Anda di halaman 1dari 10

TUGAS RESUME JURNAL

ETNOFARMASI

Kelompok : 9
Femil Dwi Mariastuti (162210101093)
Ida Ayu Yunita (162210101095)
Rachman Adji Prakoso (162210101100)
Dian Islami (162210101102)

Nama Dosen : Bawon Triatmoko M.Farm., Apt

BAGIAN BIOLOGI FAKULTAS FARMASI


UNIVERSITAS JEMBER
2019
Tadisi medis kuno terus memberikan garis farmakoterapi bagi seluruh dunia
meskipun lembaga medis barat menganggap meragukan, contoh tradisi medis kuno
yaitu Ayuverda untuk anak di benua india dan Pengobatan Tradisional Tiongkok
(TCM). Perubahan pengobatan tradisional menjadi pengobatan modern berawal dari
pola dasar kina untuk penyembuhan malaria dan analgesic anti piretik. Pada 1820 kina
alkaloid diisolasi dari kulit beberapa spesies Cin-chona, yang diduga sudah digunakan
sejak abad ke-17 oleh orang indian Peru untuk menekan rasa menggigil dalam
pengobatan malaria. Begitu juga aspirin yang berasal dari kulit pohon willow spesies
Salix yang secara tradisional digunakan untuk mengobati demam dan peradangan di
seluruh dunia setidaknya selama 4 milenium. Dari keberhasilan 2 obat diatas yang
disebut “Block Buster” ini mengawali upaya umum penemuan obat obatan tradisional.
Senyawa yang berasal dari ekstrak medical memang lebih menarik dan menjanjikan
(kompleks secara stereokimia, cenderung memiliki sifat biologis), tapi mungkin yang
lebih penting adalah ekstrak nenek moyang lah yang telah “teruji klinis”/diuji di
lingkungan tradisional mereka dalam beberapa kasus selama ribuan tahun. Terlepas
dari beberapa keunggulannya, perjalanan pengobatan tradisional menuju pengobatan
farmasi barat banyak tantangannya. Disini akan dibahas langkah demi langkah sampai
menjadi obat yang berstatus obat barat/obat modern. Berawal dari : penemuan zat,
isolasi/sintesis komponen aktif, penjelasan mekanisme molekuler, percobaan klinik dan
pengembangannya di dunia farmasi. Disini hanya focus pada 5 hal yang menarik dari
penemuan yang berasal dari obat obatan tradisional. Dari kelas terapi yang berbeda,
hambatan selama proses pengembangannya juga berbeda.

Artemisinin :
Artemisinin merupakan salah satu contoh obat tradisional yang lolos uji klinis
dari abad sebelumnya. Artemisinin berasal dari Arte-misia annua L. (kayu manis
qinghao) yang merupakan semak dan pertama kali di dokumentasikan dalam TCM
pada tahun 168 SM sebagai obat wasir. Sejak abad ke 4 artemisinin ini sudah
digunakan untuk pengobatan demam yang disebabkan oleh malaria, akhirnya peneliti
Tiongkok tertarik untuk mempelajari lebih jauh penyakit malaria sehingga artemisinin
bisa dijadikan obat anti malaria, artemisinin dapat ditentukan strukturnya pada
pertengahan 1970-an. Artemisinin, lakton ses-quiterpene endoperoksida dengan
struktur cincin poliklik yang kompleks, dimodifikasi oleh ion Fe2+ menjadi struktur yang
mengandung radikal bebas berpusatkan karbon. Mengingat bahwa lingkungan
intraseluler parasit malaria kaya akan ion tersebut dari heme, dimana radikal ini, saat
ini dianggap bertanggung jawab atas aktivitas artemisinin antimalarial. Metode yang
digunakan adalah fraksinasi sel. Setelah pengobatan dengan artemisinin radiolabeled
telah mengidentifikasi banyak konstituen seluler yang di alkilasi oleh artemisinin.
Target terkuat yang tervalidasi untuk artemisinin adalah PfATP6, reticulum plasmodium
sarcoendoplasmik Ca2+ ATPase (SERCA) yang dihambat oleh artemisinin.
Studi klinisnya dimulai mulai tahun 1970, menunjukkan bahwa artemisinin dan
turunannya adalah obat anti malaria yang kuat dan efektif. Kombinasinya dengan anti
malaria tradisional terbukti bisa memerangi resistensi obat plasmodium. Terapi
kombinasi tersebut sudah dijadikan terapi utama untuk malaria di Asia. Selain untuk
malaria, artemisinin juga berkhasiat sebagai senyawa anti kanker yang mungkin
bertindak melalui mekanisme antiangiogenik dan proapopotik. Dalam proses
penyebarannya, berbagai cara sudah dilakukan dan tetap saja terhambat oleh masalah
produksinya. Semua rute sintesis sudah dijelaskan, semua komplek, namun hasilnya
rendah. Hal itu yang membuat artemisinin tidak layak secara ekonomi. Disisi lain,
peneliti kimia sintesis telah menawarkan artemisinin semi sintetik dengan peningkatan
kelaratun (ex. Natrium artesunat) dan stabilitas (ex. Artemer). Bahkan senyawa
trioxolane yang sepenuhnya sintetis RBX11160 (OZ277), didukung oleh moox triide
endoperokside artemisinin juga menunjukkan adanya harapan sebagai anti malaria.
Artemisinin secara dominan diproduksi alami oleh tanaman A. annua. Meskipun
upaya memaksimalkan produksi pertanian sudah dilakukan, tetap saja kandungan
artemisinin dalam ekstrak tanaman sangat bervariasi karena kondisi lingkungan :
0,01% - 0,8% berat kering, dan itulah yang membuat obat ini mahal. Akhirnya kultur sel
dan planlet adalah alternative yang menjanjikan karena artemisinin bisa hidup di
kondisi lingkungan yang lebih terkontrol dari pada seluruh tanaman. Untuk
mendapatkan hasil yang baik bisa dengan cara memberikan asupan pada kultur
artemisinin precursor. Dengan rekayasa genetika yang dilakukan dapat ditemukan :
beberapa enzim biosintetik isoprenoid untuk produksi artemisinin telah dikloning dan
A.annua berhasil ditransformasikan dengan Agrobakterium tumefaciens dan menjadi
terlalu banyak mengekspresikan gen biosintesis kunci.
Mungkin strategi yang paling menjanjikan adalah penggunaan mikroba untuk
mengahsilkan artemisinin, dengan rekayasa genetika gabungan aktivitas genetika dari
jalur sintesis isoprenoid mevalonat dengan pengenalan gen A.annua untuk
menghasilkan asam artemisinat dalam ragi Saccharomyces cerevisiae. Senyawa
precursor tersebut yang dapat dengan mudah dikonversi menjadi artemisinin di
laboratorium dan dapat dikeluarkan dalam jumlah besar dari ragi. Strategi kreatif
tersebutlah yang memanfaatkan genetika dan biokimia in vivo.

Triptolide dan Celastrol: Memanfaatkan Kekuatan Thunder God Vine


Trypterygium wilfordii Hook F. “anggur dewa Guntur” (lei gong teng) adalah
TCM lain. Pohon anggur ini secara tradisional untuk pengobatan radang sendi dan
penyakit lain dan merupakan sumber dari beberapa metabolit sekunder yang aktif
secara biologis. Beberapa penggunaan TCM mungkin bergantung pada keberadaan
komponen aktif dan studi klinis, namun sebuah pekerjaan besar telah difokuskan pada
2 senyawa penyusun bioaktif utama : triptolide dan celastrol. Triptolide adalah
epoksida diterpenoid dengan beragam efek seluler. Selain dengan aktivitas anti-
inflamasinya, menunjukkan juga efek anti kanker, imunosupresif dan antifertilitas,
sudah terisolasi pada tahun 1972 dan beberapa rute sintesis telah dijelaskan. Sama
dengan artemisinin, triptolide ini berasal dari tanamannya dengan hasil rendah : 6 – 16
ng/g namun sedikit usaha yang telah dilakukan untuk menyelidiki rute bioteknologi
untuk produksi triptolide, yang terpenting adalah untuk mengurangi ketergantungan
pada sumber alam. Pengembangan berkelanjutan turunan triptolide seperti garam
suksinil natrium PG490-88 akan berharga untuk meningkatkan kelarutan dan efek
samping senyawa ini.
Penentuan target seluler triptolide juga memiliki tantangan yang besar karena
banyak produk alami yang menjanjikan namun tidak ada mekanisme tindakan yang
jelas yang dapat diidentifikasi. Setidaknya pengetahuan yang solid tentang struktur,
tidak hanya pada tingkat molekul. Sehingga memungkinkan ahli kimia obat melakukan
derivatisasi rasional untuk meningkatkan afinitas, spesifitas, farmakokinetik dan
stabilitas, selain itu pengetahuan mekanisme kerjanya juga penting diketahui untuk
menunjang uji klinis yang lebih spesifik. Beberapa penemuan sudah menggambarkan
efek penghambatan tritolide pada transkripsi yang dimediasi melalui NF-KB dan NFAT,
tetap sampai saat ini targer seluler sulit dipahami. Disisi lain fraksinasi sel dengan [3H]-
tritolide tetap dilakukan karena memungkinkan identifikasi saluran Ca2+ polisistin–2
(disandi oleh gen PKD2). PKD2 atau gen yang menyandikan aktivitasnya PKD1,
menyebabkan polycystic kidney disconvenience (PKD) ketika bermutasi karena
masuknya ion Ca2+ sangat penting untuk menahan pertumbuhan sel-sel epitel yang
membentuk tubulus ginjal. Karena triptolide mengaktifkan pembukaan saluran
polisistin-2, itu berpotensi melengkapi hilangnya PKD1. Penyakit ginjal di mana tikus
kekurangan Pkd1 (Leuenroth et al., 2007). Aktivitas triptolide yang tergantung kalsium
ini tidak berkaitan dengan aktivitas represi transkripsionalnya (Leuenroth dan Crews,
2005),membuka suatu terapi baru untuk mempengaruhi triptolide, di samping efeknya
pada sistem kekebalan dan reproduksi dan pada kanker. Melihat kompleksitas ekstrak
tanaman, pentrolyc triterpene celastrol (Gambar 1) secara struktural komponen yang
sangat berbeda dari T. wilfordii dengan profil terapi berbeda. Celastrol (juga dikenal
sebagai tripterine) diekstraksi dalam jumlah kecil T. wilfordii atau golongan lain dari
keluarga Celastraceae (pahit). Sejauh ini, tidak ada sintesis atau rute produksi
alternatif didapat.
Celastrol belum teruji sebagai agen single pada manusia (Tabel 1), namun
menjanjikan sebagai senyawa antiinflamasi pada percobaan hewan radang sendi,
lupus, lateral amyotrophic sclerosis, dan penyakit Alzheimer (Sethi et al., 2007 dan
referensi di sana). Ia memiliki efek antiproliferatif terhadap banyak sel kanker. Telah
diidentifikasi mekanisme molekuler untuk efek itu, termasuk modulasi ekspresi gen
diduga melalui penghambatan NF-κB melalui TAK1 dan IκBα kinase (Sethi et al.,
2007), penghambatan proteasome, topoisomerase Penghambatan II, dan respons
sengatan panas (Hieronymus et al., 2006). Meskipun demikian, target langsung tetap
sulit diketahui. Sangat penting untuk lebih memahami mekanisme aksi tetapi juga
untuk menyelidiki potensi efek sinergis dari celastrol dan triptolide, keduanya di tingkat
seluler dan organisme.

Capsaicin: digunakan untuk menghilangkan rasa sakit?


Alkaloid capsaicin adalah penyebab sensasi panas pada cabai dan anggota
genus Capsicum. Di luar penggunaannya yang luas sebagai bumbu, cabai digunakan
di Amerika oleh suku Aztec dan India Tarahumara sebagai obat untuk batuk dan
bronkitis. Oleh india digunakan sebagai anti-inflamasi dan untuk gastrointestinal. Di
Afrika, secara tradisional digunakan secara internal dan eksternal sebagai antiseptik
(Dasgupta dan Fowler, 1997). Namun, penggunaan capsaicin modern difokuskan pada
perawatan berbagai jenis rasa sakit (lihat di bawah) dan juga dalam pengobatan
detrusor hipervaleksia, suatu bentuk inkontinensia urin (Dasgupta dan Fowler, 1997).
Capsaicin oral dosis tinggi juga memiliki sifat antikanker pada beberapa penelitian
pada hewan.
Dibandingkan dengan artemisinin, triptolide, dan celastrol, capsaicin secara
kimiawi cukup sederhana (Gambar 1). Ia dimurnikan dan dinamai pada abad ke 19 dan
pertama kali disintesis pada tahun 1920-an (Dasgupta dan Fowler, 1997). Sebab
banyak yang membudidayakan Capsicum maka tidak diperlukan sintesis, karena
jumlah besar capsaicin dapat dengan mudah diekstraksi. Mekanisme capsaicin
menginduks nyerii menjadi topik banyak penelitian neurofisiologis (Cor tright et al.,
2007). Capsaicin dapat mengaktifkan nosiseptor di kulit, neurosensor yang
bertanggung jawab untuk sensasi rasa sakit, sehingga melepaskan zat
neurotransmitter. Efek terapeutik P. Capsaicin pada rasa nyeri disebabkan oleh
desensitisasi dan akhirnya penghancuran nosiseptor diikuti paparan capsaicin
berulang kali. Dalam contoh klasik kloning ekspresi, Caterina et al. diidentifikasi
reseptor capsaicin (Caterina et al., 1997)
Capsaicin diketahui menyebabkan masuknya ion Ca2 ke dalam nosiseptor, lalu
dikelompokkan cDNA noci ceptor menjadi sel HEK293 yang tidak dapat dieksitasi dan
diskrining untuk masuknya ion Ca2 +. Reseptor yang mereka kloning, sekarang dikenal
sebagai TRPV1, yaitu kanal ion Ca2 + yang juga merespons, dan mengintegrasikan,
sinyal dari piperine (zat iritan pada merica hitam ), proton, dan stimulus nyeri (Caterina
et al., 1997). Kloning TRPV1 dimulai di bidang farmakologi. Sedang dikembangkan
kedua TRPV1 antagonis (untuk memblokir nosisepsi langsung) dan agonis (untuk
mendesensitisasi nociceptors, seperti capsaicin) (Immke dan Gavva, 2006).
Resiniferatoksin, obat tradisional lain dari getah Euphorbia resinifera, adalah satu
agonis tersebut dengan potensi lebih tinggi dari capsaicin (Immke dan Gavva, 2006).
Upaya terus membuat TRPV1 agonist dengan penetrasi kulit yang lebih baik dan
mengurangi efek samping rasa terbakar pada penggunaannya.
Capsaicin telah digunakan secara klinis dengan keberhasilan sedang sebagai
pengobatan topikal untuk nyeri rheumatoid dan osteoarthritis, psoriasis, neuropati
diabetik, dan neuralgia postherpik (Tabel 1), Terletak tantangan khusus : pada
gangguan nyeri kronis dan tidak semua pasien atau semua sindrom nyeri merespons
capsaicin (Immke dan Gavva, 2006). Yang pada penggunaan tradisional hanya sedikit
membantu tidak seperti artemisinin, misalnya. Dengan demikian, masalah untuk
pengujian khasiat capsaicin adalah pengujian dengan "mencoba dan gagal", sebagian
besar "mencoba dan benar ”. Keuntungan utama jika capsaicin masih dikembangkan
sebagai obat-obatan menghilangkan nyeri yaitu telah disetujui statusnya sebagai
bahan makanan.

Curcumin: Target dan Hasil


Seperti capsaicin, polyphenol curcumin (Gambar 1) dikenal sebagai konstituen
rempah: ia adalah komponen pigmen kuning dari rempah kari kunyit (Curcuma longa,
dikenal sebagai haldi dalam bahasa Hindi). Namun, ini juga obat yang digunakan
dalam Ayurveda dan TCM di pengobatan penyakitnya beragam seperti rematik,
demam, gangguan usus, trauma, dan amenore (lihat Analisis oleh S. Singh di halaman
765 masalah ini). Penelitian modern telah dikaitkan efek anti-inflamasi, immuno
modulatory, antimalaria, dan antikanker dengan senyawa multitalenta ini (Aggarwal et
al., 2007). Seperti capsaicin, sintesis curcumin pertama kali dilaporkan pada tahun
1910, tetapi jumlah curcumin cukup untuk penggunaan terapeutik. terpenting karena
bioavailabilitas rendah dari senyawa induk yang disertai dengan metabolisme usus
yang cepat menentukan dosis besar untuk penggunaan klinis (Sharma et al., 2005);
derivasi dari produk alami banyak dibuat.
Melihat efek klinis pleiotropiknya, mungkin tidak mengherankan bahwa
curcumin memiliki efek pada jalur sinyal intraseluler. Efek anti-inflamasi dapat
dikaitkan karena penghambatan aktivitas NF-κB, COX-2 dan 5- Ekspresi LOX, dan
pelepasan sitokin (Aggarwal et al., 2007). Kurkumin dapat langsung menargetkan IκBα
kinase ke Blok NF-κB. Ia juga memiliki sejumlah protein lain, termasuk reduktase thio-
redoksin, beberapa kinase, dan beberapa reseptor (Aggarwal et al., 2007).
Tantangannya di sini, seperti banyak produk alami lainnya, menentukam target secara
mekanis dalam aktivitas biologis dengan spektrum luas seperti dari target potensial
dan aktivitas curcumin yang dijelaskan, ini bukanlah hal yang mudah. Sintesis dari
derivat yang selektif berefek pada sel tertentu atau efek terapeutik mungkin
mengganggu fungsi mekanisme , bersamaan dengan eksperimen fraksionasi radio
(seperti dijelaskan di atas) atau tografi afinitas kroma dengan kurkumin tidak
berpindah.
Banyaknya khasiat kurkumin juga memiliki keterbatasan pengujian klinis yang
ketat: banyak laporan kemanjuran, tetapi sebagian besar didasarkan pada studi
praklinis, anekdot, atau pilot daripada pola acak, plasebo terkontrol, uji coba double-
blind (Hsu dan Cheng, 2007). Aktivitas yang telah dilaporkan pada penyakit radang
dan autoimun serta penyakit kanker, semuanya sebagai agen pencegahan dan
pengobatan, tunggal atau kombinasi (Hsu dan Cheng, 2007). Karena relatif mudah dan
hasil cepat dari studi praklinis atau uji coba dibandingkan dengan uji klinis ketat yang
memperlambat validasi kurkumin. karena kurkumin sendiri tidak dipatenkan (meskipun
metode sintetis, turunan adalah formulasi farmasi ) dan dengan persepsi bahwa,
sebagai bahan makanan, curcumin lebih bersifat nutraceutical (mungkin suatu diet
pencegahan kanker) daripada sebagai obat tradisional. Persepsi ini hanya dapat
diubah dengan studi klinis yang menunjukkan keberhasilan pengobatan dengan
curcumin. Studi Tahap I telah didapatkan toleransi hingga 8000 mg / hari,
memungkinkan rentang respons dosis besar untuk diuji secara bertahap Studi II,
beberapa diantaranya sedang berlangsung untuk pengobatan kanker, psoriasis, dan
penyakit Alzheimer (Tabel 1) (Hsu dan Cheng, 2007). Kita harus menunggu hasil dari
studi ini sebelum curcumin dapat divalidasi sebagai suatu obat.

Tantangan yang sedang berlangsung


Obat yang efektif harus mudah dan ekonomis untuk diproduksi dan dikirim,
harus menunjukkan absorbsi, distribusi, metabolisme, ekskresi, dan karakteristik
toksisitas (ADMET), dan harus mengobati penyakit yang ditargetkan dengan
spesifisitas dan efikasi. Obat tradisional, seperti halnya produk alami lainnya, dapat
memberikan arahan untuk pengembangan terapi karena tidak seperti obat sintetik
yang sudah tercatat efeknya. Namun prosesnya dari tumbuhan menjadi produk lambat
yang tidak disebutkan di sini selain lima contoh dari obat tradisional diatas yang luar
biasa jauh telah dipelajari dan sukses pada uji klinik. Tantangannya berat (Gambar 1):
Etnofarmakologis harus mengidentifikasi obat, penggunaannya, dan komponen aktif.
Spesies tanaman tradisional banyak yang hilang pada tingkat mengkhawatirkan. Ahli
kimia harus mensintesis senyawa menggunakan metode hemat biaya atau
mengembangkan proses alternatif seperti kultur sel atau transgenesis untuk produksi.
Terlepas dari kemajuan yang berkelanjutan dalam kimia sintetis, kompleksitas yang
sangat banyak dari produk alami itu bertanggung jawab atas fungsi biologis yang
diinginkan juga membuat produksi sulit.
Ahli biologi dapat mengidentifikasi dan memvalidasi target seluler dan
mekanisme aksi denhan banyaknya senyawa yg ditemukan dan menggunakan alat-
alat baru untuk menghadapi tantangan tersebut, seperti metode yang membandingkan
profil fenotipik atau ekspresi gen yang diinduksi oleh molekul kecil dengan diinduksi
oleh senyawa yang diketahui (Hieronymus et al., 2006) atau penambah / pebghambat
kimia. Pengembangan alat in silico untuk "docking" molekul kecil dengan struktur
protein untuk pengujian in vitro sehingga muncul kemajuan dalam genomik struktural,
karena daya komputasi yang memadai. Dengan diketahuinya mekanisme, dokter
kemudian harus mengujinya pada penyakit (Tabel 1) sambil tetap berpikiran terbuka
dengan adanya efek terapi yang tidak terduga dan bekerja dengan ahli kimia obat
untuk menghasilkan derivat dengan sifat ADMET yg lebih baik. Yang akhirnya
diperoleh persetujuan, seperti halnya semua obat. Masalah khusus jika zat aktifnya
adalah ekstrak atau campuran, dan bukan senyawa yang diisolasi; Administrasi
Makanan dan Obat-obatan A.S. Amerika Serikat hingga saat ini enggan menyetujui
obat multi agen(Schmidt et al., 2007). Hanya pada tahun 2006 obat yang pertama
disetujui: Polyphenon E (MediGene), antivirus topikal dari katekin yang diekstrak dari
teh hijau (Camellia sinensis).
Artemisinin, triptolide, celastrol, capsaicin, dan curcumin adalah "gambaran"
untuk mengubah obat tradisional menjadi obat modern. Namun, perlu diupayakan
penelitian untuk merealisasikan potensi farmasi dari terapi obat tradisional. WHO
melaporkan penjualan obat herbal tradisional di Cina mencapai 14 juta dollar pada
2005 dan akan mencapai 20 juta dollar pada 2010. Kesuksesan yang diperoleh Cina
dalam mempromosikan obat tradisional Cina mendorong ilmuwan seluruh dunia untuk
menerapkan penelitian berbasis eksperimen modern terhadap pengisolasian senyawa
aktif dari obat tradisional Cina, menentukan model molekuler dari aksi dan
mengkarakterisasi sifat farmakokinetika serta farmakodinamikanya.
Kompleksisitas obat tradisional Cina mendorong peneliti mencari bukti saintifik
dalam keyakinan mendasar bahwa penggunan obat tradisional Cina didasarkan pada
interaksi antara berbagai komponen yang membuat obat tradisional Cina sulit untuk
distandardisasidan diteliti menggunakan metode saintifik. Keuntungan farmakologisdari
campuran komponen bisa jadi terdapat pada meningkatkan aksi berbagai komponen
bioaktif, sehingga mejadi obat kombinasi yang baik. Kemajuan terbaru dari
kormatografi, spektrometri massa, dan spektroskopi resonansi nulir magnetik
memungkinkan studi komprehensif obat tradisional dari spesies single-plant.
Artemisinin dari Sweet Warmwood (Artermisia Annua L.) merupakan
pengobatan malaria dari obat tradisional Cina. Merupakan sumber artemisinin, yang
secara besar menggantikan senyawa anti-malaria quinine dan quinolon lain sebagai
pilihan utama kemoterapi anti-malaria. Artemisia spp. Kaya akan metabolit sekunder,
dimana digunakan sebagai rasa pahit, parfum, rempah masakan, dan halusinogen.
Senyawa fitokimia lain A. annua termasuk monoterpen, sesquiterpen, triterpenoid,
steroid, falvonois, kumarin, fenolin, dan berbagai lipid bisa jadi berperan pada aktivitas
keseluruhan dan properti ekstrak mentah A. annua ketika dibandingkan dengan
artemisinin isolat.
Artemisinin adalah lakton seskuiterpen dengan endoperoksida yang unik
jembatan. Biosintesisnya dalam A. annua adalah terbatas pada apeks trikoma sekresi
kelenjar pada permukaan tanaman. Seperti sesquiterpen lainnya, artemisinin disintesis
melalui jalur mevalonat dan termasuk zat antara amorf-4,11-diena, yang darinya
sesquiterpen tipe amorf terkait di A. annua. Konsentrasi artemisinin dalam A. annua
bervariasi dari yang terendah 0,01% menjadi lebih dari 2,0% dalam beberapa kultivar
yang dipilih. A. annua tetap menjadi sumber artemisinin yang paling ekonomis.
Akibatnya, banyak pekerjaan telah diarahkan budidaya dan optimalisasi artemisinin
menghasilkan tinggi kultivar A. Annua kepentingan klinis artemisinin tertutupi oleh
turunan semi-sintetis (dikenal sebagai Artemisinin), terutama artesunat, artemether,
dan semakin, dihydroartemisinin. Alasannya adalahterutama terkait dengan
bioavailabilitas artemisinin yang buruk (di 8-10%) bila dibandingkan dengan Artemether
(54%), dan Dihydroartemisinin (85%), Artesunat (82%) . Artemisinin susah larut dalam
air dan minyak. Namun, pengurangan lakton dalam dihidroartemisinin dan artemeter
telah menyebabkannya meningkatkan kelarutan minyak, sementara bagian asam
memberikan kelarutan dalam air untuk artesunat.
Cara kerja artemisinin masih diperdebatkan, tetapi memang demikian diketahui
secara mekanis berbeda dari kuininetipe molekul, sebagaimana dibuktikan oleh
aktivitasnya melawan klorokuin strain tahan Plasmodium. Endoperoksida jembatan
diperlukan untuk aktivitas artemisinins. Banyak analog yang memiliki fitur struktural ini
aktif, sementara turunan artemisinin tidak memiliki jembatan endoperoksida tidak aktif.
Jembatan endoperoksida kemungkinan besar berkontribusi untuk sifat prodrug
artemisinin, yang dianggap untuk diaktifkan in vivo untuk menghasilkan karbon atau
oksigen radikal terpusat yang pada akhirnya bertanggung jawab atas aktivitas
antimalaria.
Artemisinin adalah senyawa anti-malaria yang paling kuat saat ini diketahui:
pembersihan demam lebih dari dua kali pengurangan biomassa secepat dan parasit
1.000 kali lebih banyak efisien bila dibandingkan dengan anti-malaria lainnya. Selain
itu, artemisinin adalah beberapa antimalaria senyawa yang bekerja pada gametosit
Plasmodium, dan secara drastis dapat mengurangi penularan parasit.

CASE II
T. wilfordii (Celastraceae) atau anggur dewa Guntur adalah semak panjat
dengan sejarah panjang yang beragam penggunaannya di TCM dan dilakukan upaya
peningkatan kemanjuran dan keamana nilai terapeutik dalam kondisi autoimun dan
inflamasi. Diuji ekstrak antiinflamasi yang dibuat dari akar T. wilfordii. Dua uji klinis
Fase 1 dan Fase 2a yang relatif kecil namun terkontrol dengan baik menunjukkan
manfaat signifikan ekstrak T. wilfordii yang terstandarisasi dan dioptimalkan pada
pasien dengan artritis reumatoid. Studi Fase 2b 24 minggu jauh lebih besar, acak dan
terkontrol secara aktif dengan 121 pasien lebih lanjut mengkonfirmasi efek
menguntungkan dari T. wilfordii. Penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian oral
ekstrak T. wilfordii yang mengandung triptolide dan tripdiolide sebagai bahan aktifnya
itu aman dan sangat efektif dalam mengobati pasien dengan rheumatoid arthritis aktif.
Ekstrak T. wilfordii menunjukkan manfaat yang jauh lebih besar daripada
pembandingnya, sulfasalazine, dan menghasilkan perbaikan cepat dalam tanda-tanda
klinis dan gejala rheumatoid arthritis, dan penanda inflamasi, seperti CRP, laju
sedimentasi eritrosit ESR, dan IL-6.
Kandungan triptolide dalam T.wifordii juga dapat sebagai anti-neoplastic untuk
melawan berbagai macam penyakit kanker seperti kanker kolorektal, kanker mulut,
kanker ovarium, kanker payudara, dan berbagai tumor padat lainnya. Namun
pemberian ekstrak tersebut untuk pria dapat menyebabkan indertilitas sementara dari
efek yang dihasilkan yaitu spermatosidal. Ekstrak T.wilfordii juga efektif dalam
memperlambat kerusakan sendi radiografi, ke tingkat yang jarang dicapai oleh obat
oral. Selain itu, efektif juga untuk penyakit inflamasi seperti multiple sclerosis, lupus,
penyakit ginjal polikistik dominan autosom, dan asma.

CASE III
Camellia sinensis adalah tanaman asli dari Asia Selatan dan Tenggara;
Namun, ini dibudidayakan di seluruh dunia di daerah tropis dan subtropis. Daun dan
kuncup daun Camellia sinensis, semak cemara abadi, digunakan untuk menghasilkan
semua jenis teh dimana masing-masing dengan menggunakan proses yang ditentukan
(termasuk fermentasi) menghasilkan berbagai tingkat oksidasi . Teh hijau sangat kaya
akan golongan flavonoid polifenolik kelas katekin. Delapan jenis utama katekin
termasuk katekin, epicatechin, catechin gallate, epicatechin gallate (ECG), gallo-
catechin, gallocatechin gallate, (-) - epigallocatechin-3-gallate (EGCG), dan
epigallocatechin. Namun, teh hijau sendiri mengandung kadar katekin tertinggi,
senyawa aktif utama, karena pemrosesan teh hijau mendukung retensi fitokimia ini.
Dedaunan dan ekstrak teh telah digunakan dalam pengobatan Tiongkok
tradisional dan sistem tradisional lainnya untuk mengobati asma (berfungsi sebagai
bronkodilator), angina pektoris, penyakit pembuluh darah perifer, penyakit arteri
coroner, penurunan berat badan dan pencegahan CVD. Ekstrak teh, karena sifat
antibakterinya, digunakan dalam pengawetan makanan organik olahan dan
pengobatan infeksi bakteri yang persisten. Aktivitas antimutagenik ekstrak teh yang
mengandung EKG dan EGCG terhadap sejumlah mutagen dibentuk dalam sistem
mikroba (Salmonella typhimurium dan Escherichia coli), sistem sel mamalia dan studi
hewan in vivo. Penghambatan teh hijau dari infeksi Staphylococcus aureaus yang
resistan terhadap multi-obat serta infeksi HIV-1.
Figure 1. The Route from Traditional Medicine to Modern Drug

Table 1. Five Traditional Medicines in Clinical Trials

Anda mungkin juga menyukai