Anda di halaman 1dari 14

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

Terapi dengan menggunakan obat terutama ditujukan untuk meningkatkan

kualitas atau mempertahankan hidup pasien. Hal ini biasanya dilakukan dengan

cara: mengobati penyakit pasien, mengurangi atau meniadakan gejala sakit,

menghentikan atau memperlambat proses penyakit serta mencegah penyakit atau

gejalanya. Namun ada hal-hal yang tidak dapat disangkal dalam pemberian obat

yaitu kemungkinan terjadinya hasil pengobatan tidak seperti yang diharapkan

(Drug Related Problem).

Drug Related Problem (DRP) dapat didefinisikan sebagai kejadian tidak di

inginkan yang menimpa pasien yang berhubungan dengan terapi obat dan secara

nyata maupun potensial berpengaruh terhadap perkembangan pasien yang

diinginkan.

2.2. Komponen DRP

Suatu kejadian dapat disebut DRP bila memenuhi dua komponen berikut :

1. Kejadian tidak diinginkan yang dialami pasien

Kejadian ini dapat berupa keluhan medis, gejala, diagnosis penyakit,

ketidakmampuan (disability) atau sindrom; dapat merupakan efek dari kondisi

psikologis, fisiologis, sosiokultural atau ekonomi.

2. Hubungan antara kejadian tersebut dengan terapi obat

Bentuk hubungan ini dapat berupa konsekuensi dari terapi obat maupun

kejadian yang memerlukan terapi obat sebagai solusi maupun preventif.

3
4

Sebagai pengemban tugas pelayanan kefarmasian, seorang farmasis memiliki

tanggung jawab terhadap adanya DRP yaitu dalam hal:

1. Mengidentifikasi masalah

2. Menyelesaikan masalah

3. Melakukan tindakan untuk mencegah terjadinya DRP

2.3. Klasifikasi DRP

2.3.1. Indikasi

Pasien mengalami masalah medis yang memerlukan terapi obat (indikasi


untuk penggunaan obat), tetapi tidak menerima obat untuk indikasi tersebut.

a. Pasien memerlukan obat tambahan

Keadaan yang ditemukan pada DRP adalah suatu keadaan ketika pasien

menderita penyakit sekunder yang mengakibatkan keadaan yang lebih buruk

daripada sebelumnya, sehingga memerlukan terapi tambahan. Penyebab utama

perlunya terapi tambahan antara lain ialah untuk mengatasi kondisi sakit pasien

yang tidak mendapatkan pengobatan, untuk menambahkan efek terapi yang

sinergis, dan terapi untuk tujuan preventif atau profilaktif. Misalnya, penggunaan

obat AINS biasanya dikombinasikan dengan obat antihistamin 2 dengan tujuan

untuk mencegah terjadinya iritasi lambung.

b. Pasien menerima obat yang tidak diperlukan

Pada kategori ini termasuk juga penyalahgunaan obat, swamedikasi yang

tidak benar, polifarmasi dan duplikasi. Merupakan tanggungjawab farmasi agar

pasien tidak menggunakan obat yang tidak memiliki indikasi yang tepat. DRP

kategori ini dapat menimbulkan implikasi negatif pada pasien berupa toksisitas
5

atau efek samping, dan membengkaknya biaya yang dikeluarkan diluar yang

seharusnya. Misalnya, pasien yang menderita batuk dan flu mengkonsumsi obat

batuk dan analgesik-antipiretik terpisah padahal dalam obat batuk tersebut sudah

mengandung paracetamol.

2.3.2. Efektivitas

Pasien menerima regimen terapi yang salah Terapi multi obat (polifarmasi)

Polifarmasi merupakan penggunaan obat yang berlebihan oleh pasien dan

penulisan obat berlebihan oleh dokter dimana pasien menerima rata-rata 8-10

jenis obat sekaligus sekali kunjungan dokter atau pemberian lebih dari satu obat

untuk penyakit yang diketahui dapat disembuhkan dengan satu jenis obat. Jumlah

obat yang diberikan lebih dari yang diperlukan untuk pengobatan penyakit dapat

menimbulkan efek yang tidak diinginkan, seperti pemberian puyer pada anak

dengan batuk pilek yang berisi :

a. Amoksisillin

b. Parasetamol

c. Gliseril Guaiakolat

d. Deksametason

e. CTM

f. Luminal

Dari hal tersebut terlihat adanya polifarmasi, seorang farmasis bisa

menkonfirmasikan atau mendiskusikan terlebih dahulu kepada dokter sehingga

penggunaan yang tidak perlu seperti deksametason dan luminal sebaiknya tidak

diberikan untuk mencegah terjadinya regimen terapi yang salah.


6

1. Frekuensi pemberian

Banyak obat harus diberikan pada jangka waktu yang sering untuk memelihara

konsentrasi darah dan jaringan. Namun, beberapa obat yang dikonsumsi 3 atau

4 kali sehari biasanya benar-benar manjur apabila dikonsumsi sekali dalam

sehari.

Contohnya

a. Frekwensi pemberian amoksisilin 4 kali sehari yang seharusnya 3 kali


sehari.
b. Cara pemberian yang tidak tepat misalnya pemberian asetosal atau aspirin
sebelum makan, yang seharusnya diberikan sesudah makan karena dapat
mengiritasi lambung.

2. Durasi dari terapi

Contohnya penggunaan antibiotik harus diminum sampai habis selama satu

kurum pengobatan, meskipun gejala klinik sudah mereda atau menghilang

sama sekali. Interval waktu minum obat juga harus tepat, bila 4 kali sehari

berarti tiap enam jam, untuk antibiotik hal ini sangat penting agar kadar obat

dalam darah berada diatas kadar minimal yang dapat membunuh bakteri

penyebab penyakit.

3. Pasien menerima obat yang benar tetapi dosisnya terlalu rendah

Pasien menerima obat dalam jumlah lebih kecil dibandingkan dosis terapinya.

Hal ini dapat menjadi masalah karena menyebabkan tidak efektifnya terapi

sehingga pasien tidak sembuh, atau bahkan dapat memperburuk kondisi

kesehatannya. Hal-hal yang menyebabkan pasien menerima obat dalam jumlah

yang terlalu sedikit antara lain ialah kesalahan dosis pada peresepan obat,

frekuensi dan durasi obat yang tidak tepat dapat menyebabkan jumlah obat
7

yang diterima lebih sedikit dari yang seharusnya, penyimpanan juga

berpengaruh terhadap beberapa jenis sediaan obat, selain itu cara pemberian

yang tidak benar juga dapat mengurangi jumlah obat yang masuk ke dalam

tubuh pasien.

Ada beberapa faktor pendukung yang menyebabkan kejadian tersebut

yaitu antara lain obat diresepkan dengan metode fixed model (hanya merujuk

pada dosis lazim) tanpa mempertimbangkan lebih lanjut usia, berat badan, jenis

kelamin dan kondisi penyakit pasien sehingga terjadi kesalahan dosis pada

peresepan. Adanya asumsi dari tenaga kesehatan yang lebih menekankan

keamanan obat dan meminimalisir efek toksik terkadang sampai

mengorbankan sisi efektivitas terapi. Ketidakpatuhan pasien yang

menyebabkan konsumsi obat tidak tepat jumlah, antara lain disebabkan karena

faktor ekonomi pasien tidak mampu menebus semua obat yang diresepkan, dan

pasien tidak paham cara menggunakan obat yang tepat. Misalnya pemberian

antibiotik selama tiga hari pada penyakit ISFA Pneumonia.

2.3.3 Keamanan

1. Pasien menerima obat dalam dosis terlalu tinggi

Pasien menerima obat dalam jumlah dosis terlalu tinggi dibandingkan dosis

terapinya. Hal ini tentu berbahaya karena dapat terjadi peningkatan resiko efek

toksik dan bisa jadi membahayakan Hal-hal yang menyebabkan pasien

menerima obat dalam jumlah dosis terlalu tinggi antara lain ialah kesalahan

dosis pada peresepan obat, frekuensi dan durasi minum obat yang tidak tepat.

Misalnya, penggunaan fenitoin dengan kloramfenikol secara bersamaan,


8

menyebabkan interaksi farmakokinetik yaitu inhibisi metabolisme fenitoin oleh

kloramfenikol sehingga kadar fenitoin dalam darah meningkat.

2. Pasien mengalami efek obat yang tidak diinginkan (Adverse drug reaction)

Dalam terapinya pasien mungkin menderita ADR yang dapat disebabkan

karena obat tidak sesuai dengan kondisi pasien, cara pemberian obat yang tidak

benar baik dari frekuensi pemberian maupun durasi terapi, adanya interaksi

obat, dan perubahan dosis yang terlalu cepat pada pemberian obat-obat

tertentu.

ADR merupakan respon terhadap suatu obat yang berbahaya dan tidak

diharapkan serta terjadi pada dosis lazim yang dipakai oleh manusia untuk

tujuan profilaksis, diagnosis maupun terapi.

Pada umumnya ADR dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu :

1. Reaksi tipe A

Reaksi tipe A mencakup kerja farmakologis primer atau sekunder yang

berlebihan atau perluasan yang tidak diharapkan dari kerja obat seperti

diuretik mengimbas hipokalemia atau propanolol mengimbas pemblok

jantung. Reaksi ini seringkali bergantung dosis dan mungkin disebabkan

oleh suatu penyakit bersamaan, interaksi obat-obat atau obat-makanan.

Reaksi tipe A dapat terjadi pada setiap orang.

2. Reaksi tipe B

Reaksi tipe B merupakan reaksi idiosinkratik atau reaksi imunologi. Reaksi

alergi mencakup tipe berikut :


9

a. Tipe I, anafilaktik (reaksi alergi mendadak bersifat sistemik) atau segera

(hipersensitivitas)

b. Tipe II, sitotoksik

c. Tipe III, serum

d. Tipe IV, reaksi alergi tertunda misalnya penggunaan fenitoin dalam

jangka waktu lama dapat menyebabkan Steven Johnson syndrome.

3. Reaksi Tipe C (berkelanjutan)

Reaksi tipe C disebabkan penggunaan obat yang lama misalnya analgesik,

nefropati.

4. Reaksi Tipe D

Reaksi tipe D adalah reaksi tertunda, misalnya teratogenesis dan

karsinogenesis.

5. Reaksi Tipe E

Reaksi tipe E, penghentian penggunaan misalnya timbul kembali karena

ketidakcukupan adrenokortikal.

3. Kepatuhan

Kepatuhan adalah tingkat ketepatan perilaku seorang individu dengan nasehat

medis atau kesehatan. Kepatuhan pasien untuk minum obat dipengaruhi oleh

beberapa faktor, antara lain :

a. Persepsi tentang kesehatan

b. Pengalaman mengobati sendiri

c. Pengalaman dengan terapi sebelumnya

d. Lingkungan (teman, keluarga)

e. Adanya efek samping obat


10

f. Keadaan ekonomi

g. Interaksi dengan tenaga kesehatan (dokter, apoteker, perawat).

Akibat dari ketidakpatuhan (non-compliance) pasien untuk mengikuti aturan

selama pengobatan dapat berupa kegagalan terapi dan toksisitas. Ketidakpatuhan

seolah-olah diartikan akibat kelalaian dari pasien, dan hanya pasienlah yang

bertanggung jawab terhadap hal-hal yang terjadi akibat ketidakpatuhannya.

Padahal penyebab ketidakpatuhan bukan semata-mata hanya kelalaian pasien

dalam mengikuti terapi yang telah ditentukan, namun banyak faktor

pendorongnya, yaitu :

a. Obat tidak tersedia

Tidak tersedianya obat yang dibutuhkan pasien diapotek terdekat menyebabkan

pasien enggan untuk menebus obat keapotek lain.

b. Regimen yang kompleks

Jenis sediaan obat terlalu beragam, misalnya pada saat bersamaan pasien

mendapat sirup, tablet, tablet hisap, dan obat inhaslasi, hal ini dapat menyebabkan

pasien enggan minum obat.

c. Usia lanjut

Misalnya, banyak pasien geriatrik menggunakan lima atau eman obat-obatan

beberapa kali dalam sehari pada waktu yang berbeda. Kesamaan penampilan

seperti ukuran, warna, atau bentuk obat-obat tertentu dapat berkontribusi pada

kebingungan. Beberapa pasien geriatrik dapat mengalami hilang daya ingat yang

membuat ketidak patuhan lebih mungkin.


11

d. Lamanya terapi

Pemberian obat dalam jangka panjang misalnya pada penderita TBC, DM,

arthritis, hipertensi dapat mempengaruhi kepatuhan pasien, dimana pasien merasa

bosan dalam penggunaan obat tersebut yang menyebabkan efek terapi tidak

tercapai.

e. Hilangnya gejala

Pasien dapat merasa lebih baik setelah menggunaan obat dan merasa bahwa ia

tidak perlu lebih lama menggunakan obatnya setelah reda. Misalnya, ketika

seorang pasien tidak menghabiskan obatnya selama terapi antibiotik setelah ia

merasa bahwa infeksi telah terkendali. Hal ini meningkatkan kemungkinan

terjadinya kembali infeksi, sehingga pasien wajib diberi nasehat untuk

menggunakan seluruh obat selama terapi antibiotik.

f. Takut akan efek samping,

Timbulnya efek samping setelah meminum obat, seperti : ruam kulit dan nyeri

lambung atau timbulnya efek ikutan seperti urin menjadi merah karena minum

obat rimpafisin dapat menyebabkan pasien tidak mau menggunakan obat.

g. Rasa obat yang tidak enak

Masalah rasa obat-obatan paling umum dihadapi dengan penggunaan cairan oral

oleh anak-anak, misalnya dalam formulasi obat cair oral bagi anak-anak

penambahan penawar rasa dan zat warna dilakukan untuk daya tarik, sehingga

mempermudah pemberian obat dan meningkatkan kepatuhan.


12

h. Tidak mampu membeli obat

Ketidakpatuhan sering terjadi dengan penggunaan obat yang relatif mahal, pasien

akan lebih enggan mematuhi instruksi penggunaan obat yang lebih mahal.

i. Pasien lupa dalam pengobatan.

j. Kurangnya pengetahuan terhadap kondisi penyakit, pentingnya terapi dan


petunjuk penggunaan obat.

Pasien biasanya mengetahui relatif sedikit tentang kesakitan mereka, apalagi

manfaat dan masalah terapi yang diakibatkan oleh obat. Biasanya pasien

menetapkan pikiran sendiri berkenaan dengan kondisi dan pengharapan yang

berkaitan dengan efek terapi obat. Jika terapi tidak memenuhi harapan, mereka

cenderung tidak patuh. Oleh karena itu diperlukan edukasi pada pasien tentang

kondisi penyakitnya, manfaat serta keterbatasan terapi obat.

Dari beberapa faktor pendorong terjadinya ketidakpatuhan, apoteker memiliki

peran untuk meningkatkan kepatuhan pasien dengan memberikan informasi

tentang pentingnya pengobatan pada keadaan penyakit pasien. Selain itu,

diperlukan juga komunikasi yang efektif antara dokter dan apoteker sehingga

upaya penyembuhan kondisi penyakit pasien dapat berjalan dengan baik.

2.3.4. Pemilihan Obat

Keputusan untuk melakukan upaya terapi diambil setelah diagnosis

ditegakkan dengan benar. Obat yang dipilih untuk mengobati setiap kondisi harus

yang paling tepat dari yang tersedia. Banyak reaksi merugikan dapat dicegah, jika

dokter serta pasien melakukan pertimbangan dan pengendalian yang baik. Pasien

yang bijak tidak menghendaki pengobatan yang berlebihan. Pasien akan

bekerjasama dengan dokter untuk menyeimbangkan dengan tepat keseriusan


13

penyakit dan bahaya obat. Dengan demikian obat yang dipilih haruslah yang

memiliki efek terapi sesuai dengan spektrum penyakit.

2.3.5 Interaksi Obat

Interaksi obat adalah peristiwa dimana kerja obat dipengaruhi oleh obat lain

yang diberikan bersamaan atau hampir bersamaan. Efek obat dapat bertambah

kuat atau berkurang karena interaksi ini akibat yang dikehendaki dari interaksi ini

ada dua kemungkinan yakni meningkatkan efek toksik atau efek samping atau

berkurangnya efek klinik yang diharapkan. Interaksi obat dapat terjadi sebagai

berikut:

1. Obat-Makanan

Interaksi obat-makanan perlu mendapat perhatian dalam kegiatan pemantauan

terapi obat. Ada 2 jenis yang mungkin terjadi:

a. Perubahan parameter farmakokinetik (absorpsi dan eliminasi). Misalnya,

obat antibiotik tidak boleh dicampur dengan susu karena akan membenuk

ikatan sehingga obat tdak dapat diabsorbsi dan menurunkan efektifitas.

b. Perubahan dalam efikasi terapi obat (misalnya, makanan protein tinggi

meningkatkan kecepatan metabolisme teophillin). Sebagai tambahan,

banyak obat diberikan pada saat lambung kosong. Sebaliknya, terapi obat

dapat mengubah absorpsi secara merugikan dari penggunaan suatu bahan

gizi.

2. Obat-Uji Laboratorium

Interaksi obat-uji laboratorium terjadi apabila obat mempengaruhi akurasi uji

diagnostik. Interaksi ini dapat terjadi melalui gangguan kimia. Misalnya,


14

laksatif antrakuinon dapat mempengaruhi uji urin untuk urobilinogen atau oleh

perubahan zat yang diukur. Apabila mengevaluasi status kesehatan pasien

apoteker harus mempertimbangkan efek terapi obat pada hasil uji diagnostik.

3. Obat-Penyakit

Interaksi obat-penyakit juga merupakan masalah yang perlu dipantau. Apoteker

harus mengevaluasi pengaruh efek merugikan suatu obat pada kondisi medik

pasien. Dalam pustaka medik, interaksi obat-penyakit sering disebut sebagai

kontraindikasi absolut dan relatif. Misalnya, penggunaan kloramfenikol dapat

menyebabkan anemia aplastik, dan penggunaan antibiotik aminoglikosida

dapat menyebabkan nefrotoksik.

4. Obat-Obat

Interaksi antara obat-obat merupakan masalah yang perlu dihindari. Semua

obat termasuk obat non resep harus dikaji untuk interaksi obat. Apoteker perlu

mengetahui interaksi obat-obat yang secara klinik signifikan. Suatu interaksi

dianggap signifikan secara klinik jika hal itu mempunyai kemungkinan

menyebabkan kerugian atau bahaya pada pasien. Interaksi antar obat dapat

berakibat merugikan atau menguntungkan. Interaksi obat dianggap penting

secara klinik bila berakibat meningkatkan toksisitas dan/atau mengurangi

efektivitas obat yang berinteraksi, terutama bila menyangkut obat dengan batas

keamanan yang sempit.


15

Mekanisme interaksi obat, yakni :

a. Interaksi farmasetik (inkompatibilitas)

Inkompatibilitas ini terjadi di luar tubuh (sebelum obat diberikan) antara obat

yang tidak dapat dicampur (inkompatibel). Pencampuran obat demikian

menyebabkan terjadinya interaksi langsung secara fisik atau kimiawi yang

hasilnya mungkin terlihat sebagai pembentukan endapan, perubahan warna dan

lain-lain, atau mungkin juga tidak terlihat. Interaksi ini biasanya berakibat

inaktifasi obat.

Bagi tenaga kesehatan, interaksi farmasetik yang penting adalah interaksi antar

obat suntik dan interaksi antara obat suntik dengan cairan infus.

b. Interaksi farmakokinetik

Interaksi farmakokinetik terjadi bila salah satu obat mempengaruhi absorpsi,

distribusi, metabolisme atau ekskresi obat kedua sehingga kadar plasma obat

kedua meningkat atau menurun. Akibatnya, terjadi peningkatan toksisitas atau

penurunan efektivitas obat tersebut. Interaksi farmakokinetik tidak dapat

diekstrapolasikan ke obat lain yang segolongan dengan obat yang berinteraksi,

sekalipun struktur kimianya mirip, karena antara obat segolongan terdapat

variasi sifat-sifat fisiko kimia yang menyebabkan variasi sifat-sifat

farmakokinetiknya. Misalnya, penggunaan ketokonazol dan paracetamol secara

bersamaan, menyebabkan inhibisi metabolisme paracetamol oleh ketokonazol

sehingga kadar paracetamol meningkat.


16

c. Interaksi farmakodinamik.

Interaksi farmakodinamik adalah interaksi antara obat yang bekerja pada

sistem reseptor, tempat kerja atau sistem fisiologik yang sama sehingga terjadi

efek yang aditif, sinergistik atau antagonistik. Interaksi farmakodinamik

merupakan sebagian besar dari interaksi obat yang penting dalam klinik.

Berbeda dengan interaksi farmakokinetik, interaksi farmakodinamik seringkali

dapat diekstrapolasikan ke obat lain yang segolongan dengan obat yang

berinteraksi, karena penggolongan obat memang berdasarkan persamaan efek

farmakodinamiknya. Misalnya, penggunaan warfarin dan aspirin dapat

meningkatkan terjadinya perdarahan.

Anda mungkin juga menyukai