Anda di halaman 1dari 31

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Stres
2.1.1 Definisi
Stres adalah respons tubuh yang sifatnya nonspesifik terhadap setiap
tuntutan beban atasnya. Misalnya bagaimana respons tubuh seseorang manakala
yang bersangkutan mengalami beban pekerjaan yang berlebihan. Bila ia sanggup
mengatasinya artinya tidak ada gangguan pada fungsi organ tubuh, maka
dikatakan yang bersangkutan tidak mengalami stres. Tetapi sebaliknya bila
ternyata ia mengalami gangguan pada satu atau lebih organ tubuh sehingga yang
bersangkutan tidak lagi dapat menjalankan fungsi pekerjaannya dengan baik,
maka ia disebut mengalami distres. Dan bila ia sanggup menjalankan fungsi
pekerjaannya dengan baik, tanpa ada keluhan baik fisik maupun mental serta
merasa senang, maka ia dikatakan tidak mengalami stres melainkan disebut
eustres.11
Dalam pengertian umum, stres terjadi jika orang dihadapkan dengan
peristiwa yang mereka rasakan sebagai mengancam kesehatan fisik atau
psikologinya. Peristiwa tersebut biasanya dinamakan stresor.12 Dan reaksi orang
secara fisik, psikologik, dan perilaku terhadap peristiwa tersebut dinamakan
respons stres.13

2.1.2 Stressor
Sumber stres tersebut dikenal dengan istilah “stressor”. Sebenarnya, stresor
hanya memberikan rangsangan dan mendorong sehingga terjadi stres pada
seseorang. Stresor berperan sebagai pemicu stres pada individu. Stres tidak selalu
berarti sesuatu yang buruk. Stres hanyalah respon tubuh terhadap suatu perubahan
yang dianggap beban berat oleh tubuh. Banyak ahli yang mengatakan bahwa ada
perbedaan antara apa yang kita rasakan sebagai positif stres dan distres yang
mengacu pada negatif stres. Stresor yang memicu positif stres disebut dengan

5
stresor positif, sebaliknya stresor yang memicu negatif stres disebut dengan
stresor negatif. 14
Sumber stres (stressor) dapat dikategorikan menjadi tiga jenis, yaitu (1) life
events (peristiwa-peristiwa kehidupan), (2) chronic strain (ketegangan kronis),
dan (3) daily hassles (permasalahan-permasalahan sehari-hari).15
Life events (peristiwa-peristiwa kehidupan) berfokus pada peranan
perubahan-perubahan kehidupan yang begitu banyak terjadi dalam waktu yang
singkat sehingga meningkatkan kerentanan pada penyakit. Suatu peristiwa
kehidupan bisa menjadi sumber stres terhadap seseorang apabila kejadian tersebut
membutuhkan penyesuaian perilaku dalam waktu yang sangat singkat. Ketika
seseorang gagal berurusan (menyesuaikan) dengan situasi atau perubahan-
perubahan yang secara ekstrem tesebut, maka timbullah dampak buruk, misalnya
perasaan cemas.15
Spurgeon, Jackson dan Beach melakukan penelitian kepada 115 karyawan
yang berusia dari 16 tahun sampai 56 tahun di area United Kingdom dengan
menggunakan the Life Events Inventory (LEI). Spurgeon et al menemukan bahwa
ada sepuluh peristiwa kehidupan yang paling penting dan bisa memicu terjadinya
stres, yaitu kematian pasangan, perceraian, kehilangan anggota keluarga,
terpenjara, masalah keuangan, pertengkaran dalam keluarga, tunawisma,
pengangguran, anggota keluarga yang tiba-taba mencoba bunuh diri, dan anggota
keluaga yang menderita sakit serius.15 Hasil penelitian lainnya, Oswalt dan
Riddock melaporkan bahwa peristiwa kehidupan bisa juga menjadi sumber stres
terhadap siswa ketika mereka baru mulai memasuki masa perkuliahan. Hal
tersebut terjadi karena para siswa tersebut perlu menyesuaikan diri dengan
lingkungan baru yang sedang mereka hadapi.16
Chronic strains (ketegangan kronis) merupakan kesulitan-kesulitan yang
konsisten atau berulang-ulang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Ketegangan
kronis bisa mempengaruhi terhadap kesehatan manusia termasuk fisik maupun
psikologis. Hal tersebut dikarenakan ketegangan kronis yang terus berlanjut dan
menjadi ancaman kepada seseorang. Serido melakukan penelitian terhadap 1.031
warga Amerika Serikat yang berusia dari 25 sampai 74 tahun. Mereka

6
menemukan ada empat faktor yang menjadi pemicu terjadinya ketegangan kronis,
yaitu tuntutan-tuntutan pekerjaan, kurangnya pengendalian atas pekerjaan,
tuntutan-tuntutan dari rumah, kurangnya pengendalian dari rumah. Sedangkan di
lingkungan akademik, ketegangan kronis bisa dipicu karena banyak hal, misalnya
adalah tekanan akademik.17
Daily hassles (permasalahan sehari-hari) adalah peristiwa-peristiwa kecil
yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari yang memerlukan tindakan penyesuaian
dalam sehari saja. Misalnya, seseorang mengalami kesulitan, dan kesulitan
tersebut tidak berlanjut secara terus menerus. Kesulitan yang dihadapi itupun bisa
terselesaikan dalam kurun waktu yang singkat. Ada beberapa contoh dari
permasalah sehari-hari, misalnya pendatang yang tidak diharapkan, kemacatan
berlalu lintas, berkomunikasi dengan orang lain, tugas-tugas keseharian yang
penting, tenggat waktu yang tiba-tiba dan berargumentasi kepada orang lain.
Permasalahan-permasalahan tersebut hanya menimbulkan stres sesaat dan tidak
mengakibatkan terjadinya gangguan-gangguan fisik maupun mental yang parah.18
Penelitian lainnya mengemukakan bahwa stresor diklasifikasikan menjadi
lima, yang terdiri dari frustasi (frustration) yang terjadi ketika kebutuhan pribadi
terhalangi dan seseorang gagal dalam mencapai tujuan yang diinginkannya.
Kemudian konflik (Conflicts) yang hadir ketika pengalaman seseorang dihadapi
oleh dua atau lebih motif secara bersamaan. Lalu adanya Tekanan (Pressure) yang
menempatkan individu dalam posisi untuk mempercepat, meningkatkan
kinerjanya, atau mengubah perilakunya. Mengidentifikasi perubahan (Changes),
dan Self-Imposed merupakan sumber stres yang berasal dalam sistem keyakinan
pribadi pada seseorang, bukan dari lingkungan.18 Terdapat empat reaksi tubuh
terhadap stres, yang terdiri dari:
1. Reaksi dari fisiologis terhadap stres menekankan hubungan antara pikiran dan
fisik.
2. Reaksi dari emosional, yang diamati dalam reaksi emosional terhadap stres
ini adalah melalui emosi seperti rasa ketakutan, kecemasan, rasa bersalah,
kesedihan, depresi, atau kesepian.

7
3. Reaksi dari kognitif, mengacu pada pengalaman individu terhadap stres dan
penilaian kognitif yang terjadi dengan penilaiannya mengenai peristiwa stres
dan kemudian apa strategi coping yang mungkin paling tepat untuk
mengelola stres.
4. Reaksi dari perilaku yang berkaitan dengan reaksi emosional seseorang
terhadap stres yang dapat memberikan reaksi menangis, menjadi kasar kepada
orang lain atau diri sendiri dan penggunaan mekanisme pertahanan seperti
rasionalisasi.18

2.1.2.1 Faktor Fisik dan Biologis


Genetika dapat mempengaruhi psikologi keturunannya. Banyak ahli
beranggapan bahwa masa kehamilan mempunyai keakraban dengan kemungkinan
kerentanan stres pada anak yang dilahirkan. Beberapa riwayat penyakit (case
history) di masa lalu mempunyai efek psikologis di masa depan.19
Kualitas tidur juga mempengaruhi psikologis seseorang. Istirahat yang
cukup akan memberikan energi pada kegiatan yang sedang dilakukan. Serta
kebutuhan tidur akan mempengaruhi konsentrasi, semangat, dan gairah terhadap
pekerjaan yang dilakukan seseorang.19 Penderita insomnia mempunyai keretanan
terhadap stres yang lebih berat. Dalam studi Science Links Japan, vertigo
dikaitkan dengan kelelahan dan insomnia pada 46,3 persen pasien. Hasil
penelitian ini menyimpulkan bahwa karena stres menyebabkan kelelahan dan
insomnia, stres berhubungan dengan vertigo.9
Lalu diet, diet yang berlebihan dapat mengakibatkan stres berat. Di Amerika
Serikat diperkirakan 6 diantara 10 orang yang melakukan diet ketat menyebabkan
kematian. Diet berlebihan ini akan menyebabkan sindrom anoreksia.19
Adanya kelainan pada postur tubuh juga dapat memicu timbulnya stres pada
individu serta beberapa penyakit yang dapat menjadi stresor pada individu berupa;
tuberkulosis, kanker, impotensi, anemia, dan berbagai penyakit lainnya.19

2.1.2.2 Faktor Psikologis


Berikut adalah beberapa faktor psikologis yang dapat memicu terjadi stres:19

8
1. Persepsi
Kadar stres dalam suatu peristiwa sangat bergantung pada bagaimana
individu bereaksi terhadap stres tersebut. Serta dipengaruhi oleh bagaimana
individu berpersepsi terhadap stresor yang muncul.
2. Emosi
Emosi merupakan hal sangat penting dan kompleks dalam diri individu.
Perbedaan kemampuan untuk mengenal dan membedakan setiap perasaan
emosi sangat berpengaruh terhadap stres yang sedang dialaminya. Stres dan
emosi mempunyai keterikatan yang saling memengaruhi keduanya, seperti
kecemasan, rasa bersalah, khawatir, ekspresi marah, rasa takut, sedih, dan
cemburu.
3. Situasi psikologis
Hal-hal yang mempengaruhi konsep berfikir (kognitif) dan penilaian
terhadap situasi-situasi yang mempengaruhinya. Situasi tersebut berupa
konflik, frustasi, serta situasi atau kondisi tertentu yang dapat memengaruhi
penilaian yang memberikan ancaman bagi individu, misalnya tingkat
kejahatan yang semakin meningkat akan memberikan rasa ancaman (stres).
4. Pengalaman hidup
Pengalaman hidup merupakan keseluruhan kejadian yang memberikan
pengaruh psikologis bagi invidu. Kejadian tersebut memberikan dampak
psikologis dan memungkinkan munculnya stres pada individu. Beberapa
kejadian tersebut adalah sebagai berikut:
a. Perubahan hidup. Kejadian yang memberikan perubahan hidup secara
mendadak, seperti: perkawinan, perceraian, pindah tempat kerja, jadwal
kerja yang padat, dan sebagainya.
b. Masa transisi (life passages). Perubahan-perubahan waktu yang
signifikan terhadap perubahan perilaku. Hal-hal tersebut termasuk masa
pubertas atau masa pra-pensiun.
c. Krisis kehidupan. Perubahan status radikal dalam kehidupan sesorang.
Kejadian-kejadian yang menyangkut krisis kehidupan adalah pemecatan,
bangkrut, hutang akibat gagal panen, dan sebagainya.

9
2.1.2.3 Faktor Lingkungan
Berikut adalah beberapa faktor lingkungan yang dapat memicu terjadi stres:19
1. Lingkungan fisik
Kondisi atau kejadian yang berhubungan dengan keadaan sekeliling individu
dapat memicu terjadinya stres. Hal tersebut dapat berupa bencana alam, seperti
gempa bumi, topan, badai, dan sebagainya. Hal-hal lain berupa kondisi cuaca,
kondisi lingkungan yang padat, kemacetan, lingkungan yang kotor, dan
sebagainya.
2. Lingkungan biotik
Gangguan yang berasal dari makhluk mikroskopik berupa virus atau bakteri.
Misalnya penderita alergi dapat menjadi stres bila lingkungan tempat
tinggalnya menjadi pemicu munculnya alergi bila berada di dalamnya.
3. Lingkungan sosial
Hubungan yang buruk dengan orang tua, bos, atau rekan kerja adalah hal-hal
yang berhubungan dengan orang lain, yang apabila tidak berjalan dengan baik
akan menjadi stresor bagi invidu jika tidak dapat memperbaiki hubungannya.

2.1.3 Manifestasi Klinis


2.1.3.1 Gejala
1. Gejala Kognitif
Stres dapat berpengaruh terhadap fungsi kognitif seseorang, beberapa hal
yang terjadi diantaranya:14
a. Masalah memori ingatan
b. Ketidakmampuan atau sulit berkonsentrasi
c. Pertimbangan yang buruk dan hanya melihat yang negatif
d. Pikiran yang gelisah, berpacu, atau merenung
e. Selalu khawatir.
2. Gejala emosional
Stres dapat menimbulkan gangguan emosional terhadap seseorang,
sehingga dapat terjadi hal-hal sebagai berikut:14
a. Kemurungan

10
b. Iritabilitas atau pemarah
c. Agitasi, kesulitan untuk bersantai
d. Merasa kewalahan
e. Rasa kesepian atau terisolasi
f. Depresi atau ketidakbahagiaan
3. Gejala Fisik
Stres juga dapat mempengaruhi kondisi fisik tubuh, sehingga dapat
menyebabkan penderita mengalami hal-hal sebagai berikut:14
a. Sakit dan nyeri, otot terasa tegang
b. Diare atau sembelit
c. Mual, pusing, atau nyeri abdomen
d. Nyeri dada dan detak jantung cepat
e. Hilangnya dorongan seksual
f. Sering pilek
g. Napas dan berkeringat yang dangkal
h. Rasa berputar, sehingga sering menyebabkan vertigo.
4. Perubahan Perilaku
Karena terjadinya gangguan emosional dan psikologi pasien, sehingga
pasien akan mengalami perubahan perilaku, diantaranya:14
a. Makan berlebih atau kurang
b. Tidur terlalu banyak atau terlalu sedikit
c. Mengasingkan diri dari orang lain
d. Menunda atau mengabaikan tanggung jawab
e. Menggunakan alkohol, rokok, atau obat-obatan untuk bersantai
f. Kebiasaan gugup (menggigit kuku, mondar-mandir).

11
2.1.4 Reaksi Fisiologis terhadap Stres

Gambar 2.1. Bagan Reaksi Tubuh Terhadap Stres.20


(Sumber: Pranatahadi, Respon Fisiologis Stres, 2009)

Secara fisiologi, situasi stres mengaktivasi hipotalamus yang selanjutnya


mengendalikan dua sistem neuroendokrin, yaitu sistem simpatis yang akan
mempengaruhi bagian medula adrenal dan bagian pituitari anterior yang akan
mempengaruhi sistem korteks adrenal. Sistem saraf simpatik berespons terhadap
impuls saraf dari hipotalamus yaitu dengan mengaktivasi berbagai organ dan otot
polos yang berada di bawah pengendaliannya, sebagai contohnya, ia
meningkatkan kecepatan denyut jantung dan mendilatasi pupil. Sistem saraf
simpatis juga memberi sinyal ke medula adrenal untuk melepaskan epinefrin dan
norepinefrin ke aliran darah. Sistem korteks adrenal diaktivasi jika hipotalamus
mensekresikan CRF, suatu zat kimia yang bekerja pada kelenjar hipofisis yang

12
terletak tepat di bawah hipotalamus. Kelenjar hipofisis selanjutnya mensekresikan
hormon ACTH, yang dibawa melalui aliran darah ke korteks adrenal. Dimana, ia
menstimulasi pelepasan sekelompok hormon, termasuk kortisol, yang meregulasi
kadar gula darah. ACTH juga memberi sinyal ke kelenjar endokrin lain untuk
melepaskan sekitar 30 hormon. Efek kombinasi berbagai hormon stres yang
dibawa melalui aliran darah ditambah aktivitas neural cabang simpatik dari sistem
saraf otonomik berperan dalam respons fight or flight. Pelepasan kortisol dapat
menyebabkan beberapa reaksi tubuh, sebagai contoh yaitu penurunan hormon
testosteron yang akan menyebabkan seseorang mengalami libido.20
Respons fight-or-flight terjadi saat situasi stres mulai secara tiba-tiba.
Perubahan fisiologis tersebut terjadi akibat aktivasi oleh sistem neuroendokrin
yang dikendalikan oleh hipotalamus: sistem simpatetik dan sistem korteks
adrenal.20

Gambar 2.2. Bagan respon fight-or-flight.12


(Sumber: Atkinson, Pengantar Psikologi, Jilid 2. 2010)

Respons fight-or-flight: Situasi stres mengaktivasi hipotalamus yang


selanjutnya mengendalikan neuroendokrin: sistem simpatis dan sistem korteks
adrenal. Sistem saraf simpatik berespons terhadap impuls saraf dari hipotalamus
(1), mengaktivasi berbagai organ dan otot polos yang berada dibawah
pengendaliannya (2). Contohnya, ia meningkatkan kecepatan denyut jantung dan
dilatasi pupil. Sistem saraf simpatik juga memberi sinyal ke medula adrenal (3)

13
untuk melepaskan epinefrin dan norepinefrin ke aliran darah (4). Sistem korteks
adrenal diaktivasi jika hipotalamus mensekresikan CRF, suatu zat kimia yang
bekerja pada kelenjar hipofisis (5). Lalu, kelenjar hipofisis mensekresikan ACTH,
yang dibawa melalui aliran darah ke korteks adrenal (6) dimana ia menstimulasi
pelepasan sekelompok hormon, termasuk kortisol, yang meregulasi kadar gula
darah (7). ACTH juga memberi sinyal ke kelenjar endokrin lain untuk melepaskan
sekitar 30 hormon.12

2.1.5 Tahapan Stres


Berikut ini adalah tahapan stres:
1. Stres tahap I
Tahapan ini merupakan tahapan stres yang paling ringan, dan biasanya
disertai dengan perasaan-perasaan berikut:12
a. Semangat bekerja besar, berlebihan (over acting).
b. Penglihatan tajam tidak sebagaimana biasanya.
c. Merasa mampu menyelesaikan pekerjaan lebih dari biasanya; namun
tanpa disadari cadangan energi dihabiskan (all out) disertai rasa gugup
yang berlebihan pula.
d. Merasa senang dengan pekerjaannya itu dan semakin bertambah
semangat, namun tanpa disadari cadangan energi semakin menipis.
2. Stres tahap II
Keluhan-keluhan yang sering dikemukakan oleh seseorang yang berada pada
stres tahap II adalah sebagai berikut:12
a. Merasa letih sewaktu bangun pagi, yang seharusnya merasa segar
b. Merasa mudah lelah sesudah makan siang
c. Lekas merasa lelah menjelang sore hari
d. Sering mengeluh lambung atau perut tidak nyaman (bowel discomfort)
e. Detakan jantung lebih keras dari biasanya (berdebar-debar)
f. Otot-otot punggung dan tengkuk terasa tegang
g. Tidak bisa santai.

14
3. Stres tahap III
Pada tahap III keluhan semakin meningkat dan mengganggu yaitu:12
a. Gangguan lambung dan usus semakin nyata; misalnya keluhan maag
(gastritis), buang air besar tidak teratur (diare).
b. Ketegangan otot-otot semakin terasa.
c. Perasaan ketidaktenangan dan ketegangan emosional semakin meningkat.
d. Gangguan pola tidur (insomnia), misalnya sukar untuk mulai masuk tidur
(early imsomnia), atau terbangun tengah malam dan sukar kembali tidur
(middle imsomnia), atau bangun terlau pagi atau dini hari dan tidak dapat
kembali tidur (late imsomnia). Insomnia dapat berakibat vertigo pada
sebagian orang.
e. Koordinasi tubuh terganggu (badan terasa mau pingsan). Kesempatan
untuk beristrirahat guna menambah suplai energi yang mengalami defisit.
4. Stres tahapan IV
a. Untuk bertahan sepanjang hari saja sudah terasa amat sulit.
b. Aktivitas pekerjaan yang semula menyenangkan dan mudah diselesaikan
menjadi membosankan dan terasa lebih sulit.
c. Yang semula tanggap terhadap situasi menjadi kehilangan kemampuan
untuk merespons secara memadai (adequate).
d. Ketidakmampuan untuk melaksanakan kegiatan rutin sehari-hari.
e. Gangguan pola tidur disertai dengan mimpi-mimpi yang menegangkan.
Gangguan pola tidur tersebut dapat berupa insomnia, insomnia dapat
menyebabkan terjadinya vertigo.
f. Seringkali menolak ajakan (negativesm) kerena tidak semangat dan
kegairahan.
g. Daya konsentrasi dan daya ingat menurun.
h. Timbul perasaan ketakutan dan kecemasan yang tidak dapat dijelaskan
apa penyebabnya.12
5. Stres tahap V
Bila keadaan berlanjut maka seseorang itu akan jatuh dalam stres tahap V
yang ditandai dengan hal-hal berikut:12

15
a. Kelelahan fisik dan mental yang semakin mendalam (physical and
psychological ex-haution).
b. Ketidakmampuan untuk menyelesaikan pekerjaan sahari-hari yang ringan
dan sederhana.
c. Gangguan sistem pencernaan semakin berat (gastro-intestinal disorder)
d. Timbul perasaan ketakutan dan kecemasan yang semakin meningkat,
mudah bingung dan panik.
6. Stres tahap VI
a. Debaran jantung teramat keras
b. Susah bernafas (sesak dan megap-megap)
c. Sekujur badan terasa gemetar, dingin dan keringat bercucuran
d. Ketiadaan tenaga untuk hal-hal yang ringan
e. Pingsan dan kolaps (collapse)
Bila dikaji maka keluhan atau gejala-gejala sebagaimana digambarkan di atas
lebih didominasi oleh keluhan-keluhan fisik yang disebabkan oleh gangguan faal
(fungsional) organ tubuh sebagai akibat stresor psikososial yang melebihi
kemampuan seseorang untuk mengatasinya.12

16
2.1.6 Mekanisme Respons Tubuh Terhadap Stres

Gambar 2.3 Bagan Hubungan Antara Stressor dengan Kelenjar dan Hormon dalam
tubuh manusia.
(Sumber: Rumiani, Prokrastinasi Akademik ditinjau dari Motivasi Berprestasi dan
Stres Mahasiswa. 2006)

Otak bagian depan adalah bagian otak paling anterior dan paling terlihat,
terdiri dari dua belahan, satu di kiri dan satu di kanan. Setiap belahan otak telah
membagi tugas untuk menerima sebagian besar informasi sensorik dari sisi tubuh
yang kontralateral (berlawanan), serta mengendalikan sebagian besar otot pada
sisi tubuh yang berlawanan. Semua itu dikerjakan dengan bantuan akson yang
melintas ke sumsum tulang belakang dan nuklei saraf kranial.21
Lapisan luar otak bagian depan disebut korteks serebrum. Di bawah lapisan
korteks serebrum terdapat struktur-struktur lain, seperti talamus yang merupakan
sumber input utama untuk korteks serebrum. Di bawah lapisan korteks serebrum

17
terdapat struktur-struktur lain, seperti talamus yang merupakan sumber input
utama untuk korteks serebrum. Serangkaian struktur yang di sebut basal ganglia
memiliki peran utama dalam aspek-aspek pergerakan tertentu. Terdapat sejumlah
struktur lain yang saling terhubung dan membentuk pembatas yang mengelilingi
batang otak, di sebut dengan sistem limbik. Struktur-struktur tersebut berperan
penting, khususnya untuk pengaturan emosi, contohnya seperti makan, minum,
aktivitas seksual, kegelisahan, dan berperilaku kasar.21
Hormon adalah suatu zat kimia yang pada umumnya disekresikan oleh
kelenjar dan sel-sel lain, hormon ditransportasikan oleh darah menuju organ
target. Neurotransmitter dapat dianalogikan seperti sinyal pada kabel telepon,
dimana pesan dikirim langsung dan khusus untuk penerima. Hormon dapat
dianalogikan sebagai stasiun radio yang menyampaikan pesan kepada siapapun
yang menyetel gelombang stasiun radio tersebut. Hormon berguna untuk
mengatur perubahan jangka panjang pada beberapa bagian tubuh. Hormon yang
bersikulasi di otak akan memengaruhi aktivasi otak, begitu pula hormon yang
disekresi otak akan memengaruhi sekresi hormon lain. Kelenjar pituitari yang
melekat pada hipotalamus terdiri dari dua bagian kelenjar yang berbeda, yaitu
kelenjar pituitari anterior dan pituitari posterior keduanya menyekresikan hormon
yang berbeda. Kelenjar pituitari posterior yang terdiri atas jaringan saraf dapat
dianggap sebagai perluasan hipotalamus. Neuron di dalam hipotalamus
mensintesis hormon oksitosin dan vasopresin (dikenal juga dengan nama hormon
anti diuretik), kedua hormon tersebut turun melalui akson menuju kelenjar
pituitari posterior kemudian dilepaskan ke dalam darah. Hormon tersebut
mempengaruhi sistem saraf simpatik.21
Sistem saraf simpatik adalah sebuah jaringan saraf yang mempersiapkan
organ tubuh bagian dalam untuk aktivitas berat. Sistem saraf simpatik terdiri dari
sepasang rantai ganglia yang memanjang pada sisi tubuh dimulai dari bagian
tengah tulang belakang melalui akson. Akson simpatik memanjang dari ganglia
menuju organ target dan mengaktivasi mereka untuk memberikan respons
melawan atau melarikan diri, dimana napas dan detak jantung menjadi lebih cepat
dan aktivitas pencernaan menurun. Semua ganglia sistem saraf simpatik terkait

18
erat. Oleh karena itu, mereka sering kali bekerja seperti satu unit, sehingga
dikatakan bahwa ganglia saling bersimpati, walaupun bagian-bagian tertentu
dapat lebih aktif daripada bagian lain. Organ-organ seperti kelenjar keringat,
kelenjar adrenal, otot-otot yang mengonstriksi pembuluh darah, dan otot-otot yang
menegakkan rambut pada kulit, hanya memiliki saraf simpatik dan bukan saraf
parasimpatik.21
Stresor yang memengaruhi sirkuit-sirkuit neural menstimulasi pelepasan
adrenocorticotropic hormone (ACTH) (hormon adrenokortikotropik) dari pituitari
anterior, sehingga ACTH pada gilirannya akan memicu pelepasan glukokortikoid
dari korteks adrenal, sehingga glukokortikoid menghasilkan banyak di antara
efek-efek respons stres. Stresor juga mengaktifkan sistem saraf simpatik, sehingga
meningkatkan jumlah epinefrin dan norepinefrin yang dilepaskan dari medula
adrenal. Besarnya respons stres bukan hanya bergantung pada stresor dan
individunya. Fitur utama teori Selye adalah pendapatnya bahwa stresor fisik
maupun psikologis menginduksi respon stres yang secara umum sama. Respons
stres kompleks dan bervariasi, respons tepatnya bergantung pada stresornya,
kapan waktunya, sifat orang yang mengalami stres, dan bagaimana orang yang
mengalami stres bereaksi terhadap stresornya.21

2.1.7 Upaya Meningkatkan Kekebalan Terhadap Stres


Hal-hal yang dapat dilakukan untuk menghindari terjadinya stres pada
seseorang, yaitu dengan mengubah pola hidup. Kebiasaan yang dapat kita lakukan
untuk menghindari stres diantaranya:11
1. Makanan dan Minuman
Makan dan minum hendaknya yang halal dan baik serta tidak
berlebihan, berhenti makan sebelum kenyang. Jadwal makan hendaknya
teratur pagi, siang dan malam dan diusahakan jangan sampai terlambat.
Menu makanan hendaknya bervariasi, berimbang dan hangat. Sebab,
makanan yang dingin dan monoton dapat menurunkan daya tahan atau
kekebalan tubuh. Jumlah kalori makanan dan minuman hendaknya sedang-
sedang dan wajar saja, jangan berlebihan sehingga mengakibatkan

19
kegemukan; sebaliknya jangan pula sampai kekurangan sehingga
mengakibatkan kekurusan.
2. Tidur
Tidur adalah “obat” alamiah yang dapat memulihkan segala kekebalan
fisik dan mental. Tidur adalah kebutuhan mutlak bagi makhluk hidup,
terutama manusia; oleh karena itu jadwal tidur hendaknya teratur. Lamanya
tidur yang baik adalah 7-8 jam dalam semalam; yaitu masuk tidur jam
sembilan malam dan bangun tidur jam lima pagi keesokan harinya. Atau
paling tidak empat malam dalam seminggu seseorang itu tidur dalam jangka
waktu tersebut di atas, agar kekebalannya tidak menurun.
3. Olahraga
Untuk meningkatkan daya tahan dan kekebalan fisik maupun mental,
olahraga adalah salah satu caranya. Olahraga tidak perlu berlama-lama, bila
badan sudah berkeringat dapat dianggap cukup memadai, dan kemudian
mandilah dengan air hangat.
4. Rokok
Tidak merokok adalah kebiasaan hidup yang baik bagi kesehatan dan
ketahanan serta kekebalan tubuh.
5. Minuman keras
Tidak meminum minuman keras (minuman yang mengandung
alkohol) adalah kebiasaan hidup yang baik bagi kesehatan dan ketahanan
serta kekebalan tubuh. Dampak dari minuman keras adalah Gangguan
Mental dan Perilaku dan juga penyakit Lever (cirrhosis hepatis) yang
berlanjut pada kematian.
6. Berat badan
Orang dengan berat badan berlebihan (kegemukan/obesitas) atau
sebaliknya akan menurunkan daya tahan dan kekebalan tubuh terhadap
stres. Oleh karena itu berat badan hendaknya seimbang dengan tinggi badan
(tidak terlalu gemuk dan tidak terlalu kurus).
7. Pergaulan

20
Manusia adalah makhluk sosial; seseorang tidak dapat hidup sendiri
atau menyendiri. Untuk meningkatkan daya tahan dan kekebalan tubuh
terhadap stres, maka orang hendaknya banyak bergaul, banyak relasi dan
teman serta perluas pergaulan sosial; atau dengan kata lain perbanyaklah tali
silaturahmi antar sesama (hubungan horizontal) yang serasi, selaras dan
seimbang.
8. Waktu
Pengaturan waktu dalam kehidupan sehari-hari menjadi amat penting.
Seseorang hendaknya dapat mengatur waktu kehidupannya secara efektif
dan efisien.
9. Agama
Seseorang yang beragama hendaknya jangan sekedar formalitas
belaka, tetapi yang lebih utama mampu menghayati dan mengamalkan
keyakinan agamanya itu, sehingga ia memperoleh kekuatan dan ketenangan
daripadanya.
10. Rekreasi
Bila mungkin seseorang itu dapat mengatur waktu rekreasi bersama
keluarganya seminggu sekali untuk dapat berelaksasi dari pekerjaan.
11. Sosial ekonomi (keuangan)
Seseorang hendaknya dapat mengatur keseimbangan antara
pemasukan (pendapatan) dan pengeluaran agar keuangan teratur dan tidak
menimbulkan stres.
12. Kasih sayang
Salah satu kebutuhan dasar manusia selain sandang, pangan dan
papan, adalah kebutuhan psikologik yaitu mencintai dan dicintai dengan
penuh rasa kasih sayang.
13. Lain lain
Di kalangan masyarakat Barat yang tidak melakukan pendekatan
psikoreligius, dalam upaya seseorang untuk meningkatkan daya tahan dan
kekebalan terhadap stres dilakukan aktivitas seperti relaksasi, meditasi,
yoga, dan lain sebagainya.1

21
2.2 Vertigo
2.2.1 Definisi
Vertigo berasal dari kata latin vertere yang berarti memutar. Vertigo di
dalam kamus bahasa diterjemahkan sebagai pusing. Vertigo adalah setiap gerakan
atau rasa gerakan tubuh penderita atau obyek-obyek di sekitar penderita yang
bersangkutan dengan sistem keseimbangan (ekuilibrium).1
Definisi lain menyatakan bahwa vertigo adalah ilusi gerakan, yang paling
sering adalah perasaan atau sensasi tubuh yang berputar terhadap lingkungan atau
sebaliknya, lingkungan sekitar kita rasakan berputar. Vertigo juga dirasakan
sebagai suatu perpindahan linear ataupun miring, tetapi gejala seperti ini relatif
jarang dirasakan.Vertigo termasuk ke dalam gangguan keseimbangan yang
dinyatakan sebagai pusing, pening, sempoyongan, rasa seperti melayang atau
dunia seperti berjungkir balik. Gejala-gejala ini menimbulkan berbagai macam
problem emosional dan fisik seperti gangguan emosional, kecemasan, dan
ketidakmampuan melakukan aktivitas sehari-hari.1

2.2.2 Klasifikasi
Vertigo diklasifikasikan menjadi dua, yaitu vertigo vestibular dan non-
vestibular.Vertigo vestibular adalah vertigo yang disebabkan oleh gangguan
sistem vestibular (sistem keseimbangan), sedangkan vertigo non vestibular adalah
vertigo yang disebabkan oleh gangguan sistem visual dan somatosensori.22
Tabel 2.1 Perbedaan vertigo vestibular dan vertigo non vestibular.
Klasifikasi
Karakteristik
Vertigo vestibular Vertigo non vestibular

Waktu Episodik Konstan

Sifat Vertigo Berputar Melayang

Faktor pencetus Gerakan kepala, Hiperventilasi


perubahan posisi

Gejala penyerta Mual, muntah, tuli, Gangguan mata, gangguan


tinnitus somatosensorik

Sumber: Ropper AH et al, Adams and Victors principles of neurology. 8th ed, 2005.

22
Secara garis besar, sistem vestibular dikategorikan masing-masing ke dalam
komponen perifer dan sentral. Sistem perifer, secara bilateral mengandung tiga
komponen kanalis semisirkularis (posterior, superior, lateral) dan organ otolitik
(utrikulus dan sakulus). Kanalis semisirkularis mendeteksi gerakan rotasi kepala
sedangkan utrikula dan sakula merespon akselerasi linier dan gravitasi. Organ
vestibular ini berada dalam keadaan aktivitas simetris tonik. Informasi bersama
dengan input proprioseptif dan okular, diproses oleh jalur vestibular sentral
(misalnya nuklei vestibular) dan mempertahankan keseimbangan dan posisi
seseorang.23
Vertigo vestibular selanjutnya dapat dibedakan menjadi vertigo vestibular
perifer dan sentral. Vertigo vestibular perifer adalah vertigo yang terjadi akibat
gangguan alat keseimbangan tubuh di labirin (telinga dalam) atau di ganglion
vestibular atau di saraf kranial VIII (Saraf Vestibulokoklear) divisi vestibular.22
Vertigo vestibular sentral adalah vertigo yang terjadi akibat gangguan alat
keseimbangan tubuh di sistem saraf pusat, baik di pusat integrasi (serebelum dan
batang otak) ataupun di area persepsi (korteks). Penyebab vertigo sentral antara
lain adalah perdarahan atau iskemik di serebelum, nukleus vestibular, dan
koneksinya di batang otak, tumor di sistem saraf pusat, infeksi, trauma, dan
sklerosis multiple. Vertigo yang disebabkan neuroma akustik juga termasuk dalam
vertigo sentral. Vertigo akibat gangguan di korteks sangat jarang terjadi, biasanya
menimbulkan gejala kejang parsial kompleks.24
Tabel 2.2 Perbedaan vertigo vestibular perifer dan sentral
Klasifikasi
Karakteristik
Vertigo vestibular perifer Vertigo vestibular sentral

Kejadian Episodik, onset mendadak Konstan

Durasi Menit hingga jam Minggu hingga bulan

Frekuensi Hilang timbul Konstan

Arah nistagmus Satu arah Bervariasi


(spinning)

Aksis nistagmus Horizontal atau rotatorik Horizontal, vertikal, oblik, atau


rotatorik

23
Tipe nistagmus Fase lambat dan cepat Fase ireguler atau setimbang
(equal)

Hilang pendengaran, Bisa terjadi Tidak ada


tinnitus

Kehilangan kesadaran Tidak ada Dapat terjadi

Mual dan muntah Tipikal Tidak ada

Gejala neurologis Tidak ada Sering disertai defisit saraf


lainnya kranial serta tanta-tanda
serebelar dan piramidal.

Penyebab Meniere’s disease Massa Cerebellar / stroke

Labirintitis Encephalitis/ abscess otak

Positional vertigo Insufisiensi A. Vertebral

Neuroma Akustik

Sklerosis Multiple

Sumber: Wahyudi KT, 2012. Thompson TL, Amedee R, Vertigo: A Review of Common
Peripheral and Central Vestibular Disorders. United States: US National Library of Medicine
National Institutes of Health.

2.2.3 Etiologi
Vertigo merupakan suatu gejala, sederet penyebabnya antara lain akibat
kecelakaan, stres, gangguan pada telinga bagian dalam, obat-obatan, terlalu
sedikit atau banyak aliran darah ke otak dan lain-lain. Tubuh merasakan posisi
dan mengendalikan keseimbangan melalui organ keseimbangan yang terdapat di
telinga bagian dalam. Organ ini memiliki saraf yang berhubungan dengan area
tertentu di otak. Vertigo bisa disebabkan oleh kelainan di dalam telinga, di dalam
saraf yang menghubungkan telinga dengan otak dan di dalam otaknya sendiri.24
Keseimbangan dikendalikan oleh otak kecil yang mendapat informasi
tentang posisi tubuh dari organ keseimbangan di telinga tengah dan mata.
Penyebab umum dari vertigo, antara lain:24
1. Keadaan lingkungan : mabuk darat, mabuk laut.
2. Obat-obatan : alkohol, gentamisin.

24
3. Kelainan telinga : endapan kalsium pada salah satu kanalis
semisirkularis di dalam telinga bagian dalam yang menyebabkan benign
paroxysmal positional
4. Infeksi telinga bagian dalam karena bakteri, labirintitis, meniere’s disease
5. Peradangan saraf vestibular, herpes zoster.
6. Kelainan Neurologis: Tumor otak, tumor yang menekan saraf vestibularis,
sklerosis multipel, dan patah tulang otak yang disertai cedera pada labirin,
persyarafannya atau keduanya.
7. Kelainan sirkularis: Gangguan fungsi otak sementara karena berkurangnya
aliran darah ke salah satu bagian otak (transcient ischemic attack) pada
arteri vertebral dan arteri basiler.
8. Faktor lain yang belum banyak diteliti, yaitu ketidakstabilan emosional.
Seperti stres, depresi, agitasi, iritabel dan gangguan emosional lainnya.
Studi sebelumnya membuktikan bahwa disfungsi vestibular dan gangguan
psikologi akan hidup berdampingan.26 Perubahan kepribadian diamati pada
disfungsi vestibular. Hal ini terjadi karena interaksi vestibular dengan
sebagian besar struktur otak yang mengatur emosi.
Penyebab vertigo dapat berasal dari perifer yaitu dari organ vestibuler
sampai ke inti nervus VIII sedangkan kelainan sentral dari inti nervus VIII sampai
ke korteks.24

2.2.4 Patofisiologi
Etiologi vertigo adalah abnormalitas dari organ-organ vestibuler, visual,
ataupun sistem propioseptif. Labirin (organ untuk ekuilibrium) terdiri atas tiga
kanalis semisirkularis, yang berhubungan dengan rangsangan akselerasi angular,
serta utrikulus dan sakulus, yang berkaitan dengan rangsangan gravitasi dan
akselerasi vertikal. Rangsangan berjalan melalui nervus vestibularis menuju
nukleus vestibularis di batang otak, lalu menuju fasikulus medialis (bagian kranial
muskulus okulomotorius), kemudian meninggalkan traktus vestibulospinalis
(rangsangan eksitasi terhadap otot-otot ekstensor kepala, ekstremitas, dan
punggung untuk mempertahankan posisi tegak tubuh). Selanjutnya, serebelum

25
menerima impuls aferen dan berfungsi sebagai pusat untuk integrasi antara
respons okulovestibuler dan postur tubuh. Fungsi vestibuler dinilai dengan
mengevaluasi refleks okulovestibuler dan intensitas nistagmus akibat rangsangan
perputaran tubuh dan rangsangan kalori pada daerah labirin.1
Refleks okulovestibuler bertanggung jawab atas fiksasi mata terhadap objek
diam sewaktu kepala dan badan sedang bergerak. Nistagmus merupakan gerakan
bola mata yang terlihat sebagai respons terhadap rangsangan labirin, sertajalur
vestibuler retrokoklear, ataupun jalur vestibulokoklear sentral. Vertigo sendiri
mungkin merupakan gangguan yang disebabkan oleh penyakit vestibuler perifer
ataupun disfungsi sentral oleh karenanya secara umum vertigo dibedakan menjadi
vertigo perifer dan vertigo sentral. Penggunaan istilah perifer menunjukkan bahwa
kelainan atau gangguan ini dapat terjadi pada end-organ (utrikulus maupun
kanalis semisirkularis) maupun saraf perifer.1
Lesi vertigo sentral dapat terjadi pada daerah pons, medulla, maupun
serebelum. Kasus vertigo jenis ini hanya sekitar 20% - 25% dari seluruh kasus
vertigo, tetapi gejala gangguan keseimbangan (disekulibrium) dapat terjadi pada
50% kasus vertigo. Penyebab vertigo sentral ini pun cukup bervariasi, di
antaranya iskemia atau infark batang otak (penyebab terbanyak), proses
demielinisasi (misalnya, pada sklerosis multipel, demielinisasi pasca infeksi),
tumor pada daerah serebelopontin, neuropati kranial, tumor daerah batang otak,
atau sebab-sebab lain. Untuk mendiagnosis vertigo sentral, perlu dilakukan
pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan radiologi.1
Beberapa penyakit ataupun gangguan sistemik dapat juga menimbulkan
gejala vertigo. Begitu pula dengan penggunaan obat, seperti antikonvulsan,
antihipertensi, alkohol, analgesik, dan tranquilizer. Selain itu, vertigo juga dapat
timbul pada gangguan kardiovaskuler (hipotensi, presinkop kardiak maupun non-
kardiak), penyakit infeksi, penyakit endokrin (DM, hipotiroidisme), vaskulitis,
serta penyakit sistemik lainnya, seperti anemia, polisitemia, dan sarkoidosis.
Neurotransmiter yang turut berkontribusi dalam patofisiologi vertigo, baik perifer
maupun sentral, di antaranya adalah neurotransmiter kolinergik, monoaminergik,
glutaminergik, dan histamin. Beberapa obat antivertigo bekerja dengan

26
memanipulasi neurotransmiter-neurotransmiter ini, sehingga gejala-gejala vertigo
dapat ditekan. Glutamat merupakan neurotransmiter eksitatorik utama dalam
serabut saraf vestibuler.1
Glutamat ini memengaruhi kompensasi vestibuler melalui reseptor NMDA
(N-metil-D-aspartat). Reseptor asetilkolin muskarinik banyak ditemukan di daerah
pons dan medula, dan akan menimbulkan keluhan vertigo dengan memengaruhi
reseptor muskarinik tipe M2, sedangkan neurotransmiter histamin banyak
ditemukan secara merata di dalam struktur vestibuler bagian sentral, berlokasi di
pre dan post sinaps pada sel-sel vestibuler.1
Ada beberapa teori yang berusaha menerangkan kejadian
ketidakseimbangan tubuh, antara lain:24
1. Teori rangsang berlebihan (overstimulation)
Teori ini berdasarkan asumsi bahwa rangsang yang berlebihan
menyebabkan hiperemi kanalis semisirkularis sehingga fungsinya
terganggu; akibatnya akan timbul vertigo, nistagmus, mual dan muntah.
2. Teori konflik sensorik
Menurut teori ini terjadi ketidakcocokan masukan sensorik yang
berasal dari berbagai reseptor sensorik perifer yaitu antara mata/visus,
vestibulum dan proprioseptik, atau ketidakseimbangan/asimetri masukan
sensorik dari sisi kiri dan kanan. Ketidakcocokan tersebut menimbulkan
kebingungan sensorik di sentral sehingga timbul respons yang dapat berupa
nistagmus (usaha koreksi bola mata), ataksia atau sulit berjalan (gangguan
vestibuler, serebelum) atau rasa melayang, berputar (yang berasal dari
sensasi kortikal). Berbeda dengan teori rangsang berlebihan, teori ini lebih
menekankan gangguan proses pengolahan sentral sebagai penyebab.
3. Teori neural mismatch
Teori ini merupakan pengembangan teori konflik sensorik; menurut
teori ini otak mempunyai memori/ingatan tentang pola gerakan tertentu;
sehingga jika pada suatu saat dirasakan gerakan yang aneh/tidak sesuai
dengan pola gerakan yang telah tersimpan, timbul reaksi dari susunan
saraf otonom. Jika pola gerakan yang baru tersebut dilakukan berulang-

27
ulang akan terjadi mekanisme adaptasi sehingga berangsur-angsur tidak lagi
timbul gejala.
4. Teori otonomik
Teori ini menekankan perubahan reaksi susunan saraf otonom sebagai
usaha adaptasi gerakan/perubahan posisi, gejala klinis timbul jika sistem
simpatis terlalu dominan, sebaliknya hilang jika sistem parasimpatis mulai
berperan.
5. Teori neurohumoral
Di antaranya teori histamin (Takeda), teori dopamin (Kohl) dan teori
serotonin (Lucat) yang masing-masing menekankan peranan
neurotransmiter tertentu dalam mempengaruhi sistim saraf otonom yang
menyebabkan timbulnya gejala vertigo.
6. Teori sinap
Merupakan pengembangan teori sebelumnya yang meninjau peranan
neurotransmisi dan perubahan-perubahan biomolekuler yang terjadi pada
proses adaptasi, belajar dan daya ingat. Rangsang gerakan menimbulkan
stres yang akan memicu sekresi CRF (corticotropin releasing factor),
peningkatan kadar CRF selanjutnya akan mengaktifkan susunan saraf
simpatik yang selanjutnya mencetuskan mekanisme adaptasi berupa
meningkatnya aktivitas sistem saraf parasimpatik. Teori ini dapat
menerangkan gejala penyerta yang sering timbul berupa pucat, berkeringat
di awal serangan vertigo akibat aktivitas simpatis, yang berkembang
menjadi gejala mual, muntah dan hipersalivasi setelah beberapa saat akibat
dominasi aktivitas susunan saraf parasimpatis.24

2.2.5 Manifestasi Klinis


Gejala klinis pasien dengan dizziness dan vertigo dapat berupa gejala primer
dan sekunder. Gejala primer diakibatkan oleh gangguan pada sensorium. Gejala
primer berupa vertigo, impulsion, oscilopsia, ataxia dan gejala pendengaran.
Vertigo diartikan sebagai sensasi berputar yang dapat berupa horizontal, vertikal
atau rotasi. Vertigo horizontal merupakan tipe yang paling sering, disebabkan

28
oleh disfungsi dari telinga dalam. Jika vertigo bersamaan dengan nistagmus,
pasien biasanya merasakan sensasi pergerakan dari sisi yang berlawanan dengan
komponen lambat. Vertigo vertikal jarang terjadi. Jika vertigo tersebut bersifat
sementara biasanya disebabkan oleh BPPV, namun jika menetap biasanya berasal
dari sentral dan disertai dengan nistagmus dengan gerakan ke bawah atau ke atas
(rotator nistagmus). Vertigo rotasi merupakan jenis yang paling jarang
ditemukan.25
Impulsi diartikan sebagai sensasi berpindah, biasanya dideskripsikan
sebagai sensasi didorong atau diangkat. Sensasi impuls mengindikasi disfungsi
apparatus otolitik pada telinga dalam atau proses sentral sinyal otolit. Oscilopsia
ilusi pergerakan dunia yang diprovokasi dengan pergerakan kepala. Pasien dengan
bilateral vestibular loss akan takut untuk membuka kedua matanya. Sedangkan
pasien dengan unilateral vestibular loss akan mengeluh dunia seakan berputar
ketika pasien menoleh pada sisi telinga yang mengalami gangguan. Ataksia
adalah ketidakstabilan berjalan, biasanya universal pada pasien dengan vertigo
otologik dan sentral. Gejala pendengaran biasanya berupa tinnitus, pengurangan
pendengaran atau distorsi dan sensasi penuh di telinga. Gejala sekunder meliputi
mual, gejala otonom, kelelahan, sakit kepala, dan sensivitas visual. Gejala
nonspesifik berupa giddiness dan light headness. Istilah ini tidak terlalu memiliki
makna pada penggunaan biasanya. Jarang digunakan pada pasien dengan
disfungsi telinga namun sering digunakan pada pasien vertigo yang berhubungan
dengan masalah medis.25

2.3 Hubungan Stres terhadap Vertigo


Pelepasan adrenocorticotropic hormone (ACTH) (hormon
adrenokortikotropik) dari pituitaria anterior yang akan memicu pelepasan
glukokortikoid dari korteks adrenal, sehingga glukokortikoid menghasilkan
banyak di antara efek-efek respons stres. Stresor juga mengaktifkan sistem saraf
simpatik, sehingga meningkatkan jumlah epinefrin dan norepinefrin yang
dilepaskan dari medula adrenal. Besarnya respons stres bukan hanya bergantung
pada stresor dan individunya. Fitur utama teori Selye adalah pendapatnya, bahwa

29
stresor fisik maupun psikologis menginduksi respons stres yang secara umum
sama. Respons stres kompleks dan bervariasi, respons tepatnya bergantung pada
stresornya, kapan waktunya, sifat orang yang mengalami stres, dan bagaimana
orang yang mengalami stres bereaksi terhadap stresornya.21
Telah dilaporkan bahwa stres dapat mempengaruhi pusat fungsi vestibular
dalam keadaan sehat maupun sakit baik secara langsung melalui tindakan
glukokortikoid pada saluran ion dan neurotransmisi di otak, atau secara tidak
langsung melalui efek stres yang berhubungan dengan neuroaktif substansi
(misalnya histamin, neurosteroid).8 Studi sebelumnya membuktikan bahwa
disfungsi vestibular dan gangguan psikologi akan hidup berdampingan.26
Perubahan kepribadian diamati pada disfungsi vestibular. Hal ini terjadi karena
interaksi vestibular dengan sebagian besar struktur otak yang mengatur emosi.
Studi yang dilakukan oleh Krishna et al tersebut mendukung kerja sebelumnya
karena mereka telah mengamati secara signifikan tingkat stres yang tinggi pada
pasien vertigo bila dibandingkan dengan usia kontrol yang cocok.8 Sebuah studi
yang dilakukan pada 190 pasien oleh Science Links Japan menunjukkan bahwa
31,8 persen penderita vertigo juga mengalami stres. Berbagai obat yang diambil
untuk memerangi stres dapat mengakibatkan vertigo, dari alkohol sampai
antidepresan dan obat penenang. Dalam studi Science Links Japan, vertigo
dikaitkan dengan kelelahan dan insomnia pada 46,3 persen pasien. Hasil
penelitian ini menyimpulkan bahwa karena stres menyebabkan kelelahan dan
insomnia, stres berhubungan dengan vertigo. Stres dapat pula memicu perubahan
tekanan darah yang dapat memperparah vertigo dengan mempengaruhi aliran
darah dan metabolisme di telinga bagian dalam.9
Lesi telinga bagian dalam sering menyebabkan defisit vestibular dan
pendengaran secara paralel, sejauh mana lesi pada satu sistem dapat menyebabkan
hilangnya fungsi dan adaptasi dengan yang lain belum diketahui. Namun,
meskipun stres berpengaruh terhadap sistem vestibular dan pendengaran,
mekanisme plasitas di jalur sentral dan interaksinya secara sistematis masih
diselidiki.27

30
Sehubungan dengan lesi vestibular dan kompensasi vestibular sentral,
bukti dari penelitian hewan juga menunjukkan jalur saraf yang menghubungkan
inti vestibular dengan sistem limbik termasuk hipotalamus dan bahwa respons
stres yang ditimbulkan oleh gejala vestibular mendorong sinaptik dan plasitas
neuronal pada sistem vestibular. Namun, dalam bukti konklusif manusia yang
berkaitan dengan interaksi antara stres dan plastisitas sistem vestibular masih
kurang. Pada pasien yang kurang mendapat kompensasi setelah kerusakan
vestibular, bukti klinis menunjukkan adanya stres sebagai agen penyebab dan
sebagai faktor yang menghambat kompensasi. Penggunaan steroid pada
pengobatan gejala akut vestibular juga dianggap sebagai pemicu respons stres
akut pada saat kompensasi vestibular. Namun demikian, efek stres pada fungsi
vestibular dan kompensasi yang signifikan dan meningkat diakui sebagai sesuatu
yang penting dalam pengelolaan disfungsi vestibular pada manusia.27 Belum
pernah diteliti hubungan berapa lama atau seberapa berat stres tersebut hingga
dapat menimbulkan vertigo.

2.4 Kuesioner Tingkat Stres


Ada beberapa kuesioner yang sering digunakan untuk mengetahui tingkat
stres antara lain:
1. Kessler Psychological Distress Scale (K-10)28
Kessler Psychological Distress Scale (K-10) adalah skala yang
dikembangkan pada tahun 1992 oleh Professor Ronald C. Kessler dari Universitas
Harvard. Kuesioner ini dirancang untuk mengukur distres yang terdiri dari 10
pertanyaan tentang gejala-gejala kecemasan dan depresi yang dialami responden
selama 4 minggu terakhir. Kessler Psychological Distress Scale (K-10) terdiri dari
5 skala likert yakni:
a. Skor 1 : tidak pernah
b. Skor 2 : jarang
c. Skor 3 : kadang-kadang
d. Skor 4 : sering
e. Skor 5 : selalu

31
Setiap skor dari masing-masing pertanyaan akan dijumlahkan lalu akan
dikategorikan sesuai total skor. Tingkat stres dikategorikan sebagai berikut:
a. Total Skor <20 : tidak mengalami stres
b. Total skor 20-24 : stres ringan
c. Total skor 25-29 : stres sedang
d. Total skor ≥30 : stres berat
2. Perceived Stress Scale (PSS-10)29
Perceived Stres Scale (PSS-10) adalah instrumen asesmen stres yang
berkembang pada tahun 1983. Alat ini membantu kita mengerti bagaimana situasi
yang berbeda mampu mempengaruhi perasaan dan stres yang kita miliki.
Kuesioner ini terdiri dari 10 item pertanyaan tentang perasaan dan pemikiran
responden selama satu bulan terakhir. Pada setiap kasus pertanyaan, responden
akan ditanyakan untuk mengindikasi bagaimana perasaan dan cara berfikir
responden. Meskipun pertanyaan terlihat sama, namun terdapat perbedaan disetiap
pertanyaan. Sehingga responden harus menganggapnya sebagai pertanyan yang
terpisah. Cara terbaiknya responden harus menjawab secara cepat agar hasilnya
adil.Skala ukur ini terdiri dari 4 skala likert yakni :
a. Skor 0 : tidak pernah
b. Skor 1 : hampir tidak pernah
c. Skor 2 : kadang-kadang
d. Skor 3 : sering
e. Skor 4 : selalu
Sedangkan untuk 4 item pertanyaan positif (item 4, 5, 7, & 8),skornya
dinilai terbalik misalnya 0 = 4, 1 = 3, 2 = 2, 3 = 1 & 4 = 0. Setiap skor dari
masing-masing pertanyaan akan dijumlahkan lalu akan dikategorikan sesuai total
skor. Tingkat stres dikategorikan sebagai berikut:
a. Skor 0-13 tergolong stres rendah
b. Skor 14-26 tergolong stres sedang
c. Skor 27-40 tergolong stres tinggi
3. Depression Anxiety Stress Scale (DASS-42)10

32
Depression Anxiety Stress Scale 42 (DASS-42) ini merupakan kuesioner
yang dikembangkan oleh peneliti di Universitas New SouthWales. Kuesioner ini
terdiri dari 42 item pernyataan yang bertujuan untuk mengukur tiga skala emosi
negatif yakni depresi, kecemasan dan stres. Masing-masing skala tersebut terdiri
dari 14 item pertanyaan, terbagi menjadi subskala yang terdiri dari 2-5 item
dengan isi yang sama. Skala depresi menilai disforia, keputusasaan, devaluasi
kehidupan, pembantahan diri, kurangnya minat, anhedonia dan inersia. Skala
kecemasan menilai gairah otonom, efek otot rangka, kecemasan situasional, dan
pengalaman subjek terhadap efek kecemasan. Serta skala stres menilai kesulitan
relaks, agitasi, iritasi dan tidak sabar. Kuesioner ini terdiri dari 4 pilihan jawaban
skala likert sebagai berikut:
a. Skor 0 : Tidak sesuai dengan saya sama sekali atau tidak pernah
b. Skor 1 : Sesuai dengan saya sampai tingkat tertentu atau kadang-kadang
c. Skor 2 : Sesuai dengan saya sampai batas yang dapat dipertimbangkan atau
sering
d. Skor 3 : Sangat sesuai dengan saya atau selalu
e. Setiap skor dari masing-masing pertanyaan akan dijumlahkan lalu akan
dikategorikan sesuai total skor. Dibawah ini merupakan tabel dari kategori
tingkat depresi, kecemasan dan stres.
Tabel 2.3 Kategori Tingkat Stres

Skala
Ukur Normal Ringan Sedang Berat Sangat
Berat

Stres 0-14 15-18 19-25 26-33 ≥ 34


Sumber: Psychology Foundation of Australia. Depression Anxiety Stress Scale; Overview of
DASS and Its Uses. Damanik ED, editor. Depok, 2014.

Pada penelitian ini, peneliti tersebut menggunakan instrumen penelitian


yakni kuesioner Depression Anxiety Stress Scale 42 (DASS-42). Hal ini
dikarenakan, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Eveline Damanik pada 2
grup sampel, yakni sampel klinik adalah 42 responden yang tinggal di Yogyakarta
dan Bantul yang mengalami pengalaman bencana alam. Sedangkan sampel non

33
klinik adalah subjek yang tinggal di Jakarta dan sekitarnya yang tidak mengalami
pengalaman bencana alam yang berjumlah 42 responden. Pada hasil
penelitiannya, didapatkan reliabilitas nilai cronbach α = 0.9483. sehingga
disimpulkan bahwa kuesioner DASS-42 Bahasa Indonesia telah reliable dan
valid.10
Peneliti menggunakan kuesioner DASS-42 dikarenakan bahasa pernyataan
pada kuesioner ini lebih mudah dimengerti oleh pasien sehingga pasien dapat
paham maksud dari pernyataan dan tujuan diberikannya kuesioner tersebut.

2.5 Kerangka Teori

Gambar 2.8. Kerangka Teori

34
2.6 Kerangka Konsep

Kerangka konsep penelitian pada dasarnya adalah kerangka hubungan


antara konsep-konsep yang ingin di amati atau diukur dalam penelitian yang akan
dilakukan. Kerangka konsep dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

Gambar 2.9 Kerangka Konsep

2.7 Hipotesis
Terdapat hubungan antara faktor stres dengan kejadian vertigo.

35

Anda mungkin juga menyukai