Anda di halaman 1dari 8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Apendisitis Perforasi
2.1.1 Pengertian
Apendiksitis adalah peradangan pada usus buntu (apendiks), atau radang
pada apendiks vermiformi yang terjadi secara akut. Usus buntu merupakan
penonjolan kecil yang berbentuk seperti jari, yang terdapat di usus besar, tepatnya
di daerah perbatasan dengan usus halus. ( Farid 3, 2001 )
Apendiks adalah ujung seperti jari-jari yang kecil, panjangnya kira-kira 10
cm (4 inci), melekat pada sekum tepat dibawah katup ileosekal. Apendiks berisi
makanan dan mengosongkan diri secarah teratur berisi sekum, karena
pengosongan tidak efektif, dan lumennya kecil, apendiks cenderung menjadi
tersumbat dan terutama terhadap infeksi Apendiksitis. (Brunner & suddarth,
2000). Apendiktomy adalah pengangkatan apendiks terinflamasi dan dapat
dilakukan pada pasien rawat jalan dengan menggunakan metode endoskopi.
Namun adanya perlengketan multipe atau robekan perlu dilakukan prosedur
pembukaan. (Doenges, 2000).

2.1.1 Etiologi
Apendiksitis merupakan infeksi bakteri yang disebabkan oleh obstruksi
atau penyumbatan akibat. (Irga, 2007) :
1. Hiperplasia dari folikel limfoid.
2. Adanya fekalit ( massa fecal yang keras ) dalam lumen apendiks.
3. Tumor apendiks.
4. Adanya benda asing seperti cacing askariasis.
5. Erosi mukosa apendiks karena parasit seperti E. Histilitica.
6. Spasme otot spinter antara perbatasan apendiks dan seikum.
7. Hiperplasia jaringan limfoid yang biasa terjadi pada anak-anak.
8. Penyebab lain apendiksitis adalah infeksi yang disebabkan oleh kuman
– kuman seperti Escherichia coli (80%), Streptokokus tapi kuman yang
lain jarang terjadi.
2.1.3 Tanda dan gejala
1. Ada beberapa gejala awal yang khas yakni :
a. Nyeri yang dirasakan secara samar (nyeri tumpul) di daerah sekitar
pusar. kemudian nyeri itu akan berpindah ke perut kanan bawah
dengan tanda -tanda yang khas pada apendiksitis akut yaitu nyeri
pada titik Mc Burney. Nyeri perut ini akan bertambah sakit apabila
terjadi pergerakan seperti batuk, bernapas dalam, bersin, dan
disentuh daerah yang sakit.
b. Seringkali disertai dengan rasa mual, bahkan kadang muntah.
c. Demam derajat rendah ( 37,5° C – 38,5° C ) dan terasa sangat lelah.
d. Mules.
e. Malaise.
f. Konstipasi atau diare.
g. Tidak ada nafas makan.
h. Leukositosis (lebih dari 12.000/mm3) dengan peningkatan jumlah
neutrofil sampai 75%.
2. Tanda dan gejala Post Apendiktomi :
a. Nyeri pada area luka operasi yang kemungkinan dapat menghambat
aktivitas disertai kekakuan pada abdomen dan paha kanan.
b. Mual dan muntah.
c. Keterbatasan dalam melakukan aktivitas perawatan diri.
d. Dehidrasi karena adanya pembatasan masukan oral pada periode
pertama post operasi.
e. Konstipasi, karena adanya pengaruh anastesi pada fungsi
pencernaan.
f. Ketidaktahuan klien dalam pemulihan pasca operasi.

2.1.4 Jenis –jenis Apendiksitis


1. Apendiksitis Akut
Apendiksitis akut adalah jenis apendiksitis yang paling sering
memerlukan pembedahan dan paling sering menimbulkan kesukaran
dalam memastikan diagnosanya, karena banyak kelainan menunjukkan
tanda –tanda seperti apendiksitis akut. Terdapat tiga jenis apendiksitis
akut, yaitu :
a. Apendiksitis akut fokalis (segmentalis) Peradangan biasanya terjadi
pada bagian distal yang berisi nanah. Dari luar tidak terlihat adanya
kelianan, kadang hanya hiperemi ringan pada mukosa, sedangkan
radang hanya terbatas pada mukosa.
b. Apendiksitis akut purulenta (supuratif), disertai pembentukan nanah
yang berlebihan. Jika radangnya lebih mengeras, dapat terjadi
nekrosis dan pembusukan disebut apendiksitis ganggrenosa.
c. Apendiksitis akut dapat disebabkan oleh trauma, misalnya pada
kecelakaan atau operasi, tetapi tanpa lapisan eksudat dalam rongga
maupun permukaan apendiks.

2. Apendiksitis kronis
Gejala umumnya samar dan lebih jarang. Apendiksitis akut jika
tidak mendapat pengobatan dan sembuh dapat menjadi apendiksitis kronis.
Terdapat dua jenis apendiksitis, yaitu:
a. Apendiksitis kronik focalis
Peradangan masih bersifat local, yaitu fibrosis jaringan sub mukosa,
gejala klinis pada umumnya tidak tampak
b. Apendiksitis kronis obliteratif
Terjadi fibrosis yang luas sepanjang apendiks pada jarigan mukosa,
hingga terjadi obliterasi (hilangnya lumen), terutama pada bagian
distal dengan menghilangnya selaput lendir pada bagian itu.

2.2 Sindrome Nefrotik


2.2.1 Pengertian
Sindrom nefrotik merupakan kumpulan gejala yang disebabkan oleh
kelainan glomerular dengan gejala edema, proteinuria masif (lebih dari 50
mg/kgBB/24 jam) (Donna2004), hipoalbuminemia (kurang dari 2,5 gram/100 ml),
dan hiperkolesterolemia melebihi 250mg/dl Tanda -tanda tersebut dijumpai pada
kondisi rusaknya membran kapiler glomerulus yang signifikan dan menyebabkan
peningkatan permeabilitas membran glomerulus terhadap protein (Chesney,1999).

2.2.2 Epidemiologi
Menurut kepustakaan sindrom nefrotik, kasus sindrom nefrotik ini paling
banyak ditemukan pada anak berumur 3-4 tahun. Tetapi berdasarkan penelitian
yang dijalankan di RSCM Jakarta oleh Wila Wirya I.G.N. dari tahun 1970-1979,
didapati sindrom nefrotik pada umumnya mengenai anak umur 6-7 tahun.
Penyakit sindrom nefrotik dijumpai pada anak mulai umur kurang dari 1 tahun
sampai umur 14 tahun (Ngastiyah 2005). Di Indonesia gambaran histopatologik
sindrom nefrotik primer agak berbeda dengan data-data di luar negeri. Wila Wirya
menemukan hanya 44.2% tipe kelainan minimal dari 364 anak dengan sindrom
nefrotik primer yang dibiopsi (Wirya 1997), sedangkan Noer di Surabaya
mendapatkan 39.7% tipe kelainan minimal dari 401 anak dengan sindrom nefrotik
yang dibiopsi (Noer 2005).
2.2.1 Patofisiologi
Kelainan yang terjadi pada sindrom nefrotik yang paling utama adalah
proteinuria sedangkan yang lain dianggap sebagai manifestasi sekunder. Kelainan
ini disebabkan oleh karena kenaikan permeabilitas dinding kapiler glomerulus
yang sebabnya belum diketahui yang terkait dengan hilangnya muatan negatif
glikoprotein dalam dinding kapiler (Husein,2002).
Akibatnya mekanisme penghalang yang dimiliki oleh membran basal
glomerulus untuk mencegah kebocoran atau lolosnya protein terganggu.
Mekanisme penghalang tersebut berkerja berdasarkan ukuran molekul dan muatan
listrik (Silvia,1995). Pada sindrom nefrotik keluarnya protein terdiri atas
campuran albumin dan protein yang sebelumnya terjadi filtrasi protein didalam
tubulus terlalu banyak akibat dari kebocoran glomerulus dan akhirnya
diekskresikan dalam urin (Husein 2002).
Pada sindrom nefrotik, protein hilang lebih dari 2 g/kgbb/hari yang
terutama terdiri dari albumin yang mengakibatkan hipoalbuminemia. Pada
umumnya, edema muncul bila kadar albumin serum turun dibawah 2,5 gram/dl.
Mekanisme edema belum diketahui secara fisiologis tetapi kemungkinan
edema terjadi karena penurunan tekanan onkotik atau osmotik intravaskuler yang
memungkinkan cairan menembus ke ruangan interstisial, hal ini disebabkan oleh
karena hipoalbuminemia. Keluarnya cairan ke ruang interstisial menyebabkan
edema yang diakibatkan pergeseran cairan (Silvia1995).

2.3 Anemia
2.3.1 Definisi
Anemia adalah suatu kondisi dimana kadar Hb dan/atau hitung eritrosit
lebih rendah dari harga normal. Dikatakan sebagai anemia bila Hb < 14 g/dl dan
Ht < 41 % pada pria atau Hb < 12 g/dl dan Ht . Anemia adalah berkurangnya
jumlah eritrosit serta jumlah hemoglobin dalam 1mm3 darah atau berkurangnya
volume sel yang dipadatkan (packed red cells volume) dalam 100 ml darah.
(Ngastiyah, 1997)
2.3.2 Etiologi
Penyebab anemia antara lain :
1. Perdarahan
2. Kekurangan gizi seperti : zat besi, vitamin B12, dan asam folat. (Barbara
C. Long, 1996 )
3. Penyakit kronik, seperti gagal ginjal, abses paru, bronkiektasis, empiema,
dll.
4. Kelainan darah
5. Ketidaksanggupan sum-sum tulang membentuk sel-sel darah. (Arif
Mansjoer, 2001)
2.3.3 Klasifikasi
Secara patofisiologi anemia terdiri dari :
1. Penurunan produksi : anemia defisiensi, anemia aplastik.
2. Peningkatan penghancuran : anemia karena perdarahan, anemia hemolitik.
Secara umum anemia dikelompokan menjadi :
1. Anemia mikrositik hipokrom
a. Anemia defisiensi besi
Untuk membuat sel darah merah diperlukan zat besi (Fe). Kebutuhan Fe
sekitar 20 mg/hari, dan hanya kira-kira 2 mg yang diserap. Jumlah total Fe
dalam tubuh berkisar 2-4 mg, kira-kira 50 mg/kg BB pada pria dan 35 mg/kg
BB pada wanita. Anemia ini umumnya disebabkan oleh perdarahan kronik. Di
Indonesia banyak disebabkan oleh infestasi cacing tambang (ankilostomiasis),
inipun tidak akan menyebabkan anemia bila tidak disertai malnutrisi. Anemia
jenis ini dapat pula disebabkan karena :
 Diet yang tidak mencukupi
 Absorpsi yang menurun
 Kebutuhan yang meningkat pada wanita hamil dan menyusui
 Perdarahan pada saluran cerna, menstruasi, donor darah
 Hemoglobinuria
 Penyimpanan besi yang berkurang, seperti pada hemosiderosis paru.
b. Anemia penyakit kronik
Anemia ini dikenal pula dengan nama sideropenic anemia with
reticuloendothelial siderosis. Penyakit ini banyak dihubungkan dengan
berbagai penyakit infeksi seperti infeksi ginjal, paru ( abses, empiema, dll ).
2. Anemia makrositik
a. Anemia Pernisiosa
Anemia yang terjadi karena kekurangan vitamin B12 akibat faktor intrinsik
karena gangguan absorsi yang merupakan penyakit herediter autoimun
maupun faktor ekstrinsik karena kekurangan asupan vitamin B12.
b. Anemia defisiensi asam folat
Anemia ini umumnya berhubungan dengan malnutrisi, namun penurunan
absorpsi asam folat jarang ditemukan karena absorpsi terjadi di seluruh
saluran cerna. Asam folat terdapat dalam daging, susu, dan daun – daun yang
hijau.
3. Anemia karena perdarahan
a. Perdarahan akut
Mungkin timbul renjatan bila pengeluaran darah cukup banyak, sedangkan
penurunan kadar Hb baru terjadi beberapa hari kemudian.
b. Perdarahan kronik
Pengeluaran darah biasanya sedikit – sedikit sehingga tidak diketahui
pasien. Penyebab yang sering antara lain ulkus peptikum, menometroragi,
perdarahan saluran cerna, dan epistaksis.
4. Anemia hemolitik
Pada anemia hemolitik terjadi penurunan usia sel darah merah ( normal
120 hari ), baik sementara atau terus menerus. Anemia ini disebabkan karena
kelainan membran, kelainan glikolisis, kelainan enzim, ganguan sistem imun,
infeksi, hipersplenisme, dan luka bakar. Biasanya pasien ikterus dan
splenomegali.
5. Anemia aplastik
Terjadi karena ketidaksanggupan sumsum tulang untuk membentuk sel-sel
darah. Penyebabnya bisa kongenital, idiopatik, kemoterapi, radioterapi, toksin,
dll.
2.3.4 Manifestasi Klinis
Gejala-gejala umum yang sering dijumpai pada pasien anemia antara lain :
pucat, lemah, cepat lelah, keringat dingin, takikardi, hypotensi, palpitasi.
(Barbara C. Long, 1996). Takipnea (saat latihan fisik), perubahan kulit dan
mukosa (pada anemia defisiensi Fe). Anorexia, diare, ikterik sering dijumpai
pada pasien anemia pernisiosa (Arif Mansjoer, 2001)

2.3.5 Pemeriksaan Penunjang


Pada pemeriksaan laboratorium ditemui :
1. Jumlah Hb lebih rendah dari normal ( 12 – 14 g/dl )
2. Kadar Ht menurun ( normal 37% – 41% )
3. Peningkatan bilirubin total ( pada anemia hemolitik )
4. Terlihat retikulositosis dan sferositosis pada apusan darah tepi
5. Terdapat pansitopenia, sumsum tulang kosong diganti lemak ( pada
anemia aplastik)

2.3 Hipoalbumin
2.3.1 Pengertian
Albumin merupakan protein plasma yang paling banyak dalam tubuh manusia,
yaitu sekitar 55-60% dan total kadar protein serum normal adalah 3,8-5,0 g/dl. Albumin
terdiri dari rantai tunggal polipeptida dengan berat molekul 66,4 kDa dan terdiri dari 585
asam amino. Pada molekul albumin terdapat 17 ikatan disulfida yang menghubungkan
asam-asam amino yang mengandung sulfur. Molekul albumin berbentuk elips sehingga
dengan bentuk molekul seperti itu tidak akan meningkatkan viskositas plasma dan larut
sempurna. Kadar albumin serum ditentukan oleh fungsi laju sintesis, laju degradasi, dan
distribusi antara kompartemen intravaskular dan ekstravaskular. Cadangan total albumin
3,5-5,0 g/kg BB atau 250-300 g pada orang dewasa sehat dengan berat 70 kg, dari jumlah
ini 42% berada di kompartemen plasma dan sisanya didalam kompartemen ektravaskular
(Evans, 2002). Albumin manusia (human albumin) dibuat dari plasma manusia yang
diendapkan dengan alkohol. Albumin secara luas digunakan untuk penggantian volume
dan mengobati hipoalbuminemia (Uhing, 2004).
Albumin serum akan meningkat pada keadaan : pasca infuse albumin, dan
dehidrasi (peningkatan hemoglobin dan hematokrit).Sedangkan albumin serum akan
menurun pada keadaan : (a) gangguan sintesa albumin (penyakit hati, alcoholism,
malabsorbsi, starvasi penyakit kronis), (b) kehilangan albumin (sindroma nefrotic, luka
bakar, dll.), (c) status gizi jelek, akibat rasio albumin dan globulin rendah (peradangan
kronik, penyakit kolagen, kakeksia, infeksi berat).
Penelitian terdahulu yang terkait upaya peningkatan kadar albumin dalam darah
oleh Salman(1999) yaitu pemberian putih telur. Putih telur yang kental dan kokoh
berbentuk albumin (Buckle et al, 1999). Komposisi zat gizi putih telur per 100 gram berat
bahan mengandung 10,8 gram protein dan 95% nya merupakan albumin (DKBM, 1984).

2.3.2 Klasifikasi Hipoalbuminemia


Defisiensi albumin atau hipoalbuminemia dibedakan berdasarkan selisih atau
jarak dari nilai normal kadar albumin serum, yaitu 3,5–5 g/dl atau total kandungan
albumin dalam tubuh adalah 300-500 gram (Albumin.htm, 2007 dan Peralta, 2006).
Klasifikasi hipoalbuminemia menurut Agung M dan Hendro W (2005) adalah sebagai
berikut:
1. Hipoalbuminemia ringan : 3,5–3,9 g/dl
2. Hipoalbuminemia sedang : 2,5–3,5 g/dl
3. Hipoalbuminemia berat : < 2,5 g/dl

Anda mungkin juga menyukai