Anda di halaman 1dari 8

VERTIGO

PENDAHULUAN

Vertigo berasal dari istilah latin, yaitu vertere yang berarti berputar, dan igo yang
berarti kondisi. Vertigo merupakan subtipe dari “dizziness” yang secara defi nitif
merupakan ilusi gerakan, dan yang paling sering adalah perasaan atau sensasi tubuh
yang berputar terhadap lingkungan atau sebaliknya, lingkungan sekitar kita rasakan
berputar. Vertigo juga dirasakan sebagai suatu perpindahan linear ataupun miring,
tetapi gejala seperti ini lebih jarang dirasakan. Kondisi ini merupakan gejala kunci
yang menandakan adanya gangguan sistem vestibuler dan kadang merupakan gejala
kelainan labirin. Namun, tidak jarang vertigo merupakan gejala dari gangguan
sistemik lain (misalnya, obat, hipotensi, penyakit endokrin, dan sebagainya).

EPIDEMIOLOGI

Vertigo terjadi pada sekitar 32% kasus, dan sampai dengan 56,4% pada populasi
orang tua. Sementara itu, angka kejadian vertigo pada anak-anak tidak
diketahui,tetapi dari studi yang lebih baru pada populasi anak sekolah di Skotlandia,
dilaporkan sekitar 15% anak paling tidak pernah merasakan sekali serangan pusing
dalam periode satu tahun. Sebagian besar (hampir 50%) diketahui sebagai
“paroxysmal vertigo” yang disertai dengan gejala-gejala migren (pucat, mual,
fonofobia, dan fotofobia).

PATOFISIOLOGI

Etiologi vertigo adalah abnormalitas dari organ organ vestibuler, visual, ataupun
sistem propioseptif. Labirin (organ untuk ekuilibrium) terdiri atas 3 kanalis
semisirkularis, yang berhubungan dengan rangsangan akselerasi angular, serta
utrikulus dan sakulus, yang berkaitan dengan rangsangan gravitasi dan akselerasi
vertikal. Rangsangan berjalan melalui nervus vestibularis menuju nukleus
vestibularis di batang otak, lalu menuju fasikulus medialis (bagian kranial muskulus
okulomotorius), kemudian meninggalkan traktus vestibulospinalis (rangsangan
eksitasi terhadap otot-otot ekstensor kepala, ekstremitas, dan punggung untuk
mempertahankan posisi tegak tubuh). Selanjutnya, serebelum menerima impuls
aferen dan berfungsi sebagai pusat untuk integrasi antara respons okulovestibuler
dan postur tubuh.

Fungsi vestibuler dinilai dengan mengevaluasi refl eks okulovestibuler dan


intensitas nistagmus akibat rangsangan perputaran tubuh dan rangsangan kalori
pada daerah labirin. Refleks okulovestibuler bertanggung jawab atas fiksasi mata
terhadap objek diam sewaktu kepala dan badan sedang bergerak. Nistagmus
merupakan gerakan bola mata yang terlihat sebagai respons terhadap rangsangan
labirin, serta jalur vestibuler retrokoklear, ataupun jalur vestibulokoklear sentral.
Vertigo sendiri mungkin merupakan gangguan yang disebabkan oleh penyakit
vestibuler perifer ataupun disfungsi sentral oleh karenanya secara umum vertigo
dibedakan menjadi vertio perifer dan vertigo sentral. Penggunaan istilah perifer
menunjukkan bahwa kelainan atau gangguan ini dapat terjadi pada end-organ
(utrikulus maupun kanalis semisirkularis) maupun saraf perifer.

Lesi vertigo sentral dapat terjadi pada daerah pons, medulla, maupun serebelum.
Kasus vertigo jenis ini hanya sekitar 20% - 25% dari seluruh kasus vertigo, tetapi
gejala gangguan keseimbangan (disekulibrium) dapat terjadi pada 50% kasus
vertigo. Penyebab vertigo sentral ini pun cukup bervariasi, di antaranya iskemia
atau infark batang otak (penyebab terbanyak), proses demielinisasi (misalnya, pada
sklerosis multipel, demielinisasi pascainfeksi), tumor pada daerah serebelopontin,
neuropati kranial, tumor daerah batang otak, atau sebab sebab lain.

Beberapa penyakit ataupun gangguan sistemik dapat juga menimbulkan gejala


vertigo. Begitu pula dengan penggunaan obat, seperti antikonvulsan, antihipertensi,
alkohol, analgesik, dan tranquilizer. Selain itu, vertigo juga dapat timbul pada
gangguan kardiovaskuler (hipotensi, presinkop kardiak maupun non-kardiak),
penyakit infeksi, penyakit endokrin (DM, hipotiroidisme), vaskulitis, serta penyakit
sistemik lainnya, seperti anemia, polisitemia, dan sarkoidosis.
Neurotransmiter yang turut berkontribusi dalam patofi siologi vertigo, baik perifer
maupun sentral, di antaranya adalah neurotransmiter kolinergik, monoaminergik,
glutaminergik, dan histamin. Beberapa obat antivertigo bekerja dengan
memanipulasi neurotransmiter-neurotransmiter ini, sehingga gejala-gejala vertigo
dapat ditekan. Glutamat merupakan neurotransmiter eksitatorik utama dalam
serabut saraf vestibuler. Glutamat ini memengaruhi kompensasi vestibuler melalui
reseptor NMDA (N-metil-D-aspartat). Reseptor asetilkolin muskarinik banyak
ditemukan di daerah pons dan medulla, dan akan menimbulkan keluhan vertigo
dengan memengaruhi reseptor muskarinik tipe M2, sedangkan neurotransmiter
histamin banyak ditemukan secara merata di dalam struktur vestibuler bagian
sentral, berlokasi di predan postsinaps pada sel-sel vestibuler.

PEMERIKSAAN FISIK

Pemeriksaan fisik yang menyeluruh sebaiknya difokuskan pada evaluasi neurologis


terhadap saraf-saraf kranial dan fungsi serebelum, misalnya dengan melihat
modalitas motorik dan sensorik. Penilaian terhadap fungsi serebelum dilakukan
dengan menilai fi ksasi gerakan bola mata; adanya nistagmus (horizontal)
menunjukkan adanya gangguan vestibuler sentral.

Pemeriksaan kanalis auditorius dan membran timpani juga harus dilakukan untuk
menilai ada tidaknya infeksi telinga tengah, malformasi, kolesteatoma, atau fistula
perilimfatik. Dapat juga dilakukan pemeriksaan tajam pendengaran.

Tes keseimbangan

Pemeriksaan klinis, baik yang dilakukan unit gawat darurat maupun di ruang
pemeriksaan lainnya, mungkin akan memberikan banyak informasi tentang keluhan
vertigo. Beberapa pemeriksaan klinis yang mudah dilakukan untuk melihat dan
menilai gangguan keseimbangan diantaranya adalah: Tes Romberg. Pada tes ini,
penderita berdiri dengan kaki yang satu di depan kaki yang lain, tumit yang satu
berada di depan jari-jari kaki yang lain (tandem). Orang yang normal mampu berdiri
dalam sikap Romberg ini selama 30 detik atau lebih. Berdiri dengan satu kaki
dengan mata terbuka dankemudian dengan mata tertutup merupakan skrining yang
sensitif untuk kelainan keseimbangan. Bila pasien mampu berdiri dengan satu kaki
dalam keadaan mata tertutup, dianggap normal.

Tes melangkah di tempat (stepping test)

Penderita harus berjalan di tempat dengan mata tertutup sebanyak 50 langkah


dengan kecepatan seperti berjalan biasa dan tidak diperbolehkan beranjak dari
tempat semula. Tes ini dapat mendeteksi ada tidaknya gangguan sistem vestibuler.
Bila penderita beranjak lebih dari 1 meter dari tempat semula atau badannya
berputar lebih dari 30 derajat dari keadaan semula, dapat diperkirakan penderita
mengalami gangguan sistem vestibuler.

Tes salah tunjuk (past-pointing)

Penderita diperintahkan untuk merentangkan lengannya dan telunjuk penderita


diperintahkan menyentuh telunjuk pemeriksa. Selanjutnya, penderita diminta untuk
menutup mata, mengangkat lengannya tinggitinggi (vertikal) dan kemudian
kembali pada posisi semula. Pada gangguan vestibuler, akan didapatkan salah
tunjuk.

Manuver Nylen-Barany atau Hallpike

Untuk menimbulkan vertigo pada penderita dengan gangguan sistem vertibuler,


dapat dilakukan manuver Nylen-Barany atau Hallpike. Pada tes ini, penderita
duduk di pinggir ranjang pemeriksaan, kemudian direbahkan sampai kepala
bergantung di pinggir tempat tidur dengan sudut sekitar 30 derajat di bawah
horizon, lalu kepala ditolehkan ke kiri. Tes kemudian diulangi dengan kepala
melihat lurus dan diulangi lagi dengan kepala menoleh ke kanan. Penderita harus
tetap membuka matanya agar pemeriksa dapat melihat muncul/tidaknya nistagmus.
Kepada penderita ditanyakan apakah merasakan timbulnya gejala vertigo.

Tes kalori

Tes kalori baru boleh dilakukan setelah dipastikan tidak ada perforasi membrane
timpani maupun serumen. Cara melakukan tes ini adalah dengan memasukkan air
bersuhu 30° C sebanyak 1 mL. Tes ini berguna untuk mengevaluasi nistagmus,
keluhan pusing, dan gangguan fi ksasi bola mata.

Pemeriksaan lain dapat juga dilakukan, dan selain pemeriksaan fungsi vestibuler,
perlu dikerjakan pula pemeriksaan penunjang lain jika diperlukan. Beberapa
pemeriksaan penunjang dalam hal ini di antaranya adalah pemeriksaan
laboratorium (darah lengkap, tes toleransi glukosa, elektrolit darah, kalsium, fosfor,
magnesium) dan pemeriksaan fungsi tiroid. Pemeriksaan penunjang dengan CT-
scan, MRI, atau angiografi dilakukan untuk menilai struktur organ dan ada tidaknya
gangguan aliran darah, misalnya pada vertigo sentral.

TATALAKSANA VERTIGO

Penatalaksanaan vertigo bergantung pada lama keluhan dan ketidaknyamanan


akibat gejala yang timbul serta patologi yang mendasarinya. Pada vertigo, beberapa
tindakan spesifi k dapat dianjurkan untuk mengurangi keluhan vertigo. Pada
penyakit Meniere, misalnya, pengurangan asupan garam dan penggunaan diuretik
disarankan untuk mengurangi tekanan endolimfatik. Untuk BPPV (benign
paroxysmal positional vertigo), dapat dicoba dengan “bedside maneuver” yang
disebut dengan “Epley particle repositioning maneuver”.

Penatalaksanaan Medikamentosa

Secara umum, penatalaksanaan medikamentosa mempunyai tujuan utama: (i)


mengeliminasi keluhan vertigo, (ii) memperbaiki proses-proses kompensasi
vestibuler, dan (iii) mengurangi gejala-gejala neurovegetatif ataupun psikoafektif.
Beberapa golongan obat yang dapat digunakan untuk penanganan vertigo di
antaranya adalah:

Antikolinergik

Antikolinergik merupakan obat pertama yang digunakan untuk penanganan vertigo,


yang paling banyak dipakai adalah skopolamin dan homatropin. Kedua preparat
tersebut dapat juga dikombinasikan dalam satu sediaan antivertigo. Antikolinergik
berperan sebagai supresan vestibuler melalui reseptor muskarinik. Pemberian
antikolinergik per oral memberikan efek rata-rata 4 jam, sedangkan gejala efek
samping yang timbul terutama berupa gejala-gejala penghambatan reseptor
muskarinik sentral, seperti gangguan memori dan kebingungan (terutama pada
populasi lanjut usia), ataupun gejala-gejala penghambatan muskarinik perifer,
seperti gangguan visual, mulut kering, konstipasi, dan gangguan berkemih.

Antihistamin

Penghambat reseptor histamin-1 (H-1 blocker) saat ini merupakan antivertigo yang
paling banyak diresepkan untuk kasus vertigo,dan termasuk di antaranya adalah
difenhidramin, siklizin, dimenhidrinat, meklozin, dan prometazin. Mekanisme
antihistamin sebagai supresan vestibuler tidak banyak diketahui, tetapi diperkirakan
juga mempunyai efek terhadap reseptor histamin sentral. Antihistamin mungkin
juga mempunyai potensi dalam mencegah dan memperbaiki “motion sickness”.
Efek sedasi merupakan efek samping utama dari pemberian penghambat histamin-
1. Obat ini biasanya diberikan per oral, dengan lama kerja bervariasi mulai dari 4
jam (misalnya, siklizin) sampai 12 jam (misalnya, meklozin).

Histaminergik

Obat kelas ini diwakili oleh betahistin yang digunakan sebagai antivertigo di
beberapa negara Eropa, tetapi tidak di Amerika. Betahistin sendiri merupakan
prekrusor histamin. Efek antivertigo betahistin diperkirakan berasal dari efek
vasodilatasi, perbaikan aliran darah pada mikrosirkulasi di daerah telinga tengah
dan sistem vestibuler. Pada pemberian per oral, betahistin diserap dengan baik,
dengan kadar puncak tercapai dalam waktu sekitar 4 jam. efek samping relatif
jarang, termasuk di antaranya keluhan nyeri kepala dan mual.

Antidopaminergik

Antidopaminergik biasanya digunakan untuk mengontrol keluhan mual pada pasien


dengan gejala mirip-vertigo. Sebagian besar antidopaminergik merupakan
neuroleptik. Efek antidopaminergik pada vestibuler tidak diketahui dengan pasti,
tetapi diperkirakan bahwa antikolinergik dan antihistaminik (H1) berpengaruh pada
sistem vestibuler perifer. Lama kerja neuroleptik ini bervariasi mulai dari 4 sampai
12 jam. Beberapa antagonis dopamin digunakan sebagai antiemetik, seperti
domperidon dan metoklopramid. Efek samping dari antagonis dopamin ini terutama
adalah hipotensi ortostatik, somnolen, serta beberapa keluhan yang berhubungan
dengan gejala ekstrapiramidal, seperti diskinesia tardif, parkinsonisme, distonia
akut, dan sebagainya.

Benzodiazepin

Benzodiazepin merupakan modulator GABA, yang akan berikatan di tempat


khusus pada reseptor GABA. Efek sebagai supresan vestibuler diperkirakan terjadi
melalui mekanisme sentral. Namun, seperti halnya obat-obat sedatif, akan
memengaruhi kompensasi vestibuler. Efek farmakologis utama dari benzodiazepin
adalah sedasi, hipnosis, penurunan kecemasan, relaksasi otot, amnesia anterograd,
serta antikonvulsan. Beberapa obat golongan ini yang sering digunakan adalah
lorazepam, diazepam, dan klonazepam.

Antagonis kalsium

Obat-obat golongan ini bekerja dengan menghambat kanal kalsium di dalam sistem
vestibuler, sehingga akan mengurangi jumlah ion kalsium intrasel. Penghambat
kanal kalsium ini berfungsi sebagai supresan vestibuler. Flunarizin dan sinarizin
merupakan penghambat kanal kalsium yang diindikasikan untuk penatalaksanaan
vertigo; kedua obat ini juga digunakan sebagai obat migren. Selain sebagai
penghambat kanal kalsium, ternyata fl unarizin dan sinarizin mempunyai efek
sedatif, antidopaminergik, serta antihistamin-1. Flunarizin dan sinarizin dikonsumsi
per oral. Flunarizin mempunyai waktu paruh yang panjang, dengan kadar mantap
tercapai setelah 2 bulan, tetapi kadar obat dalam darah masih dapat terdeteksi dalam
waktu 2-4 bulan setelah pengobatan dihentikan. Efek samping jangka pendek dari
penggunaan obat ini terutama adalah efek sedasi dan peningkatan berat badan. Efek
jangka panjang yang pernah dilaporkan ialah depresi dan gejala parkinsonisme,
tetapi efek samping ini lebih banyak terjadi pada populasi lanjut usia.

Simpatomimetik
Simpatomimetik, termasuk efedrin dan amfetamin, harus digunakan secara hati-hati
karena adanya efek adiksi.

Asetilleusin

Obat ini banyak digunakan di Prancis. Mekanisme kerja obat ini sebagai antivertigo
tidak diketahui dengan pasti, tetapi diperkirakan bekerja sebagai prekrusor
neuromediator yang memengaruhi aktivasi vestibuler aferen, serta diperkirakan
mempunyai efek sebagai “antikalsium” pada neurotransmisi. Beberapa efek
samping penggunaan asetilleusin ini di antaranya adalah gastritis (terutama pada
dosis tinggi) dan nyeri di tempat injeksi.

Lain-lain

Beberapa preparat ataupun bahan yang diperkirakan mempunyai efek antivertigo di


antaranya adalah ginkgo biloba, piribedil (agonis dopaminergik), dan ondansetron.

Anda mungkin juga menyukai