Anda di halaman 1dari 31

Tinjauan Pustaka

!
Hipertiroidisme Dalam Kehamilan

!
O

Alwi Shahab
!
!
!
!
!
!
!
!
!
Subbagian Endokrinologi Metabolisme
Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
RSUP Dr. Mohammad Hoesin
Palembang
2012
Daftar Isi : Halaman

!
BAB

I. Pendahuluan ……………………………………………………………………….… 3

II. Faal kelenjar tiroid pada kehamilan normal …………………………………….… 5

III. Hipertiroidisme dalam kehamilan ……………………………………………….… 10

A. Patogenesis ……………………………………………………………………..…10

B. Pengaruh hipertiroidisme terhadap kehamilan ……………………………..….13

1. Komplikasi terhadap ibu …………………………………………………….14

2. Komplikasi terhadap janin dan neonatus ………………………………….18

C. Diagnosis …………………………………………………………………………. 21

D. Penatalaksanaan ……………………………………………………………….. 23

IV. Simpulan ………………………………………………………………………………29

V. Daftar Pustaka …………………………………………………………………….….30

!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!2

!
BAB I
Pendahuluan
!
Hipertiroidisme merupakan suatu sindrom klinik akibat meningkatnya sekresi

hormon tiroid didalam sirkulasi baik tiroksin (T4), triyodotironin (T3) atau kedua-duanya.

Sekitar 90% dari hipertiroidisme disebabkan oleh penyakit Grave, struma nodosa toksik baik

soliter maupun multipel dan adenoma toksik. Penyakit Grave pada umumnya ditemukan pada

usia muda yaitu antara 20 sampai 40 tahun, sedang hipertiroidisme akibat struma nodosa

toksik ditemukan pada usia yang lebih tua yaitu antara 40 sampai 60 tahun. Oleh karena

penyakit Grave umumnya ditemukan pada masa subur, maka hampir selalu hipertiroidisme

dalam kehamilan adalah hipertiroidisme Grave, walaupun dapat pula disebabkan karena

tumor trofoblas, molahidatidosa, dan struma ovarii. Prevalensi hipertiroidisme di Indonesia

belum diketahui. Di Eropa berkisar antara 1 sampai 2 % dari semua penduduk dewasa.

Hipertiroidisme lebih sering ditemukan pada wanita daripada laki-laki dengan ratio 5:1.

Hipertiroidisme jarang ditemukan pada wanita hamil.

Kekerapannya diperkirakan 2 : 1000 dari semua kehamilan,namun bila tidak

terkontrol dapat menimbulkan krisis tiroid, persalinan prematur, abortus dan kematian janin.

Diagnosis hipertiroidisme dalam kehamilan sulit ditegakkan karena kehamilan itu sendiri

menyebabkan perubahan-perubahan fisiologik yang menyerupai keadaan hipertiroidisme.

Namun deteksi dini untuk mengetahui adanya hipertiroidisme pada wanita hamil sangatlah

penting, karena kehamilan itu sendiri merupakan suatu stres bagi ibu apalagi bila disertai

dengan keadaan hipertiroidisme.

!3

!
Pengelolaan penderita hipertiroidisme dalam kehamilan memerlukan perhatian

khusus, oleh karena baik keadaan hipertiroidismenya maupun pengobatan yang diberikan

dapat memberi pengaruh buruk terhadap ibu dan janin.

!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!4

!
BAB II

Faal kelenjar tiroid pada kehamilan normal

Selama kehamilan faal kelenjar tiroid mengalami peningkatan dan dalam banyak hal

aktifitas kelenjar tiroid menyerupai keadaan hipertiroidisme. Sebelum dikembangkannya

teknik pengukuran kimiawi faal kelenjar tiroid, orang beranggapan bahwa terjadinya struma

dan peningkatan metabolisme basal pada wanita hamil disebabkan karena kelenjar tiroid yang

hiperaktif. Anggapan ini berdasarkan gambaran histologik berupa hipertrofi dan hiperplasi

folikel kelenjar tiroid pada wanita hamil. Dari berbagai penelitian menunjukkan bahwa

prevalensi struma selama kehamilan bervariasi secara geografis.

Pada suatu studi di Skotlandia, 70% wanita hamil mengalami struma, lebih banyak

dibandingkan dengan wanita yang tidak hamil (38%).

Berbeda dengan penelitian di Islandia, dimana tidak ditemukan peningkatan kejadian

struma selama kehamilan. Juga studi di Amerika Serikat, tidak menunjukkan peningkatan

kejadian struma pada wanita hamil. Dari hasil penelitian diketahui bahwa hal ini disebabkan

karena kandungan yodium di Islandia dan Amerika Serikat lebih tinggi daripada di

Skotlandia.

Menurut Glinoer, kehamilan merupakan suatu keadaan yang unik, dimana faal

kelenjar tiroid dipengaruhi oleh 3 perubahan, yaitu :

1. Terjadi perubahan dalam ekonomi tiroid karena meningkatnya kadar TBG sebagai

respons terhadap peningkatan kadar estrogen. Akibat peningkatan kadar TBG ini akan

terjadi kenaikan kadar Protein Binding Iodine mulai minggu ke 12 yang mencapai 2

kali kadar normal. Juga akan terjadi kenaikan kadar T4 dan T3 didalam serum.

!5

!
Peningkatan kadar TBG serum selama kehamilan disebabkan karena meningkatnya

produksi TBG oleh sel-sel hati dan menurunnya degradasi TBG perifer akibat

modifikasi oligosakarida karena pengaruh kadar estrogen yang tinggi.

2. Terjadi peningkatan sekresi Thyroid Stimulating Factors (TSF) dari plasenta terutama

Human Chorionic Gonadotropin (HCG). HCG menyerupai TSH, dimana keduanya

merupakan glikoprotein yang mempunyai gugus alfa yang identik. Bukti terbaru

menunjukkan bahwa HCG merupakan suatu Chorionic Thyrotropin dimana aktifitas

biologik dari 1 Unit HCG ekivalen dengan 0,5 uU TSH.

3. Kehamilan disertai dengan penurunan persediaan yodium didalam kelenjar tiroid

karena peningkatan bersihan ginjal terhadap yodium dan hilangnya yodium melalui

kompleks feto-plasental pada akhir kehamilan. Hal ini akan menyebabkan keadaan

defisiensi yodium relatif.

Bersamaan dengan meningkatnya laju filtrasi glomerulus selama kehamilan, ekskresi

yodium meningkat dan terjadi penurunan “ iodine pool”.

Respons TSH terhadap TRH juga meningkat selama kehamilan. Hal ini disebabkan

karena pengaruh estrogen, dimana dapat juga terjadi pada wanita2 tidak hamil yang

menggunakan obat2 kontrasepsi. Walaupun terjadi perubahan2 diatas, namun kecepatan

produksi hormon tiroid tidak mengalami perubahan selama kehamilan. Menurut Burrow,

pada wanita hamil terjadi beberapa perubahan faal kelenjar tiroid seperti tersebut dibawah

ini :

!
!
!
!6

!
I. Meningkat :
A. Laju metabolisme basal
B. Ambilan yodium radioaktif
C. Respons terhadap TRH
D. Thyroxin Binding Globulin (TBG)
E. Tiroksin
F. Triyodotironin
G. Human Chorionic Thyrotropin/ Gonadotropin
H. Thyroid Stimulating Hormone (TSH)
!
II. Tidak berubah :
A. Konsentrasi tiroksin bebas (fT4)
B. Kecepatan produksi tiroksin
!
Perubahan faal kelenjar tiroid ibu selama kehamilan diikuti pula oleh perubahan faal

kelenjar tiroid janin. Yodium organik tidak ditemukan dalam kelenjar tiroid janin

sebelum usia kehamilan 10 minggu. Pada usia kehamilan 11-12 minggu, kelenjar

tiroid janin baru mulai memproduksi hormon tiroid. TSH dapat dideteksi dalam serum

janin mulai usia kehamilan 10 minggu, tetapi masih dalam kadar yang rendah sampai

usia kehamilan 20 minggu yang mencapai kadar puncak 15 uU per ml dan kemudian

turun sampai 7 uU per ml. Penurunan ini mungkin karena kontrol dari hipofisis yang

mulai terjadi pada usia kehamilan 12 minggu sampai 1 bulan post natal. Selama usia

pertengahan kehamilan, didalam cairan amnion dapat dideteksi adanya T4 yang

mencapai puncaknya pada usia kehamilan 25 sampai 30 minggu. Kadar T3 didalam

cairan amnion selama awal kehamilan masih rendah dan berangsur akan meningkat.

!7

!
Tetrayodotironin (T4) didalam tubuh janin terutama dimetabolisir dalam bentuk

reverse T3 (rT3) , hal ini mungkin disebabkan karena sistem enzimnya belum matang.

Reverse T3 meningkat terus dan mencapai kadar puncak pada usia kehamilan 17

sampai 20 minggu. Kadar rT3 didalam cairan amnion dapat dipakai sebagai diagnosis

prenatal terhadap kelainan faal kelenjar tiroid janin.

Pada saat lahir terjadi peningkatan kadar TSH karena sekresinya oleh hipofisis

meningkat. Kadar TSH neonatus meningkat beberapa menit setelah lahir 7,5 uU/ml

dan mencapai puncaknya 30 uU/ ml dalam 3 jam. Karena rangsangan TSH akan

terjadi kenaikan yang tajam dari kadar T4 total dan T4 bebas didalam serum. Kadar

T3 juga meningkat secara dramatis, tetapi sebagian tidak tergantung dari TSH. Hal ini

mungkin disebabkan karena meningkatnya aktifitas jaringan dalam memetabolisir T4

menjadi T3.

Ambilan yodium radioaktif neonatus meningkat mulai 10 jam setelah lahir yang

mencapai puncaknya pada hari kedua dan menurun sampai batas normal seperti orang

dewasa pada hari ke 5 setelah lahir.

!
TBG T4 T3 rT3
(mg/dl) (ug/dl) (ng/dl) (ng/dl)
! ! ! ! !
Wanita tidak hamil 4,3 7,6 111 40
Wanita hamil aterm 8,7 14,3 173 54
Neonatus 5,4 11,0 50 136

!
Tabel 1. Faal kelenjar tiroid ibu dan neonatus
!
!
!
!8

!
Tes Darah ibu Darah tali
pusat
! ! !
T4 serum (ug/100 ml) 10 – 16 6 – 13
fT4 (ng/100 ml) 2,5 – 3,5 1,5 – 3,0
T3 serum (ng/100 ml) 150 – 250 40 – 60
rT3 (ng/100 ml) 36 – 65 80 – 360
resin T3 uptake 22 25 – 35
TBG (mg/L) 30 – 50 12 – 30
TSH serum (uU/ml) 0-6 0 – 20

!
Tabel 2. Tes faal tiroid dari darah ibu dan darah tali pusat bayi pada saat baru lahir
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!9

!
BAB III
Hipertiroidisme dalam kehamilan
!
A. Patogenesis

Hipertiroidisme dalam kehamilan hampir selalu disebabkan karena penyakit Grave

yang merupakan suatu penyakit otoimun. Sampai sekarang etiologi penyakit Grave tidak

diketahui secara pasti.

Dilihat dari berbagai manifestasi dan perjalanan penyakitnya, diduga banyak faktor

yang berperan dalam patogenesis penyakit ini.

Dari hasil penelitian, masih timbul sejumlah pertanyaan yang belum terjawab, antara

lain :

1. Apakah kelainan dasar penyakit tiroid otoimun terjadi didalam kelenjar tiroid sendiri,

didalam sistem imun atau keduanya.

2. Kalau terjadi sebagai akibat ketidakseimbangan sistem imun, apakah kelainan primer

terjadi pada fungsi sel T (aktifitas sel T supresor yang meningkat dan sel T helper yang

menurun atau sebaliknya).

3. Apakah terdapat pengaruh faktor genetik dan lingkungan pada tahap awal terjadinya

penyakit tiroid otoimun.

Kelenjar tiroid merupakan organ yang unik dimana proses otoimun dapat

menyebabkan kerusakan jaringan tiroid dan hipotiroidisme (pada tiroiditis Hashimoto)

atau menimbulkan stimulasi dan hipertiroidisme (pada penyakit Grave).

!
!
!10

!
Proses otoimun didalam kelenjar tiroid terjadi melalui 2 cara, yaitu :

1. Antibodi yang terbentuk berasal dari tempat yang jauh (diluar kelenjar tiroid) karena

pengaruh antigen tiroid spesifik sehingga terjadi imunitas humoral.

2. Zat-zat imun dilepaskan oleh sel-sel folikel kelenjar tiroid sendiri yang menimbulkan

imunitas seluler.

Antibodi ini bersifat spesifik, yang disebut sebagai Thyroid Stimulating Antibody (TSAb)

atau Thyroid Stimulating Imunoglobulin (TSI). Sekarang telah dikenal beberapa

stimulator tiroid yang berperan dalam proses terjadinya penyakit Grave, antara lain :

1. Long Acting Thyroid Stimulator (LATS)

2. Long Acting Thyroid Stimulator-Protector (LATS-P)

3. Human Thyroid Stimulator (HTS)

4. Human Thyroid Adenylate Cyclase Stimulator (HTACS)

5. Thyrotropin Displacement Activity (TDA)


Antibodi-antibodi ini berikatan dengan reseptor TSH yang terdapat pada membran sel

folikel kelenjar tiroid, sehingga merangsang peningkatan biosintesis hormon tiroid. Bukti

tentang adanya kelainan sel T supresor pada penyakit Grave berdasarkan hasil penelitian

Aoki dan kawan-kawan (1979), yang menunjukkan terjadinya penurunan aktifitas sel T

supresor pada penyakit Grave. Tao dan kawan-kawan (1985) membuktikan pula bahwa

pada penyakit Grave terjadi peningkatan aktifitas sel T helper.

Seperti diketahui bahwa dalam sistem imun , sel limfosit T dapat berperan sebagai

helper dalam proses produksi antibodi oleh sel limfosit B atau sebaliknya sebagai

supresor dalam menekan produksi antibodi tersebut.

!11

!
Tergantung pada tipe sel T mana yang paling dominan, maka produksi antibodi

spesifik oleh sel B dapat mengalami stimulasi atau supresi.

Kecenderungan penyakit tiroid otoimun terjadi pada satu keluarga telah diketahui

selama beberapa tahun terakhir. Beberapa hasil studi menyebutkan adanya peran Human

Leucocyte Antigen (HLA) tertentu terutama pada lokus B dan D. Grumet dan kawan-

kawan (1974) telah berhasil mendeteksi adanya HLA-B8 pada 47% penderita penyakit

Grave. Meningkatnya frekwensi haplotype HLA-B8 pada penyakit Grave diperkuat pula

oleh peneliti-peneliti lain. Studi terakhir menyebutkan bahwa peranan haplotype HLA-B8

pada penyakit Grave berbeda-beda diantara berbagai ras. Gray dan kawan-kawan (1985)

menyatakan bahwa peranan faktor lingkungan seperti trauma fisik, emosi, struktur

keluarga, kepribadian, dan kebiasaan hidup sehari-hari tidak terbukti berpengaruh

terhadap terjadinya penyakit Grave. Sangat menarik perhatian bahwa penyakit Grave

sering menjadi lebih berat pada kehamilan trimester pertama, sehingga insiden tertinggi

hipertiroidisme pada kehamilan akan ditemukan terutama pada kehamilan trimester

pertama. Sampai sekarang faktor penyebabnya belum diketahui dengan pasti.

Pada usia kehamilan yang lebih tua, penyakit Grave mempunyai kecenderungan untuk

remisi dan akan mengalami eksaserbasi pada periode postpartum. Tidak jarang seorang

penderita penyakit Grave yang secara klinis tenang sebelum hamil akan mengalami

hipertiroidisme pada awal kehamilan. Sebaliknya pada usia kehamilan yang lebih tua

yaitu pada trimester ketiga, respons imun ibu akan tertekan sehingga penderita sering

terlihat dalam keadaan remisi. Hal ini disebabkan karena terjadi perubahan sistem imun

ibu selama kehamilan.

!12

!
Pada kehamilan akan terjadi penurunan respons imun ibu yang diduga disebabkan

karena peningkatan aktifitas sel T supresor janin yang mengeluarkan faktor-faktor

supresor. Faktor-faktor supresor ini melewati sawar plasenta sehingga menekan sistem

imun ibu. Setelah plasenta terlepas, faktor-faktor supresor ini akan menghilang. Hal ini

dapat menerangkan mengapa terjadi eksaserbasi hipertiroidisme pada periode postpartum.

Setelah melahirkan terjadi peningkatan kadar TSAb yang mencapai puncaknya 3 sampai

4 bulan postpartum. Peningkatan ini juga dapat terjadi setelah abortus. Suatu survai yang

dilakukan oleh Amino dan kawan-kawan (1979-1980) menunjukkan bahwa 5,5% wanita

Jepang menderita tiroiditis postpartum. Gambaran klinis tiroiditis postpartum sering tidak

jelas dan sulit dideteksi. Tiroiditis postpartum biasanya terjadi 3-6 bulan setelah

melahirkan dengan manifestasi klinis berupa hipertiroidisme transien diikuti

hipotiroidisme dan kemudian kesembuhan spontan. Pada fase hipertiroidisme akan terjadi

peningkatan kadar T4 dan T3 serum dengan ambilan yodium radioaktif yang sangat

rendah (0 – 2%). Titer antibodi mikrosomal kadang-kadang sangat tinggi. Fase ini

biasanya berlangsung selama 1 – 3 bulan, kemudian diikuti oleh fase hipotiroidisme dan

kesembuhan, namun cenderung berulang pada kehamilan berikutnya. Terjadinya tiroiditis

postpartum diduga merupakan “rebound phenomenon” dari proses otoimun yang terjadi

setelah melahirkan.

B. Pengaruh hipertiroidisme terhadap kehamilan

Hipertiroidisme akan menimbulkan berbagai komplikasi baik terhadap ibu maupun

janin dan bayi yang akan dilahirkan.

!
!
!13

!
Komplikasi-komplikasi tersebut antara lain :

1. Komplikasi terhadap ibu :

A. Payah Jantung

Keadaan hipertiroidisme dalam kehamilan dapat meningkatkan morbiditas ibu

yang serius, terutama payah jantung. Mekanisme yang pasti tentang terjadinya

perubahan hemodinamika pada hipertiroidisme masih simpang siur. Terdapat

banyak bukti bahwa pengaruh jangka panjang dari peningkatan kadar hormon

tiroid dapat menimbulkan kerusakan miokard, kardiomegali dan disfungsi

ventrikel. Hormon tiroid dapat mempengaruhi miokard baik secara langsung

maupun tidak langsung.

Pengaruh langsung :

Hormon tiroid dapat mengakibatkan efek inotropik positip dan kronotropik

positip pada miokard melalui beberapa cara :

1. Komponen metabolisme :

a. Meningkatkan jumlah mitokondria

b. Meningkatkan sintesis protein terutama sintesis miosin yang

menyebabkan aktifitas ATPase miosin meningkat

c. Meningkatkan aktifitas pompa natrium pada sel-sel miokard

d. Meningkatkan ion kalsium miokard yang akan mempengaruhi

interaksi aktin-miosin dan menghasilkan eksitasi kontraksi miokard

e. Menyebabkan perubahan aktifitas adenilsiklase sehingga

meningkatkan kepekaan miokard terhadap katekolamin.

!
!14

!
2. Komponen simpul sinoatrial :

Terjadi pemendekan waktu repolarisasi dan waktu refrakter jaringan

atrium, sehingga depolarisasi menjadi lebih cepat. Hal ini menyebabkan

takikardia sinus dan fibrilasi atrium.

3. Komponen adrenoreseptor :

Pada hipertiroidisme, densitas adrenoreseptor pada jantung bertambah.

Hal ini dikarenakan pengaruh hormon tiroid terhadap interkonversi

reseptor alfa dan beta. Hipertiroidisme menyebabkan penambahan reseptor

beta dan pengurangan reseptor alfa.

Pengaruh tidak langsung :

1. Peningkatan metabolisme tubuh :

Hormon tiroid menyebabkan metabolisme tubuh meningkat dimana

terjadi vasodilatasi perifer, aliran darah yang cepat (hiperdinamik),

denyut jantung meningkat sehingga curah jantung bertambah.

2. Sistem simpato-adrenal :

Kelebihan hormon tiroid dapat menyebabkan peningkatan aktifitas

sistem simpato-adrenal melalui cara :

a) Peningkatan kadar katekolamin

b) Meningkatnya kepekaan miokard terhadap katekolamin

Secara klinis akan terjadi peningkatan fraksi ejeksi pada waktu istirahat,

dimana hal ini dapat pula disebabkan oleh kehamilan itu sendiri.

!15

!
Disfungsi ventrikel akan bertambah berat bila disertai dengan anemia,

preeklamsia atau infeksi. Faktor-faktor risiko ini sering terjadi bersamaan pada

wanita hamil. Davis,LE dan kawan-kawan menyebutkan bahwa payah jantung

lebih sering terjadi pada wanita hamil hipertiroidisme yang tidak terkontrol

terutama pada trimester terakhir.

B. Krisis tiroid

Salah satu komplikasi gawat yang dapat terjadi pada wanita hamil

dengan hipertiroidisme adalah krisis tiroid. Hal ini dapat terjadi karena adanya

faktor-faktor pencetus antara lain persalinan, tindakan operatif termasuk bedah

Caesar, trauma dan infeksi. Selain itu krisis tiroid dapat pula terjadi pada

pasien-pasien hipertiroidisme hamil yang tidak terdiagnosis atau mendapat

pengobatan yang tidak adekuat. Menurut laporan Davis LE dan kawan-kawan,

dari 342 penderita hipertiroidisme hamil, krisis tiroid terjadi pada 5 pasien

yang telah mendapat pengobatan anti tiroid, 1 pasien yang mendapat terapi

operatif , 7 pasien yang tidak terdiagnosis dan tidak mendapat pengobatan.

Krisis tiroid ditandai dengan manifestasi hipertiroidisme yang berat dan

hiperpireksia. Suhu tubuh dapat meningkat sampai 41oC disertai dengan

kegelisahan, agitasi, takikardia, payah jantung, mual muntah, diare,delirium,

psikosis, ikterus dan dehidrasi.

C. Tiroiditis postpartum

Tiroiditis postpartum adalah suatu kelainan otoimun yang ditandai dengan

tirotoksikosis transient diikuti dengan hipotiroidisme, akibat infiltrasi

limfositik didalam kelenjar tiroid.


!16

!
Gangguan faal tiroid pada keadaan ini bukan disebabkan karena adanya

antibodi terhadap reseptor TSH, melainkan karena terbentuknya antibodi

antithyroid peroxidase (anti TPO) pada awal kehamilan. Prevalensi tiroiditis

postpartum berbeda-beda tergantung posisi geografis dan ketersediaan iodium.

Di Eropa angka kejadiannya diperkirakan bervariasi dari 2 % sampai 8,7 %,

namun angka kejadiannya sangat tinggi (mencapai 25%) pada wanita-wanita

yang sebelumnya menderita DM tipe 1. Berdasarkan fakta ini , maka pada

setiap wanita dengan DM type 1 atau yang diketahui memiliki antiTPO yang

positif, hendaklah dievaluasi terhadap kemungkinan mengalami gangguan faal

tiroid (pemeriksaan kadar TSH) setiap 3 dan 6 bulan post partum.

Perjalanan penyakit tiroiditis postpartum yang klasik ditandai dengan 3 fase,

yaitu fase pertama, periode hipertiroid yang mulai terjadi 1 - 6 bulan setelah

melahirkan dan berakhir sekitar 1 - 2 bulan; fase kedua, periode hipotiroid

yang terjadi 4 - 6 bulan setelah melahirkan; dan fase ketiga, periode

penyembuhan yaitu sekitar 1 tahun setelah melahirkan. Pengobatan diberikan

sesuai gambaran klinis masing-masing fase diatas.

Gangguan faal tiroid pada tiroiditis post partum biasanya terjadi sementara,

dan kebanyakan wanita kembali eutiroid pada akhir tahun pertama setelah

melahirkan. Namun sebagian kecil (1 diantara 4 wanita) yang mengalami

tiroiditis postpartum, akan mengalami hipotiroid permanen. Oleh karena itu ,

direkomendasikan untuk setiap tahun dilakukan pemeriksaan kadar TSH pada

wanita-wanita yang memiliki riwayat tiroiditis post partum.

!
!17

!
2. Komplikasi terhadap janin dan neonatus :

Untuk memahami patogenesis terjadinya komplikasi hipertiroidisme pada

kehamilan terhadap janin dan neonatus, perlu kita ketahui mekanisme hubungan

ibu janin pada hipertiroidisme.

Sejak awal kehamilan terjadi perubahan-perubahan faal kelenjar tiroid

sebagaimana dijelaskan sebelumnya, sedangkan kelenjar tiroid janin baru mulai

berfungsi pada umur kehamilan minggu ke 12-16. Hubungan ibu janin dapat

dilihat pada gambar dibawah ini :

IBU HAMIL
JANIN

!
!
TSH tidak dapat melewati plasenta, sehingga baik TSH ibu maupun TSH janin

tidak saling mempengaruhi. Hormon tiroid baik T3 maupun T4 hanya dalam jumlah

sedikit yang dapat melewati plasenta. TSI atau TSAb dapat melewati plasenta dengan

mudah.

!18

!
Oleh karena itu bila kadar TSI pada ibu tinggi, maka ada kemungkinan terjadi

hipertiroidisme pada janin dan neonatus. Obat-obat anti tiroid seperti PTU dan Neo

Mercazole, zat-zat yodium radioaktif dan yodida, juga propranolol dapat dengan

mudah melewati plasenta.

Pemakaian obat-obat ini dapat mempengaruhi kehidupan dan perkembangan

janin. Pemakaian zat yodium radioaktif merupakan kontra indikasi pada wanita hamil

karena dapat menyebabkan hipotiroidisme permanen pada janin.

A. Hipertiroidisme janin dan neonatus :

Hipertiroidisme janin dapat terjadi karena transfer TSI melalui plasenta

terutama bila ibu hamil hipertiroidisme tidak mendapat pengobatan anti tiroid.

Hipertiroidisme janin dapat pula terjadi pada ibu hamil yang mendapat pengobatan

hormon tiroid setelah mengalami operasi tiroidektomi, sedangkan didalam serumnya

kadar TSI masih tinggi. Diagnosis ditegakkan dengan adanya peningkatan kadar TSI

ibu dan bunyi jantung janin yang tetap diatas 160 x per menit.

Kurang lebih 1% wanita hamil dengan riwayat penyakit Grave akan melahirkan bayi

dengan hipertiroidisme. Hipertiroidisme neonatus kadang-kadang tersembunyi,

biasanya berlangsung selama 2 sampai 3 bulan. Hipertiroidisme neonatus disertai

dengan mortalitas yang tinggi. Komplikasi jangka panjang pada bayi yang bertahan

hidup akan mengakibatkan terjadinya kraniosinostosis prematur yang menimbulkan

gangguan perkembangan otak. Kematian biasanya terjadi akibat kelahiran prematur,

berat badan lahir rendah dan penyakit jantung kongestif.

!19

!
Diagnosis hipertiroidisme neonatus ditegakkan atas dasar gambaran klinis dan

laboratorium. Adanya struma, eksoftalmos dan takikardia pada bayi yang hiperaktif

dengan kadar tiroksin serum yang meningkat sudah cukup untuk dipakai sebagai

pegangan diagnosis. Namun dapat pula terjadi gambaran klinis yang lain seperti

payah jantung, hepatosplenomegali, ikterus dan trombositopenia.

B. Hipotiroidisme janin dan neonatus

Penggunaan obat-obat anti tiroid selama kehamilan dapat menimbulkan

struma dan hipotiroidisme pada janin, karena dapat melewati sawar plasenta dan

memblokir faal tiroid janin. Penurunan kadar hormon tiroid janin akan mempengaruhi

sekresi TSH dan menyebabkan pembesaran kelenjar tiroid.

Menurut Cooper DS, frekuensi struma pada neonatus akibat pengobatan anti tiroid

pada wanita hamil diperkirakan 10%. Davis LE dan kawan-kawan melaporkan bahwa

dari 36 ibu hamil hipertiroidisme yang diobati dengan anti tiroid, terdapat 1 kasus

neonatus yang mengalami struma dan hipotiroidisme. Cheron dan kawan-kawan

dalam penelitiannya melaporkan bahwa hanya 1 dari 11 neonatus mengalami struma

dan hipotiroidisme setelah ibunya mendapat terapi PTU 400 mg perhari. Namun

walaupun 10 neonatus lainnya berada dalam keadaan eutiroid, terjadi pula penurunan

kadar tiroksin dan peningkatan kadar TSH yang ringan.

Hal ini menunjukkan telah terjadi hipotiroidisme transien pada 10 neonatus tersebut.

Penyebab hipotiroidisme janin yang lain adalah pemberian preparat yodida selama

kehamilan. Dosis yodida sebesar 12 mg perhari sudah dapat menimbulkan

hipotiroidisme pada janin. Hipotiroidisme akibat pemakaian yodida ini akan

menimbulkan struma yang besar dan dapat menyumbat saluran nafas janin.
!20

!
Untuk mendiagnosis hipotiroidisme pada janin, Perelman dan kawan-kawan

melakukannya dengan pemeriksaan contoh darah janin perkutan melalui bantuan

USG, yang menunjukkan kadar TSH yang tinggi dan kadar tiroksin yang rendah.

C. Diagnosis

1. Gambaran klinis

Secara klinis diagnosis hipertiroidisme dalam kehamilan sulit ditegakkan,

karena kehamilan itu sendiri dapat memberikan gambaran yang mirip dengan

hipertiroidisme. Pada kehamilan normal dapat ditemukan pula manifestasi

hiperdinamik dan hipermetabolik seperti pada keadaan hipertiroidisme. Disamping itu

penambahan berat badan yang terjadi pada kehamilan dapat menutupi gejala

penurunan berat badan yang terjadi pada hipertiroidisme. Oleh karena itu pegangan

klinis untuk diagnosis sebaiknya jangan dipakai.

Walaupun demikian pada seorang penderita hipertiroidisme Grave yang sudah

dikenal, gambaran klinis yang klasik dapat dipakai sebagai pegangan diagnosis. Tanda

klinis yang dapat digunakan sebagai pegangan diagnosis adalah adanya tremor,

kelainan mata yang non infiltratif atau yang infiltratif, berat badan menurun tanpa

diketahui sebabnya, miksedema lokal, miopati dan onikolisis. Semua keadaan ini

tidak pernah terjadi pada kehamilan normal. Bila nadi istirahat lebih dari 100 kali

permenit dan tidak melambat dengan perasat Valsalva, hal ini memberi kemungkinan

kuat adanya hipertiropidisme.

Pasien-pasien dengan hipertiroidisme hamil dapat mengalami hiperemesis gravidarum

yang hanya dapat diatasi dengan obat-obat anti tiroid.

!
!21

!
2. Laboratorium :

a) Kadar T4 dan T3 total

Kadar T4 total selama kehamilan normal dapat meningkat karena peningkatan

kadar TBG oleh pengaruh estrogen. Namun peningkatan kadar T4 total diatas 190

nmol/liter (15 ug/dl) menyokong diagnosis hipertiroidisme.

b) Kadar T4 bebas dan T3 bebas (fT4 dan fT3)

Pemeriksaan kadar fT4 dan fT3 merupakan prosedur yang tepat karena tidak

dipengaruhi oleh peningkatan kadar TBG.

Beberapa peneliti melaporkan bahwa kadar fT4 dan fT3 sedikit menurun pada

kehamilan, sehingga kadar yang normal saja mungkin sudah dapat menunjukkan

hipertiroidisme.

c) Indeks T4 bebas (fT4I)

Pemeriksaan fT4I sebagai suatu tes tidak langsung menunjukkan aktifitas tiroid

yang tidak dipengaruhi oleh kehamilan merupakan pilihan yang paling baik. Dari

segi biaya, pemeriksaan ini cukup mahal oleh karena dua pemeriksaan yang harus

dilakukan yaitu kadar fT4 dan T3 resin uptake (ambilan T3 radioaktif). Tetapi dari

segi diagnostik, pemeriksaan inilah yang paling baik pada saat ini.

d) Tes TRH

Tes ini sebenarnya sangat baik khususnya pada penderita hipertiroidisme hamil

dengan gejala samar-samar. Sayangnya untuk melakukan tes ini membutuhkan

waktu dan penderita harus disuntik TRH dulu.

!
!
!22

!
e) TSH basal sensitif

Pemeriksaan TSH basal sensitif pada saat ini sudah mulai populer sebagai tes

skrining penderita penyakit tiroid. Bukan hanya untuk diagnosis hipotiroidisme,

tetapi juga untuk hipertiroidisme termasuk yang subklinis. Dengan pengembangan

tes ini, maka tes TRH mulai banyak ditinggalkan.

f) Thyroid Stimulating Immunoglobulin (TSI)

Pemeriksaan kadar TSI dianggap cukup penting pada penderita hipertiroidisme

Grave hamil. Kadar yang tetap tinggi mempunyai 2 arti penting yaitu :

a. Menunjukkan bahwa apabila obat anti tiroid dihentikan, kemungkinan

besar penderita akan relaps. Dengan kata lain obat anti tiroid tidak

berhasil menekan proses otoimun.

b. Ada kemungkinan bayi akan menjadi hipertiroidisme, mengingat TSI

melewati plasenta dengan mudah.

D. Penatalaksanaan

Oleh karena yodium radioaktif merupakan kontra indikasi terhadap wanita

hamil, maka pengobatan hipertiroidisme dalam kehamilan terletak pada pilihan antara

penggunaan obat-obat anti tiroid dan tindakan pembedahan. Namun obat-obat anti

tiroid hendaklah dipertimbangkan sebagai pilihan pertama.

!
!
!
!
!
!23

!
1. Obat-obat anti tiroid

Obat-obat anti tiroid yang banyak digunakan adalah golongan tionamida yang

kerjanya menghambat sintesis hormon tiroid melalui blokade proses yodinasi molekul

tirosin.

Obat-obat anti tiroid juga bersifat imunosupresif dengan menekan produksi TSAb

melalui kerjanya mempengaruhi aktifitas sel T limfosit kelenjar tiroid.

Oleh karena obat ini tidak mempengaruhi pelepasan hormon tiroid, maka respons

klinis baru terjadi setelah hormon tiroid yang tersimpan dalam koloid habis terpakai.

Jadi waktu yang dibutuhkan untuk mencapai keadaan eutiroid tergantung dari jumlah

koloid yang terdapat didalam kelenjar tiroid. Pada umumnya perbaikan klinis sudah

dapat terlihat pada minggu pertama dan keadaan eutiroid baru tercapai setelah 4-6

minggu pengobatan.

Propylthiouracil (PTU) dan metimazol telah banyak digunakan pada wanita hamil

hipertiroidisme. Namun PTU mempunyai banyak kelebihan dibandingkan metimazol

antara lain :

a) PTU dapat menghambat perubahan T4 menjadi T3 disamping menghambat sintesis

hormon tiroid.

b) PTU lebih sedikit melewati plasenta dibandingkan metimazol karena PTU

mempunyai ikatan protein yang kuat dan sukar larut dalam air.

Selain itu terdapat bukti bahwa metimazol dapat menimbulkan aplasia cutis pada

bayi. Oleh karena itu, PTU merupakan obat pilihan pada pengobatan hipertiroidisme

dalam kehamilan.

!24

!
Pada awal kehamilan sebelum terbentuknya plasenta, dosis PTU dapat diberikan

seperti pada keadaan tidak hamil, dimulai dari dosis 100 sampai 150 mg setiap 8 jam.

Setelah keadaan terkontrol yang ditunjukkan dengan perbaikan klinis dan penurunan

kadar T4 serum, dosis hendaknya diturunkan sampai 50 mg 4 kali sehari. Bila sudah

tercapai keadaan eutiroid, dosis PTU diberikan 150 mg per hari dan setelah 3 minggu

diberikan 50 mg 2 kali sehari.

Pemeriksaan kadar T4 serum hendaknya dilakukan setiap bulan untuk memantau

perjalanan penyakit dan respons pengobatan. Pada trimester kedua dan ketiga, dosis

PTU sebaiknya diturunkan serendah mungkin.

Dosis PTU dibawah 300 mg per hari diyakini tidak menimbulkan gangguan faal

tiroid neonatus. Bahkan hasil penelitian Cheron menunjukkan bahwa dari 11 neonatus

hanya 1 yang mengalami hipotiroidisme setelah pemberian 400 mg PTU perhari pada

ibu hamil hipertiroidisme.

Namun keadaan hipertiroidisme maternal ringan masih dapat ditolerir oleh janin

daripada keadaan hipotiroidisme. Oleh karena itu kadar T4 dan T3 serum hendaknya

dipertahankan pada batas normal tertinggi.

Selama trimester ketiga dapat terjadi penurunan kadar TSAb secara spontan,

sehingga penurunan dosis PTU tidak menyebabkan eksaserbasi hipertiroidisme.

Bahkan pada kebanyakan pasien dapat terjadi remisi selama trimester ketiga, sehingga

kadang-kadang tidak diperlukan pemberian obat-obat anti tiroid.

!
!

!25

!
Namun Zakarija dan McKenzie menyatakan bahwa walaupun terjadi penurunan

kadar TSAb selama trimester ketiga, hal ini masih dapat menimbulkan hipertiroidisme

pada janin dan neonatus. Oleh karena itu dianjurkan untuk tetap meneruskan

pemberian PTU dosis rendah (100-200 mg perhari).

Dengan dosis ini diharapkan dapat memberikan perlindungan terhadap neonatus

dari keadaan hipertiroidisme.

Biasanya janin mengalami hipertiroidisme selama kehidupan intra uterin karena

ibu hamil yang hipertiroidisme tidak mendapat pengobatan atau mendapat pengobatan

anti tiroid yang tidak adekuat.

Bila keadaan hipertiroidisme masih belum dapat dikontrol dengan panduan

pengobatan diatas, dosis PTU dapat dinaikkan sampai 600 mg perhari dan diberikan

lebih sering, misalnya setiap 4 – 6 jam.

Alasan mengapa PTU masih dapat diberikan dengan dosis tinggi ini berdasarkan

hasil penelitian Gardner dan kawan-kawan bahwa kadar PTU didalam serum pada

trimester terakhir masih lebih rendah dibandingkan kadarnya post partum. Namun

dosis diatas 600 mg perhari tidak dianjurkan. Pemberian obat-obat anti tiroid pada

masa menyusui dapat pula mempengaruhi faal kelenjar tiroid neonatus. Metimazol

dapat dengan mudah melewati ASI sedangkan PTU lebih sukar. Oleh karena itu

metimazol tidak dianjurkan pada wanita yang sedang menyusui. Setelah pemberian 40

mg metimazol, sebanyak 70 ug melewati ASI dan sudah dapat mempengaruhi faal

tiroid neonatus. Sebaliknya hanya 100 ug PTU yang melewati ASI setelah pemberian

dosis 400 mg dan dengan dosis ini tidak menyebabkan gangguan faal tiroid neonatus.

!26

!
Menurut Lamberg dan kawan-kawan, PTU masih dapat diberikan pada masa

menyusui asalkan dosisnya tidak melebihi 150 mg perhari. Selain itu perlu dilakukan

pengawasan yang ketat terhadap faal tiroid neonatus.

2. Beta bloker

Gladstone melaporkan bahwa penggunaan propranolol dapat menyebabkan

plasenta yang kecil, hambatan pertumbuhan janin, gangguan respons terhadap

anoksia, bradikardia postnatal dan hipoglikemia pada neonatus.

Oleh karena itu propranolol tidak dianjurkan sebagai obat pilihan pertama

jangka panjang terhadap hipertiroidisme pada wanita hamil. Walaupun demikian

cukup banyak peneliti yang melaporkan bahwa pemberian beta bloker pada wanita

hamil cukup aman. Beta bloker dapat mempercepat pengendalian tirotoksikosis bila

dikombinasi dengan yodida. Kombinasi propranolol 40 mg tiap 6 jam dengan yodida

biasanya menghasilkan perbaikan klinis dalam 2 sampai 7 hari. Yodida secara cepat

menghambat ikatan yodida dalam molekul tiroglobulin (efek Wolff-Chaikoff) dan

memblokir sekresi hormon tiroid. Namun pengobatan yodida jangka panjang dapat

berakibat buruk karena menyebabkan struma dan hipotiroidisme pada janin. Sebagai

pengganti dapat diberikan larutan Lugol 5 tetes 2 kali sehari, tapi tidak boleh lebih

dari 1 minggu.

3. Tindakan operatif

Tiroidektomi subtotal pada wanita hamil sebaiknya ditunda sampai akhir


trimester pertama karena dikawatirkan akan meningkatkan risiko abortus spontan.
Lagipula tindakan operatif menimbulkan masalah tersendiri, antara lain :
a) Mempunyai risiko yang tinggi karena dapat terjadi komplikasi fatal akibat
pengaruh obat-obat anestesi baik terhadap ibu maupun janin.
!27

!
b) Dapat terjadi komplikasi pembedahan berupa paralisis nervus laryngeus,
hipoparatiroidisme dan hipotiroidisme yang sukar diatasi.
c) Tindakan operatif dapat mencetuskan terjadinya krisis tiroid.
Pembedahan hanya dilakukan terhadap mereka yang hipersensitif terhadap obat-obat

anti tiroid atau bila obat-obat tersebut tidak efektif dalam mengontrol keadaan

hipertiroidisme serta apabila terjadi gangguan mekanik akibat penekanan struma.

Sebelum dilakukan tindakan operatif, keadaan hipertiroisme harus dikendalikan

terlebih dahulu dengan obat-obat anti tiroid untuk menghindari terjadinya krisis tiroid.

Setelah operasi, pasien hendaknya diawasi secara ketat terhadap kemungkinan

terjadinya hipotiroidisme. Bila ditemukan tanda-tanda hipotiroidisme, dianjurkan

untuk diberikan suplementasi hormon tiroid.

!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!28

!
BAB IV
Simpulan
!
1. Hipertiroidisme dalam kehamilan lebih sering disebabkan oleh penyakit Grave
yang merupakan penyakit otoimun.
2. Diagnosis hipertiroidisme dalam kehamilan secara klinis sulit ditegakkan, oleh
karena itu perlu dibantu dengan pemeriksaan laboratorium penunjang.
3. Pemeriksaan laboratorium yang paling ideal adalah pemeriksaan fT4I, karena tidak
dipengaruhi oleh proses kehamilan.
4. Prioritas penatalaksanaan hipertiroidisme dalam kehamilan adalah dengan
pemberian obat-obat anti tiroid dan PTU merupakan obat pilihan yang paling
aman.
5. Propranolol dan preparat yodida hanya diberikan sebagai tambahan pada keadaan
hiperdinamik dan hipermetabolik yang berat dan tidak boleh diberikan lebih dari 1
minggu.
6. Tindakan operatif hanya dilakukan pada keadaan-keadaan :
a. Hipersensitif terhadap obat-obat anti tiroid
b. Obat anti tiroid tidak efektif dalam mengendalikan keadaan
hipertiroidismenya
c. Terjadi gangguan mekanik akibat penekanan struma
7. Tindakan operatif sebaiknya ditunda sampai akhir trimester pertama.
8. Terapi dengan yodium radioaktif merupakan kontraindikasi pada wanita hamil
karena dapat menimbulkan hipotiroidisme permanen pada janin.
!
!
!
!
!
!
!29

!
BAB V

Daftar pustaka

1. Alex Stagnaro-Green, et.al. Guidelines of the American Thyroid Association for

the Diagnosis and Management of Thyroid Disease During Pregnancy and

Postpartum. Thyroid 2011;21(10):1081-1121.

2. Cheron RG. Neonatal thyroid function after PTU therapy for maternal Graves’

disease. N Engl J Med.1981;304:525-528.

3. Davis LE. Thyrotoxicosis complicating pregnancy.Am J Obstet Gynecol.

1989;160:63-70.

4. Burrow GN, Fisher DA, Larsen PR. Maternal and fetal thyroid function. N Engl J

Med 1994;331:1072–8.

5. Glinoer D. The Regulation of Thyroid Function in Pregnancy: Pathways of

Endocrine Adaptation from Physiology to Pathology. Endocr Rev.1997;l8(3):

404-433.

6. Lazarus JH. Hyperthyroidism during pregnancy: etiology, diagnosis and

management. Women’s Health 2005;1:97-104

7. Casey BM, Dashe JS, Wells CE, McIntire DD, Leveno KJ, Cunningham FG.

Subclinical hyperthyroidism and pregnancy outcomes. Obstet Gynecol

2006;107:337-41.

8. Glinoer D. Thyroid dysfunction in the pregnant patient. (Chapter 14.) In: Thyroid

disease manager. 2007. www.thyroidmanager.org/ Chapter14/14-frame.htm

!30

!
9. Laurberg P, et.al. Management of Graves’ hyperthyroidism in pregnancy: focus on

both maternal and foetal thyroid function, and caution against surgical

thyroidectomy in pregnancy. European Journal of Endocrinology 2009;160: 1–8.

10. Meczekalski B, Czyzyk A. Hyperthyroidism in pregnancy. Diagnosis and

management. Archives of Perinatal Medicine 2009;15(3):127-135

!
!
!
!
!
!
!
!
!
!

!31

Anda mungkin juga menyukai