Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

Spondylolisthesis menunjukkan suatu pergeseran ke depan satu korpus vertebra bila


dibandingkan dengan vertebra yang terletak dibawahnya. Umumnya diklasifikasikan ke dalam
lima bentuk : kongenital atau displastik, isthmus, degeneratif, traumatik, dan patologis.
Spondylolisthesis mengenai 5-6% populasi pria, dan 2-3% wanita. Kira-kira 82% kasus isthmic
spondylolisthesis terjadi di L5-S1. Spondylolisthesis kongenital (tipe displastik) terjadi 2 kali
lebih sering terjadi pada perempuan dengan permulaan gejala muncul pada usia remaja. Etiologi
spondylolisthesis adalah multifaktorial. Predisposisi kongenital tampak pada spondylolisthesis
tipe 1 dan tipe 2, dan postur, gravitasi, tekanan rotasional dan stres/tekanan kosentrasi tinggi
pada sumbu tubuh berperan penting dalam terjadinya pergeseran tersebut.
Gejalanya berupa nyeri pinggang yang semakin hebat bila berdiri, berjalan, atau berlari,
dan berkurang bila beristirahat. Biasanya otot biceps femur, semitrendinosus, semimembranosis
dan grasilis tegang sehingga ekstensi tungkai terbatas. Foto rontgen memberikan gambaran yang
jelas menunjukkan kelainan vertebra. Kelainan ini mngkin tidak bergejala sehingga perlu
pemeriksaan klinis dan radiologis berkala. Adanya pergeseran yang progresif. Adanya
pergeseran yang progresif merupakan indikasi untuk melakukan stabilisasi. Nyeri pinggang yang
ringan biasanya dapat dilatusi dengan pemakaian alat penguat lumbosacral.1 (MATERI YG SATUNYA)
Pasien dengan spondylolisthesis degeneratif biasanya pada orang tua dan muncul dengan
nyeri tulang belakang (back pain), radikulopati, klaudikasio neurogenik, atau gabungan beberapa
gejala tersebut.
Diagnosis ditegakkan dengan gambaran klinis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
radiologis. Nyeri punggung (back pain) pada regio yang terkena merupakan gejala khas. Pada
banyak pasien, lokalisasi nyeri disekitar defek dapat sangat mudah diketahui bila pasien
diletakkan pada posisi lateral dan meletakkan kaki mereka keatas seperti posisi fetus (fetal
position).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi
Columna vertebralis merupakan poros tulang rangka tubuh yang memungkinkan
untuk bergerak. Terdapat 33 columna vertebralis, meliputi 7 columna vertebra cervical, 12
columna vertebra thoracal, 5 columna vertebra lumbal, 5 columna vertebra sacral dan 4
columna vertebra coccygeal. Vertebra sacral dan cocygeal menyatu menjadi sacrum-coccyx
pada umur 20 sampai 25 tahun. Columna vertebrales juga membentuk saluran untuk spinal
cord. Spinal cord merupakan struktur yang sangat sensitif dan penting karena
menghubungkan otak dan sistem saraf perifer.
Canalis spinalis dibentuk di bagian anterior oleh discus intervertebralis atau corpus
vertebra, di lateral oleh pediculus, di posterolateral oleh facet joint dan di posterior oleh
lamina atau ligament kuning. Canalis spinalis mempunyai dua bagian yang terbuka di lateral
di tiap segmen, yaitu foramina intervertebralis.
Recessus lateralis adalah bagian lateral dari canalis spinalis. Dimulai di pinggir
processus articularis superior dari vertebra inferior, yang merupakan bagian dari facet joint.
Di bagian recessus inilah yang merupakan bagian tersempit. Setelah melengkung secara
lateral mengelilingi pediculus, lalu berakhir di caudal di bagian terbuka yang lebih lebar dari
canalis spinalis di lateral, yaitu foramen intervertebralis. Dinding anterior dari recessus
lateralis dibatasi oleh discus intervertebralis di bagian superior, dan corpus verterbralis di
bagian inferior.
Facet Joint adalah persendian kecil yang menghubungkan tulang vertebra dengan
yang lainnya. Sendi faset merupakan sendi diartrosis yang membolehkan tulang belakang
bergerak. Oleh karena kelenturan dari kapsul sendi, tulang belakang mampu bergerak dalam
batas wajar dengan arah yang berbeda-beda.
Dinding lateral dibentuk oleh pediculus vertebralis. Dinding dorsal dibatasi oleh
processus articularis superior dari vertebra bagian bawah, sampai ke bagian kecil dari lamina
dan juga oleh ligamen kuning (lamina). Di bagian sempit recessus lateralis, dinding
dorsalnya hanya dibentuk oleh hanya processus lateralis, dan perubahan degeneratif di
daerah inilah mengakibatkan kebanyakan penekanan akar saraf pada stenosis spinalis
lumbalis.
Akar saraf yang berhubungan dengan tiap segmen dipisahkan dari kantong dura
setinggi ruang intervertebra lalu melintasi recessus lateralis dan keluar dari canalis spinalis
satu tingkat dibawahnya melalui foramina intervertebralis. Di tiap-tiap titik ini dapat terjadi
penekanan.
B. Definisi
Spondylolisthesis menunjukkan suatu pergeseran ke depan satu korpus vertebra bila
dibandingkan dengan vertebra yang terletak dibawahnya. Umumnya terjadi pada pertemuan
lumbosacral (lumbosacral joints) dimana L5 bergeser (slip) diatas S1, akan tetapi hal
tersebut dapat terjadi pada tingkatan yang lebih tinggi.
Umumnya diklasifikasikan ke dalam lima bentuk : kongenital atau displastik,
isthmus, degeneratif, traumatik, dan patologis. Banyak kasus dapat diterapi secara
konservatif. Meskipun demikian, pada individu dengan radikulopati, klaudikasio
neurogenik, abnormalitas postural dan cara berjalan yang tidak behasil dengan penanganan
non-operatif, dan terdapatnya pergeseran yang progresif, pembedahan dianjurkan. Tujuan
pembedahan adalah untuk menstabilkan segmen spinal dan dekompresi elemen saraf jika
dibutuhkan

C. Epidemiologi
Spondylolisthesis mengenai 5-6% populasi pria, dan 2-3% wanita. Karena gejala
yang diakibatkan olehnya bervariasi, kelainan tersebut sering ditandai dengan nyeri pada
bagian belakang (low back pain), nyeri pada paha dan tungkai. Sering penderita mengalami
perasaan tidak nyaman dalam bentuk spasme otot, kelemahan, dan ketegangan otot betis
(hamstring muscle).
Meskipun demikian, banyak penelitian menyebutkan bahwa terdapat predisposisi
kongenital dalam terjadinya spondilolisthesis dengan prevalensi sekitar 69% pada anggota
keluarga yang terkena. Lebih lanjut, kelainan ini juga berhubungan dengan meningkatnya
insidensi spina bifida sacralis
Kira-kira 82% kasus isthmic spondylolisthesis terjadi di L5-S1. 11.3% terjadi di
L4-L5. Kelainan kongenital, seperti spina bifida occulta berkaitan dengan munculnya
isthmic spondylolisthesis.
Degenerative spondylolisthesis terjadi lebih sering terjadi seiring bertambahnya
usia. Vertebrae L4-L5 terkena 6-10 kali lebih sering dibanding lokasi lainnya. Sakralisasi L5
sering terlihat pada degenerative spondylolisthesis L4-L5. Tipe ini biasanya muncul 5 kali
lebih sering pada wanita dibanding pria, dan sering pada usia lebih dari 40 tahun.
Spondylolisthesis kongenital (tipe displastik) terjadi 2 kali lebih sering terjadi pada
perempuan dengan permulaan gejala muncul pada usia remaja. Tipe ini biasanya terjadi
sekitar 14-21% dari semua kasus spondylolisthesis.

D. Etiologi dan klasifikasi


Etiologi spondylolisthesis adalah multifaktorial. Predisposisi kongenital tampak
pada spondylolisthesis tipe 1 dan tipe 2, dan postur, gravitasi, tekanan rotasional dan
stres/tekanan kosentrasi tinggi pada sumbu tubuh berperan penting dalam terjadinya
pergeseran tersebut.
Terdapat lima tipe utama spondylolisthesis:
a. Tipe I disebut dengan spondylolisthesis displastik (kongenital) dan terjadi akibat
kelainan kongenital pada permukaan sacral superior dan permukaan L5 inferior atau
keduanya dengan pergeseran vertebra L5.
b. Tipe II, isthmic atau spondilolitik, dimana lesi terletak pada bagian isthmus atau pars
interartikularis, mempunyai angka kepentingan klinis yang bermakna pada individu di
bawah 50 tahun. Jika defeknya pada pars interartikularis tanpa adanya pergeseran
tulang, keadaan ini disebut dengan spondilolisis. Jika satu vertebra mengalami
pergeseran kedepan dari vertebra yang lain, kelainan ini disebut dengan
spondylolisthesis.
Tipe II dapat dibagi kedalam tiga subkategori:
- Tipe IIA yang kadang-kadang disebut dengan lytic atau stress spondilolisthesis dan
umumnya diakibatkan oleh mikro-fraktiur rekuren yang disebabkan oleh
hiperketensi. Juga disebut dengan stress fracture pars interarticularis dan paling
sering terjadi pada laki-laki.
- Tipe IIB umumnya juga terjadi akibat mikro-fraktur pada pars interartikularis.
Meskipun demikian, berlawanan dengan tipe IIA, pars interartikularis masih tetap
intak akan tetapi meregang dimana fraktur mengisinya dengan tulang baru.
- Tipe IIC sangat jarang terjadi dan disebabkan oleh fraktur akut pada bagian pars
interartikularis. Pencitraan radioisotope diperlukan dalam menegakkan diagnosis
kelainan ini.

c. Tipe III, merupakan spondylolisthesis degeneratif, dan terjadi sebagai akibat


degenerasi permukaan sendi lumbal. Perubahan pada permukaan sendi tersebut akan
mengakibatkan pergeseran vertebra ke depan atau ke belakang. Tipe spondylolisthesis
ini sering dijumpai pada orang tua. Pada tipe III, spondylolisthesis degeneratif
pergeseran vertebra tidak melebihi 30%.
d. Tipe IV, spondylolisthesis traumatik, berhubungan dengan fraktur akut pada elemen
posterior (pedikel, lamina atau permukaan/facet) dibandingkan dengan fraktur pada
bagian pars interartikularis.
e. Tipe V, spondylolisthesis patologik, terjadi karena kelemahan struktur tulang sekunder
akibat proses penyakit seperti tumor atau penyakit tulang lainnya
E. Patofisiologi
Sekitar 5-6% pria dan 2-3% wanita mengalami spondylolisthesis. Pertama sekali
tampak pada individu yang terlibat aktif dengan aktivitas fisik yang berat seperti angkat besi,
senam dan sepak bola. Pria lebih sering menunjukkan gejala dibandingkan dengan wanita,
terutama diakibatkan oleh tingginya aktivitas fisik pada pria. Meskipun beberapa anak-anak
dibawah usia 5 tahun dapat mengalami spondylolisthesis, sangat jarang anak-anak tersebut
didiagnosis dengan spondylolisthesis. Spondylolisthesis sering terjadi pada anak usia 7-10
tahun.
Peningkatan aktivitas fisik pada masa remaja dan dewasa sepanjang aktivitas
sehari-hari mengakibatkan spondylolisthesis sering dijumpai pada remaja dan dewasa.
Spondylolisthesis dikelompokkan ke dalam lima tipe utama dimana masing-masing
mempunyai patologi yang berbeda. Tipe tersebut antara lain tipe displastik, isthmik,
degeneratif, traumatik, dan patologik. Spondylolisthesis displatik merupakan kelainan
kongenital yang terjadi karena malformasi lumbosacral joints dengan permukaan persendian
yang kecil dan inkompeten. Spondylolisthesis displastik sangat jarang terjadi, akan tetapi
cenderung berkembang secara progresif, dan sering berhubungan dengan defisit neurologis
berat. Sangat sulit diterapi karena bagian elemen posterior dan prosesus transversus
cenderung berkembang kurang baik, meninggalkan area permukaan kecil untuk fusi pada
bagian posterolateral.
Spondylolisthesis displatik terjadi akibat defek arkus neural pada sacrum bagian
atas atau L5. Pada tipe ini, 95% kasus berhubungan dengan spina bifida occulta. Terjadi
kompresi serabut saraf pada foramen S1, meskipun pergeserannya (slip) minimal.
Spondylolisthesis isthmic merupakan bentuk spondylolisthesis yang paling sering.
Spondylolisthesis isthmic (juga disebut dengan spondylolisthesis spondilolitik) merupakan
kondisi yang paling sering dijumpai dengan angka prevalensi 5-7%. Fredericson et al
menunjukkan bahwa defek spondylolistesis biasanya didapatkan pada usia 6 - 16 tahun, dan
pergeseran tersebut sering terjadi lebih cepat. Ketika pergeseran terjadi, jarang berkembang
progresif, meskipun suatu penelitian tidak mendapatkan hubungan antara progresifitas
pergeseran dengan terjadinya gangguan diskus intervertebralis pada usia pertengahan. Telah
dianggap bahwa kebanyakan spondylolisthesis isthmik tidak bergejala, akan tetapi insidensi
timbulnya gejala tidak diketahui. Suatu studi/penelitian jangka panjang yang dilakukan oleh
Fredericson et al yang mempelajari 22 pasien dengan mempelajari perkembangan
pergeseran tulang vertebra pada usia pertengahan, mendapatkan bahwa banyak diantara
pasien tersebut mengalami nyeri punggung, akan tetapi kebanyakan diantaranya tidak
mengalami/tanpa spondylolisthesis isthmik. Secara kasar 90% pergeseran ishmus
merupakan pergeseran tingkat rendah(low grade: kurang dari 50% yang mengalami
pergeseran) dan sekitar 10% bersifat high grade ( lebih dari 50% yang mengalami
pergeseran).
Sistem pembagian/grading untuk spondylolisthesis yang umum dipakai adalah sistem
grading Meyerding untuk menilai beratnya pergeseran. Kategori tersebut didasarkan
pengukuran jarak dari pinggir posterior dari korpus vertebra superior hingga pinggir
posterior korpus vertebra inferior yang terletak berdekatan dengannya pada foto x ray
lateral. Jarak tersebut kemudian dilaporkan sebagai panjang korpus vertebra superior total:
- Grade 1 adalah 0-25%
- Grade 2 adalah 25-50%
- Grade 3 adalah 50-75%
- Grade 4 adalah 75-100%
- Spondiloptosis- lebih dari 100%
Faktor biomekanik sangat penting perannya dalam perkembangan spondilosis
menjadi spondylolisthesis. Tekanan/kekuatan gravitasional dan postural akan menyebabkan
tekanan yang besar pada pars interartikularis. Lordosis lumbal dan tekanan rotasional
dipercaya berperan penting dalam perkembangan defek litik pada pars interartikularis dan
kelemahan pars inerartikularis pada pasien muda. Terdapat hubungan antara tingginya
aktivitas selama masa kanak-kanak dengan timbulnya defek pada pars interartikularis.
Pada tipe degeneratif, instabilitas intersegmental terjadi akibat penyakit diskus
degeneratif atau facet arthropaty. Proses tersebut dikenal dengan spondilosis. Pergeseran
tersebut terjadi akibat spondilosis progresif pada 3 kompleks persendian tersebut. Umumnya
terjadi pada L4-5, dan wanita usia tua yang umumnya terkena. Cabang saraf L5 biasanya
tertekan akibat stenosis resesus lateralis sebagai akibat hipertropi ligamen atau permukaan
sendi.
Pada tipe traumatik, banyak bagian arkus neural yang terkena/mengalami fraktur,
sehingga menyebabkan subluksasi vertebra yang tidak stabil. Spondylolisthesis patologis
terjadi akibat penyakit yang mengenai tulang, atau berasal dari metastasis atau penyakit
metabolik tulang, yang menyebabkan mineralisasi abnormal, remodeling abnormal serta
penipisan bagian posterior sehingga menyebabkan pergeseran (slippage). Kelainan ini
dilaporkan terjadi pada penyakit Pagets, tuberkulosis tulang, Giant Cell Tumor, dan
metastasis tumor.

F. Gambaran Klinis
Gambaran klinis spondylolisthesis sangat bervariasi dan bergantung pada tipe
pergeseran dan usia pasien. Selama masa awal kehidupan, gambaran klinisnya berupa back
pain yang biasanya menyebar ke paha bagian dalam dan bokong, terutama selama aktivitas
tinggi. Gejala jarang berhubungan dengan derajat pergeseran (slippage), meskipun sangat
berkaitan dengan instabilitas segmental yang terjadi. Tanda neurologis berhubungan dengan
derajat pergeseran dan mengenai sistem sensoris, motorik dan perubahan refleks akibat dari
pergeseran serabut saraf (biasanya S1). Progresifitas listesis pada individu dewasa muda
biasanya terjadi bilateral dan berhubungan dengan gambaran klinis/fisik berupa:
- Terbatasnya pergerakan tulang belakang.
- Kekakuan otot hamstring
- Tidak dapat mengfleksikan panggul dengan lutut yang berekstensi penuh.
- Hiperlordosis lumbal dan thorakolumbal.
- Hiperkifosis lumbosacral junction.
- Pemendekan badan jika terjadi pergeseran komplit (spondiloptosis).
- Kesulitan berjalan
Pasien dengan spondylolisthesis degeneratif biasanya pada orang tua dan muncul
dengan nyeri tulang belakang (back pain), radikulopati, klaudikasio neurogenik, atau
gabungan beberapa gejala tersebut. Pergeseran tersebut paling sering terjadi pada L4-5 dan
jarang terjadi L3-4. Gejala radikuler sering terjadi akibat stenosis resesus lateralis dan
hipertropi ligamen atau herniasi diskus. Cabang akar saraf L5 sering terkena dan
menyebabkan kelemahan otot ekstensor hallucis longus. Penyebab gejala klaudikasio
neurogenik selama pergerakan adalah bersifat multifaktorial. Nyeri berkurang ketika pasien
memfleksikan tulang belakang dengan duduk. Fleksi memperbesar ukuran kanal/saluran
dengan menegangkan ligamentum flavum, mengurangi overriding lamina dan pembesaran
foramen. Hal tersebut mengurangi tekanan pada cabang akar saraf, sehingga mengurangi
nyeri yang timbul

G. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan gambaran klinis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
radiologis.
1. Gambaran klinis
Nyeri punggung (back pain) pada regio yang terkena merupakan gejala khas.
Umumnya nyeri yang timbul berhubungan dengan aktivitas. Aktivitas membuat nyeri
makin bertambah buruk dan istirahat akan dapat menguranginya. Spasme otot dan
kekakuan dalam pergerakan tulang belakang merupakan ciri spesifik. Gejala neurologis
seperti nyeri pada bokong dan otot hamstring tidak sering terjadi kecuali jika terdapatnya
bukti adanya subluksasi vertebra. Keadaan umum pasien biasanya baik dan masalah
tulang belakang umumnya tidak berhubungan dengan penyakit atau kondisi lainnya.
2. Pemeriksaan fisik
Postur paisen biasanya normal, bilamana subluksasio yang terjadi bersifat
ringan. Dengan subluksasi berat, terdapat gangguan bentuk postur.
Pergerakan tulang belakang berkurang karena nyeri dan terdapatnya spasme otot.
Penyangga badan kadang-kadang memberikan rasa nyeri pada pasien, dan nyeri
umumnya terletak pada bagian dimana terdapatnya pergeseran/keretakan, kadang nyeri
tampak pada beberapa segmen distal dari level/tingkat dimana lesi mulai timbul.
Ketika pasien diletakkan pada posisi telungkup (prone) di atas meja
pemeriksaan, perasaan tidak nyaman atau nyeri dapat diidentifikasi ketika palpasi
dilakukan secara langsung diatas defek pada tulang belakang. Nyeri dan kekakuan otot
adalah hal yang sering dijumpai. Pada banyak pasien, lokalisasi nyeri disekitar defek
dapat sangat mudah diketahui bila pasien diletakkan pada posisi lateral dan meletakkan
kaki mereka keatas seperti posisi fetus (fetal position). Defek dapat diketahui pada posisi
tersebut. Fleksi tulang belakang seperti itu membuat massa otot paraspinal lebih tipis
pada posisi tersebut. Pada beberapa pasien, palpasi pada defek tersebut kadang-kadang
sulit atau tidak mungkin dilakukan.
Pemeriksaan neurologis terhadap pasien dengan spondylolisthesis biasanya
negatif. Fungsi berkemih dan defekasi biasanya normal, terkecuali pada pasien dengan
sindrom cauda equina yang berhubungan dengan lesi derajat tinggi.
3. Pemeriksaan radiologis.
Foto polos vertebra lumbal merupakan modalitas pemeriksaan awal dalam
diagnosis spondilosis atau spondylolisthesis. X ray pada pasien dengan spondylolisthesis
harus dilakukan pada posisi tegak/berdiri. Film posisi AP, Lateral dan oblique adalah
modalitas standar dan posisi lateral persendian lumbosacral akan melengkapkan
pemeriksaan radiologis. Posisi lateral pada lumbosacral joints, membuat pasien berada
dalam posisi fetal, membantu dalam mengidentifikasi defek pada pars interartikularis,
karena defek lebih terbuka pada posisi tersebut dibandingkan bila pasien berada dalam
posisi berdiri. Pada beberapa kasus tertentu studi pencitraan seperti Bone scan atau CT
scan dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis. Pasien dengan defek pada pars
interartikularis sangat mudah terlihat dengan CT scan.
Bone scan ( SPECT scan) bermanfaat dalam diagnosis awal reaksi stress/tekanan
pada defek pars interartikularis yang tidak terlihat baik dengan foto polos. Scan positif
menunjukkan bahwa proses penyembuhan tulang telah dimulai, akan tetapi tidak
mengindikasikan bahwa penyembuhan yang definitif akan terjadi.
CT scan dapat menggambarkan abnormalitas pada tulang dengan baik, akan
tetapi MRI sekarang lebih sering digunakan karena selain dapat mengidentifikasi tulang
juga dapat mengidentifikasi jaringan lunak ( diskus, kanal, dan anatomi serabut saraf)
lebih baik dibandingkan dengan foto polos.
H. Penatalaksanaan
Sering dokter menggunakan satu pengobatan atau kombinasi beberapa jenis
pengobatan dalam rencana terapi pada pasien, dengan pemberian analgetik untuk
mengontrol nyeri. Hal tersebut bervariasi dari pemberian ibuprofen hingga acetaminofen,
akan tetapi pada beberapa kasus berat, NSAIDs digunakan untuk mengurangi
pembengkakan dan inflamasi yang dapat terjadi. Jadi terapi untuk spondylolisthesis tingkat
rendah masih bersifat konservatif, dengan istirahat/immobilisasi pasien dan pemberian anti-
inflamasi secara bersamaan. Meskipun demikian, pada beberapa kasus, intervensi bedah
mungkin dibutuhkan.
1. Terapi konservatif
Terapi konservatif ditujukan untuk mengurangi gejala dan juga termasuk:
- Modifikasi aktivitas, bedrest selama eksaserbasi akut berat.
- Analgetik (misalnya NSAIDs).
- Latihan dan terapi penguatan dan peregangan.
- Bracing
Angka keberhasilan terapi non-operatif sangat besar, terutama pada pasien
muda. Pada pasien yang lebih tua dengan pergeseran ringan (low grade slip) yang
diakibatkan oleh degenerasi diskus, traksi dapat digunakan dengan beberapa tingkat
keberhasilan. Salah satu tantangan adalah dalam terapi pasien dengan nyeri punggung
hebat dan menunjukkan gambaran radiografi abnormal. Pasien tersebut mungkin
memiliki penyakit degeneratif pada diskus atau bahkan pergeseran ringan (low grade
slip, <25%), dan biasanya nyeri yang terjadi tidak sesuai dengan pemeriksaan fisik dan
gambaran radiografi.
Nyeri punggung merupakan masalah kesehatan utama dan penyebab disabilitas
yang paling sering. Adalah sangat penting untuk mempertimbangkan faktor tingkah
laku dan psikososial yang berperan terhadap timbulnya disabilitas pada pasien tersebut.

2. Terapi pembedahan
Terapi pembedahan hanya direkomendasikan bagi pasien yang sangat
simtomatis yang tidak berespon dengan perawatan non-bedah dan dimana gejalanya
menyebabkan suatu disabilitas.
Jika gejala dapat secara langsung diketahui akibat dari defek pada pars
interartikularis, dan kemudian repair secara pembedahan terhadap defek tersebut,
melalui beberapa prosedur pembedahan, akan dapat mengurangi nyeri yang disebabkan
oleh defek tersebut. Tujuan terapi adalah untuk dekompresi elemen neural dan
immobilisasi segmen yang tidak stabil atau segmen kolumna vertebralis. Umumnya
dilakukan dengan eliminasi pergerakan sepanjang permukaan sendi(facets joints) dan
diskus intervertebralis melalui arthrodesis (fusi).
Jika terjadinya subluksasi ringan dan degenerasi diskus yang dapat
diidentifikasi dengan MRI, fusi spinal , biasanya bersaman dengan instrumentasi spinal
merupakan pilihan terapi. Karena pilihan terapi terbaik untuk beberapa pasien bervariasi
diantara beberapa ahli bedah berpengalaman, konsultasi dengan ahli bedah tersebut
merupakan pendekatan terbaik bagi pasien yang simtomatis, sebagai second opinion.3
Pada pasien dengan spondylolisthesis derajat tinggi (high grade
spondilolysthesis) dengan gejala yang menetap dan dengan deformitas spinal/vertebra
berat, intervensi pembedahan dengan berbagai pendekatan mungkin dibutuhkan. Hal
tersebut termasuk spinal instrumentation dan fusi. Usaha untuk meningkatkan alignment
spinal/kesejajaran vertebra didasarkan pada beratnya deformitas spinal pada pasien
tersebut dan risiko yang terjadi akibat penggunan pendekatan pembedahan tersebut.1
Indikasi fusi spinal berbeda antara populasi pediatrik dan populasi dewasa.
Pada pasien yang lebih muda, faktor dibawah ini diketahui berhubungan dengan
meningkatnya progresifitas pergeseran vertebra (slip progression):
- Usia muda (< 15 tahun).
- Listesis grade tinggi (high grade listhesis>50%).
- Jenis kelamin perempuan.
- Tipe displastik.
- Hipermobilitas lumbosacral.
- Ligamentous laxity.
Meskipun demikian banyak pasien muda diterapi dengan immobilisasi atau
modifikasi aktivitas saja, dengan angka keberhasilan yang signifikan. Dengan tidak
adanya tingkat pergeseran yang berat (high grade slip), gejala yang ringan, fusi biasanya
tidak diindikasikan pada populasi tersebut.
Sebelum operasi dipertimbangkan pada pasien dewasa dengan
spondylolisthesis degeneratif, tanda neurologis minimal, atau hanya nyeri punggung
mekanik (mechanical back pain), terapi konservatif harus diberikan pertama sekali, dan
pertimbangan faktor psikososial dan sosial harus dipertimbangkan.
Meskipun demikian banyak pasien muda diterapi dengan immobilisasi atau
modifikasi aktivitas saja, dengan angka keberhasilan yang signifikan. Dengan tidak
adanya tingkat pergeseran yang berat (high grade slip), gejala yang ringan, fusi biasanya
tidak diindikasikan pada populasi tersebut.
Sebelum operasi dipertimbangkan pada pasien dewasa dengan
spondylolisthesis degeneratif, tanda neurologis minimal, atau hanya nyeri punggung
mekanik (mechanical back pain), terapi konservatif harus diberikan pertama sekali, dan
pertimbangan faktor psikososial dan sosial harus dipertimbangkan.
Indikasi intervensi bedah (fusi) pada pasien dewasa adalah:
1. Tanda neurologis- radikulopaty (yang tidak berespon dengan terapi konsrvatif)
2. klaudikasio neurogenik.
3. Pergeseran berat(high grade slip > 50%)
4. Pergeseran tipe I dan Tipe II, dengan bukti adanya instabilitas, progresifitas
listesis, dan kurang berespon dengan terapi konservatif.
5. Spondylolisthesis traumatik.
6. Spondylolisthesis iatrogenik.
7. Listesis tipe III (degeneratif) dengan instabilitas berat dan nyeri hebat.
8. Deformitas postural dan abnormalitas gaya berjalan(gait abnormality).

I. Fusi
Terdapat berbagai metode untuk mendapatkan fusi intersegmental pada tulang
lumbosacral. Berbagai metode tersebut antara lain:
1. Posterolateral (intratransversus): umumnya arthrodesis bersamaan dengan
penggunaan autograft crista iliaka atau dengan allograft. Instrumentasi spinal
segmental membuat fiksasi kaku pada segmen fusi dan kemungkinan
dilakukannya reduksi segmen dengan listesis tersebut.
2. Lumbar interbody fusion: hal tersebut dapat meningkatkan stabilitas segmen
spinal/vertebra dengan ,menempatkan/meletakkan bone graft untuk kompresi
kolumna anterior dan media dan meningkatkan permukaan fusi tulang secara
keseluruhan.
3. Repair pars interartikularis: umumnya dengan menggunakan teknik Scott Wiring
technique atau modifikasi Van Darm.

II. Fiksasi
Meskipun pemakaian/penggunaan instrumentasi spinal pada pasien dengan
skeletal immature dipertimbangkan sebagai pilihan terapi bagi beberapa pasien
dengan spondylolisthesis isthmic, banyak ahli bedah vertebra/spinal yakin bahwa
fiksasi kaku tersebut dibutuhkan untuk mendapatkan fusi solid yang valid. Untuk
spondylolisthesis degeneratif, fiksasi menunjukkan angka arthrodesis solid yang
tinggi.
III. Dekompresi
Biasanya digunakan pada spondylolisthesis traumatik atau degeneratif,
dekompresi elemen neural baik sentral maupun perifer, diatas serabut saraf
diindikasikan. Dekompresi optimal biasanya didapatkan melalui laminectomy
posterior atau facetectomy total dengan dekompresi radikal serabut saraf(misalnya
Gill prosedure).

IV. Reduksi
Beberapa ahli bedah berupaya mengurangi spondylolisthesis untuk meningkatkan
alignment(kesejajaran) sagital dan memperbaiki biomekanik vertebra/spinal. Hal
tersebut memiliki manfaat dalam memperbaiki posisi saat berdiri dan mengurangi
tekanan/kekakuan pada massa fusi posterior sehingga mengurangi insidensi
nonunion dan progresifitas spondylolisthesis.

I. PROGNOSIS
Fusi lumbal sebagai salah satu terapi pembedahan pada spondylolisthesis telah
sering digunakan di Amerika Serikat, dengan berbagai variasi pertimbangan. Variasi
tersebut bergantung pada banyak faktor, dari tersedianya instrumentasi yang baik hingga
pemahaman tentang penyembuhan tulang. Kurangnya indikasi jelas dalam dilakukannya fusi
lumbal juga merupakan faktor lain yang juga ikut berperan dalam menentukan perlu
tidaknya fusi lumbal. Bukti yang mendukung perlunya fusi pada spondylolisthesis tipe
I,II,III, dan IV dan spondylolisthesis iatrogenik sangat kuat. Akan tetapi terdapat beberapa
kontroversi pada beberapa individu dengan tipe spondylolisthesis degenratif (tipe III),
skoliosis degeneratif dan nyeri punggung mekanik(mechanical back pain).
Hasil terapi terhadap spondylolisthesis tipe isthmic yang merupakan
spondylolisthesis yang banyak terjadi belumlah menjanjikan. Banyak peneliti melaporkan
angka outcome yang baik sekitar 75-90%. Pasien yang mendapatkan pembedahan
melaporkan peningkatan kualitas hidup dan berkurangnya rasa/tingkatan nyeri yang dialami.
Menariknya, luaran/outcome yang didapatkan tidak berhubungan dengan derajat
spondylolisthesis atau besarnya sudut pergeseran yang terjadi. Beberapa penelitian yang
memfokuskan pada follow up jangka panjang mendukung terapi konservatif terhadap anak-
anak dan dewasa dengan spondylolisthesis yang asimptomatik (tipe I, tipe II), meskipun
demikian banyak peneliti menyarankan untuk dilakukannya tindakan fusi bilamana
pergeseran tersebut bersifat simptomatik, tidak berespon dengan terapi konservatif dan jika
pergeseran yang terjadi berada dalam derajat tinggi (high grade spondylolisthesis).
BAB III
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PRIBADI
Nama : Ny. Elisabeth Yunus
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 58 tahun
Suku Bangsa : Toraja
Agama : Kristen Protestan
Alamat : Belakang Gereja Silo Sentani
Status : Menikah
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
No. Rekam Medik : 10 37 28
Tanggal Pemeriksaan : 29 Juli 2015

B. ANAMNESA
Keluhan Utama :
 Nyeri punggung bawah
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien mengeluh merasa nyeri pada punggung bawah sejak 6 (tahun 2010)
tahun lalu. Nyeri yang dirasakan sifatnya hilang timbul dan memberat jika pasien
melakukan aktifitas yang lama, mengangkat barang, dan lama berdiri. Pasien juga
mengaku nyerinya menjalar hingga ke daerah pada dan bokong dan berkurang jika
pasien menongkak pinggang, berbaring atau tidur. Pasien juga mengaku mulai rutin
berobat sekitar 1 (satu) tahun yang lalu karena nyeri yang dirasakan semakin berat.
Awalnya, pasien mengaku 6 tahun yang lalu (tahun 2009), pasien terpeleset
pada saat mau buang air kecil di kamar mandi dengan posisi terduduk dan bokong
menjadi tumpuan. Namun pasien belum merasakan keluhan apapun. Kemudian 1 (satu)
tahun setelah trauma, pasien mulai mengeluhkan rasa nyeri pada punggung bawah.
Riwayat Penyakit Dahulu :
 Hipertensi (+) terkontrol dengan OAH,
 Riwayat Operasi benjolan di Pada tahun 2012
 Penyakit Jantung (-), DM (-),
Riwayat Penggunaan Obat :
 Obat Hipertensi

ANAMNESE TRAKTUS
Traktus Sirkulatorius : penyakit hipertensi (+)
Traktus Respiratorius : tidak ada kelainan
Traktus Digestivus : tidak ada kelainan
Traktus Urogenitalis : tidak ada kelainan
Penyakit Terdahulu dan Kecelakaan : Penyakit Hipertensi
Intoksikasi dan obat-obatan : (-)

ANAMNESE KELUARGA
Faktor Herediter : tidak jelas
Faktor Familier : tidak jelas

ANAMNESE SOSIAL
Kelahiran dan Pertumbuhan : dalam batas normal
Imunisasi : tidak jelas
Pendidikan : SD
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Perkawinan dan anak : menikah dan memiliki 3 orang anak

PEMERIKSAAN JASMANI
Pemeriksaan Umum
Tekanan Darah : 130/70 mmHg
Nadi : 84 x/menit
Frekuensi nafas : 20 x/menit
Temperatur : 36.5 °C
Kulit dan Selaput Lendir : dalam batas normal
Kelenjar dan Getah Bening : dalam batas normal
Persendian : dalam batas normal

Kepala dan Leher


Bentuk dan Posisi : bulat dan medial
Pergerakan : dalam batas normal
Kelainan Panca Indra : (-)
Rongga Mulut dan Gigi : dalam batas normal
Kelenjar Parotis : dalam batas normal
Desah : (-)

Rongga Dada dan Abdomen Rongga Dada Rongga Abdomen


Inspeksi : simetris fusiformis simetris
Perkusi : sonor timpani
Palpasi : SF normal soepel
Auskultasi : SP: vesikuler peristaltik (+)
ST: - Normal
Genitalia
Toucher : Tidak dilakukan pemeriksaan

Pemeriksaan Penunjang:
 Radiologi : Rontgen ThorakoLumbal Ap/Lat
 Laboratorium : tidak dilakukan

DIAGNOSA:
Low Back Pain et causa Spondilolitesis Lumbal 4 terhadap 5
TERAPI
Prop positioning
MWD (Micro Wave Diathermy)
TENS (Transcutaneus Electrical Nerve Stimulation)
Gentle Streching
Edukasi

PERENCANAAN
 Pro Cek Darah Lengkap dan Kimia Lengkap

Anda mungkin juga menyukai