Anda di halaman 1dari 35

PROPOSAL

PENGARUH PENGETAHUAN DAN PERILAKU IBU DALAM PEMENUHAN GIZI


PADA ANAK

Oleh :

Nafiul Ikroma Wijayanti

131611133149

PRPGRAM STUDI S1 PENDIDIKAN NERS

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS AIRLANGGA

SURABAYA

2019
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb
Puji syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Tuhan atas limpahan rahmat dan
hidayah-Nya kepada kita semua. Rasa syukur itu dapat kita wujudkan dengan cara memelihara
lingkungan dan menjaga kesehatan serta mengasah akal budi untuk memanfaatkan karunia
Tuhan itu dengan sebaik-baiknya. Jadi, rasa syukur itu harus senstiasa kita wujudkan dengan
rajin belajar dan mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan. Dengan cara itu, kita akan menjadi
generasi bangsa yang dapat membangun kehidupan berbangsa yang lebih baik lagi .Atas berkat
Rahmat Tuhan Yang Maha Esa, penulis dapat menyusun dan menyelesaikan tugas ini dengan
baik dan dalam waktu yang relatif singkat. tugas ini dibuat untuk memenuhi syarat penugasan
metodologi penelitian.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan proposal ini masih banyak terdapat
kekurangan dan kesalahan yang mungkin kurang sesuai dengan keinginan pembaca. Oleh karena
itu, penulis sangat terbuka untuk menerima semua saran dan kritikan yang dapat membangun
demi kesempurnaan makalah ini. Dan juga bertambahnya pengawasan dan wawasan penulis
dalam pembuatan makalah berikutnya.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Gizi kurang menjadi salah satu masalah gizi utama di Indonesia sehingga pemerintah
menekankan Program Indonesia Sehat dengan sasaran meningkatkan derajat kesehatan dan status
gizi masyarakat melalui upaya kesehatan dan pemberdayaan masyarakat yang didukung dengan
perlindungan finansial dan pemerataan pelayanan kesehatandalam pembangunan kesehatan
periode 2015-2019. Salah satu sasaran pokok Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional tahun 2015 sampai dengan tahun 2019 adalah meningkatnya status kesehatan gizi ibu
dan anak (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, 2014).
Prevalensi gizi kurang pada balita berdasarkan indeks berat badan menurut umur (BB/U)
di Indonesia memberikan gambaran yang fluktuatif dari 18,4% pada tahun 2007, menurun
menjadi 17,9% pada tahun 2010, kemudian meningkat lagi menjadi 19,6% pada tahun 2013.
Prevalensi balita gizi kurang di Jawa Tengah sebesar 17,8% (Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia, 2016).
Tingkat pendidikan orang tua terutama ibu merupakan faktor penting dalam menentukan
kualitas perawatan anak dan berhubungan erat dengan pengetahuannya mengenai jenis makanan
dan sumber gizi yang baik untuk keluarga. Sedangkan jenis pekerjaan yang dilakukan orang tua
berkaitan dengan pendapatan yang diperoleh dan menentukan seberapa besar sumbangan mereka
terhadap keuangan keluarga yang akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan keluarga, seperti
kebutuhan untuk membeli makanan yang bergizi. Adanya ketidakseimbangan antara pangan
yang tersedia dan jumlah anggota keluarga akan menimbulkan kondisi gizi kurang pada anak
(Andriani dan Wirjatmadi, 2014).
1.2 Rumusan Masalah
2. Apakah pengaruh pengetahuan dan perilaku ibu dalam pemenuhan gizi pada anak?
1.3 Tujuan Penelitian
2. Untuk mengetahui apa pengaruh pengetahuan dan perilaku ibu dalam pemenuhan gizi
pada anak
1.4 Manfaat Penelitian
a. Bagi pendidikan keperawatan
1. Sebagai bahan informasi untuk mengetahui pengaruh pengetahuan dan perilaku ibu
dalam pemenuhan gizi pada anak
2. Menjadi masukan dalam rangka untuk meningkatkan upaya pemenuhan gizi kurang
pada anak
b. Bagi pembaca
1. Sebagai bahan pengetahuan agar meningkatkan pengetahuan serta mengubah perilaku
utuk memenuhi gizi pada anak
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gizi Kurang

a. Pengertian Gizi Kurang

Gizi kurang adalah status gizi yang didasarkan pada indeks Berat Badan menurut Umur
(BB/U) -3 SD (Standard Deviasi) sampai -2 SD(Depkes RI, 2011). Gizi kurang adalah gangguan
kesehatan yang disebabkan kekurangan dan ketidakseimbangan antara kebutuhan dengan asupan
dan protein.(Rahardjo, 2012). Gizi kurang adalah gangguan kesehatan akibat kekurangan atau
ketidakseimbangan zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan, aktivitas berfikir dan semua hal
yang berhubungan dengan kehidupan. Gizi kurang banyak terjadi pada anak usia kurang dari 5
tahun (Ariyanto, 2010). Nutrisi yang dimaksud bisa berupa protein, karbohidrat dan kalori. Di
Indonesia, kasus KEP (Kurang Energi Protein) adalah salah satu masalah gizi utama yang
banyak dijumpai pada balita (Lusa, 2009).

b. Faktor Risiko Gizi Kurang

Faktor risiko gizikurang pada balita menurut konferensi international tentang “At Risk
Factors and The Health and Nutrition of Young Children” di Kairo tahun 1975 mengelompokkan
menjadi tiga (Moehji,2009), yaitu :

1) At risk factors yang bersumber dari masyarakat

a) Ketahanan pangan

Ketahanan pangan adalah kemampuan keluarga untuk memenuhi kebutuhan


pangan seluruh anggota keluarga dalam jumlah yang cukup dan baik mutunya (Waryono,
2010).Daya beli keluarga dipengaruhi oleh faktor harga dan pendapatan keluarga. Jika
daya beli rendah maka akan berpengaruh pada ketahanan pangan keluarga, sehingga
konsumsi pangan juga berkurang yang dampaknya bisa kepada gangguan gizi.

b) Pelayanan kesehatan
Pelayanan kesehatan yang selalu siap dan dekat dengan masyarakat akan sangat
membantu dalam meningkatkan derajat kesehatan. Sarana pelayanan kesehatan dasar
yang terjangkau oleh seluruh keluarga (Waryono, 2010).

2) At risk factors yang bersumber pada keluarga

a) Tingkat Pengetahuan

Tinggi rendahnya tingkat pendidikan ibu erat kaitannya dengan tingkat pengetahuan
terhadap perawatan kesehatan, higiene pemeriksaan kehamilan dan pasca persalinan,
serta kesadaran terhadap kesehatan.Pengetahuan yang dimiliki ibu berpengaruh terhadap
pola konsumsi makanan keluarga.

Kurangnya pengetahuan ibu tentang gizi menyebabkan keanekaragaman makanan


yang berkurang (Septikasari & Septiyaningsih, 2016). Keluarga akan lebih banyak
membeli barang karena pengaruh kebiasaan, iklan, dan lingkungan. Selain itu, gangguan
gizi juga disebabkan karena kurangnya kemampuan ibu menerapkan informasi tentang
gizi dalam kehidupan sehari-hari. Penelitian yang dilakukan oleh Rakhmawati (2013),
menyatakan bahwa faktor pengetahuan dan sikap ibu dalam pemberian makan anak
sangat berhubungan dengan status gizi kurang anak balita.

b) Tingkat Pendidikan

Tingkat kecukupan energi dan zat gizi pada balita relatif tinggi bila pendidikan gizi
ibu tinggi (Kemenkes, 2013). Dan balita yang mengalami pertumbuhan yang
lambat/balita dengan status gizi buruk juga berisiko 3 kali lebih besar berasal dari ibu
yang memiliki tingkat pendidikan yang rendah. Hasil penelitian yang dilakukan oleh
Nafi’ah tahun 2015, Sebagian besar tingkat pendidikan ibu balita yang memiliki balita
gizi kurang dalam kategori pendidikan dasar.

c) Tingkat Pekerjaan

Ibu yang sudah mempunyai pekerjaan penuh tidak lagi dapat memberikan perhatian
penuh terhadap anak balitanya, apalagi untuk mengurusnya. Meskipun tidak semua ibu
bekerja tidak mengurus anaknya, akan tetapi kesibukan dan beban kerja yang
ditanggungnya dapat menyebabkan kurangnya perhatian ibu dalam menyiapkan hidangan
yang sesuai untuk balitanya (Septikasari dkk., 2016).

d) Tingkat Pendapatan

Pendapatan merupakan faktor yang menentukan kualitas dan kuantitas makanan,


karena dengan pendapatan yang memadai dapat menyediakan semua kebutuhan anak
balita yang primer maupun yang sekunder. Pendapatan yang meningkat akan
menyebabkan semakin besarnya total pengeluaran termasuk pengeluaran untuk pangan
(Paputungan, 2009).

e) Sanitasi Lingkungan

Kesehatan lingkungan yang baik seperti penyediaan air bersih dan perilaku hidup
bersih dan sehat akan mengurangi risiko kejadian penyakit infeksi. Sebaliknya,
lingkungan yang buruk seperti air minum tidak bersih, tidak ada saluran penampungan air
limbah, tidak menggunakan kloset yang baik dapat menyebabkan penyebaran penyakit.
Penyakit inilah yang akan menjadikan infeksi, sehingga dapat menyebabkan kurangnya
nafsu makan sehingga menyebabkan asupan makanan menjadi rendah dan akhirnya
menyebabkan kurang gizi.

3) At risk factors yang bersumber pada individu anak

a) Usia

Menurut karakteristik, balita terbagi dalam dua kategori yaitu anak usia 1–<3tahun
(batita) dan anak usia prasekolah (3-5 tahun).Anak usia 1-<3 tahun merupakan konsumen
pasif, artinya anak menerima makanan dari apa yang disediakan ibunya. Laju
pertumbuhan masa batita lebih besar dari masa usia pra-sekolah sehingga diperlukan
jumlah makanan yang relatif besar. Namun perut yang masih lebih kecil menyebabkan
jumlah makanan yang mampu diterimanya dalam sekali makan lebih kecil dari anak yang
usianya lebih besar. Oleh karena itu, pola makan yang diberikan adalah porsi kecil
dengan frekuensi sering.Di usia ini anak memasuki usia pra sekolah dan mempunyai
risiko besar terkena gizi kurang bahkan gizi buruk. Pada usia ini anak tumbuh dan
berkembang dengan cepat sehingga membutuhkan zat gizi yang lebih banyak, sementara
mereka mengalami penurunan nafsu makan dan daya tahan tubuhnya masih rentan
sehingga lebih mudah terkena infeksi dibandingkan anak dengan usia lebih tua. Pada usia
pra-sekolah anak menjadi konsumen aktif. Mereka sudah dapat memilih makanan yang
disukainya. Pada usia ini anak mulai bergaul dengan lingkungannya atau bersekolah
playgroup sehingga anak mengalami beberapa perubahan dalam perilaku. penelitian yang
dilakukan oleh Kuntari, Jamil dan Kurniati tahun 2013 menunjukkan bahwa balita yang
berusia 1-3 tahun mempunyai peluang lebih besar mengalami gizi baik dibandingkan
dengan balita yang berusia 3-5 tahun.

b) Jarak Kelahiran

Sebagian besar masyarakat memiliki jumlah balita dalam satu keluarga >2 balita dan
tidak sedikit jarak kelahiran berdekatan < 2 tahun. Jarak kelahiran turut serta
mempengaruhi status gizi balita.Jarak kehamilan atau kelahiran yang berdekatan (<2
tahun) juga dapat memicu pengabaian pada anak pertama secara fisik maupun psikis,
yang dapat menimbulkan rasa cemburu akibat ketidaksiapan berbagi kasih sayang dari
orang tuanya (Yolan, 2007).Banyak kakak-beradik dengan jarak kehamilan atau kelahiran
terlalu pendek menimbulkan sikap iri atau cemburu.Seperti kakak tidak gembira atas
kehadiran si kecil, justru sering menganggapnya musuh karena merampas jatah kasih
sayang orang tuanya (Diana, 2007). Namun berdasarkan catatan statistik penelitian bahwa
jarak kelahiran yang aman antara anak satu dengan lainnya adalah >2 tahun.Pada jarak ini
si ibu akan memiliki bayi yang sehat serta selamat saat melewati proses kehamilan
(Agudelo, 2007). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Nurjanah dan
Septiani tahun 2013 yang menunjukan bahwa adanya hubungan jarak kelahiran dengan
status gizi balita yaitu jarak kelahiran >2 tahun mempunyai peluang lebih besar
mengalami gizi normal dibandingkan jarak kelahiran <2 tahun. Penelitian The
Demographic and Health Survey, menyebutkan bahwa anak-anak yang dilahirkan 2-5
tahun setelah kelahiran anak sebelumnya, memiliki kemungkinan hidup sehat 2,5 kali
lebih tinggi daripada yang berjarak kelahiran kurang dari 2 tahun, maka jarak kehamilan
yang aman adalah 2-5 tahun (Yolan, 2007). Penelitian oleh Dewi tahun 2013
menunjukkan bahwa ada hubungannya antara jarak kelahiran dengan status gizi balita.

c) Pemberian ASI Eksklusif


ASI eksklusif menurut World Health Organization (WHO) 2011 adalah memberikan
hanya ASI saja tanpa memberikan makanan dan minuman lain kepada bayi sejak lahir
sampai berumur 6 bulan, kecuali obat dan vitamin. ASI akan terus diberikan kepada anak
sampai berusia 2 tahun.WHO (2009) menyatakan sekitar 15% dari total kasus kematian
anak di bawah usia lima tahun di negara berkembang disebabkan oleh pemberian ASI
secara tidak eksklusif.

Dalam upaya peningkatan status gizi pada hakekatnya harus dimulai sedini
mungkin, salah satunya yaitu dengan pemberian ASI eksklusif. ASI dapat menigkatkan
kekebalan tubuh bayi yang baru lahir, karena mengandung zat kekebalan tubuh yang
dapat melindungi bayi dari berbagai penyakit infeksi dan alergi. Bayi ASI eksklusif akan
lebih sehat dan jarang sakit dibandingkan dengan bayi yang tidak mendapat ASI eksklusif,
hal ini juga akan mempengaruhi status gizi balita. Dalam menurunkan angka kesakitan
dan kematian anak, United Nations Children's Fund (UNICEF) dan WHO
merekomendasikan pemberian ASI Eksklusif sampai bayi berumur enam bulan.
Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Giri tahun 2013 menunjukan bahwa ibu yang
memberikan ASI eksklusif memiliki balita dengan status gizi lebih baik dibandingkan
dengan ibu yang tidak memberikan ASI eksklusif. Penelitian yang dilakukan oleh Monica,
Dewi dan Susilo (2014) juga menunjukkan bahwa terdapat hubungan bermakna antara
pemberian ASI eksklusif dengan kejadian gizi kurang pada balita.

d) Penyakit Infeksi

Terdapat pengaruh yang cukup besar dari penyakit infeksi terhadap keadaan gizi
seseorang. Penyakit infeksi tersebut antara lain seperti diare dan demam, penyakit
tersebut dapat menyebabkan hilangnya nafsu makan, dimana makanan yang dikonsumsi
menjadi berkurang, sehingga dapat menyebabkan terjadinya gangguan pada status gizi
(Waryono, 2010). Terdapat hubungan timbal balik antara kejadian penyakit dan gizi
kurang maupun gizi buruk.Anak yang menderita gizi kurang dan gizi buruk akan
mengalami penurunan daya tahan, sehingga rentan terhadap penyakit. Di sisi lain anak
yang menderita sakit akan cenderung menderita gizi buruk. Seperti penelitian yang
dilakukan oleh Baculu, Juffrie dan Helmyati tahun 2015 yaitu balita yang memiliki
riwayat penyakit infeksi memiliki risiko 2,83 kali lebih besar menderita gizi buruk
dibandingkan dengan balita yang tidak memiliki riwayat penyakit infeksi.

e) Riwayat Berat Lahir

Berat lahir adalah berat bayi yang di timbang dalam waktu 1 jam pertama setelah bayi
lahir. Klasifikasi berat bayi lahir menurut Kosim, et al.,(2009) dikelompokkan menjadi 3
yaitu :

(1) Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR)


BBLR merupakan berat bayi yang dilahirkan dengan berat lahir <2500 gram
tanpa memandang usia gestasi (Kosim, et al.,2009). Bayi yang BBLR menandakan
kurang terpenuhinya kebutuhan zat gizi dan berisiko lebih tinggi terhadap kematian bayi,
penyakit kronis pada usia dewasa, keterlambatan mental dan pertumbuhan yang lambat
karena kondisi kekurangan gizi yang berisiko mengakibatkan balita menderita KEP.
Beberapa penelitian yang telah dilakukan juga menunjukkan bahwa bayi yang BBLR
berkali-kali berisiko memiliki status gizi kurang pada usia 1-5 tahun dibandingkan yang
tidak BBLR, penelitian yang lain juga menyebutkan bahwa anak yang BBLR
pertumbuhan dan perkembangannya lebih lambat dari anak dengan berat bayi lahir
normal.
Gizi Buruk dapat terjadi apabila BBLR jangka panjang.Pada BBLR zat anti
kekebalan kurang sempurna sehingga lebih mudah terkena penyakit terutama penyakit
infeksi.Penyakit ini menyebabkan balita kurang nafsu makan sehingga asupan makanan
yang masuk kedalam tubuh menjadi berkurang dan dapat menyebabkan gizi buruk.
Penelitian yang dilakukan oleh Kuntari, Jamil, dan Kurniati tahun 2013 menemukan anak
dengan berat lahir sama atau lebih dari 2500 gram berisiko seperlima kali lebih kecil
untuk mengalami malnutrisi dibandingkan anak dengan berat lahir kurang dari 2500 gram.
(2) Bayi Berat Lahir Normal
Bayi baru lahir normal adalah bayi yang lahir dari kehamilan sampai 42 minggu dan berat
badan lahir > 2500 - 4000 gram (Jitowiyono dan Weni, 2010).
(3) Bayi Berat Lahir Lebih
Bayi berat lahir lebih adalah Bayi yang dilahirkan dengan beratlahir lebih > 4000 gram
(Kosim et al., 2009). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Arnisam tahun 2007
menunjukan bahwa BBLR mempunyai risiko 3,34 kali lebih besar untuk mengalami
status gizi kurang dibandingkan dengan anak yang tidak BBLR. Penelitian yang
dilakukan oleh Ngaisyah tahun 2016 menunjukkan bahwa ada hubungan antara riwayat
BBLR dan status gizi balita. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Susanti
tahun 2011 menunjukan bahwa bayi yang BBLR mempunyai kemungkinan mengalami
status gizi buruk 41,5 kali lipat dibandingkan dengan yang berat bayi lahir normal.
Artinya ada hubungan yang bermakna antara BBL dengan status gizi balita.

f) Riwayat Imunisasi

Menurut Depkes RI No.42 (2013) imunisasi adalah suatu upaya untuk


menimbulkan/meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu penyakit,
sehingga bila suatu saat terpajan dengan penyakit tersebut tidak akan sakit atau hanya
mengalami sakit ringan. Vaksin adalah antigen berupa mikroorganisme yang sudah mati,
masih hidup tapi dilemahkan, masih utuh atau bagiannya, yang telah diolah, berupa
toksin mikroorganisme yang telah diolah menjadi toksoid, protein rekombinan yang bila
diberikan kepada seseorang akan menimbulkan kekebalan spesifik secara aktif terhadap
penyakit infeksi tertentu. Jenis imunisasi menurut Kemenkes RI, 2013 yaitu:

(1) Imunisasi wajib


Imunisasi wajib merupakan imunisasi yang diwajibkan oleh pemerintah untuk
seseorang sesuai dengan kebutuhannya dalam rangka melindungi yang bersangkutan dan
masyarakat sekitarnya dari penyakit menular tertentu. Imunisasi wajib terdiri dari :
(a) Imunisasi Hepatitis B mencegah penularan hepatitis B dan kerusakan hati. Pemberian
vaksin hepatitis B dilakukan pada usia 0-7 hari (Kemenkes RI, 2013)
(b)Imunisasi BCG. Vaksin BCG mengandung kuman BCG yang masih hidup namun
telah dilemahkan berfungsi untuk mencegah penularan TBC (Tuberculosis) berat.
Pemberian vaksin BCG hanya dilakukan satu kali, yaitu pada saat anak baru dilahirkan
hingga berusia dua bulan.
(c)Vaksin Poliomielitis. Vaksin ini mengandung virus polio yang dilemahkan, berfungsi
untuk mencegah kelumpuhan (Kemenkes RI, 2013). Pemberian vaksin polio harus
dilakukan dalam satu rangkaian, yaitu pada saat anak baru dilahirkan dan pada saat anak
berusia satu, dua, tiga dan empat bulan. Vaksin ini selanjutnya bisa diberikan kembali di
usia satu setengah tahun, dan yang terakhir di usia lima tahun.
(d)Vaksin DPT-HB. Mengandung DPT berupa toxoid difteri dan toxoid tetanus yang
dimurnikan dan pertusis yang inaktifasi serta vaksin Hepatitis B yang merupakan sub unit
vaksin virus yang mengandung HbsAg murni dan bersifat non infectious (Kemenkes RI,
2013). Yang mencegah difteri, batuk rejan dan tetanus serta mencegah hepatitis B.
Vaksin ini diberikan pada usia dua, tiga dan empat bulan.
(e)Vaksin Campak. Mengandung vaksin campak hidup yang telah dilemahkan yang
berfungsi mencegah penyakit campak (Kemenkes RI, 2013). Vaksin ini diberikan pada
saat usia 9 bulan, dua tahun dan enam tahun .

(2)Imunisasi pilihan

Imunisasi pilihan merupakan imunisasi yang dapat diberikan kepada seseorang


sesuai dengan kebutuhannya dalam rangka melindungi yang bersangkutan dari penyakit
menular tertentu. Imunisasi merupakan salah satu cara pencegahan penyakit menular
khususnya Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I) yang diberikan tidak
hanya anak sejak masih bayi hingga remaja tetapi juga dewasa (Kemenkes RI, 2016).
Cara kerja imunisasi yaitu dengan memberikan antigen bakteri atau virus tertentu yang
sudah dilemahkan atau dimatikan dengan tujuan merangsang sistem imun tubuh untuk
membentuk antibodi. Antibody ini meningkatkan kekebalan tubuh seseorang sehingga
dapat mencegah atau mengurangi akibat penularan PD3I tersebut.

Seperti penelitian yang dilakukan oleh Ameliatahun 2014 menunjukkan bahwa


anak balita yang mengalami gizi kurang sebagian besar status imunisasinya tidak lengkap,
sementara itu untuk status gizi baik terbanyak pada balita dengan status imunisasi
lengkap.

Pemberian Vitamin A

Vitamin A atau retinol adalah salah satu vitamin yang larut dalam lemak, dan
disimpan tubuh di organ hati. Fungsinya untuk proses pembentukan dan pertumbuhan sel
darah merah, sel limfosit, sehingga berperan dalam sistem kekebalan tubuh. Karena itu
vitamin A ini merupakan antioksidan kuat yang dapat menangkal radikal bebas yang
berbahaya bagi tubuh. Selain itu, bermanfaat bagi kesehatan mata seperti mencegah
rabun senja, kerusakan kornea dan kebutaan. Bermanfaat pula bagi kesehatan kulit dan
pernafasan.Sasaran program ini adalah balita dari usia 6 bulan sampai dengan 59 bulan.
Vitamin A yang dibagikan adalah vitamin A dosis tinggi. Ada 2 jenis vitamin A yang
diberikan yaitu yang biru (100.000 IU) untuk bayi usia 6 sampai dengan 11 bulan, dan
yang merah (200.000 IU) untuk usia 12 sampai dengan 59 bulan. pemberian vitamin A
ini diberikan dua kali dalam satu tahun yaitu pada bulan Februari dan Agustus. Kurang
Vitamin A (KVA) masih merupakan masalah yang tersebar di seluruh dunia terutama di
negara berkembang dan dapat terjadi pada semua umur terutama pada masa
pertumbuhan .

KVA merupakan suatu ganguan yang disebabkan karena kurangnya asupan


vitamin A dalam tubuh. KVA dapat mengakibatkan kebutaan, mengurangi daya tahan
tubuh sehingga mudah terserang infeksi, yang sering menyebabkan kematian khususnya
pada anak-anak. Selain itu KVA dapat menurunkan epitelisme sel-sel kulit . Faktor yang
menyebabkan timbulnya KVA adalah kemiskinan dan minim pengetahuan akan gizi.
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Wahyuni tahun 2012 menunjukkan bahwa
pemberian vitamin A mempunyai hubungan signifikan dengan status gizi anak balita
dengan hasilnya yaitu balita yang pernah mendapatkan kapsul vitamin A, status gizinya
72,3 % baik.

2.2 Penilaian Status Gizi Kurang

Penilaian status gizi menurut Supariasa (2011), dapat dilakukan dengan cara penilaian
status gizi secara langsung yaitu dengan pengukuran antropometri. Antropometri adalah sebuah
studi tentang pengukuran tubuh dimensi manusia dari tulang, otot dan jaringan adiposa atau
lemak (Survey, 2009). Secara umum, antropometri digunakan untuk melihat ketidakseimbangan
konsumsi energi dan protein dilihat dari pola pertumbuhan fisik dan proporsi jaringan tubuh
seperti lemak, otot dan jumlah air dalam tubuh (Tjahyani, 2011). Bidang antropometri meliputi
berbagai ukuran tubuh manusia seperti berat badan, posisi ketika berdiri, ketika merentangkan
tangan, lingkar tubuh, panjang tungkai, dan sebagainya. Antropometri adalah pengukuran dan
komposisi tubuh (Hartriyanti dan Triyanti, 2007).Sedangkan antropometri gizi adalah
berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh, komposisi tubuh, tingkat umur
dan tingkat gizi.Berdasarkan Kemenkes RI (2012), Indonesia masih mengalami permasalahan
gizi pada anakanak, maka usaha deteksi dini penting untuk dilakukan. Kita mengenal alat ukur
yang digunakan untuk melihat gizi balita antara lain dengan pengukuran status gizi melalui
kegiatan posyandu dengan Kartu Menuju Sehat (KMS) sebagai alat ukur dan deteksi dini untuk
memantau tingkat pertumbuhan dan perkembangan balita. KMS bagi balita merupakan kartu
yang memuat kurva laju pertumbuhan normal anak berdasarkan indeks antropometri berat badan
menurut umur yang dibedakan berdasarkan jenis kelamin (Kemenkes RI, 2010).Status
pertumbuhan anak dapat diketahui dengan dua cara yaitu menilai garis pertumbuhan atau dengan
menghitung berat badan anak dibandingkan dengan Kenaikan Berat Badan Minimum (KBM).
Penentuan status pertumbuhan dapat disimpulkan bahwa :

1) Naik (N)
Grafik BB mengikuti garis pertumbuhan atau kenaikan BB sama dengan KBM atau
lebih.
2) Tidak Naik (T)
Grafik BB mendatar atau menurun memotong garis pertumbuhan dibawahnya atau
KBM kurang dari KBM.

Cara membaca grafik pertumbuhan pada KMS(Depkes, 2012) :

1) Berat Badan Naik (N), bila:

a) Hasil penimbangan bulan ini sama atau lebih dari kenaikan berat badan minimum.

b) Garis pertumbuhannya naik mengikuti salah satu pita warna

c) Garis pertumbuhannya pindah ke pita warna di atasnya

2) Berat Badan Tidak Naik (T), bila:

a) Berat badan hasil penimbangan bulan ini sama atau kurang dari berat badan
minimum.

b) Garis pertumbuhannya menurun

c) Berat badan tetap, garis pertumbuhannya mendatar


d) Berat badan naik, tetapi garis pertumbuhannya pindah ke pita warna di bawahnya

3) Disebut Bawah Garis Merah (BGM), bila: garis pertumbuhan anak berada di bawah garis
merah

Menurut WHO-NCHS (World Health Organization-National Centre for Health Statistics),


keadaan status gizi baik berada pada warna hijau/hijau tua, gizi kurang pada warna kuning, gizi
buruk dibawah garis merah dan gizi lebih berada jauh diatas warna hijau.

Berat badan yang berada di Bawah Garis Merah (BGM) pada KMS merupakan perkiraan
untuk menilai seseorang menderita gizi buruk, tetapi bukan berarti balita tersebut telah menderita
gizi burukkarena ada anak yang telah mempunyai pola pertumbuhan yang memang selalu
dibawah garis merah pada KMS. Balita dengan pemenuhan gizi yang cukup memiliki berat
badan yang berada pada daerah berwarna hijau, sedangkan warna kuning menujukkan status gizi
kurang, dan jika berada di bawah garis merah menunjukkan status gizi buruk (Sulistyoningsih,
2011).

Indeks antropometri adalah kombinasi antara beberapa parameter antropometri (Suyatno,


2009).Indeks antropometri yang digunakan dalam menentukan gizi kurang yaitu berat badan.
Berat badan memberikan gambaran tentang massa tubuh (otot dan lemak). Berat badan ini
dinyatakan dalam bentuk indeks BB/U (Berat Badan menurut Umur) atau melakukan penilaian
dengan melihat perubahan berat badan pada saat pengukuran dilakukan, yang dalam
penggunaannya memberikan gambaran keadaan kini.Berat badan paling banyak digunakan
karena hanya memerlukan satu pengukuran dan bergantung pada ketetapan umur, tetapi kurang
dapat menggambarkan kecenderungan perubahan situasi gizi dari waktu ke waktu (Depkes,
2011).

2.3 Indikator Status Gizi Berdasarkan BB/U

Supariasa (2011), klasifikasi status gizi dilakukan dengan menggunakan Skor Simpangan
Baku (z-skor).Dalam hal ini standard deviasi unit (z-skor) digunakan untuk meneliti dan
memantau pertumbuhan. Standard deviasi unit ini digunakan untuk mengetahui klasifikasi status
gizi seseorang berdasarkan kriteria yang ditetapkan, antara lain berat badan, umur dan tinggi
badan. Baku WHO-NCHS digunakan sebagai baku antropometri Indonesia (Depkes RI, 2011).
2.4 Tanda Gejala Gizi Kurang

Gejala kurang gizi ringan relatif tidak jelas, hanya terlihat bahwa berat badan anak
tersebut lebih rendah dibanding anak seusianya.Dr Rachmi Untoro ahli gizi anak dari Persatuan
Dokter Gizi Medik Indonesia mengungkapkan ciri-ciri anak kurang gizi adalah rambut kusam,
kering, pucat, bibir dan mulut bengkak.

2.5 Dampak Gizi Kurang

Menurut Nency dan Arifin (2008), bahwa beberapa penelitian menjelaskan dampak
jangka pendek dari kasus gizi kurang adalah anak menjadi apatis, mengalami gangguan bicara
serta gangguan perkembangan yang lain, sedangkan dampak jangka panjang dari kasus gizi
kurang adalah penurunan IQ, penurunan perkembangan kognitif, gangguan pemusatan perhatian,
serta gangguan penurunan rasa percaya diri. Oleh karena itu kasus gizi kurang apabila tidak
tangani dengan baik akan mengancam jiwa dan pada jangka panjang akan mengancam hilangnya
generasi penerus bangsa (Zulfita, 2013).Gizi kurang jika tidak segera ditangani dikhawatirkan
akan berkembang menjadi gizi buruk (Dewi, 2013).

2.6 Pencegahan Gizi Kurang

1) Timbang balita tiap bulan ke posyandu untuk memantau BB anak

Penelitian yang dilakukan oleh Oktaviani, Juniarti dan Mardiyah tahun 2008,
menunjukan bahwa keluarga yang berada dalam kategori aktif ke posyandu memiliki
persentase lebih besar memiliki balita dengan status gizi baik.

2) Berikan ASI Eksklusif

Air Susu Ibu (ASI) merupakan makanan terbaik untuk bayi. ASI sangat dibutuhkan
untuk kesehatan bayi dan mendukung pertumbuhan dan perkembangan bayi secara
optimal. Bayi yang mendapatkan ASI eksklusif akan terpenuhi kebutuhan gizinya secara
maksimal sehingga dia akan lebih sehat, lebih tahan terhadap infeksi, tidak mudah
terkena alergi, dan lebih jarang sakit. Karena dengan pemberian ASI eksklusif status gizi
bayi akan baik danmencapai pertumbuhan yang sesuai dengan usianya (Sulistyoningsih,
2011).
3) Suplementasi zat gizi mikro

Pemberian vitamin A, zat besi, iodium dan seng. Kekurangan zat gizi mikro
merupakan penyebab timbulnya masalah gizi dan kesehatan disebagian besar wilayah
Indonesia.

4) Pemberian Makanan Pendamping ASI (MP-ASI)

Pemberian makanan pendamping ASI (MP-ASI) dini maupun terlambat akan


menyebabkan bayi rentan mengalami penyakit infeksi, alergi, kekurangan gizi, dan
kelebihan gizi, sehingga dapat menyebabkan malnutrisi dan gangguan pertumbuhan
(Hakim, 2014). Sehingga setelah bayi berusia lebih dari 6 bulan, maka diberikan MP-ASI
sesuai dengan umurnya.

2.7 Penanganan Gizi Kurang

1) Pemberian Makanan Tambahan (PMT)

Pemberian Makanan Tambahan (PMT) adalah salah satu bentuk intervensi langsung
untuk menyediakan jenis makanan yang penting contohnya makanan tambahan
pemulihan untuk balita gizi buruk dan gizi kurang (Setiarini, 2007). Pemberian makanan
tambahan bertujuan untuk memperbaiki keadaan gizi pada anak golongan rawan gizi
yang menderita kurang gizi, dan diberikan dengan kriteria anak balita yang tiga kali
berturut-turut tidak naik timbangannya serta yang berat badannya pada KMS terletak
dibawah garis merah.

2) Menjadikan KADARZI (Keluarga Sadar Gizi)

KADARZI adalah keluarga yang setiap anggotanya menerapkan perilaku gizi yang
baik (Depkes, 2012). KADARZI merupakan sikap dan perilaku keluarga yang dapat secara
mandiri mewujudkan keadaan gizi yang sebaik-baiknya tercermin dari konsumsi pangan
yang beraneka ragam dan bermutu gizi seimbang (Arisman, 2010).

Seperti penelitian oleh Muliati, Ismanto dan Malara (2014)menunjukan bahwaada


hubungan antara Keluarga Sadar Gizi (Kadarzi) dengan status Gizi Balita. Artinya keluarga
khususnya yang mempunyai anak balita dengan status gizi baik memiliki sikap dan perilaku
mandiri dalam mewujudkan keadaan gizi seimbang yang dapat terlihat dari konsumsi makan
yang beraneka ragam dan bermutu gizi seimbang.

3) Gerakan siaga gizi buruk

Pelaksanaan penanggulangan kasus gizi buruk dilakukan melalui pendampingan dan


pemantauan kasus secara berjenjang mulai dari kader hingga puskesmas.
2.8 Literatur Review
No Judul karya ilmiah, penulis Variabel Jenis artikel Hasil
1. Pengaruh Pengetahuan Ibu Pengetahuan ibu Survey analitik Dari hasil penelitian
Tentang Gizi Dan Pola tentang gizi terdapat pengaruh
Pemberian Makan Terhadap pengetahuan ibu tentang
Kejadian Gizi Kurang Pada gizi dan pola pemberian
Balita Di Wilayah Kerja makan terhadap kejadian
Puskesmas Gajahan Surakarta gizi kurang pada balita
(Rina Damayanti, 2017) dimana ibu dengan
pengetahuan kurang
beresiko 2,9 kali memiliki
anak dengan gizi kurang
dibandingkan ibu dengan
pengetahuan baik dan
balita dengan pola
pemberian makan kurang
memiliki resiko sebesar
6,3 kali mengalami gizi
kurang dibandingkan balita
dengan pola pemberian
makan baik.
2. Hubungan Perilaku Orang Tua sikap orang tua Survey analitik Pada hasil penelitian
Dengan Status Gizi terhadap status menunjukkan adanya
Balita Di Desa Bulalo gizi hubungan yang signifikan
Kabupaten Gorontalo Utara antara sikap orang tua
(Maesarah, Lisa Djafar, dan terhadap status gizi balita,
Fremly pakaya, 2018) hal ini disebabkan karena
rata-rata ibu yang memiliki
sikap negatif
pengetahuanya cenderung
kurang,
sehingga sikap ibu dalam
memperhatikan status gizi
balita seperti makanan
yang diberikan, jenis dan
sumber makanan yang
diberikan kepada balita
tidak
sesuai dengan pedoman
dasar gizi seimbang
sehingga anak-anak
mengalami
kekurangan beberapa zat
gizi yang dibutuhkan oleh
tubuh yang menyebabkan
anak mengalami masalah
status gizi.
3. Hubungan perilaku ibu dengan Tingkat Survey analitik Hasil penelitian di Desa
status gizi kurang anak usia pendidikan ibu Sumurgung menunjukkan
toddler bahwa sebagian besar ibu
(Suciati Ningsih, Kristiawati, mempunyai pengetahuan
Ilya krisnana, 2015) gizi sedang dan ada yang
masih berpengetahuan
kurang namun sudah ada
yang berpengetahuan baik.
Dari 10 pertanyaan yang
diajukan sebagian besar
responden menjawab salah
yaitu pada poin pengertian
balita sehat, pengertian
kurang gizi, dan jenis
makanan yang bergizi. Hal
ini bisa dipengaruhi karena
sebagian besar pendidikan
ibu adalah SD sehingga
minim pengetahuan.
4 Hubungan tingkat pengetahuan Tingkat Survey analitik Hasil penelitian
ibu tentang gizi balita dengan pengetahuan ibu menunjukkan bahwa
status gizi balita di wilayah kerja mayoritas tingkat
puskesmas gajah 1 demak pengetahuan mayoritas
(Endang Susilowati, Alin responden adalah 53
Himawati 2017) responden (55%) telah
mengasuh balita itu adalah
81,13% lebih banyak dari
mereka yang kurang
pengetahuan adalah
54,76%. Sebagian besar
dari anak balita menderita
gizi buruk dan miskin
memiliki pengetahuan
buruk ibu adalah 19
responden (45,23%). Dari
uji statistik P = 0,006 yang
artinya pada p <0,05. Ada
hubungan yang bermakna
antara level pengetahuan
ibu balita gizi balita.

5 Hubungan pengetahuan ibu Pengetahuan ibu Survey analitik Penelitian menunjukkan


tentang gizi dan asupan makan tentang gizi bahwa sebagian besar ibu
balita dengan status gizi balita balita memiliki
(bb/u) usia 12-24 bulan pengetahuan tentang gizi
(Nindyna Puspasari, Merryana yang baik dengan status
Andriani 2017) gizi balita normal (81,8%)
dan yang memiliki
pengetahuan kurang
dengan status gizi balita
tidak normal (92,9%).
Hasil uji statistik chi
square menunjukkan
adanya hubungan antara
pengetahuan ibu (p =
0,000), asupan energi (p =
0,008), asupan karbohidrat
(p = 0,024) dan asupan
protein balita (p = 0,002)
dengan status gizi balita
(BB/U). Namun, tidak
terdapat hubungan antara
karakteristik ibu dan
asupan lemak balita (p =
0,175) dengan status gizi
balita (BB/U).
6 Pengetahuan, sikap, dan perilaku Pengetahuan, Survey analitik Hasil survai menunjukkan
ibu dalam pemenuhan gizi sikap, dan sebanyak 75,9% ibu
balita: sebuah survai (Sanny perilaku ibu berpengetahuan cukup,
Rachmawati Setyaningsih, Nur 57,1% ibu memiliki sikap
Agustini 2014) yang cukup baik, serta
71,4% ibu berperilaku baik
dalam pemenuhan gizi
balita. Hasil penelitian ini
menunjukkan kondisi yang
positif tetapi perlu diteliti
lebih mendalam lagi
sehingga permasalahan
utama berkaitan dengan
gizi balita dapat
diidentifikasi.
7 Hubungan tingkat pendidikan, Tingkat Survey analitik hasil penelitian didapatkan
tingkat pengetahuan pendidikan, bahwa pada keluarga
Dan pola asuh ibu dengan tingkat miskin persentase stunting
wasting dan stunting pengetahuan, lebih besar daripada
Pada balita keluarga miskin pola asuh ibu wasting, dan tidak ada
(Cholifatun Ni’mah, Lailatul hubungan antara tingkat
Muniroh 2015) pendidikan (p=0,581 dan
0,605), tingkat
pengetahuan (p=0,632 dan
0,963), dan pola asuh ibu
(p=0,719 dan 0,928)
dengan wasting dan
stunting. Tingkat
pendidikan, tingkat
pengetahuan, dan pola
asuh ibu tidak
berkontribusi terhadap
terjadinya wasting dan
stunting pada
balita keluarga miskin di
Kecamatan Balen
Kabupaten Bojonegoro.
Pemerintah perlu
mengupayakan
peningkatan
pengetahuan terkait gizi
seimbang, kesehatan anak,
dan masalah gizi balita
kepada ibu balita dan ibu
hamil untuk
mencegah wasting dan
stunting dengan promosi
dan konseling secara rutin
melalui bidan desa.
8 Hubungan pengetahuan ibu Pengetahuan ibu Survey analitik Hasil penelitian
tentang pola pemberian makan tentang pola menyatakan bahwa
dengan status gizi balita di pemberian terdapat hubungan antara
wilayah kerja puskesmas gapura makan pengetahuan pola
kabupaten sumenep (Milda Riski pemberian makan dengan
Nirmala Sari, Leersia Yusi status gizi balita (p <
Ratnawati 2018) 0,05). Dengan
meningkatkan
pengetahuan ibu tentang
pola pemberian makan
pada balita melalui
penyuluhan yang
dilakukan oleh petugas
kesehatan pada saat
posyandu.
BAB 3
KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN

Kurangnya nutrisi (protein, Ketidakseimbangan nutrisi


karbohidrat, kalori) (protein, karbohidrat, kalori)

Penyerapan gizi berkurang

Kurang gizi dan gizi buruk

Tingkat pengetahuan ibu


Faktor – faktor yang atau keluarga
mempengaruhi

Status Ekonomi

Tingkat pendidikan ibu

Sikap ibu dalam


pemenuhan gizi anak
Keterangan :

Diukur

Tidak Diukur
Spider Web

Pantau BB anak

Memberi anak
ASI Eksklusif

Pencegahan
Suplementasi
zat gizi mikro

MP-ASI
GIZI KURANG
DAN

Penanganan

Tingkat Pengetahuan Health education

Pemberian Makanan Tambahan


(PMT)

Menjadikan KADARZI (Keluarga


Sadar Gizi)
Gerakan siaga gizi buruk

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1 Desain Penelitian

Penelitian ini menggunaan desain penelitian korelasional dengan menggunakan


pendekatan Cross Sectional untuk menilai hubungan antara variabel dependen dan
variabel independen (Nursalam, 2013), hanya satu kali pada suatu saat yaitu waktu
pengkajian data. Dengan studi ini akan diperoleh prevalensi atau efek suatu fenomena
(variabel independen) dihubungkan dengan penyebab (variabel dependen). Pada
penelitian ini tidak menutup kemungkinan kedua variabel diukur dalam waktu atau hari
yang berbeda, namun setiap variabel hanya diukur satu kali saja.

4.2 Populasi dan Sampel

4.2.1 Populasi penelitian

Populasi adalah seluruh subyek atau data dengan karakteristik tertentu yang akan
diteliti. Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek atau subyek yag
mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk
dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Hidayat, 2007). Menurt sastroasmoro
dan Ismail (1995) dalam (Nursalam, 2013), populasi dibagi dalam populasi terjangkau
dan populasi target. Populasi terjangkau adalah populasi yang memenuhi kriteria
penelitian dan biasanya dapat dijangkau oleh peneliti dari kelompoknya. Populasi target
merupakan populasi yang memenuhi kriteria sampling dan menjadi sasaran akhir
penelitian (Nursalam, 2013).
Populasi target dalam penelitian ini adalah 200 ibu atau keluarga yang datang ke
posyandu desa seluruh kabupaten Lamongan. Sedangkan populasi terjangkau sebanyak
120 ibu atau keluarga yang datang ke posyandu desa yang mewakili seluruh kabupaten
Lamongan.

4.2.2 Sampel penelitian

Menurut Nursalam (2013) pada dasarnya ada 2 syarat yang harus dipenuhi saat
menetapkan sampel yaitu representative (mewakili dan sampel harus cukup banyak.
Sampel dalam penelitian ini adalah jumlah populasi terjangkau setelah ditetapkan kriteria
sampel. Krietria sampel yang ditetapkan berupa :

a. Kriteria inklusi
1. Ibu atau keluarga anak dengan rentang usia 1-3 tahun atau toddler
2. Posyandu desa dari kabupaten Lamongan
3. Ibu atau keluarga yang kooperatif
b. Kriteria eksklusi
1. Ibu atau keluarga yang meninggalkan kegiatan tanpa izin
2. Ibu atau keluarga yang tidak setuju menjadi responden

4.2.3 Teknik sampling


Sampling adalah proses menyeleksi porsi dari populasi untuk dapat mewakili populasi.
Teknik sampling merupakan cara-cara yang ditempuh dalam pengambilan sampel, agar
memperoleh sampel yang benar-benar sesuai dengan keseluruhan subjek penelitian (Nursalam,
2013).
Penelitian ini menggunakan probability sampling dengan teknik sampling simple random
sampling, suatu teknik dimana peneliti dalam memilih sampel dengan memberikan kesempatan
yang sama kepada semua anggota populasi untuk ditetapkan sebagai sampel dengan cara
memilih sampel yang diseleksi secara acak (Nursalam, 2013).
4.2.4 Besar sampel

Total ibu atau keluarga yang masuk dalam kriteria inklusi didapatkan sebanyak
120, kemudian dimasukkan kedalam rumus besar sampel dengan rumus sebagai berikut :

𝑁
n = 1+𝑁(𝑑)2
120
n = 1+120(0,05)2
120
n = 1+0,3

n = 92 responden
Keterangan :

n = perkiraan besar sampel

N = perkiraan besar populasi

d = tingkat kesalahan yang dipilih (d = 0,05)

Besar sampel pada penelitian didapatkan sebanyak 79 responden.

4.3 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Variabel

4.3.1 Variabel Penelitian

Variabel menurut Soeparto, Putra & Haryanto, 2000 adalah perilaku atau
karakteristik yang memebrikan nilai beda terhadap sesuatu. Jenis variebel
diklasifikasikan menjadi bermacam-macam tipe untuk menjelaskan penggunaannya
dalam penelitian.

1. Variabel independen (bebas)

Variabel yang memengaruhi atau nilainya menentukan variabel lain. Variabel


independen dalam penelitian ini adalah pengaruh pengetahuan dan perilaku ibu
dalam pemenuhan gizi pada anak.

2. Variabel dependen (terikat)


Variabel yang dipengaruhi nilainya ditentukan oleh variabel lain. Variabel
dependen dalam penelitian ini adalah kejadian gizi kurang pada anak usia toddler.

4.3.2 Definisi Operasional Variabel

Definisi operasional adalah menjelaskan semua variabel dan istilah yang akan
digunakan dalam penelitian secara operasional, sehingga mempermudah
pembaca/penguji dalam mengartikan makna penelitian (Nursalam, 2013).

Tabel pengaruh pengetahuan dan perilaku ibu dalam pemenuhan gizi pada anak

Variable Definisi Parameter Alat Ukur Skala Skor


Operasional
Independent: Melakukan 1. Pelaksanaan Pengetahuan
pengetahuan dan pendidikan dilakukan ibu atau
perilaku ibu untuk kesehatan dengan keluarga
pemenuhan gizi kepada ibu atau mengunjungi mengenai
keluarga posyandu desa materi
mengenai 2. Memberikan tersebut
pengetahuan penyuluhan
dan perilaku mengenai
ibu untuk pemenuhan gizi
pemenuhan gizi pada anak
pada anak
Variable
dependent:
kejadian gizi
kurang

4.4 Alat dan Bahan Penelitian

1. Materi pendidikan kesehatan mengenai pemenuhan gizi pada anak

2. Kuisioner yang berisi pertanyaan


4.5 Instrumen Penelitian

Instrumen adalah alat yang digunakan oleh peneliti dengan suatu metode, adapun
instrumen lain dalam penelitian ini adalah :

1. Kuisioner
Kuisioner yang digunakan dalam penelitian ini yaitu berisi tentang pertanyaan-
pertanyaan mengenai pengetahuan dan perilaku ibu tentang pemenuhan gizi kurang serta
kejadian riwayat gizi kurang pada anak.
2. SAP (Satuan Acara Pelaksanaan)
3. Laptop sebagai media pengolahan data
4. Leaflet sebagai bahan bacaan setelah acara dilaksanakan

4.6 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di posyandu desa di seluruh kabupaten Lamongan.

4.7 Prosedur Pengambilan dan Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan setelah mendapatkan surat izin dan persetujuan dari
bagian akademik program studi S-1 Pendidikan Ners Universitas Airlangga Surabaya
yang telah disetujui oleh Kaprodi Fakultas Keperawatan Unair, kemudian surat izin dari
Fakultas Keperawatan Unair diberikan ke Bakesbanpol dan Linmas untuk mendapatkan
izin penelitian. Setelah mendapatkan surat izin dari Bakesbanpol dan Linmas, surat
diberikan ke Dinas Sosial dan Dinas Kesehatan yang kemudian surat izin penelitian
sudah dapat diserahkan ke puskesmas dan posyandu untuk mendapatkan persetujuan
meneliti.

Tahap Pelaksanaan

1. Peneliti langsung bertemu dengan ibu atau keluarga yang ke posyandu kemudian
memperkenalkan diri, melakukan informed consent sebagai persetujuan menjadi
responden penelitian, menjelaskan manfaat dan tujuan dari penelitian.
2. Calon responden diberikan hak kebebasan untuk ikut berpartisipasi atau menolak
dalam penelitian
3. Selanjutnya dilakukan penyuluhan kesehatan mengenai perilaku pemenuhan gizi pada
anak serta kejadian gizi kurang pada anak dari satu posyandu ke posyandu lainnya di
seluruh kabupaten Lamongan
4. Kemudian memberikan kuisioner yang berisi pertanyaan-pertanyaan mengenai materi
penyuluhan
4.8 Analisis Data
Analisis data merupakan bagian yang sangat penting untuk mencapai tujuan
pokok penelitian, yaitu menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian yang mengungkap
fenomena (Nursalam, 2016). Data dikumpulkan dengan menggunakan Satuan Acara
Kegiatan penyuluhan kesehatan pemenuhan gizi pada anak, selanjutnya dilakukan
pengolahan data dengan langkah sebagai berikut :
1. Pengolahan Data
a. Editing
Kuisioner yang telah diisi oleh responden kemudian dikumpulkan dalam
bentuk data, data tersebut dilakukan pengecekan dengan maksud memeriksa
kelengkapan data, kesinambungan data dalam usaha melengkapi data yang
masih kurang.
b. Koding
Dilakukan untuk memudahkan pengolahan data yaitu dengan memberikan
simbol-simbol dari setiap jawaban yang diberikan responden.
c. Tabulasi data
Menyusun data-data ke dalam tabel yang sesuai sebelum dilakukan analisis.
2. Analisa Data
Setelah dilakukan entri data, selanjutnya dilakukan analisis data yang meliputi:
a. Analisis Univarat
Dilakukan terhadap tiap-tiap variabel penelitian terutama untuk melihat
tampilan distribusi frekeunsi presentasi dari tiap-tiap variabel.
b. Analisis bivarat
Setelah data-data tersebut ditabulasi dilakukan interpretasi terhadap data yang
terkumpul dengan menggunakan komputerisasi. Rumus statistik yang
digunakan untuk menganalisa pengaruh antara pengetahuan dan perilaku ibu
dalam pemenuhan gizi pada anak dengan kejadian gizi kurang akan
menggunakan uji Chi-Square, dengan tingkat kemaknaan ά = 0,05, artinya
bila uji statistik menunjukkan nilai ά = 0,05 Ho ditolak yang berarti ada
pengaruh yang bermakna antara pengetahuan dan perilaku ibu dalam
pemenuhan gizi anak.

4.9 Etika Penelitian


Sebelum penelitian dimulai, peneliti menjelaskan terlebih dahulu mengenai tujuan, manfaat,
dan prosedur pelaksanaan peelitian. Kemudian responden menyetujui pelaksanaan penyuluhan
kesehatan tersebut sebagai persetujuan menjadi responden (informed consent). Responden
dilindungi berdasarkan prinsip-prinsip etik dalam melakukan penelitian yaitu:
1. Autonomy
Peneliti memberikan kebebasan kepada klien untuk menentukan keputusan sendiri
apakah bersedia ikut dalam penelitian ini atau tidak, tanpa adanya paksaa atau
pengaruh dari peneliti.
2. Beneficience dan nonmaleficience
Peneliti memberikan penjelasan tentang manfaat penelitian ini serta keuntungannya
bagi responden. Keuntungan penelitian bagi responden adalah responden dapat
mengetahui tentang pemenuhan gizi pada anak. Peneliti memperhatikan dan
menghindari kondisi-kondisi yan akan menimbulkan bahaya lagi bagi responden
3. Anonimity (tanpa nama)
Nama responden tidak dicantumkan pada lembar observasi hanya menuliskan kode
atau inisial.
4. Confidentiality (kerahasiaan)
Informasi yang telah dikumpulkan dari responden tetap dijamin kerahasiannya, hanya
kelompok data tertentu yang akan dilaporkan pada hasil riset.
5. Justice
Peneliti tidak melakukan diskriminasi saat memilih responden penelitian. Responden
dipilih berdasarkan kriteria penelitian yang telah ditetapkan. Peneliti tidak memberikan
perlakuan yang berbeda terhadap responden. Semua responden harus diperlakukan
dengan adil oleh peneliti.
4.10 Keterbatasan Penelitian
Keterbatasan mengenai penulisan karya tulis atau riset perlu disebutkan pada
bagian ini atau bagian pembahasan. Misalnya keterbatasan dalam pengambilan sampel,
jumlah sampel yang diteliti, instrumen pengumpulan data, keterbatasan waktu atau
peneliti dan lainnya yang dipandang perlu.

Daftar pustaka
 Oktafia Hani. 2017. Karakteristik Balita Yang Menderita Gizi Kurang Di Desa Slarang
Kecamatan Kesugihan Kabupaten Cilacap Tahun 2017. Cilacap. Program Studi Diploma
Iii Kebidanan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (Stikes) Al-Irsyad Al-Islamiyyah
 Damayanti Rina. 2017. Pengaruh Pengetahuan Ibu Tentang Gizi Dan Pola Pemberian
Makan Terhadap Kejadian Gizi Kurang Pada Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas
Gajahan Surakarta. Surakarta. Universitas Muhammadiyah, Fakultas Ilmu Kesehatan,
Program Studi Keperawatan
 Maesarah et al 2018. Hubungan Perilaku Orang Tua Dengan Status Gizi Balita Di Desa
Bulalo Kabupaten Gorontalo Utara. Gorontalo. Gorontalo Journal of public health
Volume 1, Nomor 1
 Ningsih Suciati et al. 2015. Hubungan perilaku ibu dengan status gizi kurang anak usia
toddler. Surabaya. Jurnal pediomaternal volume 3, nomor 1
 Nursalam. 2016. Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.
 Puspasari Nindyna et al. 2017. Hubungan pengetahuan ibu tentang gizi dan asupan
makan balita dengan status gizi balita (bb/u) usia 12-24 bulan. Amerta Nutr. Halaman
369-378 DOI : 10.2473/amnt.v1i4.2017.369-378
 Susilowati Endang et al. 2017. Hubungan tingkat pengetahuan ibu tentang gizi balita
dengan status gizi balita di wilayah kerja puskesmas gajah 1 demak. Jurnal Kebidanan
vol. 6. no. 13
 Setyaningsih Sanny Rachmawati et al. 2014. Pengetahuan, sikap, dan perilaku ibu dalam
pemenuhan gizi balita: sebuah survai. Jurnal Keperawatan Indonesia, Volume 17, No. 3,
hal 88-94
 Ni’mah Cholifatun et al. 2015. Hubungan tingkat pendidikan, tingkat pengetahuan dan
pola asuh ibu dengan wasting dan stunting pada balita keluarga miskin. Media Gizi
Indonesia. Vol. 10, No. 1, hlm. 84–90
 Sari Milda Riski Nirmala et al. 2018. Hubungan pengetahuan ibu tentang pola pemberian
makan dengan status gizi balita di wilayah kerja puskesmas gapura kabupaten sumenep.
Amerta Nutr. Hal:182-188

Anda mungkin juga menyukai