Anda di halaman 1dari 34

LAPORAN KEGIATAN KEPANITERAAN KLINIK SENIOR

UPTD PUSKESMAS MEURAXA


PERIODE 09 September – 21 September 2019
Diajukan sebagai salah satu syarat dalam menjalani Kepaniteraan Klinik
di SMF/Bagian Ilmu Kedokteran Keluarga Fakultas Kedokteran
Universitas Syiah Kuala Banda Aceh

disusun oleh :
Salfiana Riko
1707101030013

Pembimbing:

dr. Khairunnisa Anwar


dr. Cut Laila Fauzia Rusli

SMF/BAGIAN ILMU KEDOKTERAN KELUARGA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
BANDA ACEH
2019
LEMBARAN PENGESAHAN

LAPORAN KEGIATAN KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


UPTD PUSKESMAS MEURAXA
PERIODE 09 September – 21 September 2019

Disusun Oleh:

SALFIANA RIKO
1707101030013

Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik Senior
pada Bagian Family Medicine Fakultas Kedokteran Unsyiah
di UPTD Puskesmas Meuraxa
Banda Aceh

Disahkan Oleh :
Banda Aceh, 19 September 2019
Disetujui oleh

Pembimbing I Pembimbing II

dr. Khairunnisa Anwar dr. Cut Laila Fauzia Rusli


Peg. 800/SPK/20/2017
dr. Maulid Hidayati
Mengetahui,
Kepala UPTD Puskesmas Meuraxa

drg. Lia Silvianty Nasty


NIP. 19790110200604 2 005
Kepala Bagian Family Medicine

Rina Suryani Oktari, S.Kep., M.Si


NIP. 19831012 201404 2 001
KATA PENGANTAR
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan karunia-Nya
penulis dapat menyelesaikan Laporan Kegiatan Kepaniteraan Klinik Senior pada
Bagian Ilmu Kedokteran Keluarga Fakultas Kedokteran Unsyiah di UPTD
Puskesmas Meuraxa periode 09 September – 21 September 2019. Shalawat beserta
salam penulis sampaikan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membawa
manusia dari zaman jahiliyah ke zaman yang penuh ilmu pengetahuan.
Laporan ini disusun berdasarkan data-data yang ada, bimbingan dan hasil
pengamatan yang dilakukan di UPTD Puskesmas Meuraxa selama mengikuti
kegiatan Kepaniteraan Klinik Senior Ilmu Kedokteran Keluarga Fakultas Kedokteran
Unsyiah.
Ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada Kepala
UPTD Puskesmas Meuraxa, drg. Lia Silvianty Nasty, dr. Khairunnisa Anwar dan dr.
Cut Laila Fauzia Rusli yang telah bersedia meluangkan waktu untuk membimbing
penulis dalam penyusunan dan penulisan laporan, serta kepada seluruh staf, teman-
teman dokter muda dan semua pihak yang juga turut membantu hingga laporan ini
dapat terselesaikan.
Penulis berharap laporan ini dapat bermanfaat bagi penulis dan bagi semua
pihak. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan laporan ini masih terdapat banyak
kekurangan dan kelemahan baik dari segi penyajian maupun dari segi materi, oleh
karena itu penulis mengharapkan saran serta kritik yang bersifat membangun dari
berbagai pihak demi penyempurnaan laporan ini.

Banda Aceh, 19 September 2019


Penulis

LAMPIRAN I
PROMOSI KESEHATAN

LAPORAN KEGIATAN PROMOSI KESEHATAN (PENYULUHAN)


KELAINAN KULIT AKIBAT JAMUR
DI UPTD PUSKESMAS MEURAXA

I. PENDAHULUAN
Demartofitosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh kolonisasi jamur
dermatofita yang menyerang jaringan yang mengandung keratin seperti stratum
korneum kulit, rambut dan kuku pada manusia.(1) Selain menyerang jaringan keratin
pada manusia dermatofita juga menyerang kulit hewan, sehingga penularan jamur
dermatofita dapat terjadi jika berkontak dengan hewan yang terinfeksi.(2) Saat
sekarang ini sudah ditemukan 41 spesies dermatofita, terdiri dari 17 spesies
Microsporum, 22 spesies Trichophyton, 2 spesies Epidermophyton.(3) Penyakit ini
tidak fatal, namun karena bersifat kronik dan residif, serta tidak sedikit yang resisten
dengan obat anti jamur, maka penyakit ini dapat menyebabkan gangguan
kenyamanan dan menurunkan kualitas hidup bagi penderitanya.(4) Dermatofitosis
disebut juga dengan tinea dan memiliki variasi sesuai dengan lokasi anatominya
seperti tinea kapitis, tinea barbae, tinea kruris, tinea pedis dan tinea korporis.(2)
Pertumbuhan jamur sangat mudah sesuai dengan kecocokan dengan sel inang
dan lingkungannya. Pada umumnya jamur tumbuh dan berkembang baik pada
lingkungan dengan suhu 25- 28 oC begitu juga dengan dermatofita. Selain faktor
lingkungan, infeksi pada kulit manusia dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti;
higiene individu yang rendah, tempat tinggal atau pemukiman yang padat, pakaian
yang tidak menyerap keringat, atau bagian tubuh yang sering tertutup lama oleh
pakaian, sepatu, maupun topi. Biasanya infeksi jamur sering terjadi pada populasi
dengan tingkat sosioekonomi yang rendah, hal ini terjadi karena kurangnya
pengetahuan dan sikap individual terhadap resiko timbulnya infeksi dan transmisi
dari jamur.(3) Penularan dermatofitosis dapat secara langsung dari manusia ke
manusia (anthropophilic organisms), dari tanah ke manusia (geophilic organisms),
dan dari hewan ke manusia (zoophilic organisms). Transmisi dermatofita juga dapat
terjadi secara tidak langsung melalui benda lain yang dapat berperan menjadi media
penularan agen infeksi seperti handuk, topi, dan sisir yang digunakan bergantian.(5)
Dermatofitosis tersebar diseluruh dunia dengan prevalensi yang berbeda-beda
tiap negara. Penelitian World Health Organization (WHO) terhadap insiden dari
infeksi dermatofit menyatakan 20% orang dari seluruh dunia mengalami infeksi
kutaneus dengan infeksi tinea korporis yang merupakan tipe yang paling dominan dan
diikuti dengan tinea kruris,tinea pedis, dan onikomikosis.(6) Indonesia merupakan
salah satu negara beriklim tropis yang memiliki suhu dan kelembaban tinggi, dimana
merupakan suasana yang baik bagi pertumbuhan jamur, higiene juga berperan untuk
timbulnya penyakit ini.(7) Sehingga jamur dapat ditemukan hampir di semua tempat.
Insidensi penyakit yang disebabkan oleh jamur pada tahun 2009-2011 di Indonesia
berkisar 2,93-27,6%.(4)
Di Indonesia dermatofitosis menempati urutan kedua. Dermatofitosis
didapatkan sebanyak 52% dengan kasus terbanyak tinea kruris dan tinea korporis (3).
Data Profil Kesehatan Indonesia 2010 yang menunjukkan bahwa penyakit kulit dan
jaringan subkutan menjadi peringkat ketiga dari 10 penyakit terbanyak pada pasien
rawat jalan di rumah sakit se-Indonesia berdasarkan jumlah kunjungan yaitu
sebanyak 192.414 kunjungan dan 122.076 kunjungan diantaranya merupakan kasus
baru. Hal ini menunjukkan bahwa penyakit kulit masih sangat dominan terjadi di
Indonesia.(8) Berdasarkan profil Kesehatan Provinsi Aceh tahun 2012 Jumlah
penyakit kulit & subkutan di rumah sakit umum rawat jalan sebanyak 3.502 pasien ,
di puskesmas rawat inap penyakit kulit alergi 81.356 dan dipuskesmas rawat jalan
penyakit kulit alergi 45.461 dari jumlah penduduk 4.726.001 jiwa.(9)
Berdasarkan tingginya angka kejadian terhadap kasus inilah, sehingga penulis
tertarik untuk melakukan penyuluhan berjudul “Kelainan Kulit Akibat Jamur” di
Puskesmas Meuraxa, Banda Aceh.

II. NAMA KEGIATAN


Penyuluhan Tentang Kelainan Kulit Akibat Jamur

III. TUJUAN KEGIATAN


1. Menjelaskan tentang definisi penyakit kulit akibat jamur
2. Menjelaskan tentang penyebab penyakit kulit akibat jamur
3. Menjelaskan tentang gejala yang timbul akibat penyakit kulit akibat jamur
4. Menjelaskan tentang cara penularan dan penegahan penyakit kulit akibat jamur
5. Menjelaskan tentang pengobatan penyakit kulit akibat jamur
IV. WAKTU DAN TEMPAT KEGIATAN
Kegiatan penyuluhan kesehatan dilakukan pada tanggal:
Hari/Tanggal : Rabu/18 September 2019
Waktu : 10.00 wib s/d 10.25
Tempat : UPTD Puskesmas Meuraxa di ruang tunggu

Topik : Kelainan Kulit Akibat Jamur

V. PESERTA KEGIATAN
Kegiatan diikuti oleh pasien dan keluarga pasien yang datang ke UPTD
Puskesmas Meuraxa, Banda Aceh.

VI. METODE PENYULUHAN


Penyuluhan dilakukan dengan cara presentasi di depan pasien yang sedang
menunggu pelayanan di ruang tunggu pemeriksaan dan pembagian leaflet dan diskusi
tanya jawab yang berlangsung kurang lebih selama 25 menit.

VII. MATERI PENYULUHAN


1. Definisi Dermatofitosis
Dermatofitosis adalah penyakit pada jaringan yang mengandung zat tanduk,
misalnya stratum korneum pada epidermis, rambut, dan kuku, yang disebabkan
golongan jamur dermatofita. Dermatofitosis bisa juga didefinisikan sebagai penyakit
yang disebabkan oleh kolonisasi jamur dermatofit yang menyerang jaringan dengan
keratin seperti stratum korneum kulit, rambut dan kuku pada manusia dan hewan.
Dermatofit adalah sekelompok jamur yang memiliki kemampuan membentuk
molekul yang berikatan dengan keratin dan menggunakannya sebagia sumber nutrisi
untuk membentuk kolonisasi.(10)

2. Etiologi Dermatofitosis
Dermatofita adalah jamur yang menyebabkan dermatofitosis. Golongan jamur
ini mempunyai sifat mencernakan keratin. Dermatofita termasuk kelas fungi
imperfecti yang terbagi dalam 3 genus, yaitu Microsporum, Trichophyton, dan
Epidermophyton. 41 spesies dermatofita telah ditemukan, masing-masing adalah 2
spesies Epidermophyton, 17 spesies Microsporum, dan 22 spesies Trichophyton.
Dematofita dimasukkan dalam famili Gymnoascaceae. Ketiga genus ini
mempunyai sifat keratofilik.(3)

3. Epidemiologi Dermatofitosis
Penelitian World Health Organization (WHO) terhadap insiden dari infeksi
dermatofit menyatakan 20% orang dari seluruh dunia mengalami infeksi kutaneus
dengan infeksi tinea korporis yang merupakan tipe yang paling dominan dan diikuti
dengan tinea kruris,tinea pedis, dan onikomikosis.(6) Indonesia merupakan salah satu
negara beriklim tropis yang memiliki suhu dan kelembaban tinggi, dimana
merupakan suasana yang baik bagi pertumbuhan jamur, higiene juga berperan untuk
timbulnya penyakit ini.(7) Sehingga jamur dapat ditemukan hampir di semua tempat.
Insidensi penyakit yang disebabkan oleh jamur pada tahun 2009-2011 di Indonesia
berkisar 2,93-27,6%.(4)
Faktor epidemiologi yang penting yaitu usia, jenis kelamin, dan ras.
Prevalensi infeksi Dermatofita pada laki-laki lima kali lebih banyak dari wanita.
Tinea kapitis yang disebabkan T. tonsurans lebih sering pada wanita dewasa
dibandingkan laki-laki dewasa, dan lebih sering terjadi pada anak-anak Afrika
Amerika. Hal ini terjadi karena adanya pengaruh kebersihan perorangan, lingkungan
yang kumuh dan padat serta status sosial ekonomi dalam penyebaran infeksinya.
Penyakit infeksi jamur di kulit mempunyai prevalensi tinggi di Indonesia, karena
Indonesia beriklim tropis dan kelembabannya tinggi.(11)

4. Gejala Klinis dan Diagnosis Dermatofitosis


Golongan jamur dermatofita dapat menyebabkan kelainan yang khas. Satu jenis
dermatofita dapat menghasilkan bentuk klinis yang berbeda, bergantung pada
lokalisasi anatominya. Bentuk-bentuk klinis tersebut adalah tinea kapitis, tinea
favosa, tinea korporis, tinea imbrikata, tinea kruris, tinea manus et pedis dan tinea
unguium. Selain itu terdapat juga tinea barbae, dermatofitosis pada dagu dan jenggot;
tinea aksilaris pada ketiak, tinea fasialis pada wajah dan tinea inkognito yang berarti
dermatofitosis dengan bentuk klinis tidak khas oleh karena telah diobati dengan
steroid topikal kuat.(2)
Gambaran klinis berdasarkan lokasi(12):
1. Tinea Kapitis
Tinea kapitis adalah kelainan kulit pada daerah kepala berambut yang disebabkan
oleh jamur golongan dermatofita. Penyakit ini disebabkan oleh spesies dermatofita
dari genus Trichophyton dan Microsporum, misalnya T.violaceum, T.gourvili,
T.mentagrophytes, T.tonsurans, M.audonii, M.Canis dan M.ferrugineum.
Penyakit ini sering terjadi pada anak-anak, yang dapat ditularkan dari binatang
peliharaan misalnya anjing dan kucing. Keluhan penderita berupa bercak pada kepala,
gatal dan sering disertai rontoknya rambut di tempat lesi tersebut.
Terdapat 3 bentuk klinis dari tinea kapitis:
a) “Grey patch ringworm”: merupakan tinea kapitis yang biasanya disebabkan
oleh genus Microsporum dan ditemukan pada anak-anak. Penyakit ini
biasanya dimulai dengan timbulnya papula merah kecil di sekitar folikel
rambut. Papula ini kemudian melebar dan membentuk bercak pucat karena
adanya sisik. Penderita mengeluh gatal, warna rambut menjadi abu-abu, tidak
berkilat lagi. Rambut menjadi mudah patah dan juga mudah terlepas dari
akarnya. Pada daerah yang terserang oleh jamur terbentuk alopesia setempat
dan terlihat sebagai “grey patch”. Bercak abu-abu ini sulit terlihat batas-
batasnya dengan pasti, bila tidak menggunakan lampu Wood. Pemeriksaan
dengan lampu Wood memberikan fluoresensi kehijau-hijauan sehingga batas-
batas yang sakit dapat terlihat jelas.
b) Kerion: merupakan tinea kapitis yang disertai dengan reaksi peradangan yang
hebat. Lesi berupa pembengkakan menyerupai sarang lebah, dengan serbukan
sel radang disekitarnya. Kelainan ini menimbulkan jaringan parut yang
menetap. Biasanya disebabkan jamur zoofilik dan geofilik.
c) “Black dot ringworm”: adalah tinea kapitis dengan gambaran klinis berupa
terbentuknya titik-titik hitam pada kulit kepala akibat patahnya rambut yang
terinfeksi tepat di muara folikel. Ujung rambut yang patah dan penuh spora
terlihat sebagai titik hitam. Biasanya disebabkan oleh genus Tricophyton.

Gambar 1 . Grey patch ringworm, kerion, black dot ringworm.


Diagnosis ditegakkan berdasarkan gambaran klinis, pemeriksaan dengan lampu
Wood, dan pemeriksaan mikroskopis rambut langsung dengan KOH. Pada
pemeriksaan mikroskopis, akan terlihat spora di luar rambut (ectotrics) atau di dalam
rambut (endotrics). Tinea kapitis sering dikelirukan dengan berbagai penyakit, seperti
psoariasis vulgaris, dermatitis seboroik dan alopesia areata.
2. Tinea Barbae
Tinea barabae adalah infeksi jamur dermatofita pada daerah jenggot, jambang
dan kumis, sehingga penderita mengeluh rasa gatal di daerah tersebut, disertai
rambut-rambut di daerah itu menjadi putus atau rontok. Terdapat dua bentuk tinea
barbae yaitu superfisialis dan kerion.
a. Superfisialis
Kelainan-kelainan berupa gejala eritem, papul dan skuama yang mula-
mula kecil selanjutnya meluas ke arah luar dan memberi gambaran polisiklik,
dengan bagian tepi yang aktif. Biasanya gambaran seperti ini menyerupai
Tinea korporis.

b. Kerion
Bentuk ini membentuk lesi-lesi yang eritematous dengan ditutupi krusta
atau abses kecil dengan permukaan membasah oleh karena erosi.
Gambar 2. Tinea Barbae
3. Tinea Korporis
Tinea korporis adalah infeksi jamur dermatofita pada kulit tidak berambut
(glaborous skin) di daerah muka, badan, lengan dan tungkai. Penyebab tersering
penyakit ini adalah T.rubrum dan T.mentagrophytes. Bentuk klinis biasanya berupa
lesi yang terdiri atas bermacam-macam eflorosensi kulit, berbatas tegas dengan
konfigurasi anular, arsinar atau polisiklik. Bagian tepi lebih aktif dengan tanda
perdangan yang lebih jelas. Daerah sentral biasanya menipis dan terjadi
penyembuhan, sementara di tepi lesi makin meluas ke perifer. Kadang-kadang bagian
tengahnya tidak menyembuh, tetapi tetap meninggi dan tertutup skuama sehingga
menjadi bercak yang besar. Tinea korporis yang menahun ditandai dengan sifat
kronik. Lesi tidak menunjukkan tanda-tanda radang yang akut. Kelainan ini biasanya
terjadi pada bagian tubuh dan tidak jarang bersama-sama dengan tinea kruris. Bentuk
kronik yang disebabkan oleh T.rubrum kadang-kadang terlihat bersama dengan tinea
unguium.

.
Gambar 3. Tinea korporis pada punggung dan lengan.

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gambaran klinis dan lokalisasinya, serta


pemeriksaan kerokan kulit dan larutan KOH 10-20 % dengan mikroskop untuk
melihat hifa atau spora jamur.Tinea korporis mempunyai gambaran klinis yang mirip
dengan pitiriasis rosea, psoariasis, lues stadium II, morbus Hansen tipe tuberkuloid,
dan dermatitis kontak.
4. Tinea imbrikata
Tinea imbrikata adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi jamur
dermatofita yang memberikan gambaran khas berupa kulit bersisik dengan sisik yang
melingkar-lingkar dan terasa gatal. Penyakit ini disebabkan jamur dermatofita
T.concentricum.
Penyakit ini dapat menyerang seluruh permukaan kulit yang tidak berambut,
sehingga sering digolongkan dalam tinea korporis. Lesi bermula sebagai makula
eritematosa yang gatal, kemudian timbul skuama yang agak tebal dan konsentris
dengan susunan seperti genting. Lesi makin lama makin melebar tanpa meninggalkan
penyembuhan di bagian tengah.

Gambar 4. Tinea imbrikata pada lengan


Diagnosis ditegakkan berdasarkan gambaran klinis yang sangat khas berupa
lesi konsentris.
5. Tinea Favosa
Tinea favosa adalah infeksi jamur kronis, terutama oleh T. schoenleini,
T.violaceum, dan M.gypseum. Penyakit ini merupakan bentuk lain tinea kapitis, yang
ditandai oleh scutula berwarna kekuningan dan bau seperti tikus (mousy odor) pada
kulit kepala. Biasanya, lesinya menjadi sikatrik alopesia permanen.
Gambaran klinis mulai dari gambaran ringan, berupa kemerahan pada kulit
kepala dan terkenanya folikel rambut tanpa kerontokan, hingga skutula dan
kerontokan rambut, serta lesi menjadi lebih merah dan lebih luas. Setelah itu, terjadi
kerontokan rambut luas, kulit mengalami atrofi dan sembuh dengan jaringan parut
permanen.

Gambar 5. Tinea favosa pada anak-anak


Berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan mikroskopis langsung, dengan
menemukan miselium, “air bubbles” yang bentuknya tidak teratur. Pada
pemeriksaan dengan lampu Wood tampak fluoresensi hijau pudar (“dull green”).
6. Tinea Kruris
Tinea kruris adalah penyakit infeksi jamur dermatofita di daerah lipat paha,
genitalia, dan sekitar anus, yang dapat meluas ke bokong dan perut bagian bawah.
Penyebab umumnya adalah E.floccosum, kadang-kadang dapat juga disebabkan oleh
T.rubrum. Keluhan penderita adalah rasa gatal di daerah lipat paha sekitar anogenital.
Gambaran klinis biasanya berupa lesi simetris di lipat paha kanan dan kiri,
namun dapat juga unilateral. Mula-mula lesi ini berupa bercak eritematosa dan gatal,
yang lama kelamaan meluas hingga skrotum, pubis, glutea, bahkan sampai seluruh
paha. Tepi lesi aktif, polisiklik, ditutupi skuama dan terkadang disertai banyak
vesikel-vesikel kecil.
Gambar 6. Tinea kruris pada lipat paha dan paha
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gambaran klinis yang khas dan
ditemukannya elemen jamur pada pemeriksaan kerokan kulit dengan mikroskopik
langsung memakai larutan KOH 10-20 %. Tinea kruris dapat menyerupai dermatitis
seboroik, kandidosis kutis, eritrasma, dermatitis kontak dan psoariasis.
7. Tinea Manus et Pedis
Tinea manus et pedis merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi jamur
dermatofita di daerah kulit telapak tangan dan kaki, punggung tangan dan kaki, jari-
jari tangan dan kaki, serta daerah interdigital. Penyebab tersering adalah T.rubrum, T.
mentagrophytes dan E.floccosum.
Penyakit ini sering terjadi pada orang dewasa yang setiap hari harus memakai
sepatu tertutup dan pada orang yang sering bekerja di tempat yang basah, mencuci,
bekerja di sawah dan sebagainya. Keluhan penderita bervariasi mulai dari tanpa
keluhan sampai mengeluh sangat gatal dan nyeri karena terjadinya infeksi sekunder
dan peradangan.
Dikenal 3 bentuk klinis yang sering dijumpai, yaitu:
 Bentuk intertriginosa. Manifestasi kliniknya berupa maserasi, deskuamasi
dan erosi pada sela jari. Tampak warna keputihan basah dan dapat terjadi
fisura yang terasa nyeri bila tersentuh. Infeksi sekunder oleh bakteri dapat
menyertai fisura tersebut dan lesi dapat meluas sampai ke kuku dan kulit jari.
Pada kaki, lesi sering mulai dari sela jari III, IV dan V.
 Bentuk vesikular akut. Penyakit ini ditandai terbentuknya vesikel-vesikel
dan bula yang terletak agak dalam di bawah kulit dan sangat gatal. Lokasi
yang sering adalah telapak kaki bagian tengah dan kemudian melebar serta
vesikelnya memecah. Infeksi sekunder dapat memperburuk keadaan ini.
 Bentuk moccasin foot. Pada bentuk ini seluruh kaki dari telapak, tepi, sampai
punggung kaki terlihat kulit menebal dan berskuama. Eritem biasanya ringan,
terutama terlihat pada bagian tepi lesi.

Gambar 7. Bentuk intertriginosa, bentuk vesikular akut, moccasin foot.


Diagnosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan gambaran klinis dan
pemeriksaan kerokan kulit dengan larutan KOH 10-20 % yang menunjukkan elemen
jamur. Diagnosis banding adalah hiperhidrosis, akrodermatitis, kandidosis, serta lues
stadium II.
8. Tinea Unguium
Tinea unguium adalah kelainan kuku yang disebabkan oleh infeksi jamur
golongan dermatofita. Penyebab penyakit yang sering adalah T.mentagrophytes dan
T.rubrum. Dikenal 3 bentuk gejala klinis, yaitu:
 Bentuk subungual distalis. Penyakit ini mulai dari tepi distal atau
distolateral kuku. Penyakit akan menjalar ke proksimal dan di bawah kuku
terbentuk sisa kuku yang rapuh.
 Leukonikia trikofita atau leukonikia mikofita. Bentuk ini berupa bercak
keputihan di permukaan kuku yang dapat dikerok untuk membuktikan adanya
elemen jamur.
 Bentuk subungual proksimal. Pada bentuk ini, kuku bagian distal masih
utuh, sedangkan bagian proksimal rusak. Kuku kaki lebih sering diserang
daripada kuku tangan.
Gambar 8. subungual distalis , subungual proksimal, leukonikia trikofita
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan kerokan
kuku dengan KOH 10-20 % atau dilakukan biakan untuk menemukan elemen
jamur.Diagnosis banding dari tinea unguium adalah kandidosis kuku, psoariasis kuku
dan akrodermatitis.

5. Cara Penularan Dermatofitosis


Terjadinya penularan dermatofitosis adalah melalui 3 cara yaitu :
a. Antropofilik, transmisi dari manusia ke manusia. Ditularkan baik secara
langsung maupun tidak langsung melalui lantai kolam renang dan udara
sekitar rumah sakit/klinik, dengan atau tanpa reaksi peradangan (silent
“carrier”)
b. Zoofilik, transmisi dari hewan ke manusia. Ditularkan melalui kontak
langsung maupun tidak langsung melalui bulu binatang yang terinfeksi dan
melekat dipakaian, atau sebagai kontaminan pada rumah/ tempat tidur hewan,
tempat makanan dan minuman hewan. Sumber penularan utama adalah
anjing, kucing, sapi, kuda dan mencit.
c. Geofilik, transmisi dari tanah ke manusia. Secara sporadic menginfeksi
manusia dan menimbulkan reaksi radang.(13)

7. Pengobatan Demam Tifoid


Tabel 1. Terapi Tinea Secara Umum(1)
Penyakit Terapi Topikal Terapi Sistemik
Tinea Kapitis Hanya sebagai adjuvan Dewasa:
Selenium Sulfida 1% atau Griseovulvin 20-25 mg/KgBB/hari
2,5% (6-8 minggu)
Zink pyrithione 1% atau Terbinafine 250 mg/hari (2-8
minggu)
Pividone Iodine 2,5%
Itrakonazole 5 mg/KgBB/hari (2-4
Ketokonazole 2% minggu)
Flukonazole 6 mg/KgBB/hari (3
minggu)
Anak:
Terbinafin 3-6 mg/KgBB/hari (2-8
minggu)
Tinea Barbae Hanya sebagai adjuvant anti Griseofilvin 1gr/hari (6 minggu)
jamur
Terbinafine 250 mg/hari (2-4
minggu)
Itrakonazol 200 mg/hari (2-4
minggu)
Flukonazol 200 mg/hari (4-6 minggu)
Tinea Allylamines Dewasa:
Corporis/Cruri
s Imidazole Terbinafin 250 mg/hari (2-4 minggu)
Tolnaftate Itrakonazol 100 mg/hari (1 minggu)
Butenafine Flukonazol 150-300 mg/minggu (4-6
minggu)
Ciclopirox
Griseofulvin 500 mg/hari (2-4
minggu)
Anak:
Terbinafin 3-6 mg/KgBB/hari (2
minggu)
Itrakonazol 5 mg/KgBB/hari (1
minggu)
Griseofulvin 10-20 mg/KgBB/hari
(2-4 minggu)
Tinea Allylamines Dewasa:
Pedis/Manus
Imidazole Terbinafin 250 mg/hari (2 minggu)
Ciclopirox Itrakonazol 200 mg, 2xsehari (1
minggu)
Benzylamine
Flukonazol 150 mg/minggu (3-4
Tolnaftat minggu)
Undecenoic Acid Anak:
Terbinafin 3-6 mg/KgBB/hari (2
minggu)
Itrakonazole 5 mg/KgBB/hari (2
minggu)
Onikomikosis Ciclopirox Dewasa:
Amorolfine Terbinafin 250 mg/hari (6-12
minggu)
Itrakonazol 200 mg/hari (2-3 bulan)
Flukonazol 150 mg/minggu (3-12
bulan)
Anak:
Terbinafin 3-6 mg/KgBB/hari (6-12
minggu)
Itrakonazol 5 mg/KgBB/hari (2-3
bulan)
Flukonazol 6 mg/KgBB/minggu (3-6
bulan)

8. Prognosis
Prognosis pada dermatofitosis pada umumnya baik, namun pengobatan perlu
diperhatikan apabila terdapat faktor predisposisi sebagai berikut(14) :
1. Bentuk klinik tertentu :
 Diabetes mellitus
 Hipertiroid, menyebabkan banyak keringat / hyperhidrosis
 Keganasan
 Pemakaian obat-obatan : antibiotika, kortikosteroid, sitostatika
 Infeksi berat : AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome)
 Kehamilan
 Iritasi setempat pada tubuh misalnya urine, keringat, air
2. Lingkungan : iklim tropis banyak keringat, jamur akan tumbuh dengan subur
3. Pekerjaan yang berhubungan dengan air : ibu rumah tangga, pembantu rumah
tangga. Pada tinea pedis air yang berlebihan akan menyebabkan pembengkakan
stratum korneum, hifa jamur tumbuh dengan subur.
4. Pemakaian pakaian dalam /celana ketat dari bahan sintetis
5. Kebiasaan pinjam meminjam alat, misal sepatu, sisir
6. Adanya sumber infeksi lain, misal binatang piaraan : anjing, kucing, kelinci

9. Pencegahan Dermatofitosis
Upaya mencegah penularan yang berulang dari infeksi jamur dilakukan
dengan langkah-langkah(14):
1. Menggunakan pakaian longgar dan sedapat mungkin terbuat dari bahan
katun
2. Menggunakan kaos kaki dari bahan katun dan menghindari memakai kaos
kaki yang lembab
3. Mengganti pakaian setiap hari dengan pakaian kering
4. Mengeringkan handuk setelah setiap digunakan
5. Menghindari memakai pakaian orang yang sedang menderita infeksi jamur
kulit
6. Menghindari binatang yang sedang terinfeksi jamur

VIII. LEAFLET
Terlampir

IX. DISKUSI DAN TANYA JAWAB DENGAN PESERTA


Pertanyaan : Bagaimana pencegahan yang benar untuk infeksi jamur kulit ?
Jawaban : Upaya untuk mencegah penularan infeksi jamur kulit bisa
dilakukan dengan cara mandi dengan sabun secara teratur, segera
mengganti pakaian yang lembab atau pakaian berkeringat, hindari
kontak dengan orang yang menderita infeksi jamur kulit, tidak
bertukar pakaian, handuk dan sepatu, pencegahan penularan
infeksi bisa dilakukan dengan cara menjaga kebersihan diri. Pada
pasien yang sudah sembuh dari infeksi jamur kulit ini, bisa
terinfeksi berulang apabila pasien tidak menjaga kerbersihan diri.

X. PENUTUP
` Dermatofitosis merupakan kelompok penyakit yang disebabkan oleh jamur
dermatofit dari tiga genus, Epidermophyton, Trichophyton, dan Microsporum, yang
bersifat keratinofilik mengenai stratum korneum pada kulit, rambut dan kuku.
Klasifikasi penyakit ini digolongkan berdasarkan lokasi atau ciri khusus tertentu, dan
jenis struktur keratin yang terlibat yaitu kulit, kuku dan rambut. Terapi yang
diberikan secara umum dan khusus, umum yaitu edukasi pada pasien untuk
menghindari factor predisposisi. Pengobatan secara khusus dengan obat-obatan anti
jamur baik secara sistemik maupun topikal.

XI. DAFTAR PUSTAKA


1. TH Rampengan. Penyakit Infeksi Tropik pada Anak. Jakarta: EGC. 2007
2. Anggraini TD. Tinjauan Pola Penggunaan Antibiotik Pada Pasien Anak
Demam Tifoid Di Instalasi Rawat Inap RSUP dr. Kariadi Semarang Tahun
2009. 2013
3. Djauli Hassan, R.,dkk. Tifus Abdominalis. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak
2. Cetakan Ke 11. Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Jakarta. 2009
4. Nelwan R. Tatalaksana Terkini Demam Tifoid. Jakarta: Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI. 2012.
5. World Health Organization. Bulletin of the World Health Organization 2008;
86 (5): 321–46
6. Juwono R. Demam tifoid. Dalam: Soeparman, editor. Ilmu Penyakit Dalam
Jilid I. Edisi ke 2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 1984. p.32–38.
7. Bhan MK, Bahl R, Bhatnagar S. Typhoid fever and paratyphoid fever. Lancet
2005; 366: 749-62.
8. Menteri Kesehatan RI. Pedoman Pengendalian Demam Tifoid. Jakarta: Menteri
Kesehatan RI. 2006.
9. Rakhman. Faktor-Faktor Risiko Yang Berpengaruh Terhadap Kejadian Demam
Tifoid Pada Orang Dewasa. Tesis. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada. 2009.
10. Nuruzzaman H, Syahrul F. Analisis Risiko Kejadian Demam Tifoid
Berdasarkan Kebersihan Diri dan Kebiasaan Jajan di Rumah. Surabaya:
Departemen Epidemiologi FKM UA. 2016.
11. Widoyono. Penyakit Tropis : Epidemiologi, Penularan, Pencegahan Dan
Pemberantasan. Jakarta : Penerbit Erlangga. 2008

XII. DOKUMENTASI KEGIATAN PENYULUHAN


Disahkan oleh
Banda Aceh, 21 Februari 2019
Disetujui oleh:

Pembimbing I Pembimbing II

dr. Nurcahayati dr. Cut Laila Fauzia Rusli


NIP. 19780714 200804 2 001 Peg. 800/SPK/20/2017

Mengetahui,
Kepala UPTD Puskesmas Meuraxa

drg. Lia Silvianty Nasty


NIP. 19790110200604 2 005
LAMPIRAN

Leaflet Penyuluhan
LAMPIRAN II
KEGIATAN KUNJUNGAN RUMAH
(HOME VISIT)
LAPORAN KEGIATAN HOME VISIT

KUNJUNGAN I (18 September 2019)

Pasien 1: Ny. E

I. Data Administrasi
Nama Fasilitas Pelayanan Kesehatan UPTD Puskesmas Meuraxa
Tanggal Kunjungan 18 September 2019
Diisi oleh Salfiana Riko

II. Data Pasien


Nama Ny. E
Umur/Tanggal lahir 39 tahun
Alamat Blang Oi
Jenis Kelamin Perempuan
Agama Islam
Pendidikan SMA
Pekerjaan Ibu Rumah Tangga
Status perkawinan Kawin
Kunjungan yang ke Pertama
Pengobatan sebelumnya Paracetamol 500 mg
Alergi obat Tidak ada

III. Data Pelayanan

1. Anamnesis
a. Alasan Kedatangan/keluhan utama : Demam
b. Keluhan lain/tambahan : Batuk
c. Riwayat perjalanan penyakit sekarang
Pasien mengeluhkan demam. Demam sudah dirasakan sejak 3 hari
yang lalu, demam juga dirasakan hilang timbul, demam hilang dengan
obat penurun panas yang dibeli pasien di apotek. Batuk juga dialami
pasien sejak 5 hari yang lalu, batuk berdahak dengan dahak berwarna
putih, anak pasien juga mengalami keluhan yang sama seminggu yang
lalu. Penurunan nafsu makan tidak ada, penurunan berat badan tidak ada,
mual tidak ada, muntah tidak ada, dan BAB dan BAK dalam batas normal.
d. Riwayat penyakit keluarga
Ayah pasien menderita hipertensi. DM, hipertensi, asthma dan alergi
disangkal.
e. Riwayat penyakit dahulu
Pasien tidak menderita DM, hipertensi, asthma, alergi.
f. Riwayat pemakaian obat
Paracetamol 500 mg
g. Riwayat kebiasaan
Pasien merupakan seorang ibu rumah tangga dengan aktifitas sehari-hari
memasak, mencuci dan bersih-bersih. Pasien tinggal dalam rumah bersama
suami, dan anaknya.
Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum, tanda vital, dan status gizi
KU: TD: 110/70 mmHg BB: 56 Kg
Suhu: 37,8 oC TB: 155 cm
Nadi: 84 x/menit IMT: 23,3 Kg/m2
RR: 20 x/menit Status gizi: Berat badan
normal

b. Status Generalis
Mata : konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-)

THT : dbn
Paru : Auskultasi; vesikuler (normal/normal), Rhonki (-/-),
Wheezing (-/-)
Jantung : BJ I>BJ II, bising (-), murmur (-)
Abdomen : Simetris, soepel, peristaltik (+)
Ekstremitas : sianosis perifer (-/-), CRT < 2 detik

2. Pemeriksaan Laboratorium: tidak dilakukan pemeriksaan


IV. Diagnosis Holistik (Assessment)

1. Aspek Personal : pasien mengeluh demam sejak 3 hari yang lalu, pasien juga
mengeluhkan batuk berdahak sejak 5 hari yang lalu.
2. Aspek Klinik : Infeksi Saluran Napas Atas.
3. Aspek Resiko Internal : Pasien jarang melakukan aktivitas fisik atau
olahraga, pasien juga jarang mengkonsumsi sayur dan buah, pasien lebih
sering mengkonsumsi makanan berminyak.
4. Aspek Resiko Eksternal : Suami dan anak pasien juga sering mengkonsumsi
makanan berminyak, kurangnya pengetahuan tentang etika batuk dan bersin
dalam keluarga.

5. Derajat Fungsional : Derajat 1, di mana pasien belum mengalami kesulitan


dalam melakukan aktivitas sehari-hari.
V. Rencana Penatalaksanaan Pasien

1. Health promotion : Pasien diberikan penjelasan untuk mengurangi konsumsi


makanan berminyak. Pasien juga diberikan penjelasan untuk mulai membiasakan
mengkonsumsi buah dan sayur, serta menganjurkan pasien untuk melakukan
olahraga rutin yang ringan seperti berjalan kaki di pagi hari 15-30 menit minimal
3 kali dalam seminggu.

2. Spesific Protection : Dari hasil pemeriksaan yang menunjukkan suhu tubuh


pasien sedikit meningkat, maka pasien dianjurkan untuk melakukan
pemantauan terhadap tekanan darah dan mengubah gaya hidup menjadi lebih
sehat.
3. Promt treatment : Paracetamol 3x500 mg dan Acetylcystein 3x200 mg

4. Disability limitation : Pada pasien ini tidak terdapat keterbatasan untuk


melakukan aktivitas fisik dan masih bisa produktif.

5. Rehabilitation : Pada pasien ini belum perlu dilakukan rehabilitasi.

GENOGRAM KELUARGA NY. E

Tanggal pemeriksaan: 18 September 2019


Pemeriksa: Salfiana Riko

1. Genogram

Tn. JA, 50 Thn Ny. RM, 48 Thn

Keterangan

: Hipertensi : Laki-laki

: Diabetes Mellitus : Perempuan


: Hiperuresemia : Kematian
: Penyakit Lambung

KUNJUNGAN II (Selasa, 19 Februari 2019)

Pasien: Ny. RM
I. Follow-Up

1. Keluhan :
a. Tidak ada keluhan.

2. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum, tanda vital, dan status gizi
KU: baik TD: 150/90 mmHg BB: 60 Kg
Suhu: 36,9 0C TB: 150 cm
Nadi: 84 x/menit IMT: 26,6Kg/m2
RR: 20 x/menit Status gizi: Berat badan
berlebih

b. Status Generalis

Mata : konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-)

THT : dbn
Paru : Auskultasi; Vesikuler (normal/normal),
Rhonki (-/-),Wheezing (-/-)
Jantung : BJ I>BJ II, bising (-), murmur (-)
Abdomen : Simetris, soepel, peristaltik (+)

Ekstremitas : Sianosis perifer (-/-), CRT < 2 detik

3. Pemeriksaan Laboratorium: Pasien tidak ada melakukan pemeriksaan


laboratorium.
II. Diagnosis Holistik (Assessment)

1. Aspek Personal : Tidak ada keluhan yang dirasakan saat kunjungan yang
kedua.
2. Aspek Klinik : Hipertensi Stage I tidak terkontrol
3. Aspek Resiko Internal : Pasien sudah mengurangi konsumsi daging, seafood,
jeroan, dan makanan asin lainnya.
4. Aspek Resiko Eksternal : Keluarga pasien juga sudah mengurangi makan
makanan yang bersantan, lemak dan asin.
5. Derajat Fungsional : Derajat 1 pasien tidak mengalami kesulitan dalam
aktivitas sehari-hari.
III. Rencana Penatalaksanaan Pasien

1. Health promotion : Pasien diberikan penjelasan (edukasi) untuk


mempertahankan pola makan sehat dan membatasi konsumsi garam.
2. Spesific Protection : Sama seperti sebelumnya, pasien dianjurkan untuk
melakukan pemeriksaan tekanan darah dan konsumsi obat tekanan darah tinggi
secara rutin.
3. Promt treatment : Amlodipin 1 x 5 mg dan Paracetamol 3 x 500 mg
4. Disability limitation : Pasien tidak memiliki keterbatasan dalam kegiatan
sehari-hari.
5. Rehabilitation : Pada pasien ini belum perlu dilakukan rehabilitasi.
IV. Faktor Pendukung dan Penghambat Pengobatan

1. Faktor pendukung :
a. Pasien mau mengikuti saran dokter untuk mengubah pola makan (diet).
b. Pasien melakukan aktivitas fisik serta mulai ingin memeriksakan tekanan
darah secara rutin.
c. Pasien mulai melakukan olahraga secara rutin
d. Pasien mulai meminum obat teratur

2. Faktor penghambat :
a. Kesukaan pasien terhadap makanan tinggi garam yang membuat pasien
sulit untuk mengikuti anjuran dokter untuk mengubah pola makan (diet).
Pada saat kunjugan pertama dilakukan, suami dan anak pasien tidak
berada di rumah. Suami pasien sedang bekerja, sedangkan anak pasien sedang
ke sekolah.

Dokumentasi Kegiatan
Banda Aceh, 21 Februari 2019
Disahkan Oleh :

Pembimbing I Pembimbing II

dr. Nurcahayati dr. Cut Laila Fauzia Rusli


NIP. 19780714 200804 2 001 Peg. 800/SPK/20/2017

Mengetahui,

Kepala UPTD PuskesmasMeuraxa

drg. Lia Silvianty Nasty


NIP. 19790110200604 2 005

Anda mungkin juga menyukai