2010-2014
RPI 3
Pengelolaan Hutan
Lahan Kering
Kementerian Kehutanan
Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan
Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi
email : evlap_p3kr@yahoo.co.id
web : www.puskonser.or.id
KATA PENGANTAR
Berdasarkan Keputusan Kepala Badan Litbang Kehutanan No. SK. 23/VIII-SET/2009 tentang
Penanggungjawab Program Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Tahun 2010-2014,
Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi (Puskonser) mengemban tanggung jawab pelaksanaan 7
(tujuh) Rencana Penelitian Integratif (RPI) dari 25 RPI Badan Litbang Kehutanan, yakni 3 RPI
sebagai komponen dari Program Litbang Hutan Alam, 2 RPI komponen dari Program Litbang
Biodiversitas dan 2 RPI komponen dari Program Litbang Pengelolaan DAS. Setiap RPI dielaborasi
ke dalam beberapa kegiatan penelitian untuk menjawab tujuan (ultimate objectives), sasaran
(specific objectives) dan luaran (outputs) RPI yang telah ditetapkan sebagai satu kesatuan yang
utuh. Seluruh kegiatan penelitian pada setiap RPI sudah selayaknya dapat disintesis luarannya
untuk menghasilkan informasi ilmiah, teknologi dan input kebijakan yang utuh.
Salah satu RPI Puskonser yang telah ditetapkan dalam Renstra Puskonser Tahun 2010-2014
(Revisi) adalah Pengelolaan Hutan Lahan Kering. Sampai akhir 2014, RPI tersebut akan
menyelesaikan 39 kegiatan penelitian untuk mencapai tujuan tersedianya preskripsi manajemen
ekosistem hutan lahan kering di luar kawasan konservasi baik yang utuh maupun terdegradasi
untuk menjamin pemulihan dan keberlangsungan nilai manfaat ekonomi, ekologi dan sosial dengan
sasaran menghasilkan iptek sistem pengelolaan dalam rangka restorasi, konservasi dan rehabilitasi
hutan lahan kering di luar kawasan konservasi. Kegiatan penelitian telah dilaksanakan oleh
Puskonser, BPK Aek Nauli, BPK Palembang, BPTHHBK Mataram, BPK Kupang, BPK
Banjarbaru dan BPK Samboja. Mengingat RPI Pengelolaan Hutan Lahan Kering (RPI 3) baru
dimulai tahun 2012 dan praktis kegiatan penelitiannya baru 11 kegiatan penelitian maka tidak
dilakukan penyusunan sintesa antara, tetapi lebih pada penyusunan rangkuman hasil penelitian.
Output ke 11 kegiatan penelitian tersebut perlu dirangkum untuk melihat kemajuan/capaian kinerja
RPI tersebut dan menilai apakah spektrum kegiatan penelitian dan pelaksanaannya sudah selaras
(in line) dengan pencapaian tujuan dan sasaran RPI pada akhir tahun 2014.
Rangkuman RPI Pengelolaan Hutan Lahan Kering tahun 2013 dapat dijadikan milestone untuk
mencapai sintesis RPI akhir tahun 2014 yang berkualitas dan dapat mendorong terwujudnya
pengelolaan hutan lahan kering yang berkelanjutan. Dari rangkuman hasil penelitian ini, kita dapat
melihat berbagai output dalam bentuk monograf model-model allometrik estimasi biomassa hutan
dan pedoman penggunaan allometrik. Koordinator RPI beserta tim penelitinya juga memperkaya
rangkuman hasil penelitian ini dengan pool of knowledge yang ada. Masih ada waktu selama dua
tahun untuk mengisi gap penelitian yang ada dan mengkoordinasikan seluruh kegiatan penelitian
untuk menghasilkan sintesis RPI yang mumpuni dan bermanfaat.
Akhirnya, saya menyampaikan terima kasih kepada Koordinator RPI Pengelolaan Hutan
Lahan Kering beserta tim penelitinya yang telah menunaikan tugasnya dengan baik menyusun
rangkuman hasil penelitian RPI ini. Semoga rangkuman ini bermanfaat bagi pihak yang
memerlukan dan menjadi baseline penyusunan sintesis RPI berikutnya.
Kepala Pusat,
i
DAFTAR ISI
iii
Rinjani Barat, Bentuk Koordinasi /Mekanisme Hubungan Kerja ........................ 41
B. Bentuk Koordinasi/Mekanisme Hubungan Kerja Dengan Para Pihak ................. 45
C. Peta Sikap dan Pandangan Stakeholder ............................................................... 47
D. Bentuk Insentif Pengelolaa Hutan Lindung ......................................................... 50
VII. SARAN DAN REKOMENDASI HASIL PENELITIAN ........................................ 54
A. Strategi Rehabilitasi Hutan Terdegradasi ............................................................. 54
B. Peningkatan Manfaat Hutan Lindung ................................................................... 54
C. Koordinasi dan Peningkatan Kapasitas Kelembagaan Pengelolaan Hutan
Lindung................................................................................................................. 55
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 57
iv
DAFTAR TABEL
v
DAFTAR GAMBAR
vii
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ekosistem hutan lahan kering (dryland forest ecosystem) di Indonesia
mempunyai peranan sangat strategis bagi pemenuhan fungsi-fungsi lindung,
konservasi dan sosial budaya masyarakat, di samping fungsi ekonomi. Keberadaan
dan terpeliharanya ekosistem hutan tersebut telah terbukti berkontribusi dan
berdampak positif bagi peningkatan kualitas lingkungan hidup dan kualitas hidup
masyarakat. Pemenuhan fungsi-fungsi tersebut secara berkelanjutan sangat
ditentukan oleh penerapan sistem pengelolaan hutan yang memperhatikan daya
dukung, daya lenting dan daya pulih ekosistem tersebut.
Pada kenyataannya, kerusakan ekosistem hutan lahan kering sangat cepat dan
mengkhawatirkan. Hal ini terjadi karena tekanan masyarakat yang tinggi untuk
pemenuhan kebutuhan kayu dan lahan pertanian serta kebutuhan di luar sektor
kehutanan. Hutan relatif mudah dijangkau oleh masyarakat yang mendiami sekitar
hutan, khususnya lahan hutan dataran rendah (lowland forest) dan fleksibilitas
penggunaan lahan untuk kepentingan di luar sektor kehutanan. Lebih lanjut lagi,
kesalahan dalam pengelolaan (mismanagement) HPH (sekarang IUPHHK-HA) yang
mengabaikan sistem TPTI dan pengawasan (Tampubolon, 1993), euforia reformasi
yang mempercepat fragmentasi hutan, ketidakhadiran peran Pemerintah Daerah
dalam pengelolaan hutan lindung di era otonomi daerah dan ekspansi perkebunan
dan pertambangan semakin memperparah degradasi hutan dan deforestasi.
Tuntutan penerapan pengelolaan hutan berkelanjutan (Sustainable Forest
Management) yang digagas, utamanya oleh ITTO melalui ITTO Guidelines for
Sustainable Management of Natural Tropical Forest (ITTO, 1990), pencadangan
High Coservation Value Forest (HCVF) pada hutan produksi (The Consortium for
Revision of the HCV Toolkit Indonesia, Guidelines for the Identification HCV
Toolkit Indonesia), penerapan REDD+ di Indonesia dan komitmen penerapan tata
kelola pengurusan hutan yang baik, berimplikasi pada pentingnya upaya-upaya
restorasi hutan, rehabilitasi hutan dan konservasi hutan, khususnya pada ekosistem
hutan lahan kering. Berbagai inisiatif secara global telah dilakukan seperti penerbitan
ITTO Guidelines for the Restoration, Management and Rehabilitation of Degraded
and Secondary Forest (ITTO, 2002) dan pilihan-pilihan teknik rehabilitasi dan
restorasi hutan (Kobayashi et al., 1999; Lamb dan Gilmore (2003). Namun demikian,
dalam tataran nasional dan lokal, preskripsi manajemen dan teknologi restorasi,
rehabilitasi dan konservasi hutan lahan kering belum diformulasikan secara
terstruktur. Oleh karena itu dalam memformulasikan preskripsi ini, perlu didukung
dengan hasil-hasil pemikiran yang obyektif rasional berdasarkan data dan informasi
terkini yang diperoleh melalui serangkaian penelitian yang bersifat integratif
Sintesis 2010-2014 | 1
(disusun dalam format Rencana Penelitian Integratif (RPI)). Penghimpunan serpihan
ilmu pengetahuan dan hasil-hasil penelitian yang sudah ada (pool of knowledge),
serta dilanjutkan dengan pelaksanaan penelitian tahun jamak (multiyears) diharapkan
akan menjawab pemenuhan sistem pengelolaan dan teknik pemulihan hutan lahan
kering yang telah rusak.
B. Tujuan dan Sasaran
Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian integratif “Pengelolaan Hutan Lahan
Kering” ini adalah tersedianya preskripsi manajemen ekosistem hutan lahan kering di
luar kawasan konservasi, baik yang utuh maupun terdegradasi, untuk menjamin
pemulihan dan keberlangsungan nilai manfaat ekonomi, ekologi dan sosial.
Sasaran yang hendak diwujudkan dalam kegiatan penelitian integratif ini adalah
untuk menghasilkan iptek sistem pengelolaan dalam rangka restorasi, konservasi dan
rehabilitasi hutan lahan kering di luar kawasan konservasi mencakup IUPHHK -
Restorasi Ekosistem, Kawasan Lindung yang bukan kawasan hutan dan hutan
lindung berdasarkan potensi, tipologi hutan, atribut sosial dan kelembagaan yang
ada.
C. Luaran
Luaran/output yang diharapkan dapat diperoleh dari keseluruhan kegiatan
kajian/penelitian pada penelitian integratif "Pengelolaan Hutan Lahan Kering"
adalah:
1. Klasifikasi tipologi dan sebaran hutan lahan kering; yang memuat peta
klasifikasi vegetasi hutan lahan kering berdasarkan gradasi kerusakan vegetasinya,
dari mulai hutan utuh (primary forest) sampai lahan alang-alang/semak belukar
dari tiap fungsi/tipe ekosistem hutan lahan kering terpilih.
2. Strategi rehabilitasi hutan terdegradasi; yang memuat preskripsi sistem
pengelolaan dan teknik rehabilitasi vegetasi berdasarkan input hasil penelitian
klasifikasi tipologi dan potensi biomassa hutan lahan kering. Sistem pengelolaan
hutan lebih difokuskan pada pengaturan ruang (landscape) berdasarkan kondisi
biofisik dan sosial budaya masyarakat setempat, organisasi dan tatalaksana
pengurusan hutan dan tujuan-tujuan pengelolaan (management objectives).
Sedangkan teknik rehabilitasi lebih difokuskan pada pilihan perlakuan atau teknik
revegetasi yang tepat sesuai dengan tingkat degradasi hutan, mulai dari yang
ringan (disturbed primary forest) sampai yang rusak (hutan sekunder dan
degraded forest land berupa areal alang-alang) dengan intervensi teknik
rehabilitasi lahan hutan (lihat ITTO, 2002).
3. Valuasi hutan lindung; yang memuat informasi teknis nilai manfaat total
keberadaan hutan lindung baik nilai manfaat langsung (tangible) maupun tidak
langsung (intangible). Luaran ini juga mendeskripsikan status pengelolaan hutan
lindung pada era desentralisasi kehutanan.
Sintesis 2010-2014 | 2
4. Kelembagaan pengelolaan hutan lindung; yang memuat preskripsi manajemen
terkait efektivitas kelembagaan dan sistem pengelolaan hutan lindung dalam
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL).
D. Ruang Lingkup
Ruang lingkup RPI Pengelolaan Hutan Lahan Kering adalah untuk melakukan
serangkaian penelitian sistem pengelolaan dan teknik rehabilitasi vegetasi hutan
lahan kering terdegradasi di luar KSA (Kawasan Suaka Alam; Cagar Alam dan
Suaka Margasatwa) dan KPA (Kawasan Pelestarian Alam; Taman Nasional, Taman
Hutan Raya, Taman Wisata Alam, Taman Buru).Dengan demikian, penelitian ini
dibatasi pada kawasan hutan produksi, hutan lindung dan kawasan lindung yang
bukan kawasan konservasi.
Sintesis 2010-2014 | 3
II. METODOLOGI UMUM
Kegiatan penelitian yang tercakup dalam RPI ini difokuskan pada penyediaan
Iptek sistem pengelolaan hutan lahan kering pada berbagai fungsi hutan dan kondisi
vegetasi sehingga akan dapat memulihkan fungsi ekologi dan penyediaan jasa
lingkungan hutan bagi masyarakat, maka penelitian akan diarahkan pada penelitian
Sistem Informasi Geografis (SIG) dan perpetaan, biometrika hutan, khususnya untuk
pendugaan potensi biomassa hutan, teknik-teknik silvikultur untuk tujuan rehabilitasi
dan perlindungan (protective afforestation and reforestation). Khusus untuk hutan
lindung, penelitian diarahkan pada aspek tata kelola (governance), penilaian manfaat
sumber daya hutan dan lingkungan serta kelembagaan dan efektifitas pengelolaan.
Kegiatan penelitian dirancang dengan metodologi penelitian yang disesuaikan
dengan tujuan dan sasaran masing-masing penelitian untuk mencapai tujuan dan
sasaran RPI. Dengan metodologi penelitian yang tepat, baik teknik sampling,
rancangan percobaan, plot-plot penelitian permanen, teknik survei untuk penelitian
sosial, maka kualitas data primer dan sekunder yang dikumpulkan akan terjamin.
Khusus untuk penelitian yang dirancang dalam penelitian plot permanen (ujicoba
penanaman, lokasi plot penelitian sebaiknya mudah diakses, aman dari ganggunan
dan diberi tanda yang jelas dan awet agar dapat dilakukan pengamatan dan
pengukuran ulang dalam waktu yang cukup lama. Begitu juga dengan kegiatan
pengukuran yang berulang (time series), perlu dilakukan pada titik pengukuran (point
of measurement) yang tetap.
Secara garis besar metode penelitian yang perlu dibuat dalam pelaksanaan
kegiatan penelitian yang tercakup dalam RPI ini adalah sebagai berikut :
1. Pembuatan rancangan penelitian
2. Tatacara pengumpulan data
3. Tatacara pengolahan dan analisis data
4. Pelaporan hasil dan rekomendasi
Adapun bentuk dan metodologi penelitian untuk setiap luaran/output secara garis
besar disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Garis besar metodologi penelitian untuk menghasilkan luaran
Luaran Metode
Sintesis 2010-2014 | 4
Luaran Metode
Sintesis 2010-2014 | 5
III. KLASIFIKASI TIPOLOGI DAN SEBARAN HUTAN
LAHAN KERING
Dalam pengelolaan hutan lahan kering, salah satu informasi penting adalah
diperolehnya data hasil inventarisasi hutan yang memadai (teliti dan akurat) yang
akan dijadikan dasar dalam melaksanakan perencanaan untuk pengelolaan hutan.
Disisi lain, kondisi tegakan hutan di Indonesia sangat bervariasi baik disebabkan oleh
kondisi fisik lapangan (tanah, iklim, konfigurasi lapangan, dll). maupun sebaran dan
komposisi jenis pohon yang menyusunnya, sehingga potensi hutan dari satu tapak ke
tapak lainnya tentu akan berbeda. Untuk meningkatkan keakuratan informasi tentang
keadaan tegakan dan potensi hutan yang akan dikelola, diperlukan adanya stratifikasi
hutan dengan ciri-ciri penyebab variasi tegakan yang ada meliputi tipologi dan
sebaran hutan yang akan dikelola.
Secara garis besar, penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data dan informasi
ilmiah sebagai bahan penyusunan teknik klasifikasi tipologi dan sebaran
potensi/biomassa yang diperlukan dalam perencanaan pengelolaan hutan. Adapun
sasaran penelitian adalah tersedianya perangkat klasifikasi tipologi dan sebaran hutan
yang diperlukan dalam kegiatan perencanaan pengelolaan hutan, khususnya dalam
hal penentuan strategi pengelolaan. Penelitian yang dilakukan mencakup klasifikasi
dan sebaran biomasa hutan lahan kering di KPHL Rinjani Barat dan penelitian
mengenai klasifikasi fragmentasi vegetasi di hutan lindung Sebelimbingan, Pulau
Laut.
A. Klasifikasi dan Sebaran Biomassa Hutan Lahan Kering di KPHL Rinjani
Barat
Pengklasifikasian dilakukan berdasarkan kombinasi teknik penginderaan jauh
(remote sensing) dengan hasil pengukuran/inventarisasi di lapangan (ground-based
measurement) berupa pengumpulan data dalam petak ukur pengamatan terhadap
pohon-pohon yang berdiameter 5 cm ke atas) serta pengambilan data koordinat bumi
dengan menggunakan GPS pada petak pengamatan yang dibuat.
Kegiatan pembuatan petak pengamatan dilakukan sebagai acuan dalam
menentukan training area dan untuk mengetahui jenis serta kondisi penutupan lahan
yang akan diidentifikasi di areal penelitian pada saat dilakukan perekaman oleh citra
satelit. Data dijital citra satelit yang digunakan memberikan gambaran secara umum
bagaimana kondisi areal penelitian. Hal ini dimungkinkan karena perbedaan
reflektansi yang direspon oleh masing-masing penutupan lahan sehingga
menampilkan warna-warna yang berbeda dengan nilai DN (Digital Number) yang
berbeda pula. Analisa data yang dilakukan mencakup lima tahap pemrosesan:
pengolahan awal citra; pemeriksaan lapangan (ground check); klasifikasi citra secara
digital; pemetaan penutupan dan penggunaan lahan.
Sintesis 2010-2014 | 6
Hasil pengukuran di 36 plot pengamatan yang tersebar di areal hutan lindung
(KPHL) Rinjani Barat diperoleh nilai rata-rata biomassa hutan untuk masing-masing
kelas penutupan sebesar 155,23 ton/ha (kelas agroforestry campuran), 116,02 ton/ha
(kelas kerapatan jarang), 271,33 (kelas kerapatan sedang) dan 578,67 ton/ha (kelas
kerapatan tinggi). Hasil klasifikasi penutupan lahan berdasarkan citra di KPHL Rinjani
Barat disajikan pada Gambar 1 dengan luasan masing-masing kelas penutupan seperti
pada Tabel 2.
Tabel 2. Kelas penutupan lahan KPHL Rinjani Barat berdasarkan klasifikasi Citra
Hasil analisis sebaran dan kelas potensi biomassa hutan di KPHL Rinjani Barat
berdasarkan metode kemungkinan maksimum (Maximum Likehood Method) dapat
dilihat pada Gambar 2 dengan luasan masing-masing kelas biomassa disajikan pada
Tabel 3. Secara umum sebaran potensi biomassa dan karbon didominasi oleh kelas
Sintesis 2010-2014 | 7
biomassa 201 – 400 ton/ha dan kelas karbon 101 – 200 ton/ha, dengan jumlah carbon
stock sebesar ± 4 juta ton.
Gambar 2. Peta sebaran biomassa dan carbon stock di KPHL Rinjani Barat
Tabel 3. Kelas potensi biomassa dan carbon stock di KPHL Rinjani Barat
Sintesis 2010-2014 | 8
Secara umum tipologi hutan yang jadi obyek kajian merupakan kawasan hutan
lindung yang sebelumnya merupakan hutan produksi dan telah mengalami beberapa
kali penebangan (1982, 1996), kemudian menjadi sasaran penebangan masyarakat
sejak tahun 1997 sampai saat ini untuk keperluan kayu gergajian bahkan gaharu.
Proses tumbangnya pohon-pohon kanopi atas akibat penebangan berulang maupun
alami tersebut menjadi penyebab bervariasinya tipe fase perkembangan vegetasi
yang terjadi, yang dicirikan oleh variasi fase perkembangan regenerasi jenis-jenis
kanopi atasnya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa variasi tipe fragmen (tegakan) di lokasi
penelitian dapat diklasifikasikan berdasarkan keberadaan jenis-jenis kanopi dominan
dan non dominan dalam berbagai fase perkembangan (anakan, pancang, tiang dan
pohon) (Gambar 3).
1. Tegakan pionir (A): merupakan fase perkembangan awal (stand inisiation). Jenis
yang dominan (penutupan tajuk) adalah Macaranga spp. Tegakan ini merupakan
fragmen yang paling tinggi tingkat kerusakan akibat penebangan pohon atau
kematian pohon secara alami. Tidak tersedia permudaan alam jenis kanopi.
Proporsi tegakan ini mencapai 20%, dengan variasi luas 1.00 m2 – 1.500 m2.
2. Tegakan pionir (B): merupakan fase stem exclusion. Tingkat kepadatan tajuk jenis-
jenis pionir sudah saling berdesakan dan saling menaungi satu dengan lainnya.
Proporsi tegakan ini mencapai 10%, dengan variasi luas 50 m2 – 1000 m2. Sudah
terdapat jenis-jenis kanopi dominan dan non-dominan dalam fase anakan dan
pancang.
3. Tegakan (C): merupakan tegakan dalam fase stem exclusion lanjutan, di mana
sudah berkembang jenis-jenis kanopi dominan dan non-dominan dalam tingkat
anakan, pancang dan tiang. Proporsi tegakan ini mencapai 15%, dengan variasi
luas 50 m2 – 1000 m2.
4. Tegakan (D): merupakan tegakan yang diisi oleh jenis kanopi dominan (Shorea
polyandra, dan S. ovalis) fase trees of the present dalam keadaan bebas tanpa
ternaungi (diameter 20 cm – 40 cm). Tegakan ini memiliki proporsi 5% dengan
luasan 500-1000 m2.
5. Tegakan (E): merupakan fragmen yang telah kehilangan lapisan kanopi atasnya.
Tinggi rata-rata 10-25m. Didominasi jenis-jenis dari trees of the past. Pada
tegakan ini, permudaan jenis kanopi atas sangat minim. Proporsi tegakan ini
mencapai 25%.
6. Tegakan utuh (undisturbed) (F): merupakan tegakan dengan struktur vegetasi yang
tidak terganggu oleh adanya penebangan, atau pohon tumbang. Jenis-jenis lapisan
atas didominasi oleh Shorea polyandra, S. lamellata, Dipterocarpus sp. dan jenis-
jenis dari famili Burseraceae dan Lauraceae. Luasan fragmen 2000 – 5000 m2.
Permudaan jenis kanopi atas (anakan dengan tinggi <1,5 m) tersedia dalam
kepadatan 100-800 batang/ha. Proporsi tegakan ini mencapai 25%.
Sintesis 2010-2014 | 9
F
D
E
B C
A
Gambar 3. Variasi tipe fase perkembangan tegakan yang terdapat di hutan lindung
Sebelimbingan, P.Laut, Kalimantan Selatan
Sintesis 2010-2014 | 10
IV. STRATEGI REHABILITASI HUTAN TERDEGRADASI
Gambar 4. Kondisi hutan di areal penelitian: potensi tinggi (kiri atas), potensi sedang
(kanan atas), potensi rendah (kiri bawah), dan semak (kanan bawah)
Sintesis 2010-2014 | 11
Berdasarkan hasil analisa vegetasi diketahui bahwa jumlah jenis tumbuhan
(vegetasi dasar dan pionir) pada areal semak bertambah menurut ukuran plot mulai
1m x 1m (8 jenis), 5m x 5m (21 jenis), 10m x 10m (27 jenis) dan 20m x 20m (29
jenis), tetapi ada kecenderungan tidak ada peningkatan jumlah jenis dengan
bertambahnya ukuran plot di atas 20m x 20m.
HSPR didominasi oleh jenis Scapium macropadum (23%), Burseraceae (12%)
dan Psychotria (11%) pada tingkat semai, Litsea sp. (25%), Aglaea sp. (13%) dan
Rubiaceae (12%) pada tingkat pancang, Macaranga spp.(36%), Scapium bacatum
(34%) dan Alstonia sp. (8%) pada tingkat tiang dan Macaranga spp. dan
Endospermum diadenum pada tingkat pohon.
Sementara pada HSPS, tingkat semai didominasi oleh jenis Macaranga gigantea
(21%), Syzygium sp. (19%) dan Xylopia sp. (19%), pada tingkat pancang didominasi
oleh jenis Vitex vestita (24%), Artocarpus sp. (23%), Polyaltia sp. (11%) dan
Gyroniera sp. (11%), pada tingkat tiang didominasi oleh Vitex vestita (48%),
Macaranga gigantea (23%), Behasia actinantera (18%) dan Geunsia sp. (12%), dan
pada tingkat pohon didominasi oleh jenis Macaranga gigantea (43%) dan Ficus sp.
(21%).
HSPT memiliki keragaman jenis yang tinggi, yaitu jenis perekat, ketapung,
kemenyan dan jambu eropa pada diameter (D) 10-19cm, jenis perekat, kemenyan,
ketapung dan kedongdong hutan pada D 20-29cm, jenis kemenyan, perekat, balam
putih dan kedongdong hutan pada D 30-39 cm, jenis balam putih, kedongdong hutan,
tempinis, petanang, kayu batu, kayu aro, jambu-jambu, mangga hutan, medang
batu,petaling dan sempenguk pada D 40-49cm, jenis tampoi nasi, petaling, dan
kemenyan pada D 50-59cm, jenis keranji, balam putih, cempedak, berumbung,
medang batu dan petanang pada D lebih dari 60 cm.
Hutan Harapan secara alami dapat kembali menjadi hutan primer khususnya
pada hutan sekunder potensi tinggi, tetapi memerlukan waktu yang sangat lama pada
hutan sekunder potensi sedang dan ke bawahnya yang dicirikan dengan
keanekaragaman jenis yang relatif rendah dan dominansi oleh jenis tumbuhan
tertentu. Dengan asumsi bahwa tidak selamanya suksesi berjalan dengan lancar,
maka diperlukan upaya-upaya percepatan pemulihan hutan melalui aplikasi
multiteknik silvikultur yang sesuai dengan kondisi tapak dengan menggunakan jenis-
jenis endemik yang dapat meningkatkan keanekaragaman hayati, kecepatan suksesi,
produksi dan daya dukung terhadap hidupan liar.
Pembibitan dan pembangunan demplot
Bibit yang disiapkan merupakan bibit dari jenis pohon endemik yang tersedia
benih dan atau cabutan alamnya di areal Hutan Harapan, meliputi 4 jenis
dipterokarpa (Shorea leprosula, S. pinanga, S. stenoptera dan S. palembanica), dan 8
jenis non-dipterokarpa (jelutung darat, gaharu, cemanding, cempedak, kayu batu,
kelat merah, medang jahe dan merpayang) (Gambar 5). Jenis-jenis terpilih ini
Sintesis 2010-2014 | 12
dipelihara di persemaian, disortir dan diadaptasikan di lingkungan terbuka sebelum
ditanam, kemudian didistribusikan ke lokasi demplot sesuai dengan peruntukannya.
Jumlah bibit yang ditanam di empat kondisi vegetasi adalah: HSPT (2250 batang),
HSPS (8400 batang), HSPR (2400 batang), dan areal terbuka/semak (6000 batang).
Luas demplot untuk setiap tipe vegetasi tidak sama disesuaikan dengan luas areal
yang tersedia di sekitar lokasi inventarisasi dan akses ke lokasi, yaitu 22,5 ha
(HSPT), 14 ha (HSPS), 4 ha (HSPR), dan 10 ha (areal terbuka/semak).
Penyiapan lahan relatif tidak ada, kecuali pada areal HSPT yang dibuka secara
jalur selebar 1 meter untuk memudahkan dalam pendistribusian bibit dan penanaman,
serta areal semak belukar yang dibuka selebar 2 meter. Jenis yang ditanam di HSPT
merupakan jenis pohon toleran dan semi-toleran sehingga cahaya masuk yang
diperlukan relatif kecil dan pembukaan jalur diupayakan sedikit mungkin menggangu
vegetasi tumbuhan bawah. Sebaliknya, jenis yang ditanam di areal terbuka/semak
merupakan jenis pohon intoleran, sehingga jalur perlu dibuka lebih lebar.
Kegiatan rehabilitasi pada dasarnya diarahkan pada areal hutan dengan potensi
yang sangat rendah, didominasi tumbuhan bawah dan pionir serta areal yang
terdegradasi dengan menggunakan jenis-jenis pohon intoleran yang umumnya cepat
tumbuh. Kegiatan restorasi diarahkan pada pengembalian potensi baik jenis maupun
produksi dengan jenis-jenis pohon endemik yang banyak dieksploitasi di masa lalu
dan jenis-jenis penghasil bukan kayu yang menjadi core dalam pengelolaan Hutan
Harapan berbasis ekosistem.
Sintesis 2010-2014 | 13
2. Kajian sistem pengelolaan dan restorasi ekosistem di areal IUPHHK-RE
PT. RHOI (Kalimantan Timur)
Berbeda dengan kegiatan penelitian di IUPHHK-RE di PT REKI (Jambi),
kegiatan penelitian di areal PT RHOI (Restorasi Habitat Orangutan Indonesia) baru
sebatas identifikasi kondisi biofisik habitat untuk orangutan dan upaya PT RHOI
dalam menjamin kelestarian keanekaragaman hayati habitat pelepasliaran orang utan.
Sejak didirikan tahun 1991, PT RHOI telah melakukan pelepasan kembali
orangutan ke habitat alaminya (81 orangutan dilepaskan di Hutan Lindung Sungai
Wain tahun 1991-1997, dan sebanyak 242 orangutan ke Hutan Lindung Gunung
Beratus pada tahun 1997-2002). Kegiatan pelepasan kembali terhenti sejak tahun
2002, karena intensitas kegiatan illegal logging semakin tinggi, keamanan areal
pelepasliaran semakin tidak menentu, serta sulitnya menemukan areal pelepaliaran
yang ideal bagi orangutan.
Dari 86.450 ha kawasan yang dikelola oleh PT RHOI, sebagian areal sangat
cocok sebagai habitat orangutan, yaitu areal yang secara ekologis relatif aman,
altitude di bawah 900m dpl, kondisi tutupan vegetasi baik, kelimpahan pohon pakan
untuk orangutan cukup tinggi, dan jauh dari pusat kegiatan masyarakat.
Sebagai areal pelepasan kembali orangutan dan menjamin pelestarian habitat
orangutan, manajemen PT. RHOI mencoba mengelola kawasan dengan terobosan
pemanfaatan hutan non kayu melalui jasa lingkungan, wisata alam, perdagangan
karbon, dan sebagai tempat stasiun penelitian orangutan rehabilitan dan hutan tropis
basah sebagai sumber pendapatan.
Hasil inventarisasi keanekaragaman jenis flora di areal PT RHOI ditemukan
sebanyak 77 jenis dengan jenis Macaranga pearsonii merupakan jenis yang dominan
(INP 21,4%). Tingginya penyebaran jenis M. pearsonii ini dapat mempengaruh
komunitas setiap tegakan hutan di mana jenis tersebut tumbuh, yang berpengaruh
terhadap iklim mikro seperti suhu dan kelembaban. Semakin tinggi kerapatan
vegetasi tersebut, maka akan menghalangi sinar matahari menuju lantai hutan
sehingga menurunkan suhu dan meningkatkan kelembaban komunitasnya. Semakin
tinggi indeks nilai penting suatu jenis maka akan besar pula peranan dan pengaruh
jenis tersebut.
Kegiatan yang sudah dilakukan oleh PT RHOI, untuk dapat menjamin
kelestarian keanekaragaman hayati sebagai habitat pelepasliaran orang utan antara
lain:
Sosialisasi kegiatan ke masyarakat sekitar
Penataan areal di lapangan
Pemeriksaan lapangan oleh Dinas Kehutanan Kutai Timur
Inisiasi proses pengesahan BKU dan RKU
Inisiasi permohonan pengusulan areal RHOI-II
Sintesis 2010-2014 | 14
B. Kajian Sistem Pengelolaan dan Rehabilitasi Hutan Lindung dan Kawasan
Lindung yang Bukan Kawasan Hutan
1. Model rehabilitasi hutan lindung berbasis hasil hutan bukan kayu
Penelitian model rehabilitasi hutan lindung berbasis hasil hutan bukan kayu
dilaksanakan di areal KPHL Rinjani Barat.Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan
menyediakan informasi strategi rehabilitasi hutan terdegradasi dengan luaran akhir
berupa informasi model rehabilitasi hutan lindung berbasis HHBK yang terdiri dari
penentuan lokasi yang harus direhabilitasi, pemilihan jenis HHBK, pola tanam, dan
teknik KTA yang dapat diterapkan.
Pendekatan penelitian secara konseptual disajikan pada Gambar 6, dengan target
luaran dan kegiatan seperti disajikan pada Tabel 4.
Analisis kondisi
geobiofisik
Tabel 4. Target luaran dan kegiatan pada tiap tahun kegiatan (2012-2014)
Sintesis 2010-2014 | 15
Tahun Luaran Kegiatan
5. Data/informasi persiapan Persiapan lahan dan penanaman pada plot ujicoba di lokasi
lahan dan penanaman yang harus direhabilitasi
jenis HHBK terpilih dan
teknik KTA
2013 1. Data dan informasi Pemeliharaan tanaman jenis HHBK
pertumbuhan jenis HHBK Pengukuran karakteristik tumbuh tanaman jenis HHBK
Analisis data
2. Data dan informasi Pengambilan sampel tanah
kondisi lahan (sifat fisik, Analisis sifat fisik/kimia tanah
kimia tanah, curah hujan, Pemasangan alat penakar curah hujan, pengamatan erosi dan
aliran permukaan dan aliran permukaan
erosi) Pengamatan erosi dan aliran permukaan
Analisis data erosi dan aliran permukaan
Analisis data
2014 1. Data dan informasi Pemeliharaan tanaman jenis HHBK
pertumbuhan jenis HHBK Pengukuran karakteristik tumbuh tanaman jenis HHBK
(lanjutan) Analisis data
2. Data dan informasi Pengambilan sampel tanah
kondisi lahan (sifat fisik, Analisis sifat fisik/kimia tanah
kimia tanah, curah Pengamatan CH, erosi dan aliran permukaan
hujan, aliran permukaan Analisis data erosi dan aliran permukaan
dan erosi) Analisis data
Sintesis 2010-2014 | 16
bagian utara, daerah prioritas 3 berada di bagian tengah dan barat serta prioritas 4
berada di bagian selatan. Peta kerentanan longsor, erosi dan prioritas rehabilitasi
disajikan pada Bab III, Sub Bab C.
Karakteristik fisik lokasi prioritas 1 didominasi oleh kemiringan yang curam,
dengan penutupan lahan berupa semak belukar dan pertanian campuran. Tanah pada
lokasi ini mempunyai pH agak masam; kandungan C-organik dan unsur N yang
rendah; KTK yang termasuk kategori sedang; namun mempunyai unsur P dan K
yang tinggi. Pada lokasi prioritas 2, kemiringan lereng lebih bervariasi dari mulai
landai sampai curam; penutupan lahan didominasi hutan sekunder; pH agak masam;
C-organik, unsur N, unsur P dan KTK yang termasuk kategori sedang; serta unsur K
yang tinggi. Lokasi prioritas 3 juga mempunyai kemiringan lereng yang bervariasi;
penutupan lahan yang didominasi hutan primer; pH tanah agak masam; C-organik,
KTK dan unsur P termasuk kategori sedang; unsur N yang rendah; dan unsur K yang
tinggi. Pada lokasi prioritas 4, penutupan lahan berupa hutan primer; pH agak
masam; unsur N, KTK dan P termasuk sedang; serta C-organik dan unsur K yang
tinggi. Tipe iklim pada semua lokasi pada umumnya didominasi oleh tipe iklim D
dan E, serta kondisi tekanan penduduk terhadap lahan yang tinggi (TP>1).
b. Pemilihan jenis HHBK yang akan dikembangkan
Pemilihan jenis HHBK yang akan dikembangkan didasarkan pada kesesuaian
jenis terhadap lahan, aspirasi masyarakat, karakteristik sistem perakaran, dan prospek
pasar. Pada penelitian ini kesesuaian jenis terhadap lahan pada lokasi yang harus
direhabilitasi menggunakan metode macthing antara karakteristik lahan dan
kebutuhan tanaman (Ritung, et.al., (2007) dengan pembagian kelas kesesuaian
berdasarkan FAO (1976). Sistem perakaran yang diamati adalah Indeks Jangkar
Akar (IJA) dan Indeks Cengkram Akar (ICA) yang dikemukakan oleh Hairiah, et.al.
(2008) serta arsitektur perakaran yang dikemukakan Yen (1987). Informasi jenis
HHBK yang sesuai aspirasi masyarakat dan potensi pasarnya dilakukan dengan
wawancara masyarakat sekitar hutan lindung.
Berdasarkan hasil analisis jenis HHBK yang dapat dikembangkan untuk
rehabilitasi hutan lindung di KPHL Rinjani Barat pada tiap lokasi prioritas untuk
direhabilitasi disajikan pada Tabel 5.
Faktor pembatas dalam upaya rehabilitasi hutan lindung di KPHL Rinjani
Barat pada umumnya terdiri dari iklim, tanah dan topografi. Faktor iklim
berhubungan erat dengan ketersediaan sumber daya air di mana jumlah bulan kering
yang lebih panjang. Tekstur yang didominasi fraksi pasir dan rendahnya unsur hara
merupakan faktor pembatas tanah, sedangkan faktor topografi pada umumnya adalah
kemiringan lereng yang terjal. Penerapan teknik KTA merupakan salah satu upaya
untuk mengatasi faktor pembatas, dan pemupukan untuk masalah rendahnya unsur
hara.
Sintesis 2010-2014 | 17
Tabel 5. Jenis HHBK yang dapat dikembangkan dalam rehabilitasi hutan lindung di
KPHL Rinjani Barat.
Faktor Jenis yang sesuai Arsitektur
Prioritas ICA IJA
pembatas dan sesuai marjinal perakaran
1 kelerengan, Kayu putih, Nangka, Alpukat,
iklim, tanah Nyamplung, Kepuh, Sukun,
Ceruring, Sawo, Mangga, Sirsak
2 kelerengan, Kemiri, Durian, Alpukat, Nangka,
iklim, tanah Nyamplung, Rambutan, Melinjo,
Gaharu, Sukun, Manggis, Ceruring,
Sawo, Sirsak, Karet,Cengkeh
Sedang – Rendah –
3 kelerengan, Kemiri, Durian, Alpukat, Tipe-R
Tinggi Tinggi
tanah Nangka,Melinjo, Gaharu, Sukun,
Manggis, Ceruring, Sawo, Sirsak,
Karet,Cengkeh
4 kelerengan, Kemiri, Durian, Alpukat,
iklim, tanah Nangka,Melinjo, Gaharu, Sukun,
Manggis, Ceruring, Sawo, Sirsak,
Karet,Cengkeh
Secara umum jenis HHBK pada Tabel 5 mempunyai akar vertikal yang relatif
besar dan akar horizontal yang relatif cukup. Kondisi ini mengindikasikan bahwa
jenis-jenis ini mempunyai peran yang potensial dalam stabilisasi lereng sehingga
akan mengurangi risiko terjadinya tanah longsor. Abe dan Ziemer (1991)
menjelaskan bahwa akar-akar horizontal yang menyebar di lapisan permukaan tanah
akan mencengkram tanah dan akar-akar vertikal sebagai jangkar akan menopang
tegaknya pohon sehingga tidak mudah tumbang oleh adanya pergerakan massa tanah.
Di sisi lain, lereng pada umumnya akan lebih stabil apabila ditutupi oleh vegetasi
dengan akar yang mampu menembus lapisan tanah dalam. Besarnya kerapatan akar
pada lapisan permukaan juga penting untuk menurunkan kandungan air tanah dan
meningkatkan ketahanan geser tanah yang pada akhirnya dapat mengurangi resiko
terjadinya longsor (Hairiah et. al., 2008; Ali, 2010).Arsitektur perakaran tipe-R dari
jenis HHBK pada Tabel 5 merupakan tipe yang paling efektif dalam meningkatkan
kekuatan geser tanah. Hasil penelitian Fan dan Yu-wen (2010) terhadap lima jenis
tanaman dengan arsitektur perakaran yang berbeda menunjukkan bahwa tipe-R
memberikan peningkatan kuat geser yang paling besar bila dibandingkan dengan tipe
lainnya. Efisiensi arsitektur perakaran tipe-R dalam meningkatkan kuat geser
mencapai 56% dari tipe lainnya.
c. Pola tanam yang dapat diterapkan dalam rehabilitasi hutan lindung
Pola tanam yang dapat diterapkan dalam rehabilitasi hutan lindung adalah pola
campuran dan teknik KTA yang dapat diterapkan berupa teras jalur rumput/serai/laos
atau teras gulud dengan penguat rumput/serai/laos. Pola tanam campuran merupakan
salah satu bentuk kemitraan dan optimalisasi penggunaan lahan sehingga diharapkan
mampu memberikan nilai tambah secara ekonomi. Hal ini didasarkan hasil analisis
Sintesis 2010-2014 | 18
di beberapa desa sekitar hutan lindung menunjukkan bahwa pendapatan penduduk
masih rendah dengan rata-rata berkisar antara Rp.400.000 – Rp. 600.000/bulan dan
lebih dari 75% dari pendapatan tersebut berasal dari kegiatan pertanian.
Pada penelitan ini telah dibangun plot penelitian rehabilitasi hutan lindung
berbasis HHBK sebagai bentuk proses eksperimentasi berdasarkan hasil yang
diperoleh dari proses konseptualisasi. Plot penelitian yang dibangun terdiri dari 2
lokasi yaitu di Dusun Longserang Utara, Desa Langko, Kecamatan Lingsar, Lombok
Barat, serta Dusun Lendang Luar, Desa Malaka, Kecamatan Pamenang, Lombok
Utara.
Jenis HHBK yang dikembangkan di lokasi Dusun Longserang Barat Utara
adalah HHBK penghasil buah yaitu durian (Durio zibethinus), kemiri (Aleurites
moluccana), kluwih (Artocarpus altilis) dan manggis (Garcinia mangostana). Pola
tanam yang optimal yang dapat diterapkan di lokasi ini adalah tanaman HHBK yang
dikombinasikan dengan tanaman semusim berupa nanas dan ubi kayu serta
penerapan teras jalur vegetatif berupa laos. Sampai dengan tahun pertama, jenis
HHBK yang ditanam mempunyai rata-rata diameter lebih dari 10 mm dan tinggi
rata-rata lebih dari 50 cm untuk semua jenis yang ditanam. Jenis kemiri mempunyai
pertumbuhan diameter dan tinggi yang lebih besar bila dibandingkan dengan jenis
lainnya yaitu 8,1 mm untuk diameter dan 23 cm untuk tinggi. Jenis manggis yang
termasuk tanaman lambat tumbuh, mempunyai pertumbuhan tinggi dan diameter
rata-rata 13,3 cm dan 3,3 mm.
Penerapan teknik KTA vegetatif berupa jalur laos mampu meningkatkan potensi
infiltrasi sehingga air yang tersedia untuk tanaman relatif lebih besar, mampu
menekan aliran permukaan dan mampu menekan besarnya erosi sampai dengan
44% dibandingkan dengan pola yang biasa dilakukan penggarap. Hasil penelitian
Thiefelder dan Patrick (2009) menyatakan bahwa penerapan teknik konservasi tanah
pada lahan pertanian mempunyai kapasitas infiltrasi dan kelembaban tanah yang
lebih besar bila dibandingan dengan pertanian konvensional tanpa penerapan teknik
KTA.
2. Ujicoba rehabilitasi hutan lahan kering berbasis tanaman hasil hutan
bukan kayu
Penelitian dilakukan selama 3 tahun (2012-2014). Hingga awal tahun 2014,
kegiatan yang dilakukan, meliputi: a). Penanaman kemiri sunan (Aleurites trisperma
Blanco) family Euphorbiaceae, kepuh (Sterculia foetida L.) Family Malvaceae,
malapari/kranji (Pongamia pinnata (L.) Pierre), Family Fabaceaedan bintaro
(Cerbera manghas L.) Family Apocynaceae, serta jenis pengisi Gaharu (Gyrinops
versteegii Gilg.) Family Thymelaeaceae dan cendana (Santalum album L.) Family
Santalaceae; b). Pemeliharaan tanaman; c). Pemberian pupuk kandang; d).
Pengukuran persen tumbuh dan pertumbuhan tanaman; dan e). Evaluasi kesuburan
lahan dan pengukuran curah hujan di KPH Rinjani Barat dan KPH Bali Timur
Sintesis 2010-2014 | 19
Pengaruh positif mikoriza terhadap pertumbuhan tanaman diketahui relatif
konsisten untuk jenis kemiri sunan dan kranji, baik di persemaian maupun di
lapangan di kedua lokasi penelitian. Pengaruh perlakuan lain yang tidak kalah
penting adalah pemberian pupuk kandang serta kombinasi pemberian pupuk kandang
dengan mikoriza. Pengaruh pemberian pupuk kandang dapat terlihat pada jenis
kemiri sunan (parameter tinggi) dan bintaro (parameter diameter) di Batulayar,
sedangkan pengaruh pemberian pupuk yang dikombinasikan dengan mikoriza pada
tingkat lapangan terlihat pada jenis kepuh (parameter tinggi dan diameter) dan
bintaro (parameter tinggi) di lokasi tersebut.Kondisi pertumbuhan tanaman di
Batulayar disajikan pada Gambar 7.
a. b.
c. d.
Sintesis 2010-2014 | 20
(parameter tinggi). Dengan hasil tersebut, maka pemberian mikoriza, pupuk kandang
maupun pupuk kandang yang dikombinasikan dengan mikoriza dapat dipergunakan
sebagai stimulan untuk meningkatkan riap tinggi terutama tanaman kemiri sunan dan
kranji, dan terdapat pula indikasi kuat bahwa ketiga perlakuan tersebut mampu
meningkatkan riap tinggi dan diameter jenis bintaro dan kepuh. Adapun kondisi
tanaman di Nusapenida seperti disajikan pada Gambar 8.
a. b.
c. d.
Sintesis 2010-2014 | 21
Tabel 6. Persen tumbuh tanaman tahun pertama di lokasi Batulayar dan Nusapenida
Persen tumbuh (%)
Jenis
Kontrol Pupuk Mikoriza Pupuk+Mikoriza Rata-rata
Batulayar
Kepuh 73 78 78 71 75
Kemiri Sunan 64 68 69 77 69
Bintaro 75 80 76 74 76
Kranji 78 78 64 79 75
Rata-rata 73 76 72 75 74
Nusapenida
Kepuh 0 0 0 0 0
Kemiri Sunan 31 35 30 19 29
Bintaro 48 41 39 35 41
Kranji 30 30 27 37 31
Rata-rata 27 26 24 23 25
Gambar 10. Tanaman mati dicabut satwaliar dengan bagian akar rusak (kiri) dan
tanaman mati mengering akibat cekaman panas dan kekeringan (kanan) di
Nusapenida
Sintesis 2010-2014 | 22
Gambar 11. Contoh pemangkasan terhadap tanaman Kepuh (a) dan tanaman
Kranji (b) yang diakibatkan oleh petani penggarap di lokasi Batulayar
Sintesis 2010-2014 | 23
tumbuh tanaman di lapangan. Curah hujan kumulatif di Nusapenida periode
Desember 2012 hingga Desember 2013 sebesar 995 mm, sedangkan di Batulayar
sebesar 1.495 mm. Hasil uji statistik pada taraf kepercayaan 95% menunjukkan
intensitas hujan harian di kedua lokasi penelitian secara signifikan berbeda. Intensitas
hujan di Nusapenida sebesar 19 mm/hari sedangkan di Batulayar 38 mm/hari.
Perbedaan tersebut diduga memberikan perbedaan ketersediaan air yang berarti bagi
tanaman yang mempengaruhi kondisi pertumbuhannya. Hal tersebut memerlukan
penanganan yang khusus. Sementara itu, penggunaan mikoriza yang diharapkan
mampu meningkatkan kemampuan tumbuh tanaman belum mampu meningkatkan
persen tumbuh di atas 70%. Untuk tujuan penanaman yang lebih berhasil di
Nusapenida, penyiraman tanaman dan konservasi air, diantaranya pengoptimalan air
pada musim hujan (Suripin, 2002) diperlukan.
Sintesis 2010-2014 | 24
V. VALUASI HUTAN LINDUNG
1. Potensi pemanfaatan
Pemanfaatan kawasan hutan pada KPHL Rinjani Barat sebagian besar
merupakan pengelolaan hutan bersama masyarakat, baik swadaya (seperti HKm
Sesaot), maupun yang didukung program pemerintah seperti Pembangunan Hutan
Tanaman Unggulan Lokal (PHTUL) pada areal eks HPH di Monggal, dan HKm di
Santong. Jenis tanaman pokok yang dikembangkan pada PHTUL dan HKm tersebut
meliputi Sengon, Rajumas, Mahoni, serta tanaman MPTS seperti Gaharu, Durian,
Nangka, Melinjo dan Bambu. Selain itu dikembangkan juga tanaman produktif yang
mampu tumbuh di bawah tegakan hutan seperti Cacao, Vanili, Kopi, Talas dan
Empon-Empon.
Sintesis 2010-2014 | 25
Jenis pemanfaatan kawasan hutan lainnya meliputi KHDTK (Kawasan Hutan
Dengan Tujuan Khusus) Pusat Penelitian Budidaya Gaharu oleh Fakultas Pertanian
Universitas Mataram di Senaru, serta Ijin Usaha Pembangunan Hutan Tanaman
Industri (IUP-HTI) PT. Sadhana Arif Nusa yang akan mengembangkan jenis
tanaman unggulan lokal yang dikombinasikan dengan tanaman penghasil energi
(kayu bakar) dan tanaman produktif di bawah tegakan hutan.
Keberadaan beberapa jenis vegetasi di hutan alam juga dapat dimanfaatkan,
diantaranya sebagai tumbuhan obat, seperti pulai (Alstonia scholaris) yang
dimanfaatkan oleh masyarakat Pulau Lombok untuk obat malaria, Kumbi (Ervatamia
sphaerocarpa Burkil) yang digunakan untuk obat kulit.
Keberadaan DAS di kawasan hutan lindung sangat berpengaruh terhadap tata air
untuk memenuhi kebutuhan bagi masyarakat (air minum/PDAM, bendungan irigasi,
mikrohydro). Beberapa penggunaan kawasan tersebut mempunyai prospek untuk
dikerjasamakan dalam pengelolaan hutan.
2. Potensi keanekaragaman hayati
Dari hasil pengamatan di 13 lokasi yang tersebar di kawasan KPHL Rinjani
Barat ditemukan 104 jenis (90 jenis teridentifikasi, 14 jenis belum teridentifikasi).
Pada kawasan yang berpenutupan hutan alam didominasi oleh jenis-jenis Premna
tomentosa, Ervatamia sphaerocarpa, Dracontomelon dao, Aglaia tomentosa,
Polyalthia lateriflora, Saurauia nudiflora, Syzygium clavimyrtus, Laportea stimulans
dan Saccopetalum koolsii. Pada kawasan yang dikelola dengan sistem agroforestri,
jenis tanaman pertanian yang dominan ditemukan adalah Coffea sp., Musa sp.,
Theobroma cacao dan Anacardium occidentale, sedangkan tanaman penghasil buah
dan kayu yang dominan adalah Artocarpus heterophyllus, Mangifera indica, Arenga
pinnata, Cocos nucifera dan Durio zibethinus. Beberapa tanaman penghasil kayu
yang sering dikombinasikan dengan tanaman pertanian yaitu Erythrina variegata,
Dalbergia latifolia, Swietenia macrophylla, Falcataria moluccana dan Ceiba
pentandra. Selain itu, ditemukan jenis tanaman asli hutan alam lahan kering
pegunungan di Lombok, seperti Duabanga moluccana, Engelhardtia spicata, Litsea
accedentoides, dan Pterospermum javanicum.
Hasil analisis plot pengamatan di kawasan dengan penutupan vegetasi hutan
alam ditemukan 60 jenis dengan dbh > 5 cm (tergolong dalam 48 genus dan 30
famili). Berdasarkan nilai penting suatu jenis, tidak terlihat adanya jenis yang sangat
menguasai areal pengamatan (Tabel 7).
Tabel 7. Kerapatan relatif (KR), Dominasi relatif (DR), Frekuensi relatif (FR) dan
nilai penting (NP) dari 15 jenis dominan di hutan alam (dbh>5cm)
FR NP
No Jenis KR (%) DR (%)
(%) (%)
1 Dracontomelon dao (Blanco) Merr & Rolfe 9,4 14,1 6,6 30,1
2 Ervatamia sphaerocarpa Burkil 10,8 9,6 6,6 27,0
Sintesis 2010-2014 | 26
FR NP
No Jenis KR (%) DR (%)
(%) (%)
3 Engelhardtia spicata Bl. 3,0 19,6 3,6 26,2
4 Premna tomentosa Willd. 13,6 4,6 2,4 20,5
5 Ficus sp. 1,4 11,7 2,4 15,6
6 Saurauia nudiflora DC 7,0 3,6 1,8 12,4
7 Polyalthia lateriflora King. 5,6 1,3 5,4 12,3
8 Laportea stimulans (Lf) Gaud 3,8 3,3 3,6 10,8
9 Erythrina variegata L. 2,0 3,8 3,0 8,8
10 Aglaia euisideroxylon K. et. V. 3,2 2,0 3,6 8,8
11 Palaquium obtusifolium Burck. 2,4 2,4 3,6 8,4
12 Syzygium clavimyrtus K. et. V. 2,0 1,5 3,6 7,1
13 Saccopetalum koolsii Kosterm. 2,8 1,7 2,4 6,9
14 Baccaurea recemosa (Reinw.) Muell.Arg. 2,4 0,5 3,6 6,5
15 Syzygium cumini [Linn. ] Skeels. 0,8 3,8 1,8 6,4
Sintesis 2010-2014 | 27
250
200
100
50
Gambar 13. Grafik total stok karbon (vegetasi bagian atas tanah, serasah dan kayu
mati) pada masing-masing lokasi pengamatan
4. Potensi ekowisata
Terdapat beberapa potensi obyek wisata di KPHL Rinjani Barat yang potensial
dikembangkan tetapi belum dikelola dan lokasi obyek wisata yang sudah dikelola
dan dimanfaatkan, yaitu Taman Wisata Pusuk Pass, Hutan Wisata Aik Nyet dan Air
Terjun Timponan di Kabupaten Lombok Barat, dan Air Terjun Kerta Gangga dan
Sendang Gile di Kabupaten Lombok Utara.
Taman Wisata Pusuk Pass
Pusuk Pass adalah taman wisata yang terletak di perbatasan antara Kabupaten
Lombok Barat dan Lombok Utara (Gambar 14). Taman wisata ini didominasi oleh
jenis-jenis pohon mahoni yang masih asri, dilengkapi dengan tempat singgah dan
terdapat pedagang yang menjual makanan tradisional. Taman Wisata Pusuk Pass
menyajikan sebuah keindahan alam yang luar biasa seperti hijaunya pegunungan
yang dihiasi dengan rimbunnya pepohonan, tebing-tebing curam dan juga keindahan
laut Lombok Utara.
Sintesis 2010-2014 | 28
Hutan Wisata Aik Nyet
Hutan Wisata Aik Nyet terletak di Dusun Aik Nyet, Desa Buwun Sejati,
Kecamatan Narmada, Kabupaten Lombok Barat (Gambar 15). Dusun Aik Nyet
sendiri merupakan salah satu kawasan pedusunan yang masuk dalam kawasan
pinggiran hutan lindung Sesaot yang mayoritas penduduknya berasal dari Suku
Sasak. Di tempat ini terdapat sumber mata air dan aliran sungai yang jernih, dengan
pepohonan hutan yang masih rimbun didominasi oleh jenis pohon mahoni. Kawasan
ini sangat cocok untuk tempat rekreasi bagi keluarga yang kebetulan hendak mencari
suasana tenang di tengah gemericik aliran air dan juga cocok untuk lokasi berkemah.
Sintesis 2010-2014 | 29
Air Terjun Kerta Gangga
Air Terjun Kerta Gangga terletak di Dusun Kertaraharja, Desa Gengelang,
Kecamatan Gangga, Kabupaten Lombok Utara (Gambar 17). Air Terjun Kerta
Gangga memiliki dua tingkatan, satu di bawah dan dua di atas. Untuk tingkatan yang
di atas letaknya berdampingan, akan tetapi satu letaknya agak tersembunyi, dimana
untuk mencapainya harus melewati jembatan bambu kecil. Masing-masing
ketinggian Air Terjun Kerta Gangga mencapai 35 hingga 40 meter, dengan nuansa
alami nanelok. Di lokasi ini, tidak hanya pemandangan air terjun yang dapat dilihat,
akan tetapi juga dengan pemandangan sawah dan lautan yang tidak kalah indahnya
dengan air terjun Kerta Gangga. Udara yang sejuk akan membuat pengunjung betah
berlama-lama di lokasi ini.
Sintesis 2010-2014 | 30
Gambar 18. Obyek Wisata Air Terjun Sendang Gile
Nilai imbal jasa lingkungan terhadap manfaat wisata alam di sekitar KPHL
Rinjani Barat dan di Kawasan Rinjani Barat yang potensial dikembangkan
Berdasarkan hasil wawancara dengan pengunjung di obyek wisata, besar biaya
perjalanan yang dikeluarkan untuk berwisata sangat bervariasi antara Rp. 12.000,-
sampai dengan Rp. 3.520.000,-. Sebagian besar alokasi biaya perjalanan digunakan
untuk biaya konsumsi (47%), dan transportasi serta akomodasi (45%). Harga tiket
masuk pada obyek wisata yang telah dikenakan tarif masuk hanya memberikan rata-
rata beban biaya perjalanan sebesar 4% dari total alokasi biaya perjalanan yang
dikeluarkan (harga tiket masuk berkisar antara Rp. 2.000,- sampai dengan Rp.
50.000,-).
Seluruh pengunjung yang menjadi responden setuju untuk mempertahankan
keberadaan dan keindahan obyek wisata dengan nilai rata-rata willingness to pay
(WTP) sebesar Rp. 161.190,-/tahun (median: Rp. 50.000,-/tahun) sedangkan nilai
willingness to accept (WTA) sebesar Rp. 318.375,-/tahun (median: Rp. 100.000,-).
Secara umum nilai WTA adalah dua kali dari nilai WTP.
5. Potensi Sumberdaya Air
Sumber mata air di Kabupaten Lombok Barat
Salah satu sumber mata air besar yang disurvei di Kabupaten Lombok Barat
terdapat di hutan lindung Sesaot (Gambar 19), dimana terdapat 56 sumber mata air
yang bermuara di Sungai Sesaot. Sumber mata air di hutan lindung Sesaot
dimanfaatkan sebagai irigasi pertanian skala besar serta untuk kebutuhan rumah
tangga, khususnya di Kota Mataram, Kabupaten Lombok Barat dan sebagian
Kabupaten Lombok Tengah.
Sintesis 2010-2014 | 31
Gambar 19. Sumber mata air dan tutupan vegetasi di hutan lindung Sesaot
Selain hutan lindung Sesaot, survei sumber mata air besar di Kabupaten Lombok
Barat juga dilakukan di hutan Pusuk Lestari (Gambar 20), yang terletak di daerah
perbatasan antara Kabupaten Lombok Barat dengan Kabupaten Lombok Utara.
Kawasan hutan Pusuk Lestari sebelumnya merupakan hutan alam yang didominasi
berbagai jenis, yang kemudian pada tahun 1984 dilakukan reboisasi dengan jenis
tanaman mahoni. Terdapat beberapa mata air di kawasan hutan ini, seperti mata air
Merita, mata air Kali Cemporonan, mata air Eyat Semaye. Sumber mata air ini
dimanfaatkan warga Desa Pusuk untuk memenuhi kebutuhan air rumah tangga
dengan jarak dari sumber mata air ± 1.5 km.
Gambar 20. Sumber air dan tutupan vegetasi di Hutan Pusuk Lestari
Sintesis 2010-2014 | 32
Santong terdapat bendungan Santong seluas 1471 Ha yang dimanfaatkan untuk
irigasi, mikrohidro dan air bersih (Gambar 22).
Sintesis 2010-2014 | 33
tindak lanjut dari program promosi pemanfaatan energi terbarukan di Indonesia
dalam rangka menghemat pemakaian sumber energi fosil dan mengurangi dampak
terhadap pemanasan global.
PLTMH Sesaot merupakan minihidro dengan konsep run off river dengan debit
air yang digunakan sebesar 5 m3/detik (Gambar 22). Dengan konsep ini maka
penggunaan air untuk keperluan pembangkit tidak menggangu aliran maupun fungsi
sungai. Aliran air sekedar disadap untuk menggerakkan turbin dan dikembalikan lagi
ke aliran sungai Keling. Bendung dan intake berfungsi untuk mengarahkan aliran air
ke bak penenang (forebay), bukan untuk menampung air.
Sintesis 2010-2014 | 34
Pemanfaatan sumber daya air untuk pemenuhan kebutuhan irigasi pertanian
Survei pemanfaatan sumberdaya air untuk pengairan/irigasi pertanian dilakukan
di Saluran Primer Jurang Sate dan Bendungan Batujaidi Lombok Tengah (Gambar
23). Saluran Primer Jurang Sate merupakan saluran yang mengalirkan air dari Sungai
Jangkok, Sungai Sesaot dan Sungai Keru dari Kabupaten Lombok Barat ke Lombok
Tengah untuk mendukung aliran air Sungai Babak dari Lombok Tengah atau sering
disebut dengan saluran HLD (high level disversion) Jangkok-Babak. Daerah Irigasi
ini dibangun sejak tahun 1935 dengan total luas areal irigasi 6.551 Ha.
Bendungan Batujai dibangun pada tahun 1978 untuk menghindari krisis air
akibat berkurangnya curah hujan dan bencana rawan pangan yang menimpa daerah
ini (khususnya Pulau Lombok bagian selatan) akibat minimnya air yang mampu
mengairi pertanian di daerah ini. Bendungan ini dapat mengaliri areal pertanian
seluas 3.500 Ha. Selain bermanfaat untuk irigasi, kehadiran bendungan ini juga
membuka peluang lain bagi penduduk di daerah sekitarnya, seperti sumber air baku,
usaha perikanan dan tempat wisata. Pada musim hujan, bendungan ini menjadi
pengatur atau pengendali banjir. Dari sana juga digerakkan Pusat Listrik Tenaga
Minihidro (PLTM) dengan kekuatan sekitar 100 KVA.
Sintesis 2010-2014 | 35
Nilai imbal jasa lingkungan terhadap manfaat sumber daya air
Kabupaten Lombok Barat telah melakukan inisiatif pengelolaan jasa lingkungan
dari pemanfaatan sumber daya air untuk kebutuhan air bersih secara komersial
berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Lombok Barat No 4 Tahun 2007 tentang
pengelolaan jasa lingkungan. Tujuan pengelolaan jasa lingkungan adalah untuk
mewujudkan pengelolaan sumber daya alam yang berwawasan lingkungan dalam
rangka mendukung kegiatan konservasi dan pembangunan di daerah khususnya
untuk masyarakat sekitar obyek jasa lingkungan melalui pembayaran jasa
lingkungan.
Nilai imbal jasa lingkungan yang dikenakan pada pelanggan Rumah Tangga
adalah Rp. 1.000,- sedangkan untuk Institusi/kantor adalah Rp. 2000,-, besar nilai
imbal jasa lingkungan ini dikenakan sama rata tanpa melihat jumlah konsumsi air.
Sedangkan PDAM menggunakan pendekatan CSR sebagai wujud imbal jasa
lingkungan, 5% dari laba bersih digunakan untuk dana pemberdayaan masyarakat
(community development), sesuai Perda Kabupaten Lombok Barat No 4 Tahun 2012.
Mekanisme imbal jasa lingkungan yang diimplementasikan di Kabupaten
Lombok Barat terhadap pemanfaatan air oleh pelanggan PDAM yang berlokasi di
Kabupaten Lombok Barat dapat digambarkan seperti diagram pada Gambar 24.
PDAM Pemerintah
Daerah (25%)
Sintesis 2010-2014 | 36
Pihak sebagai lembaga yang dipercaya mengelola dan menyalurkan dana imbal jasa
lingkungan. Dua puluh lima persen (25%) dana imbal jasa lingkungan disetorkan ke
pemerintah daerah sebagai penerimaan daerah sedangkan 75% dikelola oleh Insitusi
Multi Pihak (IMP); untuk kegiatan operasional sebesar 30%.
Permasalahan dan rekomendasi imbal jasa lingkungan penyediaan sumber daya
air
Penggunaan Peraturan Daerah Kabupaten Lombok Barat sebagai dasar dalam
implementasi imbal jasa lingkungan terhadap pemanfaatan sumber daya air oleh
pelanggan PDAM kurang tepat karena lingkup hukum peraturan tersebut hanya akan
berlaku di wilayah Kabupaten Lombok Barat, sementara pelanggan terbanyak
berasal dari Kota Mataram yang mencapai 72% dari jumlah pelanggan PDAM
keseluruhan. Meskipun Pemerintah Kabupaten Lombok Barat merasa keberatan jika
masyarakat Kota Mataram yang menggunakan air dari hulu yang merupakan wilayah
Kabupaten Lombok Barat tidak menyumbang untuk biaya pelestarian sumberdaya
air, pelanggan PDAM yang berasal dari Kota Mataram tidak bisa diikat oleh
peraturan yang berlaku di wilayah Kabupaten Lombok Barat.
B. Valuasi Hutan Lindung (KPHL) Pulau Tarakan
Saat ini status pengelolaan hutan lindung (KPHL) Pulau Tarakan berada
langsung di bawah Dinas Kehutanan, Pertambangan, dan Energi Kota Tarakan.
1. Sebaran potensi hasil hutan bukan kayu
Tumbuhan berpotensi HHBK yang dapat dijumpai berdasarkan analisis vegetasi
yang dilakukan mencakup penghasil rotan, damar dan buah tengkawang.Dijumpai
satu jenis penghasil damar dari genus Agathis, dan satu jenis penghasil buah
tengkawang dari genus Shorea, yaitu Shorea palembanica. Nampak bahwa jenis-
jenis damar dan tengkawang yang dijumpai di HLPT mempunyai kelimpahan yang
rendah. Untuk Agathis sp. malah tidak dijumpai pada tingkat pohon. Hal ini
kemungkinan disebabkan penyebaran jenis-jenis tersebut tidak merata di keempat
RPH. Keempat RPH yang ada, khususnya RPH Timur memiliki habitat kerangas dan
rawa tergenang sehingga tidak ditemukan jenis Agathis dan Shorea palembanica
dalam jumlah yang melimpah.
Untuk jenis-jenis rotan, kelimpahannya juga tidak begitu tinggi. Ini
kemungkinan disebabkan karena di HLPT banyak yang merupakan areal bekas
tebangan (eks HPH) ataupun sudah dirambah, sehingga kualitas tebangan tidak
memungkinkan biji dan semai rotan berkembang dengan baik. Oleh karena itu
apabila pihak pengelola berkeinginan memanfaatkan potensi HHBK di HLPT, harus
dilakukan kegiatan pengayaan dengan jenis-jenis tersebut. Jenis-jenis HHBK seperti
Agathis sp., Shorea palembanica, dan gaharu (Aquilaria microcarpa dan Aquilaria
malaccensis) dapat dibudidayakan dan menjadi pilihan untuk tanaman rehabilitasi
hutan dan lahan di blok pemanfaatan yang melibatkan partisipasi masyarakat dalam
Sintesis 2010-2014 | 37
kawasan HLPT dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pemanenan hasilnya. Jenis
gaharu serta buah-buahan seperti durian, lai, rambutan, dan terap merupakan jenis-
jenis yang banyak diminati masyarakat yang tinggal dalam kawasan HLPT. Ini
merupakan potensi agrowisata di blok pemanfaatan.
2. Nilai ekonomi air dan nilai keberadan HLPT dalam pemanfaatan air
Pendekatan WTP (willingness to pay) menaksir nilai manfaat air berdasarkan
kesediaan konsumen air untuk membayar. Jika mempertimbangkan tarif harga air
minum PDAM Kota Tarakan tahun 2012 adalah Rp 1.350/m3, maka yang cukup
rasional untuk ditambahkan dalam tarif air PDAM adalah nilai kesediaan minimum,
yaitu Rp 300/m3. Berdasar nilai kesediaan minimum tersebut, maka rerata nilai
manfaat air per tahun dari HLPT adalah Rp 2.337.275.280,00.
Untuk memperoleh nilai air dengan pendekatan Willingness to Accept (WTA),
digunakan pendekatan biaya yang diperlukan oleh pengelola hutan lindung untuk
melakukan kegiatan rehabilitasi dan pengamanan hutan setiap tahunnya dalam
rangka menjaga fungsi hutan lindung sebagai pengatur tata air. Saat ini kegiatan
pengamanan dan rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) di HLPT murni bersumber dari
APBD Kota Tarakan.
Oleh karena itu dicari pendekatan lain untuk menentukan nilai lahan yang perlu
direhabilitasi, yaitu berdasarkan luasan rencana blok rehabilitasi dalam Master Plan
Rencana Pengelolaan KPHL Tarakan (Dishutamben Kota Tarakan, 2011), sebesar
1002 hektar. Estimasi biaya RHL (biaya penanaman dan pemeliharaan selama empat
tahun )di Kota Tarakan untuk jumlah tanaman 625 batang per hektar adalah Rp
24.717.375,00 per hektar selama 5 tahun (modifikasi dari Sutrisno, 2011). Dengan
demikian total biaya RHL yang diperlukan untuk seluruh blok rehabilitasi adalah
Rp 24.766.809.750,00 selama lima tahun. Jumlah tersebut masih ditambah dengan
biaya pengamanan kawasan konservasi yang ditaksir sebesar Rp 360.000,00/hektar/
tahun (USAID, 2007) sehingga total biaya pengamanan per tahun untuk kawasan
seluas 4623 hektar (sesuai SK Menhut No 783/Menhut-II/2009 adalah
Rp 1.664.280.000,00/tahun.
Nilai WTA sebesar Rp 6.617.641.950 per tahun atau sebesar Rp
849,40/m3.Apabila nilai WTA per tahun sebesar Rp 6.617.641.950 tersebut tersebut
dibandingkan nilai WTP dari manfaat air HLPT sebesar Rp 2.337.275.280/tahun,
diperoleh defisit nilai sebesar Rp 4.280.366.670,00. Defisit tersebut apabila
dikurangi dengan biaya pengelolaan dari sumber dana APBD, masih diperlukan dana
dari sumber selain konsumen air (misalnya penyaluran dana APBN Kemenhut, atau
kontribusi jasa lingkungan karbon atau ekowisata) sebesar Rp2.865.946.670,00 per
tahun. Dari sini dapat dilihat bahwa kontribusi dari konsumen air PDAM sangat
diperlukan untuk mendukung biaya pengelolaan HLPT.
Sintesis 2010-2014 | 38
3. Nilai keberadaan HLPT dalam pemanfaatan air
Untuk penghitungan nilai keberadaan HLPT dalam pemanfaatanm air digunakan
metode skenario kerugian dengan asumsi penurunan produksi sebesar 10%. Asumsi
tersebut digunakan karena belum didapat asumsi yang lebih tepat berdasarkan
perubahan luas tutupan lahan HLPT atau perubahan debit air dari DAS Binalatung
secara time series untuk memprediksi besarnya penurunan produksi dalam jangka
waktu tertentu.
Semakin berkurang produksi air akibat kerusakan hutan, semakin tinggi nilai
keberadaan hutan lindung tersebut. Nilai total keberadaan Hutan Lindung Pulau
Tarakan untuk pemanfaatan jasa air berdasar skenario 1) terjadi penurunan fungsi
hutan lindung sehingga produksi air menurun sebesar 10% adalah sebesar
Rp 11,638225277 miliar; Rp 17,457337915 miliar; dan Rp 23, 276450553 miliar.
Apabila nilai tersebut menjadi nilai pengganti retribusi konsumen air HLPT, maka
didapat nilai tahunan retribusi untuk seluruh konsumen pada skenario 1, 2, dan 3
berturut-turut sebesar Rp 581.911.264; Rp 872.866.895,7; dan Rp 1.163.822.528.
Retribusi jasa air dari HLPT tersebut akan dapat digunakan sebagai dana kegiatan
pengelolaan HLPT, antara lain untuk kegiatan rehabilitasi kawasan dan perlindungan
hutan sehingga kelestarian fungsi HLPT dapat lebih terjamin di masa yang akan
datang. Dengan menggunakan asumsi biaya reboisasi adalah sebesar Rp 4.938.375/
hektar, maka biaya dari retribusi air tersebut dapat digunakan untuk merehabilitasi
lahan seluas 118 hektar/tahun sebagai pendukung biaya rehabilitasi hutan lahan dari
APBD/APBN.
C. Valuasi Hutan Lindung Gunung Mutis
Hutan lindung Mutis saat ini dikelola Dinas Kehutanan Kabupaten Timor
Tengah Selatan, Kabupaten Kupang dan Kabupaten Timor Tengah Utara. Saat awal
penelitian ini dilaksanakan, kawasan hutan lindung Mutis sedang diproses untuk
dijadikan KPH.
Untuk meningkatkan efesiensi pengelolaan kawasan hutan. Hutan Lindung
Mutis diubah statusnya menjadi KPHL Mutis. KPHL Mutis diatur dalam Keputusan
Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor SK. 41/Menhut-II/2012 tentang
penetapan Wilayah Kesatuan Pemangkuan Hutan Lindung (KPHL) Model Mutis
Timau (Unit XIX ) yang terletak di Kabupaten Kupang, Kabupaten Timor Tengah
Selatan dan Kabupaten Timor Tengah Utara, Provinsi Nusa Tenggara Timur seluas
+115.380 Ha. KPHL Mutis terdiri dari 97.005 Ha hutan lindung dan 18.375 ha hutan
produksi.
KPHL Mutis memiliki potensi untuk dikelola secara mandiri. Sumber-sumber
pendapatan utama dapat diperoleh dari jasa ekowisata dan hutan produksi yang
luasnya mencapai 18.375 ha. Pengelolaan yang optmal memungkinkan pengelolaan
KPHL Mutis tidak membebani Pemerintah Daerah setempat, bahkan sebaliknya,
KPHL Mutis dapat memberi pendapatan bagi Pemerintah Daerah.
Sintesis 2010-2014 | 39
Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai ekonomi ekowisata dari hutan lindung
Mutis sebesar Rp. 134.271.102/tahun. Nilai ekonomi pakan ternak dari hutan lindung
Mutis sebesar Rp. 140.833/ha/tahun. Nilai ekonomi kayu dari KPHL Mutis sebesar
Rp. 24.799.115/ha/tahun dan potensi nilai ekonomi kayu bakar dari KPHL Mutis
sebesar Rp. 1.160.581/ha/tahun. Nilai ekonomi madu dari Hutan lindung Mutis
mencapai Rp.120.000.000/tahun.
Sintesis 2010-2014 | 40
VI. KELEMBAGAAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG
Sintesis 2010-2014 | 41
Kepala Balai KPH
Sintesis 2010-2014 | 42
sekitar kawasan hutan lindung tergolong miskin, sehingga 3) Pemanfaatan hutan
lebih ditunjukkan untuk pengembangan HHBK, jasa wisata, jasa air dan
perdagangan karbon. Sedangkan pemanfaatan kayu dengan menerapkan prinsip
pengelolaan hutan lestari dengan pengawasan yang ketat.
Untuk memenuhi tujuan pengelolaan sebagaimana yang diamanatkan dan
tertuang dalam arah kebijakan seperti tertera di atas perlu dukungan sumberdaya
yang memadai. Menurut Islamy (1997), sebuah institusi tidak bisa terlepas dari
sumberdaya yang memadai bahwa para pelaksana institusi harus disuplai dengan
resources yang cukup, seperti human resources (staf dalam jumlah dan kualifikasi
yang memadai dengan hak dan kewajibannya sesuai dengan kewenangan dan
tanggung jawabnya), financial resources, technolo-gical resources, maupun
psychological resources. Jika mengacu pada pendapat ini, maka pada implementasi
kebijakan pembangunan KPH Model di Rinjani Barat telah cukup banyak dukungan
terkait dengan kebijakan tersebut khusus dari Pemerintah Pusat namun dinilai masih
kurang kesiapan dari Pemerintah Daerah.
Selanjutnya dikemukakan bahwa umumnya terjadi perbedaan antara apa yang
diharapkan (direncanakan) dengan apa yang dapat dicapai dalam implementasi
kebijakan, tergantung pada apa yang disebut Implementation capacity dari
organisasi atau kelompok organisasi/aktor yang dipercaya untuk mengemban tugas
mengimplementasikan kebijakan, sehingga ada jaminan bahwa tujuan atau sasaran
yang telah ditetapkan dalam dokumen formal kebijakan dapat dicapai.
Pemimpin, struktur dan manajerial merupakan faktor penting dalam penentuan
strategi organisasi. Struktur organisasi juga dipengaruhi secara langsung oleh
preferensi pribadi pimpinan terhadap organisasi dan cara-cara berhubungan dengan
para bawahan, tugas manajer adalah menciptakan suatu lingkungan dimana mereka
dapat menigkatkan sumbangan kapasitasnya pada organisasi.
Dalam teori, proses desain organisasi sebenarnya dapat dimulai dari bawah ke
atas (bottom up) atau dari atas ke bawah (top down). Dengan prosedur atas bawah,
tujuan-tujuan umum organisasi diterjemahkan menjadi tujuan-tujuan khusus sebagai
sarana pencapaian hasil akhir yang diinginkan. Meskipun secara teoritis dapat
dijelaskan secara terpisah, kedua prosedur tersebut dalam kenyataannya saling
tergantung. Tujuan-tujuan umum harus ditetapkan bahkan sebelum proses desain
struktur ditentukan berikut technological resources dan human resources yang akan
mengisi dipilih.
Analisis struktur organisasi KPHL dalam hal kemampuannya dalam
memberikan pelayan publik sebagai salah satu pelaku pembangunan kehutanan di
wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat khususnya di Kabupaten Lombok Barat dan
Lombok Utara sangat penting untuk mendukung peningkatan kinerja organisasi.
Sintesis 2010-2014 | 43
Para pihak pelaku pembangunan di wilayah KPHL Rinjani Barat
Dalam penelitian sebelumnya, telah diidentifikasi para pihak lingkup
kelembagaan setempat yang terkait dengan institusi KPHL Rinjani sebagai pelaku
pembangunan di wilayah KPHL Rinjani Barat adalah: 1) Pemerintah daerah
(Bappeda provinsi dan kabupaten), Dinas/Lembaga Teknis Daerah, Dinas
Kehutanan Provinsi, Dinas Kehutanan Kabupaten, BKSDA, Tahura, Taman
Nasional, BUK, BPDAS, Badan Lingkungan Hidup, BPTH Bali). 2) Pengusaha
swasta ( PT Sadana, PT Telkomindo, Seismograf, Excelcomindo, PT PLN, Suar
Investindo Capital, PDAM Menang. 3) Perguruan tinggi dan Litbang 4) Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM: Konsepsi, Bareng Maju, WWF, Mitra Saiya,
Partnership dan AMAN). 5) Masyarakat yang memanfaatkan kawasan ( 85 KTH,
3 Koperasi).
Peran pelaku pembangunan tersebut sangat penting dalam menciptakan
hubungan koordinasi yang efektif dan efisien sesuai dengan tugas, fungsi, serta
kewenangannya masing-masing. Dari hasil identifikasi dan wawancara mendalam
(indepth interview) dengan para pihak/stakeholders yang memiliki peran utama
dalam pembangunan KPH Model Rinjani Baratdengan masing-masing peran seperti
disajikan dalam Tabel 8.
Tabel 8. Peran para pihak sebagai pelaku pembangunan di KPHL Rinjani Barat
Sintesis 2010-2014 | 44
No. Stakeholder Peran Kegiatan
Sintesis 2010-2014 | 45
sehingga terlihat bahwa pelaksanaan koordinasi antar sektor masih belum menjadi
kegiatan prioritas.
Dari Tabel 8 terlihat para pihak banyak terlibat dalam kegiatan KPHL Rinjani
Barat, hal ini menuntut pentingnya koordinasi dengan para pihak dalam hal ini
koordinasi merupakan salah satu bentuk hubungan kerja yang memiliki karakteristik
khusus, yang mana antara lain harus ada integrasi serta sinkronisasi atau adanya
keterpaduan, keharmonisan serta arah yang sama. Dalam konteks pengelolaan
kawasan hutan lindung Rinjani Barat, koordinasi diperlukan untuk penyerasian mulai
dari kegiatan perencanaan pengarahan pelaksanaan hingga mengahasilkan kegiatan
pembangunan yang harmonis dan terpadu menuju sasaran yang telah ditentukan
Institusi KPHL sebagai suatu organisasi/aktor harus mampu melakukan
koordinasi dan membangun hubungan kerja yang baik diantara pelbagai unsur pelaku
pembangunan yakni para pihak/stakeholder yang terlibat dalam suatu program dan
memanfaatkan segala sumberdaya yang tersedia. Dari hasil wawancaraa dengan para
pihak mengungkapkan bahwa saat ini bentuk koordinasi baru berkisar pada tingkat
keproyekan, ke depan diharapkan akan mempermudah koordinasi dan semakin
intensif dengan adanya intitusi KPHL. Kondisinya untuk saat ini dari struktur
organisasi di tingkat lapanganmasih ada keterbatasan seperti BKPH/RPH/Mandor,
demikian juga tupoksi jabatan dalam organisasi belum sesuai dengan kebutuhan
manajemen. Sarana prasarana, tenaga teknis dan tata hubungan kerja membatasi
komunikasi dan hubungan antar stakeholder. Prosedur operasional standar kegiatan
KPH belum disusun dan masih lemahnya kemampuan teknis para pihak dalam
fasilitasi pengembangan organisasi dan kurangnya kesempatan untuk belajar terkait
dengan pengembangan organisasi KPH.
Dalam membangun hubungan kerja dengan para pihak ada beberapa hal yang
mempengaruhi efektifitas dari komunikasi dan akan berpengaruh pula terhadap
keberhasilan implementasi kebijakan pembangunan KPHL. Proses implementasi
merupakan proses yang tidak hanya kompleks (complicated), namun juga hal yang
sangat menentukan karena tidak sedikit kebijakan pemerintah yang sudah
dirumuskan dengan sangat sempurna, namun gagal dalam implementasinya
mencapai tujuan. Hal ini salah satunya adalah terjadi karena dilakukan melalui cara-
cara lain, tidak sesuai dengan pedoman dan juga disebabkan karena faktor-faktor
subyektif para pelaksananya (policy actors) maupun dari masyarakat yang secara
langsung atau tidak langsung terkena dampak dari kebijakan yang dimaksud.
Prinsip dasar dalam penyusunan rencana pelaksanaan pengelolaan kawasan
hutan lindung seharusnya melalui mekanisme hubungan kerja yang dilakukan secara
bersama atau partisipatif dari para pihak pelaku pembangunan di wilayah KPHL
Rinjani Barat, dari mulai analisis hingga perumusan rencana. Begitu pula pada
kegiatan-kegiatan selanjutnya yaitu pelaksanaan, pemantauan, dan penilaian hasil-
hasilnya.
Sintesis 2010-2014 | 46
Memelihara koordinasi untuk menjaga keterpaduan agar tetap efektif dapat
dilakukan dengan membentuk wadah atau rumah koordinasi berupa forum KPHL
Rinjani Barat atau memberdayakan forum sejenis yang telah ada.Pada wilayah yang
belum memiliki forum koordinasi, inisiasi pembentukan forum dapat dilakukan oleh
para pihak yang berkepentingan dengan pengelolaan kawasan hutan lindung di
wilayahnya. Forum komunikasi yang dibentuk harus merepresentasikan stakeholders
yang ada di wilayah KPHL Rinjani Barat dari hulu sampai hilir, seperti unsur
Pemerintah, Pemerintah Daerah, dunia usaha dan masyarakat.
Selanjutnya untuk meningkatkan efektivitas koordinasi dan partisipasi para
pihak, perlu dibangun suatu komunikasi yang baik dan tata kerja yang jelas yang
didasarkan atas kebersamaan dan diagendakan dalam suatu program kerja. Forum
KPHL diarahkan sebagai organisasi non struktural, dan bersifat independen yang
berfungsi untuk membantu memecahkan permasalahan yang timbul dan
merumuskannya secara bersama-sama dalam wilayah KPHL seperti konflik
kepentingan antar sektor, antar pemerintah daerah serta dalam mengintegrasikan
berbagai program dan kegiatan untuk mencapai tujuan bersama.
C. Peta Sikap dan Pandangan Stakeholder
Untuk mendukung berlangsungnya pelaksanaan pengelolaan hutan di KPHL
Rinjani Barat telah banyak kegiatan yang telah dilakukan dan diperlukan sinergi
antar stakeholder. Oleh karena itu analisis lain yang penting adalah peta sikap dan
pandangan masing-masing stakeholder terhadap institusi KPHL Rinjani Barat. Aspek
sikap, pandangan, dan perilaku merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan dari
peran stakeholder itu sendiri. Pelibatan stakeholder dalam bentuk kegiatan dan
pertemuan misalnya, telah menghadirkan pandangan atau adanya representasi
pandangan stakeholder terhadap institusi KPHL Rinjani Barat. Proses pemetaan
pandangan stakeholder dilakukan melalui wawancara dan akan dilanjutkan dengan
diskusi kelompok terfokus/Focus Group Discussion (FGD) (Tahun ke-3).
Sikap dan pandangan para pihak berkaitan pelaksanaan kegiatan KPHL Rinjani
Barat dikumpulkan dengan wawancara mendalam. informasi yang dikumpulkan
menyangkut. pemahaman, sikap, alasan dan kepentingan mereka, dan usulan-usulan
dan harapan mereka dari kegiatan yang sudah berjalan. Sikap dan pandangan para
pihak terhadap KPHL Rinjani Barat dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Sikap dan pandangan para pihak terhadap institus KPHL Rinjani Barat
No. Faktor Sikap dan Pandangan Para Pihak
1. Keberadaan institusi KPHL Sangat setuju agar pengelolaan kawasan lebih fokus
2. Sumber daya hutan Kondisi hutan belum ada perubahan yang signifikan karena
penanaman baru saja dikerjakan
3. SDM KPHL Rinjani Barat Dari segi kuantitas dan kualitas kurang mampu
4. Program Kegiatan KPHL Kegiatan yang dilaksanakan sudah mengarah namun
sebaiknya perlu terlebih dahulu disosialisasikan
Sintesis 2010-2014 | 47
No. Faktor Sikap dan Pandangan Para Pihak
5. Mekanisme hubungan kerja Pola hubungan kerja masih berkisar kegiatan keproyekan
dan belum membangun hubungan kerja kemitraan dengan
para pengguna.
6. Perlindungan dan pengamanan Sudah membentuk mandor namun belum didukung dana
7. Pelibatan kelembagaan kelompok Belum banyak dilibatkan, masyarakat sekitar hutan
masyarakat umumnya belum banyak yang mengetahui keberadaan
institusi KPHL
8. Kesejahteraan masyarakat Belum dirasakan ada peningkatan
9. Upaya penyelesaian konflik Sudah turut berperan
10. Perizinan dan peluang usaha Belum ada
Sintesis 2010-2014 | 48
sebaiknya disosialisasikan terlebih dahulu pada masyarakat dan pilih yang
mempunyai fungsi ekonomi dan ekologis. Namun dirasakan masih kurang atau
belum ada sentuhan teknologi dalam pengelolaan hutan dan hasilnya demikian juga
masalah pemasaran HHBK masih belum ditangani.
Mekanisme hubungan kerja
Koordinasi/mekanisme hubungan kerja umumnya baru berkisar pada
keproyekan, karena untuk memacu beroperasinya institusi KPHL beberapa kegiatan
sumber dananya dititip ke beberapa stakeholder. Universitas berada dalam posisi
yang sangat baik dalam menjalin kerjasama sehingga terbentuk saling
menguntungkan kedua belah pihak, mendampingi dalam penyusunan Rencana
Pengelolaan, Pembuatan Proposal pada berbagai kegiatan KPH, menjadi narasumber,
melibatkan mahasiswa dalam kegiatan penataan, inventarisasi, skema praktek kerja
lapang, dll.
Beberapa pihak mengungkapkan ada perubahan pola kerja sebelum dan sesudah
ditangani KPHL dalam hal penanganan permasalahan di tingkat lapangan menjadi
lebih cepat, karena KPHL memahami benar kondisi di lapangan.
Perlindungan dan pengamanan
Keberadaan masyarakat merupakan komponen yang tidak bisa diabaikan dalam
kerangka perlindungan dan pengamanan hutan. Selama ini keterlibatan masyarakat
lokal dalam perlindungan dan pelestarian hutan telah dilakukan melalui pengelolaan
hutan adat oleh lembaga lembaga adat dengan berbagai bentuk kearifan lokal. Salah
satu bentuk kelembagaan lokal di Kawasan Hutan Gunung Rinjani yang masih eksis
adalah Lembaga Adat Bayan. Dalam hubungannya dengan hutan, Lembaga Adat
Bayan telah menciptakan aturan-aturan tertentu (bahasa setempat “awig-awig”)
mengenai pola hubungan masyarakat dengan hutan. Bentuk aturan tersebut antara
lain berupa larangan melakukan eksploitasi hutan bagi kepentingan pribadi,
pembakaran, perburuan satwa, menggembalakan ternak, perbuatan amoral,
mencemari sumber air dan lain-lain perbuatan yang merugikankepentingan bersama
di areal hutan adat. Penegakan sanksi adat dalam hal ini sangat ketat dan didukung
oleh kepatuhan serta kesadaran warga masyarakat. Fungsi utama hutan sebagai
sumber mata air utama juga sangat disadari oleh warga masyarakat setempat. Selain
itu lahan kawasan dipindah tangankan/diperjual belikan/sertifikatkan
Upaya penyelesaian konflik
Dalam paya penanganan/penyelelesaian konflik KPHL cukup berperan, dengan
keberadaan petugas di tingkat lapangan akan menyebabkan identifikasi sebab-sebab,
aktor-aktor yang terlibat dalam konflik dapat lakukan dengan baik sehingga
pendekatan-pendekatan untuk penyelesaian permasalahan dapat dimediasi dengan
baik.
Sintesis 2010-2014 | 49
Kesejahteraan masyarakat
Setelah ada KPHL belum ada peningkatan yang signifikan baik dalam hal
pendapatan mapun capacity building kelembagaan masyarakat sekitar hutan. KPHL
perlu memberikan perhatian yang lebih terhadap masyarakat sekitar hutan yang
selama ini lokasinya sudah didasarkan atas kriteria dan berbasis petak marginal.
KPHL baru mulai menjalin kemitraan dengan kelompok-kelompok masyarakat. Pola
hubungan kerja “kemitraan” harus dibangun, sehingga kepastian dalam kerterlibatan
masyarakat dalam pengelolaan hutan dapat terjamin. Pendanaan dimodifikasi
sedemikian rupa sehingga fleksibel dan penggunaanya dapat efektif dan efisien.
Perijinan dan peluang usaha
Instansi mana seharusnya seharusnya atau sebaiknya lebih berperan dalam
pengelolaan kawasan hutan adalah Dinas Kehutanan Provinsi dan kabupaten,
Bakorluh, Dinas Indag, Universitas, NGO, Pariwisata, Dikbud, Dinas Pertanian dan
Perkebunan.
D. Bentuk Insentif pengelolaa hutan lindung
Menurut UU RI No. 41 tahun 1999 pasal 26 ayat (1) dan (2) dan PP RI No. 34
tahun 2002 tentang Tata Hutan Dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan,
Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan pasal 18-21, pemanfaatan
hutan lindung dapat berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan dan
pemungutan hasil hutan bukan kayu (HHBK). Pemanfaatan hutan lindung
dilaksanakan melalui pemberian izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha
pemanfaatan jasa lingkungan dan izin pemungutan HHBK. Terdapat larangan
melakukan kegiatan budidaya kecuali yang tidak mengganggu fungsi lindung
berdasar Keppres RI No. 32 tahun 1990.
Dengan tetap memperhatikan fungsi lindung kawasan yang bersangkutan di
dalam kawasan lindung dapat dilakukan penelitian eksplorasi mineral dan air tanah,
serta kegiatan lain yang berkaitan dengan pencegahan bencana alam. Penggunaan
kawasan hutan untuk kepentingan pertambangan dilakukan melalui pemberian izin
pinjam pakai oleh Menteri dengan mempertimbangkan batasan luas dan jangka
waktu tertentu serta kelestarian lingkungan (tercantum dalam pasal 38 ayat (3) UU
RI No. 41 tahun 1999).Dalam UU No. 41 pasal 38 ayat (4) tahun 1999 juga
menegaskan bahwa pada kawasan lindung dilarang melakukan penambangan dengan
pola pertambangan terbuka.
Salah satu bagian dari analisis kelembagaan pengelolaan hutan lindung adalah
tentang apakah ada insentif bagi masyarakat ataupun institusi yang terlibat dalam
kegiatan pengelolaan hutan lindung dan dari mana sumber-sumber insentif tersebut
diperoleh. Dalam konteks kelembagaan pengelolaan hutan lindung, insentif, lebih
baik dipahami melalui pemecahan dari permasalahan yang dihadapi dalam
pengelolaan hutan lindung. Oleh karena itu sedikitnya ada tiga jenis insentif yang
Sintesis 2010-2014 | 50
perlu dipertimbangkan yaitu 1. insentif terkait karakteristik sumberdaya. 2. insentif
terkait karakteristik masyarakat 3. insentif terkait dengan karakteristik peraturan
(rules) di mana masyarakat tersebut eksis.
Menurut hasil inventarisasi hutan diketahui bahwa kualitas potensi dari
penutupan vegetasi tersebut sebagian besar (± 60%) berupa kawasan hutan kurang
produktif meliputi; lahan kosong ± 6.147 Ha (15%), alang-alang dan semak belukar
± 8.197 Ha (20%), serta hutan rawang ± 10.246 Ha (25%). Sedangkan kawasan
hutan yang cukup produktif dengan kerapatan sedang-rapat ± 16.393 Ha (40%)
(KPH Rinjani Barat, 2011).
Pemanfaatan kawasan hutan pada KPH Rinjani Barat sebagian besar merupakan
pengelolaan hutan bersama masyarakat, baik swadaya (HKm di Sesaot), maupun
yang didukung program pemerintah seperti Pembangunan Hutan Tanaman Unggulan
Lokal (PHTUL) pada areal eks HPH di Monggal, dan HKm di Santong. Selanjutnya
sebagian dari lokasi program tersebut dicadangkan menjadi lokasi HKm. Jenis
tanaman pokok yang dikembangkan pada PHTUL dan HKm tersebut meliputi
Sengon, Rajumas, Mahoni dll, serta tanaman MPTS seperti Gaharu, Durian, Nangka,
Melinjo, Bambu dll, disamping itu juga dikembangkan tanaman produktif yang
mampu tumbuh di bawah tegakan hutan seperti Cacao, Vanili, Kopi, Talas dan
Empon-Empon. Keberagaman jenis tanaman tersebut telah memperlihatkan multi
strata dari tajuk pohon.
Jenis pemanfaatan kawasan hutan lainnya meliputi KHDTK (kawasan hutan
dengan tujuan khusus) Pusat Penelitian Budidaya Gaharu oleh Fakultas Pertanian
Universitas Mataram di Senaru, serta Ijin Usaha Pembangunan Hutan Tanaman
Industri (IUP-HTI) PT. Sadhana Arif Nusa yang akan mengembangan jenis tanaman
unggulan lokal yang dikombinasikan dengan tanaman penghasil energi (kayu bakar)
dan tanaman produktif di bawah tegakan hutan. Kegiatan pemanfaatan kawasan pada
KPHL Rinjani Barat seperti disajikan pada Tabel 10.
Penggunaan kawasan hutan yang ada meliputi repiter BTS, Seismograft,
mikrohydro dan PDAM. Beberapa penggunaan kawasan tersebut mempunyai
prospek untuk dikerjasamakan dalam pengelolaan hutan.
Hasil penelitian WWF (2008) diketahui bahwa dari 600.000 jiwa masyarakat
yang bermukim di Lingkar Rinjani, sebanyak 70 % tergolong kaum miskin papa.
Berdasarkan data Kabupaten Dalam Angka (2010), bahwa masalah sosial yang
dominan pada masyarakat sekitar KPH Rinjani Barat antara lain; fakir miskin, anak
terlantar, rumah tidak layak huni, usia lanjut terlantar dan wanita rawan sosial
ekonomi. (KPH Rinjani Barat, 2011).
Sintesis 2010-2014 | 51
Tabel 10. Kegiatan pemanfaatan kawasan hutan pada KPH Rinjani Barat
Jenis Pemanfaatan/ Luas
No Keterangan
Lokasi/Fungsi Hutan (Ha)
A. PHTI / IUPHHK-HT
1. PT. Sadana Arif Nusa 1.405,0 -Kepmenhut No: SK.256/Menhut-II/2011
Senaru dsk/Bayan/HP -Rencana uji coba penanaman th 2012
B. Hutan Kemasyarakatan
1. Sesaot/Narmada/HL 185,0 -Kepmenhut No:SK.445/Menhut-II/2009
-SK Bupati : 2130/65/Dishut/2009
2. Senggigi/Batu Layar/HL 226,0 Kepmenhut No:SK.358/Menhut-II/2011
3. Jenggala/Tanjung/HL 1.284,0 Kepmenhut No:SK.352/Menhut-II/2011
4. Santong, Salut, Munder, 758,0 -Kepmenhut No: SK.447/Menhut-II/2009
Gumantar dsk/HP -SK Bupati : 297/1195.b/DPPKKP/2011
C. KHDTK GAHARU-UNRAM
1. Senaru/Bayan/HP 200,34 Menhutbun No:137/Menhutbun-VII/1999
Jumlah Pemanfaatan Kws 4.058,3
Sumber : Dinas Kehutanan NTB (2011) dan BP-DAS NTB (2011)
Sintesis 2010-2014 | 52
Berkaitan dengan pemanfaatan/penggunaan kawasan oleh Hkm (sudah/belum
ada ijin), pemanfaatan jasa lingkungan (wisata, air, listrik, karbon) dll. Untuk
dilakukan pemungutan insentif nya sangat perlu dilakukan perhitungan-perhitungan
secara akurat sebagai dasar penarikan agar menjadi kuat dan benar-benar
memberikan keuntungan bagi KPHL dan pemanfaat/pengguna dan masyarakat
penggarap.
Kemitraan yang disarankan untuk para pengguna atau mereka yang
memanfaatkan kawasan hutan KPHL Rinjani Barat adalah bagi hasil. Mekanisme
pembayaran kepada institusi KPHL adalah dengan dipungut atau pembayaran
langsung. Kelembagaan d tingkat masyarakat di sekitar KPHL Rinjani Barat banyak
yang sudah berjalan dengan baik, bahkan di antaranya sudah memiliki awig-awig
yang sesuai dengan kaidah-kaidah pengelolaan hutan secara lestari. Tetapi ada juga
yang masih harus diperkuat dan dibina apalagi dengan pola kemitraan maka
sebaiknya dilakukan pembinaan secara serius.
Sintesis 2010-2014 | 53
VII. SARAN DAN REKOMENDASI HASIL PENELITIAN
Sintesis 2010-2014 | 54
ekowisata kawasan hutan lindung perlu dilengkapi dengan fasilitas pendukung antara
lain:
Obyek wisata Air Terjun Kerta Gangga memerlukan perbaikan jalan, jembatan
dan fasilitas pendukung seperti toilet, kamar ganti, tempat istirahat dan tempat
sampah.
Taman Wisata Pusuk Pass memerlukan penataan pedagang, diperlukan tempat
peristirahatan dan penataan taman.
Obyek wisata Air Terjun Sendang Gile meskipun sudah dikelola dengan cukup
baik tetapi diperlukan penambahan fasilitas pendukung seperti toilet, tong
sampah, penerangan dan tempat peristirahatan.
Obyek wisata Aik Nyet memerlukan fasilitas umum seperti toilet, kamar mandi,
selain tempat peristirahatan.
Obyek wisata Air Terjun Timponan memerlukan perbaikan akses jalan menuju
lokasi, penyediaan tempat parkir dan fasilitas umum seperti toilet, kamar ganti,
tempat sampah dan tempat peristirahatan.
Dalam hal pengelolaan manfaat hutan lindung sebagai penyedia sumber daya air
(misalnya untuk pemenuhan kebutuhan air bersih secara komersial), diperlukan
sebuah terobosan untuk memformulasikan dalam sebuah peraturan yang dapat
mengikat semua pelanggan PDAM yang memanfaatkan sumber daya air.
Keberadaan KPHL Rinjani Barat sebagai institusi baru yang dipercaya pemerintah
mengelola kawasan hutan lindung yang menjadi sumber mata air yang dikelola oleh
PDAM untuk memenuhi kebutuhan air pelanggan mempunyai potensi yang besar
untuk terlibat secara langsung dalam pengelolaan dana imbal jasa lingkungan ini. Hal
ini mengingat KPHL Rinjani Barat merupakan institusi yang bertanggung jawab
secara langsung terhadap kelestarian dan keberlanjutan pemanfaatan kawasan hutan
lindung; di mana wilayah kerja KPHL Rinjani Barat tidak dibatasi oleh batas
administratif tetapi oleh daerah aliran sungai sehingga memungkinkan pengelolaan
lintas kabupaten.
C. Koordinasi dan Peningkatan Kapasitas Kelembagaan Pengelolaan Hutan
Lindung
Dalam pengelolaan hutan lindung diharapkan bahwa KPHL Rinjani Barat harus
melakukan dan meningkatkan koordinasi dan komunikasi serta membuka kerjasama
dengan pihak-pihak yang berasal dari sektor lain seperti Pertanian dan perkebunan,
Perindustrian dan perdagangan, BPMD, BP POM, Perbankan, dll dalam rangka
mengembangkan pemberdayaan masyarakat sekitar hutan.
KPHL tidak bisa bekerja sendiri ataupun hanya bekerja dengan lingkup instansi
kehutanan karena untuk meningkatkan kesejateraan masyarakat sangat penting
mendapatkan dukungan pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota sesuai
Sintesis 2010-2014 | 55
kewenangannya yang bertanggungjawab terhadap pembangunan KPH dan
infrastrukturnya. Oleh karena itu perlu menjalin kerjasama multipihak dalam
pelaksanaan kegiatan di lapangan.
KPHL perlu terus meningkatkan kapasitas kelembagaan baik pada intern KPHL
Rinjani Barat maupun kapasitas kelembagaan yang ada di masyarakat karena hampir
seluruh kawasan hutan lindung sudah dirambah masyarakat sehingga perlu pelibatan
masyrakat dalam pengelolaan kawasan hutan lindung.
Adapun saran para pihak agar pengelolaan hutan lindung di daerah ini dapat
berjalan lebih baik sehingga kawasan hutan terpelihara secara lestari adalah: (a)
Penyelesaian masalah land tenure, (b) Peningkatan kapasitas petugas kehutanan dan
masyarakat sekitar, (c) Penguatan kelembagaan KPHL dengan lembaga mitra, (d)
Penerapan teknologi pengelolaan lahan yang sesuai dengan fungsi lindung yaitu
pemanfaatan HHBK dan jasa lingkungan, (e) Pemilihan jenis tanaman yang
dikembangkan di dalam kawasan harus memperhatikan posisi, kondisi dan tujuan
penanaman.
Sintesis 2010-2014 | 56
DAFTAR PUSTAKA
Abe, K. and R. R. Ziemer, 1991. “Effect of tree roots on shallow-seated land slides”,
USDA forest Service Gen. Tech. Rep. PSW-GT 130, hal : 11-20.
Ali, F. 2010. Use of vegetation for slope protection: Root mechanical properties of
some tropical plants. International Journal of Physical Sciences Vol.5(5), hal :
496-506.
Diniyati, D, E. Fauziyah, dan T. Sulistiyati W. 2007.Strategi Rehabilitasi Hutan
Lindung di Kabupaten Garut.Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan.
Vol,4.No.2. Juni 2007. Pusat Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan.
Bogor.
Fan, C. and Yu-wen Chen. 2010. The effect of root architecture on the shearing
resistance of root permeated soil. Ecological Engineering. Vol.36, issue 6, hal
:813-826.
FAO. 1976. A Framework for Land Evaluation. Soil Bull. No.32. Rome
Hairiah, K., Widianto dan Didik Suprayogo. 2008. Adaptasi dan Mitigasi
Pemanasan Global : Bisakah agroforestri mengurangi resiko longsor dan emisi
gas rumah kaca. Kumpulan makalah INAFE. UNS. Surakarta.
ITTO. 1990. ITTO Guidelines for Sustainable Management of Natrural Tropical
Forest. ITTO, Yokohama, Japan.
ITTO. 2002. ITTO Guidelines for the Restoration, Management and Rehabilitation
of Degraded and Secondary Forest. ITTO Policy Development Series No. 13.
Yokohama, Japan.
Kobayashi, S. J. Turnball, T. Toma, T. Mori and N. Majid (eds.).2001. Rehabilitation
of Degraded Forest Issues in Forest Conservation. IUCN. Switzerland.
KPHL Rinjani Barat. 2011. Kondisi umum KPH Rinjani Barat. KPHL Rinjani
Barat.
Lizawati, Roedhy Poerwanto, Sobir, Iman Rusmana dan Tri Muji Ermayanti. 2007.
Pertumbuhan Bibit Tanaman Manggis (Garcinia mangostana L.) Setelah
Inokulasi dengan Berbagai Galur Agrobacterium rhizogenes. Buletin
Agronomi (35)(2). P2Biotek. LIPI. Bogor. Hal 127-134.
Maetens, W, J. Poesen dan M. Vanmaercke. 2012. How Effective are Soil
Conservation Techniques in Reducing Plot Runoff and Soil Loss in Europe and
The Mediterranean. Earth-Science Reviews 115. P.21-36.
Nawir, Ani A., Murniati dan Lukas Rumboko. 2008. Rehabilitasi Hutan di
Indonesia : Akan kemanakah arahnya setelah lebih dari tiga dasawarsa. Center
for International Forestry Research (CIFOR). Bogor, Indonesia.
Paimin, Sukresno dan Purwanto. 2006. Sidik cepat degradasi Sub Daerah Aliran
Sungai (Sub DAS). Pusat Penelitian Hutan dan Konservasi Alam. Bogor
Puspita Sari, D, Sumeru Ashari dan Didik Haryono. 2011. Respon Awal
Pertumbuhan Vegetatif Tanaman Durian (Durio zibethinus Murr.) terhadap
Pemberian Pupuk Organik. Makalah Seminar Nasional Hortikultura, Lembang
Bandung, 23 Nopember 2011.
Ritung S, Wahyunto, Agus F, dan Hidayat H. 2007.Panduan Evaluasi Kesesuaian
Lahan dengan Contoh Peta Arahan Penggunaan Lahan Kabupaten Aceh
Barat.Balai Penelitian Tanah dan World Agroforestry Centre (ICRAF), Bogor,
Indonesia.
Sintesis 2010-2014 | 57
Soemarwoto, O., 1985. A Qualitative of Population Pressure and It’s Potential Use in
Development Planning. Majalah Demografi Indonesia, 12 (24)
Tampubolon, A.P. and N. Supriana. 1993. The Environmental Aspects of TPTI. UN
Space Technology Conference. Bandung.
Thierfelder, C dan Patrick C. Wall. 2009. Effect of conservation agriculture
techniques on infiltration and soil water content in Zambia and Zimbabwe.
Soil & Tillage Research 105 (2009) 217–227
Valentin, C, F. Agus, R. Alamban, A. Boosaner, J.P. Bricquet, V, Chaplot, T. de
Guzman, A. de Rouw, J.L. Janeau, D. Orange, K. Phachomphonh, Do Duy
Phai, P. Podwojewski, O. Ribolzi, N. Silvera, K. Subagyono, J.P Thie’baux,
Tran Duc Toan dan T. Vadari. 2008. Runoff and Sediment Losses from 27
Upland Catchments in Southeast Asia : Impact of Rapid Land Use Changes
dan Conservation Practices. Agriculture, Ecosystem and Environment 128.
P.225-238.
Yen, C.P. 1987. Tree root patterns and erosion control. Proceedings of the
International Workshop on Soil Erosion and its Counter measures. Soil and
Water Conservation Society of Thailand, Bangkok.
Sintesis 2010-2014 | 58