Anda di halaman 1dari 49

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA


BLOK TUMBUH KEMBANG Makassar, 13 Mei 2019

LAPORAN PBL
MODUL 3
”JATUH"

DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 17

Ema Magfirah 110 2016 0156


Eka Risdayani 110 2016 0120
Eka Dewi Mulyani 110 2016 0003
Dzul Rizka Razak 110 2016 0039
Dwi Puji Astuti 110 2016 0075
Taufik Hidayat Nur 110 2016 0101
Dwi Deno Zubiranto 110 2016 0038
Dinda Pratiwi Basri 110 2016 0115
Dinda Permatasari 110 2016 0094
Habib Yasin Mahmud 110 2016 0141

Tutor : dr. Irmayanti, Sp.PK

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2019
SKENARIO 1

Anamnesis : Seorang perempuan umur 65 tahun masuk rumah sakit dengan

keluhan nyeri pada pangkal paha kanan dan sangat nyeri bila digerakkan sehingga

tidak bisa berjalan. Keadaan ini dialami sejak 5 hari yang lalu setelah jatuh terduduk

oleh karena terpeleset di depan kamar mandi. Postur penderita sejak 5 tahun terakhir

ini bungkuk ke depan dan kalau berjalan agak pincang karena mengeluh kedua lutut

sering sakit dan bengkak. Beberapa hari terakhir ini sebelum jatuh, penderita

terdengar batuk-batuk tetapi tidak demam dan sulit sekali mengeluarkan lendir.

Nafsu makan juga sangat menurun sejak 2 minggu terakhir ini. Riwayat penyakit

selama ini sejak 7 tahun menderita kencing manis dengan minum obat

Glibenklamide 5 mg secara teratur, tekanan darah tinggi tetapi berobat tidak teratur

dan rematik. Juga pernah serangan stroke 3 tahun lalu.

Pemeriksaan fisik : TD : 170/90 mmHg, N: 92 x/menit, P: 30 x/menit, S: 37,1o C.

Pemeriksaan Auskultasi Paru : terdengar bunyi ronkhi basah kasar di seluruh

lapangan ke dua paru. Jantung dalam batas normal, hepar & limpa tak teraba.

Tungkai kanan bila digerakkan sangat terhambat oleh karena kesakitan pada daerah

pangkal paha. Kedua dorsum pedis terlihat edema. BB : 40 kg & TB : 165 cm.

Pemeriksaan penunjang : Pem. Laboratorium didapatkan kadar Hemoglobin 10,1

gr%, Leukosit 15.700/mm3 GD puasa 138 mg/dl, GD2jamPP 245 mg/dl, ureum 58

mg/dL, kreatinin 1,5 mg/dL, protein total 5,0 gr/dL, albumin 2,6 gr/dL, asam urat

8,5 mg/dL.

Pemeriksaan toraks foto : tampak perselubungan homogen pada medial ke dua paru.

1
A. KATA SULIT

B. KATA KUNCI

 Seorang perempuan 65 tahun

 Nyeri pangkal paha, nyeri jika digerakkan

 Tidak bisa berjalan sejak 5 hari yang lalu pasca jatuh terduduk

 Sejak 5 tahun bungkuk kedepan dan berjalan agak pincang

 Kedua lutut sering sakit dan bengkak

 Riwayat batuk dan tidak demam, tidak bisa mengeluarkan lendir

 Nafsu makan menurun

 Menderita DM sejak 7 tahun lalu dengan riwayat minum obat glibenklamid

5 mg secara teratur

 Hipertensi dan berobat tidak teratur

 Reumatik dan pernah stroke 3 tahun lalu

Pemeriksaan
Hasil Normal Interpretasi
Laboratorium

Hemoglobin 10,1 gr% 13 - 18 gr% Anemia

3.200-
3
Leukosit 15.700/mm Leukositosis
3
10.000/mm

GDP 138 mg/dl <100 mg/dl Hiperglikemia

GD2PP 245 mg/dl <140 mg/dl Hiperglikemia

2
Ureum 58 mg/dl 10 - 25 mg/dl Meningkat

Kreatinin 1,5 mg/dl 1,1 mg/dl Meningkat

Protein Total 5,0 gr/dl 6,6 - 8,7 gr/dl Menurun

Albumin 2,6gr/dl 3,5 – 5 gr/dl Hipoalbuminemia

Asam Urat 8,5 mg/dl 2,4 - 6 mg/dl Hiperurisemia

C. Analisis Skenario

Anamnesis

1. Identitas pasien : Perempuan, 65 tahun

2. Keluhan utama : Nyeri paha kanan

Mencari tahu bagaimana onset nyeri, frekuensi, telah berlangsung

berapa lama, sifat nyeri dan skala nyerinya menurut VAS, kemudian

penyebab nyeri. Apakah bagian yang terasa nyeri dapat digerakkan (menilai

mobilitas dan imobilitas dari tempat nyeri). Pada skenario, pasien tidak

dapat menggerakkan pahanya. Penyebab nyerinya karena pasien mengalami

jatuh 3 hari yang lalu.

Pada anamnesis, kita mencari tahu kondisi pada saat pasien jatuh

dengan menanyakan beberapa pertanyaan berikut:

a. Apa yang dipikirkan pasien sebagai penyebab jatuh? Apakah pasien

sadar bahwa akan jatuh? Apakah kejadian tersebut sama sekali tidak

terduga? Dan apakah pasien terpeleset atau terantuk?

3
b. Bagaimana lingkungan sekitar tempat jatuh? Kapan dan dimana tempat

jatuhnya? Apakah ada saksi yang melihat? Bagaimana dengan

perubahan postur tubuh, batuk, BAK, memutar kepala.

c. Hilangnya kesadaran, apakah yang langsung diingat segera setelah

jatuh? Apakah pasien dapat bangkit kembali setelah jatuh dan jika

dapat, berapa lama waktu yang diperlukan untuk dapat bangkit setelah

jatuh? Apakah adanya hilang kesadaran dapat dijelaskan oleh saksi?

d. Pada saat jatuh, ada gejala-gejala seperti kepala terasa ringan, dizziness,

vertigo, palpitasi, nyeri dada, sesak, gejala neurologis fokal mendadak

(kelemahan, gangguan sensorik, disartria, ataksia, bingung, afasia) dan

adakah riwayat inkontinesia urin atau alvi.

3. Keluhan penyerta :

a. Kedua lutut sering sakit dan bengkak

b. Postur bungkuk ke depan

c. Berjalan agak pincang karena sakit lutut

d. Batuk-batuk tetapi tidak demam dan sulit sekali mengeluarkan lendir

e. Nafsu makan juga sangat menurun akhir-akhir ini

4. Riwayat medis umum :

a. Diabetes melitus

b. Hipertensi

c. Rematik

d. Stroke

e. Riwayat jatuh sebelumnya tidak diketahui

4
5. Riwayat penggunaan obat :

 Glibenclamid 5 mg (sejak 7 tahun lalu)

6. Riwayat penyakit keluarga : tidak diketahui

7. Riwayat lingkungan : tidak diketahui

Pemeriksaan Fisis

1. Pemeriksaan tanda vital

Tekanan Darah : 170/90 mmHg  Hipertensi (Grade II)

Nadi : 92 x/menit  Normal (60-100 x/menit)

Pernapasan : 30 x/menit  Takipneu (16-24 x/menit)

Suhu : 37,1o C  Normal (36,5 o C-37,5 o C)

Berat Badan : 40 kg

Tinggi Badan : 165 cm

IMT : BB/TB2 = 40/(1.65)2 = 14,69  underweight

2. Kulit : Menilai turgor, trauma, kepucatan  tidak

diketahui

3. Mata : Menilai visus  tidak diketahui

4. Paru : Bunyi tambahan (didapatkan ronki basah kasar di

seluruh lapangan kedua paru)

5. Kardiovaskuler : Menilai Aritmia, bruit karotis, sensivitas sinus

karotis  dalam batas normal

6. Ekstremitas : Penyakit degeneratif, lingkup gerak sendi,

deformitas, fraktur dan masalah podiatrik ( kalus, bunion, ulserasi, sepatu

5
yang tidak sesuai, kesempitan/kebesaran atau rusak)  bengkak dan nyeri

kedua lutut, edema dorsum pedis.

7. Neurologis : Status mental, tanda fokal, otot (kelemahan,

rigiditas, spastisitas), saraf perifer (terutama sensasi posisi) proprioseptif,

refleks, fungsi saraf kranialis, fungsi serebelum (terutama uji tumit ke tulang

kering), gejala ekstrapiramidal : tremor saat istirahat, bradikinesia, gerakan

involunter lain, keseimbangan dan cara berjalan dengan mengobservasi cara

pasien berdiri dan berjalan (uji get up and go)

Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan laboratorium

a. Hemoglobin :10,1 g%  Anemia (12-14 g%)

b. Leukosit :15.700/mm3  Leukositosis (4.500-10.000)

c. Gula darah puasa : 138 mg/dl  Hiperglikemia (≤126 mg/dl)

d. Gula darah post prandial : 245 mg/dl  Hiperglikemia (≤200 mg/dl)

e. Protein total : 5,0 gr/dL  Menurun (6-8 gr/dl)

f. Albumin : 2,6 gr/dL  Hipoalbuminemia (3,5-5 gr/dl)

g. Asam urat : 8,6 mg/dL  Hiperurisemia (3-7 mg/dl)

h. Ureum : 58 mg/dL  Meningkat (10-50 mg/dl)

i. Kreatinin : 1,5 mg/dL  Meningkat (0,6-0,9 mg/dl)

2. Pemeriksaan radiologi

a. Thoraks : terlihat perselubungan homogen pada medial ke dua paru.

b. Panggul : untuk melihat adanya fraktur atau dislokasi, dan densitas

tulang yang menurun pada osteoporosis.

6
Referensi:

 Setiati, S. Gangguan Keseimbangan, Jatuh dan Fraktur dalam Ilmu

Penyakit Dalam Jilid 3 Edisi IV. Jakarta: Badan penerbit Interna. 2015.p.

3755

 Kee L. J. Pedoman Pemeriksaan Laboratorium dan Diognostik Edisi 6.

Jakarta: EGC. 2007.

D. Daftar Masalah

 Nyeri pada pangkal paha dan kedua lutut (nyeri yang dirasakan adalah nyeri

pada saat pasien tersebut jatuh dan nyeri kedua lutut menunjukkan adanya

gejala dari osteoarthritis )

 Batuk serta sulit keluar lender dan tidak demam (padap pemeriksaan

penunjang didapatkan hasil foto polos terdapat perselubungan homogen

pada medial ke dua paru yang menunjukkan penyakit pneumonia)

 Riwayat diabetes melitus 7 tahun

 Riwayat tekanan darah tinggi (hipertensi grade II) pada pemeriksaan

didapatkan tekanan 170/90 mmhg

 Riwayat rematik dan stroke ( pada pemeriksaan laboratorium didapatkan

pasie hiperurisemia yaitu kadar asamurat yang tinggi 8,6 mg/dL)

 Hiperurisemia

 Anemia

 Hipoalbuminemia

 Chronic Kidney Disease

7
E. Skala Prioritas

1. Nyeri

Keluhan utama pasien pada adalah nyeri yang dirasakan sejak 3 hari yang

lalu setelah jatuh terduduk yaitu nyeri pada pangkal paha dan ada riwayat nyeri

dan bengkak kedua lutut yang sering dirasakan. Sebagai penanganan awal kita

memberikan analgetik kepada pasien untuk mengatasi nyeri pasien atau dapat

juga dengan cara :

 Paracetamol 500 mg/hr dosis max 3000 mg, kodein 10 mg

 Pantau perkembangan nyeri dengan VAS (visual analgesic

scale)

 Tahapan pemberian analgesik pada lansia :

- Analgesik

- Analgesik + opioid tinggi

- Analgesik + opioid tinggi + anti anxietas

2. Fraktur

Terapi operatif pada frakturnya. Terapi operatif hamper selalu dilakukan

pada penderita fraktur leher femur baik orang dewasa muda maupun pada

orang tua karena :

 Perlu reduksi yang akurat dan stabil

 Diperlukan mobilisasi yang cepat pada orang tua untuk

mencegah komplikasi

8
 Tindakan operatif : dilakukan pemasangan prosthesis moore

3. Pneumonia

Pada skenario berdasarkan hasil foto thoraks pasien terilhat perselubungan

homogen pada medial kedua paru dan pada pemfis pasien ditemukan bunyi

ronkhi basah kasar diseluruh lapangan kedua paru. Kita dapat mencurigai

bahwa pasien mengalami pneumonia. Untuk penanganan utama kita dapat

memberikan pasien terapi antibiotik empirik.

4. Hipertensi grade 2 dan jantung

Tekanan darah pasien pada skenario 170/90 mmHg dan pasien tidak berobat

secara teratur. Kita dapat memberikan penatalaksanaan awal dengan cara:

 Diet jantung I-IV (835-2023 kkal)

 Diet rendah garam

 Medika mentosa

a. ACE inhibitor : Catopril

b. Angiotensin II receptor blocker

c. Beta blocker : propranolol, asebutolol

d. Calcium antagonist : nifedipin, diltiazem, verapamil

e. Diuretic : thiazide (hydrochlorothiazide, indapamide)

Rekomendasi untuk hipertensi dengan komplikasi penyakit lain :

 DM : ACE-I

9
 Dyslipidemia : alpha blocker

 Isolated sistolik HT : diuretic, Ca+2 antagonist

 Osteoporosis : thiazide

5. DM tipe 2 (tidak terkontrol)

Pasien pada skenario dapat dikatakan menderita DM tipe 2 tidak terkontrol,

karena pada skenario dikatakan pasien mengkonsumsi glibenclamid 5mg secara

teratur tapi pada hasil pemeriksaan GDP dan GD2PP, hasilnya menunjukkan

bahwa pasien mengalami hiperglikemi. Untuk penanganan awal kita dapat

melakukan koreksi dosis obat yang diberikan sebelumnya kemudian jika tidak

ada perubahan bias kita ganti obatnya. Selain itu beberapa cara penanganan

awal untuk pasien diabetes melitus :

 lifestyle modification :

 Pengaturan makan

 Latihan

 Penyuluhan

 memberikan hyperglikemik lowering agents

1. Glinid : repaglinid dan nateglinid

2. Biguanid : metformin

3. -glucosidase inhibitor : acarbose

4. Thiazolidinedione : pioglitazone

5. Dpp - 4 inhib : vildagliptin, sitagliptin, saxagliptin

 Insulin

10
6. CKD (Chronic Kidney Disease)

Pada Skenario pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil kreatinin meningkat

1,5 mg/dl normalnya 0,6-0,9 mg/dl. Untuk dapat memastikan apakah pasien ini telah

menderita AKI ( Acute Kidney Injury ) atau CKD (Chronic Kidney Disease) kita

dapat menentukannya dengan menghitung laju filtrasi glomerulus atau GFR.

Rumus yang digunakan adalah rumus Kockcroft-Gault yaitu :

GFR for male: (140 – age) x wt(kg) / (72 x Serum Creatinine)

GFR for female: GFR(females) = GFR(males) x 0.85

Jadi : (140-65) x 40 / (72x 1,5) = 27,7 x 0,85 = 23,611 ml/menit/I,73 m2

Interpretasi : Menurut klasifikasi penyakit ginjal kronik atas derajat kerusakan

ginjal maka didapatkan kerusakan ginjal berat ( GFR 15-29 ml/menit/1,73 m2) pada

pasien ini juga diketahui adanya riwayat penyakit diabetes melitus sejak 7 tahun

yang lalu serta ada riwayat hipertensi grade II pada pasien diabetes melitus dan

hipertensi yang lama dapat menyebabkan komplikasi berupa menurunnya kerja

ginjal atau memperberat fungsi ginjal . Maka tatalaksana yang dapat diberikan

kepada pasien ini adalah sebagai berikut :

- Obat hipertensi. Tekanan darah tinggi dapat menurunkan fungsi ginjal dan

mengubah komposisi elektrolit dalam tubuh. Bagi penderita GGK yang juga

disertai hipertensi, dokter dapat memberikan obat ACE inhibitor atau ARB.

- Suplemen untuk anemia. Untuk mengatasi anemia pada penderita GGK

adalah suntikan hormon eritropoietin yang terkadang ditambah

suplemen besi.

11
- Obat diuretik. Obat ini dapat mengurangi penumpukan cairan pada bagian

tubuh, seperti tungkai. Contoh obat ini adalah furosemide. Efek samping yang

mungkin ditimbulkan adalah dehidrasi serta penurunan kadar kalium dan

natrium dalam darah.

- Suplemen kalsium dan vitamin D. Kedua suplemen ini diberikan untuk

mencegah kondisi tulang yang melemah dan berisiko mengalami patah

tulang.

- Obat kortikosteroid. Obat ini diberikan untuk penderita GGK karena

penyakit glomerulonefritis atau peradangan unit penyaringan dalam ginjal.

7. Hiperurisemia

Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan kadar ureum pasien meningkat

yaitu 8,6 mg/dl normalnya 3-7 mg/dl. Tatalaksana hiperurisemia tanpa gejala

klinis dapat dilakukan dengan modifikasi gaya hidup, termasuk pola diet

seperti pada prinsip umum pengelolaan hiperurisemia yaitu :

 Pasien yang overweight harus melakukan modifikasi pola makan untuk

memiliki berat badan ideal.

 Hindari makanan tinggi purin seperti daging merah dan tinggi protein,

kaldu, hati, ginjal, kerang dan ekstrak ragi. Demikian pula dengan minuman

tinggi purin seperti alkohol dalam bentuk bir dan fortified wines.

 Pasien harus terhidrasi dengan baik dengan minum air >2 liter per hari.

 Latihan fisik sedang harus dimasukkan dalam upaya penanganan pasien

gout, namun latihan yang berlebihan dan berisiko trauma sendi wajib

dihindari.

12
Untuk terapi farmakologinya pasien dapat dberikaon obat seperti kolsikin

0,5-1 mg/hari selama 6 bulan, atau OAINS dengan dosis rendah jika pasien

intoleransi atau kontraindikasi dengan kolsikin, kortikosteroid oral dan/atau bila

dibutuhkan aspirasi sendi dilanjutkan injeksi kortikosteroid, Alopurinol.

8. Hipoalbuminemia

Pada skenario hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan kadar albumin pada

tubuh pasien menurun yaitu 2,6 gr/dl normalnya 3,5-5 gr/dl. Maka penatalaksanaan

yang dapat kita berikan ke pasien adalah sebagai berikut:

1. Makanan yang mengandung protein seperti susu, yogurt, keju, kacang-

kacangan dibatasi dalam konsumsinya untuk pasien dialiis karena

mengandung kadar kalium dan phospat yang tinggi.

2. Makanan dari hewani seperti daging sapi, ikan seperti ikan lele, ayam, telur

dan susu yang mengandung protein tinggi.

3. Memberikan protein albumin baik dalam bentuk kapsul maupun serum

albumin

4. Dikoreksi dengan albumin intravena

Pada skenario pasien disertai dengan Gangguan dan disertai dengan hipertensi

dapat diberikan Cartopril, untuk membantu mencegah keluarnya albumin lewat

urine.

9. Rematik

 Dukungan psikologis

 Istirahat

13
 Medika mentosa :

a. Penggunaan asetaminofen (hingga 4 gr/hr)

b. NSAID oral selektif dan non selektif COX-2 yang digunakan dengan dosis

rendah yang efektif untuk penanganan OA, dan hindari penggunaan dalam

jangka panjang.

c. Preparat topikal NSAID dan capsaicin

d. Injeksi intra artikular kortikosteroid dan hialuronat

e. Suplementasi menggunakan glucosamine dan chondroitin sulfat untuk

meringankan gejala simptomatik

f. Injeksi hidrokortison intra articular

10. Stroke

Rehabilitasi :

a. Fisioterapi sejak hari I : posisi dan gerakan pasif ke aktif

b. Bina wicara

c. Psikoterapi & sosialisasi

d. Terapi kerja

Preventif :

a. ASA : 80-300 mg/hr

b. Terapi faktor risiko.

14
11. Anemia : pada skenario didapatkan hasil pemeriksaan laboratorium

Hemoglobin pasien menurun yaitu 10,1 gr% (normalnya 13-18 gr%), sehingga

tatalaksana yang dapat kita berikan kepada pasien ini berupa peningkatan

asupan gizi yang banyak mengandung zat besi seperti daging, sayur bayam dan

lain sebagainya atau dapat juga diberikan tablet Fe atau vitamin B12.

Referensi :

 Dahlan Z. Pneumonia. Buku Ajar Ilmu penyakit dalam Jilid II edisi VI.

Jakarta : Interna Publishing. Hlm 1620. 2014

 Setiati, S. Gangguan Keseimbangan, Jatuh dan Fraktur dalam Ilmu

Penyakit Dalam Jilid 3 Edisi IV. Jakarta: Badan penerbit Interna. 2015.p.

3755.

 Setiati S, Harimurti K, Roosheroe AG. 2006. Buku ajar ilmu penyakit

dalam. Jilid III.Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam

Fakultas Kedokteran Indonesia. hlm. 1335-1340.

 PERKENI (2015). Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes

Mellitus tipe 2 di Indonesia. Jakarta. PB PERKENI.

 H. Hadi Martono (2010), Buku Ajar Boedhi –Darmojo GERIATRI. Jakarta:

Penerbit Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Buku

ajar Boedhi-Darmojo. Geriatri (ilmu kesehatan usia lanjut) hal 191-195.

 Martono, H, hadi, dkk. 2010. Buku Ajar Boedhi-Darmojo : GERIATRI

(Ilmu Kesehatan Usia Lanjut). Jakarta : Balai Penerbit FKUI. Hal 185-189.

15
IDENTIFIKASI MASALAH PERTANYAAN-PERTANYAAN PENTING

1. Jelaskan apa yang dimaksud dengan jatuh beserta faktor resiko jatuh

berdasarkan skenario ?

2. Jelaskan mengenai teori penuaan!

3. Bagaimana patomekanisme gejala pada skenario?

4. Apa pengaruh jatuh terduduk terhadap keluhan pada skenario?

5. Apakah hubungan antara riwayat penyakit terdahulu dengan gejala pada

skenario?

6. Jelaskan pengaruh obat pada skenario dengan jatuh!

7. Jelaskan hubungan adanya kifosis dengan jatuh pada skenario !

8. Jelaskan pencegahan jatuh berulang pada pasien!

9. Apa saja komplikasi yang dapat terjadi pada pasien jatuh?

10. Jelaskan perspektif islam

PEMBAHASAN PERTANYAAN

1. Jelaskan apa yang dimaksud dengan jatuh beserta faktor resiko jatuh

berdasarkan skenario ?

Jawaban :

Jatuh merupakan suatu kejadian yang menyebabkan subyek yang sadar

menjadi berada di permukaan tanah tanpa disengaja, tidak termasuk jatuh akibat

pukulan keras, kehilangan kesadaran, atau kejang.

Beberapa kondisi patologis yang meningkat prevalensinya sejalan dengan

meningkatnya usia turut berperan dengan terjadinya instabilitas dan jatuh. Penyakit

16
sendi degeneratif (terutama vertebra servikal leher, lumbosakral, dan ekstremitas

bawah) dapat menimbulkan rasa nyeri, sendi tak stabil, kelemahan otot, dan

gangguan neurologis. Berkurangnya input sensorik, seperti pada neuropati diabetik

dan neuropati perifer lainnya, gangguan penglihatan, dan gangguan pendengaran

mengakibatkan berkurangnya isyarat dari lingkungan yang sebenarnya berperan

dalam kestabilan, dan karenanya merupakan predisposisi untuk terjadinya jatuh.

Gangguan fungsi kognitif dapat mengakibatkan seseorang berjalan-jalan

(wandering) ke tempat atau lingkungan yang tidak aman dan memudahkan untuk

jatuh.

Untuk dapat memahami faktor risiko jatuh, maka harus dimengerti bahwa

stabilitas badan ditentukan atau dibentuk oleh :

a.Sistem sensorik

Yang berperan didalamnya adalah : visus (penglihatan),pendengaran,fungsi

vestibuler dan proprioseptif. Semua gangguan atau perubahan pada mata akan

menimbulkan gangguan penglihatan. Semua penyakit telinga akan menimbulkan

gangguan pendengaran. Verrtigo tipe perifer sering terjadi pada lansia yang diduga

karena adanya perubahan fungsi vestibuler akibat proses menua. Neuropati perifer

dan gangguan degeneratif leher akan mengganggu fungsi pproprioseptif. Gangguan

sensorik tersebut menyebabkan hampir sepertiga penderita lansia mengalami

sensasi abnormal pada saat dilakukan uji klinik.

b.Sistem saraf pusat (SSP)

SSP akan memberikan respon motorik untuk mengantisipasi input sensorik.

Penyakit SSP seperti stroke, Parkinson, hidrosefalus tekanan normal sering

17
menderita oleh lansia dan menyebabkan gangguan fungsi SSP sehingga berespon

tidak baik terhadap input sensorik.

c.Kognitif

Pada beberapa penelitian, dementia diasosiasikan dengan meningkatnya

risiko jatuh.

d. Muskuloskeletal

Faktor ini disebabkan oleh beberapa peneliti merupakan factor yang benar-

benar murni milik lansia yang berperan besar terhadap terjadinya jatuh Gangguan

musculoskeletal menyebabkan gangguan gaya berjalan (gait) dan ini berhubungan

dengan proses menua yang fisiologis. Gangguan gait yang terjadi akibat proses

menua tersebut antara lain :

- Kekakuan jaringan penghubung

- Berkurangnya massa otot

- Penurunan visus/lapang pandang

- Kerusakan proprioseptif

Yang kesemuanya menyebabkan :

- Penurunan range of motion (ROM) sendi

- Penurunan kekuatan otot, terutama menyebabkan kelemahan dari ekstremitas

bawah.

- Perpanjangan waktu reaksi

- Kerusakan persepsi dalam

- Peningkatan postural sway (goyangan badan )

18
Semua perubahan tersebut mengakibatkan kelambatan gerak, langkah

pendek, penurunan irama, dan pelebaran bantuan basal. Kaki tidak dapat menapak

dengan kuat dan lebih cenderung gampang goyah. Perlambatan reaksi

mengakibatkan seorang lansia susah/terlambat mengantisipasi bila terjadi

gangguan seperti terpeleset, tersandung, kejadian tiba-tiba, sehingga memudahkan

jatuh.

Secara singkat faktor risiko jatuh pada lansia dibagi dalam dua golongan

besar, yaitu :

1. Faktor-faktor instrinsik

2. Faktor-faktor ekstrinsik

Gambar 1. Faktor instrinsik dan faktor ekstrinsik resiko terjadinya jatuh


Dikutip dari Darmojo, boedhi.2015

19
Referensi :

 Siti Setiati, Purwita W Laksmi. Gangguan Keseimbangan, Jatuh, dan

Fraktur. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III Edisi VI. Jakarta :

InternaPublishing. 2015

 Darmojo, boedhi.2015. Buku Ajar Geriatri Ilmu Kesehatan Usia

Lanjut.Jakarta: FK UI.

2. Jelaskan tentang teori penuaan !

Jawaban :

Menua adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan kemampuan

jaringan untuk memperbaiki diri/mengganti diri dan mempertahankan struktur dan

fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap jejas (termasuk infeksi)

dan memperbaiki kerusakan yang diderita. Secara umum terbagi atas 3 teori

penuaan yaitu teori penuaan biologik, teori penuaan psikologik, dan teori penuaan

sosial.

1. Teori Penuaan Biologik

Teori biologik dipisahkan menjadi 2 golongan besar, yaitu teori

perkembangan genetik (penuaan primer) yang menunjukkan adanya

penurunan fungsi yang terkontrol secara genetic dan teori stokhastik

(penuaan sekunder) menunjukkan adanya perubahan acak sebagai akibat

penyakit yang didapat dan/atau trauma.

Macam-macam teori penuaan biologik yaitu :

a.) Teori “Genetic clock”

20
Menurut teori ini menua telah teprogram secara genetic untuk spesies-

spesies tertentu. Tiap spesies mempunyai didalam nuclei (inti sel)nya

suatu jam genetic yang telah diputar menurut suatu replikasi tertentu.

Jam ini akan menghitung mitosis dan menghentikan replikasi sel bila

tidak diputar. Jadi menurut teori ini bila jam kita itu berhenti akan

meninggal dunia, meskipun tanpa disertai kecelakaan lingkungan atau

adanya penyakit.

b.) Mutasi somatic (teori Error Catastrophe)

Menurut teori ini faktor lingkungan yang menyebabkan mutasi somatik.

Sebagai contoh diketahui bahwa radiasi dan zat kimia dapat

memperpendek umur sebaliknya menghindarinya dapat

memperpanjang umur. Menurut teori ini terjadinya mutasi yang

progresif pada DNA sel somatik, akan menyebabkan terjadinya

penurunan kemampuan fungsi sel tersebut. Sebagai salah satu hipotesis

yang berhubungan dengan mutasi sel somatic adalah hipotesis error

catastrophe.

c.) Rusaknya system imun tubuh

Mutasi yang berulang atau perubahan protein pascatranslasi dapat

menyebabkan berkurangnya kemampuan sistemimun tubuh mengenali

dirinya sendiri (Self recognition). Jika mutasi somatic menyebabkan

terjadinya kelainan pada antigen permukaan sel, maka hal ini dapat

menyebabkan system imun tubuh menganggap sel yang mengalami

21
perubahan tersebut sebagai se lasing dan menghancurkannya.

Perubahan iniah yang menjadi dasar terjadinya peristiwa autoimun.

d.) Teori Menua akibat metabolisme

Menurut teori ini pengurangan “intake” kalori akan menghambat

pertumbuhan dan memperpanjang umur. Lebih jauh ternyata bahwa

perpanjangan umur tersebut berasosiasi dengan tertundanya proses

degenerasi. Perpanjangan umur karena penurunan jumlah kalori

tersebut, antara lain disebabkan karena menurunnya salah satu atau

beberapa proses metabolisme. Terjadi penurunan pengeluaran hormone

yang merangsan proliferasi sel, misalnya insulin, dan hormone

pertumbuhan.

e.) Kerusakan akibat radikal bebas

Radikal bebas (RB) yang sering dianggap sebagai fragmen molekuler

yang mempunyai electron tidak berpasangan, dapat terbentuk didalam

tubuh akibat proses metabolik normal didalam mitokondria juga sebagai

produk sampingan didalam rantai pernapasan.

RB yang terbentuk tersebut adalah : superoksida (O2), radikal hidroksil

(OH), dan juga peroksida hidrogen (H2O2). RB bersifat merusak, karena

sangat reaktif, sehingga dapat bereaksi dengan DNA, protein, asam

lemak tak jenuh, seperti dalam membrane sel, dan dengan gugus SH.

2. Teori Penuaan Psikologik

Teori ini mencakup tentang kestabilan mental dan perubahan dalam akhir

kehidupan, yang seperti juga teori biologic, belum dapat diintegrasikan

22
menjadi suatu teori psikologik penuaan yang komprehensif. Tiga golongan

besar dalam teori ini adalah Teori koginitif, teori kepribadian (personalitas)

dan kemampuan mengatasi masalah.

a.) Teori psikologik kognitif

Beberapa ahli memaparkan tentang perkembangan kognitif dari muda

hingga usia tua. Secara umum dikatakan bahwa manusia dewasa dengan

pendidikan dan intelegensia tinggi akan menunjukkan penurunan yang

lebih sedikit dibanding mereka yang pendidikan dan intelegensianya

rendah.

b.) Teori kepribadian (personalitas)

Teori ini merupakan suatu teori penuaan anti-pentahapan (antistage),

dimana kepribadian perkembangan dan penyesuaian dipengaruhi oleh

kejadian historis semasa hidupnya.

c.) Kemampuan mengatasi masalah

Kemampuan dan kepandaian untuk mengatasi masalah secara erat

terjalin dengan terjadinya perubahan kepribadian.

3. Teori penuaan sosial

Secara umum teori sosiologis tentang penuaan dapat dibagi menjadi teori

yang mempelajari tentang hubungan antara para lanjut usia dengan

masyarakat dan teori yang mempelajari status dan peran para lanjut usia.

Referensi :

Buku Ajar Boedhi-Darmojo. Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut). Edisi 5. Hal

7-18. 2015. Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

23
3. Patomekanisme gejala pada skenario !

Jawaban :

a) Nyeri bila berjalan pada pangkal paha kanan

 Faktor musculoskeletal

Gangguan muskuloskeletal menyebabkan gangguan gaya berjalan (gait)

dan ini berhubungan dengan proses menua yang fisiologis. Gangguan Gait

yang terjadi akibat proses menua tersebut antara lain disebabkan oleh:

- Kekakuan jaringan penghubung

- Berkurangnya massa otot

- Perlambatan konduksi saraf

- Penurunan visus / lapang pandang

- Kerusakan proprioseptif

Yang kesemuanya menyebabkan:

- Penurunan range of motion (ROM) sendi

- Penurunan kekuatan otot, terutama menyebabkan kelemahan

ekstremitas bawah

- Perpanjangan waktu reaksi

- Kerusakan persepsi dalam

- Peningkatan postural sway (goyangan badan)

24
Semua perubahan tersebut mengakibatkan kelambatan gerak, langkah yang

pendek, penurunan irama, dan pelebaran bantuan basal. Kaki tidak dapat menapak

dengan kuat dan lebih cenderung gampang goyah. Perlambatan reaksi

mengakibatkan seorang lansia susah/terlambat mengantisipasi bila terjadi

gangguan seperti terpeleset, tersandung, kejadian tiba-tiba sehingga memudahkan

jatuh.

 Rematik

Perubahan-perubahan akan terjadi pada tubuh manusia sejalan dengan

makin meningkatnya usia. Perubahan tubuh terjadi sejak awal kehidupan hingga

usia lanjut pada organ dan jaringan tubuh. Keadaan demikian itu tampak pula

pada semua sistem muskuloskeletal dan jaringan lain yang ada kaitannya dengan

timbulnya beberapa golongan rematik. Rematik dapat mengakibatkan perubahan

otot hingga fungsinya dapat menurun bila otot pada bagian yang menderita tidak

dilatih guna mengaktifkan fungsi otot.

Rematik-> Penumpukan Kristal asam urat di persendian ->

Cairan synovial berkurang & mengental -> Nyeri ketika berjalan ->

Pasien berjalan tertatih-tatih.

25
Ada tiga keluhan utama rematik pada sistem muskuloskeletal yaitu: nyeri,

kekakuan (rasa kaku) dan kelemahan, serta ada tiga tanda utama yaitu:

pembengkakan sendi, kelemahan otot dan gangguan gerak.

Secara singkat pada pasien di skenario, terjatuh pada pasien geriatri dapat

menyebabkan berbagai komplikasi salah satunya fraktur pada Hip Junction, seperti

pada gambar di bawah, sehingga menyebabkan pasien nyeri bila berjalan.

Gambar 2. Patomekanisme Rematik ( dikutip: Boedhi, Darmojo, R. 2009)

b) Batuk, sesak dan anoreksia

Dengan makin lanjutnya usia seseorang maka kemungkinan terjadinya

penurunan anatomik dan fungsional atas organnya masih besar. Penurunan

anatomik dan fungsional dari organ tersebut akan menyebabkan lebih mudah

26
timbulnya penyakit pada organ tersebut. Salah satunya pada system

gastrointestinal. Mulai dari gigi sampai anus terjadi perubahan morfologik

degenerative, antara lain perubahan atrofik pada rahang, sehingga gigi lebih

mudah tanggal. Perubahan atrofik juga terjadi pada mukosa, kelenjar dan otot-

otot pencernaan. Berbagai perubahan morfologik akan menyebabkan perubahan

fungsional sampai perubahan patologik, diantaranya gangguan mengunyah dan

menelan, serta perubahan nafsu makan. Gizi yang kurang dan timus yang

mengalami resorbsi akan menyebabkan mudah terkena infeksi. Infeksi saluran

napas menyebabkan batuk dan sesak. Batuk dan sesak disebabkan karena

perubahan anatomi dan penurunan fungsi fisiologis dari system respirasi.

Perubahan anatomi diantaranya peningkatan diameter trachea dan saluran napas

utama, membesarnya duktus alveolaris, berkurangnya elastisitas penyangga

parenchyma paru, penurunan massa jaringan massa paru, berkurangnya

kekuatan otot-otot pernapasan, dan kekakuan dinding thoraks. Sedangkan

penurunan fungsi fisiologis yaitu kekuatan otot pernapasan menurun, ventilasi

dan perfusi paru menurun, menurun (CV, FVC, FEV1), meningkat (FRC, RV).

Keadaan tersebut dapat menyebabkan penurunan system imun sehingga mudah

terkena infeksi dan menyebabkan batuk. Sesak yang terjadi menyebabkan

hipoksia sehingga aliran oksigen ke otak menurun dan menyebabkan jatuh.

27
Gambar 3. Patomekanisme Batuk, Sesak, Dan Anoreksia
( dikutip dari : Boedhi, Darmojo, R. 2009)

Referensi :

 Martono, H, hadi, dkk. 2010. Buku Ajar Boedhi-Darmojo : GERIATRI

(Ilmu Kesehatan Usia Lanjut). Jakarta : Balai Penerbit FKUI. Hal 181

 Boedhi, Darmojo, R. 2009. Buku Ajar Geriatri ( Ilmu Kesehatan Usia

Lanjut ) edisi ke-4. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.

4. Apa pengaruh jatuh terduduk terhadap keluhan ?

Jatuh dapat mengakibatkan berbagai jenis cedera, kerusakan fisik dan

psikologis. Kerusakan fisik yang paling ditakuti dari kejadian jatuh adalah

fraktur collum femur. Jenis fraktur lain yang sering terjadi akibat jatuh adalah

fraktur pergelangan tangan, lengan atas dan pelvis serta kerusakan jaringan

28
lunak. Peningkatan kejadian fraktur juga diperkirakan terjadi pada decade

berikutnya, terutama karena peningkatan fraktur osteoporosis yang tidak dapat

disangkal, terkait dengan penuaan populasi yang cepat. Dampak psikologis

yang terjadi antara lain syok setelah jatuh dan rasa takut akan jatuh lagi dapat

memiliki banyak konsekuensi termasuk ansietas, hilangnya rasa percaya diri,

pembatasan dalam aktivitas sehari-hari, falafobia atau fobia jatuh meskipun

kejadian jatuh yang dialami tidak menimbulkan cedera fisik. Penelitian tentang

nyeri fraktur telah memungkinkan pemahaman awal tentang mekanisme yang

terlibat. Selama respon inflamasi terhadap fraktur, beberapa mediator

dilepaskan dan secara aktif akan mengaktifkan dan mensensitisasi neuron

sensorik primer, secara paralel, peningkatan saraf intens yang terjadi di daerah

kalus fraktur juga disarankan untuk terlibat dalam sinyal nyeri.

Referensi :

 Boedhi, Darmojo, R. 2009. Buku Ajar Geriatri ( Ilmu Kesehatan Usia

Lanjut ) edisi ke-4. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.

 Martono, H.Hadi, Pranarka Kris. Geriatri ilmu kesehatan usia lanjut Edisi

5, Jakarta : Balai penerbit FKUI, 2014. Hal 399,438,462,537.

29
5. Apakah hubungan riwayat penyakit terdahulu dengan jatuh pada skenario !

 Diabetes Mellitus

Diabetes Melitus dapat di definisikan sebagai kadar gula yang tinggi

dalam urin terjadi pada seseorang yang mengalami peningkatan kadar gula

darah (glukosa) dalam darah akibat kekurangan insulin atau reseptor insulin

tidak berfungsi dengan baik. Diabetes yang timbul akibat kekurangan

insulin disebut DM tipe 1,sedang diabetes karena insulin tidak berfungsi

disebut DM tipe 2. Jika tidak tepat di tangani dalam jangka panjang penyakit

diabetes dapat menimbulkan berbagai komplikasi akibat gangguan

pembuluh darah. Gangguan bisa terjadi pada pembuluh darah otak

(stroke),pembuluh darah mata (gangguan penglihatan),pembuluh darah

jantung (penyakit jantung koroner),pembuluh darah ginjal (gagal

ginjal),serta pembuluh darah kaki (luka yang sukar sembuh/gangren).

Gangguan tersebut dapat berakibat dengan faktor penyebab jatuh pada

pasien.

 Tekanan darah tinggi (Hipertensi)

Hipertensi pada golongan lanjut usia adalah kecenderungan labiltas

tekanan darah,serta mudahnya terjadi hipotensi postural. Maka dari itu

dianjurkan untuk selalu mengukur tekanan darah pada posisi tidur maupun

tegak. Apabila hipertensi ini tidak terkontrol makan akan dapat

menyebabkan penyakit jantung hipertensif dan komplikasi pada terget

30
organ lainnya. Pada orang dengan hipertensi,pasien sering mengeluh sakit

kepala atau pusing. Gejala-gejala tersebut dapat menyebabkan pasien jatuh.

 Rematik

Rematik dapat didefinisikan sebagai berbagai kelainan yang

ditandai oleh peradangan,degenerasi,atau kekacauan metabolik struktur

jaringan ikat terutama sendi dan struktur yang berhubungan,dan disertai

oleh rasa nyeri, kekakuan atau pembatasan gerak. Remartik banyak dialami

orang lanjut usia dengan berbagai macam kelainan seperti osteoporosi

,osteoatrhtritis,reumatoid artritis,gout,dan psudogout. Adanya gangguan-

gangguan tersebut menyebabkan sakit/nyeri hilang timbul,nyeri setelah

melakukan aktivitas,rasa kaku pada persendian dan kelemahan

otot/tulang,akibatnya pasien sulit berjalan dan tertatih-tatih dan mempunyai

resiko jatuh jika berjalan kurang baik.

 Batuk,ronki basah kasar pada kedua lapangan paru :

Makin lanjutnya usia seseorang, maka kemungkinan terjadinya

penurunan anatomik dan fungsional atas organnya masih besar. Batuk dapat

disebabkan karena perubahan anatomi dan penurunan fungsi fisiologis dari

sistem respirasi. Perubahan anatomi diantaranya peningkatan diameter

trachea dan saluran napas utama, membesarnya ductus alveolaris

berkurangnya kekuatan otot-otot pernapasan,dan kekakuan dinding thoraks.

Sedangkan penurunan fungsi fisiologis yaitu kekuatan otot pernapasan

31
menurun, ventilasi dan perfusi menurun, menurun (CV,FVC,FEV1),

Meningkat (FRC,RV). Keadaan tersebut dapat menyebabkan penurunan

system imun sehingga mudah terkena infeksi dan menyebabkan jatuh.

Referensi :

 PERKENI (2015). Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes

Mellitus tipe 2 di Indonesia. Jakarta. PB PERKENI.

 H. Hadi Martono (2010), Buku Ajar Boedhi –Darmojo GERIATRI. Jakarta:

Penerbit Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Buku

ajar Boedhi-Darmojo. Geriatri (ilmu kesehatan usia lanjut) hal 191-195.

 Martono, H, hadi, dkk. 2010. Buku Ajar Boedhi-Darmojo : GERIATRI

(Ilmu Kesehatan Usia Lanjut). Jakarta : Balai Penerbit FKUI. Hal 185-189.

6. Jelaskan pengaruh obat pada skenario dengan jatuh!

Jawaban :

A. Sulfonilurea

Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin

oleh sel beta pankreas. Efek samping utama adalah hipoglikemi dan

peningkatan berat badan. Hati-hati menggunakan sulfonilurea pada

pasien dengan risiko tinggi hipoglikemi (orang tua, gangguan faal hati,

dan ginjal).

 Glibenklamid adalah antidiabetik poten generasi kedua dari

32
golongan sulfonilurea yang memperbaiki cara kerja glukosa melalui

sekresi insulin, aksi insulin, ataupun keduanya. Efek predominan

dari sulfonylurea berada pada sekresi insulin, sementara sensitifitas

efek terhadap insulin dapat dimediasi baik melalui perbaikan control

metabolic atau melalui efek perifer secara langsung. Sulfonilurea

juga diketahui dapat mensekresikan hormon pankreas seperti

somatostatin dan glukagon.

 Mekanisme aksi dari glibenklamid adalah membentuk ikatan dari

molekul obat dengan reseptor pada sel beta. Ikatan yang terbentuk

dapat merangsang keluarnya hormon insulin dari granul-granul sel

beta pulau Langerhans pada pankreas. Oleh karena itu, syarat

pemakaian gliben klamid pada penderita diabetes mellitus adalah

jika pankreas penderita diabetes masih dapat memproduksi insulin.

33
B. Profil obat anti hiperglikemi

Gambar 4. Profil Obat Anti Hiperglikemia


( dikutip dari : Soegondo, Sidartawan. 2015)

C. Obat anti hiperglikemi oral

Gambar 5 . Obat Anti Hiperglikemia Oral


( dikutip dari Manaf, Asman. 2015)

34
Referensi :

- Manaf, Asman. Hipoglikemia: pendekatan klinis dan penatalaksanaan.

Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, jilid II edisi VI. Jakarta :

InternaPublishing. 2015

- Soegondo, Sidartawan. Farmakoterapi pada pengendalian glikemia

diabetes melitus tipe 2. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, jilid II edisi

VI. Jakarta : InternaPublishing. 2015

7. Jelaskan hubungan adanya kifosis dengan jatuh pada skenario !

Jawaban :

Tubuh manusia terdiri dari tulang- tulang yang tersusun secara beraturan untuk

menopang tubuh. Posisi tulang yang salah atau tidak pada tempatnya dapat

memengaruhi postur tubuh pada lanjut usia, termasuk posisi tulang pada tulang

belakang. Kelengkungan yang terjadi pada punggung atas (lebih dari 50 derajat)

dinamakan dengan kifosis. Orang dengan kifosis terlihat dari postur tubuhnya yang

membungkuk.

Kifosis paling sering terjadi pada laki- laki dan wanita yang sudah lanjut usia,

ini berhubungan dengan usia dan osteoporosis. Salah satu faktor gangguan

kesehatan yang dialami lansia terutama faktor efek postur tubuh terhadap

keseimbangan tubuh. Pada lanjut usia akan terjadi proses menua, dimana proses

menua ini merupakan suatu proses menghilangnya kemampuan jaringan secara

perlahan- lahan untuk mengganti/memperbaiki diri dan mempertahankan fungsi

normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki

35
kerusakan yang diderita, perubahan fungsional otot, yaitu terjadi penurunan

kekuatan dan kontraksi otot, elastisitas dan fleksibilitas otot, serta kecepatan dan

waktu reaksi.

Postur tubuh dalam menjaga keseimbangan merupakan hal yang sangat penting

terutama bagi lansia untuk melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari (AKS).

Selain itu keseimbangan juga sebagai penyebab resiko jatuh pada lansia.

Keseimbangan pada lansia terdiri dari keseimbangan statik (saat diam seperti

duduk, berdiri) dan keseimbangan dinamik (saat melakukan aktivitas). Ada

beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi keseimbangan pada lansia antara lain:

Pusat gravitasi (Center of Gravity- COG), Garis gravitasi (Line of Gravity- LOG),

Bidang tumpu (Base of Support- BOS)

Untuk melakukan aktifitas sehari-hari, lanjut usia terlebih dahulu akan

melakukan gerakan statis atau diam contohnya berdiri sehingga peran postur

sangatlah penting untuk diperhatikan. Menentukan keseimbangan dalam segala

bidang khususnya pada saat diam atau statis merupakan hal yang sulit karena setiap

segmen pada lanjut usia memiliki derajat kebebasan untuk bergerak secara

bervariasi. Pada lanjut usia yang sudah terjadi perubahan postur akan sangat

kesulitan untuk mengontrol keseimbangan karena pusat gravitasi (COG = Center

Of Gravity) hampir selalu berubah. Menyegariskan tiap segmen dari kaki hingga

kepala merupakan kontrol keseimbangan tegak

Fisiologi tubuh paling penting dalam menjaga keseimbangan adalah

proprioception. Proprioception merupakan kemampuan untuk merasakan posisi

bagian sendi atau tubuh dalam gerak. Bagian yang bertanggung jawab untuk

36
proprioception umumnya terletak di sendi, tendon, ligamen, dan kapsul sendi

sementara tekanan reseptor sensitif terletak difasia dan kulit

Perubahan fungsional otot, yaitu terjadi penurunan kekuatan dan kontraksi

otot, elastisitas dan fleksibilitas otot, serta kecepatan dan waktu reaksi hal ini

mengakibatkan perubahan bentuk tulang terutama bagian vertebra yang akan

berpengaruh pada postur tubuhnya. Perubahan-perubahan yang terjadi pada

vertebra itu kifosis, lordosis, skoliosis. Kifosis merupakan salah satu bentuk

kelainan yang terjadi pada tulang belakang manusia yang menjadi membungkuk.

Akibat perubahan i (Sulaiman & Anggriani, 2018)ni mengakibatkan penurunan

kemampuan mempertahankan keseimbangan postural atau keseimbangan tubuh

lansia.

Referensi:

Sulaiman & Anggriani, 2018. Efek Postur Tubuh Terhadap Keseimbangan Lanjut

Usia Di Desa Suka Raya Kecamatan Pancur Batu. Jurnal JUMANTIK, November,

3(2), pp. 128-130.

8. Jelaskan pencegahan jatuh berulang pada pasien!

Jawaban :

Jatuh bukan merupakan konsekuensi dari lanjutnya usia, oleh karena itu

dapat dilakukan pencegahan. Berdasarkan guideline dari American Geriatric

society, British Geriatric Society dan American Academy of Orthopedic Surgeon

Panel on Fall Prevention merekomendasikan bahwa pasien lanjut usia harus

37
dilkakukan skrening jatuh setiap tahun dengan evaluasi yang mendalam pada

individu yang pernah mengalami kejadian jatuh baik sekali atau berulang . Pada

pasien lansia yang baru pertama kali jatuh harus dilakukan pemeriksaan gaya

berjalan dan jatuh berulang dilakukan asesmen tentang obat-obatan yang

digunakan, fungsi penglihatan, pemeriksaan gaya berjalan dan keseimbang, fungsi

ekstremitas bawah, fungsi neurologi dan kardiovaskular.

Usaha pencegahan merupakan langkah yang harus dilakukan karena bila

sudah terjadi jatuh pasti terjadi komplikasi, meskipun ringan tetap memberatkan.

Ada 3 usaha pokok untuk pencegahan ini, antara lain:

1. Identifikasi faktor resiko

Pada setiap lansia perlu dilakukan pemeriksaan untuk mencari

adanya fator instriksi resiko jatuh, perlu dilakukan asesmen keadaan

sensorik, neurologi, musculoskeletal dan penyakit sistemik yang sering

mendasari/menyebabkan jatuh.

Keadaan lingkungan rumah yang berbahaya dan dapat

menyebabkan jatuh harus dihilangkan. Penerangan rumah harus cukup

tetapi tidak menyilaukan. Lantai rumah harus datar, tidak licin, bersih dari

benda – benda kecil yang susah dilihat. Peralatan rumah tangga yang sudah

tidak aman (lapuk, dapat bergeser sendiri) sebaiknya diganti, peralatan

rumah ini sebaiknya diletakkan sedemikian rupa sehingga tidak

mengganggu jalan/tempat aktivitas lansia. Kamar mandi dibuat tidak licin

sebaiknya diberi pegangan pada dindingnya pintu yang mudah dibuka. WC

sebaiknya dengan kloset duduk dan diberi pegangan di dinding.

38
Banyak obat – obatan yang berperan terhadap jatuh. Mekanisme

tersering termasuk sedasi, hipotensi ortostatik, efek ekstrapiramidal,

miopati dan gangguan adaptasi visual pada penerangan yang redup, Obat-

obatan yang menyebabkan sedasi diantaranya golongan benzodiapin, SSRI(

Selektive serotonin reuptake inhibitor). Obat-obatan yang menyebabakan

hipotensi ortostatik seperti antihipertensi, antiangina, obat anti-parkinson,

trisiklik antidepresan dan antipsikotik, SSRI. Obat-obatan yang

menyebabkan miopati, obat-obatan yang menyebabkan miosis. Pada pasien

dengan obat yang banyak/polifarmasi rentan pula mempengaruhi

kesimbangan.

Alat bantu berjalan yang dipakai lansia baik berupa tongkat, tripod

krukatau walker harus dibuat dari bahan yang kuat tetapi ringan, aman dan

tidak mudah berseger serta sesuai dengan ukuran tinggi badan lansia.

2. Penilaian pola berjalan (gait)

A. Penilaian pola berjalan secara klinis

Salah satu bentuk aplikasi fungsional dari gerak tubuh adalah pola

jalan. Keseimbangan, kekuatan, dan fleksibilitas diperlukan untuk

mempertahankan postur yang baik. Ketiga elemen itu merupakan dasar

untuk mewujudkan pola jalan yang baik pada setiap individu. Pola jalan

dibagi menjadi 2 fase yaitu:

1. Fase pijakan ( stance phase)

Fase ini adalah fase dimana kaki bersentuhan dengan pijakan . Fase

ini 60 persen dari durasi berjalan yang dibagi menjadi 3 yaitu:

39
a. Heal stroke yaitu saat tumit salah satu kaki menyentuh pijakan

b. Mid stance yaitu saat kaki menyentuh pijakan

c. Push offyaitu saat kakimeninggalkan pijakan

2. Fase dimana kakitidak meneyentuh pijakan ( Swing phase)

Fase ini 40ersen dari durasi berjalan yang dibagi menjadi 3 yaitu :

a. Acceleration Yaitu saat kaki ada didepan tubuh.

b. Swing though yaitu saat kaki berayun ke depan

c. Deselration yaitu saat kaki kembali brsentuhan dengan pijakan

Ada beberapa perubahan yang mungkin terjadi pada pola jalan lansia,

diantaranya sebagai berikut :

- Sedikir ada rigiditas pada anggota gerak terutama anggota atas lebih

dari anggota gerak bawah. Rigiditas akan hilang apabila tubuh

bergerak .

- Gerakan otomatis menurun, amplitude dan kecepatan berkurang,

seperti hilangnya anyunan tangan saat berjalan.

- Hilangnya kemampuan untuk memanfaatkan gravitasi sehingga

kerja otot meningkat

- Hilangnya ketepatan dan kecepatan otot , khususnya otot penggerak

sendi panggul

- Langkah lebih pendek agar merasa lebih aman

- Penurunan perbandingan antara fase mengayun terhadap fase

menumpu

- Penurunan rotasi badan terjadi karena efek sekunder kekakuan sendi

40
- Penurunan ayunan tungkai saat fase mengayun

- Penurunan sudut antara tumit dan lantai

- Penurunan irama jalan

- Penurunan rotasi gelang bahu dan panggul

- Penurunan kecepatan ayunan lengan dan tungkai

B. Penilaian keseimbangan

Pemeriksaan keseimbangan seharusnya dilakukan saat berdiri secara

statis dan dinamik, termasuk pemeriksaan kemampuan untuk bertahan

terhadap ancaman baik internal dan eksternal. Pemeriksaan statis termasuk

lebar cara berdiri sendiri dan cara berdiri sempit dengan kedua kaki yang

nyaman tanpadukungan ekstremitas atas, diikuti oleh beridiri dengan mata

tertutup untuk menghilangkan pengaruh visual untuk penderita ganggua

keseimbangan. Penghilangan input visual saat beridiri dengan kaki

menyempit (Tes Romberg) membutuhkan informasi somato sensorik dan

vestibular, sehingga meningkatkan goyangan menandakan adanya masalah

senori perifer dan vestibuler. Bagi lansia yang dapat melakukan tes

Romberg dengan baik, tesstatis yang lebih sulit seperti semitandem, tandem

dan satu kaku yang terangkat dapat dilakukan.

Kemamuan untuk mempertahakan postur berdiri sebagai respon

gangguan internal dapat dilakukan dengan meminta pasien untuk

melakukan tes pencapaian fungsionlal. Tes dinamik respon tubuh untuk

gangguan eksternal dapat dilakukan jika penderita lansia telah mampu

untuk melakukan tes keseimbangan statis lebar tanpa menggunakan alat

41
bantu atau bantun ekstremitas atas. Tes refleks yang benar . pemeriksaan

berdiri dibelakang pasien yang diminta untuk menarik atau mendorong, dan

beraksi untukmemepertahankan tetap berdiri.Pemeriksaaa kemudian secara

cepat mendorong pelvis pasien pada bagian sambil menjaga pasien secara

dekat . Kekuatan dorongan dengan amplitude yang cukup untuk mengubah

pusat massa keluar dari dasar landasan pasien.Responn yang khas, satu kaki

akan berpindah kebelakang secara cepat tanpa bantuan eksterimitas atasau

bantuan pemerisa. Respon yang abnormal disebut reaksi balok kayu/ timber

reaction yang mana tidak ada usaha untukmenggerakkan kaki dan

diperikirakan adanya deficit system nervous sentral,sering bersama dengan

komponen ekstrapiramidal.

3. Mengatur / mengatasi faktor situasional

Faktor situasional bersifat serangan akut penyakit yang diderita

lansia dapat dicegah dengan pemeriksaan rutn kesehatan lansia secara

periodic. Faktor situasional bahaya lingkungan dapat dicegah dengan

mengusahakan perbaikan lingkungan seperti tersebut diatas. Faktor

situasional yang berupa aktivitas fisik dapat dibatasi sesuai dengan kondisi

kesehatan penderita. Perlu diberitahukan pada penderita aktifitas fisik

seberapa jauh yang aman bagi penderita, aktifitas tersebut tidak melampaui

batasan yang diperbolehkan baginya sesuai hasil pemeriksaan fisik. Bila

lansia sehat dan tidak ada batasan aktifitas fisik, maka dianjurkan lansia

tidak melakukan aktifitas fisik yang sangat melelahkan atau beresiko tinggi

untuk terjadinya jatuh.

42
Referensi : Buku ajar Boedhi – darmojo. GERIATRI .edisi 5. FKUI. 2015. hal

185-189

9. Apa saja komplikasi yang dapat terjadi pada pasien jatuh?

Jawaban :

Jatuh pada geriatri dapat menimbulkan beberapa komplikasi diantaranya:

1. Perlukaan (injury)

- Rusaknya jaringan lunak yang terasa sangat sakit berupa robek atau

tertariknya jaringan otot, robeknya arteri/vena

- Patah tulang (fraktur)

o Pelvis

o Femur

o Humerus

o Lengan bawah

o Tungkai bawah

o Kista

- Hematom subdural

2. Perawatan Rumah Sakit

- Komplikasi akibat tidak dapat bergerak (imobilisasi)

- Resiko penyakit – penyakit iatrogenic

3. Disabilitas

- Penurunan mobilitas yang berhubungan dengan perlukaan fisik

43
- Penurunan mobilitas akibat jatuh, kehilangan kepercayaan diri dan

pembatasan gerak

4. Resiko untuk dimasukkan dalam rumah perawatan (nursing home)

5. Suddenly death

Referensi : Darmojo, Boedhi. buku Ajar Geriatri. Jakarta: UI Press. Hlm

184. 2009

10. Jelaskan perspektif islam!

Artinya :

23. Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah

selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang

44
diantaranya atau kedua-duanya sampai berusianlanjut dalam

pemeliharaanmu, maka sekali-sekali janganlah engkau mengatakan kepada

keduanya perkataan “ah” dan janganlah engkau membentak keduanya, dan

ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik.

24. Dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanyan dengan penuh kasih

sayang dan ucapkanlah, “Wahai Tuhanku! Sayangilah keduanya

sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku pada waktu kecil” Q.S. Al-

Isra’ [17]: 23-25).

45
DAFTAR PUSTAKA

1. Setiati, S. Gangguan Keseimbangan, Jatuh dan Fraktur dalam Ilmu

Penyakit Dalam Jilid 3 Edisi IV. Jakarta: Badan penerbit Interna. 2015.p.

3755

2. Kee L. J. Pedoman Pemeriksaan Laboratoriumoratorium dan Diognostik

Edisi 6. Jakarta: EGC. 2007.

3. Dahlan Z. Pneumonia. Buku Ajar Ilmu penyakit dalam Jilid II edisi VI.

Jakarta : Interna Publishing. Hlm 1620. 2014

4. Setiati, S. Gangguan Keseimbangan, Jatuh dan Fraktur dalam Ilmu

Penyakit Dalam Jilid 3 Edisi IV. Jakarta: Badan penerbit Interna. 2015.p.

3755.

5. PERKENI (2015). Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes

Mellitus tipe 2 di Indonesia. Jakarta. PB PERKENI.

6. H. Hadi Martono (2010), Buku Ajar Boedhi –Darmojo GERIATRI. Jakarta:

Penerbit Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Buku

ajar Boedhi-Darmojo. Geriatri (ilmu kesehatan usia lanjut) hal 191-195.

7. Martono, H, hadi, dkk. 2010. Buku Ajar Boedhi-Darmojo : GERIATRI

(Ilmu Kesehatan Usia Lanjut). Jakarta : Balai Penerbit FKUI. Hal 185-189.

8. Siti Setiati, Purwita W Laksmi. Gangguan Keseimbangan, Jatuh, dan

Fraktur. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III Edisi VI. Jakarta :

InternaPublishing. 2015

9. Darmojo, boedhi.2015. Buku Ajar Geriatri Ilmu Kesehatan Usia

Lanjut.Jakarta: FK UI.

46
10. Buku Ajar Boedhi-Darmojo. Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut). Edisi

5. Hal 7-18. 2015. Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia.

11. Martono, H, hadi, dkk. 2010. Buku Ajar Boedhi-Darmojo : GERIATRI

(Ilmu Kesehatan Usia Lanjut). Jakarta : Balai Penerbit FKUI. Hal 181

12. Boedhi, Darmojo, R. 2009. Buku Ajar Geriatri ( Ilmu Kesehatan Usia

Lanjut ) edisi ke-4. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.

13. Boedhi, Darmojo, R. 2009. Buku Ajar Geriatri ( Ilmu Kesehatan Usia

Lanjut ) edisi ke-4. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.

14. Martono, H.Hadi, Pranarka Kris. Geriatri ilmu kesehatan usia lanjut Edisi

5, Jakarta : Balai penerbit FKUI, 2014. Hal 399,438,462,537.

15. Manaf, Asman. Hipoglikemia: pendekatan klinis dan penatalaksanaan.

Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, jilid II edisi VI. Jakarta :

InternaPublishing. 2015

16. Soegondo, Sidartawan. Farmakoterapi pada pengendalian glikemia diabetes

melitus tioe 2. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, jilid II edisi VI. Jakarta :

InternaPublishing. 2015

17. Sulaiman & Anggriani, 2018. Efek Postur Tubuh Terhadap Keseimbangan

Lanjut Usia Di Desa Suka Raya Kecamatan Pancur Batu. Jurnal

JUMANTIK, November, 3(2), pp. 128-130.

18. Darmojo, Boedhi. Zbuku Ajar Geriatri. Jakarta: UI Press. Hlm 184. 2009

19. Buku ajar Boedhi – darmojo. GERIATRI .edisi 5. FKUI. 2015. hal 185-189

47
48

Anda mungkin juga menyukai