dan
kuncup daun Camellia sinensis, semak cemara abadi, digunakan untuk menghasilkan
semua jenis teh dimana masing-masing dengan menggunakan proses yang ditentukan
(termasuk fermentasi) menghasilkan berbagai tingkat oksidasi . Teh hijau sangat kaya
akan golongan flavonoid polifenolik kelas katekin. Delapan jenis utama katekin
termasuk katekin, epicatechin, catechin gallate, epicatechin gallate (ECG), gallo-
catechin, gallocatechin gallate, (-) - epigallocatechin-3-gallate (EGCG), dan
epigallocatechin. Namun, teh hijau sendiri mengandung kadar katekin tertinggi,
senyawa aktif utama, karena pemrosesan teh hijau mendukung retensi fitokimia ini.
Dedaunan dan ekstrak teh telah digunakan dalam pengobatan Tiongkok
tradisional dan sistem tradisional lainnya untuk mengobati asma (berfungsi sebagai
bronkodilator), angina pektoris, penyakit pembuluh darah perifer, penyakit arteri
coroner, penurunan berat badan dan pencegahan CVD. Ekstrak teh, karena sifat
antibakterinya, digunakan dalam pengawetan makanan organik olahan dan
pengobatan infeksi bakteri yang persisten. Aktivitas antimutagenik ekstrak teh yang
mengandung EKG dan EGCG terhadap sejumlah mutagen dibentuk dalam sistem
mikroba (Salmonella typhimurium dan Escherichia coli), sistem sel mamalia dan studi
hewan in vivo. Penghambatan teh hijau dari infeksi Staphylococcus aureaus yang
resistan terhadap multi-obat serta infeksi HIV-1.
Figure 1. The Route from Traditional Medicine to Modern Drug