Anda di halaman 1dari 15

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Diabetes Melitus

2.1.1 Definisi Diabetes Melitus

Diabetes Melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan

karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja

insulin atau kedua-duanya (Perkeni, 2011). Menurut American Diabetes

Association (ADA), Diabetes Melitus atau yang sering disebut dengan kencing

manis adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik kadar

glukosa darah di atas normal yang terjadi karena defisiensi insulin oleh pankreas,

penurunan efektivitas insulin atau kedua-duanya (Perkeni, 2011).

2.1.2 Epidemiologi Diabetes Melitus

Laporan World Health Organization (WHO) bahwa penderita Diabetes

Melitus di seluruh dunia hampir mencapai 150 juta orang. Data Departemen

Kesehatan Republik Indonesia pada tahun 2011 mengatakan bahwa Indonesia

menempati urutan ke-4 jumlah kasus Diabetes Melitus di dunia, angka prevalensi

penderita Diabetes Melitus mencapai 5,7 per 1000 dari jumlah penduduk

Indonesia atau sekitar 12 juta jiwa penduduk mengalami Diabetes Melitus dan

sekitar dari 90% penderita Diabetes Melitus menderita Diabetes Melitus tipe 2.

(Kemenkes, 2011)

7
8

Laporan hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) Lampung 2012

menunjukkan bahwa prevalensi diabetes melitus adalah 0,4%. Menurut kabupaten

dan kota prevalensi diabetes sekitar 0,1-0,9% mempunyai prevalensi paling tinggi

di Kota Bandar Lampung 0,9% dan terendah berada di Lampung Utara 0,1% baik

berdasarkan diagnosis maupun gejala.

2.1.3 Patofisiologi Diabetes Melitus Tipe 2

Pada DM tipe II terdapat dua masalah utama yang berhubungan dengan

insulin, yaitu resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Normalnya insulin

akan terikat dengan reseptor khusus pada permukaan sel. Akibat terikatnya insulin

dengan reseptor tersebut, akan terjadi suatu rangkaian reaksi dalam metabolisme

glukosa didalam sel. Resistensi insulin pada DM tipe II disertai dengan penurunan

reaksi intrasel. Dengan demikian insulin menjadi tidak efektif untuk menstimulasi

pengambilan glukosa oleh jaringan. Untuk mengatasi resistensi insulin dan

mencegah terbentuknya glukosa dalam darah, harus terdapat peningkatan jumlah

insulin yang disekresikan. Pada penderita toleransi glukosa terganggu, keadaan ini

terjadi akibat sekresi insulin yang berlebihan dan kadar glukosa akan

dipertahankan pada tingkat yang normal atau sedikit meningkat. Namun

demikian, jika sel-sel beta tidak mampu mengimbangi peningkatan kebutuhan

akan insulin, maka kadar glukosa akan meningkat dan terjadi DM tipe II.

Meskipun terjadi gangguan sekresi insulin, yang merupakan ciri khas DM tipe II,

namun masih terdapat insulin dengan jumlah yang adekuat untuk mencegah

pemecahan lemak dan produksi badan keton yang menyertainya.(Rahman Y,

2008)
9

2.1.4 Kriteria Diagnosis Diabetes Melitus

Kriteria diagnosis diabetes melitus apabila ditemukkan keluhan seperti

Poliuria (peningkatan pengeluaran urin), Polidipsi (peningkatan rasa haus),

Polifagia (peningkatan rasa lapar). Keluhan lain : Badan lemas, kesemutan, mata

kabur. Diagnosis dapat ditegakkan dengan cara pemeriksaan glukosa darah yang

berupa :

1. Kadar Glukosa Darah Sewaktu ≥ 200 mg/ dl (11.1 mmol/L).

Glukosa darah sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat

pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir. (Hastuti,

2008)

2. Kadar Glukosa Darah Puasa ≥ 126 mg/ dl (7.0 mmol/L).

Puasa adalah pasien tidak mendapat kalori sedikitnya 8 jam, Kadar

glukosa darah puasa 90-126 mg/dl sebagai batas normal. Kadar glukosa

darah puasa sangat membantu untuk menegakkan diagnosa diabetes

melitus atau resistensi insulin. ( Guyton, Hall AC 2007)

3. Kadar Glukosa Darah 2 Jam Post Prandial

Kadar glukosa darah 2 jam post prandial merupakan pemeriksaan

glukosa darah yang diperiksa 2 jam setelah makan. Nilai rujukan untuk

kadar glukosa darah 2 jam post prandial adalah >200 mg/dl. (Hastuti,

2008)
10

2.2 Asam Urat

2.2.1 Definisi Asam Urat

Asam urat adalah penyakit yang diakibatkan karena penimbunan kristal

monosodium urat di dalam tubuh, dan merupakan hasil akhir dari metabolisme

purin. Memakan makanan yang tinggi purin akan mengakibatkan peningkatan

kadar asam urat (Syukri, 2007).

2.2.2 Kadar Asam Urat

Gout berhubungan erat dengan gangguan metabolisme purin yang

memicu peningkatan kadar asam urat dalam darah (hiperurisemia) yaitu jika kadar

asam urat dalam darah ≥7 mg/dl. Hiperurisemia telah lama ditetapkan sebagai

faktor etiologi utama dalam gout (Gliozzi, 2015).

2.2.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi asam urat

Beberapa faktor risiko yang menyebabkan orang terserang penyakit asam

urat yaitu:

a. Asupan purin berlebihan

Purin berasal dari makanan yang mengandung protein seperti

jeroan, kerang, kepiting, udang, emping, bayam, durian, tape, alkohol dan

lain-lain yang dapat meningkatkan kadar asam urat (Nyoman Kerti,2011)

b. Konsumsi alkohol berlebih

Minum alkohol dapat menimbulkan serangan Gout karena alkohol

meningkatkan produksi asam urat. Kadar laktat darah meningkat akibat

produk sampingan dari metabolisme normal alkohol. Asam laktat


11

menghambat ekskresi asam urat oleh ginjal sehingga terjadi meningkatan

kadar asam urat (Carter, 2012).

c. Kegemukan (obesitas)

Seseorang dinyatakan obesitas jika indeks masa tubuh (IMT ≥ 23

kg/m²), obesitas merupakan salah satu faktor gaya hidup yang

berkontribusi terhadap kenaikan asam urat selain diet tinggi purin dan

konsumsi alkohol (Lyuet,2012)

d. Diabetes Melitus

Diabetes melitus adalah suatu penyakit menahun yang ditandai dengan

kadar gula dalam darah melebihi normal dan adanya gangguan

metabolisme karbohidrat, protein, lemak yang disebabkan oleh defisiensi

hormon insulin secara relatif atau absoult. Apabila dibiarkan tidak

terkendali dapat menyebabkan komplikasi vaskuler jangka panjang seperti

meningkatkan kadar asam urat dalam darah (Robins, Kumar 2006)

2.2.4 Pengukuran Status Gizi Berdasarkan Indeks masa tubuh (IMT)

Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan

penggunaan zat-zat gizi. Dengan kata lain status gizi merupakan suatu keadaan

gizi seseorang atau keadaan tubuh yang diakibatkan karena konsumsi makanan

dan penggunaan zat-zat gizi tersebut. Dibedakan antara status gizi buruk, kurang,

baik dan berlebih. (Almatsier,2004). Indeks antropometri yang merupakan

kombinasi antar beberapa parameter antropometri ini sangat penting. Peranannya

karena dapat mempengaruhi interpretasi status gizi. Kombinasi pengukuran BB

dan TB digunakan untuk menghitung Indeks Masa Tubuh (IMT) dengan rumus :
12

IMT = Berat Badan (kg)

Tinggi Badan (m²)

IMT merupakan salah satu cara penilaian status gizi yang sederhana

untuk memantau status gizi orang dewasa

Tabel 1.1 Klasifikasi IMT menurut WHO Kriteria Asia pasifik

Keadaan gizi IMT (kg/m2 )

Kurus < 18,5

Normal 18,5 – 22,9

Kegemukan ≥ 23,0

Pre obesitas 23,0 – 24,9

Obesitas 1 25,0 – 29,9

Obesitas II ≥ 30,0

Sumber: WHO WPR/ IASO/ IOTF dalam The Asia Pacific Perspective:
Redefening Obesity and its Treatment dalam Sudoyo, 2000

2.3 Hubungan Kadar Asam Urat Dengan Diabetes Melitus Tipe 2

Peningkatan gula darah yang bersifat kronis atau yang biasa disebut

hiperglikemia kronis yang terjadi pada DM disebabkan oleh defek pada sekresi

insulin, kerja insulin mampu keduanya. Adanya kelinan metabolik seperti diabetes

melitus dan obesitas sering dihubungkan dengan peningkatan asam urat yang

dapat digunakan sebagai penanda inflamasi ataupun juga untuk memprediksi

komplikasi metabolik dan kardiovaskuler pada penderita dengan obesitas dan

diabetes melitus. Peningkatan kadar asam urat berhubungan dengan

hiperinsulinemia pada pasien diabetes melitus tipe 2 yang dapat memicu timbulnya
13

komplikasi hiperurisemia serta penyakit kardiovaskuler lainnya sehingga

dibutuhkan pengetahuan tentang efek peningkatan kadar asam urat terhadap

tubuh. (Adlija C, Sabina S, dkk.2010)

Hiperurisemia merupakan suatu keadaan dimana kadar asam urat yang

melebihi batas normal (≥7 mg/dl), Hiperurisemia merupakan salah satu faktor

risiko berbagai penyakit seperti artritis gout, penyakit kardiovaskular, hipertensi,

penyakit ginjal kronik, dan Peripheral Arterial Disease (PAD). Oleh karena itu,

pengetahuan mengenai korelasi kadar asam urat pada pasien diabetes melitus tipe 2

sangat dibutuhkan sebagai landasan dalam strategi pencegahan dan perbaikan

kualitas hidup pasien tersebut. Lebih dari itu, kadar asam urat dapat menjadi

biomarker perburukan metabolisme glukosa dan fungsi ginjal. (Ellyza & Sofitri,

2012) Kadar asam urat di dalam tubuh meningkat adalah produksi asam urat di

dalam tubuh lebih banyak dari pada pembuangannya dan adanya asam yang

terbentuk akibat metabolisme purin di dalam tubuh. Purin berasal dari makanan

yang mengandung protein seperti jeroan, kerang, kepiting, udang, emping, bayam,

durian, tape, alkohol dan lain-lain. (Nyoman kertia,2011)

Pada prediabetes terjadi hiperinsulinemia yang dapat menurunkan ekskresi

ginjal terhadap asam urat dan garam sehingga terjadi pemicu untuk timbulnya

hiperurisemia serta penyakit kardiovaskular lain (Ellyza & Sofitri, 2012). Suatu

studi menyebutkan bahwa hubungan hiperurisemia dengan toleransi glukosa

terganggu (TGT) diperantarai oleh mekanisme hiperinsulinemia dan resistensi

insulin. Resistensi insulin, hipoksia dan kematian sel dapat menginduksi

perubahan xanthine dengan bantuan air dan oksigen yang akan berubah menjadi
14

asam urat sehingga menghasilkan peroksida. Peroksida merupakan oksigen

radikal bebas yang akan mempengaruhi keseimbangan nitric oxide (NO) yang

berperan dalam menjaga keseimbangan tonus vaskular (Adlija, Sabina, dkk 2010).

Oleh karena itu insulin juga berperan dalam meningkatkan reabsorpsi asam urat

yang akan menyebabkan hiperurisemia. Hubungan antara kadar gula darah dengan

kadar asam urat sampai saat ini masih kontroversi suatu studi menyebutkan

peningkatan kadar asam urat diatas nilai normal atau hiperurisemia diduga

memiliki hubungan dengan hiperinsulinemia pada pasien diabetes melitus tipe 2

sementara, studi lain menunjukkan bahwa kadar asam urat mengalami penurunan

pada pasien diabetes melitus tipe 2. Oleh karena itu penting untuk menelusuri

lebih lanjut hubungan antara kadar gula darah dengan asam urat. (Adlija, Sabina,

dkk 2010).

2.4 Hubungan Status Gizi Dengan Kadar Glukosa Darah

Jaringan lemak, khususnya jaringan lemak viseral adalah organ sekretori

aktif dalam meregulasi sistem endokrin. Adipokine adiponektin diketahui

memiliki peranan dalam mengontrol sensitivitas insulin. Meskipun adiponektin

disekresi oleh sel lemak, konsentrasinya menurun pada orang gemuk daripada

pada orang kurus. Obesitas berhubungan dengan gangguan sensitivitas insulin,

tidak hanya pada orang dewasa namun juga pada anak-anak (Reinehr et al, 2004).

Sebagai efek penurunan sensitivitas jaringan terhadap insulin, tubuh

mengkompensasi dengan meningkatkan konsentrasi insulin plasma

(hiperinsulinemia), kondisi ini dikenal sebagai resistensi insulin (Guyton et Hall,

2008).
15

Pada orang gemuk, resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin

menyebabkan naiknya kadar glukosa darah (Keskin et al, 2005). IMT adalah cara

termudah untuk memperkirakan obesitas serta berkolerasi tinggi dengan massa

lemak tubuh (Pudjiadi et al, 2010)

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Fathmi (2012) Menunjukkan

terdapat hubungan signifikan indeks massa tubuh dengan kadar glukosa

puasa pada penderita diabetes tipe 2 Sherwood (2011) berpendapat bahwa pada

obesitas akan terjadi peningkatan produksi resistin yang akan mendorong

resistensi insulin dengan mengganggu kerja insulin. Sebaliknya adiponektin,

adipokin lainnya meningkatkan sensitivitas terhadap insulin dengan

meningkatkan efek insulin, tapi pada obesitas terjadi penurunan hormon ini.

Selain itu asam-asam lemak yang dikeluarkan dari jaringan lemak dapat

menumpuk abnormal di otot dan mengganggu kerja insulin otot. Pengendalian

status gizi dengan cara penurunan berat badan (pada pasien gemuk)

biasanya akan memperbaiki kadar glikemik jangka pendek dan mempunyai

potensi meningkatkan kontrol metabolik jangka lama (Soegondo, 2005).

2.5 Hubungan Status Gizi Dengan Asam Urat

Salah satu penyakit degeneratif yang sering dialami oleh golongan lansia

yaitu gout (Wiwi indraswari, 2012). Resiko terjadinya asam urat akan bertambah

apabila disertai dengan pola konsumsi makan yang tidak seimbang. Banyaknya

makanan tinggi purin yang dikonsumsi akan memperbesar resiko terkena asam

urat pada kaum wanita lanjut usia yang sudah menurun daya imunitasnya akibat
16

hormon estrogen yang tidak diproduksi lagi serta menurunnya daya metabolisme

tubuh semakin memperbesar resiko terjadinya penyakit asam urat (Sylvia, 2006)

Berat badan berlebih juga berbahaya bagi kesehatan seseorang karena

meningkatkan resiko terjadinya penyakit gout (Aru W. Sudoyo, 2006) Dari hasil

penelitian (Pipit Choirum,2011) tersebut dapat diketahui bahwa tingginya kadar

asam urat sangat berhubungan erat dengan makanan yang dikonsumsi. Oleh

karena itu pengaturan pola makan sangat diperlukan yaitu dengan menghindari

konsumsi bahan pangan yang mengandung kadar purin yang tinggi. Purin itu

sendiri adalah turunan dari protein yang terkandung di dalam tubuh, purin juga di

metabolisme oleh enzime adenosin diaminase selanjutnya asam urat akan di

metabolisme lagi menjadi allatoin yang larut air oleh enzim uricase. Namun pada

manusia enzime ini sangat sedikit sehingga hasil akhir dari purin adalah asam urat

bila kadar asam urat semakin tinggi dan melewati kadar jenuh dalam tubuh, maka

asam urat lambat laun akan mengendap dan mengkristal (Kushendra,2009).

Penyakit gout disebabkan oleh dua faktor yaitu faktor yang tidak dapat

diubah dan faktor yang dapat diubah, faktor yang tidak dapat diubah meliputi :

genetik, usia, jenis kelamin. Dan faktor yang dapat diubah meliputi : pola makan,

obat-obatan, alkohol, dan obesitas. (Aru W sudoyono,2008) pencegahan bagi

penderita obesitas penerapan pola hidup sehat bisa dilakukan dengan

mempertahankan berat badan tetapi usahakan dalam menurunkan berat badan

jangan menggunakan obat. Dan dapat juga dilakukan dengan cara minum 8

sampai 10 gelas air setiap hari untuk membantu pembuangan asam urat melalui

urin. Hindarkan minuman yang mengandung alkohol, juga sebaiknya hindarkan


17

kopi atau minuman lain nya yang mengandung senyawa kafein, karena senyawa

tersebut juga termasuk sumber asam urat penyakit asam urat juga dapat di cegah

dengan cara pengaturan diet rendah purin, rendah lemak, cukup vitamin dan

mineral. Karena dengan melakukan diet ini dapat menurunkan berat badan

(Almatsier, Sunita.2004). Diketahui bahwa tinggi nya kadar asam urat sangat

berhubungan erat dengan makanan yang dikonsumsi oleh karena itu pengaturan

pola makan sangat diperlukan yaitu dengan menghindari konsumsi bahan pangan

yang mengandung purin yang tinggi karena purin juga bisa didapatkan dari

makanan yang dikonsumsi (Pipit Choirum,F 2011).

2.6 Hubungan Kadar Asam Urat Dengan Tingkat Status Gizi Pada

Pasien Diabetes Melitus

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Fathmi (2012) Menunjukkan

terdapat hubungan signifikan indeks massa tubuh dengan kadar glukosa

puasa pada penderita diabetes tipe 2 Sherwood (2011) berpendapat bahwa pada

obesitas akan terjadi peningkatan produksi resistin yang akan mendorong

resistensi insulin dengan mengganggu kerja insulin. Sebaliknya adiponektin,

adipokin lainnya meningkatkan sensitivitas terhadap insulin dengan

meningkatkan efek insulin, tapi pada obesitas terjadi penurunan hormon ini.

Selain itu asam-asam lemak yang dikeluarkan dari jaringan lemak dapat

menumpuk abnormal di otot dan mengganggu kerja insulin otot. Pengendalian

status gizi dengan cara penurunan berat badan (pada pasien gemuk)

biasanya akan memperbaiki kadar glikemik jangka pendek dan mempunyai

potensi meningkatkan kontrol metabolik jangka lama (Soegondo, 2005). Asupan


18

makanan yang baik dapat mengkontrol kadar asam urat dalam darah. Ada banyak

jenis makanan yang dapat menyebabkan kadar asam urat dalam darah menjadi

tidak normal, seperti makanan yang tinggi purin, makanan yang berprotein tinggi,

serta berkonsumsi alkohol. Asupan gizi yang baik sangat diperlukan untuk

membantu mengoptimalkan kesehatan dan mencegah terjadinya penyakit gout

atau asam urat.(Arisma, 2004)

Kelainan metabolik seperti diabetes melitus dan obesitas sering

dihubungkan dengan peningkatan kadar asam urat yang dapat digunakan sebagai

penanda inflamasi atau juga untuk memprediksi komplikasi metabolik dan

kardiovaskuler pada penderita diabetes melitus dan obesitas. berbagai penelitan

epidemiologi menunjukan adanya kecenderungan angka insidensi dan prevalensi

diabetes melitus dipenjuru dunia. (Dian pertiwi, 2014)

Hipertrofi jaringan adiposit merupakan bagian sentral pada patogenesis

obesitas dan komplikasi yang terkait dengan obesitas. Sel adiposit yang

mengalami hipertrofi akan mensekresikan beberapa mediator inflamasi.

Disamping sel adiposit yang mengalami hipertrofi, makrofag pada jaringan

adiposit juga mengalami perubahan fenotip menjadi lebih aktif memicu inflamasi

pada jaringan adiposit dan lebih banyak mensekresikan mediator inflamasi seperti

TNF­α, IL­6 dan MCP­1. Inflamasi jaringan adiposit merupakan gerbang awal

menuju komplikasi metabolik dan kardioserebrovaskuler pada penderita obesitas,

peningkatan gula darah yang bersifat kronis atau yang biasa disebut hiperglikemia

kronis yang terjadi pada diabetes melitus disebabkan oleh karena defek pada

sekresi insulin, kerja insulin maupun keduanya. Dalam sel, insulin mempunyai
19

beragam peran, mulai dari peranannya dalam proses metabolisme karbohidrat,

lemak dan protein, sampai pada proses pembentukan DNA dan RNA dan berbagai

proses pertumbuhan di dalam sel, jaringan ataupun organ tersebut. Rangkaian

proses dan peran tersebut terjadi di dalam sel beta pankreas, sehingga dapat

dikatakan bahwa terjadinya resistensi insulin akan menjadi dasar untuk terjadinya

disfungsi sel beta pankreas pada penderita diabetes melitus. Resistensi insulin

juga merupakan kelainan utama yang terjadi pada penderita dengan obesitas.

penelitian menyebutkan bahwa obesitas merupakan faktor yang berperanan

penting untuk terjadinya resistensi insulin dan kondisi resistensi insulin ini

merupakan dasar untuk terjadinya disfungsi sel beta pankreas pada penderita

diabetes melitus.(Perkeni, 2008)

Kondisi ini juga didapatkan pada penderita diabetes melitus dimana

hiperglikemia kronis dan resistensi insulin memegang peranan penting dalam

meningkatkan aktivitas sitokin proinflamasi. Peningkatan aktivitas sitokin ini

akan meningkatkan apoptosis sel dan nekrosis jaringan, yang pada akhirnya akan

meningkatkan kadar asam urat. Selain itu, aktivitas sitokin proinflamasi akan

meningkatkan aktivitas enzim xanthine oxidase yang merupakan katalisator dalam

proses pembentukan asam urat, yang akan lebih meningkatkan kadar asam urat.

(Dian pratiwi, 2014).


20

2.7 Kerangka Teori

Berdasarkan tinjauan pustaka di atas, maka dapat disusun kerangka teori

sebagai berikut :
- Pola makan
- Pola aktifitas
- Gaya hidup

Status Gizi

Gangguan metabolisme

Hipertrofi jaringan
adiposit Resistensi Insulin

Sekresi mediator
inflamasi

Hiperglikemia
Peningkatan aktivitas
sitokin inflamasi

Peningkatan enzime xanthine Diabetes melitus


oxidase tipe 2
(katalisator pembentukan asam urat)

Peningkatan kadar asam urat


(Hiperurisemia)

Variabel yang diteliti

Variabel tidak diteliti

Gambar 2.1 Kerangka teori


21

2.8 Kerangka Konsep

Berdasarkan kerangka teori di atas, maka dapat disusun kerangka konsep

sebagai berikut sebagai berikut :

Variabel Independen Variabel Dependen

Kadar Asam Urat Status Gizi

Gambar 2.2 Kerangka Konsep Penelitian

2.9 Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah:

Ha : Terdapat hubungan kadar asam urat dengan status gizi pada pasien

diabetes melitus tipe 2 di Rumah Sakit Natar Medika Provinsi Lampung

tahun 2018.

Ho : Tidak terdapat hubungan kadar asam urat dengan status gizi pada pasien

diabetes melitus tipe 2 di Rumah Sakit Natar Medika Provinsi Lampung

tahun 2018.

Anda mungkin juga menyukai