Anda di halaman 1dari 14

KASUS PEMBUNUHAN TERHADAP ANAK

DISUSUN OLEH
JIHAN SRIKANDHIA PURNAMA
1700029164
KELAS C

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT


UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN
TAHUN 2017
KASUS PEMBUNUHAN ENGELINE

Engeline lahir pada tanggal 19 Mei 2007 di sebuah klinik di daerah Canggu sebagai
puteri dari seorang ibu bernama Hamidah dan ayah bernama Achmad Rosyidi. Ia adalah
puteri kedua dari tiga bersaudara. Tetapi para anggota keluarga ini kemudian tinggal
terpencar karena orangtuanya bercerai setelah melahirkan puteri ketiga. Anak sulungnya,
Inna (12 tahun), tinggal bersama keluarga ayahnya di Rogojampi, Banyuwangi. Sedangkan
Aisyah (4 tahun), anak bungsu, tinggal bersama neneknya di Desa Tulungrejo,
Banyuwangi. Sementara itu, Engeline bersama orangtua angkatnya yang terakhir tinggal
di Sanur, Denpasar tepatnya di Jalan Sedap Malam.

Ibu kandung Engeline, Hamidah (28 tahun), adalah wanita kelahiran Banyuwangi namun
sejak usia 15 tahun sudah merantau ke Bali untuk bekerja sebagai pembantu rumah tangga.
Di sana pula ia bertemu dengan suami pertamanya, ayah kandung Engeline yang bernama
Achmad Rosyidi (31 tahun), seorang pekerja buruh bangunan, untuk kemudian menikah dan
menetap di Bali. Namun kini mereka sudah bercerai. Hamidah sudah menikah kembali
dengan seorang pemuda Bali dan mereka sudah memiliki satu orang putera. Sekarang
Hamidah sudah tidak lagi bekerja sebagai pembantu rumah tangga.

Ketika melahirkan Engeline, Hamidah tidak sanggup melunasi biaya persalinannya ke


klinik. Saat sedang mengalami kesulitan demikian, seseorang mempertemukan dan
memperkenalkannya dengan Margriet Christina Megawe yang menawarkan bantuan untuk
melunasi biaya tersebut sekaligus bermaksud untuk mengadopsi bayinya. Waktu itu, Margriet
datang ditemani suaminya yang bernama Douglas Scarborough. Untuk keperluan tersebut,
Margriet mengeluarkan biaya sebesar Rp 1,8 juta, dengan rincian biaya persalinan Rp 800
ribu dan biaya perawatan Hamidah Rp 1 juta. Maka tiga hari setelah lahir, Engeline langsung
dibawa oleh Margriet dan tidak pernah bertemu lagi dengan kedua orangtuanya. Saat itu,
anak tersebut belum diberi nama oleh Hamidah. Nama "Engeline" diberikan oleh Margriet,
mengikuti nama depan ibunya (nenek angkat Engeline),Engelina Sumilat. Dalam proses
adopsi ini, Douglas ternyata tidak ikut campur. Sehingga pihak yang tercantum dalam surat
perjanjian pengadopsian tersebut hanya Margriet saja.

Pembunuhan Engeline Megawe merupakan peristiwa kekerasan terhadap


anak perempuan berusia delapan tahun yang terjadi di Kota Denpasar, Bali pada tanggal 16
Mei 2015. Peristiwa ini menjadi populer dalam berbagai media di Indonesia diawali dengan
pengumuman kehilangan anak tersebut (semula disebut Angeline) dari keluarga angkatnya
melalui sebuah laman di facebookberjudul "Find Angeline-Bali's Missing Child".

Besarnya perhatian dari berbagai pihak membuat terungkapnya kenyataan bahwa Engeline
selama ini tinggal di rumah yang tidak layak huni dan mendapat pengasuhan yang kurang
baik dari orangtua angkatnya bahkan mendapatkan penyiksaan baik fisik maupun
mental. Akibat sikap yang sangat tertutup dan tidak kooperatif dari ibu angkatnya, Margriet
Christina Megawe (62 tahun), memunculkan dugaan bahwa Engeline hilang bukan karena
diculik melainkan karena dibunuh. bahkan sebelum jenazahnya ditemukan.

Jasad Engeline kemudian ditemukan terkubur di halaman belakang rumahnya di Jalan Sedap
Malam, Denpasar, Bali, pada hari Rabu tanggal 10 Juni 2015 dalam keadaan membusuk
tertutup sampah di bawah pohon pisang setelah polisi mencium bau menyengat dan melihat
ada gundukan tanah di sana. Selanjutnya polisi menyelidiki lebih mendalam dan menetapkan
dua orang tersangka pembunuh, yaitu Agus Tay Hamba May, pembantu rumah tangga, dan
Margriet Christina Megawe, ibu angkatnya.
Pertanyaan :

Bagaimana penerapan nilai-nilai pancasila terhadap perlindungan anak?

Dasar menjawab :

1. UUD 1945

Undang-undang dasar 1945 pasal 28 ayat 2


“ setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak
atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”

Berdasarkan undang-undang dasar 1945 pasal 28B ayat (2) tersebut dapat diartikan
bahwa seorang anak ialah termasuk dalam subyek dan warga Negara yang berhak atas
perlindungan hak konstitusional dari serangan orang lain.

2. Pancasila
Sila kedua pancasila berbunyi : Kemanusiaan yang adil dan beradab.
Sila ini berhubungan dengan perilaku kita sebagai manusia yang pada hakikatnya
semuanya sama didunia ini. Adapun nilai- nilai yang terkandung dalam sila kedua
antara lain:

1. Mengakui dan memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya


sebagai makhluk Tuhan YME.
2. Mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan kewajiban asasi setiap manusia,
tanpa membeda-bedakan suku, keturunan, agama, kepercayaan, jenis kelamin,
kedudukan social, warna kulit, dan sebagainya.
3. Mengembangkan sikap saling mencintai sesame manusia.
4. Mengembangkan sikap tenggang rasa dan tepa selira.
5. Mengembangkan sikap tidak semena-mena terhadap orang lain.
6. Menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
7. Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan.
8. Berani membela kebenaran dan keadilan.
9. Bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh umat manusia.
10. Mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerja sama dengan bangsa lain.

3. Undang-undang republik Indonesia nomor 35 tahun 2014 tentang perubahan atas


undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak

Pasal 20

“Negara, Pemerintah, Pemerintah Daerah, Masyarakat, Keluarga, dan Orang Tua atau
Wali berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan Perlindungan
Anak”
Pasal 26

(1) Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk:


a. mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi Anak;
b. menumbuhkembangkan Anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya;
c. mencegah terjadinya perkawinan pada usia Anak; dan
d. memberikan pendidikan karakter dan penanaman nilai budi pekerti pada Anak.

Cara menjawab :

1. Menguraian makna tentang kekerasan terhadap anak

Menurut UU RI nomor 35 tahun 2014 tentang perubahan atas undang-undang


nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, pasal 15a menyebutkan “Kekerasan
adalah setiap perbuatan terhadap Anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau
penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan/atau penelantaran, termasuk ancaman
untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara
melawan hukum. Dengan kata laindapat pula dikatakan bahwa Kekerasan terhadap
anak adalah tindak kekerasan secara fisik, seksual, penganiyaan emosional, atau
pengabaian terhadap anak. Menurut Journal of Child Abuse and Neglect,
penganiayaan terhadap anak adalah "setiap tindakan terbaru atau kegagalan untuk
bertindak pada bagian dari orang tua atau pengasuh yang menyebabkan kematian,
kerusakan fisik serius atau emosional yang membahayakan, pelecehan seksual atau
eksploitasi, tindakan atau kegagalan tindakan yang menyajikan risiko besar akan
bahaya yang serius". Patricia ( 2001) mendefinisikan Child Abuse sebagai suatu
kelalaian tindakan/perbuatan oleh orang tua atau yang merawat anak yang
mengakibatkan terganggu kesehatan fisik, emosional, serta perkembangan anak. Ini
mencakup penganiayaan fisik dan emosi, kelalaian dan eksploitasi seksual. KPAI
(Komisi Perlindungan Anak Indonesia) (2006) mendefinisikan tindak kekerasan
terhadap anak adalah segala bentuk ucapan, sikap dan tindakan yang dapat
menimbulkan kesakitan, gangguan psikis, penelantaran ekonomi dan sosial terhadap
anak oleh orang tua atau orang dewasa lainnya (2006).

Menurut Sutanto (2006) kekerasan anak adalah perlakuan orang dewasa atau anak
yang lebih tua dengan menggunakan kekuasaan/otoritasnya terhadap anak yang tak
berdaya yang seharusnya menjadi tanggung jawab dari orangtua atau pengasuh yang
berakibat penderitaan, kesengsaraan, cacat/kematian.Kekerasan pada anak lebih
bersifat sebagai bentuk penganiayaan fisik dengan terdapatnya tanda atau luka pada
tubuh sang anak.

Nadia (2004) mengartikan kekerasan anak sebagai bentuk penganiayaan baik fiisk
maupun psikis. Penganiayaan fisik adalah tindakan kasar yang mencelakakan anak
dan segala bentuk kekerasan fisik pada anak yang lainnya.Sedangkan penganiayaan
psikis adalah semua tindakan merendahkan/meremehkan anak.

Lebih lanjut Hoesin (2006) melihat kekerasan anak sebagai bentuk pelanggaran
terhadap hak-hak anak dan dibanyak negara dikategorikan sebagai kejahatan sehingga
untuk mencegahnya dapat dilakukan oleh para petugas hukum.

Sedangkan Patilima (2003) menganggap kekerasan merupakan perlakuan yang salah


dari orangtua. Patilima mendefinisikan perlakuan yang salah pada anak adalah segala
perlakuan terhadap anak yang akibat dari kekerasannya mengancam kesejahteraan dan
tumbuh kembang anak, baik secara fisik, psikologi sosial maupun mental.

Adapun macam-macam kekerasan yang terjadi pada anak antara lain:

1. Penyiksaan Fisik (Physical Abuse)


Bentuk penyiksaan fisik seperti cubitan, pemukulan, menyundut, tendangan,
membakar, dan tindakan-tindakan fisik yang dapat membahayakan anak termasuk
ke dalam jenis kekerasan. Kebanyakan orang tua menganggap kekerasan fisik
merupakan bentuk dari pendisiplina anak. Dengan harapan anak dapat belajar
untuk berperilaku yang baik.

2. Pelecehan Seksual (Sexual Abuse)


Pelecehan seksual merupakan tindakan dimana anak dapat terlibat dalam
sebuah aktivitas seksual, namun tanpa anak sadari, tidak mampu untuk
mengkomunikasikannya, serta tidak mengerti maksud dari sesuatu hal yang
diterimanya tersebut.

3. Pengabaian (Child Neglect)


Bentuk kekerasaan anak yang memiliki sifat pasif, yaitu merupakan sikap
meniadakan perhatian yang mencukupi baik itu dalam bentuk fisik, emosi, ataupun
sosial.

4. Penyiksaan Emosi (Emotional Abuse)


Yang dimaksud dengan penyiksaan emosi disini adalah segala tindakan yang
mana meremehkan dan merendakan anak. Karena tindakan ini membuat anak menjadi
tidak merasa berharga untuk dikasihi dan dicintai.

5. Penolakan
Biasanya ini dilakukan para otrang tua yang narsis yang menampakkan sikap
penolakan kepada anak, entah itu sadar maupun tidak akan berakibat membuat anak
merasa tidak diinginkan. Misalnya saja dengan menyuruh anak pergi, memanggil
dengan nama yang tidak pantas, menolak berbicara pada anak, menolak melakukan
kontak fisik dengan anak, menyalahkan anak, mengkambing hitamkan anak, bahkan
yang terparah menyuruh anak untuk enyah.

6. Orang Tua Bersikap Acuh


Sikap seperti ini biasanya dikarenakan orang tua yang sedang memiliki
masalah dalam pemenuhan emosi yang membuat dirinya tidak mampu untuk
merespon kebutuhan emosi sang anak. Hal ini ditunjukkan dengan adanya ketidak
tertarikan pada anak, menahan kasih sayang, bahkan mengalami kegagalan dalam
mengenali kehadiran sang anak. Sehingga nantinya akan memberikan pengaruh yang
negatif dalam tumbuh kembang anak. Ada beberapa contoh perilaku pengabaian
semisal, tidak menunjukkan perhatian saat momen penting anak, tidka peduli pada
kegiatan anak, tidak merespon perilaku spontan anak saat di lingkungan sosial, tidak
memberikan perawatan kesehatan saat dibutuhkan, tidak masuk ke dalam keseharian
anak, dan lainnya.

7. Memberikan Teror Kepada Anak


Mengancam, membentak, hingga mengucapkan kata kata kasar pada anak
akan memberikan pengaruh yang cukup serius dalam psikologis anak. Hal ini akan
membuat anak mengalami ketakutan dan merasa terintimidasi. Sikap teror ini dapat
ditunjukkan pada teriakan, bentakan, kata sumpah serapah, menakut-nakuti, hingga
ancaman dalam bentuk verbal yang cukup ekstrim.

8. Mengasingkan Anak
Tidak memperbolehkan anak untuk terlibat dalam kegiatan sosialnya,
mengurung di rumah, tidak memberikan rangsangan pada apapun yang berkaitan
dengan pertumbuhannya akan masuk ke dalam kekerasa emosional. Hal ini akan
merusak kehidupan anak secara tidak lansgung, namun tergantung dari situasi serta
tingkat keparahannya. Sikap mengasingkan anak ini dapat ditunjukkan seperti
meninggalkan anak sendirian pada jangka waktu yang lama, menjauhkan anak dari
lingkungan keluarga, menuntut anak untuk belajar secara berlebihan, tidak
memperbolehkan anak untuk mempunyai teman ataupun berinteraksi dengan
lingkungan sosial.

9. Memberikan pengaruh buruk pada anak


Memberikan pengaruh buruk adalah dengan memperlihatkan hal-hal yang
bersikap negatif di depan anak secara langsung. Berikut ini beberapa contoh sikap
yang memberikan pengaruh buruk untuk anak semisal memuji anak yang melakukan
tindakan tidak terpuji kepada orang lain, mengajarkan anak untuk rasis, mendorong
anak bersikap kasar pada orang lain, bahkan memberikan narkoba maupun obat-
obatan terlarang pada anak.

10. Eksploitasi
Bentuk manipulasi atau dapat dikatakan sebagai bentuk pemaksaan dengan
tidak memperdulikan perkembangan anak. Banyak contoh eksploitasi pada anak yaitu
dengan memberikan tanggung jawab yang berlebihan pada anak yang melebihi dari
usia dan kemampuannya.

2. Menjelaskan faktor-faktor yang menyebabkan kekerasan terhadap anak

Zigler dan Hall (1989) mengemukakan beberapa perspektif teori yangmenjelaskan


penyebab terjadinya fenomena kekerasan yang dilakukan orangtua terhadap anak. a.
Pendekatan psikiatri Pendekatan ini merupakan teori yang paling awal dikemukakan
untuk menjelaskan orangtua yang melakukan kekerasan terhadap anak.Menurut teori
ini, orangtua yang melakukan kekerasan terhadap anak dianggap menderita gangguan
jiwa seperti psikopat atau sosiopat.Konsekuensi dari teori ini adalah intervensi yang
dapat dilakukan bersifat kuratif dengan menggunakan terapi farmakologi dan
psikoterapi. Kelemahan dari pendekatan ini adalah dengan memberi label bahwa
orangtua yang melakukan kekerasan terhadap anak sebagai penderita gangguan jiwa
maka akan membuat pelaku semakin terpisahkan dari masyarakat. Kondisi ini justru
akan semakin memperburuk keadaan. Selain itu, terapi farmakologi dan psikoterapi
akan memakan waktu cukup lama dan menghabiskan banyak biaya. Hal ini tentu
tidak efektif menyelesaikan persoalan kekerasan terhadap anak. b. Pendekatan sosial
Berbeda dengan pendekatan psikiatri yang sifatnya tunggal, maka pendekatan social
bersifat interaksi antar beberapa faktor. Dasar pendekatan ini adalah adanya stress
social yang berinteraksi dengan cultural milieu dan dinamika keluarga menghasilkan
agresi, kekerasan terhadap anak. Model ini lebih menekankan akumulasi stres yang
dihadapi orangtua dibandingkan faktor yang sifatnya inheren pada orangtua. c.
Pendekatan perkembangan C. Newberger dan Cook (dalam Zigler dan Hall, 1989)
yang pertama kali mengemukakan teori perkembangan kognitif untuk menjelaskan
terjadinya pola asuh dengan kekerasan. Teori ini menjelaskan bahwa perkembangan
sikap dan perilaku pola asuh orangtua mengikuti pola yang sama dengan
perkembangan kognitif Piaget. Berfokus pada isu mengenai “anak sebgai orang”,
aturan pengasuhan anak, dan penghayatan peran sebagai orangtua. C. Newberger dan
Cook menawarkan empat tahap kesadaran sebagai orangtua (parental awareness).
Menurut teori ini, orangtua yang melakukan kekerasan terhadap anak berada pada
level yang rendah pada tahapan perkembangan kognitif. Hal ini ditandai dengan
ketika menghadapi stimulus, misalnya stressor, mereka bereaksi secara impusif dan
mengambil tindakan langsung. d.Pendekatan ekologi 6 Pendekatan yang paling
berhasil mengintegrasikan berbagai komponen yang berkontribusi terhadap kekerasan
terhadap anak adalah model ekologi yang dikembangkan oleh Belsky (1980 ).
Pendekatan ini menggunakan pendekatan ekologi Bronfenbrenner (1979) dalam
studinya mengenai perkembangan anak.Model ini menjelaskan adanya lapisanlapisan
sistem ekologi yang mempengaruhi perkembangan anak.Belsky (1980) menjelaskan
bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kekerasan pada anak disusun menurut
lapisan tertentu. Pada lapisan ontogenics menjelaskan tentang bagaimana faktor
individu berkaitan dengan kekerasan pada anak. Faktor-faktor tersebut antara lain
masa lalu orangtua, tahap perkembangan orangtua, perasaan terhadap anak,
pemahaman terhadap perkembangan anak, dan kesehatan mental orangtua( Zigler dan
Hall, 1989). Salah satu isu yang cukup berkembang adalah mengenai sejarah masa
kecil orangtua. Orangtua yang mengalami pola asuh dengan kekerasan apakah ketika
dewasa akan menjadi pelaku kekerasan. Cicchetti dan Barnett (dalam Scannapieco
dan ConnellCarrick, 2005) menyatakan salah satu konstruk yang dapat menjelaskan
adalah kelekatan (attachment).Penelitian menunjukkan anak yang mengalami
kekerasan mengalami kelekatan yang tidak aman atau tipe D (disorganized-
disoriented).Bowlby (1982) menjelaskan bahwa representasi mental dari bagaimana
seseorang menjalin hubungan interpersonal berakar dari kelekatan dengan primary
caregiver di masa kecil.Representasi mental meliputi sistem afek, kognitif, dan
harapan mengenai bagaimana interaksi social yang ingin dibentuk. Pada lapisan
microsystem adalah mengenai faktor yang berpengaruh secara langsung terhadap
anak. Contohnya adalah kondisi keluarga, banyaknya anggota keluarga, hubungan
suami-istri, kondisi kesehatan anak( Zigler dan Hall, 1989). Anak-anak dengan
karakteristik tertentu seperti lahir dengan kondisi premature, berpenampilan kurang
menarik, atau memiliki kekurangan fisik atau mental lebih beresiko untuk menjadi
korban kekerasan orangtua. Anak yang mengalami kekerasan adalah anak yang lebih
sering menampilkan perilaku negatif dibandingkan kelompok kontrol, anak yang tidak
mengalami kekerasan orantua (Burgess dan Conger dalam Scannapieco dan Connell-
Carrick, 2005). Kemudian, dalam sistem keluarga, faktor anak dan keluarga saling
berinteraksi.Anak dapat menjadi penyebab utama orangtua melakukan kekerasan,
namun faktor ini tidak berdiri sendiri.Anak dapat mempengaruhi orangtua tetapi
kondisi orangtua juga dapat berpengaruh. Lapisan exosystem mengaitkan anak dan
keluarga pada sistem yang lebih luas. Faktor-faktornya antara lain keluarga besar,
status social ekonomi, komunitas, dan sistem pendukung lainnya. Sistem pendukung
menjadi sumber stress bagi orangtua yang dapat mempengaruhi pola asuh orang tua(
Zigler dan Hall, 1989). Hubungan dengan tetangga juga dapat mempengaruhi perilaku
kekerasan terhadap anak.Lapisan macrosystemadalah lapisan terluar yang terus-
menerus saling berinteraksi dengan lapisan ontogenics, microsystem, dan exosystem.
Faktor-faktor yang masuk kategori ini adalah sikap masyarakat terhadap
kekerasan,harapan masyarakat terhadap pola pendisiplinan di Macros Exosys Micros
Ontoge 7 rumah dan sekolah, dan kekerasan yang terjadi di masyarakat(Zigler dan
Hall, 1989).

Selain itu, faktor lain yang dapat menimbulkan kekerasaan terhadap anak adalah:

· Lemahnya pengawasan orang tua terhadap anak dalam menonton tv, bermain
dll. Hal ini bukan berarti orang tua menjadi diktator/over protective, namun maraknya
kriminalitas di negeri ini membuat perlunya meningkatkan kewaspadaan terhadap
lingkungan sekitar.

· Anak mengalami cacat tubuh, gangguan tingkah laku, autisme, terlalu lugu

· Kemiskinan keluarga (banyak anak).

· Keluarga pecah (broken Home) akibat perceraian, ketiadaan Ibu dalam jangka
panjang.

· Keluarga yang belum matang secara psikologis, ketidak mampuan mendidik anak,
anak yang tidak diinginkan (Unwanted Child)atau anak lahir diluar nikah.

· Pengulangan sejarah kekerasan orang tua yang dulu sering memperlakukan anak-
anaknya dengan pola yang sama

· Kondisi lingkungan yang buruk, keterbelakangan

· Kesibukan orang tua sehingga anak menjadi sendirian bisa menjadi pemicu
kekerasan terhadap anak

· Kurangnya pendidikan orang tua terhadap anak.


3. Mengambil kesimpulan dari isu yang terjadi

Dari kasus ini, penulis dapat menyimpulkan bahwa Setiap anak berhak memperoleh
perlindungan dari keluarga, masyarakat maupun pemerintah. Dalam penyelenggaraan
perlindungan anak yang tercantum dalam UU No. 23 Tahun 2002 maka semua pihak
mempunyai kewajiban untuk melindungi anak dan mempertahankan hak-hak
anak. Pemberlakuan Undang-undang ini juga di sempurnakan dengan adanya
pemberian tindak pidana bagi setiap orang yang sengaja maupun tidak sengaja
melakukan tindakan yang melanggar hak anak. Dalam undang-undang ini juga
dijelaskan bahwa semua anak mendapat perlakuan yang sama dan jaminan
perlindungan yang sama pula, dalam hal ini tidak ada diskriminasi ras, etnis, agama,
suku dsb. Anak yang menderita cacat baik fisk maupun mental juga memiliki hak
yang sama dan wajib dilindungi seperti hak memperoleh pendidikan, kesehatan, dsb.

Undang-undang No.23 tahun 2002 juga menjelaskan mengenai hak asuh anak yang
terkait dengan pengalihan hak asuh anak, perwalian yang diperlukan karena
ketidakmampuan orang tua berhubungan dengan hukum, pengangkatan anak yang
sangat memperhatikan kepentingan anak, serta penyelenggaraan perlindungan dalam
hal agama, kesehatan, pendidikan, sosial dan perlindungan khusus.

Pancasila memiliki lima nilai dasar yaitu nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai
persatuan, nilai kerakyatan, dan nilai keadilan. Sila-sila dari Pancasila itu terdiri dari
nilai-nilai dan norma-norma yang positif sesuai dengan pandangan hidup bangsa
Indonesia.

Akan tetapi, karena krisis moral di Indonesia maka marak terjadinya kasus yang
melanggar dan menyimpang dari nilai pancasila. Contohnya adalah kasus kekerasan
terhadap anak. Pelaku dari kasus ini bisa disebabkan oleh lingkungan sekitar anak,
terutama orang tua.

Dengan terjadinya kekerasan terhadap anak oleh orang tua dalam rumah tangga, maka
di perlukan suatu upaya-upaya untuk menanggulangi terjadinya kekerasan terhadap
anak. Upaya-upaya tersebut dapat berupa tindakan preventif yaitu penguatan keluarga,
aspek spiritual, dan peran serta pemerintah dalam penegakkan hukum. Upaya-upaya
tersebut diharapkan dapat mengurangi jumlah korban kekerasan terhadap anak oleh
orang tua dalam rumah tangga. Sebab anak merupakan generasi penerus bagi
keluarga, marga (claim/suku), bahkan bagi bangsa dan negara ini, apabila hal ini
dibiarkan maka bangsa ini akan kehilangan generasi penerus di masa yang akan
datang.

4. Memberi saran berupa penerapan nilai-nilai pancasila terhadap isu yang terjadi

Penerapan Sila kedua “Kemanusiaan yang adil dan beradab” yaitu:

1. Mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan persamaan kewajiban antara


sesama manusia.
2. Saling menjaga dan mencintai sesama manusia.
3. Mengembangkan sikap tenggang rasa dan menghargai setiap perbedaan.
4. Tidak semena-mena terhadap orang lain.
5. Menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. Menyadari bahwa setiap orang memiliki
hak asasi manusianya masing-masing.
6. Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan.
7. Berani membela kebenaran dan keadilan. Tidak takut atas ancaman apapun.
8. Melindungi antar sesama, menumbuhkan rasa kekeluargaan.
Daftar Pustaka

Bakry, Noor M.S. (1994). Orientasi Filsafat Pancasila. Yogyakarta: Liberty

Hoesin. 2006. Psikologi Perkembangan Anak. Edisi 6. Alih Bahasa: dr. Med. Meitasari
Tjandrasa.

Jakarta: Penerbit Erlangga.

Jacob (1999). Nilai-nilai Pancasila . Yogyakarta: Interskip dosen-dosen Pancasila se


Indonesia.

Sutanto .2006 . Kekerasan Terhadap Anak. Jakarta :Penerbit Nuansa

UUD 1945 pasal 28 ayat 2

Undang-undang republik Indonesia nomor 35 tahun 2014

Yamin, Muhammad. Pembahasan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia. Jakarta:


Prapanca

https://id.wikipedia.org/wiki/Pembunuhan_Engeline. Diakses pada tanggal 13 desember


2017. Pukul 13.45 WIB. Di Yogyakarta

https://www.kompasiana.com/fbndrvinska/hak-anak-dalam-undang-undang-dasar-
1945_54f5e472a33311ee768b4584. Diakses pada tanggal 13 desember 2017. Pukul 14.19. di
Yogyakarta.

https://susirananingsih26.wordpress.com/penerapan-nilai-nilai-pancasila-dalam-kehidupan-
sehari-hari/. Diakses pada tanggal 13 desember 2017. Pukul 17.14 WIB. Di Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai