Anda di halaman 1dari 39

LAPORAN PRAKTIKUM

PENGETAHUAN BAHAN PANGAN

ACARA I
SAYUR DAN BUAH-BUAHAN

Kelompok 6
Penanggung Jawab :

Auliarahma Prabowo P (A1F018077)


Rifki Dwi Prastomo (A1F018089)

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDRAL SOEDIRMAN
FAKULTAS PERTANIAN
PURWOKERTO
2019
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sayur dan buah merupakan bahan pangan yang paling sering dijumpai.
Tanaman atau tumbuhan ini juga mudah dijumpai di manap pun bahkan juga dapat
dengan mudah dibudidayakan. Sayur bagi orang Indonesia merupakan bahan pangan
pelengkap ketika memasak sebuah hidangan dan begitu pun juga dengan buah.
Sayur dan buah di dunia sangat banyak jenisnya, bahkan di Indonesia pun jenis
buah dan sayur sangat banyak. Kesuburan tanah di Indonesia yang membuat para
warga negaranya senang bercocok tanam. Beberapa jenis sayur yang ditanam di
Indonesia antara lain: kentang, cabai, cesim, lobak, wortel, muncang, sledri, kangkung,
sawi, terong, tomat, dan masih banyak lainnya. Kemudian, buah-buahan juga banyak
ditanam di tanah Ibu Pertiwi ini, antara lain: durian, apel, jeruk, jambu, pepaya, pisang,
manga, dukuh, matoa, dan lain sebagainya.
Setiap buah dan sayur memiliki kandungan gizi yang berbeda-beda. Namun,
semuanya baik untuk dikonsumsi bagi tubuh. Tubuh membutuhkan asupan gizi dari
buah dan sayur untuk memenuhi kebutuhan gizi dalam tubuh. Senyawa gizi yang
dikandung dalam buah dan sayur antara lain, vitamin, protein, karbohidrat, mineral,
antioksidan, dan masih banyak lainnya.
Struktur buah terdiri dari daging, kulit, dan biji. Sedangkan sayur tergantung
pada jenisnya, adapun jenis sayuran yaitu sayuran daun, sayuran umbi, sayuran buah,
dan sayuran batang. Sayuran dapat dimanfaatkan tergantung kepada kebutuhannya.
Tentunya tidak semua bagian buah dan sayur dapat dimakan. Ada yang memang harus
dibuang atau disisihkan karena tidak bisa dikonsumsi. Maka dari itu, penetapan bagian
buah dan sayur yang dapat dikonsumsi sangat penting.
Buah dan sayur juga dapat memiliki sifat biologi, fisik, maupun kimia.
Tentunya sifat setiap jenis bahan berbeda-beda. Seperti pada buah yang terkenal
dengan reaksi browning enzimatisnya. Reaksi ini dikarenakan adanya aktivitas enzim
polifenoloksidase yang mengalami kontak dengan substratnya sehingga menyebabkan
penampilan fisik dari buah berubah menjadi kecoklatan.
Pada buah dan sayur mengandung senyawa pektin yang dimana senyawa
tersebut dapat mengakibatkan penjendalan atau pembentukan jelly pada bahan pangan.
Ini sangat bermanfaat karena dapat dijadikan salah satu diversifikasi dalam bidang
pangan dengan merubah bentuk penampilan dan dengan sedikit modifikasi terhadap
bahan pangan tersebut sehingga dapat menghasilkan pangan yang baru yang dapat
dikonsumsi.

B. Tujuan

1. Menetapkan persen berat bagian buah dan sayur yang dapat dimakan terhadap
berat utuh.
2. Menetapkan pH dan total asam tertitrasi buah dan sayur
3. Mengetahui cara pencegahan pencoklatan enzimatis
4. Menguji kualitatif pektin pada buah dan sayur
5. Mengetahui cara pembuatan jelly buah
II. TINJAUAN PUSTAKA

Sayuran adalah sumber vitamin, mineral dan serat pangan. Sayuran dan buah-
buahan merupakan sumber serat pangan yang sangat mudah ditemukan dalam bahan
makanan. Sayuran merupakan menu yang hampir selalu terdapat dalam hidangan
sehari-hari masyarakat Indonesia (Santoso, 2011).
Buah dan sayur mengandung protein dan asam amino yang relatif cukup rendah
sehingga tidak diposisikan sebagai sumber protein bagi manusia. Umumnya buah dan
sayur dijadikan sebagai sumber vitamin dan mineral (Pardede, 2013).
Secara garis besar komponen kimia buah dan sayur terdiri dari: air, karbohidrat,
protein, vitamin dan mineral, serta sedikit lipid. Buah dan sayur mengandung air yyang
cukup tinggi, berkisar antara 80-90%. Karbohidrat dalam bentuk fruktosa dan glukosa
banyak dijumpai pada kelompok buah, sedangkan pati dijumpai pada sayuran yang
berasal dari umbi (Ichsan et al., 2015).
Klorofil merupakan pigmen warna hijau, secara alami berangsur hilang selama
proses penuaan buah dan sayur. Klorofil juga bersifat sensitif terhadap panas, sehingga
proses pengolahan yang melibatkan panas menyebabkan kerusakan warna sayur
hijauan. Untuk mempertahankan warna hijau sayuran penambahan garam sodium
sering dilakukan. Bentuk garam klorofil yakni Sodium copper chlorophyl, yang
diperoleh lewat hidrolisis klorofil dengan NaOH dan penggunaan tembaga (copper)
menggantikan magnesium, merupakan bentuk warna yang stabil (Pardede, 2013).
Wortel merupakan sayuran yang multi khasiat bagi kesehatan masyarakat. Di
Indonesia wortel dapat dianjurkan sebagai bahan pangan potensial untuk mengentaskan
masalah penyakit kurang vitamin A karena kandungan karoten (pro vitamin A) pada
wortel dapat mencegah penyakit rabun senja (buta ayam) dan masalah kurang gizi. Beta
karoten di dalam tubuh akan diubah menjadi vitamin A, zat gizi yang sangat penting
untuk fungsi retina (Astarina, 2010).
Wortel membutuhkan tempat yang sejuk untuk pertumbuhan terbaiknya.
Wortel dapat di tanam pada bagian ujung batangnya dan pada bagian bawah wortel.
Wortel tumbuh di dalam tanah (tertanam) sebagai umbi akar. Umbi akar ini dapat
ditanam lagi dan bisa menghasilkan buah wortel yang baru (Sutanti dan Mutiara, 2017).
Manfaat wortel adalah sebagai salah satu cara pencegahan dari penyakit
jantung, penangkal kanker, dan untuk menurunkan kadar kolesterol dalam tubuh.
Manfaat betakaroten yang sangat diperlukan oleh tubuh. Wortel sangat dianjurkan
untuk dikonsumsi oleh anak- anak maupun dewasa karena manfaat wortel yang kaya
vitamin C, vitamin K, dan potasium. Selain menyehatkan organ mata, wortel dapat
membantu menurunkan kolesterol darah. Wortel penuh dengan serat larut yang
mengikat asam empedu sehingga mengurangi kolesterol (Putri et al.,2013).
Labu siam merupakan sayuran yang tumbuh pada subtropis selain sebagai
makanan juga digunakan sebagai obat. Labu siam banyak dikonsumsi masyarakat
karena harganya cukup murah serta rasanya enak dan dingin . Kandungan kalium
dalam labu siam diketahui memiliki efek diuretik sehingga dapat menurunkan kadar
garam dalam darah melalui ekskresi urin (Juliyanto, 2012).
Asam tertitrasi dihitung sebagai kadar asam yang dominan di dalam buah. Nilai
asam tertitrasi yang semakin tinggi menunjukkan keasaman yang semakin tinggi.
Kandungan asam dapat digunakan sebagai indikator kematangan buah. Kandungan
asam buah akan menurun pada saat buah semakin matang (Hasmoro, 2014) .
Buah biasanya memiliki pH rendah atau pH< 7 (asam) sedangkan sayur
biasanya memiliki pH> 7 (basa). Pengukuran pH dilakukan dengan menggunakan pH
meter dengan duplo sampel (Angelia, 2017).
Buah-buahan merupakan salah satu kebutuhan pangan sekunder bagi
masyarakat. Tanaman yang sebagian besar merupakan tanaman perkebunan. Tanaman
perkebunan ini memiliki nilai gizi yang cukup tinggi bahkan ada beberapa buah-buahan
yang kandungan gizinya hanya dimiliki oleh buah tersebut. Begitu banyaknya jenis
buah-buahan yang ada di dunia, Tim Uji dari LIPI (2009) memberikan definisi buah-
buahan lokal atau buah-buahan “asli Indonesia” merupakan jenis buah-buhaan lokal
yang tumbuh secara alami ataupun yang berasal dari kawasan Indonesia. Jenis buah
yang tumbuh di Indonesia sebagian besar adalah jenis buah tropis.
Buah tropis terdiri atas buah-buhan dataran rendah tropis iklim basah, buah-
buahan dataran tinggi tropis iklim basah, dan buah-buhan dataran rendah iklim kering.
Jenis buah-buhan dataran rendah tropis iklim basah antara lain, duku, nangka,
semangka, pisang, salak, pepaya, sirsak, durian, lengkeng, dan manggis. Jenis buah-
buahan dataran tinggi tropis iklim basah antara lain, nanas, markisa, dan alpukat Jenis
buah-buhan dataran rendah iklim kering antara lain, manga dan anggur (Sunarjono,
2009).
Buah-buahan terkenal dengan kandungan zat gizinya ataupun senyawa yang
bermanfaat di dalamnya seperti vitamin, gula, serat, zat besi, pektin, betakaroten dan
lain-lain. Setiap buah memiliki kandungan gizinya masing-masing. Seperti pektin,
tidak semua buah mengandung pektin. Menurut Hanum et al. (2012), pektin adalah
suatu komponen serat yang terdapat pada lapisan lamella tengah dan dinding sel
polimer pada tanaman yang berupa asam poligalakturonat yang mengandung metil
ester. Sedangkan menurut Willat et al. (2009), pektin juga merupakan pangan
fungsional tinggi yang berguna secara luas dalam pembentukan gel dan bahan penstabil
pada sari buah, bahan pembuatan jelly, selai, dan marmalade.
Dalam jaringan tanaman pektin berada sebagai protopektin yang bersifat tidak
larut dalam air karena berada sebagai garam kalsium dan magnesium. Teori ini
diperkuat dengan adanya kemampuan pektin membentuk garam yang tidak larut dalam
Ca dan Mg. Hidrolisis protopektin dalam air diasamkan akan menghasilkan pektin
yang bersifat larut dalam air. Hal ini terjadi karena adanya substitusi ion hidrogen pada
Ca dan Mg (Sulihono et al., 2012).
Mata et al. (2009) menambahkan, pektin merupakan salah satu senyawa yang
terdapat pada dinding sel tumbuhan daratan. Pektin merupakan polimer dari asam D-
galakturonat yang dihubungkan oleh ikatan 1,4 glikosidik dan banyak terdapat pada
lamella tengah dinding sel tumbuhan. Sebagian gugus karboksil pada polimer pektin
mengalami esterifikasi dengan metil menjadi gugus metoksil. Bila didasarkan pada
derajat esterifikasinyanya, maka pektin dapat diklasifikasikan menjadi high methoxyl
pectin (HMP) dan low methoxyl pectin (LMP). HMP memiliki derajat esterifikasi lebih
dari 50%, sedangkan LMP mempunyai derajat esterifikasi kurang dari 50%
Sulihono et al. (2012) juga menambahkan, kadar pektin pada setiap tanaman
berbeda-beda. Pektin bersifat mudah menjadi jelly jika ditambahkan gula dan air dalam
keadaan asam. Namun sifat mudah menjadi jelly ini sangat tergantung pada jumlah
gugus metoksil dalam molekulnya. Semakin tinggi kadar metoksilnya, maka semakin
cepat pektin menjadi jelly.
Sedangkan menurut Subagyo dan Achmad (2010), pektin (Pechtos, Yunani)
umumnya terdapat di dalam dinding sel primer tanaman, di sela-sela sellulose dan
hemisellulose, dan berfungsi sebagai perekat antara dinding sel yang berdekatan
(middle lamella). Pektin atau dikenal sebagai asam poligalakturonat, mengandung 3-
16 % gugus mektosil, dapat larut dalam air, membentuk jelly dan gula dalam suasana
asam. Senyawa penyusun pektin, yaitu:
a. Asam Pektat, adalah pektin yang tidak mengandung gugus metil ester,
biasanya terdapat pada sayuran dan buah yang busuk atau yang terlalu
matang. Keberadaan dalam tanaman sebagai kalsium atau magnesium
pektat
b. Asam Pektina (Pektin), adalah asam poligalakturonat , yaitu asam yang
mengandung gugus metil ester, dapat terikat dengan air membentuk
jelly dan gula dalam suasana asam
c. Protopektin, adalah komponen yang tidak larut dalam air, dapat
dihidrolisa dan terdespersi menjadi pektin dan pektinat. Hal tersebut
yang menyebabkan jaringan buah atau sayur menjadi empuk (lunak)
saat dimasak dengan air panas.
Buah dapat berubah karena kandungan-kandungan tertentu. Di dalam buah juga
terdapat enzim-enzim yang dapat merubah penampilan buah baik secara biologis, fisik,
maupun kimiawi. Reaksi enzimatis seperti pembusukan dan pencoklatan dapat terjadi
pada buah. Reaksi pencoklatan pada buah dapat dijumpai ketika penampilan fisik buah
terdapat warna kecoklatan baik pada kulit ataupun pada daging buahnya.
Menurut Azis (2016), reaksi pencoklatan secara enzimatis (browning)
maskudnya adalah terbentuknya warna coklat pada bahan pangan secara alami atau
karena proses tertentu. Trinawati et al., (2012) menambahkan, proses yang dimaksud
adalah terjadinya oksidasi senyawa-senyawa fenol dan polifenol oleh enzim fenolase
dan polifenolase membentuk quinon, yang selanjutnya berpolimerisasi membentuk
melanin (pigmen berwarna coklat). Untuk terjadinya reaksi pencoklatan enzimatis
diperlukan empat komponen fenolase dan polifenolase (enzim), senyawa-senyawa
fenol dan polifenol (substrat), oksigen dan ion tembaga yang merupakan aktif enzim.
Selain pencoklatan atau browning secara enzimatis terdapat juga pencoklatan
atau browning non enzimatis, terutama karena adanya reaksi Mailard. Reaksi Mailard
adalah reaksi yang terjadi antara gula pereduksi (melalui sisi keton dan aldehid yang
reaktif) dengan asam-amino (melalui gugus amina). Reaksi ini bantak terjadi setelah
penyimpanan bahan pangan dan reaksi non enzimatis lainnya adalah karamelisasi dan
oksidasi asam askorbat (Harianingsih, 2010).
Reaksi pencoklatan atau browning dapat dicegah dengan mengenakan
senyawa-senyawa anti pencoklatan antara lain senyawa-senyawa sulfit, asam-asam
organik dan dengan blanching/blansir. Anonim (2016) menjelaskan bahwa metode
blanching/blansir merupakan suatu cara atau perlakuan pemanasan tipe pasteurisasi
yang dilakukan pada suhu kurang dari 100ºC selama beberapa menit dengan
menggunakan air panas atau uap, denga blanching/blansir dapat menonaktifkan enzim
dalam bahan pangan seperti enzim peroksidase dan katalase sehingga reaksi browning
dapat dicegah.
III. METODE

A. Alat dan Bahan

 Alat :
- Timbangan
- Pisau
- Talenan
- Ph meter
- Nampan
- Baskom
- Alat – Alat gelas
- Gelas ukur
- Kompor
- Kertas saring
- Tabung reaksi

 Bahan:
- Nanas
- Pepaya
- Salak
- Ubi Jalar putih
- Wortel
- Labu siam
- Apel
- Pir
- Pisang
- Jambu bii
- Aquades
- Larutan Nacl 1%
- Larutan NaOH pH 7-7,5
- Larutan asam sitrat pH 3-3,5

B. Prosedur Kerja

 Penetapan Bagian Buah dan Sayuran yang Dapat Dimakan

Bahan ditimbang

Dipisahkan bagian yang dapat dimakan dengan yang tidak

Bagian yang dapat dimakan ditimmbang dan dinyatakan % berat terhadap


bahan utuh

 Penetapan pH dan Total Asam Tertitrasi


 Penetapan pH

Buah dihaluskan dengan blender dan disaring dengan kertas saring

Filtrate ditentukan pHnya dengan pH meter diulang 3 kali dan nilai pH


dihitung rata – rata
 Penetapan Total Asam Tertitrasi

Filtrate hasil penyaringan (berat bahan 100 ditambah air 100 ml) ditetapkan
volume total filtrate Xml

25ml filtrate dititrasi dengan larutan NaOH 0,1 N dengan indicator PP


sebanyak 3 tetes sampai tepat perubahan merah muda yang stabil, P ml
NaOH

Total asam tertitrasi dinyatakan sebagai ml NaOH 0,1 N per 100g bahan

 Pencegahan Pencoklatan Enzimatis

Bahan diiris tipis - tipis

Direndam masing – masing bahan didalam 4 larutan selama 10 menit dan uji
dengan aquades

Diamati perubahan yang terjadi

iam
 Uji Kualitatif Pektin

Buah dihaluskan dengan blender dan disaring

Dimasukan 1ml cairan buah kedalam tabung reaksi

Ditambah etanol 1ml 70% dan diamati terjadinya koloid tersuspensi

Banyak koloid berarti relative tinggi protein

 Uji Penjendalan Pektin ( Pembuatan Jelly Buah)

Diambil 50ml filtrate

Ditambah gula pasir 30 -40g

Diatur pH nya dengan larutan asam sitrat sampai 3,5


Dipanaskan sambil diaduk perlahan

Diamati jendal (jelly) yang terbentuk


IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

 Penetapan Bagian Buah dan Sayuran yang Dapat Dimakan

No Bahan Berat utuh Berat yang dapat dimakan


(gr)
gr %

1. Nanas 400 170 42,5

2. Pepaya 1234 1114 90,27

3. Salak 62 40 64,52

4. Wortel 105 90 85,71

5. Labu siam 199 164 82,41

6. Ubi jalar 199 184 92,46

𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑎𝑝𝑎𝑡 𝑑𝑖𝑚𝑎𝑘𝑎𝑛


% Berat yang dapat dimakan = 𝑥100%
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑢𝑡𝑢ℎ
170
- % Berat Nanas = 400 𝑥100%

= 42,5%
1114
- % Berat Pepaya = 1234 𝑥100%

= 90,27 %
40
- % Berat Salak = 62 𝑥100%

= 64,52%
90
- % Berat Wortel =105 𝑥100%
= 85,71%
164
- % Berat Labu siam = 199 𝑥100%

= 82,41%
184
- % Berat Ubi Jalar = 199 𝑥100%

= 92,46%

 Penetapan pH dan Total Asam Tertitrasi

 pH

No Bahan Pengukuran Rata – rata


I II III
1. Pepaya 6,6 6,6 6,6 6,6

2. Ubi jalar putih 6,4 6,5 6,6 6,5

3. Salak 2,8 3,4 3,4 3,2

4. Wortel 6,4 6,3 6,3 6,33

5. Nanas 4,9 5,0 5,3 5,07

6. Labu siam 6,5 6,7 6,8 6,67

I+II+III
Perhitungan : (Hasil pengukuran)
3
6,6+6,6+6,6
- Pepaya = = 6,6
3
6,4+6,5+6,6
- Ubi jalar putih = = 6,5
3
2,8+3,4+3,4
- Salak = = 3,2
3
6,4+6,3+6,3
- Wortel = = 6,33
3
4,9+5,0+5,3
- Nanas = = 5,07
3
6,5+6,7+6,8
- Labu siam = = 6,67
3

 Total Asam Terititrasi

No Bahan ml filtrate (ml) ml NaOH Hasil (ml)


0,1N
1. Pepaya 107 7,9 33,81

2. Ubi jalar putih 80 6,2 19,84

3. Salak 65 24,2 62,92

4. Wortel 132 7,3 38,54

5. Nanas 151 9,8 59,192

6. Labu siam 49,5 2,9 5,7

ml filtrat
Perhitungan = x ml NaOH
25
107
- Pepaya = x 7,3 ml NaOH = 33,8 ml
25
80
- Ubi jalar putih = 25 x 62 ml NaOH = 19,84 ml
65
- Salak = 25 x 24,2 ml NaOH = 62,92 ml
132
- Wortel = 25 x 7,3 ml NaOH = 38,54 ml
151
- Nanas = x 9,8 ml NaOH = 59,192 ml
25
49,5
- Labu siam = x 2,9 ml NaOH = 5,7 ml
25
 Pencegahan Pencoklatan Enzimatis

No. Bahan NaCl % NaOH Asam Sitrat Aquades

1. Apel 3 4 1 1

2. Ubi Jalar Putih 1 3 2 1

3. Salak 3 4 1 1

4. Pir 1 3 1 1

5. Pisang 1 3 1 1

6. Jambu Biji 1 3 1 1

Keterangan :
1. Warna Asli
2. Kurang Coklat
3. Agak Coklat
4. Coklat Kehitaman

 Uji Kualitatif Pektin

No. Bahan Koloid yang Terbentuk

1. Pepaya +++++

2. Labu Siam +

3. Wortel +
4. Nanas ++++

5. Ubi Jalar Putih ++

6. Apel +++++

Keterangan :
+++++ = Sangat Banyak
++++ = Banyak
+++ = Sedang
++ = Sedikit
+ = Sangat Sedikit

 Uji Penjendalan Pektin

No. Bahan Jelly yang Terbentuk

1. Nanas +++

2. Pepaya ++++

3. Labu Siam ++

4. Wortel +

5. Apel +++

6. Ubi Jalar Putih +++

Keterangan :
++++ = Sangat Menjendal
+++ = Menjendal
++ = Agak Menjendal
+ = Tidak Menjendal
B. Pembahasan

Pada penetapan bagian buah dan sayur dilakukan terhadap 6 bahan yaitu Nanas,
Pepaya, Salak, Wortel, Labu siam,dan Ubi jalar. Dimana diperlukan menimbang buah
dan sayuran tersebut dalam keadaan utuh tanpa pengupasan, lalu memisahkan bagian
yang dapat dimakan serta didapatkan berat penimbangannya. Berat buah dan sayur
yang dapat dimakan dibandingkan dengan berat utuh buah dan nilainya dikali 100%..
Perlakuan tersebut adalah untuk mendapatkan %rendemen berat buah dan telah
didapatkan data hasil perhitungan dari perlakuan yaitu Nanas 42,5% , Pepaya 90,27%,
Salak 64,52%, Wortel 85,71%, Labu siam 82,41% dan Ubi jalar 92,46%.
Dari data tersebut dapat diketahui bahwa setiap jenis buah dan sayur memiliki
bagian yang berbeda – beda serta bagian buah tersebutlah mempengaruhi persentase
rendemen berat. Misalnya semakin tebal kulit buah maupun sayur maka semakin
sedikit bagian yang dapat diperoleh. Diketahui pula bedasarkan data bahwa Ubi jalar
merupakan yang memiliki persentase rendemen berat terbesar dikarenakan
perbandingan berat utuh dan berat yang dapat dimakan tidak jauh beda. Rendemen
adalah perbandingan antara ekstrak yang diperoleh dengan simplisia awal. Rendemen
menggunakan satuan persen (%), semakin tinggi nilai rendemen yang dihasilkan
menandakan nilai ekstrak yang dihasilkan semakin banyak (Armando, 2009).
Pada penetapan pH dan Total asam tertitrasi dilakukan 3 kali pengukuran pH
pada setiap bahannya dan diperoleh nilai pH rata- ratanya. Buah biasanya memiliki pH
rendah atau pH< 7 (asam). Pengukuran pH dilakukan dengan menggunakan pH meter
dengan duplo sampel (Angelia, 2017).
Bedasarkan data yang diperoleh pada praktikum pH dengan rata – rata yaitu pH
Pepaya 6,6 , pH Ubi jalar putih 6,5 , pH Salak 3,2 , pH Wortel 6,33, pH Nanas 5,07
dan pH Labu siam 6,67. Dengan data tersebut dapat diketahui bahwa rata – rata pH
yang paling rendah yaitu pada buah Salak dengan pH 3,2 berarti dapat diketahui bahwa
buah salak memiliki kandungan asam yang besar.
Nilai pH ditentukan oleh banyak sedikitnya asam yang terdapat dalam bahan.
Jika total asam rendah, maka pH akan cenderung menunjukkan nilai yang tinggi
(Pertiwi dan Susanto, 2014).
Pada proses pengamatan Total asam tertitrasi dengan NaOH 0,1 N dengan hasil
titrasi yaitu Pepaya 33,81 ml, Ubi jalar putih 19,84 ml, Salak 62,92 ml, Wortel 38,54,
Nanas 59,192ml dan total asam titrasi terkecil pada labu siam 5,7 ml. Asam tertitrasi
dihitung sebagai kadar asam yang dominan di dalam buah. Hasil pengukuran TAT lebih
relevan dari nilai pH dalam penggunaanya untuk mengetahui jumlah asam organik pada buah
dan sayur (Pardede, 2013).
Nilai asam tertitrasi yang semakin tinggi menunjukkan keasaman yang semakin
tinggi. Kandungan asam dapat digunakan sebagai indikator kematangan buah.
Kandungan asam buah akan menurun pada saat buah semakin matang (Hasmoro,
2014).
 Pencegahan Pencoklatan Enzimatis

Pada pelakuan pengujian reaksi enzimatis pada beberapa bahan pangan


dimaksudkan untuk mengetahui seberapa reaktif reaksi enzimatis dengan beberapa
larutan yang diujikan. Bahan pangan yang diuji dalam percobaan ini adalah apel
(Malus), ubi jalar putih (Ipomoea batatas L.), salak (Salacca zalacca), pir (Pyrus),
pisang (Musa sp.), dan jambu biji (Psidium guajava). Dimana setipa bahan pangan
yang diujikan memiliki karakteristik tersendiri dan tentunya juga mengandung
senyawa yang berbeda-beda yang tentunya akan mempengaruhi hasil perlakuan. Selain
itu, terdapat beberapa larutan yang coba diujikan pada perlakuan ini yaitu NaCl 1%,
NaOH, asam sitrat (C6H8O7), dan Aquades.
Dalam pengujian ini langkah-langkah yang harus dilakukan adalah pertama-tama
bahan pangan dikupas terlebih dahulu dari kulitnya, kemudian dicuci menggunakan
aquades. Setelah itu disiapkan empat gelas yang berisi larutan NaCl 1%, NaOH, asam
sitrat (C6H8O7), dan Aquades. Setelah direndam selama lima belas menit kemudai
diamati perubahan yang terjadi. Memang terlihat setelah direndam terdapat perubahan
yang berbeda disetiap bahan pangan. Untuk mempermudah pengamatan diberikan
indeks khusus, ketika bernilai 1 artinya adalah warna asli, ketika bernilai 2 artinya
adalah kurang coklat, ketika bernilai 3 artinya adalah agak coklat, dan ketika bernilai
4 artinya adalah coklat kehitaman.
Pada larutan NaCl 1% didapat indeks apel bernilai 3 yang artinya agak coklat
kemudian pada salak juga berindeks 3 yang menandakan bahwa telah terjadi reaksi
enzimatis di kedua bahan pangan tersebut. Namun, pada beberapa bahan pangan
lainnya seperti ubi jalar putih, pir, pisang, dan jambu biji berindeks 1 yang artinya
warna asli. Warna asli menandakan bahwa setelah direndam dengan NaCl 1% bahan
pangan tersebut tidak mengalami reaski pencoklatan enzimatis.
Azis (2016) menjelaskan bahwa NaCl sebenarnya dapat menyebabkan pencoklatan
enzimatis pada bahan pangan. Namun dengan catatan terjadi pada konsentrasi tertentu
dan pada waktu tertentu. Seperti pada percobaannya terhadap buah pir yang diujikan
dengan larutan NaCl dan direndam selama 30 menit, namun dengan konsentrasi yang
lebih tinggi yaitu, > 5%. Pada hasil percobaannya didapati bahwa buah pir tersebut
mengalami reaksi enzimatis dan mengalami pencoklatan.
Namun, pada praktikum kali ini ada beberapa bahan pangan yang tidak mengalami
reaski enzimatis. Faktor yang mungkin dapat berpengaruh akan perbedaan tersebut
adalah kecepatan dan kelincahan dalam perlakuan. Kemungkinan pada perlakuan buah
apel dan buah salak sebelum dimasukan ke dalam larutan NaCl sudah terkontaminasi
terlebih dahulu dengan oksigen atau udara sekitar. Sehingga menyebabkan reaksi
enzimatis terjadi, karena pada percobaan Azis didapati buah dapat mengalami reaksi
pencoklatan enzimatis dengan NaCL terjadi pada konsentrasi larutan yang tinggi dan
dengan waktu yang lebih lama dari pengujian praktikum ini.
Kemudian untuk pengujian pada larutan NaOH didapati semua bahan pangan
mengalami rekasi pencoklatan enzimatis. Hal ini dikarenakan larutan NaOH mampu
menyiapkan substrat agar lebih mudah bereaksi dengan enzim polifenoloksidase
(Chasanah et al., 2013). Ketika substrat meningkat maka aktivitas enzim
polifenoloksidase pun juga akan meningkat. Sehingga hal itu akan mempercepat reaksi
pencoklatan enzimatis dan terbukti ketika semua bahan pangan direndam di dalam
larutan NaOH semuanya mengalami reaksi pencoklatan enzimatis dengan cepat.
Blackwell (2012) menambahkan bahwa, semua bahan yang dimasukkan ke dalam
NaOH akan mengalami pencoklatan enzimatis dikarenakan enzim melakukan kontak
dengan substrat tertentu menjadi 3,4-dihidroksifenilalanin (DOPA) dan dioksidasi
menjadi kuinon oleh enzim fenolase.
Percobaan selanjutnya adalah dengan larutan asam sitrat dan didapati hasil bahwa
semua bahan pangan tidak mengalami reaksi pencoklatan enzimatis. Gusviputri et al.
(2013) menjelaskan bahwa, sifat asam sitrat mampu mencegah atau menghambat reaksi
browning. Sehingga ketika bahan pangan direndam ke dalam asam sitrat tidak terjadi
reaksi pencoklatan karena adanya penghambatan dari asam sitrat. Arsa (2016)
memperjelas hal tersebut bahwa, ketika dimasukkan ke dalam asam sitrat reaksi
pencoklatan akan terhambat karena di dalam asam sitrat mengandung tiga gugus
karboksilat dan satu gugus hidroksil yang terikat pada atom di tengah. Selain itu, asam
sitrat merupakan asidulan yang artinya adalah senyawa kimia bersifat asam yang dapat
mencegah pertumbuhan mikroba.
Larutan selanjutnya adalah Aquades. Aquades sering dikenal dengan air murni,
karena air ini sudah melalui proses destilasi/penyulingan. Pada percobaan pencoklatan
enzimatis dengan aquades didapati hasilnya adalah semua bahan pangan dalam
percobaan tidak mengalami pencoklatan/browning. Hal ini dikarenakan aquades tidak
mengandung senyawa-senyawa yang dapat mempercepat atau pun memperlambat
reaksi pencoklatan enzimatis. Aquades hanya mengandung H2O dan hamper tidak
mengandung mineral.
 Uji Kualitatif Pektin

Pektin merupakan salah satu senyawa yang dikandung oleh beberapa buah-buahan
dan sayur-sayuran. Senyawa ini dapat ditemukan dalam dinding sel tumbuhan,
sebagian besar dapat ditemukan pada bagian tumbuhan non kayu dan senyawa ini
berfungsi untuk mengatur aliran air antara sel. Erwinda dan Santoso (2014)
menambahkan bahwa, pektin merupakan komponen fiber yang terdapat pada lapisan
lamella tengah dan dinding sel primer pada tanaman dan pektin dapat digunakan untuk
membentuk gel dan stabilizer sari buah, bahan pembuatan jelly, jam, dan marmalade.
Pada praktikum kali ini diuji kadungan pektin pada beberapa bahan pangan dengan
cara membandingkan koloid yang dibentuk oleh tiap-tiap bahan. Bahan pangan yang
diuji terdiri dari sayur dan buah, yaitu pepaya (Carica papaya), labu siam (Sechium
edule), wortel (Daucus carota), nanas (Ananas comosus), ubi jalar putih (Ipomoea
batatas L.), apel (Malus). Kemudian bahan kimia yang digunakan adalah etanol 70%
yang merupakan senyawa alcohol dan bersifat polar sehingga dapat dijadikan pelarut.
Langkah-langkah yang dilakukan pada praktikum ini adalah bahan pangan yang
akan diuji dihaluskan terlebih dahulu menggunakan blender kemudian disaring agar
ampasnya tidak terbawa sehingga hasil filtratnya saja yang akan dilakukan perlakuan.
Kemudian hasil filtrat diambil 1ml dan dimasukan ke dalam tabung reaksi setelah itu
ditambahkan larutan etanol 70% sebanyak 1ml dan setelah itu akan terbentuk koloid.
Koloid yang tebentuk dibeberapa bahan pangan hasilnya berbeda-beda.
Untuk mempermudah dibuat pengelompokan, ketika bernilai (+) artinya adalah
koloid yang tebentuk sangat sedikit, ketika bernilai (++) artinya adalah sedikit, ketika
bernilai (+++) artinya adalah sedang, ketika bernilai (++++) artinya adalah banyak, dan
ketika bernilai (+++++) artinya adalah sangat banyak. Pada hasil pengujian didapat
koloid yang terbentuk paling banyak adalah pada bahan pangan pepaya, nanas, dan
apel. Sedangkan pada bahan pangan ubi jalar putih koloid yang tebentuk sedikit dan
pada labu siam dan wortel koloid yang tebentuk sangat sedikit.
Koloid yang terbentuk merupakan salah satu proses dehidrasi. Proses dehidrasi
pektin merupakan suatu proses pemisahan pektin dari larutannya. Pektin adalah koloid
hidrofilik yang bermuatan negatif (dari gugus karboksil bebas yang terionisasi) dan
tidak mempunyai titik isoelektrik seperti kebanyakan koloidal hidrofilik. Pektin lebih
utama distabilkan oleh hidrasi partikelnya daripada oleh muatannya. Penambahan
etanol dapat mendehidrasi pektin sehingga mengganggu stabilitas larutan koloidalnya,
dan akibatnya pektin akan terkoagulasi (Widiastuti, 2015).
Sehingga pada percobaan ini dengan panambahan etanol dapat mengakibatkan
pektin terkoagulasi membentuk koloid. Pada hasil percobaan pada pepaya, nanas, dan
apel terbentuk koloid yang cukup banyak dikarenakan protein yang dikandung oleh
bahan pangan relative tinggi.
Kandungan protein protein pada pepaya per 100 gram adalah 0,5; pada nanas 0,4
gram; dan pada apel 0,3 gram. Sedangkan, kandungan protein per 100 gram dari labu
siam adalah 0,6 gram; pada wortel 1,2 gram; dan pada ubi jalar putih 1,8 gram
(Fitriyani, 2010).
Dari data tersebut diketahui bahwa kandungan protein dari labu siam, wortel, dan
ubi jalar putih relative lebih tinggi dari pada pepaya, nanas, dan apel. Namun, pada
table hasil percobaan didapat koloid yang tebentuk pada labu siam, wortel, dan ubi jalar
putih lebih sedikit dibandingkan dengan pepaya, nanas, dan apel. Kandungan protein
relative tinggi tidak selalu berbanding lurus terhadap jumlah koloid yang terbentuk.
Triyono (2010) menjelaskan, protein yang terdenaturasi akan mengendap karena
gugus-gugus yang bermuatan positif dan negatif dalam jumlah yang sama atau netral
atau dalam keadaan titik isoelektrik. Pada denaturasi terjadi pemutusan ikatan
hidrogen, interaksi hidrofobik dan ikatan garam hingga molekul protein tidak punya
lipatan lagi. Pengembangan molekul protein yang terdenaturasi akan membuka gugus
reaktif yang ada pada rantai polipeptida. Selanjutnya akan terjadi pengikatan kembali
pada gugus reaktif yang sama atau berdekatan. Bila unit ikatan yang terbentuk cukup
banyak sehingga protein tidak lagi terdispersi sebagai suatu koloid, maka protein akan
mengalami koagulasi. Apabila ikatan-ikatan antara gugus-gugus reaktif protein
tersebut menahan seluruh cairan, akan terbentuklah gel. Sedangkan bila cairan terpisah
dari protein yang terkoagulasi itu, maka protein akan mengendap. Maka, semakin
banyak kandungan protein maka akan yang terbentuk bukan koloid namun sebuah
endapan.
 Uji Penjendalan Pektin

Penjendalan yang dimaksud adalah tebentuknya gumpalan seperti jelly. Setiap


bahan pangan memiliki tingkat kejendalannya masing-masing. Seperti yang diketahui
bahwa pektin merupakan substansi yang dapat membuat bahan pangan menjadi jelly
atau berstruktur gel. Pada percobaan ini bahan pangan yang digunakan sama seperti
bahan pangan ketika melakukan pengujian kualitatif pektin.
Pada hasil didapat bahwa bahan pangan yang membentuk koloid banyak pun pada
uji penjendalan mengalami pembentukan jelly yang banyak (menjendal atau sangat
menjendal). Pada pepaya, nanas, dan apel ketika uji kulaitatif pektin terbentuk banyak
koloid dan pada uji penjendalan pun terbentuk banyak jelly (mejendal). Begitu juga
dengan wortel dan labu siam, pada uji kualitatif pektin tidak membentuk koloid yang
banyak maka ketika uji penjendalan jelly yang terbentuk pun juga tidak banyak (tidak
menjendal). Hal ini disebabkan karena aktifnya senyawa yang ada dalam pektin yaitu
asam pektina, pektin akan berfungsi dalam pembuatan jelly dengan keberadaan gula
dan garam (Widiastuti, 2015). Maka terbentuknya koloid berbanding lurus dengan
terbentuknya jelly saat penjendalan.
Tetapi, hal ini berbeda pada ubi jalar putih. Ketika uji kualitatif pektin koloid yang
terbentuk sedikit namun ketika uji penjendalan jelly yang terbentuk banyak
(menjendal). Hal ini dikarenakan ubi jalar putih merupakan sumber pati yang dimana
didalamnya terdapat karbohidrat yang dapat direduksi menjadi glukosa. Senyawa asam
pekrtina akan berfungsi dengan keberadaan gula dan garam. Glukosa merupakan salah
satu gugus gula sehingga dapat menyebabkan penjendalan dalam ubi jalar putih.
Karena ubi jalar putih mengandung pektin dan memiliki cukup tinggi senyawa protein
maka ketika uji kualitatif koloid yang terbentuk sedikit karena terlalu tingginya protein
sehingga protein mengalami denaturasi dan mengendap namun ketika penjendalan ubi
jalar putih dapat mengalami penjendalan.
V. PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan praktikum ini dapat disimpulkan bahwa:


1. Dapat menetapkan persen berat bagian buah dan sayur yang dapat dimakan
terhadap berat utuh.
2. Dapat menetapkan pH dan total asam tertitrasi buah dan sayur
3. Dapat mengetahui cara pencegahan pencoklatan enzimatis dan larutan-larutan
mana saja yang mempercepat proses reaksi enzimatis.
4. Dapat menguji kualitatif pektin pada buah dan sayur serta dapat mengetahui
bahwa setiap buah dan sayur memiliki kadar pektin yanh berbeda-beda.
5. Dapat mengetahui cara pembuatan jelly buah serta dapat mengetahui bahwa
bahan dengan kadar pektin tinggi hasil penjendalannya lebih maksimal.

B. Saran

Pelaksanaan praktikum sudah berjalan dengan baik. Harapan kedepannya supaya


dapat lebih memperluas pengetahuan bahan-bahan ptaktikum dapat ditambah atau
disubstitusi di praktikum ke depannya agar tidak meululu selalu bahan-bahan tersebut
yang diujikan.
DAFTAR PUSTAKA

Angelia, I. O. Kandungan pH, Total Asam Tertitrasi, Padatan Terlarut dan Vitamin C
pada Beberapa Komoditas Hortikultura . Journal of Agritech Science. 1(2): 68
– 74.
Anonim. 2016. Blanching, Metode Pengawetan Sayuran yang Baik.
http://scdc.binus.ac.id/himfoodtech/2016/05/blanching-metode-pengawetan-
sayuran-yang-baik/. Diakses pada 17 April 2019, Pukul 21:31 WIB.
Armando. 2009. Memproduksi 15 Minyak Atsiri Berkualitas. Penerbit Penebar
Swadaya, Jakarta.
Arsa, M. 2016. Proses Pencoklatan Enzimatis (Browning Process) pada Bahan Pangan.
Makalah. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas
Udayana, Denpasar.
Astarina. 2010. Pengaruh Substitusi Tepung Wortel Pada Pembuatan Biskuit Ditinjau
Dari Kadar ΒKaroten, Sifat Organoleptik Dan Daya Terima. Skripsi. Fakultas
Ilmu Kesehatan, Universitas Muhammadiyah Surakarta, Surakarta.
Azis, R. 2016. Pencoklatan pada Buah Pear. Jtech. 4(2): 123-126.
Blackwell. 2012. Food Biochemistry and Food Processing. 2nd (ed), New York.
Chasanah, E., I. R. Dini, dan N. R. Mubarik. 2013. Karakterisasi Enzim Selulase PMP
0126Y dari Limbah Pengolahan Agar. JPB Perikanan. 8(3): 103-114.
Erwinda, R. dan H. H. Santoso. 2014. Pengaruh Konsumsi HCl sebagai Pelarut
Pengekstraktsi Pektin dari Labu Siam. Konversi. 3(2): 55-62.
Fitriyani, E. K. 2010. Komposisi Gizi dan Bahan Pangan Bagi Manusia. Makalah.
Fakultas Pertanian dan Peternakan, Universitas Muhammadiyah Malang,
Malang.
Gusviputri, A., N. Meliana, Aylianawati, dan N. Indraswati. 2013. Pembuatan Sabun
dengan Lidah Buaya (Aloe vera) sebagai Antiseptik Alami. Widya Teknik.
12(1): 11-21.
Harianingsih. 2010. Pemanfaatan Limbah Cangkang Kepiting Menjadi Kitosan sebagai
Bahan Pelapis (Coater) pada Buah Stroberi. Tesis. Fakultas Teknik,
Universitas Diponegoro, Semarang.
Hasmoro, H. B. 2014 . Pengaruh Kadar CaCl2 Terhadap Pematangan dan Umur
Simpan Buah Sawo (Manilkara zapota (L.) van Royen). Vegetalika. 3(4): 52
– 62.
Ichsan, B., Wibowo, dan Sidiq . 2015 . Penyuluhan Pentingnya Sayuran Bagi Anak-
Anak di TK Aisyiyah Kwadungan, Trowangsan, Malangjiwan, Colomadu,
Karanganyar, Jawa Tengah. WARTA. 18(1): 29 - 35
Juliyanto. 2012. Penentuan Kadar Kalium (K) dan Kalsium (Ca) Dalam Labu Siam
(Sechium edule) Serta Pengaruh Tempat Tumbuhnya. J. Akad. Kim. 1(4): 174-
175.
Mata, Y. N., M. L. Blazquez, A. Ballester, F. Gonzales, and J.A. Munoz. 2009. Sugar-
Beet Pulp Pectin Gels as Biosorbent for Heavy Metals: Preparation and
Determination of Biobsorption and Desorption Characteristics. Chemical
Engineering Journal. 150: 289-301.
Pardede, E. 2013. Tinjauan Komposisi Kimia Buah dan Sayur: Peranan Sebagai Nutrisi
dan Kaitannya dengan Teknologi Pengawetan dan Pengolahan. Jurnal Visi.
21(3): 1 – 16.
Pertiwi, M. F. D., dan W. H. Susanto. 2014. Pengaruh Proporsi (Buah Sukrosa) dan
Lama Osmosis Terhadap Kualitas Sari Buah Stroberi (Fragaria vesca l). Jurnal
Pangan dan Agroindustri. 2(2): 82 – 90.
Putri, K. A., F. Mulia, dan F. Firdausi. 2013. Pengolahan Sayur Wortel Menjadi
Cemilan Sehat Chocotel (Chocolate Wortel) Kaya Gizi Non-Kolesterol. Jurnal
Ilmiah Mahasiswa. 3(2): 64 – 67.
Subagyo, P., dan Z. Achmad. 2010. Pemungutan Pektin dari Kulit dan Amapas Apel
secara Ekstraksi. Eksergi. 10(2): 47-51.
Sulihono, A., B. Tarihoran, dan T. E. Agustina. 2012. Pengaruh Waktu, Temperatur,
dan Jenis Pelarut terhadap Ekstraksi Pektin dari Kulit Jeruk Bali (Citrus
maxima). Jurnal Teknik Kimia. 18(4): 1-8.
Sunarjono, H. 2009. 21 Jenis Tanaman Buah, Penebar Swadaya, Depok.
Sutanti, S., dan E. Mutiara. 2017. Industri Rumah Tangga Stick Wortel di Deli
Serdang. Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat. 23(2): 256 – 260.
Tim Uji. 2009. Keanekaragaman Jenis Buah-Buahan Asli Indonesia dan Potensinya.
Biodeveristas. 8(2): 157-167.
Trisnawati, E., D. Andesti, dan A. Saleh. 2013. Pembuatan Kitosan dari Limbah
Cangkang Kepiting sebagai Bahan Pengawet Buah Duku dengan Variasi
Lama Pengawetan. Jurnal Teknik Kimia. 19(2): 17-26.
Triyono, A. 2010. Mempelajari Pengaruh Penambahan Beberapa Asam pada Proses
Isolasi Protein terhadap Tepung Protein Isolat Kacang Hijau (Phaseolus
radiates L.). Seminar Rekayasa Kimia dan Proses. Fakultas Sains dan
Matematika, Universitas Diponegoro, Semarang.
Widiastuti, D. R. 2015. Ekstraksi Pektin Kulit Jeruk Bali dengan Microwave Assisted
Extraction dan Aplikasinya sebagai Edible Film. Tugas Akhir. Fakultas
Teknik, Universitas Negeri Semarang, Semarang.
Willat, W. G. T., J. P. Knox, and J.D. Mikkelsen. 2009. Pectin : New Insights into on
Old Polymer are Starting to Gel. Trends in Food Science and Technology. 17:
97–1004.
LAMPIRAN

No. Gambar Keterangan

Penimbangan bagian ubi


1. jalar putih yang dapat
dimakan

Pengukuran pH ubi jalar


2.
dengan pH meter

Penghalusan dengan
Blender Ubi jalar putih
3.
pada penetapan pH dan
Total asam tertitasi
Penyaringan filtrate
4.
dengan kertas saring

5. Filtrate hasil penyaringan

ubi jalar putih untuk


6.
dititrasi
 Pencegahan Pencoklatan Enzimatis

No. Gambar Keterangan

1. Buah dipotong-potong

Buah dicuci
2.
menggunakan aquades

Ditambahkan larutan
3.
NaCl
Ditambahkan larutan
4.
NaOH

Ditambahkan larutan
5.
Asam Sitrat

Perubahan terjadi pada


6.
bahan pangan
 Uji Kualitaitf Pektin

No. Gambar Keterangan

1. Bahan dipotong-potong

Dihaluskan dengan
2. diblender
Cairan yang sudah halus
3. kemudian disaring

Hasil penyaringan
dimasukkan ke dalam
4. tabung reaksi dan
ditambahkan dengan
etanol

5. Koloid yang terbentuk


 Uji Penjendalan Pektin

No. Gambar Keterangan

1. Buah ditimbang

Air ditimbang untuk


2. melarutkan

Bahan diblender supaya


3. halus
4. Diukur pH-nya

5. Dilakukan penjendalan
6. Hasil penjendalan

Anda mungkin juga menyukai