Anda di halaman 1dari 107

PERBANDINGAN HASIL TEKNIK PENJAHITAN JELUJUR

SUBKUTIKULAR DAN TRANSKUTANEUS TERPUTUS


PADA LASERASI SPONTAN PERINEUM DERAJAT II PERSALINAN
PRIMIPARA OLEH BIDAN

Oleh:
Aida Ratna Wijayanti, S.Keb.Bd

AKADEMI KEBIDANAN DHARMA HUSADA


KEDIRI
2014

i
PERBANDINGAN HASIL TEKNIK PENJAHITAN JELUJUR
SUBKUTIKULAR DAN TRANSKUTANEUS TERPUTUS
PADA LASERASI SPONTAN PERINEUM DERAJAT II PERSALINAN
PRIMIPARA OLEH BIDAN

Oleh:
Aida Ratna Wijayanti, S.Keb.Bd

AKADEMI KEBIDANAN DHARMA HUSADA


KEDIRI
2014

ii
PERBANDINGAN HASIL TEKNIK PENJAHITAN JELUJUR
SUBKUTIKULAR DAN TRANSKUTANEUS TERPUTUS
PADA LASERASI SPONTAN PERINEUM DERAJAT II PERSALINAN
PRIMIPARA OLEH BIDAN

Oleh:
Aida Ratna Wijayanti, S.Keb.Bd

PROPOSAL TESIS

Guna memenuhi syarat pendaftaran Magister Kebidanan


FK Universitas Brawijaya Malang

Pembimbing I Pembimbing II

AKADEMI KEBIDANAN DHARMA HUSADA


KEDIRI
2014

PERNYATAAN

iii
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Karya ini adalah asli dan belum pernah diajukan untuk mendapat gelar akademik

(Sarjana, Magister dan/ atau doktor) baik di Akademi Kebidanan Dharma Husada

Kediri maupun di perguruan tinggi manapun.

2. Karya tulis ini adalah murni gagasan, rumusan dan penelitian saya sendiri, tanpa

bantuan pihak lain, kecuali tim pembimbing.

3. Dalam karya tulis ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah dipublikasikan

orang lain, kecuali secara tertulis dengan jelas dicantumkan sebagai acuan dalam

naskah dengan jelas disebutkan nama pengarang dan dicantumkan dalam daftar

pustaka.

4. Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila dikemudian hari terdapat

penyimpangan dan ketidakbenaran dalam pernyataan ini, maka saya bersedia

menerima sanksi akademik berupa pencabutan gelar yang telah diperoleh karena karya

tulis ini, serta sanksi lainnya sesuai dengan norma yang berlaku di Perguruan Tinggi

ini.

Kediri, 3 Januari 2014


Yang membuat pernyataan,

Aida Ratna Wijayanti, S.Keb.Bd

iv
ABSTRAK

Morbiditas ibu pascasalin pervaginam yang berkaitan dengan trauma perineum


dapat terjadi jangka pendek maupun jangka panjang. Penjahitan laserasi perineum
diperlukan untuk mendekatkan jaringan. Tujuan penelitian ini untuk menganalisis hasil
teknik penjahitan jelujur subkutikular dan transkutaneus terputus laserasi spontan perineum
derajat II persalinan menggunakan catgut kromik pada primipara yang dilakukan oleh bidan
Penelitian ini bersifat observasional analitik komparatif dengan pendekatan
prospektif. Jumlah sampel sebanyak 40 subjek yaitu 20 subjek kelompok yang telah
dilakukan teknik penjahitan jelujur subkutikular dan 20 subjek yang telah dilakukan teknik
penjahitan transkutaneus terputus. Pengambilan sampel dilakukan secara konsekutif
berdasarkan kriteria inklusi penelitian di 10 tempat bidan praktik swasta di Kediri selama
bulan Juni sampai Agustus 2014. Derajat nyeri perineum dinilai dengan skala visual analog
dan penyembuhan luka perineum meliputi lima item redness, oedema, ecchymosis,
discharge dan approximation (skala REEDA). Derajat nyeri perineum pada hari 1-10
pascasalin sedangkan penyembuhan luka perineum hari ke-1, 3, 5, 7 dan 10 pascasalin.
Analisis data menggunakan uji Mann-Whitney, uji chi kuadrat atau uji eksak Fisher.

Kata kunci: catgut kromik, laserasi, nyeri perineum, penyembuhan luka, teknik penjahitan,
jelujur subkutikular, transkutaneus terputus.

v
ABSTRACT

Maternal morbidity after vaginal delivery associated with perineal trauma will
occurred short term (primary outcome) or long term (secondary outcome). Repair of
perineal laceration requires to approximation of tissues. Objective this study is to analyze
outcome a continuous suture technique and transcutaneous interrupted sutures using
chromic catgut for postpartum perineal repair of spontaneous second-degree lacerations in
delivery performed by midwives
This is an observasional comparative analytical study with prospective approach. A
total of 40 were selected by consecutive based on inclusion criteria during period June to
August 2011 at 10 private midwife services in Kediri. 20 subject have to used continuous
subcuticular technique and 20 subject have to used transcutaneous interrupted sutures.
Pain was evaluated using a visual analogue scale and perineal wound healing was
evaluated using five items redness, oedema, ecchymosis, discharge and approximation
(REEDA scale). Perineal pain at 1-10 days after delivery and perineal wound healing at 1,
3, 5, 7, and 10 after delivery. Statistical analysis used a comparative test of Mann-Whitney,
Chi-square (χ2) and Fisher’s exact tests were used for inferential analysis.

Key words: chromic catgut, laceration, perineal pain, wound healing, suture technique,
continuous subcuticular, interrupted transcutaneous

vi
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, berkat rahmat dan

bimbinganNya penulis dapat menyelesaikan proposal tesis dengan judul “Perbandingan

hasil teknik penjahitan jelujur subkutikular dan transkutaneus terputus pada laserasi

spontan perineum derajat II persalinan primipara oleh bidan”. proposal tesis ini

merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Kebidanan (M.Keb) pada

program studi S2 Pendidikan Magister Kebidanan Fakultas Kedokteran Universitas

Brawijaya.

Bersama ini perkenankanlah penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-

besarnya dengan hati yang tulus kepada:

1. Prof……………, selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Malang

yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas kepada kami untuk mengikuti dan

menyelesaikan pendidikan program studi magister kebidanan.

2. Dr………………., selaku Ketua Program Magister Kebidanan Fakultas Kedokteran

Universitas Brawijaya yang telah memberikan kesempatan dan dorongan kepada kami

untuk menyelesaikan program studi magister kebidanan.

3. Dr……………., selaku pembimbing yang dengan penuh kesabaran dalam meluangkan

waktu, tenaga untuk memberikan dorongan, perhatian, motivasi, bimbingan dan

pengarahan serta saran-saran dalam penyusunan proposal tesis ini.

4. ………………. yang telah membimbing metodelogi penelitian statistik.

Serta Staf dosen magister Kebidanan Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya, yang

telah memberikan bimbingannya.

5. …………., selaku Bidan Koordinator Kota Kediri yang telah memberikan kesempatan

kepada penulis untuk mengadakan penelitian

vii
6. Pihak Perpustakaan Universitas Brawijaya yang sangat membantu penulis dalam

pencarian sumber-sumber baik dari buku, jurnal maupun penelitian terdahulu yang

penulis gunakan untuk menyusun proposal tesis ini.

7. Ibu-ibu yang telah bersalin atas kesediannya menjadi responden dalam penelitian ini.

8. Suamiku Toni Setiawan dan orangtuaku, yang telah memberikan do’a restu dan

pengorbanan selama menyelesaikan pendidikan dan penyusunan proposal tesis ini.

9. Semua yang turut membantu dalam penyelesaian proposal tesis ini yang tidak dapat

penulis sebutkan satu-persatu.

Semoga Allah SWT membalas budi baik semua pihak yang telah memberi kesempatan,

dukungan dan bantuan dalam menyelesaikan proposal tesis ini. Penulis sadari bahwa

proposal tesis ini jauh dari sempurna tapi kami berharap bermanfaat bagi pembaca.

Surabaya, ............................

Penulis

viii
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL i
LEMBARAN PENGESAHAN iii
LEMBAR PERNYATAAN iv
ABSTRAK v
ABSTRACT vi
KATA PENGANTAR vii
DAFTAR ISI ix
DAFTAR TABEL xi
DAFTAR GAMBAR xii
DAFTAR SINGKATAN xiii
DAFTAR LAMPIRAN xiv
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang Penelitian 1
1.2 Rumusan Masalah 6
1.3 Tujuan Penelitian 7
1.4 Kegunaan Penelitian 7
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN,
DAN HIPOTESIS 9
2.1 Perineum 9
2.1.1 Dasar Panggul 9
2.1.2 Badan Perineum 12
2.1.3 Trauma Perineum..................................................... 14
2.1.4 Nyeri Perineum Pascasalin 19
2.1.5 Penyembuhan Luka 25
2.1.6 Penilaian Penyembuhan Luka Perineum Pascasalin 33
2.1.7 Benang dan Teknik Penjahitan 36
2.1.8 Anestesi, Benang dan Teknik Penjahitan Laserasi
Perineum 42
2.1.9 Penilaian Nyeri........................................................ 50
2.2 Kerangka Pemikiran dan Premis 53
ix
2.3 Hipotesis 56
BAB III SUBJEK DAN METODE PENELITIAN 57
3.1 Subjek Penelitian 57
3.1.1 Populasi dan Sampel Penelitian 57
3.1.2 Kriteria Inklusi dan Eksklusi 57
3.1.3 Cara Pemilihan dan Ukuran Sampel 58
3.2 Metode Penelitian 60
3.2.1 Rancangan Penelitian 60
3.2.2 Identifikasi Variabel 60
3.2.3 Definisi Operasional................................................ 60
3.2.4 Cara Kerja dan Teknik Pengumpulan Data 72
3.2.5 Analisis Data 72
3.2.6 Tempat dan Waktu Penelitian 73
3.3 Implikasi/Aspek Etik Penelitian 73
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

x
DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2-1. Pembagian Robekan Perineum……………………………….. 16


Tabel 2-2. Skala REEDA Penilaian Penyembuhan Luka Perineum Pascasalin
………………………………………..................... 34
Tabel 2-3. Tinjauan Kejadian Nyeri Perineum dan Penyembuhan Luka
Perineum……………………………………………………… 36
Tabel 2-4. Karakteristik Benang Dapat Diserap (Absorbable Suture
Materials).................................................................................. 45
Tabel 3-1. Definisi Operasional.................................................................. 61

DAFTAR GAMBAR

Halaman
xi
Gambar 2.1. Otot-otot dasar panggul ..................................................... 12
Gambar 2.2. Badan Perineum................................................................. 13
Gambar 2.3. Jaringan Cedera. ................................................................ 28
Gambar 2.4. Fase inflamasi. ................................................................... 28
Gambar 2.5. Fase proliferasi................................................................... 30
Gambar 2.6. Fase maturasi...................................................................... 30
Gambar 2.7. (a) Jahitan jelujur (over-and-over running stitch), (b) Jahitan
jelujur interlocking (running locked), (c) Jahitan jelujur
subkutikular.…..…….............................................. 40
Gambar 2.8. (a) Jahitan terputus satu-satu, (b) Jahitan terputus matras vertikal,
(c) Jahitan terputus matras horizontal………...... 41
Gambar 2.9. Kekuatan Benang yang dapat diserap dalam Penelitian
Invivo................................................................................ 44
Gambar 2.10 Skala Visual Analog……………………………………... 52
Gambar 2.11. Kerangka Pemikiran..…………………………................. 55
Gambar 3.1. Bagan Alur Penelitian........................................................ 71

DAFTAR SINGKATAN

AGF : angiogenesis growth factor

ACTH : adrenocorticotropic hormone

BPS : bidan praktik swasta

xii
EAS : external anal sphincter

IAS : internal anal sphincter

IASP : international association for the study of pain

JNPK-KR : jaringan nasional pelatihan klinik-kesehatan reproduksi

PDGF : platelet-derived growth factor

RCT : randomized controlled trial

RCOG : royal college of obstetrics and gynaecology

RB : rumah bersalin

TGF-β : transforming growth factor-β

VAS : visual analog scale

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
Lampiran 1 Surat Permohonan Ikut Serta Dalam Penelitian………..... 82
Lampiran 2 Surat Persetujuan Ikut Serta Dalam Penelitian ..………... 83
Lampiran 3 Penuntun Penilaian Nyeri Perineum (Visual Analog Scale) 84
……………………………………………………..
xiii
Lampiran 4 Prosedur Pemeriksaan Penyembuhan Luka Perineum…... 89
Lampiran 5 Formulir Pemeriksaan Penyembuhan Luka
Perineum (Skala REEDA) ................................................ 90
Lampiran 6 Formulir Hasil Penilaian Nyeri Perineum.......................... 92
Lampiran 7 Master Tabel Teknik Penjahitan Jelujur Subkutikular....... 92
Lampiran 8 Master Tabel Teknik Penjahitan Jelujur Subkutikular....... 93

xiv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Persalinan merupakan hal yang alami dan fisiologis yang dialami oleh

seorang wanita, namun adakalanya persalinan dapat menimbulkan masalah

traumatik bagi seorang wanita yang dapat meningkatkan morbiditas dan

mortalitas ibu. Salah satu masalah morbiditas yang sering timbul karena proses

persalinan pervaginam adalah terjadinya laserasi pada perineum, vagina, dan

serviks, laserasi ini dapat terjadi spontan pada waktu persalinan, terutama pada

ibu primipara atau ibu yang baru pertama kali melahirkan.

Kebanyakan cedera dan robekan terjadi pada perineum, vagina dan uterus

serta jaringan penyokong terjadi sewaktu melahirkan dan penanganannya

merupakan masalah kebidanan. Beberapa cedera jaringan penyokong, baik akut

maupun nonakut, baik telah diperbaiki maupun belum dapat menjadi masalah

ginekologis dikemudian hari yang akan mempengaruhi kualitas hidup seorang

wanita.1

Sekitar 85% wanita yang melahirkan spontan pervaginam mengalami

trauma perineum berupa 32-33% karena tindakan episiotomi dan 52% merupakan

laserasi spontan. Sekitar ¾ diantaranya memerlukan penjahitan perineum untuk

membantu penyembuhan jaringan. Kejadiannya akan meningkat apabila

dilakukan manipulasi persalinan berupa persalinan buatan dengan menggunakan

forseps, vakum, dan juga pertolongan persalinan sungsang. Untuk membantu

proses penyembuhan luka maka penjahitan laserasi perineum sebagai tindakan


1
2

utama harus dilakukan sesuai kondisi yang terjadi. Bagian luka harus diperhatikan

dengan seksama karena dilaporkan bahwa proporsi wanita yang mengalami nyeri

perineum pascasalin cukup tinggi.1-3

Hasil penelitian Buhling dkk melaporkan bahwa sekitar 70% wanita bersalin

memerlukan perbaikan dan penjahitan perineum, namun tingginya angka tersebut

tidak didukung dengan prosedur penjahitan dan monitoring penyembuhan luka

yang baik. Kondisi tersebut akan mempengaruhi nyeri dan terjadinya dispareuni

baik jangka pendek maupun jangka panjang. Sebagian besar wanita juga akan

mengalami nyeri perineum pada periode segera setelah melahirkan. 4 Nyeri

perineum pascasalin juga akan berhubungan dengan luasnya laserasi dan

komplikasi yang terjadi saat persalinan.5-7

Setelah penjahitan, 37% wanita mengeluhkan masalah yang terjadi pada

luka perineum, termasuk nyeri perineum, jahitan yang tidak nyaman dan luka

yang terbuka. Komplikasi yang terjadi pada ibu tergantung pada tingkat

keparahan trauma perineum dan efektivitas pengobatan yang dilakukan. Tipe dari

material benang, teknik penjahitan, dan keterampilan operator sebagai tiga faktor

dominan yang berpengaruh terhadap hasil penjahitan perineum, dan ketiga faktor

tersebut berpengaruh terhadap morbiditas jangka pendek maupun jangka

panjang.7-9

Material benang dibagi dalam beberapa klasifikasi diantaranya dapat

digolongkan berdasarkan bahan benang yaitu sintetik dan alami. Beberapa hasil

penelitian melaporkan bahwa benang yang sebaiknya digunakan untuk penjahitan

perineum dalam rangka mengurangi nyeri perineum dan terlepasnya jahitan


3

adalah benang yang dapat diserap. Hal ini sesuai Cochrane Database Systematic

Reviews menunjukkan bahwa jahitan jelujur untuk perbaikan perineum dan

penggunaan benang sintetis yang diserap (dalam bentuk asam polyglycolic dan

polyglactin) mengurangi rasa nyeri perineum dalam 10 hari pertama postpartum.

Lamanya waktu yang dibutuhkan untuk diserap harus menjadi perhatian dalam

pemilihan material benang.6,10-11

Walaupun telah diketahui bahwa penggunaan material benang dari bahan

sintetis yang dapat diserap mengurangi nyeri perineum namun terdapat

keterbatasan dalam ketersediaannya dan biaya yang dikeluarkan cukup besar.

Catgut kromik masih ditemukan sebagai bahan jahitan untuk perbaikan perineum

di negara dengan sumber daya terbatas. Begitu juga penjahitan jelujur, teknik ini

ditemukan lebih murah sehingga benang yang diperlukan tidak banyak. Di

Indonesia benang kromik masih sering digunakan dalam kasus-kasus kebidanan

terutama untuk penjahitan laserasi perineum.12-14

Selain pemilihan material benang, faktor lain yang turut berpengaruh

terhadap hasil dari penjahitan laserasi perineum yaitu teknik penjahitan.

Penjahitan perineum karena ruptur spontan setelah persalinan merupakan salah

satu tindakan yang paling sering dilakukan. Sebuah meta analisis chochrane

melaporkan bahwa penjahitan subkutikular pada permukaan kulit perineum

berkaitan dengan pengurangan nyeri perineum jangka pendek. Teknik yang baik

dalam penjahitan laserasi perineum akan memerlukan waktu dan material benang

yang sedikit untuk melakukannya, serta akan mengurangi nyeri perineum jangka

pendek (primary outcome) maupun jangka panjang.8,15-16


4

Pada tahun 1990 Fleming melaporkan hasil temuannya setelah

menggunakan suatu teknik penjahitan sederhana, teknik penjahitan jelujur untuk

semua lapisan perineum tanpa penguncian yang kemudian diakhiri dengan jahitan

subkutan pada lapisan kulit perineum. Hasil penjahitan tersebut dilaporkan bahwa

kejadian nyeri perineum lebih rendah. Namun demikian belum ada kesepakatan

tentang penggunaan teknik penjahitan yang harus digunakan untuk mengurangi

nyeri perineum selain berdasar pada bukti-bukti penelitian.7,17

Asuhan persalinan normal merekomendasikan menggunakan sedikit

mungkin jahitan untuk mendekatkan jaringan, jahitan jelujur untuk menutup

mukosa vagina dan otot perineum, penjahitan secara terputus dapat dilakukan jika

luka mencapai lapisan otot perineum, serta jahitan subkutikular untuk menutup

lapisan kulit perineum. Benang yang digunakan adalah benang kromik 2-0 atau 3-

0 yang bersifat lentur, kuat dan tahan lama. Penilaian dan pengelolaan trauma

perineum dengan menekankan perbaikan pada robekan jalan lahir derajat satu dan

dua yang harus dilakukan oleh bidan sebagai penolong persalinan.18-19

Kondisi berbeda ditemukan dalam praktik sehari-hari bidan. Berdasarkan

studi pendahuluan yang dilakukan sekitar 3 dari 10 bidan di pelayanan kesehatan

melakukan penjahitan terputus pada perineum dengan alasan kemudahan dalam

melakukannya dan keamanan bagi ibu pascasalin. Sekitar 30% ibu yang dilakukan

penjahitan subkutikular mengeluh nyeri sedang pada hari pertama pascasalin,

sedangkan pada ibu yang dilakukan penjahitan transkutaneus terputus

mengeluhkan adanya nyeri sedang pada daerah perineum kejadiannya lebih tinggi

yakni 75% (dari 4 orang).


5

Hal terpenting setelah penjahitan laserasi perineum adalah monitoring

penyembuhan luka melalui pemeriksaan perineum pada masa postpartum.

Davidson 1974 memperkenalkan REEDA (redness, oedema, ecchymosis,

discharge and approximation) sebagai alat untuk menilai penyembuhan luka

perineum dengan sistem skor. Alat tersebut telah digunakan oleh peneliti di luar

negeri baik oleh dokter maupun bidan karena meliputi lima aspek yang penting

dalam penyembuhan luka perineum.1,7

Pemeriksaan hasil penjahitan laserasi perineum diperlukan dalam rangka

menilai kondisi penyembuhan laserasi perineum serta mengidentifikasi sedini

mungkin permasalahan yang terjadi. Selama proses penyembuhan terdapat faktor

yang akan mempengaruhi kondisi luka perineum. Faktor pasien yang turut

berpengaruh dalam penyembuhan luka pascapenjahitan antara lain perawatan luka

yang dilakukan, status nutrisi, kondisi penyakit atau adanya infeksi yang akan

memperlambat atau memperburuk proses penyembuhan luka.1,11

Metode yang biasa digunakan untuk mengukur nyeri di klinik dan rumah

sakit adalah skala visual analog. Skala ini berisi sebelas angka 0-10 yang

menggambarkan kondisi tidak nyeri sampai nyeri yang berat. VAS hanya berisi

satu pernyataan tentang nyeri sehingga memudahkan pasien untuk mengisinya

dalam waktu singkat. Penggunaan VAS menunjukkan perbedaan yang bermakna

dalam menilai kondisi nyeri perineum pada masa pascasalin. Penggunaan skala

wajah Wong-Baker untuk mengukur nyeri pada rentang 0-10 juga mudah diterima

dan dapat digunakan pada klinik multisenter.3,4,9


6

Teknik penjahitan jelujur subkutikular pada penutupan kulit laserasi

perineum dikatakan berhubungan dengan derajat nyeri dan penyembuhan luka

perineum jangka pendek, akan tetapi evaluasi objektif yang kritis dan mendukung

pernyataan tersebut jarang dilakukan. Indonesia sebagai negara berkembang yang

mempunyai sumber daya kesehatan terbatas menuntut bidan bekerja sesuai

kondisi lapangan tanpa mengabaikan evidence based. Penelitian yang berkaitan

dengan permasalahan morbiditas ibu setelah mengalami trauma perineum pada

persalinan normal oleh bidan jarang dilakukan, terutama yang berkaitan dengan

nyeri perineum dan penyembuhan luka pascapenjahitan laserasi spontan perineum

yang terjadi pada primipara.

Nyeri dan penyembuhan luka perineum merupakan masalah pada sebagian

besar wanita pascasalin yang telah dilakukan penjahitan karena mengalami trauma

perineum saat persalinan. Monitoring penyembuhan luka dilakukan setelah

penjahitan laserasi spontan perineum untuk menilai proses penyembuhan berjalan

baik atau tidak.

1.2. Rumusan Masalah

Rumusan masalah penelitian berdasarkan latar belakang yang telah

diuraikan adalah:

1) Apakah terdapat perbedaan derajat nyeri hasil teknik penjahitan jelujur

subkutikular dan teknik penjahitan transkutaneus terputus pada laserasi

spontan perineum derajat II persalinan primipara oleh bidan ?


7

2). Apakah terdapat perbedaan penyembuhan luka perineum hasil teknik

penjahitan jelujur subkutikular dan teknik penjahitan transkutaneus terputus

pada laserasi spontan perineum derajat II persalinan primipara oleh bidan ?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1) Untuk menganalisis derajat nyeri hasil teknik penjahitan jelujur subkutikular

dan teknik penjahitan transkutaneus terputus pada laserasi spontan perineum

derajat II persalinan primipara oleh bidan.

2) Untuk menganalisis penyembuhan luka perineum hasil teknik penjahitan

jelujur subkutikular dan transkutaneus terputus pada laserasi spontan

perineum derajat II persalinan primipara oleh bidan

1.4. Kegunaan Penelitian

1.4.1. Aspek Teoritis

Secara keilmuan hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah

wawasan pengetahuan terutama bagi bidan tentang hasil teknik penjahitan jelujur

subkutikular dan teknik transkutaneus terputus pada laserasi spontan perineum

derajat II persalinan dengan menggunakan benang catgut kromik terhadap derajat

nyeri perineum pascasalin dan penyembuhan luka perineum, sebagai identifikasi

morbiditas (primary outcome) ibu pascasalin. Selain itu hasil penelitian ini

diharapkan juga dapat menjadi sumber acuan ilmiah bagi bidan dan tenaga

kesehatan umumnya dalam rangka menurunkan morbiditas ibu dan meningkatkan

kualitas pelayanan kebidanan.


8

1.4.2 Aspek Praktis

Setelah mengetahui hasil teknik penjahitan jelujur subkutikular dan

transkutaneus terputus menggunakan benang catgut kromik terhadap derajat nyeri

dan penyembuhan luka perineum pascasalin, diharapkan penelitian ini secara

praktis dapat berguna bagi bidan khususnya dalam melakukan tindakan penjahitan

pada laserasi spontan perineum derajat II persalinan primipara, merencanakan

tindakan untuk asuhan pascasalin sehingga dapat mengurangi morbiditas ibu baik

jangka pendek maupun jangka panjang, terutama yang berkaitan dengan nyeri

perineum pascasalin. Serta memilih dan menentukan teknik penjahitan yang

sesuai dengan kondisi ibu dalam rangka memberikan hasil penyembuhan laserasi

perineum yang baik dan mengurangi komplikasi yang terjadi.


9

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

2.1. Perineum

2.1.1. Dasar Panggul

Pada saat persalinan, bangunan yang seringkali robek adalah korpus

perinealis (sering disebut sebagai perineum), muskulus external anal sphincter,

muskulus levator ani, muskulus transversus perinei superficialis profundi dan

muskulus bulbocavernosus.20

Perineum merupakan suatu ruang yang dibatasi oleh dasar panggul pada

bagian proksimal, bagian lateral dibatasi oleh angulus subpubis, ramus

ischiopubicus, tuber ischiadicum, ligamentum sacrotuberosum dan os coccygeus

dengan bagian inferior dibatasi oleh fasia dan kulit. Terdiri dari dua buah segitiga,

trigonum urogenital di anterior dan trigonum anal di posterior.21,22

Trigonum urogenital dibatasi oleh angulus subpubis di anterior, ramus

ischiopubicus serta tuber ischiadicum di lateral dan muskulus transversus perinei

serta basis diafragma urogenital di posterior. Pada bangunan ini terdapat beberapa

bangunan seperti introitus vagina, pars terminalis uretra, crus clitoris dengan

muskulus ischiocavernosus, bulbus vestibuli yang ditutupi oleh muskulus

bulbocavernosus, kelenjar bartholini, diafragma urogenital, otot-otot yang

membentuk korpus perineum, pembuluh darah, saraf, kavum perinei, otot-otot

superfisialis dan profunda.20,21


10

Trigonum anal dibatasi oleh muskulus transversus perinei serta basis

diafragma urogenital di bagian anterior, tuber ischiadicum dengan ligamentum

sacrotuberosum di lateral, serta os coccygeus pada bagian posterior. Pada

bangunan ini terdapat kanalis analis beserta sfingternya, corpus anococcygeus,

fossa ischiorectalis beserta pembuluh-pembuluh darah, limfe dan nervus.21,22

Dasar panggul terletak di antara anus dan vagina dan mendatar serta

bergeser saat kelahiran bayi. Dasar panggul mencegah terjadinya prolaps semua

organ pelvis serta sangat signifikan dalam fungsi vagina, kandung kemih, uterus

dan rektum. Dasar panggul berfungsi sebagai penyangga organ-organ dalam

panggul, menghasilkan tekanan intra abdominal yang efektif jika berkontraksi

bersama dengan diafragma dan dinding abdomen.

Otot-otot profunda dasar panggul (deep muscle layers), yang sering

disebut muskulus levator ani, terdiri dari:21-23

a) Muskulus pubococcygeus, berjalan dari permukaan dalam tulang pubis

bagian anterior dan median membentang ke belakang menuju bagian

rektum, mengelilingi rektum dan vagina kembali ke tulang pubis di sisi

lain. Otot ini terdapat tiga bagian yaitu muskulus pubovaginalis, muskulus

puborectalis dan muskulus pubococcygeus propria. Muskulus

puborectalis mengelilingi kanalis analis dan rektum. Insersinya terletak

pada dinding lateral dan posterior dari kanalis analis di antara sfingter ani

internus, sfingter ani eksternus dan corpus anococcygeus. Muskulus

puborectalis merupakan penggantung rektum, namun bukan penyangga

organ yang lain. Kerja pokok dari muskulus ini adalah sebagai pengontrol
11

turunnya feses, sehingga dapat dinamakan memiliki fungsi sebagai

sfingter tambahan untuk kanalis analis. Muskulus pubococcygeus propria

terletak paling lateral. Insersinya di tepi lateral os coccygeus. Pada waktu

kontraksi, otot akan menarik os coccygeus ke depan bersama-sama dengan

muskulus sfingter ani eksternus ikut pula mengendalikan lewatnya feses.

Otot ini merupakan otot yang paling penting di antara semua otot dasar

panggul karena mengelilingi dan memperkuat uretra, vagina dan rektum.

Pengendalian miksi, defekasi maupun fungsi seksual yang normal

tergantung otot-otot ini.

b) Muskulus iliococcygeus.

c) Muskulus ischiococcygeus.

Sedangkan otot-otot superfisial dasar panggul terdiri dari:21-23

a) 2 Muskulus bulbocavernosus, berasal dari pusat perineum dan

memberikan serabut-serabut longitudinal pada kedua sisi uretra dan

vagina.

b) 2 Muskulus ischiocavernosus

c) 2 Muskulus transversus perinei, berasal dari permukaan tuber iskhiadikum

dan berjalan tranversal melintasi pintu keluar pelvis, serabut-serabut

ototnya saling menyilang. Muskulus tranversus perinea membantu

memfiksasi perineum dan memberi topangan kepada muskulus levator ani

yang letaknya lebih dalam.


12

Gambar 2.1. Otot-otot Dasar Panggul


Sumber: Leeman L17

2.1.2. Badan Perineum (Perineal Body)

Dasar panggul yang mengalami kerusakan atau kelemahan dapat

menyebabkan morbiditas jangka panjang. Otot dan fasia berbentuk seperti buaian,

oleh karena itu dasar panggul menjadi struktur penunjang panggul wanita. Otot

tersusun dalam dua lapisan yaitu lapisan profunda dan superfisial, menggantung

ke dan dari batas panggul, mengelilingi struktur lainnya termasuk vagina dan

membentuk badan perineum.22

Struktur perineum sebagian besar didukung oleh diafragma pelvis dan

diafragma urogenital. Diafragma pelvis terdiri dari otot levator ani dan otot

koksigeus yang terletak di belakangnya serta fasia yang menutupi otot-otot

tersebut. Otot levator ani akan membentuk bantalan jaringan yang besar dan

menyebar dari permukaan posterior ramus superior os pubis, dari permukaan

dalam spina iskhiadika dan antara fasia obturator. Otot-ototnya akan berinsersi

pada beberapa tempat, antara lain di sekitar vagina dan rektum untuk membentuk
13

sfingter fungsional pada setiap tempat tersebut. Sedangkan diafragma urogenital

terletak di luar diafragma pelvis, merupakan daerah segitiga antara tuber

iskhiadikum dan simfisis pubis bagian trigonum anterior perineum. Diafragma

urogenital tersusun dari otot perineum transversum profunda, otot konstriktor

uretra (sphincter urethrae), yang ditutupi lapisan fasia di bagian dalam dan

luarnya. Lapisan inferior fasia sering disebut membrane perinealis. Bagian yang

penting dari struktur tersebut yang dapat mengalami robekan terutama saat

persalinan pervaginam adalah otot sfingter ani eksterna dan interna.20-22

Gambar 2.2. Badan Perineum.


Sumber: Leeman L17

Masa jaringan fibrosa yang terdapat diantara vagina dan anus disebut

perineal body dan merupakan masa jaringan ikat yang tebal tanpa batas yang

jelas. Jaringan ikat perineal body menyatu di anterior dengan dinding vagina.

Badan perineum berbentuk segitiga dasarnya adalah kulit dan puncaknya

mengarah ke atas. Terletak di antara vagina dan canalis rectalis, terdiri dari kulit,

dua otot superfisial dan satu otot profunda. Pada bagian lateral otot superfisial

dibangun oleh otot bulbokavernosus dan otot perineum trasversum. Sedangkan


14

otot profunda adalah pubokoksigeus. Ketiga otot tersebut pada tiap sisinya rata-

rata mempunyai panjang sekitar 3,5-4cm. Sebagai tambahan otot puborektalis dan

sfingter ani eksterna sebagai penunjang struktur perineum. Bagian yang berarti

secara klinis dari perineal body adalah otot sfingter ani eksterna.21,23,24

Vaskularisasinya berasal dari arteria pudenda, cabang arteri iliaka interna.

Drainase venosa masuk ke dalam vena-vena yang sesuai. Persarafan pada daerah

perineum berasal dari cabang-cabang nervus pudendus yaitu nervus rectalis

inferior, nervus dorsalis clitoris dan nervus perinealis. Persarafan berasal dari

segmen nervus sakralis yaitu S2, S3 dan S4 yang meninggalkan pelvis melalui

foramen iskhiadika mayor dan masuk perineum melalui foramen iskhiadika

minor. Inervasi ketiga segmen sakralis ini pada otot-otot profunda sedangkan

nervus sakralis ke-5 dan nervus coccygeus hanya melewatinya.21-24

Saraf pudenda berada sepanjang otot obturator internal otot. Sepanjang

otot ini, saraf terletak dalam pudenda kanal, juga dikenal sebagai kanal Alcock,

yang dibentuk oleh fasia obturator. Saraf pudenda meninggalkan kanal masuk ke

perineum dan terbagi menjadi tiga cabang. Saraf dorsal klitoris (dorsal nerve of

the clitoris) menuju kulit klitoris. Saraf perineal (perineal nerve) menuju otot-otot

anterior dan kulit labia. Cabang rektal inferior (inferior rectal) menuju sfingter ani

eksternal, membran mukus kanal anal, dan kulit perianal.23

2.1.3. Trauma Perineum

Trauma perineum didefinisikan sebagai perlukaan yang terjadi pada labia,

vagina, uretra, klitoris, otot perineum atau sfingter ani. Robekan ini dapat terjadi
15

secara spontan pada saat persalinan pervaginam, atau karena tindakan bedah

berupa episiotomi yang bertujuan memperbesar vaginal outlet dan membantu

proses persalinan.5,8 Laserasi perineum merupakan robekan yang terjadi pada

perineum karena kala II persalinan.24,25 Lebih dari 85% persalinan pervaginam

akan mengalami trauma perineum, dan hampir 69% memerlukan penjahitan.

Angka kejadiannya berbeda-beda, tergantung pada praktik individu dan fasilitas

kesehatan yang ada.21,26 Empat puluh empat persen laserasi perineum terjadi

karena persalinan spontan maupun buatan.1

Perlukaan perineum umumnya terjadi unilateral, namun dapat juga

bilateral. Perlukaan pada diafragma urogenitalis dan muskulus levator ani yang

terjadi saat persalinan normal atau dengan alat, dapat terjadi tanpa luka pada kulit

perineum sehingga tidak tampak dari luar. Perlukaan yang demikian dapat

melemahkan dasar panggul sehingga timbul prolapsus genitalia. Umumnya

perlukaan perineum terjadi pada tempat dimana muka janin menghadap.

Diagnosis ruptur perineum ditegakkan dengan pemeriksaan langsung. Pada

tempat terjadinya perlukaan akan timbul perdarahan yang bersifat arterial atau

merembes, dengan dua jari tangan kiri atau kanan daerah luka dibuka, bekuan

darah diangkat lalu dilakukan penjahitan.25,27

Robekan spontan yang terjadi pada perineum diklasifikasikan menjadi

empat derajat, perbedaannya terletak pada luasnya robekan yang terjadi di sfingter

anal eksternal (EAS), sfingter anal internal (IAS) dan epitel anal, dengan

pembagian sebagai berikut:8


16

Tabel 2.1.Pembagian Trauma Perineum


Derajat Trauma

1 Robekan hanya pada epitel vagina atau kulit perineum

2 Robekan pada perineum mengenai otot perineum, tetapi belum mengenai


sfingter ani

3 Robekan pada perineum mengenai daerah sfingter ani


3a: Robekan mengenai kurang dari 50% ketebalan sfingter ani eksterna
3b: Robekan mengenai lebih dari 50% ketebalan sfingter ani eksterna
3c: Robekan mengenai sfingter ani interna (IAS)

4 Robekan perineum mengenai sfingter ani eksterna dan interna termasuk


mukosa rektum (anal ephitelium)
Sumber: RCOG8

Robekan perineum terjadi pada hampir semua persalinan pertama dan

tidak jarang juga pada persalinan berikutnya. Robekan ini dapat dihindarkan atau

dikurangi dengan menjaga jangan sampai dasar panggul dilalui oleh kepala janin

dengan cepat. Sebaliknya kepala janin yang akan lahir jangan ditahan terlampau

kuat dan lama karena akan menyebabkan asfiksia dan perdarahan dalam

tengkorak janin, dan melemahkan otot-otot dan fasia pada dasar panggul karena

diregangkan terlalu lama. Robekan perineum umumnya terjadi di garis tengah dan

bisa menjadi luas apabila kepala janin lahir terlalu cepat, sudut arkus pubis lebih

kecil daripada biasanya, sehingga kepala janin terpaksa lahir lebih ke belakang,

kepala janin melewati pintu bawah panggul dengan ukuran yang lebih besar dari

sirkumferensia suboksipito-bregmatika, atau anak dilahirkan dengan pembedahan

vaginal.1,25
17

Berikut faktor risiko yang berkaitan dengan terjadinya robekan

perineum:1,21,28

1) Robekan yang luas lebih sering pada primipara, persalinan pervaginam

pada primipara merupakan risiko untuk terjadinya ruptur sfingter.

Ditemukan bahwa lebih dari 35% primipara mempunyai defek pada

sfingter ani.

2) Persalinan buatan (ekstraksi forseps atau vakum). Dilaporkan bahwa

forseps adalah faktor risiko utama untuk terjadinya ruptur sfingter ani pada

saat persalinan pervaginam. Persalinan dengan menggunakan alat

berhubungan dengan meningkatnya risiko untuk terjadinya ruptur sfingter

sampai 8 kali lipat, sementara penelitian lain mengatakan untuk terjadinya

ruptur sfingter pada persalinan dengan ekstraksi forseps sebanyak 2,73-3%

dan ekstraksi vakum sebanyak 1,79%.

3) Arkus subpubis yang sempit

4) Berat badan bayi lebih dari 4 kg

5) Posisi kepala bayi yang kurang fleksi dan posisi oksipitoposterior

6) Distosia bahu

7) Dilakukannya episiotomi: persalinan pervaginam dengan episiotomi

mediolateral dikaitkan dengan kemungkinan 4 kali terjadinya robekan

derajat tiga dan empat.

8) Pemanjangan kala dua

9) Usia kehamilan

10) Penggunaan oksitosin


18

Oxorn dan Forte membagi dua faktor yang menyebabkan laserasi

perineum yaitu faktor maternal dan faktor janin. Faktor maternal mencakup:

partus presipitatus yang tidak dikendalikan dan tidak ditolong (sebab paling

sering), pasien tidak mampu berhenti mengejan, partus diselesaikan secara

tergesa-gesa dengan dorongan fundus yang berlebihan, edema dan kerapuhan

pada perineum, varikositas vulva yang melemahkan jaringan-jaringan perineum,

arkus pubis sempit dengan pintu bawah panggul yang sempit pula sehingga

menekan kepala bayi ke arah posterior, perluasan episiotomi. Faktor janin

mencakup : bayi yang besar, posisi kepala yang abnormal misalnya presentasi

muka, kelahiran bokong, ekstraksi forseps yang sukar, distosia bahu, anomali

kongenital seperti hidrosephalus.20 Lamanya waktu mengedan berhubungan

dengan meningkatnya nyeri perineum.29,30

Penjahitan trauma perineum membutuhkan pemeriksaan dan tindakan

yang baik, pencahayaan pada daerah yang luka, ketersediaan instrumen, material

benang, analgesi yang adekuat. Penjahitan laserasi perineum derajat dua dapat

dilakukan oleh bidan atau dokter yang terlibat dalam pertolongan persalinan,

sedangkan untuk laserasi perineum derajat tiga dan empat sebaiknya dilakukan

oleh operator yang lebih berpengalaman mengingat luasnya kerusakan jaringan

perineum yang terjadi, dan untuk menghindari komplikasi (morbiditas ibu) yang

lebih lanjut setelah penjahitan. Penundaan penjahitan dapat dilakukan pada derajat

tiga dan empat beberapa jam sampai kondisi dan syarat penjahitan terpenuhi.8,17
19

2.1.4. Nyeri Perineum Pascasalin

Nyeri merupakan penyebab umum sebagai alasan seseorang mencari

pertolongan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Namun istilah nyeri sulit

didefinisikan karena nyeri merupakan sensasi yang bersifat subjektif. The

International Association for the Study of pain (IASP, 1979) mendefinisikan

bahwa nyeri merupakan pengalaman emosional dan sensori subjektif yang tidak

menyenangkan yang berkaitan dengan kerusakan jaringan secara aktual atau

potensial atau menunjukkan adanya kerusakan. Nyeri merupakan mekanisme

protektif bagi tubuh dan menyebabkan individu bereaksi untuk menghilangkan

rangsang nyeri tersebut.31,32

Rasa nyeri merupakan mekanisme pertahanan tubuh, yang timbul bila ada

jaringan rusak, dan hal ini akan menyebabkan individu bereaksi dengan cara

memindahkan stimulus. Reseptor nyeri (nosiseptor) adalah organ tubuh yang

berfungsi untuk menerima rangsang nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai

reseptor nyeri adalah ujung saraf bebas dalam kulit yang berespon hanya terhadap

stimulus kuat yang secara potensial merusak. Reseptor ini tersebar luas pada

permukaan superfisial kulit dan jaringan dalam tertentu, misalnya dinding arteri,

periosteum, permukaan sendi, dan falks serta tentorium tempurung kapala.33

Berdasarkan letaknya, nosiseptor dapat dikelompokkan dalam beberapa

bagian tubuh yaitu pada kulit (kutaneus), somatik dalam (deep somatic), dan pada

daerah viseral. Karena letaknya yang berbeda-beda inilah, nyeri yang timbul

memiliki sensasi yang berbeda. Nosiseptor kutaneus berasal dari kulit dan

subkutan biasanya mudah untuk dilokalisasi dan didefinisikan. Struktur reseptor


20

nyeri somatik dalam meliputi reseptor nyeri yang terdapat pada tulang, pembuluh

darah, saraf, otot, dan jaringan penyangga lainnya. Karena struktur reseptornya

kompleks, nyeri yang timbul merupakan nyeri yang tumpul dan sulit dilokalisasi.

Reseptor viseral meliputi organ-organ viseral seperti jantung, hati, usus, ginjal,

dan lain sebagainya. Nyeri yang timbul biasanya tidak sensitif terhadap

pemotongan organ tetapi sangan sensitif terhadap penekanan, iskemia, dan

inflamasi.32,34,35

Nyeri mengandung dua komponen yaitu nyeri nosiseptif yang

rangsangnya berasal dari perifer seperti pada proses persalinan, dan nyeri afektif

yang rangsangannya berasal dari dalam tubuh dan dari luar tubuh. Rangsangan

nyeri dari perifer berjalan melewati proses transduksi dimana pada daerah trauma

timbul reaksi biokimiawi dan terbentuk mediator, yaitu prostaglandin, leukotrien

dan tromboksan yang menimbulkan sensitisasi ujung aferen nosiseptif dalam

kutis dan menyebabkan terlepasnya kalium, bradikinin, histamin, substansi P

(peptida) dan serotonin.34,36

Mediator tersebut menyebabkan timbulnya hiperalgesia, yaitu

menurunnya ambang nyeri atau meningkatnya sensitifitas nyeri dan timbulnya

nyeri spontan, dan alodinia yaitu nyeri karena rangsang yang normalnya tidak

menimbulkan nyeri. Rangsang nyeri akibat hiperalgesia ditransmisikan lewat

serabut aferen nosiseptif primer menuju medulla spinalis kornu posterior dimana

terdapat substansi grisea. Dalam substansi grisea rangsang nyeri mengalami

proses modulasi, dimana intensitas rangsangan dapat mengecil atau membesar.

Tergantung serabut saraf yang dilalui, serabut kecil Aδ dan serabut C, atau juga
21

serabut besar Aα dan Aβ, rangsang nyeri mengalami filtrasi di dalam substansi

grisea. Apabila intensitas nyeri berat dan dapat melewati sistem modulasi,

rangsang berjalan terus menuju sel transmisi T, apabila sebagian kecil saja yang

mampu melewati, intensitas nyeri diperkecil. Pada tempat tersebut juga berakhir

serabut saraf desenden yang berasal dari Nukleus Raphe Magnus yang membawa

subtansi seperti opioid yaitu β-endorphin. Serabut tersebut berjalan menurun dari

otak lewat fasikulus laterasi dan posterior, memberikan cabang ke setiap kornu

posterior medulla spinalis, sebagai sistem modulasi.36,37

Rangsangan dari sel T diproyeksikan ke sistem sensoris diskriminatif

melalui serabut neospinotalamikus dan diproyeksikan ke sistem afektif

motivasional lewat sistem paramedian asenden. Ketiga sistem ini saling

terinteraksi dan rangsang nyeri akan diproyeksikan ke sistem mekanisme motorik

untuk diteruskan ke efektor.36,37

Transmisi adalah perembetan rangsangan nyeri melalui serabut saraf

sensoris menyusul proses transduksi. Sensasi nyeri dari uterus dan jalan lahir

dihantar ke medulla spinalis melalui nervus, informasinya diberikan dalam

bentuk impuls listrik. Medulla spinalis berfungsi sebagai penghantar impuls listrik

antara saraf perifer dan otak. Impuls yang mengandung informasi nyeri tiba ke

medulla spinalis via nervus, kemudian ditransfer melalui nervus intermedier atau

neuron ke otak. Sebelum transmisi nyeri mencapai otak, neuron-neuron nyeri

atau sel target (T-sel) harus distimulasi. Sel target berada dalam keadaan eksitasi,

mengeluarkan impuls nyeri, dan dipengaruhi oleh subtansi kimiawi yang

dilepaskan oleh ujung saraf, yang dikenal sebagai neurotransmitter.37,38


22

Berbagai faktor yang dapat mempengaruhi intensitas nyeri antar lain

adalah faktor fisik, psikologi, kultur dan etnik:32,39,40

a) Faktor Fisik

Faktor fisik yang ikut mempengaruhi insiden, berat dan lama nyeri

adalah usia, paritas, kondisi fisik pasien. Umur ibu yang terlalu muda atau

primipara diatas 30 tahun lebih cemas dan lebih takut menghadapi persalinan

dan masa nifas sehingga cenderung akan mengalami nyeri lebih lama dan lebih

hebat. Ukuran janin besar atau presentasi janin abnormal akan menimbulkan

nyeri lebih hebat dibandingkan dengan kondisi normal

b) Faktor Fisiologi dan Biokomia

Sejumlah penelitian menunjukkan kadar plasma β-endorphin, β-lipotropin

dan ACTH meningkat progresif empat sampai sepuluh kali pada puncak

persalinan dan segera turun pasca persalinan dibandingkan sebelum bersalin dan

wanita tidak hamil.

c) Faktor Psikologi

Faktor psikologi dapat mempangaruhi insiden dan intensitas nyeri

termasuk kesiapan mental, sikap, perasaan dan emosi ibu saat menghadapi masa

nifas. Ketakutan, kecemasan dan kegelisahan dapat menambah persepsi nyeri dan

sifat nyeri. Hal tersebut timbul mungkin karena ibu kurang memperoleh

penjelasan mengenai proses dihadapinya terutama primipara. Faktor emosional

lain seperti motivasi kuat dan pengaruh budaya dapat mempengaruhi modulasi

transmisi sensoris dan mempengaruhi dimensi afektif serta tingkah laku

menghadapi nyeri. Intervensi kognitif seperti memberikan penjelasan kepada ibu


23

dapat mengurangi keraguan, mengalihkan atau menjauhkan perhatian sementara

waktu dapat menurunkan sifat nyeri.

d) Faktor Etnik

Faktor ras dan etnik sudah sejak lama diketahui berperan penting dalam

hal mentoleransi nyeri dan sifat nyeri. Data-data penelitian dan pengamatan klinik

menunjukkan perbedaan ras dan etnik dalam menghadapi nyeri tampaknya

menjadi dasar perbedaan mengekspresikan nyeri bukan karena nyeri atau persepsi

nyeri yang dialami berbeda. Beberapa ras di dunia menunjukkan ekspresi nyeri

yang hebat. Pendidikan dan kondisi psikologi ibu dikaitkan dengan

psikoprofilaksis secara signifikan menurunkan sifat nyeri.

Pada kala I timbul persalinan dilatasi mulut rahim dan segmen bawah

rahim menyebabkan distensi, peregangan dan robekan pada struktur tersebut

selama uterus berkontraksi. Kontraksi isometrik uterus yang terjadi melawan

obstruksi mulut rahim dan perineum mungkin juga penyebab nyeri kontraksi

uterus. Memasuki kala II persalinan saat dilatasi mulut rahim lengkap, jumlah

stimulus nosiseptif berkurang tetapi stimulasi nosiseptif dari kontraksi korpus

uteri dan distensi segmen bawah uterus tetap berlangsung menimbulkan nyeri,

sama seperti kala I persalinan. Tekanan tinggi pada struktur panggul yang sensitif

terhadap nyeri akibat turunnya bagian terendah anak, distensi jalan lahir dan

perineum progresif menyebabkan regangan kuat, robekan fasia dan jaringan

subkutis serta penekanan pada otot skelet perineum menjadi sumber nyeri.

Peregangan perineum akan menstimulasi nyeri somatik melalui nervus pudensus


24

pada segmen S2, S3, dan S4. Efek kombinasi beberapa stimulus ini akan

menyebabkan timbulnya sensasi nyeri di bagian bawah abdomen, daerah panggul,

sakrum, perineum, anus, dan paha.25,34

Sensasi nyeri yang timbul setelah persalinan dapat diprediksi berdasarkan

terjadinya jejas jaringan dan penjalaran saraf yang mengirimkan sinyal aferen ke

sistem saraf pusat, Laserasi perineum akibat persalinan akan merangsang

kompleks modulasi dari saraf aferen dan eferen pada korda spinalis dan otak yang

mengakibatkan dirasakannya persepsi nyeri. Persalinan pervaginam lazimnya

akan diikuti oleh timbulnya sensasi somatik yang lebih singkat, muncul akibat

peregangan dan robekan jaringan kulit perineum. Sensasi nyeri ini akan

ditransmisikan melalui jalur aferen saraf pudendus (S 2, S3, dan S4) dan akan

bertahan 2-4 minggu pascasalin tergantung derajat jejas jaringan. Pada awal

pascasalin, sensasi nyeri akan mempengaruhi kemampuan sebagian besar wanita

dalam aktivitas duduk, berkemih, berjalan, dan tidur.37,39

Nyeri perineum (perineal pain) didefinisikan sebagai nyeri yang terjadi

pada badan perineum (perineal body), daerah otot dan jaringan fibrosa yang

menyebar dari simpisis pubis sampai ke coccygis. Kondisi nyeri ini dirasakan ibu

berbeda dengan nyeri lainnya. Nyeri perineum cenderung lebih jelas dirasakan

oleh ibu dan bukan seperti rasa nyeri dialami saat berhubungan (intercourse).

Nyeri perineum akan dirasakan setelah persalinan sampai beberapa hari

pascasalin. Nyeri ini berbeda dengan dispareunia yaitu nyeri atau rasa tidak

nyaman yang terjadi selama hubungan seksual (sexual intercourse), termasuk


25

nyeri saat penetrasi. Dispareunia dapat dikategorikan menjadi dyspareunia

superfisial dan dalam.15,41

2.1.5. Penyembuhan Luka

Penyembuhan luka adalah proses kinetik dan metabolik yang kompleks

yang melibatkan berbagai sel dan jaringan dalam usaha untuk menutup tubuh dari

lingkungan luar dengan cara mengembalikan integritas jaringan. Pada setiap

perlukaan baik yang bersih maupun yang terinfeksi tubuh akan berusaha

melakukan penyembuhan luka.41

Dikenal ada tiga cara penyembuhan luka yaitu:11,42,43

1) Penyembuhan luka secara primer

Adalah penyembuhan yang terjadi tanpa penyulit. Pembentukan jaringan

granulasi sangat minimal, misalnya pada luka sayat atau luka aseptik dikelola

dengan penutupan yang akurat, dalam waktu 10-14 reepitelisasi secara normal

sudah terjadi, dan biasanya hanya menyisakan jaringan parut yang tipis dan

dengan cepat memudar dari warna merah muda menjadi putih.

2) Penyembuhan luka secara sekunder

Adalah penyembuhan yang terjadi dengan pembentukan jaringan granulasi

dan miofibroblast sebelum terjadi jaringan epitelialisasi. Misalnya pada kasus

luka terinfeksi, luka yang terbuka, trauma yang eksesif, aproksimasi luka yang

tidak tepat, dan luka suatu dead space. Keadaan ini bisa terjadi karena kerusakan

atau kehilangan jaringan yang cukup luas atau infeksi yang tidak mampu

dilakukan debridemen dengan baik, atau akan dilakukan penilaian lebih lanjut.
26

Luka dibiarkan terbuka atau tidak dijahit karena apabila penyembuhan dilakukan

secara primer (dengan menjahit luka) kemungkinan komplikasi akan terjadi dan

memperpanjang waktu penyembuhan.

3) Penyembuhan luka secara tertier

Disebut juga penyembuhan primer tertunda (delayed primary closure)

Adalah penyembuhan yang dalam prosesnya dibantu dengan tindakan bedah agar

luka tertutup. Misalnya pada luka terkontaminasi, kotor dan trauma terinfeksi

yang dibiarkan terbuka pada fase-fase pertama penyembuhan luka (3-4 hari).

Selanjutnya dijahit atau luka ditutup dengan skin graft. Pada proses penyembuhan

ini ditandai dengan berkembangnya kapiler dan jaringan granulasi. Penyembuhan

dilakukan dengan tujuan menyatukan kedua permukaan jaringan granulasi dan

luka dijahit dengan hati-hati dan memperhatikan pertautan antar jaringan yang

tepat.

Luka merupakan kondisi kerusakan kontinuitas jaringan yang rusak, dapat

dikarenakan trauma, kimiawi, listrik atau radiasi. Penyembuhan secara primer

berlangsung dalam waktu 10-14 reepitelisasi secara normal sudah terjadi, yang

dibagi menjadi tiga fase yaitu fase inflamasi, proliferasi dan maturasi.41,44,45

1) Fase Inflamasi atau lag phase

Sebagai reaksi awal tubuh terhadap adanya trauma luka, antara hari 1-3,

reaksi untuk menghilangkan mikroorganisme, benda asing dan jaringan nonvital

yang terdapat dalam luka sebagai persiapan reparasi. Dibagi menjadi tiga

aktivitas: respon vaskuler, respon hemostatik dan respon seluler. Akibat luka

terjadi perdarahan, ikut keluarnya trombosit dan sel-sel radang. Trombosit


27

mengeluarkan prostaglandin, tromboksan, bahan kimia tertentu yang

mempengaruhi pembekuan darah, mengatur tonus dinding pembuluh darah dan

kemotaksis terhadap leukosit.

Diawali dengan terjadinya vasokontriksi pembuluh darah yang masih utuh

di sekeliling luka untuk mencapai hemostasis (sebagai efek dari epinefrin dan

tromboksan). Sel radang keluar dari pembuluh darah, secara diapedesis dan

menuju daerah luka secara kemotaksis. Sel mast mengeluarkan serotonin dan

histamin yang meninggikan permeabilitas kapiler, sehingga terjadi eksudasi cairan

edema (meningkatnya penyediaan darah ke area luka). Permeabilitas kapiler-

kapiler darah meningkat dan cairan yang kaya protein mengalir ke dalam spasium

interstitial, menyebabkan edema lokal dan menghilangkan fungsi jaringan.

Dengan demikian timbul tanda-tanda radang: dolor, rubor dan kalor (sakit,

kemerahan, hangat).

Terbentuknya trombus dan pengaktifan rangkaian pembuluh darah,

sehingga terjadi deposit fibrin pada daerah luka. Keping darah melepaskan PDGF

dan TGF-β yang menarik sel-sel inflamasi terutama makrofag. Sehingga leukosit

polimorfnuklear (polimorf) dan makrofag mengadakan migrasi ke luar dari kapiler

dan masuk ke dalam daerah yang rusak sebagai reaksi terhadap agen kemotaksis.

Jumlah neutrofil memuncak pada 24 jam pertama sehingga membantu

debridemen pada jaringan yang rusak. Monosit memasuki luka, menjadi makrofag

dan jumlahnya memuncak dalam 2 hingga 3 hari. Makrofag ini menelan

mikroorganisme dan sel debris melalui proses yang disebut pagositosis. Makrofag

menghasilkan PDGF dan TGF-β, akan menarik fibroblast dan merangsang


28

pembentukan kolagen. Makrofag juga mengeluarkan faktor angiogenesis (AGF)

yang merangsang pembentukan ujung epitel diakhir pembuluh darah. Makrofag

dan AGF bersama-sama mempercepat proses penyembuhan.

Granulasi juga dibentuk dipermukaan luka membantu hemostasis dan

mencegah kontaminasi luka oleh mikroorganisme. Di bawah granulasi, epitelial

sel berpindah dari luka ke tepi. Epitelial sel membantu sebagai barier antara tubuh

dengan lingkungan dan mencegah masuknya mikroorganisme. Selama fase

inflamasi, jaringan tidak mempunyai daya tarik yang cukup, tapi hanya tergantung

pada bahan benang yang digunakan untuk penjahitan dalam rangka mendekatkan

tepi laserasi perineum. Secara umum luka akan menutup dalam 24 jam dan pada

kondisi yang baik epitelisasi perineum dapat terjadi antara 48-72 jam.11,43

Gambar 2.3. Jaringan Cedera. Gambar 2.4. Fase Inflamasi.


Sumber: Diegelmann RF, Evans MC.45 Sumber: Diegelmann RF, Evans MC.45

2) Fase Proliferasi (fibroplasia, kolagen)

Fase ini terdiri dari proses epitelialisasi, kontraksi luka dan reparasi

jaringan ikat. Dimulai hari ketiga, setelah fibroblast datang dan berlangsung dua

sampai tiga minggu. Terjadi proliferasi dan pembentukan fibroblast yang berasal

dari sel-sel mesenkim, sintesis kolagen terutama tipe III, angiogenesis, dan

epitelisasi. Fibroblast ditarik dan diaktifkan oleh PDGF dan TGF-β yang
29

memasuki luka pada hari ketiga dan mencapai puncak terbanyak pada hari

ketujuh. Fibroblast (menghubungkan sel-sel jaringan) yang berpindah ke daerah

luka mulai 24 jam pertama setelah trauma.

Epitel sel basal di tepi luka lepas dari dasarnya dan pindah menutupi dasar

luka, tempatnya diisi oleh hasil mitosis sel lain. Proses migrasi epitel hanya

berjalan ke permukaan yang rata atau lebih rendah, tidak dapat naik. Kapilarisasi

tumbuh melintasi luka, meningkatkan aliran darah yang memberikan oksigen dan

nutrisi yang diperlukan bagi penyembuhan. Seiring perkembangan kapilarisasi

jaringan perlahan berwarna merah. Jaringan ini disebut granulasi jaringan yang

lunak dan mudah pecah.

Pembentukan jaringan granulasi berhenti setelah seluruh permukaan luka

tertutup epitel dan mulailah fase penyembuhan luka yaitu pengaturan kembali,

penyerapan yang berlebih. Pada akhir fase ini kekuatan regangan luka mencapai

25% jaringan normal. Selanjutnya dalam proses penyudahan, kekuatan serat

kolagen bertambah karena ikatan intramolekul dan antarmolekul. Fase proliferasi

ditunjukkan pada gambar 2.5.

Gambar 2.5. Fase Proliferasi Gambar 2.6. Fase Maturasi


Sumber: Diegelmann RF, Evans MC.45 Sumber: Diegelmann RF, Evans MC.45

3) Fase Maturasi (penyudahan, remodelling, resorbsi, diferensiasi)


30

Proses ini berlangsung setelah integritas jaringan tercapai. Fase maturasi

atau remodeling 14 hari sampai luka sembuh. Tidak ada perbedaan yang tajam

antara tahap kedua dan tahap ketiga. Penyembuhan dimulai cepat selama fase

proliferasi, selanjutnya akan berkurang. Kolagen terbentuk seperti semula, tetapi

kekuatan jaringan meningkat dari pembentukan dan ikatan silang serat kolagen.

Banyak faktor yang dapat memperlambat penyembuhan luka. Faktor

tersebut dapat dibagi kedalam faktor yang ada hubungannya dengan pasien

(intrinsik) sebagai pertimbangan untuk melakukan prosedur pembedahan atau

tindakan penjahitan dan faktor-faktor dari luar (ekstrinsik) seperti pengelolaan

luka yang kurang tepat dan efek-efek terapi lainnya yang tidak menguntungkan.

Mengatasi pengaruh-pengaruh yang merugikan dari faktor-faktor tersebut sangat

diperlukan untuk penyembuhan yang optimum.

Berikut faktor-faktor yang dapat mempengaruhi penyembuhan luka:11,41,46

1) Faktor pasien yang mempengaruhi penyembuhan luka (faktor intrinsik)

a. Usia: anak dan dewasa penyembuhannya lebih cepat daripada orang tua

karena seiring dengan penuaan elastisitas kulit dan tonus otot akan

berkurang, proses metabolisme dan sirkulasi akan menurun.

b. Berat Badan: Obesitas atau berat badan yang berlebih dapat terjadi pada

berbagai usia, menyebabkan penutupan luka kurang baik. Adanya lemak

yang berlebihan akan menghalangi suplai darah yang baik sehingga luka

mudah infeksi atau timbul luka baru.

c. Status Nutrisi: Nutrisi yang adekuat sebagai faktor yang esensial untuk

mendukung aktifitas seluler dan sintesis kolagen pada penyembuhan luka.


31

d. Dehidrasi: Pada kondisi kurang cairan, terjadi gangguan keseimbangan

elektrolit yang akan berdampak pada fungsi jantung, ginjal, metabolisme

seluler, dan fungsi hormon.

e. Respon imun: Adanya respon imun akan melindungi tubuh dari infeksi.

Kondisi penurunan respon imun (immunodeficiencies) harus

dipertimbangkan untuk hasil penutupan luka (prosedur pembedahan).

f. Penyakit Kronis: Sistem tubuh seseorang ditekan oleh adanya penyakit

kronis, terutama gangguan endokrin, diabetes, kanker, infeksi lokal,

sehingga proses penyembuhan lebih lambat dan akan lebih rentan

terhadap komplikasi luka.

g. Faktor lokal yang merugikan pada tempat luka.

a) Suplai darah yang tidak adekuat pada daerah luka, Oksigen sangat

diperlukan untuk sel, sirkulasi yang buruk akan memperlambat atau

bahkan menghentikan proses penyembuhan. Oksigenasi akan

terhalangi jika posisi tubuh tidak diperhatikan misal daerah bokong.

b) Jaringan nekrotik, krusta yang berlebihan, dan adanya benda asing.

c) Hematoma, merupakan bekuan darah. Seringkali darah pada luka

secara bertahap diabsorbsi oleh tubuh masuk kedalam sirkulasi.

Tetapi jika terdapat bekuan yang besar hal tersebut memerlukan

waktu untuk dapat diabsorbsi tubuh, sehingga menghambat proses

penyembuhan luka.

2) Faktor ekstrinsik dari terapi lain


32

a. Radioterapi, terapi radiasi sebelum atau segera setelah prosedur

pembedahan cukup besar pengaruhnya pada penyembuhan luka bahkan

mungkin menimbulkan komplikasi.

b. Obat-obatan sitotoksik dan terapi steroid. Pemberian sitotoksik dan steroid

mempunyai pengaruh yang jelas terhadap penyembuhan luka karena

mempengaruhi proliferasi sel, memperlambat fase inflamasi dengan cara

multiplikasi fibroblast dan sistem kolagen.

c. Penatalaksanaan dan perawatan luka yang tidak tepat. Gagal

mengidentifikasi kondisi luka, penggunaan antiseptik dan antibiotik yang

tidak bijaksana, serta perawatan luka yang tidak baik adalah penyebab

terlambatnya proses penyembuhan.

3) Selain faktor intrinsik dan ekstrinsik Morison menambahkan faktor

psikososial yang mempengaruhi penyembuhan. Faktor psikososial meliputi

kepribadian dan konsep diri yang ada pada diri pasien dalam menghadapi

kondisinya serta segala karakteristik yang ada pada diri pasien meliputi

pekerjaan, pendidikan, fleksibilitas peran, peristiwa kehidupan lainnya yang

terjadi secara bersamaan, pengetahuan, pemahaman tentang masalah yang

dihadapi, pengharapan berdasarkan pengalaman masa lalu, serta ketersediaan

dukungan sosial dari medis maupun nonmedis.42

2.1.6. Penilaian Penyembuhan Luka Perineum Pascasalin

Laserasi perineum yang terjadi saat persalinan pervaginam akan

memerlukan tindakan penjahitan. Setelah penjahitan pemeriksaan luka perineum


33

perlu dilakukan untuk menilai hasil jahitan yang mungkin akan menimbulkan

masalah selama masa pascasalin. Pemeriksaan perineum dilakukan dengan

membaringkan ibu miring, posisi lutut ditekuk dan diangkat. Pemeriksaan

perineum meliputi redness, oedema, ecchymosis, drainage, dan wound

approximation.47,48

Davidson tahun 1974 menggunakan sistem skoring untuk mengevaluasi

penyembuhan luka pada masa pascasalin. REEDA tool, alat ini untuk mengkaji

redness, edema, ecchymosis (purplish patch of blood flow), discharge ,dan

approximation (closeness of skin edge) yang berhubungan dengan trauma

perineum setelah persalinan. REEDA menilai lima komponen proses

penyembuhan dan trauma perineum setiap individu. Sistem skoring Davidson

dijelaskan pada tabel berikut:1,3,49,50

Tabel 2.2. Skala REEDA Penilaian Penyembuhan Luka Perineum Pascasalin


(evaluating postpartum healing of perineum)

Nilai Redness Oedema Ecchymosis Discharge Approximation


(Kemerahan) (Pembengkakan) (Bercak (Pengeluaran) (Penyatuan
perdarahan) luka)
0 Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tertutup
1 Kurang dari Pada perineum, Kurang dari 0,25cm Serum Jarak kulit 3mm
0,25cm pada <1cm dari laserasi pada kedua sisi atau atau kurang
kedua sisi 0,5cm pada satu sisi
laserasi
2 Kurang dari Pada perineum 0,25-1cm pada Serosanguinus Terdapat jarak
0,5cm pada dan atau vulva, kedua sisi atau 0,5- antara kulit dan
kedua sisi antara 1-2cm dari 2cm pada satu sisi lemak subkutan
laserasi laserasi
3 Lebih dari Pada perineum >1cm pada kedua Berdarah, Terdapat jarak
0,5cm pada dan atau vulva, sisi atau 2 cm pada Purulent antara kulit,
kedua sisi >2cm dari laserasi satu sisi lemak subkutan
laserasi dan fasia
Sumber:Carr KC50
34

REEDA menggunakan kertas perekat disposibel (disposable paper tapes)

dengan panjang 4cm yang ditandai 0,25cm setiap bagiannya. Saat ibu posisi

miring kiri atau kanan ((sims position) disposable paper tapes ditempatkan tegak

lurus (perpendicular) terhadap garis luka perineum sehingga ukuran sentimeter

dapat menandai luka.1 Penilaian sistem REEDA meliputi: redness tampak

kemerahan pada daerah penjahitan, edema adalah adanya cairan dalam jumlah

besar yang abnormal di ruang jaringan intraselular tubuh, menunjukkan jumlah

yang nyata dalam jaringan subkutis, edema dapat terbatas yang disebabkan oleh

obstruksi vena atau saluran limfatik atau oleh peningkatan permeabilitas vaskular.

Ecchymosis adalah bercak perdarahan yang kecil, lebih lebar dari petekie (bintik

merah keunguan kecil dan bulat sempurna tidak menonjol), pada kulit perineum

membentuk bercak biru atau ungu yang rata, bulat atau tidak beraturan. Discharge

adalah adanya ekresi atau pengeluaran dari daerah yang luka perineum.

Approximation adalah kedekatan jaringan yang dijahit.51

Rhode dan Barger menganjurkan bidan untuk melakukan pemeriksaan

perineum dan berperan dalam kebersihan perineum ibu, penilaian dilakukan

dengan interval waktu yang teratur sampai 10 hari pasacasalin. 41 Tabel berikut

menggambarkan permasalahan penyembuhan laserasi perineum dan juga nyeri

perineum pada dua minggu pascasalin.

Tabel 2.3. Tinjauan Kejadian Nyeri Perineum dan Penyembuhan Luka Perineum

Pascasalin Nyeri Perineum Penyembuhan


hari ke- Luka Perineum
1 Nyeri (+)4,13,15 Fase inflamasi: respon vaskuler, respon
Slep et al nyeri perineum ringan dan hemostatik dan respon seluler. Tanda-tanda
35

berat ditemukan dua kali pada primipara radang (+)40,41,45


daripada multipara46 Edema perineum yang ringan, pembengkakan
33% wanita dilaporkan nyeri perineum labia, kemerahan yang normal (slight bruising),
pada 24 jam pascasalin46. bukan sebagai tanda infeksi11,49
Hari pertama pascasalin ditemukan nyeri Gaping dapat terjadi7
perineum pada tiap kelompok trauma Luka perineum tertutup dalam waktu 24 jam
(intact, laserasi, episiotomi, derajat III pertama11,41
dan IV)46
2 Nyeri (+)6,9,15. Kejadian nyeri perineum Fase inflamasi terus berlangsung.
ditemukan penjahitan jelujur Pada kondisi yang baik epitelisasi luka antara
subkutikular dan terputus3,16. 48-72 jam41. Gaping dapat terjadi7,13
3 Nyeri (+)4,6,9 Fase inflamasi terus berlangsung. Epitelisasi
Nyeri perineum ditemukan signifikan luka terjadi (72 jam)41
lebih tinggi pada penjahitan perineum
menggunakan benang kromik catgut 9,46.
30% nyeri berat (moderate) dilaporkan4.
4 Nyeri (+)6,9 Kejadian luka terbuka tidak bermakna9
5 Nyeri (+)6,9,13 Fase Proliferatif 11,41
Terjadi gangguan pada laserasi perineum
(insufficient wound healing) dan gaping dapat
terjadi13
6 Nyeri (+)6.9 Fase Proliferatif (+)1,11,41
7 Nyeri (+)6,9 Greenberg et al penyatuan luka (+)9
Tensile strength 60%10,43
8 Nyeri (+)6,9 Fase Proliferatif (+)1,11,41
9 Nyeri (+)6,9 Fase Proliferatif (+)1,11,41
10 Nyeri (+) 3,6,9,16,46 Gaping berkurang7.
Nyeri perineum dilaporkan lebih rendah Terjadinya luka terbuka pada otot superfisial
setelah pejahitan perineum pada hari ke- perineum cukup signifikan dengan
10 pascasalin6,9. penggunaan benang kromik9
Reepitelisasi secara secara primer terjadi. 11,41

Bick et al dalam PEARLS melaporkan beberapa studi dilakukan untuk

mengetahui morbiditas nyeri ibu yang berhubungan dengan trauma perineum

dalam rangka memantau perkembangan kesehatan ibu. Studi mengenai keluaran

primer (the primary out come study) pengalaman nyeri perineum saat ibu

beraktifitas sehari-hari terjadi pada hari ke-10 sampai-12.2 Pada hari ke-10 sebagai

titik akhir nyeri jangka pendek (the primary endpoint). 3 23% nyeri perineum berat

(moderate) dari 900 persalinan spontan pervaginam dilaporkan

Berdasarkan tinjauan tabel tersebut maka penilaian nyeri pada laserasi

perineum dapat dilakukan pada hari ke-1, 2, 3 dan 10 pascasalin. Sedangkan


36

pemeriksaan penyembuhan luka perineum dapat dilakukan pada hari ke-1, 2, 3, 5,

7, dan 10 pascasalin.

2.1.7. Benang dan Teknik Penjahitan

Benang jahit dapat dibagi dalam beberapa klasifikasi berikut10,11,52:

1) Kemampuan untuk diserap

a) Dapat diserap

Benang yang dapat diserap penggunaannya praktis karena tidak perlu

dicabut lagi, sehinggga menjadi pilihan dalam penjahitan organ visceral

atau penjahitan jaringan bawah kulit. Benang jenis ini akan dicerna secara

enzimatik ataupun reaksi hidrolisis, menimbulkan reaksi jaringan yang

nyata, dan kekuatannya akan berkurang seiring proses penyerapan

sehingga tidak dipilih untuk menjahit kulit ataupun menjahit jaringan

yang memerlukan kekuatan dalam waktu lama. Contoh golongan ini

adalah catgut, polyglycolic acid, polyglactin 910, dan polydioxanone.

Benang jenis ini dalam waktu 3 minggu kekuatannya tersisa 20%

walaupun proses penyembuhan luka sampai sembuh masih lama,

sehingga perlu dipikirkan pemanfaatannya yang spesifik.

b) Tidak dapat diserap

Benang yang tidak dapat diserap biasanya dicabut kembali, dan

reaksi jaringan minimal serta kekuatannya relative tidak berkurang

sehingga golongan ini merupakan salah satu bahan pilihan untuk menjahit

kulit. Contoh golongan ini adalah nilon, polypropylene dan sutera/ silk.
37

Benang yang tidak dapat diserap terutama digunakan untuk menjahit

jaringan yang perlu mempertahankan tensile strength lebih dari 60 hari.

2) Ukuran benang

Ukuran benang jahit dinyatakan dengan angka, yang paling umum

digunakan adalah ukuran 5.0 sampai 1. Semakin besar angka di depan 0 berarti

benang tersebut semakin kecil, misalnya benang 4.0 lebih kecil dari benang 2.0.

3) Bentuk benang

a) Berpilin

Contoh benang berpilin adalah benang catgut, keunggulannya adalah

bila disimpul maka simpul cenderung tetap berada di tempatnya, tidak

mudah bergeser dan tidak mudah lepas.

b) Beranyam (braided)

Contoh benang beranyam adalah polyglactin 910, keunggulan dan

kekurangan jenis benang tersebut hampir sama dengan benang berpilin

namun benang jenis tersebut mempunyai keuntungan tambahan yaitu

anyamannya lebih kuat dibandingkan benang berpilin sehingga tidak

mudah terurai.

c) Filamen tunggal

Contoh benang filamen tunggal adalah polypropylene,

keuntungannya mudah menembus jaringan, kemungkinan infeksi lebih

kecil, dan sedikit sekali menimbulkan trauma karena penampangnya bulat

dan licin. Kekurangannya bila disimpul akan mudah bergeser dan mudah
38

lepas, sehingga bila banyak menyimpul benang jenis tersebut harus cukup

banyak agar tidak mudah lepas.

4) Sumber bahan benang

a) Alami/ Natural

Bahan alami yang masih dipakai adalah silk/ sutera dan catgut. Untuk

benang yang dapat diserap bahan alami menimbulkan reaksi jaringan yang

lebih nyata dibandingkan benang sintetik karena benang sintetik diuraikan

dengan proses hidrolisis, bukan dengan reaksi enzimatik seperti benang

alami. Karena alasan yang sama, bahan sintetik juga diuraikan lebih lama

dibandingkan bahan alami sehingga mempunyai kekuatan mentautkan tepi

luka lebih lama.

b) Sintetik

Sebagian besar benang yang beredar saat ini berasal dari bahan

sintetik dengan bermacam jenis, bahan-bahan ini bervariasi dalam

kekuatannya, kemudahan untuk disimpul, proses penyerapan, dan berbagai

fitur lainnya. Benang yang sering dipakai adalah polypropylene, nylon, dan

polyglactin.

Pertimbangan yang harus diperhatikan dalam pemilihan benang untuk

melakukan penjahitan pada jaringan, operator harus mampu menilai beberapa hal

antara lain: kekuatan keregangan jaringan yang akan dijahit, kecepatan

penyembuhan jaringan, ada atau tidaknya infeksi pada jaringan yang akan dijahit,

mudah atau tidaknya daerah yang akan dijahit, keamanan simpul jahitan yang

akan dibuat dengan benang yang digunakan.10-12


39

Faktor-faktor yang sangat penting diperhatikan dalam teknik menjahit:11,46

1) Kekencangan jahitan: jahitan yang terlalu kencang dapat mengakibatkan

nekrosis jaringan dan luka yang lebih lemah. Penjahitan hanya dimaksudkan

untuk merapatkan kedua tepi luka, yang harus diperhatikan bahwa setelah

penjahitan akan terjadi sedikit edema.

2) Ukuran jaringan yang dijepit: pada umumnya jepitan jaringan yang lebih

lebar dalam jahitan akan menghasilkan luka yang lebih kuat daripada jepitan

yang kecil.

3) Pemilihan benang: setiap benang mempunyai keuntungan dan kerugian,

pemilihan harus sesuai area anatomis spesifik dan keadaan klinis yang

spesifik pula.

4) Jarak antar jahitan: terdapat jarak optimum antar jahitan untuk setiap tipe

luka, mengurangi jarak antar jahitan dapat melemahkan luka.

Teknik menjahit luka ada beberapa macam, penggunaannya tergantung

keadaan luka, tempat luka, dan pertimbangan operator. Berikut jenis teknik

penjahitan:10-11

1) Jahitan jelujur (continuous suture), disebut juga jahitan terus menerus

(running stitch) dibagi menjadi beberapa macam.:

a) Jahitan jelujur sederhana (continuous simple suture) Jahitan dibuat

menembus kulit dan keluar dari tepi luka bersamaan .

b) Jahitan jelujur interloking (running locked suture). Benang dilingkarkan

pada setiap jahitan, simpul dilakukan pada akhir jahitan.


40

c) Jahitan jelujur subkutikular (running subcuticular stitch) , disebut juga

jahitan kutikular dalam, karena yang dijahit adalah dermis dari sebelah

dalam bukan subkutikular yang berarti menjahit lemak (continuous

dermal suture).

(a) (b) (c)


Gambar 2.7. (a) Jahitan jelujur (over-and-over running stitch), (b) Jahitan jelujur
interlocking (running locked), (c) Jahitan jelujur subkutikular.
Sumber: Skinner I10

2) Jahitan terputus (interrupted suture), dibagi dalam beberapa macam:

a) Jahitan terputus sederhana (simple interrupted suture). Jahitan ini

adalah bentuk jahitan paling sederhana dan paling sering digunakan,

menembus kulit dan simpul diposisikan pada satu sisi.

b) Jahitan terputus matras vertikal (interrupted vertical mattress). Jarum

keluar dari kulit, kemudian ditusukkan kembali ke kulit pada bidang

vertikal yang sejajar dengan jahitan pertama.

c) Jahitan terputus matras horizontal ( interrupted horizontal mattress).

Jahitan terdiri dari dua jahitan satu-satu yang paralel disimpul menjadi

satu.
41

(a) (b) (c)


Gambar 2.8. (a) Jahitan terputus satu-satu, (b) Jahitan terputus matras vertical,
(c) Jahitan terputus matras horizontal.
Sumber: Ethicon12

3) Jahitan dermal dalam

Teknik apapun yang digunakan untuk menutup kulit, parut bekas jahitan

akan menjadi jelek apabila saat kedua tepi luka ditautkan terdapat ketegangan.

Untuk mencegah terjadinya tegangan pada luka diperlukan sebuah jahitan pada

dermis yang disebut jahitan dermal dalam. Jahitan ini dilakukan di bawah lapisan

kulit, dapat dilakukan dengan penjahitan jelujur atau terputus.

2.1.8. Anestesi, Benang dan Teknik Penjahitan Laserasi Perineum

2.1.8.1.Anestesi Untuk Penjahitan Laserasi Perineum

Anestesi lokal diberikan pada setiap ibu yang memerlukan penjahitan

laserasi perineum atau karena episiotomi. Penjahitan sangat menyakitkan bagi ibu

dan menggunakan anestesia lokal merupakan salah satu bentuk asuhan sayang

ibu. Obat standar untuk pemberian anestesia lokal adalah 1% lidokain tanpa

epinefrin (silokain). Jika lidokain 1% tidak tersedia, dapat menggunakan lidokain

2% yang dilarutkan dengan air steril atau NaCl fisiologis dengan perbandingan

1:1 (sebagai contoh, larutkan 5 ml lidokain 2% dengan 5 ml air steril atau normal

salin untuk membuat larutan lidokain 1%).18 Penggunaan lidokain bersama


42

adrenalin akan menambah durasi kerja dan perdarahan akan berkurang, namun

tidak boleh digunakan pada daerah ujung pembuluh darah (end artery).53

Anestetik lokal mencegah penjalaran potensial aksi dengan menghambat

saluran natrium (di ekstraseluler). Zat golongan ini terutama efektif dalam

menghambat nyeri yang disalurkan oleh serat C, karena serat yang tidak bermielin

memudahkan penetrasi. Lignokain (lidokain) yang disuntikkan ke perineum

efektif untuk menghambat nyeri karena episiotomi. Lidokain pertama kali

ditemukan oleh ahli kimia Swedia yaitu Nils Lofgren.54-55

Lidokain adalah anestetik lokal golongan amida yang pertama kali

ditemukan. Sering dipakai untuk surface analgesi, blok infiltrasi, spinal, epidural

dan caudal analgesia dan nerve blok lainnya, merupakan obat pilihan utama

untuk anesthesia permukaan maupun infiltrasi. Dibandingkan prokain, khasiatnya

lebih cepat kerjanya (setelah beberapa menit) onset 5-10 menit, lebih kuat (dalam

plasma waktu paruhnya 1,5-2 jam), lama kerjanya 60-90 menit bisa juga

durasinya mencapai 2-4 jam. Potensi dan toksisitas 10 kali prokain. Obat bekerja

pada reseptor spesifik pada saluran natrium, mencegah peningkatan permeabilitas

sel saraf terhadap ion natrium dan kalium, sehingga terjadi depolarisasi pada

selaput saraf dan hasilnya tak terjadi konduksi saraf. Potensi dipengaruhi oleh

kelarutan dalam lemak, makin larut makin poten.54-55

Anestesi infiltrasi diberikan pada penjahitan laserasi perineum dengan

memberikan beberapa injeksi pada atau sekitar jaringan yang akan dianestesi

sehingga mengakibatkan hilangnya rasa di kulit dan jaringan yang terletak lebih

dalam.55
43

2.1.8.2.Benang Catgut Kromik

Benang catgut sering digunakan untuk menjahit laserasi perineum.

Awalnya dihasilkan secara manual dari lapisan submukosa dan serosa sapi dan

kambing yang telah diolah dengan menggunakan larutan formaldehyde untuk

meningkatkan tensile strength bahan mukosa tersebut, dan kemudian dipilin

dalam suatu untaian benang yang dibuat dengan berbagai kaliber. Chromic catgut

merupakan benang natural yang terbuat dari lapisan submukosa dan serosa usus

sapi dan kambing yang telah diolah dengan menggunakan larutan formaldehyde

untuk meningkatkan tensile strength bahan mukosa tersebut, dan kemudian dipilin

dalam suatu untaian benang yang dibuat dengan berbagai ukuran.12

Benang catgut kromik memiliki tensile strength yang bertahan 14–28 hari,

dan diabsorbsi dalam 90 hari. Perbedaan kekuatan beberapa jenis benang dalam

penelitian invivo selama 1 sampai dengan 6 minggu, dapat dilihat pada gambar

berikut:

Gambar 2.9. Kekuatan Benang yang dapat diserap dalam Penelitian Invivo
Sumber: Ethicon20.

Waktu penyerapan dan reaksi jaringan yang ditimbulkan oleh Kromik

Catgut dapt dilihat pada tabel Karakteristik benang yang dapat diserap berikut:
44

Tabel 2.4. Karakteristik Benang dapat Diserap (Absorbable Suture Materials)

Jenis Benang Sumber Benang Waktu untuk Reaksi


Penyerapan Jaringan
Plain catgut Jaringan usus sapi atau 70 hari Sedang
kambing
Chromic catgut Jaringan usus (Catgut) 90 hari Sedang
yang direndam dengan
garam kromium
Vicryl Polyglactin 910 56-72 hari Ringan
Dexon Asam poliglikolat 40-90 hari Ringan
PDS II Polidiakson Tidak ada
Maxon Poliglikonat 180 hari Tidak ada
Sumber: Dikutip dari Mulyana Y12

Seiring dengan kemajuan teknologi kedokteran, catgut kromik telah

dikembangkan oleh perusahaan-perusaan produksi benang. Chromic catgut

sebagai benang steril, dapat diserap, multifilamen, terdiri dari jaringan kolagen

yang berasal dari jaringan kolagen usus sapi atau domba. Kemudian direndam

dengan larutan garam kromium agar tahan terhadap reaksi enzimatik tubuh

sehingga memperpanjang waktu penyerapan lebih dari 90 hari. Untaian kolagen

murni yang telah direndam dalam larutan kromik secara elektronik akan diputar

untuk meratakannya (chromicized). Sehingga akan meningkatkan integritas dari

untaian tersebut, mengurangi dan menurunkan iritasi atau reaksi yang timbul pada

jaringan.10-12,43

Persentase kolagen dalam benang catgut sering menentukan kualitas

benang tersebut. Persentase kolagen yang lebih tinggi memungkinkan untuk

tensile strength yang tinggi pula, waktu penyerapan lebih lama, dan reaksi

jaringan yang lebih rendah (in vivo).11,43


45

2.1.8.3.Teknik Penjahitan Laserasi Perineum

Reparasi laserasi perineum merupakan tindakan bedah yang sering

dilakukan setelah persalinan oleh para dokter obgin maupun bidan, tindakan

penjahitan ini dilakukan setelah terjadinya robekan spontan atau karena

episiotomi saat persalinan. Penjahitan yang efektif membutuhkan pengetahuan

anatomi dan pemahaman tehnik penjahitan. Terdapat beberapa tingkatan laserasi

perineum tegantung kedalamannya dan jaringan pada perineum yang terlibat.

Beberapa gejala sisa yang sering didapatkan pada laserasi perineum seperti nyeri

perineum kronik, nyeri saat bersenggama (dispareunia), inkontinensia urin bahkan

sampai yang paling berat inkontinensia alvi. Menghindari episiotomi yang rutin

dan persalinan dengan ekstraksi forseps dapat mengurangi terjadinya laserasi

perineum yang berat.17

Tujuan penutupan laserasi perineum adalah pemulihan integritas fisik dan

mengembalikan fungsi jaringan yang mengalami trauma karena persalinan.

Penjahitan laserasi perineum segera setelah persalinan dikatakan penutupan

primer sehingga terjadi penyembuhan secara primer. Penyembuhan secara primer

pada perineum akan meminimalkan komplikasi dan berlangsung dalam 10-14

hari.1,44 Teknik menjahit yang buruk dapat menyebabkan terjadinya laserasi

perineum dengan kekuatan regangan yang menurun sehingga cenderung lebih

mudah terbuka.20,44

Perbaikan laserasi perineum dilakukan untuk memastikan bahwa jaringan

telah berada kembali pada posisi yang benar, membantu penyembuhan luka secara

primer, menghentikan perdarahan (hemostasis), mengurangi ruangan tidak


46

berguna tempat terjadinya perdarahan, mencegah terjadinya infeksi. Sedangkan

tujuan umum dari perjahitan laserasi perineum adalah untuk mempertahankan

integritas dasar panggul wanita.22 Luka labia bilateral akan saling bersentuhan

ketika ibu berdiri atau duduk sehingga harus dijahit agar tidak terjadi perlekatan

labia. Bila perbaikan perineum tidak dilakukan dengan baik, dampak serius jangka

pendek atau jangka panjang akan terjadi serta dapat mempengaruhi kesehatan dan

kesejahteraan ibu. Perbaikan perineum sering dilakukan dalam tiga tahap yaitu:

dinding vagina posterior, lapisan otot perineum dan kulit perineum.18,28,53

Melakukan reparasi laserasi perineum diperlukan cahaya dan visualisasi

yang baik, peralatan yang tepat, jenis benang dan anestesi yang adekuat. Anestesi

lokal dapat digunakan pada sebagian besar kasus reparasi laserasi perineum.

Akan tetapi anestesi umum atau regional mungkin dibutuhkan terutama pada

kasus laserasi yang berat atau rumit yang membutuhkan relaksasi otot yang

adekuat.8,17

Bagian apeks vagina yang mengalami laserasi diidentifikasi, jika

laserasinya cukup dalam dan jauh gunakan retraktor untuk membantu melihatnya

dengan jelas. Dibuat jahitan jangkar kira-kira 1 cm diatas apeks laserasi,

kemudian mukosa vagina dan fasia rektovagina dibawahnya dijahit jelujur

(dengan benang polyglactin 3-0). Jika apeks laserasi terlalu jauh untuk dilihat,

dapat membuat jahitan jangkar pada daerah yang paling mungkin dapat dilihat,

kemudian dilakukan tarikan pada jahitan jangkar tersebut sampai bagian apeks

tersebut dapat terlihat. Jahitan jelujur interlocking dapat digunakan jika

dibutuhkan untuk hemostasis.17,53


47

Penjahitan harus mengikutsertakan fasia, dimana fasia ini jaringan yang

berfungsi menyokong bagian posterior dari vagina. Dilakukan jahitan jelujur

sampai pada cincin himen kemudian diikat dibagian proksimal cicin tersebut.

Dilanjutkan dengan penjahitan mukosa vagina secara lengkap. Ujung otot

transversus perinei yang terputus didekatkan kembali dengan satu atau dua buah

jahitan terputus secara melintang.8,17,53

Penjahitan otot bulbocavernosus dilakukan dengan jahitan terputus.

Umumnya tepi otot ini mengalami retraksi kearah posterior dan superior, untuk

penjahitannya diperlukan jarum yang besar. Jika laserasi meluas sampai dengan

fasia rektovagina di perineum, fasia tersebut dijahitkan pada perineum dengan dua

buah jahitan interrupted secara vertikal. Jika penjahitan otot-otot perineum

dilakukan dengan pendekatan anatomis ini, penyatuan kulit perineum biasanya

akan baik dan umumnya penjahitan kulit perineum tidak diperlukan. Penjahitan

kulit perineum ini akan meningkatkan kejadian nyeri daerah perineum pada 3

bulan pascasalin.8,17 Pada kondisi sumber daya terbatas kromik masih menjadi

pilihan untuk penjahitan laserasi perineum, benang kromik yang digunakan 2-0

atau 3-0 karena bersifat lentur, kuat tahan lama, dan sedikit menimbulkan reaksi

jaringan.3,12,18

Penjahitan pada kulit perineum dapat dilakukan dengan teknik jelujur

subkutikular atau terputus.

a) Teknik penjahitan jelujur subkutikular

Jahitan jelujur disebut sebagai jahitan terus-menerus (running stitches).

Jahitan jelujur merupakan serangkaian jahitan dengan menggunakan satu helai


48

benang. Benang dapat diikat sendiri di setiap akhir, atau dilingkarkan, dengan

memotong kedua ujung benang dan disimpul bersama-sama. Satu garis jelujur

dapat ditempatkan dengan cepat. Kekuatan diperoleh dari ketegangan benang

yang didistribusikan merata sepanjang jahitan. Namun penjahitan harus

diperhatikan dengan seksama, jarak antar jahitan dan ketegangan benang agar

tidak terlalu ketat untuk menghindari jaringan yang terjepit. Ketegangan benang

yang berlebihan, kerusakan instrumen, harus dihindari untuk mencegah kerusakan

jahitan, yang dapat mengganggu seluruh baris dari jahitan jelujur.10-11

Penjahitan jelujur meninggalkan massa benda asing pada luka. Pada

kondisi infeksi mungkin benang monofilamen digunakan karena tidak mempunyai

ruang untuk mikroorganisme. Hal tersebut harus diperhatikan karena jahitan

jelujur merupakan satu garis yang dapat menularkan infeksi sepanjang benang. 11

Jika penjahitan kulit perlu dilakukan, penjahitan secara subkutikular lebih baik

dibandingkan dengan cara terputus transkutaneus dengan menggunakan benang

polyglactin 4-0.8,17

Jahitan jelujur atau terus-menerus merupakan jahitan yang mudah

dilakukan, nyaman bagi pasien, cepat untuk menyatukan tepi luka, dan dilakukan

pada luka yang mempunyai ketegangan kecil. Jahitan subkutikular memberikan

hasil kosmetik yang lebih unggul karena berada di dalam luka. Sebagai sebuah

cara yang sangat baik untuk menutup luka pada kulit agar bekasnya samar atau

tidak terlihat, mengurangi iskemi dan tekanan pada jaringan.10-11,52

Jahitan subkutikular dilakukan pada tepi luka yang mudah disatukan, tepi

luka yang mengarah keluar, jaringan mati telah dihilangkan terlebih dahulu, dan
49

ketegangan luka kecil. Jahitan subkutikular tidak dapat digunakan pada luka yang

teregang karena kekuatannya tidak sekuat jahitan lain. Jahitan jelujur mempunyai

kerugian bila benang putus seluruh luka akan terbuka kembali.10-11,52

Jahitan subkutikular sangat baik pada daerah dengan ketegangan minimal,

ruang yang kosong dalam jaringan sudah tidak ada, aproksimasi tepi luka lebih

baik dan memberikan hasil kosmetik yang terbaik. Jahitan yang menembus pada

epidermis hanya pada awal dan akhir jahitan. Jahitan subkutikular menghilangkan

risiko jahitan yang menyilang (crosshatching). 56-57

b) Teknik penjahitan terputus

Teknik penjahitan jelujur disarankan karena cepat dan menghemat bahan

benang yang digunakan. Grant menyarankan teknik terputus satu-satu lebih

mudah digunakan dan dipelajari dari teknik jelujur subkutikular untuk menutup

kulit perineum.3,16.45 Pada jahitan terputus benang digunakan dalam beberapa

untaian untuk menutup luka. Setiap untai benang diikat dan digunting setelah

penyimpulan. Kondisi ini lebih aman untuk menutup luka karena jika satu ikatan

terlepas maka jahitan lain yang tersisa yang tidak terlepas akan terus menyatukan

luka dan membantu proses penyembuhan. Penjahitan terputus dapat digunakan

pada luka yang terinfeksi, karena perjalanan mikroorganisme dapat dikurangi

dengan jahitan terputus.11 Penjahitan satu-satu dapat mempertahankan eversi

kulit. Jahitan ini dapat digunakan pada daerah kulit yang secara alami mengalami

inversi seperti lekukan tubuh atau lipatan kulit. Kerugiannya iskemia lebih banyak

sehingga penyembuhan luka dapat terganggu.53,56


50

Dibandingkan jahitan jelujur, jahitan terputus mudah ditempatkan,

memiliki kekuatan lebih besar (tensile strength), dan potensi untuk menyebabkan

edema dan gangguan sirkulasi kulit yang rendah. Jahitan terputus satu-satu juga

memungkinkan operator untuk melakukan penyesuaian yang diperlukan saat

menjahit tepi luka dengan benar. Kekurangan jahitan terputus termasuk lamanya

waktu yang dibutuhkan untuk penempatan dan risiko yang lebih besar dari bekas

penjahitan (seperti rel kereta api) di garis jahitan.56

2.1.9. Penilaian Nyeri

Nyeri sangat individual, subjektif dipengaruhi oleh kultur, situasi,

perhatian dan berbagai variabel psikologi. Menurut Katz dan Melzack, ada tiga

faktor psikologi yang mempengaruhi dimensi nyeri yaitu sensori diskriminasi,

motivasi dan evaluasi kognitif yang akan saling berinteraksi untuk menghasilkan

informasi, persepsi yang akan mempengaruhi pola kompleks tentang karakter

nyeri. Metode pemeriksaan berdasarkan jawaban pasien secara langsung

merupakan indikator yang paling dipercaya untuk penilaian intensitas nyeri.

Untuk menilai nyeri dapat digunakan beberapa metode, yaitu secara subjektif dan

objektif. Untuk penilaian secara subjektif dapat dinilai dengan beberapa

pengukuran berdasarkan pertanyaan terhadap pasien. Sedangkan penilaian secara

objektif adalah penilaian oleh penilai tentang beratnya nyeri yang dirasakan oleh

pasien atau dengan menilai aktifitas pasien.33

Metode yang biasa digunakan untuk mengukur nyeri ada dua, yaitu

unidimensi yang mempunyai satu variabel pengukur intensitas nyeri dan


51

multidimensi. Metode unidimensi adalah Verbal Ratting Scales (VRS),

Numerical Rating Scale (NRS), Visual Analogue Scale (VAS). Metode sederhana

ini biasa digunakan secara efektif dari rumah sakit, klinik dan memberikan

informasi mengenai nyeri. Selain VAS skala wajah Wong-Baker juga dapat

digunakan untuk menilai nyeri, skala ini mudah dan cepat diterjemahkan bagi

anak-anak, orang tua maupun tenaga kesehatan. 31,59

Skala analog visual (VAS) menggunakan format analog seperti namanya,

artinya mewakili suatu nilai yang berkelanjutan. Model yang paling umum dalam

pengukuran nyeri dengan menggunakan garis horizontal pengukuran tepat 10 cm

(100 mm). Pasien diminta untuk membuat tanda pada baris ini, lalu garis diukur

dan dicatat dalam milimeter atau cm (misalnya, 37 mm atau 3,7 cm) . Panjang

garis adalah penting bagi hasil mengukur, karena alat ini telah dievaluasi dalam

format dan pengukuran bersandar pada baris yang tepat sepanjang 10 cm. Oleh

karena itu untuk VAS sebagai ukuran kertas perlu dipantau karena proses ini dapat

mengubah panjang skala dan membatalkan instrumen. Ketika skala diformat

tanpa nomor, itu adalah sebuah format analog.58

Gambar 2.10. Skala Visual Analog58,59


52

Salah satu aspek yang paling penting dari validitas dari VAS adalah

sebagai ukuran kuantitatif dari rasa sakit. Sebuah skor VAS 0 cm merupakan

angka nol yang benar karena indikasi dari tidak adanya rasa sakit. Ini berarti

bahwa VAS pengukuran rasio di alam, yang berarti bahwa skor 6 cm dua kali

lebih parah dari skor 3 cm. Perbedaan antara nilai VAS dari 2 dan 3 adalah sama

besar perbedaannya antara nilai VAS 7 dan 8. Sehingga VAS digunakan untuk

tingkat rasio pengukuran.59,60 Pengukuran nyeri penggabungan NRS dan VAS

dibuat dalam bentuk Numerik Visual Analog Scale. Skala wajah Wong-Baker

menggambarkan kondisi yang tidak ada nyeri sampai nyeri yang berat dalam

ekspresi wajah. Huskisson memberikan alternatif penggunaan VAS dengan

memberikan kategori nyeri, pemberian skala deskripsi ini memudahkan klien

mengisi tanpa bantuan (tidak nyeri, nyeri ringan, nyeri sedang, nyeri berat, nyeri

sangat berat).59

2.2. Kerangka Pemikiran

Persalinan akan menimbulkan trauma pada ibu baik trauma fisik maupun

trauma psikis. Trauma fisik berupa laserasi perineum paling sering dialami oleh

wanita saat persalinan pervaginam spontan terutama pada persalinan anak pertama

yang akan menimbulkan masalah jangka pendek maupun jangka panjang.1,15 Nyeri

perineum berpengaruh pada hari-hari pertama pascasalin dan beberapa minggu

pascasalin.13,15 Wanita yang mengalami trauma perineum spontan dilaporkan lebih

rendah mengalami nyeri perineum pada masa pascasalin.1,46,52

Masalah kesehatan yang menetap ditemukan Thompson dkk pada wanita

yang mengalami robekan perineum spontan atau telah dilakukan episiotomi,


53

mengeluhkan adanya nyeri perineum yang meningkat, menurunnya kepuasan

seksual setelah melahirkan, dan tertundanya aktivitas seksual.7,16

Penelitian Watanatitan et al mendapatkan bahwa trauma perineum derajat

satu dan dua lebih banyak ditemukan pada persalinan pervaginam. 15 Penjahitan

laserasi perineum merupakan salah satu tindakan yang paling sering dilakukan

setelah persalinan. Bagian kulit perineum ditutup dapat menggunakan teknik

penjahitan terputus (interrupted transcutaneous sutures) atau teknik jelujur

subkutikular (continuous subcuticular suture) dengan benang yang dapat diserap

(absorbable material).1,8 Penggunaan analgesi hari-hari pertama pascasalin

dilaporkan lebih rendah pada teknik penjahitan subkutikular dibandingkan dengan

teknik penjahitan terputus.9,56 Penjahitan laserasi perineum dengan teknik jelujur

subkutikular pada kulit perineum dilaporkan kejadian nyeri yang lebih rendah

dibandingkan dengan penjahitan terputus satu-satu.1

Tensile stength catgut kromik akan bertahan lebih setengahnya pada hari

ke-7 sampai 10, beberapa akan mencapai 21 hari. Catgut kromik benang natural

yang diserap diuraikan dengan proses enzim proteolitik yang menimbulkan

inflamasi sel. Penjahitan jelujur subkutikular di bawah kulit dengan kromik catgut

mengurangi reaksi peradangan pada luka.43

Penjahitan terputus (interrupted/ individual) harus ditempatkan pada jarak

yang sama, insersi benang pada kulit harus tepat dan tidak longgar untuk

penyatuan luka. Setelah penjahitan pada epidermis biasanya menimbulkan bekas

luka seperti rel kereta api (train-tracks). Penyimpulan yang terlalu ketat akan

menimbulkan tekanan pada jaringan sehingga menimbulkan iskemia, tepi luka


54

akan menjadi nekrosis dan berpotensi timbulnya infeksi. Jarak antara jahitan yang

tidak sama menimbulkan dead space sehingga hematoma terbentuk, timbul

infeksi dan luka dapat terbuka.10

Penggunaan teknik jelujur subkutikular, jahitan menembus epidermis

hanya pada awal dan akhir jahitan sehingga memberikan aproksimasi luka yang

baik. Studi acak kontrol yang dilakukan Perveen dan Shabbir tentang benang dan

teknik penjahitan menyimpulkan bahwa penjahitan jelujur subkutikular

menggunakan benang catgut kromik mengurangi nyeri dan kejadian luka terbuka,

sama dengan pada penggunaan benang yang dapat diserap.3,13

Penelitian T Wong dkk mengenai penjahitan menilai outcome maternal

(masalah penyembuhan luka) dilakukan pada 1 hari, 5 hari, 2 minggu dan 3 bulan

pascasalin, dilaporkan bahwa teknik penjahitan perineum dan infeksi lokal adalah

faktor utama yang mempengaruhi penyembuhan dalam 2 hari pertama pascasalin.

Permasalahan nyeri dan penyembuhan luka perineum yang tidak baik (poor and

insufficient wound healing) dapat terjadi selama masa pascasalin. 13


55

Faktor yang mempengaruhi nyeri


Usia
Paritas
Konsisi Fisik
Fisiologi dan biokimia
Psikologis Nyeri
Ras dan Etnik Perineum

Trauma/ Laserasi
Perjahitan Perineum:
Perineum
Spontan:
Teknik Penjahitan
jelujur subkutikular Hasil
Derajat 1
Derajat 2 transkutaneus Penjahitan
terputus

Derajat 3
Material/ Bahan
Derajat 4 benang
Keterampilan Penyembuhan
operator Luka Perineum:
Faktor yang mempengaruhi redness,
penyembuhan luka: Usia, berat oedema,
badan, status nutrisi, dehidrasi, ecchymosis,
respon imun, penyakit kronis, faktor discharge ,dan
lokal pada luka, radioterapi, obat- approximation
obatan, perawatan luka

Gambar 2.11. Kerangka Pemikiran

Keterangan gambar:

: variabel yang diteliti, : variabel perancu

2.3. Hipotesis

Pada penelitian ini rumusan hipotesa sebagai berikut:


56

1) Derajat nyeri hasil teknik penjahitan jelujur subkutikular lebih ringan

daripada teknik penjahitan transkutaneus terputus pada laserasi spontan

perineum derajat II persalinan primipara oleh bidan.

2) Penyembuhan luka perineum hasil teknik penjahitan jelujur subkutikular

lebih baik daripada teknik penjahitan transkutaneus terputus pada laserasi

spontan perineum derajat II persalinan primipara oleh bidan.

BAB III

SUBJEK DAN METODE PENELITIAN


57

3.1. Subjek Penelitian

Subjek penelitian adalah ibu pascasalin yang memenuhi kriteria inklusi

dan eksklusi serta bersedia ikut serta dalam penelitian setelah diberi penjelasan

mengenai penelitian yang akan dilakukan (informed consent).

3.1.1. Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi Penelitian

Populasi target dalam penelitian ini adalah ibu pascasalin. Populasi

terjangkau adalah ibu pascasalin yang bersalin di sepuluh tempat yaitu delapan

bidan praktik swasta (BPS) dan dua rumah bersalin di wilayah Kediri.

Sampel Penelitian

Sampel dalam penelitian adalah ibu primipara pascasalin spontan

pervaginam yang mengalami laserasi spontan perineum derajat II persalinan dan

telah dilakukan penjahitan perineum menggunakan benang catgut kromik dengan

salah satu teknik penjahitan yaitu teknik jelujur subkutikular atau transkutaneus

terputus oleh bidan.

3.1.2. Kriteria Inklusi dan eksklusi

Kriteria inklusi pada penelitian adalah sebagai berikut:

1) Ibu primipara partus spontan pervaginam tidak anemia

2) Ditolong bidan dengan kriteria bidan berpendidikan minimal DIII dan

berpengalaman lebih dari 5 tahun praktik.


58

3) Telah dilakukan penjahitan dengan teknik jelujur subkutikular teknik atau

teknik transkutaneus terputus pada kulit perineum menggunakan benang

catgut kromik 2-0.

Kriteria eksklusi pada penelitian adalah:

1) Ibu yang mengalami komplikasi persalinan.

2) Ibu dengan tindakan episiotomi

3) Ibu yang mengalami persalinan buatan.

4) Riwayat penyakit infeksi panggul atau kelamin

5) Alamat rumah tidak terjangkau peneliti.

3.1.3. Cara Pemilihan dan Ukuran Sampel

Pengambilan sampel dilakukan secara consecutive admission sampling

terhadap subjek penelitian yang bersalin di 8 BPS dan 2 rumah bersalin, yaitu

berdasarkan pasien yang datang dan memenuhi kriteria penelitian sehingga

jumlah sampel terpenuhi. Pembagian sampel ditentukan dengan cara membagi

subjek ke dalam 2 kelompok penelitian yaitu kelompok I adalah ibu primipara

pascasalin dengan laserasi spontan perineum derajat II persalinan yang telah

dilakukan teknik penjahitan jelujur subkutikular oleh bidan penolong, dan

kelompok II adalah ibu primipara pascasalin dengan laserasi spontan perineum

derajat II yang telah dilakukan teknik penjahitan transkutaneus terputus oleh

bidan.

Perkiraan besar sampel menggunakan rumus untuk menghitung data numerik

pada uji hipotesis satu arah rerata dua kelompok independen.


59

2
      s 
Rumus besar sampel : n1 n2 2 
 d

Keterangan:

N : jumlah sampel
Zα : derivat baku alfa (derajat tingkat kemaknaan untuk 1-α= 95% maka Zα=1,65)
Zβ : derivat baku beta (kekuatan uji dari penelitian 1-β= 80% maka Zβ= 0,84)

S : Besarnya standar deviasi kedua kelompok (berdasarkan Deming rule)= 0,24x


nilai rentang
d : Beda skor yang secara klinis bermakna (x1-x2).
Skala REEDA nilai 15, maka d=3. VAS nilai 10, maka d=2
α : Batas kemaknaan 5% (= 0,05)

Perhitungan sampel sebagai berikut:


2 2
      s        s 
n1 2   n2  2  
 d  d

2 2
 1,65  0,84  0,24 10    1,65  0,84 0,24 15 
n1 2   n1 2  
 2  3

n1 18 n2 18

Besar sampel minimal dengan taraf kepercayaan 95% dan power test 80%

diperoleh 18 untuk masing-masing kelompok hasil teknik penjahitan. Untuk

mengantisipasi adanya sampel yang drop out maka jumlah sampel ditambah 10%

sehingga sampel dalam penelitian untuk masing-masing kelompok adalah 20.

3.2. Metode Penelitian


60

3.2.1. Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik komparatif

dengan pendekatan prospektif. Penelitian observasi ini dilakukan terhadap ibu

primipara pascasalin spontan pervaginam yang mengalami laserasi spontan

perineum derajat II persalinan dan telah dilakukan penjahitan laserasi perineum

dengan teknik jelujur subkutikular atau transkutaneus terputus menggunakan

benang catgut kromik.

3.2.2. Identifikasi Variabel

Variabel yang diteliti dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1) Variabel independen/ bebas (X): teknik penjahitan (teknik jelujur

subkutikular dan transkutaneus terputus).

2) Variabel dependen/ terikat (Y):

Y1 : nyeri perineum

Y2 : penyembuhan luka perineum

Variabel lain yang akan diteliti adalah karakteristik pasien sebagai meliputi: umur

ibu, pendidikan ibu, dan berat badan bayi.

3.2.3. Definisi Operasional

Definisi operasional variabel-variabel yang berkaitan dengan penelitian

dijelaskan pada tabel berikut.

Tabel 3.1. Definisi Operasional


61

Variabel Definisi Cara Ukur Alat Hasil Ukur Skala


Operasional Ukur
Karakteristik
Usia Usia reponden pada Anamnesis Kuesioner 1. < 20 tahun Ordinal
saat penelitian 2. 20-30 tahun
dilakukan 3. > 30 tahun
Pendidikan Pendidikan formal Anamnesis Kuesioner 1 = 0-6 th (dasar) Ordinal
tertinggi yang pernah 2 = 7-12 th
dicapai responden (menengah)
3 = >12 th (tinggi)

BB Bayi Berat badan bayi Anamnesis/ Kuesioner/ 1. <2500 gr Ordinal


yang dilahirkan ibu Pemeriksaan Timbangan 2. 2500-3500 gr
3. >3500 gr
Variabel bebas
Laserasi Robekan spontan Pemeriksaan
Perineum derajat yang terjadi pada
II vagina dan otot
superfisial perineum
Teknik Cara penjahitan yang Pemeriksaan - 1. Teknik jelujur Nominal
penjahitan telah dilakukan oleh subkutikular
bidan untuk 2. Teknik
menutup/mendekatk transkutaneus
an jaringan terputus
Subvariabel
1) Teknik jelujur Cara penjahitan Pemeriksaan - 1. Ya Nominal
subkutikular laserasi perineum 2. Tidak
derajat II yang telah
dilakukan bidan
dengan
menggunakan satu
helai benang,
ditempatkan di
bawah permukaan
kulit perineum.
2) Teknik Cara penjahitan Pemeriksaan - 1. Ya Nominal
transkutaneus laserasi perineum 2. Tidak
terputus derajat II yang telah
dilakukan bidan
dengan
menggunakan
beberapa helai
benang, yang setiap
helai disimpul dan
ditempatkan di atas
permukaan kulit.
Variabel Terikat
Nyeri perineum Rasa sakit yang Anamnesa Skala 0= tidak nyeri Rasio
dirasakan ibu setelah Visual 1,2,3= nyeri ringan
melahirkan pada Analog 4,5,6=nyeri sedang
daerah luka jahitan Scale 7,8,9= nyeri berat
perineum, yang (VAS) 10= nyeri sangat
menyebar dari depan 0-10 berat
sampai belakang
62

(simpisis pubis
sampai ke coccygis).
Dirasakan saat ibu
beraktivitas/ berbagai
posisi (duduk,
berjalan, berkemih,
buang air besar,
pergantian gerak)

Penyembuhan Kondisi laserasi Pemeriksaan Skala Penjumlahan skor Rasio


luka perineum perineum setelah REEDA dari 5 subvariabel:
dilakukan penjahitan 0 = penyembuhan
dengan salah satu luka baik (good
teknik penjahitan wound healing)
1-5 =
penyembuhan luka
kurang baik
(insufficient wound
healing)
>5= penyembuhan
luka buruk (poor
wound healing)

Subvariabel
1) Redness Adanya kemerahan Pemeriksaan Skala 0= tidak ada Rasio
pada daerah luka REEDA 1=Kurang dari
penjahitan perineum dan 0,25cm pada kedua
Paper sisi laserasi
tape 2= Kurang dari
0,5cm pada kedua
sisi laserasi
3= Lebih dari
0,5cm pada kedua
sisi laserasi

2) Oedema Pembengkakan pada Pemeriksaan Skala 0= tidak ada Rasio


daerah perineum REEDA 1= Pada perineum,
karena adanya cairan dan <1cm dari laserasi
dalam jaringan Paper 2= Pada perineum
tape dan atau vulva,
antara 1-2cm dari
laserasi
3= Pada perineum
dan atau vulva,
>2cm dari laserasi

3) Ecchymosis Bercak perdarahan, Pemeriksaan Skala 0= tidak ada Rasio


merah keunguan pada REEDA 1=Kurang dari
kulit perineum dan 0,25cm pada kedua
Paper sisi atau 0,5cm
tape pada satu sisi
2= 0,25-1cm pada
kedua sisi atau 0,5-
2cm pada satu sisi
63

3= >1cm pada
kedua sisi atau 2
cm pada satu sisi
4) Discharge Adanya ekresi atau Pemeriksaan Skala 0= tidak ada Rasio
pengeluaran cairan REEDA 1= Serum
dari laserasi perineum 0-3 2= Serosanguinus
3= Berdarah,
Purulen
5) Approximation Kedekatan/ penyatuan Pemeriksaan Skala 0= tertutup Rasio
jaringan perineum yang REEDA 1= Jarak kulit 3mm
telah dijahit 0-3 atau kurang
2= terdapat jarak
antara kulit dan
lemak subkutan
3= terdapat jarak
antara kulit, lemak
subkutan dan fasia

3.2.4. Cara Kerja dan Teknik Pengumpulan Data

3.2.4.1.Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari data primer.

Data primer mengenai karakteristik subjek, diagnosa laserasi perineum dan teknik

penjahitan perineum diperoleh dengan melakukan pengkajian oleh bidan penolong

didampingi peneliti untuk memenuhi kriteria inklusi penelitian. Data nyeri dan

penyembuhan laserasi perineum spontan derajat II diperoleh melalui studi

observasional oleh peneliti.

Pengumpulan data primer untuk nyeri perineum dan penyembuhan luka

perineum dilakukan 5 kali yaitu pada hari ke-1, 3, 5, 7 dan 10 pascasalin oleh

peneliti. Sedangkan nyeri hari ke-2, 4, 6, 8 dan 9 dilakukan dengan cara

mewawancarai subjek penelitian untuk membantu mengingat nyeri perineum

yang dirasakannya, bersamaan dengan pengkajian pada hari ke-1, 3, 5, 7, dan 10.

Hari ke-1 pemeriksaan luka perineum untuk melihat kondisi umum

perineum sebelum ibu pulang. Pada hari ke-3 pemeriksaan terhadap kemungkinan
64

infeksi luka perineum. Hari ke-5 dan 7 pemeriksaan terhadap kemungkinan luka

terbuka. Hari ke-10 melihat penyembuhan luka perineum.

3.2.4.2.Instrumen Pengumpulan Data

Pengumpulan data karakteristik subjek penelitian yang meliputi usia dan

pendidikan, berat badan bayi yang dilahirkan, diagnosis laserasi perineum dan

teknik penjahitan perineum menggunakan formulir pengumpulan data. Penilaian

nyeri laserasi spontan perineum derajat II dilakukan dengan cara anamnesis

kepada ibu primipara pascasalin menggunakan kuesioner Skala Visual Analog

berupa beberapa pertanyaan yang menuntun ibu untuk menentukan angka yang

menunjukkan nyeri perineum yang dirasakannya dengan rentang angka 0-10.

Penyembuhan luka laserasi spontan perineum derajat II dilakukan dengan

pemeriksaan perineum menggunakan formulir Skala REEDA yang berisi lima

item pemeriksaan penyembuhan luka perineum yaitu redness, oedema,

ecchymosis, discharge, dan approximation.

3.2.4.3.Prosedur Penelitian

1) Persiapan

a. Sebelum penelitian dilakukan, peneliti menentukan kriteria bidan sebagai

penolong/ operator. Bidan di tempat praktik dipilih berdasarkan kriteria

yaitu: pendidikan minimal DIII Kebidanan, bidan telah bekerja melakukan

praktik di pelayanan lebih dari 5 tahun.

b. Selanjutnya peneliti melakukan survey ke BPS dan RB yang

memungkinkan untuk menjadi tempat penelitian. Bidan pada BPS dan RB


65

yang dipilih adalah bidan yang memenuhi kriteria, menggunakan benang

catgut kromik 2-0 untuk penjahitan laserasi perineum, menggunakan

anastesi infiltrasi saat penjahitan, menggunakan salah satu atau kedua

teknik penjahitan (jelujur subkutikular dan transkutaneus terputus) untuk

menutup kulit perineum, dan melakukan konseling perawatan perineum.

c. Peneliti melakukan pertemuan (briefing) dengan bidan yang akan terlibat

dalam penelitian untuk menginformasikan kriteria penelitian dan

menyamakan prosedur penelitian, serta hal-hal yang berkaitan dengan

penelitian. Penjelasan tentang diagnosis laserasi spontan perineum derajat

II persalinan dan teknik penjahitan perineum dilakukan oleh seorang

dokter spesialis Kebidanan yang disertai demonstrasi/ simulasi teknik

penjahitan.

(i) Penjelasan tentang topik dan masalah penelitian, tujuan penelitian,

sampel penelitian.

(ii) Penjelasan kepada bidan diagnosis laserasi spontan perineum derajat

II pada primipara setelah kelahiran bayi yang ditegakkan oleh bidan

yaitu meliputi vagina, otot superfisialis perineum (otot

bulbocavernosus, otot ischiocavernosus, dan otot transversus

perinea).

(iii) Memberikan penjelasan kepada bidan tentang prosedur penjahitan

perineum yang sesuai dengan standar asuhan persalinan normal

 Penggunaan anastesi infiltrasi saat penjahitan laserasi perineum

spontan yaitu lidokain 1%.


66

 Bahan benang yang digunakan untuk penjahitan laserasi

perineum yaitu kromik catgut no 2-0 dalam bentuk kemasan.

 Prosedur penjahitan laserasi perineum spontan derajat II dibagi

menjadi dua yaitu teknik penjahitan jelujur subkutikular dan

terputus yang dilakukan bidan sesuai dengan prosedur yang

ditetapkan.

Teknik penjahitan jelujur subkutikular: dilakukan melalui

tiga tahap, yaitu teknik jelujur nonlocking untuk menutup

mukosa vagina yang diletakkan 1cm di atas apeks laserasi.

Penempatan jahitan pertama dangan dua kali simpul, ujung

benang digunting ± 1 cm. Jahitan jelujur dilakukan sampai

daerah cincin himen. Kemudian dilanjutkan jahitan jelujur untuk

menyatukan otot perineum sampai ujung laserasi, jarum

diarahkan ke atas untuk melanjutkan jahitan subkutikular pada

kulit perineum. Dilakukan dua kali penyimpulan di belakang

cincin himen. Ujung benang digunting ± 1 cm dari luka.

Teknik penjahitan terputus: dilakukan melalui tiga tahap,

yaitu teknik jelujur nonlocking untuk menutup mukosa vagina

yang diletakkan 1cm di atas apeks laserasi, penempatan jahitan

pertama dangan dua kali simpul. Jahit jelujur sampai daerah

cincin himen kemudian disimpul. Otot perineum disatukan

dengan teknik penjahitan terputus (3-4 jahitan). Teknik

penjahitan terputus untuk menutup kulit perineum dengan dua


67

kali simpul setiap jahitan, panjang jahitan dua kali kedalaman

laserasi dan jarak tiap jahitan dua kali kedalaman luka. Benang

digunting ± 1 cm dari luka.

 Menyamakan pemberian analgetik oral dan zat besi yang

digunakan pascapenjahitan, yaitu berupa parasetamol generik

3x500mg 10 tablet dan tablet Fe 1x1 10 tablet. Penelitian ini

menggunakan analgetik ringan pada hari-hari pertama pascasalin

yakni berupa parasetamol seperti yang dilaporkan Sleep dan

Grant bahwa parasetamol sebagai obat pilihan pertama (the first

line treatment) yang risiko potensialnya rendah pada ibu.46

 Menjelaskan tentang konseling perawatan perineum pada ibu

pascapenjahitan yang akan dilakukan oleh bidan.

(iv) Menjelaskan mengenai informed consent dan prosedur penelitian

untuk mengikuti penelitian yang akan dilakukan oleh bidan dan

didampingi peneliti.

d. Lembar kuesioner dan formulir pengumpulan data dipersiapkan sesuai

dengan jumlah sampel.

e. Bidan penolong/ operator adalah bidan yang mempunyai BPS/ RB atau

yang bekerja di BPS/ RB tersebut dan telah diberikan penjelasan tentang

prosedur penelitian dengan jumlah 11 bidan.

f. Pengkajian nyeri perineum dan penyembuhan luka perineum dilakukan

oleh peneliti. Peneliti adalah peneliti utama dan dua orang bidan lainnya

sebagai tim penelitian. Peneliti melakukan pertemuan untuk menyamakan


68

persepsi dan membahas mengenai kriteria penelitian, format pengkajian,

prosedur penilaian nyeri dan pemeriksaan penyembuhan luka perineum.

2) Tata Cara Pengumpulan Data

a. Peneliti dibantu oleh bidan penolong untuk memberikan penjelasan

tentang prosedur dan tujuan penelitian, keuntungan dan kerugian menjadi

subjek penelitian, kemudian ibu diminta menandatangani lembar

persetujuan (informed consent). Bidan penolong memberitahu ibu

primipara parturient yang datang ke BPS/ RB tentang prosedur dan

tindakan yang akan dilakukan jika ibu mengalami laserasi spontan

perineum derajat II persalinan.

b. Peneliti mendampingi bidan penolong saat persalinan dan penjahitan

laserasi perineum untuk memastikan subjek memenuhi kriteria penelitian.

Setelah persalinan jika ibu mengalami laserasi spontan perineum derajat II

maka ibu masuk kedalam sampel penelitian.

c. Bidan penolong melakukan penjahitan laserasi perineum dengan

memberikan anastesi infiltrasi terlebih dahulu (lidokain 1%). Setelah

anastesi bekerja (± 1-2 menit) bidan melakukan teknik penjahitan jelujur

atau terputus sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan.

d. Pascapenjahitan bidan penolong memberikan informasi tentang perawatan

luka perineum. Diberikan analgetik oral berupa parasetamol 500mg

dengan dosis 3x1 10 tablet dan tablet Fe1x1 10 tablet. Kemudian bidan

mendokumentasikan seluruh tindakan.


69

e. Peneliti menggolongkan ibu pascasalin yang telah dilakukan penjahitan

laserasi perineum spontan derajat II menjadi dua kelompok, jika ibu telah

dilakukan teknik penjahitan jelujur subkutikular merupakan kelompok I

dan kelompok II adalah jika ibu telah dilakukan teknik penjahitan

transkutaneus terputus. Dilakukan lima kali pemeriksaan yaitu hari ke-1,

3, 5, 7 dan 10 pascasalin oleh peneliti.

f. Peneliti melakukan pengkajian nyeri hari ke-1 pascasalin setelah 8 jam

pascasalin untuk menghindari efek dari anastesi infiltrasi yang telah

dilakukan pada saat penjahitan laserasi perineum. 15 Penilaian nyeri

perineum dengan menggunakan VAS. Derajat nyeri perineum ditanyakan

pada ibu dengan meminta ibu untuk mengisi atau menunjukkan derajat

nyeri yang dirasakannya pada formulir VAS yang tersedia. Peneliti

dibantu/ didampingi oleh bidan yang bersangkutan untuk melakukan

pengkajian hari pertama.

g. Sebelum ibu pulang, ibu diminta berbaring miring kiri atau kanan dengan

posisi lutut ditekuk. Peneliti dan dibantu bidan penolong melakukan

pemeriksaan luka perineum sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan

dengan menggunakan formulir skala REEDA yang bersisi lima item dan

diberi nilai sesuai kondisi luka perineum yang teramati.

h. Peneliti meminta ibu kembali datang ke tempat pelayanan atau akan

dilakukan kunjungan rumah pada hari ke-3, 5, 7 dan hari ke-10 pascasalin.

Kontrak waktu dengan ibu untuk pemeriksaan berikutnya, jika ibu tidak
70

bersedia datang atau tidak datang pada waktu yang telah ditentukan maka

dilakukan kunjungan rumah oleh peneliti.

i. Hari ke-3, 5, 7, peneliti menanyakan nyeri perineum yang dirasakan ibu

pada hari tersebut dan hari sebelumnya (kemarin) dengan kuesioner

penuntun skala visual analog. Kondisi penyembuhan luka perineum

diperiksa dengan skala REEDA pada hari tersebut sesuai dengan prosedur.

j. Hari ke-10 peneliti menanyakan kepada ibu nyeri perineum yang

dirasakan pada hari tersebut, hari sebelumnya (hari ke-9) dan dua hari

yang lalu (hari ke-8). Kemudian dilakukan pemeriksaan penyembuhan

luka perineum dengan skala REEDA. Bila terdapat masalah nyeri yang

dirasakan ibu atau pada penyembuhan luka perineum (salah satu item

REEDA nilai >2), maka akan dilakukan pendokumentasian dalam bentuk

digital foto dan kondisi tersebut akan dikolaborasikan/ dilaporkan kepada

bidan yang bersangkutan untuk tindakan selanjutnya dan luka perineum

akan dievaluasi lebih lanjut.

k. Selama masa observasi apabila ditemukan tanda-tanda inflamasi yaitu

terdapat nilai 1 pada 3 item REEDA atau lebih, dan atau disertai

peningkatan suhu tubuh ibu > 37,5°C maka peneliti memberikan

analgetik/ antipiretik tambahan berupa parasetamol dan antibiotik, hal

tersebut dilaporkan ke bidan penolong.

Parturient anak pertama kala


I
(informed consent)

Pascasalin memenuhi kriteria inklusi


(sampel penelitian)
71

Kelompok I Kelompok II
Teknik Penjahitan Jelujur Subkutikular Teknik Penjahitan Transkutaneus Terputus

Pemeriksaan I
(hari ke-1 pascasalin)

Klien Kunjungan Ulang


ke tempat pelayanan
Kunjungan
Tid
ak
rumah

Pemeriksaan II sampai V
(hari ke-3, 5, 7 dan 10 pascasalin)

Gambar 3.1. Bagan Alur Penelitian

3) Pengolahan data

Data yang telah dikumpulkan dilakukan pengolahan data dengan tahap

sebagai berikut:

a. Mengumpulkan dan mengkode data (editing dan coding)

Kuesioner dan formulir yang telah dikumpulkan kemudian diperiksa

kelengkapannya termasuk pemberian kode/nomor. Langkah ini dimaksudkan

untuk pengecekan kelengkapan data, kesinambungan dan keseragaman data.

Selanjutnya memberikan kode untuk menjaga kerahasiaan identitas subjek

penelitian dan mempermudah proses penelusuran biodata responden bila

diperlukan.

b. Masukan data (data entry)


72

Data yang telah terkumpul selanjutnya dimasukkan sesuai dengan hasil

setiap responden berdasarkan rentang skala/skor yang telah ditentukan.

c. Tabulasi data

Dilakukan dengan mengelompokkan data sesuai dengan variabel yang

akan diteliti guna memudahkan dalam analisis. Tabulasi ini berguna untuk melihat

gambaran karakteristik subjek, teknik penjahitan, skor skala visual analog nyeri

perineum, dan skala REEDA penyembuhan luka perineum.

3.2.4. Analisis Data

Analisis data yang digunakan pada penelitian ini adalah:

1) Analisis univariabel

Untuk melihat distribusi frekuensi serta persentase dari variabel yang

diteliti, yaitu karakteristik klien meliputi umur dan pendidikan, berat badan bayi,

variabel bebas (teknik penjahitan subkutikular dan terputus), dan sebaran data dari

variabel terikat (skala VAS dan REEDA) menggunakan analisis deskriptif.

Karakteristik subjek penelitian sebagai variabel perancu ditentukan dengan uji

komparatif pada dua kelompok tidak berpasangan dengan uji T pada data

numerik berdistribusi normal dan uji x2 pada data berupa kategori.

2) Analisis bivariabel

Rancangan analisis data dilakukan dengan menggunakan software

program SPSS versi 16.0. Uji chi kuadrat digunakan untuk menguji hipotesis

komparatif variabel kategorik tidak berpasangan atau uji eksak Fiher pada tabel

2x2terdapat nilai ekpektasi sel < 5.


73

Analisis bivariabel untuk menguji hipotesis komparatif variabel numerik

berdistribusi tidak normal digunakan uji Mann-Whitney untuk mencari perbedaan

median skor nyeri pada dua kelompok independen (teknik penjahitan jelujur

subkutikular dibandingkan dengan transkutaneus terputus). Prinsipnya adalah

dengan membandingkan median peringkat dari kelompok sampel pertama dengan

kelompok sampel kedua.

3.2.5. Tempat dan Waktu Penelitian

1) Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan di 8 BPS dan 2 RB di wilayah Kediri. Pemilihan BPS

dan RB berdasarkan kriteria yang telah ditentukan oleh peneliti.

2) Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan mulai bulan Juni-Agustus 2014 setelah jumlah

sampel terpenuhi.

3.3. Implikasi/ Aspek Etik Penelitian

Sebelum melakukan penelitian ke lapangan, peneliti melakukan survey

terlebih dahulu mengenai kondisi dan kemungkinan pelaksanaan penelitian pada

tempat bidan praktik dan rumah bersalin yang dipilih. Permohonan ijin

pengambilan data di tempat bidan praktik swasta dan RB langsung ditujukan

kepada bidan/ pimpinan pemilik tempat praktik yang bersangkutan.

Penelitian ini memberikan dampak etik pada subyek penelitian berupa

ketidaknyamanan antara lain akibat tindakan pemeriksaan/ observasi. Untuk


74

mengatasi dampak ketidaknyaman akibat penelitian ini sebelumnya pada subyek

penelitian diberikan informasi segala sesuatu mengenai penelitian yang akan

dilaksanakan sesuai dengan prinsip etik pada manusia, antara lain:

1) Prinsip Respect for person (menghormati harkat dan martabat manusia)

Pengambilan sampel di BPS/ RB, subjek dipilih berdasarkan kriteria

inklusi dan eksklusi yang telah ditetapkan peneliti. Klien diberi penjelasan bahwa

akan diperiksa perineum dan dinilai kondisi nyeri perineum yang dirasakannya.

Saat melakukan penjelasan prosedur penelitian, informed consent, dan

pengumpulan data peneliti dibantu oleh bidan. Pengkajian hari pertama

didampingi oleh bidan penolong untuk mengurangi ketidaknyamanan dan

mendapat kepercayaan dari ibu. Subjek yang akan turut serta dalam penelitian

diberikan informasi mengenai penelitian yang akan dilakukan meliputi: tata

cara/prosedur, manfaat, kesukarelaan, risiko, kerahasiaan data, ketidaknyamanan,

penyulit dan kompensasi serta petugas/contact person yang dapat dihubungi jika

ada yang perlu didiskusikan sehubungan dengan penelitian.

Subjek penelitian bebas menentukan keikutsertaannya dalam penelitian

ini, jika subjek penelitian bersedia mengikuti jalannya penelitian, maka harus

dinyatakan secara tertulis dengan menandatangani lembar persetujuan sebagai

responden. Saat dilakukan pemeriksaan ibu boleh didampingi suami/ keluarga.

Selanjutnya pengkajian nyeri dan penyembuhan luka perineum dilakukan dengan

prosedur dan formulir yang telah disiapkan. Nama subjek dalam penelitian ini

hanya diketahui oleh peneliti, dan bidan yang bersangkutan jika diperlukan data

hasil pengkajian postpartum.


75

2) Prinsip manfaat dan tidak merugikan (maleficence dan Beneficence)

Risiko secara nyata tidak ada, hanya ketidaknyamanan secara fisik yang

mungkin akan dirasakan oleh responden ketika dilakukan pemeriksaan luka

perineum. Pengkajian nyeri dan pemeriksaan luka perineum yang dilakukan akan

menyita waktu ibu. Keuntungan dari penelitian ini secara langsung dapat

dirasakan responden yakni terpantaunya kondisi postpartum. Peneliti akan

melakukan pengkajian fisik postpartum tidak hanya sebatas pengkajian nyeri dan

penyembuhan luka perineum, tetapi meliputi kondisi lainnya (tanda vital, laktasi,

involusi rahim, lokhia). Jika terdapat permasalahan dalam nyeri dan atau

penyembuhan luka perineum, peneliti akan melakukan kolaborasi dengan bidan

setempat untuk tindakan selanjutnya.

3) Prinsip kerahasiaan data penelitian dan prinsip keadilan (justice).

Semua subjek penelitian akan mendapatkan perlakuan yang sama sesuai

dengan moral dan hak mereka sebagai responden penelitian. Setelah pemeriksaan

dilakukan akan diinformasikan semua hasil pemeriksaan. Jika terdapat

permasalahan dalam penyembuhan luka peneliti akan melakukan dokumentasi

dalam bentuk foto dan kerahasiaannya dijamin oleh peneliti. Setelah penelitian

selesai dilakukan responden akan diberi cinderamata berupa bingkisan bagi buah

hati, sebagai kompensasi dan kesediaan menjadi subjek dalam penelitian ini.

Penelitian ini merupakan penelitian observasional yang melibatkan ibu

sebagai subjek penelitian, maka penelitian ini dilaksanakan setelah mendapat


76

Ethical clearance dari Komite Etik Penelitian Kesehatan Fakultas Kedokteran

Universitas Brawijaya Malang.

DAFTAR PUSTAKA

1. Henderson C, Bick D. Perineal care: an in international issue. London:


Cromwell Press; 2005.
77

2. Bick DE, Kettle C, Macdonald S, Thomas PW, Hills RK, Ismail KMK.
Perineal assessment and repair longitudinal study (PEARLS): protocol for
a matched pair cluster trial. BMC Pregnancy and Childbirth.
2010;10(10):1-8.

3. Perveen F, Shabbir T. Perineal repair: comparison of suture materials and


suturing techniques.. J Surg Pakist. 2009;14 (1):23-8.

4. Sohail S, Abbas T, Ata S. Comparison between synthetic vicryl & chromic


catgut on perineal repair. Medical Channel. 2009;15(2):48-50.

5. NHS Quality Improvement Scotland . Perineal repair after childbirth a


procedure and standards tool to support practice development. Edinburgh:
2008.

6. Kettle C, Hills RK, Jones P, Darby L, Gray R, Johanson R. Continuous


versus interrupted perineal repair with standard or rapidly absorbed sutures
after spontaneous vaginal birth: a randomized controlled trial. Lancet
2002;359(9325):2217-23.

7. Flemming N. Can the suturing method make difference in postpartum


perineal pain. J Nurse Midwifery. 1990;4: 65-9.

8. Royal College of Obstetricians and Gynaecologists. Methods and


materials used in perineal repair. Green-top guidelines No. 23.
London;RCOG:2004

9. Kettle C, Dowswell T, Ismail KM. Absorbable suture materials for


primary repair of episiotomy and second degree tears. Cochrane Database
Syst Rev. 2010;(6):CD000006;1-67.

10. Skinner I. Basic surgical skill manual. Australia: McGraw-Hill; 2000.

11. Ethicon Johnson & Johnson. Wound closure manual. Somerville: Johnson
& Johnson Company; 2005.

12. Mulyana Y. Instrumentasi dan materi benang. makalah disampaikan


dalam: workshop reparasi Ruptura Perineum. Hotel Topaz Bandung 11
Februari 2006.

13. Wong T, Mak HL, Wong HK, Leung KY. Perineal repair with standard
versus rapidly absorbed sutures after vaginal birth: a randomised
controlled trial. HKJGOM [serial online]. 2006;6(1):4-9 [diunduh 12
Oktober 2010]. Tersedia dari: http://www.ogshk.org
78

14. Valenzuela P, Puente MSS, Valero JL, Azorı´n R, Ortega R, Guijarrob R.


Continuous versus interrupted sutures for repair of episiotomy or second-
degree perineal tears: a randomised controlled trial. J compilation BJOG.
2009;116(3):436-41.

15. Watanatitan J, Armarttasn S, Manusirivithaya S. Incidence and factors


associated with postpartum perineal pain in primipara. Thai J
ObstetGynaecol. 2009;17:139-44.

16. Morano S, Mistrangelo E, Pastorino D, Lijoi D, Costantini S, Ragni N. A


randomized comparison of suturing techniques for episiotomy and
laceration repair after spontaneous vaginal birth. Journal of Minimally
Invasive Gynecology [serial online]. 2006; 13(5): 457–62 [diunduh 5
November 2010]. Tersedia dari: http://www.obgyn.ubc.ca

17. Leeman L, Spearman M, Rogers R. Repair of obstetric perineal


lacerations. Am Fam Physician 2003;68:1585-90.

18. JNPK-KR/ POGI, JHPIEGO. Asuhan persalinan normal dan inisiasi


menyusu dini. Edisi Ke-3. Jakarta; Jaringan Nasional Pelatihan Klinik;
2007.

19. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor


369/Menkes/SK/III/2007 tentang Standar profesi bidan. Menteri
Kesehatan Republik Indonesia,

20. Oxorn H, Forte WR. Ilmu kebidanan patologi dan fisiologi persalinan.
Yogyakarta: Andi Offset; 2010.

21. Kettle C. The Pelvic Floor. Dalam: Henderson C, Macdonald S,


penyunting. Mayes’ midwifery a textbook for midwives. Edisi ke-13.
Edinburg: Elseiver; 2004. hlm. 474-89.

22. Coad J, Dunstall. Anatomy and Physiology for midwives. Churchill


Livingstone: Elsevier; 2006.

23. Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC, Spong CY, Rouse DJ.
Williams Obsetrics. Edisi ke-23. Newyork: McGraw-Hill; 2010. hlm. 13-
29. 674.

24. Stabel D. The nature bone-the female pelvis and fetal skull. Dalam:
Rankin J, [penyunting]. Physiology in Childbearing with anatomy and
related biosciences. Edinburg: Elsevier; 2006. hlm. 339-42.
79

25. Rachimhadhi T . Anatomi jalan lahir. Dalam: Saifuddin AB, Wiknjosastro


GH, [penyunting]. Ilmu Kebidanan. Edisi ke-4. Jakarta: Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2005. hlm. 200-45.

26. Hartmann, K, Viswanathan M, Palmieri R, Gartlehner G, Thorp J, Lohr


KN. Outcomes of routine episiotomy a systematic review. JAMA.
2005;293:2141-2148.

27. Angsar MD. Perlukaan alat-alat genital. Dalam: Wiknjosastro H, Saifuddin


AB, Rachimhadhi, [penyunting]. Ilmu kandungan. Edisi ke-2. Jakarta:
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2008. hlm. 410-11.

28. Liu D. Episiotomi dan Robekan. Dalam: David TY. Meilia E,


[penyunting]. Manual Persalinan. Jakarta: Penerbit buku kedokteran EGC;
2008. hlm. 129-39.

29. Leeman L, Fullilove AM, Borders N, Manocchio R, Albers LL, Rogers


RG. Postpartum perineal pain in a low episiotomy setting: association with
severity of genital trauma, labor care, and birth variables. Birth. 2009;
36(4): 283-88.

30. Sultan AH, Thakar R, Fenners DE. Perineal and anal spincter trauma
diagnosis and clinical management. London; Spinger: 2009.

31. Tamsuri A. Konsep dan penatalaksanaan nyeri. Jakarta: Penerbit buku


kedokteran EGC: 2007.

32. Hamilton. Pain relief and comfort in labour. Fraser DM, Cooper MA,
[penyunting] Dalam : Myles textbook for midwives. Edinburg: Elseiver;
2004. hlm. 435-80.

33. Guyton AC, Hall JE. Fisiologi Kedokteran. Setiawan I, [penyunting]. Edisi
9. Jakarta: penerbit buku kedokteran EGC: 1997. hlm. 761-70.

34. Boyle M. Postnatal pain. Dalam: Yerby M [penyunting]. Pain in


Childbearing key issues in management. Edinburg: Baillire Tindall; 2001.
hlm. 131-43.

35. Hartwig MS, Wilson LM. Nyeri. Dalam: Price SA, Wilson LM,
[penyunting]. Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi
ke-6. Jakarta: EGC; 2005. hlm. 1063-90.

36. Mulyata S, Slamet R. Pendekatan psikologis dapat berperan sebagai


analgesia nyeri persalinan. Surakarta: Bagian Anestesi dan Reanimasi
Fakultas Kedokteran Universitas Negeri Surakarta/ RSUD dr. Moewardi;
2004.
80

37. Tanra AH, Bisri T. Konsep baru pengelolaan nyeri. Dalam: Soerasdi E,
Bisri T, [penyunting]. Anestesiologi di Indonesia menjelang era global.
Bandung: Bagian Anestesi dan Reanimasi Fakultas Kedokteran
Universitas Padjadjaran; 200. hlm. 141-9.

38. Helms JE, Barone CP. A Physiology and Treatment Of Pain. Critical care
nurse [serial online]. 2008; 28(6): 38-50. diunduh 5 Desember 2010].
Tersedia dari: http://www.aacn.org

39. Arthur MA. Postpartum Analgesia. Rev Mex de Anest. [serial online].
2005; 28(1):S47-S53. [diunduh 6 Desember 2010]. Tersedia dari:
http://www.medigraphic.com

40. Wilson LM. Respon Tubuh Terhadap Cidera. Dalam: Price SA, Wilson
LM, [penyunting]. Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit.
Edisi ke-6. Jakarta: EGC; 2005. hlm. 56-79.

41. Boyle M. Wound Healing in Midwifery. London; Radcliffe Publishing


Ltd: 2006.

42. Morison MJ. Tyasmono AE, [penerjemah]. Manajemen Luka. Jakarta;


Penerbit EGC: 2004.

43. Lipscomb GH. Wound healing, suture material and surgical


instrumentation. Dalam: Rock AJ, Jones HW, penyunting. Te linde’s
operative gynecology. Edisi ke-10. Philadelphia : Lippincott Williams &
Wilkins; 2008. hlm. 226-42.

44. Sjamsuhidajat, Jong WD. Buku Ajar Ilmu bedah. Jakarta: Penerbit buku
kedokteran EGC; 2005.

45. Diegelmann RF, Evans MC. Wound healing: an overview of acute, fibrotic
and delayed healing. Frontiers in Bioscience. [serial online]. 2004; 9: 283-
289. [diunduh tanggal 5 November 2010]. Tersedia dari:
http://www.citeseerx.ist.psu.edu

46. Bick D, MacArtur C, Knowles H, Winter H. Postnatal Care evidence and


guidelines for management. Churchill livingstone: Elsevier; 2004.

47. Matteson PS. Women’s health during childbearing years a community-


based approach. St Louis: Mosby Inc; 2001.

48. Fleming VEM, Hagen S, Niven C. Does perineal suturing make a


difference? The SUNS trial. BJOG: an International J Obst Gynaecol.
2003;110:684–9.
81

49. Armawan E. Perawatan Perineum Pascasalin. Makalah disampaikan


dalam: Workshop Reparasi Ruptura Perineum. Hotel Topaz Bandung 11
Februari 2006.

50. Carr KC. Home care of the new family. Dalam: Martison Im, Widmer AG,
Portillo CJ. Home health care nursing. Philadelphia: WB Saunders; 2002.
hlm. 225-226.

51. Dorland, Newman WA. Hartanto H, Setiawan A, Bani AP, Adji AS,
Widjaja AC, Soegiarto B, dkk [penyunting]. Kamus Kedokteran Dorland.
Edisi ke-29. Jakarta: Penerbit buku kedokteran EGC; 2002.

52. Sudjatmiko G, Syarif AN, Handayani S. Menjahit luka supaya bekasnya


sulit dicari. Jakarta; Sagung Seto: 2009.

53. Johnson R, Taylor W. Skills for midwifery practice. Edisi ke-2. Edinburg:
Elsevier; 2006.

54. Tjay TH, Rahardja K. Anestetika lokal. Obat-obat penting. Edisi ke-6.
Penerbit elex media komputindo. Gramedia Jakarta 2007. hlm. 407-13.

55. Katzung BG. Farmakologi dasar dan klinik. Sjabana D, Raharjo,


Sastrowardoyo W, Hamzah, Isbandiati E, Uno I, Purwaningsih S. Jakarta:
Penerbit Salemba Medika; 2001. 408-10.

56. Enkin M, Keirse MJNC, Neilson J, Crowther C, Duley L, Hodnett E,


Hofmeyr J. A guide to effective care in pregnancy and childbirth. Edisi ke-
3. New York: Oxford University press; 2000. hlm. 341-6.

57. Alam M, Posten W, Martini MC, Wrone DA, Rademaker AW. Aesthetic
and functional efficacy of subcuticular running epidermal closures of the
trunk and extremity: a rater-blinded randomized control trial. Arch
Dermatol. 2006;142(10):1272-8.
58. Gould D. Visual Analogue Scale (VAS). J of Clinical Nursing,
2001;10:706.

59. McDowell I, Newell C. Measuring Health a guide to rating scale and


quetionaires. Second Edition. Oxford University Press. New York 1996.
hlm 335-46.
Lampiran 1

SURAT PERMOHONAN IKUT SERTA DALAM PENELITIAN


82

Kepada
Yth. .....................
Di tempat

Dengan Hormat,
Dalam rangka penelitian di bidang Kebidanan yang bertujuan untuk menganalisis
“Perbandingan Antara Hasil Teknik Penjahitan Jelujur Subkutikular dan
Transkutaneus Terputus Laserasi Spontan Perineum Derajat II Persalinan oleh
Bidan Pada Primipara”,
bersama ini saya mohon bantuan ibu untuk bersedia ikut serta sebagai responden
dalam penelitian saya. Kerahasiaan data ibu terjamin, hasil penelitian hanya
digunakan untuk penyusunan tesis dan tidak akan mempengaruhi status dan
jabatan responden.
Demikian permohonan ini disampaikan, atas bantuan dan kerjasamanya saya
sampaikan terima kasih.

Kediri, Juni 2014


Hormat saya,

Aida Ratna Wijayanti, S.Keb.Bd

Lampiran 2

SURAT PERSETUJUAN IKUT SERTA DALAM PENELITIAN


83

Setelah mendapat penjelasan, saya menyetujui dengan sukarela untuk turut


berpartisipasi sebagai subjek penelitian berikut:
“Perbandingan Antara Hasil Teknik Penjahitan Jelujur Subkutikular dan
Transkutaneus Terputus Laserasi Spontan Perineum Derajat II Persalinan oleh
Bidan Pada Primipara”,
Pernyataan ini saya buat dalam kondisi sehat jasmani dan rohani, serta tanpa
paksaan dari pihak manapun.

..................,............2011

(.................................)

Lampiran 3

PENUNTUN PENILAIAN NYERI PERINEUM

1. Penilaian Nyeri Perineum Hari ke-1 Pascasalin (Tgl…………………)


Bagaimana nyeri yang ibu rasakan pada daerah luka penjahitan jalan lahir!
84

Lingkari salah satu angka berikut yang menggambarkan nyeri ibu


sesungguhnya hari ini.

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Tidak nyeri Nyeri ringan Nyeri sedang Nyeri berat Nyeri sangat berat

2. Penilaian Nyeri Perineum Hari ke-3 Pascasalin (Tgl…………………)


Bagaimana nyeri yang ibu rasakan pada daerah luka penjahitan jalan lahir!
a) Apakah hari ini lebih sakit dari hari sebelumnya (kemarin)?
Ya Tidak
b) Apakah hari ini lebih sakit dari hari pertama pascasalin? Ya Tidak
Lingkari salah satu angka berikut yang menggambarkan nyeri ibu
sesungguhnya hari ini.

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Tidak nyeri Nyeri ringan Nyeri sedang Nyeri berat Nyeri sangat berat

Penilaian Nyeri Perineum Hari ke-2 Pascasalin


Lingkari salah satu angka berikut yang menggambarkan nyeri ibu
sesungguhnya pada hari sebelumnya (kemarin).

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Tidak nyeri Nyeri ringan Nyeri sedang Nyeri berat Nyeri sangat berat
85

3. Penilaian Nyeri Perineum Hari ke-5 Pascasalin (Tgl…………………)


Bagaimana nyeri yang ibu rasakan pada daerah luka penjahitan jalan lahir!
a) Apakah hari ini lebih sakit dari hari sebelumnya (kemarin)?
Ya Tidak
b) Apakah hari ini lebih sakit dari hari ketiga pascasalin (saat peneliti
datang)? Ya Tidak
Lingkari salah satu angka berikut yang menggambarkan nyeri ibu
sesungguhnya hari ini.

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Tidak nyeri Nyeri ringan Nyeri sedang Nyeri berat Nyeri sangat berat

Penilaian Nyeri Perineum Hari ke-4 Pascasalin


Lingkari salah satu angka berikut yang menggambarkan nyeri ibu
sesungguhnya pada hari sebelumnya (kemarin).

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Tidak nyeri Nyeri ringan Nyeri sedang Nyeri berat Nyeri sangat berat
86

4. Penilaian Nyeri Perineum Hari ke-7 Pascasalin (Tgl…………………)


Bagaimana nyeri yang ibu rasakan pada daerah luka penjahitan jalan lahir!
a) Apakah hari ini lebih sakit dari hari sebelumnya (kemarin)?
Ya Tidak
b) Apakah hari ini lebih sakit dari hari kelima pascasalin (saat peneliti
datang)? Ya Tidak
Lingkari salah satu angka berikut yang menggambarkan nyeri ibu
sesungguhnya hari ini.

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Tidak nyeri Nyeri ringan Nyeri sedang Nyeri berat Nyeri sangat berat

Penilaian Nyeri Perineum Hari ke-6 Pascasalin


Lingkari salah satu angka berikut yang menggambarkan nyeri ibu
sesungguhnya pada hari sebelumnya (kemarin).

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Tidak nyeri Nyeri ringan Nyeri sedang Nyeri berat Nyeri sangat berat
87

5. Penilaian Nyeri Perineum Hari ke-10 Pascasalin (Tgl…………………)


Bagaimana nyeri yang ibu rasakan pada daerah luka penjahitan jalan lahir!
a) Apakah hari ini lebih sakit dari hari sebelumnya (kemarin)?
Ya Tidak
b) Apakah hari ini lebih sakit dari hari ketujuh pascasalin (saat peneliti
datang)? Ya Tidak
Lingkari salah satu angka berikut yang menggambarkan nyeri ibu
sesungguhnya hari ini.

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Tidak nyeri Nyeri ringan Nyeri sedang Nyeri berat Nyeri sangat berat

Penilaian Nyeri Perineum Hari ke-9 Pascasalin


Bagaimana nyeri yang ibu rasakan pada daerah luka penjahitan kemarin!
a) Apakah kemarin lebih sakit dari pada hari ini? Ya Tidak
b) Apakah kemarin lebih sakit dari pada hari sebelumnya? Ya Tidak
Lingkari salah satu angka berikut yang menggambarkan nyeri ibu
sesungguhnya pada hari sebelumnya (kemarin).

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
88

Tidak nyeri Nyeri ringan Nyeri sedang Nyeri berat Nyeri sangat berat

Penilaian Nyeri Perineum Hari ke-8 Pascasalin


Bagaimana nyeri yang ibu rasakan dua hari yang lalu (sebelum kemarin)!
a) Apakah nyeri dua hari yang lalu lebih sakit dari hari ini? Ya Tidak
b) Apakah nyeri dua hari yang lalu lebih sakit dari hari saat peneliti datang
(hari ke-7)? Ya Tidak
Lingkari salah satu angka berikut yang menggambarkan nyeri ibu
sesungguhnya pada hari sebelum kemarin (dua hari yang lalu).

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Tidak nyeri Nyeri ringan Nyeri sedang Nyeri berat Nyeri sangat berat

Lampiran 4
Prosedur Pemeriksaan Penyembuhan Luka Perineum

Persiapan Alat dan bahan :


- Tempat tidur dan selimut
- Lampu sorot/ penlight
- Bak instrument
- Sarung tangan DTT
- Kapas DTT
- Air DTT
- Paper tape
89

- Tempat sampah
- Formulir REEDA

Langkah Pemeriksaan:
1. Cuci tangan sebelum pemeriksaan
2. Jelaskan prosedur yang akan dilakukan
3. Posisikan ibu berbaring miring kiri/ kanan dengan lutut ditekuk
4. Pastikan pencahayaan cukup untuk memeriksa perineum
5. Pakai sarung tangan DTT
6. Bersihkan daerah perineum dengan kapas DTT jika perlu
7. Periksa perineum dengan cermat. Periksa adanya kemerahan pada kedua sisi
area luka perineum.
8. Letakkan paper tape tegak lurus pada luka. Ukur dengan paper tape jika
terdapat kemerahan pada sisi luka.
9. Beri nilai sesuai dengan penuntun penilaian skala REEDA
10. Periksa adanya edema pada perineum.
11. Ukur dengan paper tape jika terdapat pembengkakan pada luka
12. Beri nilai sesuai penuntun penilaian skala REEDA jika terdapat edema.
13. Periksa adanya ekimosis pada sisi luka perineum.
14. Ukur dengan paper tape jika terdapat ekimosis pada sisi luka
15. Beri nilai sesuai penuntun penilaian skala REEDA jika terdapat ekimosis.
16. Periksa adanya pengeluaran cairan dari daerah luka
17. Beri nilai sesuai penuntun penilaian skala REEDA jika terdapat
pengeluaran.
18. Periksa penyatuan luka perineum, dan beri nilai.
19. Lepaskan sarung tangan, masukkan dalam tempat sampah.
20. Rapikan ibu kembali.
21. Cuci tangan, catat dan jelaskan hasil pemeriksaan

Lampiran 5

FORMULIR PEMERIKSAAN
PENYEMBUHAN LUKA PERINEUM
SKALA REEDA

HASIL

Item Hari ke-1 Hari ke-3 Hari ke-5 Hari ke-7 Hari ke-10
No
Penyembuhan (tgl………) (tgl………) (tgl………) (tgl………) (tgl………)
0 1 2 3 0 1 2 3 0 1 2 3 0 1 2 3 0 1 2 3
90

Redness
1 (Kemerahan)
Edema
2 (Pembengkakan)
3 Ecchymosis
(Bercak
perdarahan)
4 Discharge
(Pengeluaran)
5 Approximation
(Penyatuan
luka)
Jumlah

Jumlah Nilai: 0 = penyembuhan luka baik


1-5 = penyembuhan luka kurang baik
>5= penyembuhan luka buruk

Penuntun Penilaian REEDA

Nilai Redness Edema Ecchymosis Discharge Approximation


(Kemerahan) (Pembengkakan) (Bercak perdarahan) (Pengeluaran) (Penyatuan
luka)
0 Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tertutup
1 Kurang dari Pada perineum, <1cm Kurang dari 0,25cm Serum Jarak kulit 3mm
0,25cm pada dari laserasi pada kedua sisi atau atau kurang
kedua sisi laserasi 0,5cm pada satu sisi
2 Kurang dari Pada perineum dan 0,25-1cm pada kedua Serosanguinus Terdapat jarak
0,5cm pada kedua atau vulva, antara 1- sisi atau 0,5-2cm pada antara kulit dan
sisi laserasi 2cm dari laserasi satu sisi lemak subkutan
3 Lebih dari 0,5cm Pada perineum dan >1cm pada kedua sisi Berdarah, Terdapat jarak
pada kedua sisi atau vulva, >2cm dari atau 2 cm pada satu sisi purulent antara kulit,
laserasi laserasi lemak subkutan
dan fasia
Lampiran 6

FORMULIR HASIL PENILAIAN NYERI PERINEUM PADA PRIMIPARA

IDENTITAS

Nama Ibu : Nama Suami :


Umur : Umur :
Pendidikan :
Alamat Lengkap :
91

Telp/ Hp :
Tgl lahir/ Jam Lahir :
Berat Badan/ JK :
Teknik Penjahitan : Subkutikular/ Transkutaneus terputus satu-satu

Rencana menetap di Bandung/ di tempat tinggal sekarang 10 hari nifas


Tidak mempunyai riwayat penyakit infeksi (ex. infeksi panggul/ kelamin)
Bersedia untuk kunjungan ke tempat pelayanan/ kunjungan rumah
Lidokain 1% Catgut kromik 2-0 konseling perawatan perineum
Diberikan parasetamol 500 mg 10 tablet
Rekapitulasi Hasil Penilaian Nyeri Perineum Pascasalin
Kunjungan Hari ke- Tgl Nilai Nilai Penyembuhan Luka Perineum
/ Waktu Nyeri

Redness Edema Ecchymosis Discharge Approximation Total


(kemerahan) (Pembengk (Bercak (Pengeluaran) (Penyatuan
akan) perdarahan) luka)

Ke-1 1
2
Ke-2 3
4
Ke-3 5
6
Ke-4 7
8
9
Ke-5 10
92

Lampiran 7
MASTER TABEL KELOMPOK TEKNIK PENJAHITAN JELUJUR SUBKUTIKULAR
BB Nilai Nyeri Perineum Pascasalin Hari Ke- Nilai Penyembuhan Luka Perineum Hari Ke-
Bayi
1 3 5 7 10
Lahir 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
NO Usia Peddkn (gr) R E E D A Ʃ R E E D A Ʃ R E E D A Ʃ R E E D A Ʃ R E E D A Ʃ
1
93

Lampiran 8

MASTER TABEL KELOMPOK TEKNIK PENJAHITAN TRANSKUTANEUS TERPUTUS

BB Nilai Nyeri Perineum Pascasalin Hari Ke- Nilai Penyembuhan Luka Perineum Hari Ke-
Bayi
1 3 5 7 10
Lahir 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
NO Usia Peddkn (gr) R E E D A Ʃ R E E D A Ʃ R E E D A Ʃ R E E D A Ʃ R E E D A Ʃ
1

Anda mungkin juga menyukai