Anda di halaman 1dari 19

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/295909534

Peran pencitraan dalam diagnosis Emboli paru

Article · February 2013

CITATIONS READS

0 959

2 authors, including:

Alfian Nur Rosyid


Airlangga University
11 PUBLICATIONS   0 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

COPD research View project

Airlangga University Hospital Book View project

All content following this page was uploaded by Alfian Nur Rosyid on 26 February 2016.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Peran pencitraan dalam diagnosis Emboli paru
Alfian Nur Rosyid
M.Yamin S.Suwandi

A. Pendahuluan

Emboli paru akut merupakan penyakit kardiovaskular yang sering berakibat fatal. Emboli
paru dan Trombosis vena dalam (TVD - Deep Vein Trombosis/DVT) termasuk bagian dari
Tromboemboli vena dengan kesamaan proses patologis.1,2 Dilaporkan 60-80% kasus
Emboli paru terkait komplikasi dari TVD.3 Diagnosis emboli paru sulit, terutama bila disertai
penyakit jantung atau penyakit paru. Diagnosis yang salah berakibat fatal sampai kematian,
namun diagnosis yang berlebihan berakibat pemberian antikoagulan yang tidak seharusnya
dipakai.4
Prevalensi Emboli paru sekitar 0,4%. Kematian karena Emboli paru yang terdiagnosis
sebesar 2-10%, sedangkan yang tidak terdiagnosis mencapai 5-30%.2 Dilaporkan bahwa
Emboli paru akut merupakan penyakit kardiovakuler tersering ketiga setelah infark miokard
dan stroke.1 Emboli paru lebih fatal dibandingkan dengan TVD, disamping memiliki
rekurensi lebih tinggi serta sering asimptomatis.5 Emboli paru yang fatal dapat terkait
dengan hipotensi, syok dan sesak napas.6
Penderita yang dicurigai Emboli paru dengan penanganan strategi diagnosis yang benar
akan menurunkan kesalahan diagnosis. Perlu beberapa pemeriksaan pada penderita yang
dicurigai emboli paru.1, 2 Pemeriksaan tersebut mencakup penilaian klinis, faktor risiko, tes
D-dimer dan atau pencitraan. Pencitraan diperlukan apabila dari penilaian sebelumnya
diperlukan pemeriksaan tambahan. Penegakan diagnosis diterapkan secara individual
disesuaikan kondisi pasien.6 Algoritma diagnosis Emboli paru disusun guna mempermudah
diagnosis. Penderita yang dinyatakan tidak terdapat Emboli paru, memiliki tingkat kesalahan
sebesar <1%.5
Penilaian klinis diantaranya menggunakan skor Well atau skor Geneva revisi.7, 8
Pencitraan akan dilakukan bila dipandang perlu setelah dilakukan evaluasi klinis. Pencitraan
yang sering dimanfaatkan adalah CT scan Multi Detektor (MDCT), 9, 10, CT scan Angiografi
Paru (CTPA) 11-16 V/Q scan (Ventilasi – Perfusi Scintigrafi) 17, dan MRI. 18 Terdapat
perdebatan tentang modalitas pencitraan yang optimal untuk mendiagnosis emboli paru,
sehingga perlu dikaji tersendiri dalam sebuah kajian Ilmiah Tinjauan Kepustakaan.

Tinjauan Kepustakaan
Departemen Radiologi dan Ilmu Kedokteran Nuklir
FK Unair – RSUD Dr.Soetomo 2014
Hal.1
B. Patogenesis
Emboli paru terjadi karena terlepasnya bagian dari trombus yanng terbentuk di vena
dalam ekstrimitas bawah atau pelvis. Trombus tersebut akan mengikuti aliran darah
menuju arteri pulmonalis dan terjadi sumbatan. Hal ini akan meningkatkan resistensi
vaskuler paru yang berakibat peningkatan tekanan Ventrikel kanan. Ventrikel kanan
akan mengalami dilatasi.13

C. Faktor Risiko

Emboli paru sering dialami oleh penderita dengan faktor risiko tertentu diantaranya usia
tua, riwayat tromboemboli vena (Emboli paru atau TVD), kanker aktif, kelainan neurologis
dengan parese ekstrimitas, operasi, tirah baring lama, dan trombofilia kongenital atau
didapat.1 Beberapa studi belum mengaitkan faktor lain seperti terapi estrogen, Gagal
Jantung kongestif, penyakit jantung, trauma, merokok dan kehamilan sebagai faktor risiko
terjadinya Emboli paru.2 Namun sekitar sepertiga kasus Emboli paru tanpa disertai faktor
risiko, sehingga disebut Emboli paru idiopatik atau tanpa pemicu. 1 Sekitar 80-90%
penderita dengan Emboli paru memiliki TVD baik ekstrimitas atas atau bawah 3 Untuk
efisiensi dalam mendiagnosa emboli paru, pilihan uji awal harus didasarkan pada penilaian
klinis kecurigaan emboli dan karakteristik pasien. Diagnosa emboli paru sangat tidak akurat
bila didasarkan pada tanda klinis saja tanpa melihat faktor risiko.18

Tabel 1. Faktor Risiko Tromboemboli Vena. 5


Risiko kuat (OR: 10) Risiko sedang (OR: 2-9) Risiko ringan (OR<2)
Fraktur (panggung / kaki) Operasi artroskopi lutut Tirah baring >3 hari
Penggantin panggul / lutut Kemoterapi Imobilisasi (duduk dalam
Operasi besar Penyakit jantung perjalanan >8 jam)
Trauma hebat Gagal napas Usia tua
Injuri Korda Spinalis Terapi hormon Operasi laparoskopi
2
Keganasan Obesitas (BMI>40kg/m )
Kontrasepsi oral Vena varikose
Stroke paralitik
Hamil / setelah persalinan
Riwayat Tromboemboli
Trombofilia

Hal.2
Gambar 1. Grafik faktor risiko penderita Emboli paru.10

D. Gejala

Gejala klinis Emboli paru bervariasi dan tidak spesifik, sehingga diagnosis yang akurat
sulit ditegakkan. Gejala dapat asimptomatik sampai dengan yang berat dan mengancam
nyawa terutama pada kasus Emboli paru akut dan masif.6
Gejala Emboli paru yang paling sering adalah sesak napas, nyeri dada, takipnea, sinkop,
dan batuk. Laporan dari PISAPED (The Prospective Investigative Study of Acute Pulmonary
Embolism Diagnosis) menyebutkan bahwa penderita 96% penderita dengan Emboli paru
mengeluhkan sesak napas mendadak, nyeri dada atau pingsan (salah satu satu atau
kombinasi).2 Gejala yang lebih jarang adalah demam, batuk darah, sianosis, hipotensi dan
syok.5 Ringan beratnya gejala dipengaruhi oleh lokasi emboli di segmen atau subsegmen
cabang arteri pulmonalis. Gejala yang berat akan dialami bila Emboli Parunya masif.2
Penderita Emboli paru dapat disertai keluhan TVD bila terjadi bersamaan, diantaranya
ekstrimitas bengkak, nyeri, teraba hangat dan kemerahan. 5
Penderita yang sesak terkait komorbid penyakit jantung, paru atau lainnya maka gejala
sesak yang makin memberat dapat merupakan indikasi adanya Emboli paru.5 Adanya faktor
komorbid seperti penyakit jantung atau paru menambah sulitnya diagnosis Emboli paru.1

Tabel 2.Skor Well untuk mendiagnosis Emboli paru.8

Hal.3
Temuan klinis Poin
Tanda dan gejala klinis TVD (ekstrimitas bengkak, nyeri tekan vena dalam) 3.0
Lebih mendukung diagnosis emboli paru dibandingkan yang lain 3.0
HR >100x/menit 1.5
Imobilisasi atau riwayat operasi 4 minggu terakhir 1.5
Riwayat TVD atau PE secara objektif 1.5
Batuk darah 1.0
Keganasan (dalam terapi, pernah terapi 6 minggu terakhir atau paliatif) 1.0
Keterangan:
Skor <2: probabilitas rendah (3,6%), Skor 2-6: probabilitas sedang (20,5%), Skor >6: probabilitas
tinggi (66,7%)

Tabel 3. Skor Geneva Revisi untuk Emboli paru. 8


Kriteria Poin
Usia >65 tahun 1
Riwayat DVT/PE sebelumnya 3
Operasi (anestesi total) atau fraktur (ekstrimitas bawah) dalam 4 minggu terakhir 2
Keganasan aktif 2
Nyeri ekstrimitas bawah unilateral 3
Batuk darah 2
Nadi 75-94 x/menit 3
Nadi ≥95x/menit 5
Nyeri tekan vena dalam ekstrimitas bawah atau edema unilateral 4
Keterangan:
Skor 0-3: probabilitas rendah, 4-10: probabilitas sedang; ≥11: probabilitas tinggi

E. Penegakan diagnosis

Penilaian obyektif untuk mendiagnosis emboli paru diperlukan karena penilaian klinis
saja tidak dapat diandalkan. Tidak ada tes tunggal yang memiliki sifat ideal (sensitivitas dan
spesifisitas 100 %, tanpa risiko, biaya murah).1, 5 Penegakan diagnosis Emboli paru sulit
dan memerlukan beberapa pemeriksaan untuk menyingkirkan diagnosis banding dan
menegakkan diagnosisnya. Beberapa kolegium seperti American College of Physicians,
American Academy of Family Physicians, British Thoracic Society, dan European Society of
Cardiology telah membuat panduan berupa algoritma untuk mempermudah diagnosis
Emboli paru.4, 5
Penderita dengan kecurigaan Emboli paru setelah dilakukan penilaian faktor risiko dan
tes probabilitas harus dilakukan pemeriksaan fisik. Temuan pemeriksaan fisik dapat
bervariasi, seperti takipnea, takikardi, hipoksia, demam, sianosis, dan peningkatan JVP.2
Pemeriksaan penunjang berupa Analisa Gas Darah, foto Rontgen dada dan EKG
(Elektrokardiografi) diperlukan untuk menyingkirkan diagnosis banding Emboli paru namun

Hal.4
hasilnya tidak sensitif dan tidak spesifik.2 Biomarker jantung (Troponin T dan I) dan
Ekhokardiografi dapat digunakan untuk menilai severitas Emboli paru terkait prognosis.4

Gambar 3.Algoritma Diagnosis Emboli paru.5

a. Pemeriksaan Analisa Gas Darah


Dari pemeriksaan Analisa Gas Darah didapatkan hipoksemia, hipokapnea
dan peningkatan AaDO2. Namun pada penderita usia muda, dapat ditemukan hasil
Analisa Gas Darah yang normal.4

Hal.5
b. Pemeriksaan D-dimer

Gambar 4.Pemeriksaan D-dimer pada Emboli paru.1


Dilakukan pemeriksaan tes D-dimer pada penderita kecurigaan Emboli paru,
ini bersifat wajib menyertai penilaian klinis. Hasil D-dimer negatif pada penderita
dengan probabilitas rendah menunjukkan tidak perlu pencitraan lebih lanjut. Tes D-
dimer tidak diperlukan bila probabilitasnya tinggi karena tidak mempengaruhi
keputusan pemeriksaan tambahan berupa pencitraan.4

D-dimer plasma merupakan degradasi fibrin yang dihasilkan dari degradasi


klot oleh fibrinolysis.7 Pemeriksaan ini merupakan tes dengan NPV (Negative
Predictive Value) yang tinggi dan PPV (Positive Predictive Value) yang rendah.
Pemeriksaan ini merupakan pilihan pertama pada penderita dengan pretest
probability / penilaian klinis rendah sampai sedang. Konsentrasi D-Dimer >0,5 mg/L
memiliki Sensitivitas 95% dan Spesifisitas 55% untuk mendiagnosa VTE (Venous
Tromboemboli).1

c. Pemeriksaan Marker Jantung


Pemeriksaan Troponin T dan I dipakai untuk menilai infark miokar, namun
dapat meningkat pada penderita Emboli paru berat. Sehingga Pemeriksaan ini tidak
dapat digunakan untuk menyingkirkan diagnosis Emboli paru. Sedangkan
peningkatan BNP terkait disfungsi RV (ventrikel kanan) akibat Emboli paru.4 BNP
hanya dapat digunakan sebagai biomarker pada Emboli paru risiko rendah.13

d. Pemeriksaan Elektrokardiografi (EKG)


Pemeriksaan EKG bisa didapatkan hasil sinus takikardi, perubahan
gelombang T-non spesifik, p-pulmonale, RV strain, Blok Cabang Bundle Kanan
(RBBB), S1, Q3, T3 (gelombang S dalam di lead I, gelombang Q di lead II dan

Hal.6
gelombang T inversi di lead III). Pemeriksaan EKG ini berguna untuk menyingkirkan
diagnosis banding seperti infark miokard.4
F. Pencitraan
a. Foto Rongsen Dada
Foto rongsen dada posisi PA dan lateral penting dalam mengevaluasi
penderita Emboli paru. Penderita dengan nyeri dada namun ditemukan infiltrat
Pneumonia, Efusi pleura masif, Pneumotoraks, Edema paru14 sehingga dapat
menyingkirkan pemeriksaan radiologis tambahan. Foto rontgen dada normal
tidak menyingkirkan diagnosis Emboli paru. Tidak ada gambaran yang khas
untuk Emboli paru.3
Pada pemeriksaan Foto Rongsen Dada bisa ditemukan hasil yang normal
(14%) atau abnormal. Hasil yang normal pada penderita hipoksia tanpa
bronkospasme mendukung adanya Emboli paru. Abnormalitas yang ditemukan
antara lain atelectasis lempeng (68%), Efusi pleura (48%), Hampton hum (35% -
opasitas menyerupai efusi menunjukkan adanya infark parenkim distal dari
trombus), peningkatan hemidiafragma (24%), Fleischner’s sign (15% - arteri
pulmonalis sentral yang menonjol), Westermark’s sign (7% - oligemia perifer),
kardiomegali (7%) dan edema paru (5%). Abnormalitas foto rongsen yang lain
jarang ditemukan pada Emboli paru.4

Gambar 5.Gambaran Foto Rongsen Dada pada Emboli paru.4

b. Ekhokardiografi
Ekhokardiograi transtorakal atau transesofagus tidak diindikasikan untuk
mendiagnosis Emboli paru akut. 3 Ekhokardiografi penting untuk menilai
disfungsi Ventrikel kanan pada penderita Emboli paru, karena terkait prognosis

Hal.7
dan mortalitas pada Emboli paru serta terjadinya tromboemboli dikemudian hari.9
Temuan yang mendukung disfungsi Ventrikel kanan diantaranya dilatasi ventrikel
kanan, dinding hipokinetik, gerakan dinding septum yang berlawanan, dilatasi
arteri pulmonalis, gradient tekanan sistolik ventrikel kanan – kiri >30mmHg dan
waktu akselerasi laju arteri pulmonalis <80 milidetik.13
Diagnosis disfungsi Ventrikel kanan bila didapati dua dari temuan berikut,
yaitu rasio diameter RV/LV end-distolic > 0,9 (tampak apikal four chamber) atau
RV/LV end-diastolic >0,7 (tampak parasternal long axis atau substernal four-
chamber) atau geraka septum interventrikel yang berlawanan atau tekanan arteri
pulmonalis sistemik >30mmHg.9 Adanya dilatasi Ventrikel kanan lebih tampak
pada emboli di arteri pulmonalis utama dibandingkan pada segmen atau
subsegmen.15

c. CT Angiografi Paru (CTPA)

CTPA memiliki peran yang signifikan dalam mendiagnosis Emboli paru sejak
studi klinis besar yang pertama pada tahun 1992. Kemajuan teknologi di CT -
dari heliks ke multidetector menambah peningkatan resolusi arteri paru, besar
dan kecil. CTPA sangat sensitif dan spesifik bila dibandingkan dengan angiografi
konvensional terutama di tingkat subsegmental. Perbedaan intepretasi CTPA
terbukti lebih baik untuk tingkat segmental dibandingkan V/Q scan.3 MDCT
memiliki sensitivitas 83-100% dan spesifisitas 89-98%.11 Angiografi paru
merupakan standar baku emas untuk mendiagnosis Emboli paru. 13
Akurasi CTPA lebi tinggi bila dikombinasikan dengan penilaian klinis dan
pemeriksaan D-dime. Hasil CTPA positif pada penderita kecurigaan tinggi atau
sedang maka nilai prediksi positifnya juga tinggi. Bila CTPA negatif pada
kecurigaan klinis rendah maka diagnosis Emboli paru dapat disingkirkan.3
CTPA memiliki lebih sedikit temuan "nondiagnostic" dibandingkan V/Q scan.
Tingkat negatif palsu CTPA sangat rendah. Hasil studi menunjukkan tidak ada
efek yang merugikan pada pasien dengan CTPA negatif yang kemudian tidak
diobati. Kombinasi multidetector CTPA dan tes D-dimer memiliki nilai prediksi
positif dan negatif yang sangat tinggi Selain itu, CTPA kadang menunjukkan
patologi selain Emboli paru yang terkait dengan gejala pasien.3
Selain berguna untuk melihat secara langsung adanya thrombus di arteri
pulmonalis, CT scan dapat pula dipakai untuk menstratifikasi risiko Emboli paru
dengan mengukur diameter Ventrikel Kanan/Kiri (RV/LV). Hal ini berguna untuk

Hal.8
prognosis dan implikasi pengobatan.3 Disebutkan bahwa MDCT (Multi Detector
CT) lebih akurat dalam menilai disfungsi Ventrikel kanan dibandingkan
Ekhokardografi, dengan mengukur rasio RV/LV.9
Prosedur pemeriksaan MDCT sebagai berikut: voltase 140Kv, tegangan 250-
300mA, waktu rotasi 0,5 detik, kolimasi 32x0,65mm, pitch 0,66. Scaning
dilakukan dari kranial ke kaudal, dari apeks paru ke basal.11 CT scan dengan
pemberian kontras standar kemudian foto diambil setelah menunggu 15-20 detik.
Kontras yang dipakai adalah kontras nonionic iv (100ml iohexol, Omnipaque330)
320mg I/ml dengan dosis 2ml/kg (maksimal 125mg). Kontras disuntikkan dengan
power injektor kecepatan 4 ml/detik dengan jarum 20G melalui vena antecubiti
diikuti bolus 20ml Salin.9, 11 Gambar direkonstruksi dengan potongan tipis
ketebalan 1 mm dengan matrik 512x512.11
CT scan tampak aksial dengan rasio RV/LV 0,9-1,5 menunjukkan adanya
disfungsi Ventrikel Kanan serta prognosis yang kurang baik. Rasio ini memiliki
PPV (Positive Predictive Value) yang rendah (10%), namun bila rasionya <1
maka akan memiliki NPV (Negative Predictive Value) yang tinggi.13
Beberapa peneliti menyatakan terdapat hubungan mortalitas Emboli paru
dengan diameter Vena Azigos, namun korelasinya negatif pada dilatasi Vena
Cava Superior maupun Inferior. Disebutkan juga tidak terdapatnya korelasi
antara diameter Aorta Ascending dengan mortalitas Emboli paru.13, 15
Diagnosis Emboli paru bila didapatkan adanya filling defect arteri pulmonalis
(sebagian atau total) minimal pada dua gambar berurutan dan terletak di tengah
pembuluh darah atau memiliki sudut yang tajam terhadap dinding pembuluh
darah. Lokasi Emboli dievaluasi pada tingkat arteri pulmonalis yang terlibat
dan lokasi lobar yang terkait. Lokasi Emboli dikategorikan sebagai sentral
(misalnya, arteri utama paru, arteri paru-paru sentral, dan kedua arteri interlobar
paru), lobar, segmen, dan subsegmen.10, 11 Lokasi lobar Emboli paru dievaluasi
sesuai dengan nomenklatur standar: lobus kanan atas, lobus tengah kanan,
lobus kanan bawah, lobus kiri atas, Lingula, dan lobus bawah kiri. Lokasi dan
tingkat PE ditentukan berdasarkan per-emboli, bukan per-pasien, karena
beberapa pasien dapat memiliki lebih dari satu Emboli paru.10

Hal.9
Gambar 6.Lokasi Emboli paru.10
Beberapa peneliti mengaitkan Indek klot dengan mortalitas Emboli paru,
namun hal itu dianggap tidak signifikan. Penelitian terbaru menyatakan bahwa
penilaian klot di sentral arteri pulmonalis dapat menjadi prediktor mortalitas
Emboli paru. Adanya tanda disfungsi Ventrikel kanan (rasio RV/LV>1) dan indek
obstruksi >40% menunjukkan peningkatan mortalitas dalam 90 hari (PPV 18,8).
Penelitian yang lain menyebutkan rasio RV/LV>1,5 dengan indek obstruksi >50%
menunjukkan Emboli paru yang berat dengan outcome yang jelek. 15 Derajat
obstruksi dibagi menjadi tiga yaitu tanpa obstruksi, obstruksi sebagian dan total
obstruksi.14

Gambar 7.CTPA penderita Emboli paru akut (A) tampak emboli di arteri
pulmonalis utama kanan dengan idek klot 50% (B) rasio RV/LV>2 mendukung
adanya disfungsi Ventrikel kanan. Penderita diberikan terapi trombolitik dan
terdapat perbaikan (C) terjadi resolusi thrombus dan (D) rasio RV/LV kembali
normal (0,8). 15

Hal.10
Gambar 8.CT angiografi paru dengan adanya emboli di sentral arteri
pulmonalis.18

Gambar 9.Skematik algoritma Emboli pada Arteri pulmonalis. Emboli arteri


pulmonalis segemental non-oklusi diberikan skor 1, sedangkan arteri yang lebih
proksimal diberikan skor yang lebih besar.12
Pemeriksaan MDCT dipandu EKG akan memberikan akurasi yang lebih baik
dalam menilai jantung. Namun pemeriksaan ini memerlukan waktu yang lebih
lama sehingga paparan radiasi juga yang lebih banyak, sehinga tidak dipakai
sebagai pemeriksaan rutin pada kondisi gawat darurat. Namun MDCT tidak
dapat digunakan untuk menilai fungsi ventrikel kanan (misalnya hipokinesia atau
menilai tekanan arteri pulmonalis)9 Kemajuan teknologi terbaru seperti CT
ECG-gated dan dual-source CT memungkinkan evaluasi akurat dari
pembuluh darah paru, aorta toraks, dan arteri koroner pada studi CT
tunggal. Secara umum, multidetector CTPA lebih akurat dibandingkan
single-slice CT atau V/Q scan.3

Hal.11
Gambar 10.CT Angiografi paru tampak cabang arteri pulmonalis dari
sentral, segmen dan subsegmen.11

(A) (B)
Gambar 11.CT angiografi yang menggambarkan (A) adanya sumbatan
emboli, (B) pasca trombolitik.14
Diperkenalkan juga Perfusion Blood Volume (PBV) yang merupakan CT dual-
energy. Pencitraan ini menilai perfusi paru, bila terdapat obstruksi karena
trombus maka perfusi akan terganggu sesuai dengan derajat obstruksi klot.14

Gambar 12. Klasifikasi Skor Defek Perfusi paru. Hijau-Merah: perfusi normal,
Biru-Hijau dengan distribusi merata: defek perfusi ringan, Biru dengan konfigurasi
menyebar: defek perfusi sedang, biru-hitam: tanpa perfusi 14

Hal.12
Pajanan terhadap radiasi ionizing MDCT yang berlebihan dapat
meningkatkan terjadinya kanker dan meningkatkan mortalitas, namun pada
kasus Emboli paru menjadi dilematis karena dianggap Emboli paru yang tidak
terdiagnosis dapat mengancam nyawa. Oleh karena itu manfaat dan risiko
radiasi harus tetap dipertimbangkan. Dosis efektif radiasi MDCT sekitar 9mSv
dan untuk wanita bisa lebih rendah (7,5mSv).16 Beberapa hal yang
mempengaruhi hasil MDCT diantaranya adalah kurangnya tajamnya kontras,
penderita yang banyak bergerak, faktor teknis (pemilihan media kontras, waktu
bolus yang lambat.11

d. Kateter Angiografi Selektif Paru


Angiografi paru dengan kateter jantung kanan dapat mengukur tekanan arteri
pulmonalis dan jantung kanan. Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan yang
aman namun invasive serta memerlukan operator yang berpengalaman dan
monitor pasien yang adekuat. Pemeriksaan ini dapat dilakukan bila diagnosis
Emboli paru dengan cara non-invasif tidak dapat dilakukan.3
Kateter Angiografi paru ini dianggap lebih inferior disbanding Multidetector
CTPA terkait teknis seperti penderita yang bergerak, overlap pembuluh darah
serta variasi interpretasi pengamat. Kontras yang diberikan terbatas pada arteri
pulmonalis yang dicurigai melalui pemeriksaan non-invasif V/Q scan.3
Karena Multi Detector CTPA merupakan pemeriksaan standar untuk
mendiagnosis Emboli paru, maka pemeriksaan kateter Angiografi paru ini jarang
dilakukan kecuali bila ada indikasi trombektomi atau trombolisis melalui kateter.3

e. V/Q scintigrafi
Pemeriksaan Ventilasi Perfusi (V/D scan) diperkenalkan pertama pada
pertengahan 1960 dan menjadi pemeriksaan untuk penderita yang dicurigai
Emboli paru. Penggunaan V/D scan dan CTPA masih kontroversi. Keduanya
memiliki akurasi diagnosis yang bagus.3
Pemeriksaan Ventilasi Perfusi (V/D scan) digantikan oleh CTPA sekitar tahun
2000 untuk mendiagnosis Emboli paru. Bila dibandingkan dengan V/Q scintigrafi,
pencitraan CTPA memiliki kekurangan diantaranya radiasi yang lebih besar (7
kali lipat) sedangkan V/Q scan radiasinya lebih rendah.16 CTPA cenderung
terjadi overdiagnosis karena ditemukannya tromboemboli. 17
Pada Emboli paru terjadi obstruksi arterial dan gangguan perfusi karena
thrombus. Hal ini akan menyebabkan rilis vasoaktif dan bronkoaktif dari platelet

Hal.13
yang menyebabkan gangguan ventilasi dan perfusi.14 Gambaran beberapa
proyeksi dengan perfusi regional dan ventilasi normal menunjukkan tidak adanya
Emboli paru sehingga tidak perlunya adanya pemeriksaan yang lain. Gambaran
abnormal perfusi regional (Q) mencurigakan sebagai Emboli paru namun tidak
spesifik. Hal ini memerlukan pemeriksaan anatomi ditempat terjadinya defek
perfusi (misalnya segmental) berupa pemeriksaan ventilasi dan foto rongsen
dada.3
Secara umum temuan V/Q scan dibagi menjadi lima yaitu, probabilitas tinggi,
sedang, rendah, sangat rendah dan normal.3 Scan paru kadang diindikasikan
pada beberapa ibu hamil, tentunya dengan mengurangan dosis kontras. Pilihan
penggunaan CTPA dan V/Q scan pada wanita hamil masih menjadi perdebatan.
Sebuah studi menduga bahwa bila hasil rongsen dada normal maka scan perfusi
saja cukup memuaskan hasilnya.3
Perfusi
Ventilasi

Gambar 13.V/Q scan menunjukkan ventilasi normal dan defek perfusi kedua
lapang paru.4

f. MRI (Magnetic Resonance Imaging)


Penggunaan MRI meningkatkan akurasi diagnosis Emboli paru bila
dikombinasikan dengan angiografi dan perfusi paru. Akurasi MRI sebanding
dengan MDCT 16-slice.18 Keuntungan MRI yaitu bebas radiasi (non-ionizing)16,
bisa tanpa media kontras sehingga aman untuk penderita gangguan ginjal dan
ibu hamil memperkuat penggunaannya. Waktu yang diperlukan untuk
pemeriksaan MRI sekitar 10 menit. Temuan Emboli paru pada MRI adalah sama
dengan CT scan, namun dibagi menjadi tanda vaskuler dan tanda parenkim.

Hal.14
Tanda vaskuler Emboli paru berupa penurunan diameter pembuluh darah,
hilangnya kontras dibawah pembuluh darah yang tersumbat emboli. Tanda
parenkimal yang dapat ditemukan adalah opasitas pleural-based, nodul perifer,
opasitas ireguler linier di perifer, gambaran mosaik.18
Sensitivitas MRA yaitu 77-100% dan Spesifisitas 95-98%. Bila lokasi emboli
di sentral dan lobar maka sensitivitasnya 100%, sedangkan bila di segmen
sebesar 84% dan 40% bila di subsegmen. PIOPED III menyarankan agar MRA
hanya digunakan bila terdapat kontraindikas dengan pemeriksaan yang lain.18
MRA (Magnetic Resonance Angiography) dan MR perfusi imaging dapat
mengevaluasi arteri pulmonalis sentral dan segmental secara cepat. MR perfusi
memiliki sensitivitas yang tinggi untuk mendiagnosis Emboli paru dan
pemeriksaan yang paling sering digunakan bersama kombinasi dengan MRI dan
MRA. MRI tanpa MRA tidak diindikasikan sebagai pemeriksaan rutin kecurigaan
Emboli paru.3
MRI memiliki keterbatasan yaitu bila menggunakan kontras gadolinium harus
hati-hati diberikan pada penderita dengan gangguan ginjal sehingga perlu
penyesuaian dosis atau diganti dengan teknik tanpa kontras. Belum ada studi
yang mengamati pengaruh kontras Gadolinium pada gangguan janin namun juga
belum ada bukti bahwa kontras tersebut aman sehingga penggunaannya hanya
bila terdapat indikasi saja.18

(A) (B)
Gambar 14. MR Angiografi (A) emboli di sentral arteri pulmonalis (B) emboli di
lobus bawah paru.18
g. USG
Karena adanya keterkaitan antara TVD dengan Emboli paru, maka
Ultrasonografi vena ekstrimitas bisa diindikasikan bila dicurigai. Yang dipakai
adalah USG Doppler dupleks dengan kompresi tungkai atau continous-wave
Doppler. Adanya TVD bukan pasti menunjukkan adanya Emboli paru, namun

Hal.15
dapat meningkatkan kecurigaan Emboli paru. Hasil USG yang normal juga tidak
menyingkirkan keberadaan Emboli paru, namun menurunkan kecurigaan Emboli
paru.3

G. Prognosis
Prognosis Emboli paru dinilai dengan PESI (Pulmonary Embolism Severity Index).
Indek ini dipakai untuk menilai derajat keparahan, tatalaksana dan mortalitas.13
Penderita dengan severitas tinggi perlu penanganan segera, penderita dengaqn
severitas sedang perlu rawat inap dan tatalaksana sesuai severitasnya. Sedangkan
penderita dengan severitas rendah menjadi pertimbangan segera pulang dan terapi
rawat jalan.15

Tabel 4.Indek severitas Emboli paru.13


Prediktor Skor Severitas
Usia dalam tahun
Laki-laki 10
Kanker 30 Rendah
Gagal jantung 10 Kelas I: ≤65
Kelas II: 66-85
Penyakit paru kronis 10
Nadi ≥110x/menit 20
Tinggi
Tekanan darah sistolik <100 mmHg 30
Kelas III: 86-105
RR ≥30x/menit 20 Kelas IV: 106-125
0
Suhu <36 C 20 Kelas V: >125
Perubahan status mental 60
Sat O2<90% 20

Gambar 15. Perkiraan prevalensi dan mortalitas pada penderita Emboli paru dengan
faktor risiko yang berbeda.13
Gambar diatas menunjukkan stratifikasi risiko dibandingkan mortalitas. Penderita
dengan risiko tinggi memiliki mortalitas dalam 30 hari sebesar >15%, risiko sedang

Hal.16
dengan mortalitas 3-15% dan 1% pada risiko rendah. Penyebab kematian pada emboli
paru akut adalah gagal jantung kanan.15

H. Kesimpulan
Emboli paru merupakan kondisi yang sering dan kadang mengancam. Diagnosis yang
tepat dapat menurunkan mortalitas. Perlu beberapa pemeriksaan untuk mendiagnosis
Emboli paru, diantaranya dengan menilai faktor risiko, klinis, tes D-dimer dan pencitraan.
Foto rongsen dada tidak dapat menyingkirkan Emboli paru namun pencitraan ini
diperlukan untuk panduan pemeriksaan selanjutnya serta mencari diagnosis alternatif.
Multi detector CT Angiografi Paru merupakan standar baku emas untuk diagnosis
Emboli paru. Terdapat beberapa pencitraan lain yang bisa dipakai untuk mendiagnosis
dan menilai severitas Emboli paru.

I. Daftar Pustaka

1. Sadigh, G., Kelly, A., & Cronin, P. (2011). Challenges, Controversies, and Hot Topics
in Pulmonary Embolism Imaging. AJR, 196, 497–515.
2. Gandara, E., & Wells, P. S. (2010). Diagnosis: Use of Clinical Probability Algorithms.
Clin Chest Med, 31, 629-639.
3. Bettmann, M., Baginski, S., White, R., Woodard, P., & Abbara, S. (2011). Acute
Chest Pain - Suspected Pulmonary Embolism. Radiology, 258(2), 590-598.
4. Hamad, M., Bathia, P., Ellidir, P., Abdelaziz, M., & Connolly, V. (2011). Diagnostic
approach to pulmonary embolism and lessons from a busy acute assessment unit in
the UK. Breathe, 7(4), 315-323.
5. Wilbur, J., & Shian, B. (2012). Diagnosis of Deep Venous Thrombosis and
Pulmonary Embolism. American Family Physician, 86(10), 913-919.
6. Agnelli, G., & Becattini, C. (2010). Acute Pulmonary Embolism. N Engl J Med, 363,
266-74.
7. Warren, D., & Matthews, S. (2012). Pulmonary embolism: investigation of the
clinically assessed intermediate risk subgroup. The British Journal of Radiology, 85,
37-43.
8. Penaloza, A., Verschuren, F., Meyer, G., Quentin-Georget, S., & Soulie, C. (2013).
Comparison of the Unstructured Clinician Gestalt, the Wells Score, and the Revised
Geneva Score to Estimate Pretest Probability for Suspected Pulmonary Embolism.
Annals of Emergency Medicine, 62(2), 117-124.

Hal.17
9. Becattini, C., Agnelli, G., Vedovati, M., Pruszczyk, P., Casazza, F., Grifoni, S., et al.
(2011). Multidetector computed tomography for acute pulmonary embolism:
diagnosis and risk stratification in a single test. European Heart Journal, 32, 1657–
1663.
10. Lee, E., Neuman, M., Lee, N., Johnso, V., Zurakowski, D., Tracy, D., et al. (2012).
Pulmonary Embolism Detected by Pulmonary MDCT Angiography in Older Children
and Young Adults: Risk Factor Assessment. AJR, 198, 1431–1437.
11. Bogot, N., Fingerle, A., Shaham, D., Nissenbaum, I., & Sosna, J. (2011). Image
Quality of Low-Energy Pulmonary CT Angiography: Comparison With Standard CT.
AJR, 197, W273–W278.
12. Morris, M., Gardner, B., Gotway, M., Thomsen, K., Harmsen, W., & Araoz, P. (2012).
CT Findings and Long-Term Mortality After Pulmonary Embolism. AJR, 198, 1346–
1352.
13. Abrahams-van Doorn, P., & Hartmann, I. J. (2011). Cardiothoracic CT: one-stop-
shop procedure? Impact on the management of acute pulmonary embolism. Insights
Imaging, 2, 705–715.
14. Zhou, Y., Shi, Y., Kumar, A., Chi, B., & Han, P. (2012). Assessment of correlation
between CT angiographic clot load score, pulmonary perfusion defect score and
global right ventricular function with dual-source CT for acute pulmonary embolism.
The British Journal of Radiology, 85, 972–979.
15. Venkatesh, S. K. (2011). CT pulmonary angiograp hy for pulmonary embolism:
role beyond diagnosis? Int J Clin Pract, 65(Suppl. 171), iii-v.
16. Woo, J. K., Chiu, R. Y., Thakur, Y., & Mayo, J. (2012). Risk-Benefit Analysis of
Pulmonary CT Angiography in Patients With Suspected Pulmonary Embolus. AJR,
198, 1332–1339.
17. Sheh, S., Bellin, E., Freeman, R., & Haramati, L. (2012). Pulmonary Embolism
Diagnosis and Mortality With Pulmonary CT Angiography Versus Ventilation-
Perfusion Scintigraphy: Evidence of Overdiagnosis With CT? AJR, 198, 1340–1345.
18. Hochhegger, B., Ley-Zaporozhan, J., Marchioro, E., Irion, K., Souza, A., Moreira, J.,
et al. (2011). Magnetic resonance imaging findings in acute pulmonary embolism.
The British Journal of Radiology, 84, 282-287.

Hal.18

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai