Anda di halaman 1dari 39

PRESENTASI KASUS KECIL BANGSAL RSR

HEMATEMESIS MELENA EC RUPTUR VARISES ESOPHAGUS


SIROSIS HEPATIS
ANEMIA EC BLOOD LOSS
HEP C

Pembimbing :
dr. Suharno, Sp. PD-
KGEH

Disusun oleh:
Deborah Oriona V. G4A015089
M. Danantyo Himawan G4A015091
Rizkyastari G4A015175
Mas Anto A. Wibowo G1A012080

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
SMF ILMU PENYAKIT DALAM
RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
PURWOKERTO

2017
LEMBAR PENGESAHAN

PRESENTASI KASUS KECIL BANGSAL RSR

HEMATEMESIS MELENA EC RUPTUR VARISES ESOPHAGUS


SIROSIS HEPATIS
ANEMIA EC BLOOD LOSS

Disusun oleh :
Deborah Oriona V. G4A015089
M. Danantyo Himawan G4A015091
Rizkyastari G4A015175
Mas Anto A. Wibowo G1A012080
Diajukan untuk memenuhi syarat
mengikuti Kepaniteraan Klinik
di Bagian Ilmu Penyakit Dalam
RSUD Prof. DR. Margono Soekarjo Purwokerto

telah disetujui dan dipresentasikan


pada tanggal: Juni 2017

Purwokerto, Juni 2017


Pembimbing,

dr. Suharno, Sp. PD-KGEH


I. LAPORAN KASUS

A. Identitas Penderita
Nama : Tn. HS
Umur : 45 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Status : Menikah
Pekerjaan : Swasta
Tanggal masuk RSUD : 27 Desember 2018
Tanggal periksa : 27 Desember 2018
No.CM : 3027064

B. ANAMNESIS
1. Keluhan utama :
Sulit menelan
2. Keluhan tambahan :
Penurunan berat badan, dan badan teras lemas
3. Riwayat penyakit sekarang
Pasien datang ke IGD RSUD tanggal 27 Desember 2018 dengan keluhan
sulit menelan. Keluhan sulit menelan dirasakan semenjak 3 minggu yang
lalu. Pasien mengatakan bahwa saat menelan terasa nyeri di tenggorokan
dan saat menelan pun terasa mengganjal. Karena itu semenjak 3 minggu
yang lalu juga pasien mengatakn dirinya menjadi malas makan. Pasien
juga mengeluhkan penurunan berat badan yang cukup hebat sejak 3 bulan
yang lalu. Pasien mengatakan bahwa keluhan penurunan berat badan dan
kelemahan pada tubuh dirasakan semenjak pasien dirawat di rumah sakit
di Batam akibat penyakit stroke perdarahan. Pasien sempat mengalami
stroke perdarahan dan dirawat selama 1 minggu di batam. Pasien
mengatakan bahwa dirinya memiliki sakit darah tinggi dan gula yang
sudah diderita sejak lama namun tidak pernah berobat. Pasien merupakan
ODHA dan sudah rutin mengkonsumsi ARV sejak 15 tahun yang lalu.
Namun, menurut pengakuan pasien, saat pasien dirawat di Batam jenis
ARV diganti, dan semenjak itu pasien merasakan keluhan oenurunan berat
badan dan rasa lemas dan lemah. Pasien sudah menikah dan memiliki 2
orang anak. Pasien sudah menikah selama 10 tahun istri nya yang juga
ODHA. Kedua anak pasien sehat. Sebelum sakit, pasien merupakan
manager di sebuah diskotik di Bali. Setelah terdiagnosa dan rutin
mengkonsumsi ARV pasien pindah ke Batam dan menjadi aktivis KPA.
4. Riwayat penyakit dahulu
a. Riwayat penyakit yang sama : disangkal
b. Riwayat darah tinggi : diakui (tidak berobat)
c. Riwayat penyakit gula : diakui (tidak berobat)
d. Riwayat alergi : disangkal
e. Riwayat sakit ginjal : disangkal
f. Riwayat penyakit jantung : disangkal
g. Riwayat sakit kuning/liver : disangkal
h. Riwayat sakit tenggorokan/penyakit kulit: disangkal
i. Riwayat konsumsi obat-obatan : ARV (Tenovovir)
5. Riwayat penyakit keluarga
a. Riwayat penyakit yang sama : disangkal
b. Riwayat darah tinggi : disangkal
c. Riwayat penyakit gula : disangkal
d. Riwayat asma : disangkal
e. Riwayat alergi : disangkal
6. Riwayat sosial dan exposure
a. Community
Pasien sudah menikah dan memiliki 2 orang anak. Pasien menikah
selama 10 tahun dengan istrinya yang juga ODHA. Kedua anak pasien
dilahirkan dengan operasi Caesar dan sehat. Pasien tinggal Bersama
dengan istri dan kedua anaknya di lingkungan yang cukup padat
penduduk. Hubungan pasien dengan keluarga dan tetangga harmonis
dan baik.
b. Home
Pasien tinggal di sebuah rumah beralaskan keramik dan beratap
genteng bersama keluarganya. Rumah terdiri dari 3 kamar dan masing-
masing dihuni oleh 1-2 orang. Kamar mandi berada di dalam rumah.
c. Occupational
Pasien adalah seorang mantan karyawan swasta .
d. Personal habit
Pasien mempunyai kebiasaan jarang minum air putih. Pasien mehgaku
sangat suka minuman kemasan dan hampir setiap hari mengkonsumsi
minuman tersebut.
e. Drugs and Diet
Menu makan pasien bervariasi terdiri dari nasi dan sayur-mayur,
terkadang lauk-pauk. Pasien makan sehari 3 kali. Namun semenjak 3
bulan yang lalu, nafsu makan pasien berkurang dan menjadi malas
makan. Pasien merupakan ODHA yang sudah mengkonsumsi ARV
selama 15 tahun
f. Biaya pengobatan
Pasien berasal dari keluarga dengan sosial ekonomi menengah. Pasien
tidak mempunyai jaminan kesehatan.

C. PEMERIKSAAN FISIK
27 Desember 2018 di IGD
1. Keadaan umum : Sedang
2. Kesadaran : Compos mentis
Vital sign tanggal
a. Tekanan darah : 180/100 mmHg
b. Nadi : 86 ×/menit reguler, isi cukup
c. Pernapasan : 19 ×/menit
d. Suhu : 36.9 °C
3. Tinggi badan : 170 cm
4. Berat badan : 45 kg
5. Status gizi (IMT) : 15.6 kg/m2 (underweight)
6. Status generalis
a. Pemeriksaan kepala
1) Bentuk kepala
Mesocephal, simetris, venektasi temporalis (-)
2) Rambut
Warna rambut sudah beruban, tidak rontok dan terdistribusi
merata.
3) Mata
Simetris, edema palpebra (-/-) konjungtiva anemis (+/+),
sklera ikterik (-/-), mata kering (-), refleks cahaya (+/+)
normal, pupil isokor diameter 3 mm.
4) Telinga
Discharge (-/-)
5) Hidung
Discharge (-), deformitas (-) dan napas cuping hidung (-)
6) Mulut
Bibir kering (-), bibir pucat (-), bibir sianosis (-), lidah
sianosis (-), lidah kotor (-)
b. Pemeriksaan leher
Deviasi trakea (-), pembesaran kelenjar tiroid (-)
Palpasi : JVP 5+2cm
c. Pemeriksaan thorax
Paru
Inspeksi : dinding dada tampak simetris dan tidak tampak
ketertinggalan gerak antara hemithorax dekstra dan
sinistra. Kelainan bentuk dada (-), retraksi
intercostalis (-).
Palpasi : Apex vokal fremitus sinistra = dextra
Basal vokal fremitus sinistra = dextra
Perkusi : Perkusi orientasi seluruh lapang paru sonor
Batas paru-hepar SIC V LMCD
Auskultasi : Apex suara dasar vesikuler +/+, RBH-/-, RBK-/-
Basal suara dasar vesikuler +/+ dan Wheezing-/-
Jantung
Inspeksi : Ictus Cordis tidak tampak
P.parasternal (-) p.epigastrium (-).
Palpasi : Ictus Cordis teraba pada SIC V 2 jari lateral LMCS,
kuat angkat (-)
Perkusi : Batas atas kanan : SIC II LPSD
Batas atas kiri : SIC II LPSS
Batas bawah kanan : SIC IV LPSD
Batas bawah kiri : SIC VI 2 jari lateral LMCS
Auskultasi :S1>S2 reguler, Gallop (-), Murmur (-)
d. Pemeriksaan abdomen
Inspeksi : Cembung, Darm contour (-), Darm steifung (-)
Auskultasi : bising usus (+) terdengar setiap 2-5 detik (normal)
Perkusi : timpani, pekak sisi (+), pekak alih (+), nyeri ketok
costo vertebrae (-/-)
Palpasi : supel, nyeri tekan (-)
Hepar : tidak teraba
Lien : tidak teraba
e. Pemeriksaan ekstremitas
Pemeriksaan Ekstremitas Ekstremitas
superior inferior
Dextra Sinistra Dextra Sinistra
Edema (pitting) - - - -
Sianosis - - - -
Kuku kuning - - - -
(ikterik)
Akral dingin - - - -
Reflek fisiologis
Bicep/tricep + + + +
Patela + + + +
Reflek patologis
Reflek babinsky - - - -
Sensoris D=S D=S D=S D=S

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium
27/12/19
No Jenis Pemeriksaan Hasil Ket.
1 Hb 10.5 gr/dL (L)
2 Leukosit 19.700 /ul (H)
3 Ht 29 % (L)
4 Eritrosit 3.0 x 106 /ul (L)
5 Trombosit 253.000 /ul (N)
6 SGOT 32 u/L (N)
7 SGPT 35 u/L (N)
8 Ur 376 mg/dL (H)
9 Cr 12.3 Mg/dL (H)
10 GDS 100 g/dL (N)
11 Na 133 mg/dl (N)
12 K 8.1 ug/dl (H)
13 Cl 103 mg/dl (N)

Pemeriksaan Urin Rutin


No Jenis Pemeriksaan Hasil
1 Warna Kuning
2 Kejernihan Keruh
3 Ph 6.5
4 BJ 1.020
5 Protein Positif 2
6 Leukosit >100
7 Eritrosit >100
8 Epitel 8-10
Pemeriksaan EKG

E. DIAGNOSIS KERJA
CKD Stage V ec PGH dengan Hiperkalemia
HT urgency
HHD
B20 on ARV
ISK
Candidiasis Esofagus

F. PENATALAKSANAAN
1. Non Farmakologis
Diet MC 6x200cc rendah garam rendah protein
IVFD NaCl 0.9% asnet
Stop ARV sementara
2. Farmakologi :
a. Inj. Ceftriaxone 2x1 g / iv
b. Inj. Furosemid 1x1 amp / iv
c. Inj. Omeprazole 1x1 amp / iv
d. Inj. Ca Glukonas 1x1 amp / iv (extra)
e. Bolus Novorapid 10 IU dalam D40% 2flc (extra)
f. Meylon 100 meq dalam NaCl 0.9% 100cc tetesan cepat (extra)
g. P.O. Fluconazole 1x150 mg
h. P.O. Cotrimoxazole 1x960 mg
i. P.O. Amlodipin 1x10 mg
j. P.O. Candesartan 1x16 mg
k. P.O. Asam Folat 1x5 mg
l. P.O. Callos 3x1 tab
m. P.O. Prorenal 3x1 tab

G. PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad malam
Ad fungsional : dubia ad malam
Ad sanationam : dubia ad malam

Follow up dan penatalaksanaan


Tanggal Subjective Objective Assessment Planning
28/12/2018 S : badan terasa lemas, mual, sakit menelan
O : Kes CM
TD 170/80 mmHg; HR 64 x/I; RR 20 x/I; T 36,2˚C
Laboratorium (28/12/2018)
Natrium : 135 mg/dl
Kalium : 7.5 mg/dl
Clorida : 106 mg/dl
Hasil USG : Awal Proses Kronis pada ginjal
Hasil Foto Thorax : Susp. Bronchitis, tidak tampak
kardiomegali
A : CKD Stage V ec PGH dengan Hiperkalemia
HT urgency
B20 on ARV
ISK
Candidiasis Esofagus
P : Bisoprolol 1x10 mg
Inj. Ca Glukonas 1x1 amp (extra)
Bolus Novorapid 10 IU dalam D40% 2flc (extra)
Meylon 100 meq dalam NaCl 0.9% 100cc tetesan cepat
(extra)
Bila kondisi stabil, Rujuk RSBK untuk HD
Terapi lain lanjut
29/12/2018 S : badan terasa lemas, mual, sakit menelan
O : Kes CM
TD 140/80 mmHg; HR 76 x/I; RR 20 x/I; T 36,5˚C
Laboratorium (29/12/2018)
Natrium : 138 mg/dl
Kalium : 6.0 ug/dl
Clorida : 105 mg/dl
Ureum : 296 mg/dl
Kreatinin : 9.7 mg/dl
A : CKD Stage V ec PGH dengan Hiperkalemia
HT urgency
B20 on ARV
ISK
Candidiasis Esofagus
P : Terapi lain lanjut, Bila kondisi stabil, Rujuk RSBK untuk
HD

30/12/2019 S : keluhan mulai membaik


O : Kes CM
TD 140/80 mmHg; HR 82 x/I; RR 20 x/I; T 36,8˚C
Laboratorium (29/12/2018)
Natrium : 138 mg/dl
Kalium : 6.0 ug/dl
Clorida : 105 mg/dl
Ureum : 296 mg/dl
Kreatinin : 9.7 mg/dl
A : CKD Stage V ec PGH dengan Hiperkalemia
HT urgency
B20 on ARV
ISK
Candidiasis Esofagus
P : Inj. Ca Glukonas 1x1 amp (extra)
Bolus Novorapid 10 IU dalam D40% 2flc (extra)
Rencana ARV (ABC/3TC/Aluvia)
Terapi lain lanjut
31/12/20198 S : Tidak ada keluhan
O : Kes CM
TD 120/80 mmHg; HR 88 x/I; RR 20 x/I; T 36,8˚C
Laboratorium (31/12/2018)
Natrium : 137 mg/dl
Kalium : 5.6 ug/dl
Clorida : 108 mg/dl
A : CKD Stage V ec PGH dengan Hiperkalemia
HT urgency
B20 on ARV
ISK
Candidiasis Esofagus
P : Terapi lain lanjut
01/01/2019 S : keluhan (-)
O : Kes CM
TD 110/70 mmHg; HR 82 x/I; RR 20 x/I; T 36,8˚C
A : CKD Stage V ec PGH dengan Hiperkalemia
HT urgency
B20 on ARV
ISK
Candidiasis Esofagus
P : Terapi lanjut
02/01/2019 S : keluhan (-)
O : Kes CM
TD 110/70 mmHg; HR 92 x/I; RR 20 x/I; T 36,8˚C
A : CKD Stage V ec PGH dengan Hiperkalemia
HT urgency
B20 on ARV
ISK
Candidiasis Esofagus
P : Boleh Pulang. Pasien kembali ke Batam untuk rencana HD
di RSBK

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Varises Esophagus
Varises esofagus merupakan sistem porta sistemik kolateral, terjadi
akibat distensi vena submukosa yang diproyeksikan ke dalam lumen
esofagus (World Gastroenterology Organisation Global Guidlines, 2014).
Varises esophagus terjadi akibat adanya hipertensi porta, yag disebabkan
karena adanya kesalahan hemodinamik, hal ini biasnaya terjadi pada
orang dengan sirosis hepatis (Berzigotti et al, 2001).
1. Epidemiologi
Varises esophagus merupakan komplikasi besar yang terjadi akibat
adanya hipertensi porta pada sirosis hepatis. Sekitar 50% pasien sirosis
hepatis mengalami varises esophagus dan 5–15 % menunjukan perburukan
varises esophagus setiap tahun (Hilzenrat, 2012). Menurut World
Gastroenterology Organisation Global Guidlines tahun 2014 menyebutkan
bahwa, lokasi terbanyak terjadi varises adalah di esophagus yaitu sekitar
30% sampai 70%. Selain itu, disebutkan bahwa pasien dengan sirosis
hepatis 9–36% diprediksikan akan memiliki varises esophagus dengan
risiko perdarahan sekitar 1–2 % kasus. Terdapat perbedaan signifikan
antara pasien yang memiliki Child Puhg Score rendah dengan pasien yang
memiliki Child Puhg Score tinggi, semakin tinggi Child Puhg Score maka
semakin tinggi kejadian varices esophagus yaitu mencapai 85%. Walaupun
pengelolaan perdarahan gastrointestinal telah banyak berkembang namun
mortalitasnya relatif tidak berubah, masih berkisar 8-10%. Hal ini
dikarenakan bertambahnya kasus perdarahan dengan usia lanjut dan akibat
komorbiditas yang menyertai.
2. Etiologi
Etiologi terjadinya varises esofagus dan hipertensi portal adalah
penyakit-penyakit yang dapat mempengaruhi aliran darah portal. Etiologi
ini dapat diklasifikasikan sebagai prehepatik, intrahepatik, dan
pascahepatik (Hilzenrat, 2012).
Tabel 1. Etiologi hipertensi portal

Pre Hepatik Intra Hepatik Pasca Hepatik


 Trombosis vena  Fibrisis hepatik  Sindroma
plenik kongenital Budd-Chiari
 Trombosis vena  Hipertensi portal  Trombosis vena
porta idiopatik kava inferior
 Kompresi  Tuberkulosis  Perikarditis
 Schistosomiasis
ekstrinsik pada konstriktif
 Sirosis bilier primer  Penyakit hati
vena porta  Sirosis alkoholik
 Sirosis virus hepatitis B venooklusif
 Sirosis virus hepatitis C
 Penyakit wilson
 Defisiensi antitripsin
alfa-1
 Hepatitis aktif kronis
 Hepatitis fulminan

3. Faktor Risiko
Faktor risiko terjadinya varices esophagus terdiri dari (World
Gastroenterology Organisation Global Guidlines, 2014) :
1. Tahap awal terjadinya varices esophagus
a. International Normalized Ratio (INR) score > 1.5
b. Diameter vena portal >13mm
c. Trombositopeni
d. Nilai tekanan vena porta yang tinggi > 10mmHg
2. Progresifitas varices esophagus menjadi derajat yang lebih besar
a. Sirosis yang tidak terkompensasi (Child Puhg Score B/C)
b. Sirosis alkoholik
3. Terjadinya perdarahan pada varices esophagus
a. Varices esophagus yang besar dengan diameter >5mm, dan
memiliki red color sign
b. Alkoholik yang tidak berhenti
c. Nilai tekanan vena porta > 16 mmHg
d. Koagulopati
Tabel 2. Klasifikasi beratnya sirosis dari Child-Pugh
(Dite P, et al., 2007)

4. Patomekanisme
Sirosis merupakan fase akhir dari penyakit hati kronis yang paling
sering menimbulkan hipertensi portal. Tekanan vena porta merupakan hasil
dari tahanan vaskuler intrahepatik dan aliran darah pada portal bed. Pada
sirosis, tahanan vaskuler intrahepatik dan aliran porta keduanya sama-
sama meningkat. Bila ada obstruksi aliran darah vena porta, apapun
penyebabnya, akan mengakibatkan naiknya tekanan vena porta. Tekanan
vena porta yang tinggi merupakan penyebab dari terbentuknya kolateral
portosistemik. Walaupun demikian, adanya kolateral ini tidak dapat
menurunkan hipertensi portal karena adanya tahanan yang tinggi dan
peningkatan aliran vena porta. Kolateral portosistemik ini dibentuk oleh
pembukaan dan dilatasi saluran vaskuler yang menghubungkan sistem
vena porta dan vena kava superior dan inferior. Aliran kolateral melalui
pleksus vena-vena esofagus menyebabkan pembentukan varises esofagus
yang menghubungkan aliran darah antara vena porta dan vena kava
(Berzigotti et al, 2001).
Pleksus vena esofagus menerima darah dari vena gastrika sinistra,
cabang-cabang vena esofagus, vena gastrika brevis (melalui vena
splenika), dan akan mengalirkan darah ke vena azigos dan hemiazigos.
Sedangkan vena gastrika sinistra menerima aliran darah dari vena porta
yang terhambat masuk ke hepar. Sistem vena porta tidak mempunyai
katup, sehingga tahanan pada setiap level antara sisi kanan jantung dan
pembuluh darah splenika akan menimbulkan aliran darah yang retrograde
dan transmisi tekanan yang meningkat. Anastomosis yang menghubungkan
vena porta dengan sirkulasi sistemik dapat membesar agar aliran darah
dapat menghindari (bypass) tempat yang obstruksi sehingga dapat secara
langsung masuk dalam sirkulasi sistemik. Perbedaan tekanan antara
sirkulasi porta dan sistemik (hepatic venous pressure gradient, HVPG)
sebesar 10–12 mmHg diperlukan untuk terbentuknya varises. HVPG yang
normal adalah sekitar 5–10 mmHg. Pengukuran tunggal berguna untuk
menentukan prognosis dari sirosis yang kompensata maupun yang tidak
kompensata, sedangkan pengukuran ulang berguna untuk memonitoring
respon terapi obat-obatan dan progresifitas penyakit hati (Berzigotti et al,
2001).
Apabila tekanan pada dinding vaskuler sangat tinggi dapat terjadi
pecahnya varises. Kemungkinan pecahnya varises dan terjadinya
perdarahan akan meningkat sebanding dengan meningkatnya ukuran atau
diameter varises dan meningkatnya tekanan varises, yang juga sebanding
dengan HVPG. Sebaliknya, tidak terjadi perdarahan varises jika HVPG di
bawah 12 mmHg. Risiko perdarahan ulang menurun secara bermakna
dengan adanya penurunan dari HVPG lebih dari 20% dari baseline. Pasien
dengan penurunan HVPG sampai <12 mmHg, atau paling sedikit 20% dari
baseline, mempunyai kemungkinan yang lebih rendah untuk terjadi
perdarahan varises berulang, dan juga mempunyai risiko yang lebih rendah
untuk terjadi asites, peritonitis bakterial dan kematian.
Peran keseimbangan anatara vasodilator seperti nitrit oksida dan
vasokonstriktor seperti prostaglandin pada pembuluh darah merupakan
salah satu penyebab terjadinya hipertensi porta dan varises esophagus,
ketidakseimbangan antara vasokonstriktor dan vasodilator pada pembuluh
darah dapat disebebakan adanya disfungsi endotelial intrahepatik. Selain
itu, varises esopagus dan hipertensi porta dapat disebabkan karena adanya
distorsi pada pembuluh darah hepatik yang dapat menyebabkan
peningkatan resistensi perifer pembuluh darah hepatik (Maruyama et al,
2012).
Perdarahan varises esophagus dapat terjadi akibat adanya erosi
(erosion) dan eksplosi (explosion). Perdarahan varises esophagus sebab
erosi dapat terjadi akibat adanya trauma eksternal pada varises esophagus,
seperti esophagitis, ulcerasi esophagus, dan memakan makanan yang
terlalu padat sehingga saat masuk kesaluran cerna (esophagus) dapat
menyebabkan perdarahan pada varises esophagus. Perdarahan esophagus
sebab eksplosi terjadi akibat adanya hipertensi porta yang menyebabkan
semakin tereganggangnya varises esophagus dan peningkatan tekanan
pada varises esophagus, sampai akhirnya terjadi perdarahan karena
dinding varises esophagus yang tipis tidak dapat menahan tekanan yang
tinggi didalam varises esophagus (Berzigotti et al, 2001).
Perdarahan saluran cerna bahgian atas dapat bermanifestasi klinis
mulai dari yang ringan sampai berat, misalnya perdarahan tersamar sampai
pada keadaan yang mengancam hidup. Berbagai macam manifestasi
perdarahan pada saluran cerna, salah satunya adalah hematemesis, melena,
dan hematokezia. Hematemesis adalah muntah darah segar (merah segar)
atau hematin (hitam seperti kopi) yang merupakan indikasi adanya
perdarahan saluran cerna bagian atas atau proksimal ligamentum Treitz.
Perdarahan saluran cerna bagian atas (SCBA) seperti melena, cirinya
adalah kotoran (feses) yang berwarna gelap, dikarenakan kotoran
bercampur asam lambung, perdarahan ini biasanya terjadi pada varises
esophagus. Hematokezia (darah segar keluar peranum) biasanya berasal
dari perdarahan saluran cerna bagian bawah (kolon), biasnaya berwarna
merah marun, biasanya dijumpai pada pasien dengan perdarahan masif
akibat dari transit time dalam usus yang pendek (Prasanti, 2013).

5. Diagnosis
Varises esofagus biasanya tidak memberikan gejala bila varises
belum pecah yaitu bila belum terjadi perdarahan. Oleh karena itu, bila
telah ditegakkan diagnosis sirosis hendaknya dilakukan skrining diagnosis
melalui pemeriksaan esofagogastroduodenoskopi (EGD) yang merupakan
standar baku emas untuk menentukan ada tidaknya varises esofagus. Bila
standar baku emas tidak dapat dikerjakan atau tidak tersedia, langkah
diagnostik lain yang mungkin dapat dilakukan adalah dengan
ultrasonografi Doppler dari sirkulasi darah (bukan ultrasonografi
endoskopik). Alternatif pemeriksaan lainnya adalah pemeriksaan
radiografi dengan menelan barium dari esofagus dan lambung, dan
angiografi vena porta serta manometri (Vaezi MF, 2006)
Pada pemeriksaan-pemeriksaan tersebut, sangatlah penting menilai
lokasi (esofagus atau lambung) dan besar varises, tanda-tanda adanya
perdarahan yang akan terjadi (imminent), perdarahan yang pertama atau
perdarahan yang berulang, serta bila mungkin untuk mengetahui penyebab
dan beratnya penyakit hati (Dite P, et al., 2007).
Varises esofagus biasanya dimulai dari esofagus bagian distal dan
akan meluas sampai ke esofagus bagian proksimal bila lebih lanjut.
Berikut ini adalah derajat dari varises esofagus berdasarkan gambaran
endoskopis (Block B, et al., 2004).
Gambar 1. Derajat varises esofagus

Pada pemeriksaan endoskopi didapatkan gambaran derajat 1, terjadi


dilatasi vena (<5 mm) yang masih berada pada sekitar esofagus. Pada
derajat 2 terdapat dilatasi vena (>5 mm) menuju kedalam lumen esofagus
tanpa adanya obstruksi. Sedangkan pada derajat 3 terdapat dilatasi yang
besar, berkelok-kelok, pembuluh darah menuju lumen esofagus yang
cukup menimbulkan obstruksi. Dan pada derajat 4 terdapat obstruksi
lumen esofagus hampir lengkap, dengan tanda bahaya akan terjadinya
perdarahan (cherry red spots) (Ala I, et al., 2001).
Perdarahan varises didiagnosis atas dasar ditemukannya satu dari
penemuan pada endoskopi, yaitu tampak adanya perdarahan aktif, white
nipple, bekuan darah pada varises. Sedangkan adanya red wale markings
atau cherry red spots yang menandakan baru saja mengeluarkan darah atau
adanya risiko akan terjadinya perdarahan (Block B, et al., 2004).

Gambar 2. red wale markings atau cherry red spots

Pada pasien sirosis hepatis diperlukan surveilen endoskopi untuk


pencegahan komplikasi dari penyakit sirosis hepatis (Tripathi D, et al.,
2015).
Gambar 3. Algoritma surveilen endoskopi varises dan profilaksis primer
pada pasien sirosis hepatis.
6. Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan perdarahan gastrointestinal adalah stabilisasi
pada hemodinamik, meminimalkan komplikasi dan mempersiapkan terapi
yang efektif untuk mengontol perdarahan. Resusitasi awal harus dengan
cairan intravena dan produk darah, serta penting perlindungan pada
saluran nafas. Setelah dicapai hemodinamik yang stabil, namun bila
perdarahan terus berlanjut hendaknya dilakukan pemeriksaan endoskopi
untuk melihat sumber perdarahan, dan untuk identifikasi kemungkinan
pilihan terapi seperti skleroterapi, injeksi epineprin atau elektrokauter
(Bendtsen F, 2008).
Gambar 4. Algoritma penatalaksanaan varises esophagus (Bendtsen F, 2008).
Terapi Farmakologi
Prinsip pemberian farmakoterapi adalah menurunkan tekanan vena
porta dan intravena. Ada dua farmakoterapi yang direkomendasikan untuk
pentatalaksanaa perdarahan varises esofagus yaitu: vasopresin atau
analognya dan somatostatin atau analognya (Block B, et al., 2004).
Vasopresin adalah vasokonstriktor kuat yang efektif nenurunkan
tekanan portal dengan menurunkan aliran darah portal yang menyebabkan
vasokonstriksi splanknik. Penatalaksanaan dengan obat vasoaktif
sebaiknya mulai diberikan saat datang ke rumah sakit pada pasien dengan
hipertensi portal dan dicurigai adanya perdarahan varises. Dikutip dari
Science Direct, tujuan pemberian farmakoterapi adalah untuk menurunkan
tekanan portal, yang berhubungan erat dengan tekanan varises. Terapi ini
rasional bila tekanan portal yang tinggi (> 20 mmHg) dengan prognosis
yang kurang baik (Era AD, et al., 2008).
Terlipresin adalah turunan dari vasopresin sintetik yang long
acting, bekerja lepas lambat. Memiliki efek samping kardiovaskuler lebih
sedikit dibandingkan dengan vasopresin. Pada pasien dengan sirosis dan
hipertensi porta terjadi sirkulasi hiperdinamik dengan vasodilatasi.
Terlipresin memodifikasi sistem hemodinamik dengan menurunkan
cardiac output dan meningkatkan tekanan darah arteri dan tahanan
vaskuler sistemik. Terlipresin memiliki efek menguntungkan pada pasien
dengan kegagalan hepatorenal, yaitu dengan kegagalan fungsi ginjal dan
sirosis dekompensata. Dengan demikian, dapat mencegah gagal ginjal,
yang sering terdapat pada pasien dengan perdarahan varises. Ketika
dicurigai perdarahan varises diberikan dosis 2 mg/jam untuk 48 jam
pertama dan dilanjutkan sampai dengan 5 hari kemudian dosis diturunkan
1 mg/jam atau 12-24 jam setelah perdarahan berhenti. Efek samping
terlipresin berhubungan dengan vasokonstriksi seperti iskemia jantung,
infark saluran cerna dan iskemia anggota badan (Era AD, et al., 2008).
Somatostatin menyebabkan vasokonstriksi spesifik pada pembuluh
darah splanknic dan menurunkan tekanan dan aliran darah pada vena
porta. Octreotide adalah analog somatostatin. Mekanisme kerja belum
diketahui secara jelas. Aksi octreotide di hepar dan sistem hemodinamik
bersifat sementara, sehingga perlu diberikan terus menerus melalui infus.

Octreotid diberikan dengan dosis 50 bolus dilanjutkan infus 25-50

/jam. Somatostatin diberikan sebesar 250 mg bolus intavena dilanjutkan

250 mg/jam. Somatostatin dan octreotide telah menunjukkan keefektifan


yang sama dengan terlipressin pada perdarahan varises akut (Well M, et
al., 2012).
Intervensi antibiotik untuk bakteri gram negative menunjukkan
pengaruh yang baik pada kasus perdarahan varises esophagus (Chaves, et
al., 2011). Meskipun demikian, pemberian antibiotik perlu
dipertimbangkan pada pasien sirosis hepatis dengan perdarahan varises
karena munculnya tanda infeksi yang tidak berpengaruh. Golongan
cephalosporin generasi ketiga, misalnya ceftriaxone (1gr IV/hari) telah
terbukti lebih efektif untuk menurunkan sepsis akibat bakteri gram negatif
dibandingkan norfloxacin per oral, namun untuk pemilihan antibiotic perlu
mempertimbangkan pola resistensi dan ketersediaan antibiotic (Femandez
J, et al., 2006).
Terapi Endoskopi
Terapi endoskopi dilakukan pada kasus perdarahan varises, terutama
dalam upaya mencapai homeostasis. Temuan endoskopi juga berguna
sebagai indikator prognosis risiko perdarahan ulang. Teknik endoskopi
yang digunakan mencapai homeostasis adalah dengan memutus aliran
darah kolateral dengan cepat seperti ligasi atau skleroterapi karena
trombosis. Endoskopi dapat dilakukan pada pasien dengan varises
esofagus sebelum perdarahan pertama terjadi, saat perdarahan berlangsung
dan setelah perdarahan pertama terjadi.
Sebelum perdarahan pertama
Deteksi varises esofagus sebelum terjadi perdarahan pertama
biasanya dicapai selama pemeriksaan stadium hipertensi portal, jarang
varises terdeteksi secara kebetulan. Harus di ketahui bahwa selama
perencanaan terapi, prognosis lebih tergantung pada tingkat insufisiensi
hati dari pada tingkat keparahan varises esofagus. Varises yang ringan
tidak memerlukan tindakan endoskopi. Dengan varises risiko perdarahan
tinggi dapat diterapi obat-obatan dengan propanolol 80-240 mg/hari yang
dapat di kombinasi dengan 2 X 40 mg/ hari isosorbide mononitrate.
Spironolakton dalam dosis 100-200 mg/ hari dapat diberikan sebagai
alternatif pengganti beta bloker. Tidak dilakukan tindakan endoskopik,
operasi dan transjugular intrahepatic portosystemic shunting (TIPS)
(Bendtsen F, 2008).
Selama perdarahan pertama berlangsung
Pilihan terapi untuk perdarahan varises adalah dengan terapi
endoskopi. Terapi endoskopi terbukti efektif mengendalikan perdarahan
aktif dan dapat menurunkan mortalitas serta efektif mencegah perdarahan
varises berulang di bandingkan terapi medikamentosa dengan vasopresin
atau tamponade balon. Tamponade balon cocok jika endoskopi bukanlah
pilihan atau setelah tindakan endoskopi, operasi atau TIPS yang gagal.
Terapi endoskopi terdiri dari skleroterapi dan ligase (Bendtsen F, 2008).
Bila tindakan endoskopi emergensi tidak dapat dilakukan, maka
terapi farmakologi merupakan alternatif. Prinsip dan karakteristik utama
pemberian obat-obatan adalah untuk menurunkan tekanan vena porta dan
tekanan intravena. Vasopresin dan terlipressin yang telah
direkomendasikan untuk penatalaksanaan perdarahan varises esofagus.
Terlipresin lebih unggul dari vasopresin mempunyai waktu paruh yang
lebih panjang. Terlipresin seharusnya dikombinasi dengan nitrat untuk
mengurangi efek samping yang mungkin akan timbul (iskemia dan
nekrosis). Cara pemberian terlipresin secara intravena dengan dosis 2 mg,
kemudian diulangi 1 mg setiap 4-6 jam, waktu pemberian 2 hingga 3 hari.
Harus selalu diberikan bersamaan dengan gliseril nitrat intravena
menggunakan syringe pump 1-4 mg tiap jam (Bendtsen F, 2008).
Skleroterapi dengan polidocanol (etoksiskerol), pada prinsipnya
adalah memberikan tekanan dan trombosis pada varises, menginduksi
inflamasi dengan akibat terbentuk parut. Disuntikkan pada daerah para
varises atau intra varises. Terapi ini sudah terbukti, baik pada kasus dimana
lapang pandang buruk dan relatif lebih mudah dilakukan. Teknik tindakan
skleroterapi dilakukan dengan posisi miring, bagian atas fleksi, terpasang
oksimetri, alat dimasukan dan perdarahan varises diidentifikasi.
Ligasi bertujuan untuk merangsang trombosis, nekrosis dan
terbentuk parut. Keuntungan terapi ini adalah rata-rata komplikasi rendah,
secara keseluruhan morbiditas dan mortalitas karena perdarahan lebih
rendah dibandingkan skleroterapi, serta awal perdarahan ulang biasanya
jarang dibandingkan dengan skleroterapi. Kerugiannya adalah terbatasnya
pandangan pada kasus perdarahan yang masif, sebab darah pada esofagus
akan menghalagi tutup plastik dimana pita elastik akan dipasang. Varises
di tarik ke dalam ujung endoskop dan diligasi dengan pita plastic
(Bendtsen F, 2008).

Setelah perdarahan pertama


Hasil akhir dari penatalaksanaan emergensi adalah utamanya untuk
mengontrol perdarahan dan mencegah perdarahan berulang.
Varises esofagus di ligasi atau di berikan sklerosan dengan
polidokanol, varises bagian fundus akan dihilangkan dengan histoakril.
Direncanakan untuk evaluasi sekitar 4 hari setelah tercapai hemostasis.
Respon yang baik dengan ligasi atau skleroterapi, selanjutnya di follow up
dalam 4 minggu, tiga bulan dan 6 bulan. Jika varises menetap, skleroterapi
atau ligasi dilanjutkan dalam waktu 2-4 minggu hingga tercapai hasil
eradikasi sempurna. Sisa varises yang kecil biasanya di lanjutkan dengan
ligasi, dapat juga dengan skleroterapi. Propanolol juga dapat diberikan
sebagai terapi tambahan (Block B, et al., 2004).
Transjugular Intrahepatic Portosistemic Shunt (TIPS)
Merupakan cara untuk menurunkan tahanan aliran porta dengan cara
shunt (memotong) aliran melalui hati. Prinsipnya adalah menghubungkan
vena hepatik dengan cabang vena porta intrahepatik. Puncture needle di
masukkan ke dalam vena hepatik kanan melalui kateter jugular.
Selanjutnya cabang vena porta intra hepatik di tusuk, lubang tersebut
dilebarkan kemudian di fiksasi dengan expanding stent (Gambar 5). Hal
ini merupakan cara lain terakhir pada perdarahan yang tidak berhenti atau
gagal dengan farmakoterapi, ligasi atau skleroterapi (Guyton AC & Hall
JE, 2002).

Gambar 5. Skema pemasangan TIPS


7. Prognosis
Pada pasien dengan varises esofagus, sekitar 30% akan mengalami
perdarahan pada tahun pertama setelah didiagnosis. Angka kematian akibat
episode perdarahan tergantung pada tingkat keparahan penyakit hati yang
mendasari. Kematian yang disebabkan karena perdarahan berkisar antara
<10% pada pasien sirosis dengan klasifikasi Child-Pugh A yang
kompensata, sampai >70% pada pasien sirosis dengan Child-Pugh C.
Risiko terjadinya perdarahan ulang tinggi mencapai 80% dalam 1 tahun
(Dite P, et al., 2007).
Pada pasien dengan HVPG >20% mmHg dalam 24 jam pada
perdarahan varises, bila dibandingkan dengan pasien yang tekanannya
lebih rendah, mempunyai risiko yang lebih tinggi untuk terjadinya risiko
perdarahan ulang dalam minggu pertama atau gagal mengontrol
perdarahan, dan mempunyai mortalitas yang lebih tinggi dalam 1 tahun.
Pada pasien yang tidak mendapatkan terapi sekitar 60% akan terjadi
perdarahan ulang yang berlanjut dalam 1-2 tahun (Dite P, et al., 2007).

B. Sirosis Hepatis
1. Definisi
Sirosis hepatis adalah fase lanjut dari penyakit hati kronik yang
menggambarkan stadium akhir fibrosis hepatis yang berlangsung secara
progresif, yang ditandai dengan distorsi struktur hepar dan pembentukan
nodul regeneratif. Sirosis hepatis ditandai oleh proses radang difus menahun
pada hati, nekrosis sel hati, usaha regenerasi dan proliferasi jaringan fibrous
dimana seluruh jaringan hati menjadi rusak disertai dengan pembentukan
regenerasi nodul. Sirosis hepatis pada akhirnya dapat menggangu sirkulasi
darah intrahepatik dan pada kasus lanjut dapat menyebabkan kegagalan
fungsi hati secara bertahap (Nurdjanah, 2009).

2. Epidemiologi dan Insidensi


Sirosis hepatis merupakan penyakit yang banyak dijumpai, baik di
negara maju maupun di negara berkembang. Berdasarkan laporan kesehatan
tahunan WHO tahun 2002, diketahui bahwa estimasi angka mortalitas
penduduk di dunia akibat sirosis hepatis sebesar 1,4% (World Health
Organization, 2004). Di negara maju, sirosis hepatis merupakan penyebab
kematian terbesar ketiga pada pasien yang berusia 45 – 46 tahun (setelah
penyakit kardiovaskuler dan kanker) (Sutadi, 2003).
Penelitian Mary (2010) di Inggris menunjukkan insidensi dan
prevalensi sirosis hepatis di Inggris meningkat 45%. Selama setahun
sebanyak 25 % meninggal pada penderita sirosis dekompensata. Kematian
pada subyek penderita sirosis kompensata dan dekompensata adalah 93 dan
178 per 1000 orang pertahun. Pada penderita sirosis hepatis di Amerika
Serikat, terjadi sekitar 35.000 kematian setiap tahunnya. Sirosis merupakan
penyebab kematian kesembilan di Amerika Serikat dan bertanggung jawab
atas 1,2% dari seluruh kematian. Setiap tahun, 2000 kematian bertambah
karena penyakit ini. Hal ini dikaitkan dengan adanya komplikasi sirosis
yaitu fulminant hepatic failure (FHF) yang memiliki angka kematian 50-80
% kecuali jika dilakukan transplantasi hati (Wolf, 2010). Di Indonesia data
prevalensi sirosis hepatis didapat melalui laporan dari beberapa pusat
pendidikan. Di RS Dr. Sardjito Yogyakarta jumlah pasien sirosis hepatis
berkisar 4,1 % dari pasien yang dirawat di bagian penyakit dalam dalam
kurun waktu 1 tahun (2004). Di Medan dalam kurun waktu 4 tahun dijumpai
pasien sirosis hati sebanyak 819 pasien dari seluruh pasien penyakit di
bagian penyakit dalam (Nurdjanah, 2009).
Menurut Hadi (2000), jumlah rata-rata penderita sirosis hepatis
sekitar 3,4 % dari total penderita penyakit hati dan berada di peringkat
kedua sebagai faktor penyebab penyakit hati, setelah hepatitis virus akut
Penderita sirosis hepatis lebih banyak dijumpai pada laki-laki dibandingkan
dengan wanita sekitar 1,6:1 dengan usia terbanyak antara golongan 30-59
tahun dengan puncak usia sekitar 40-49 tahun.
3. Etiologi
Etiologi sirosis dapat diidentifikasi dengan riwayat pasien yang
dikombinasikan dengan evaluasi serologis dan histologis. Penyakit hati
alkoholik dan hepatitis C merupakan penyebab utama pada negara-negara
Barat, sedangkan hepatitis B merupakan penyebab utama pada wilayah Asia
dan sub-sahara Afrika. Etiologi sirosis penting untuk diketahui, karena hal
tersebut dapat memprediksi komplikasi dan pemilihan treatment. Selain itu
pengetahuan tentang etiologi juga bermanfaat dalam tindakan preventif.
Berbagai faktor etiologi dapat berakibat pada sirosis hati, diantaranya
konsumsi alkohol, umur diatas 50 tahun, dan jenis kelamin pria merupakan
faktor resiko hepatitis C kronis. Obesitas pada usia tua, resistensi
insulin/DM tipe 2, hipertensi dan hiperlipidemia merupakan faktor resiko
NASH (nonalcoholic steatohepatitits). Selain itu Etiologi sirosis hati dapat
disebabkan oleh:
a. Virus hepatitis (B,C,dan D)
b. Alkohol
c. Kelainan metabolik :
2) Hemakhomatosis (kelebihan beban besi)
3) Penyakit Wilson (kelebihan beban tembaga)
4) Defisiensi Alphal-antitripsin
5) Glikonosis type-IV
6) Galaktosemia
7) Tirosinemia
d. Kolestasis
Saluran empedu membawa empedu yang dihasilkan oleh hati ke usus,
dimana empedu membantu mencerna lemak. Pada bayi penyebab sirosis
terbanyak adalah akibat tersumbatnya saluran empedu yang disebut
Biliary atresia. Pada penyakit ini empedu memenuhi hati karena saluran
empedu tidak berfungsi atau rusak. Bayi yang menderita Biliary
berwarna kuning (kulit kuning) setelah berusia satu bulan. Kadang bisa
diatasi dengan pembedahan untuk membentuk saluran baru agar empedu
meninggalkan hati, tetapi transplantasi diindikasikan untuk anak-anak
yang menderita penyakit hati stadium akhir. Pada orang dewasa, saluran
empedu dapat mengalami peradangan, tersumbat, dan terluka akibat
Primary Biliary Sirosis atau Primary Sclerosing Cholangitis. Secondary
Biliary Cirrosis dapat terjadi sebagai komplikasi dari pembedahan
saluran empedu (Sutadi, 2003).
e. Sumbatan saluran vena hepatica
1) Sindroma Budd-Chiari
2) Payah jantung
f. Penyakit autoimun hepar (Hepatitis Lupoid)
g. Toksin dan obat-obatan (misalnya : metotrexat, amiodaron,INH, dan lain
lain)
h. Malnutrisi (Sutadi, 2003)
4. Patogenesis
Jaringan hati memiliki kemampuan regenerasi, dan dalam keadaan
normal mengalami pertukaran sel yang bertahap. Apabila sebagian
jaringan rusak, jaringan yang rusak tersebut diganti melalui peningkatan
kecepatan pembelahan sel yang sehat. Namun, seberapa cepat hepatosis
dapat diganti, tetap memiliki batas. Selain hepatosit, juga ditemukan
beberapa fibroblas (sel jaringan ikat) yang membentuk jaringan penunjang
bagi hati. Jika hati berulangkali terpajan oleh bahan toksik, misalnya
alkohol atau virus, menyebabkan hepatosit baru tidak dapat beregenerasi
cukup cepat untuk mengganti sel-sel yang rusak, fibroblas yang lebih kuat
akan memanfaatkan situasi dan melakukan proliferasi berlebih. Tambahan
jaringan ikat ini menyebabkan ruang untuk pertumbuhan kembali hepatosit
berkurang. Karena nodulus-nodulus pada hepatosit yang berhasil
melakukan regenerasi seringkali kurang berfungsi dan terpisah dari
jaringan pembuluh darah oleh pita jaringan ikat yang tebal, hepatosit yang
baru tumbuh pun kemudian dapat mati kembali (Sherwood, 2001).
Kelainan ini merupakan suatu kerusakan arsitektur sel hepar yang
ireversibel yang mengenai seluruh hepar dan ditandai dengan adanya
fibrosis dan regenerasi noduler. Jumlah jaringan fibrosa sangat banyak
dibandingkan dengan hepar normal dan sel hepar tidak lagi membentuk
asinus atau lobulus, tetapi mengalami regenerasi menjadi pola noduler
setelah cedera berkali-kali. Regenerasi nodul menyebabkan struktur
zona/daerah hepar bentuk lobulus atau asinus menjadi kurang terorganisasi
(Kumar, 2004).
Dalam keadaan normal, sel stelata berperan dalam keseimbangan
pembentukan matriks ekstraselular dan proses degenerasi. Pembentukan
fibrosis menunjukkan perubahan proses keseimbangan. Jika terpapar
faktor tertentu yang berlangsung terus-menerus (hepatitis virus), maka sel
stelata akan menjadi sel yang membentuk kolagen. Jika poroses berjalan
terus maka fibrosis akan berjalan terus di dalam sel stelata, dan jaringan
hari yang normal akan diganti oleh jaringan ikat (Nurdjanah, 2009)
Fibrosis merupakan enkapsulasi atau penggantian jaringan yang
rusak oleh jaringan kolagen. Fibrosis hati merupakan hasil perpanjangan
respon penyembuhan luka normal yang mengakibatkan abnormalitas
proses fibrogenesis (produksi dan deposisi jaringan ikat). Fibrosis
berlangsung dalam berbagai tahap, tergantung pada penyebab kerusakan,
lingkungan, dan faktor host. Sirosis hati merupakan tahapan lanjut dari
fibrosis hati, yang juga disertai dengan kerusakan pembuluh darah. Sirosis
hati menyebabkan suplai darah dari arteri yang menuju hati, berbalik ke
pembuluh vena, merusak pertukaran antara hepatik sinusoid dan jaringan
parenkim yang berdekatan, contohnya hepatosit. Hepatik sinusoid dilapisi
oleh endotel berfenestrasi yang berada pada lapisan jaringan ikat
permeabel (ruang Disse) yang mengandung sel stelat hepatik (HSC) dan
beberapa sel mononuklear. Bagian lain dari ruang Disse dilapisi oleh
hepatosit yang menjalankan sebagian besar fungsi hati. Pada kondisi
sirosis, ruang Disse terisi oleh jaringan parut dan fenestrasi endotel
menghilang, proses ini disebut kapilarisasi sinusoidal. Secara histologis,
sirosis dicirikan oleh septa fibrotik tervaskularisasi yang menghubungkan
portal tract satu dengan yang lainnya dan dengan vena sentral, membentuk
pulau hepatosit yang dikelilingi oleh septa fibrotik yang tidak memiliki
vena sentral. Akibat klinis yang utama dari sirosis adalah terganggunya
fungsi hati, meningkatnya resistensi intrahepatik (portal hipertensi) dan
perkembangan yang mengarah pada hepatoselular karsinoma (HCC).
Abnormalitas sirkulasi general yang terjadi pada sirosis (splachnic
vasodilatation, vasokonstriksi dan hiperfusi ginjal, retensi air dan garam,
meningkatnya output kardiak) sangar erat kaitannya dengan perubahan
vaskularisasi hati dan portal hipertensi. Sirosis dan gangguan vaskular
yang diakibatkannya bersifat irreversibel, namun penyembuhan sirosis
masih mungkin terjadi.
5. Klasifikasi
a. Klasifikasi Morfologi
i. Sirosis mikronoduler
Nodul yang berbentuk uniform, diameter kurang dari tiga milimeter
dimana penyebabnya antara lain: alkoholisme, hemokromatosis,
obstruksi bilier, obstruksi venahepatika, pintasan jejuno-ileal
sirosis pada anak india. Sirosis mikronoduler sering berkembang
menjadi sirosis makronoduler.
ii. Sirosis makronoduler
Nodul bervariasi dengan diameter lebih dari tiga milimeter.
Penyebabnya antara lain: hepatitis kronik B, hepatitis kronik C, dan
defisiensi α-1-antitripsin.
iii. Sirosis campuran
Yaitu golongan mikronudular dan makronudular. Nodul terbentuk
dengan ukuran < 3mm dan ada nodul yang berukuran >3
(Nurdjanah, 2009).
b. Klasifikasi Fungsional
a. Sirosis hepatis kompensata
Sering disebut dengan latent cirrosis hepar. Pada stadium ini belum
terlihat gejala- gejala nyata. Biasanya stadium ini ditemukan pada
saat pemeriksaan skrining.
b. Sirosis hepatis dekomsata
Dikenal dengan active cirrocis hepar. Pada stadium ini biasanya
disertai dengan gejala-gejala yang sudah jelas seperti asites, edema,
dan ikterik (Sutadi, 2003).
6. Manifestasi Klinis
Pada stadium awal (kompensata), dimana kompensasi tubuh terhadap
kerusakan hati masih baik, sirosis seringkali muncul tanpa gejala sehingga
sering ditemukan pada waktu pasien melakukan pemeriksaan kesehatan rutin.
Gejala-gejala awal sirosis meliputi perasaan mudah lelah dan lemas, selera
makan berkurang, perasaan perut kembung, mual, berat badan menurun, pada
laki-laki dapat timbul impotensi, testis mengecil dan dada membesar, serta
hilangnya dorongan seksualitas. Bila sudah lanjut, (berkembang menjadi
sirosis dekompensata) gejala-gejala akan menjadi lebih menonjol terutama
bila timbul komplikasi kegagalan hati dan hipertensi porta, meliputi
kerontokan rambut badan, gangguan tidur, dan demam yang tidak begitu
tinggi. Selain itu, dapat pula disertai dengan gangguan pembekuan darah,
perdarahan gusi, epistaksis, gangguan siklus haid, ikterus dengan air kemih
berwarna seperti teh pekat, hematemesis, melena, serta perubahan mental,
meliputi mudah lupa, sukar konsentrasi, bingung, agitasi, sampai koma
(Nurdjanah, 2009).
Akibat dari sirosis hepatis, maka akan terjadi 2 kelainan yang
fundamental yaitu kegagalan fungsi hati dan hipertensi porta. Manifestasi dari
gejala dan tanda-tanda klinis ini pada penderita sirosis hati ditentukan oleh
seberapa berat kelainan fundamental tersebut (Wolf, 2012).
Tabel 3.1. Gejala kegagalan fungsi hati dan hipertensi porta

Kegagalan fungsi hati akan ditemukan dikarenakan terjadinya


perubahan pada jaringan parenkim hati menjadi jaringan fibrotik dan
penurunan perfusi jaringan hati sehingga mengakibatkan nekrosis pada hati.
Hipertensi porta merupakan gabungan hasil peningkatan resistensi vaskular
intra hepatik dan peningkatan aliran darah melalui sistem porta. Resistensi
intra hepatik meningkat melalui 2 cara yaitu secara mekanik dan dinamik.
Secara mekanik resistensi berasal dari fibrosis yang terjadi pada sirosis,
sedangkan secara dinamik berasal dari vasokontriksi vena portal sebagai efek
sekunder dari kontraksi aktif vena portal dan septa myofibroblas, untuk
mengaktifkan sel stelata dan sel-sel otot polos. Tonus vaskular intra hepatik
diatur oleh vasokonstriktor (norepineprin, angiotensin II, leukotrin dan
trombioksan A) dan diperparah oleh penurunan produksi vasodilator (seperti
nitrat oksida). Pada sirosis peningkatan resistensi vaskular intra hepatik
disebabkan juga oleh ketidakseimbangan antara vasokontriktor dan
vasodilator yang merupakan akibat dari keadaan sirkulasi yang hiperdinamik
dengan vasodilatasi arteri splanknik dan arteri sistemik. Hipertensi porta
ditandai dengan peningkatan cardiac output dan penurunan resistensi
vaskular sistemik (Wolf, 2012).
7. Penegakan Diagnosis
Diagnosis sirosis hepatis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang.
a. Gambaran Klinik
a. Anamnesis
1) Mudah lelah dan lemas
2) Nafsu makan berkurang dan penurunan berat badan
3) Perut kembung, mual
4) Penurunan berat badan
5) Gangguan tidur (Nurdjanah, 2009)
b. Pemeriksaan Fisik
1) Kegagalan fungsi hati (spidernavi, alopesia pectoralis ginekomasti,
atrofi testis, gangguan siklus haid, eritema palmaris, white nail)
2) Hipertensi porta (tekanan sistem porta >10mmHg) ditandai dengan
splenomegali, asites, perdarahan saluran pencernaan seperti BAB
hitam dan muntah hitam atau darah.
3) Ikterus dengan air kemih seperti teh
4) Epistaksis, gusi berdarah (Wolf, 2012).
b. Pemeriksaan Penunjang
a. Tes Fungsi Hati
1) SGOT (serum glutamil oksalo asetat) atau AST (aspartat
aminotransferase) dan SGPT (serum glutamil piruvat
transferase) atau ALT (alanin aminotransferase) meningkat tapi
tidak begitu tinggi. AST lebih meningkat dibanding ALT, namun
bila enzim ini normal, tidak menyingkirkan kecurigaan adanya
sirosis
2) Alkali fosfatase (ALP), meningkat kurang dari 2-3 kali batas
normal atas. Konsentrasi yang tinggi bisa ditemukan pada pasien
kolangitis sklerosis primer dan sirosis bilier primer.
3) Gamma Glutamil Transpeptidase (GGT), meningkat sama
dengan ALP. Namun, pada penyakit hati alkoholik kronik,
konsentrasinya meninggi karena alkohol dapat menginduksi
mikrosomal hepatik dan menyebabkan bocornya GGT dari
hepatosit.
4) Bilirubin, konsentrasinya bisa normal pada sirosis kompensata
dan meningkat pada sirosis yang lebih lanjut (dekompensata)
5) Globulin, konsentrasinya meningkat akibat sekunder dari
pintasan, antigen bakteri dari sistem porta masuk ke jaringan
limfoid yang selanjutnya menginduksi immunoglobulin.
6) Waktu protrombin memanjang karena disfungsi sintesis faktor
koagulan.
7) Na serum menurun, terutama pada sirosis dengan asites,
dikaitkan dengan ketidakmampuan ekskresi air bebas.
8) Pansitopenia dapat terjadi akibat splenomegali kongestif
berkaitan dengan hipertensi porta sehingga terjadi
hipersplenisme.
9) Seromarker hepatitis (Nurdjanah, 2009)
b. Pemeriksaan penunjang lain :
1. Barium meal, untuk melihat varises sebagai konfirmasi adanya
hipertensi porta
2. USG, untuk untuk menilai ukuran hati, sudut, permukaan, serta
untuk melihat adanya asites, splenomegali, thrombosis vena
porta, pelebaran vena porta, dan sebagai skrinning untuk adanya
karsinoma hati pada pasien sirosis.
3. Kolesistografi/kolangiografi : Memperlihatkan penyakit duktus
empedu yang mungkin sebagai faktor predisposisi.
4. Esofagoskopi : Dapat melihat adanya varises esophagus
5. Portografi Transhepatik perkutaneus : Memperlihatkan sirkulasi
sistem vena portal,
6. Scan/biopsy hati : Mendeteksi infiltrat lemak, fibrosis,
kerusakan jaringan hati (Nurdjanah, 2009).
7. Penatalaksanaan
Prinsip penatalaksanaan sirosis hepatis dipengaruhi etiologinya. Tujuan
terapi mengurangi progresi penyakit, menghindarkan bahan-bahan yang bisa
menambah kerusakan hati, pencegahan dan penanganan komplikasi. Secara
umum, penatalaksanaan sirosis hepatis adalah dengan :
1. Bed rest sampai gejala membaik
2. Diet tinggi protein, tinggi karbohidrat (diet hati III: protein 1g/kgBB,
2000-3000 kkal). Jika ada asites diberikan diberikan diet rendah garam II
(600-800 mg) atau III (1000-2000 mg)
Terdapat ascites:
1. Bed rest
2. diet rendah garam : untuk asites ringan dicoba dulu dengan istirahat dan
diet rendah garam dan penderita dapat berobat jalan.
3. Diuretik
Pemberian diuretik hanya bagi penderita yang telah menjalani diet rendah
garam dan pembatasan cairan namun penurunan berat badannya kurang
dari 1 kg setelah 4 hari. Mengingat salah satu komplikasi akibat pemberian
diuretic adalah hipokalemia dan hal ini dapat mencetuskan encepalophaty
hepatic, maka pilihan utama diuretic adalah spironolacton, dan dimulai
dengan dosis rendah, serta dapat dinaikkan dosisnya bertahap tiap 3-4 hari,
apabila dengan dosis maksimal diuresinya belum tercapai maka dapat kita
kombinasikan dengan furosemid. Bila pengobatan konservatif tidak
berhasil, dapat dilakukan parasintesis cairan asites, dapat dilakukan 5 10
liter / hari, dengan catatan harus dilakukan infus lbumin sebanyak 6 – 8
gr/l cairan asites yang dikeluarkan (Sutadi, 2003).
Untuk memberikan terapi terhadap penderita sirosis perlu ditinjau apakah
sudah ada hipertensi portal dan kegagalan faal hati atau belum.
1. Sirosis tanpa kegagalan faal hati dan hipertensi portal.
a. Diet tinggi protein dan karbohidrat. Lemak tidak perlu dibatasi
b. Diberikan vitamin: B12, essensial phosfolipid (EPL), cursil dan obat
yang mengandung protein tinggi seperti superton.
c. Hindari minuman beralkohol, zat hepatotoksik, dan makanan yang
disimpan lama diudara terbuka lebih dari 24 jam.
2. Sirosis dengan kegagalan faal hati dan hipertensi portal.
a. Istirahat
Aktifitas fisik dibatasi, dianjurkan untuk istirahat ditempat tidur lebih
kurang setengah hari setiap harinya.
b. Diet
Bila tidak ada tanda-tanda koma hepatikum diberikan diet 1500-2000
kal dengan protein sekurang-kurangnya 1 gr/kgBB/hr. Perlu juga
diberikan roboransia. Makanan dan minuman yang mengandung
alkohol dihentikan secara mutlak. Hindari makanan yang lebih dari 24
jam di udara bebas. Menurut Gabuzzda (1970) pada penderita asites
dan edema sedikit dapat hilang dengan diet kaya protein (1-2 gr/
kgBB/hr), rendah Na (200-500 mg Na/hr) dan pembatasan cairan 1-
1,5 liter/ hr.
c. Diuretik
Dilakukan jika selama 4 hari diet tidak ada respon, diberikan
spironolakton 100-200 mg/hari. Respon diuretik bisa dimonitor
dengan penurunan BB 0,5 kg/hari (tanpa edem kaki) atau 1,0 kg/hari
(dengan edema kaki). Bila pemberian spironolakton tidak adekuat,
dapat dikombinasi dengan furosemide 20-40 mg/hari (dosis max.160
mg/hari). Sebagai pengganti spironolakton dapat dipakai triamterene
atau amiloride yang mempunyai fungsi sama, yaitu bekerja ditubuli
distal dan tidak mengeluarkan K. pemberian spironolacton dimulai
dengan dosis rendah mis 25 mg/hr, bila selama 3 hari tidak ada
respons baru dosis ditingkatkan sedikit demi sedikit sampai
memperoleh respons yang cukup. Kontraindikasi pemberian diuretik
ialah: perdarahan gastrointestinal, penderita dengan muntah-muntah
atau diare, prekoma atau koma hepatikum. Sebagai akibat pemberian
diuretik akan timbul:
1) Hipokalemi: maka pemberian diutretik dihentikan, dan diberikan
penambahan KCl.
2) Hiponatremi: diatasi dengan pemberian cairan yang dibatasi 500
cc/hr atau pemberian 2 L manitol 20% intravena bekerja sebagai
diuretik osmotik.
3) Alkalosis hipokloremik; karena kehilangan Na dan Cl, dan dapat
dibatasi dengan pemberian klorida.
4) Koma hepatikum sekunder; karena hipokalemi, kehilangan cairan.
Bila terlihat tanda-tanda prekoma atau koma sebaiknya pemberian
diuretik dihentikan.
d. Obat-obatan
Prednison hanya diberikan pada penderita yang diduga dengan
posthepatik sirosis, hepatitis aktif kronis dimana masih terdapat
ikterus, gama globulin dan transaminase yang masih meninggi.
e. Peritoneo-venous shunt
Le veen dkk (1974,1976) melakukan operasi kecil peritoneous shunt
untuk mengurangi cairan asites secara teratur dan memasukkan
melalui suatu pipa yang diberi katub, sehingga memberikan satu arah
kedalam vena jugularis pada penderita dengan asites yang tidak
berhasil diobati dengan diuretik. Hasilnya 76,5% pasien dapat
dihilangkan asitesnya, bahkan kadar serum protein dan ratio albumin-
globulin kembali normal, hal ini disebabkan karena kadar protein
yang ada didalam cairan asites dialirkan kembali ke tubuh penderita.
Juga kadar ureum yang tinggi kembali normal.
f. Parasintesis
Menurut Conn (1982) dan sherlock (1989) dikenal 2 tujuan
parasintesis: (1) Diagnostik : tujuan untuk mengevaluasi cairan asites,
kemudian dilakukan pemeriksaan terhadap jumlah sel dan hitung
jenis, protein, macam mikroorganisme, (2) Terapi : untuk
mengeluarkan cairan asites yang sangat banyak sehingga dapat
menggangu pernapasan penderita. Bila terlalu sering dilakukan akan
menimbulkan komplikasi yaitu infeksi luka bekas parasintesis,
kebocoran cairan asites pada luka bekas tusukan, hiponatremi, koma
hepatikum karena gangguan keseimbangan elektrolit, kehilangan
protein tubuh, gangguan faal ginjal, perdarahan, perforasi usus.
Pengobatan sirosis hati berdasarkan etiologi juga seringkali dilakukan
seperti pada pasien dengan infeksi virus Hepatitis C :
a. Terapi kombinasi IFN 3 juta unit 3 x seminggu dan Ribavirin 1000-2000
mg/hari tergantung berat badan (1000 mg untuk berat badan kurang dari
75 kg) dalam jangka waktu 24-48 minggu.
b. Terapi induksi Interferon dengan dosis yang lebih tinggi dari 3 juta unit
setiap hari untuk 2-4 minggu, dilanjutkan dengan 3 juta unit 3 x
seminggu selama 48 minggu dengan atau tanpa kombinasi dengan
Ribavirin.
c. Terapi dosis interferon setiap hari dengan dosis 3 juta atau 5 juta unit
sampai HCV-RNA negatif di serum dan jaringan hati.

Pengobatan yang spesifik dari sirosis hati yang diberikan jika telah terjadi
komplikasi lain seperti :
c. Spontaneous bacterial peritonitis
Pengobatan SBP dengan memberikan Cephalosporins Generasi III
(Cefotaxime), secara parenteral selama lima hari, atau Qinolon secara oral.
Mengingat akan rekurennya tinggi maka untuk Profilaxis dapat diberikan
Norfloxacin (400mg/hari) selama 2-3 minggu.
d. Perdarahan karena pecahnya Varises Esofagus
Prinsip penanganan yang utama adalah tindakan Resusitasi sampai
keadaan pasien stabil, dalam keadaan ini maka dilakukan :
a. Pasien diistirahatkan dan dipuasakan
b. Pemasangan IVFD berupa garam fisiologis dan kalau perlu transfusi
c. Diberikan obat penyekat beta (propanolol)
d. Waktu perdarahan akut, bisa diberikan preparat somatostatin atau
oktriotide, antifibrinolitik, vitamin K
e. Pemasangan Naso Gastric Tube, hal ini mempunyai banyak sekali
kegunaannya yaitu : untuk mengetahui perdarahan, cooling dengan es,
pemberian obat-obatan, evaluasi darah
f. Lakukan Pemasangan Ballon Tamponade, tindakan skleroterapi dan
Ligasi atau Oesophageal Transection untuk menghentikan perdarahan
e. Sindroma Hepatorenal
Sampai saat ini belum ada pengobatan yang efektif. Oleh karena itu,
pencegahannya harus mendapat perhatian utama berupa hindari pemakaian
diuretic agresif, parasentesis asites, dan restriksi cairan yang berlebihan.
f. Ensefalophaty hepatic
a. Pengobatan dengan pemberian laktulosa untuk mengeluarkan amonia.
b. Neomisin, untuk mengurangi bakteri usus penghasil ammonia.
c. Diet rendah protein 0,5 gram.kgBB/hari, terutama diberikan yang
kaya asam amino rantai cabang (Sutadi, 2003)
8. Komplikasi
a. Ensepalopati Hepatikum
Ensepalopati hepatikum merupakan suatu kelainan neuropsikiatri yang
bersifat reversibel dan umumnya didapat pada pasien dengan sirosis hati
setelah mengeksklusi kelainan neurologis dan metabolik. Derajat
keparahan dari kelainan ini terdiri dari derajat 0 (subklinis) dengan fungsi
kognitif yang masih bagus sampai ke derajat 4 dimana pasien sudah jatuh
ke keadaan koma. Patogenesis terjadinya ensefalopati hepatik diduga oleh
karena adanya gangguan metabolisme energi pada otak dan peningkatan
permeabelitas sawar darah otak. Peningkayan permeabelitas sawar darah
otak ini akan memudahkan masuknya neurotoxin ke dalam otak. Kelainan
laboratoris pada pasien dengan ensefalopati hepatik adalah berupa
peningkatan kadar amonia serum (Wolf, 2012).
b. Varises Esophagus
Varises esophagus merupakan komplikasi yang diakibatkan oleh
hipertensi porta yang biasanya akan ditemukan pada kira-kira 50% pasien
saat diagnosis sirosis dibuat.

c. Peritonitis Bakterial Spontan (PBS)


Peritonitis bakterial spontan merupakan komplikasi yang sering dijumpai
yaitu infeksi cairan asites oleh satu jenis bakteri tanpa adanya bukti
infeksi sekunder intra abdominal. Biasanya pasien tanpa gejala, namun
dapat timbul demam dan nyeri abdomen. PBS sering timbul pada pasien
dengan cairan asites yang kandungan proteinnya rendah (<1 g/dL ) yang
juga memiliki kandungan komplemen yang rendah, yang pada akhirnya
menyebabkan rendahnya aktivitas opsonisasi. Diagnosis PBS berdasarkan
pemeriksaan pada cairan asites, dimana ditemukan sel polimorfonuklear
lebih dari 250 sel/mm3 dengan kultur cairan asites yang positif (Wolf,
2012).
d. Sindrom Hepatorenal
Pada sindrom hepatorenal, terjadi gangguan fungsi ginjal akut berupa
oligouri, peningkatan ureum, kreatinin, tanpa adanya kelainan organic
ginjal. Kerusakan hati lanjut menyebabkan penurunan perfusi ginjal yang
berakibat pada penurunan filtrasi glomerulus.
e. Sindrom Hepatopulmonal
Pada sindrom ini dapat timbul hidrotoraks dan hipertensi portopulmonal
(Nurdjanah, 2009).
9. Prognosis
Prognosis sirosis hepatis sangat bervariasi dipengaruhi oleh sejumlah faktor,
meliputi etiologi, beratnya kerusakan hepar, komplikasi, dan penyakit lain
yang menyertai sirosis. Klasifikasi Child-Turcotte berkaitan dengan
kelangsungan hidup. Angka kelangsungan hidup selama satu tahun untuk
pasien dengan Child A, B, dan C berturut-turut 100%, 80% dan 45%
(Nurdjanah, 2009).

Tabel 3.2 Sistem Klasifikasi Child-Turcotte-Pugh


I. KESIMPULAN

Varises esophagus merupakan komplikasi yang diakibatkan oleh hipertensi porta


yang biasanya akan ditemukan pada kira-kira 50% pasien saat diagnosis sirosis
dibuat. Sirosis hepatis adalah fase lanjut dari penyakit hati kronik yang
menggambarkan stadium akhir fibrosis hepatis yang berlangsung secara progresif,
yang ditandai dengan distorsi struktur hepar dan pembentukan nodul regeneratif.
Sirosis merupakan penyebab kematian kesembilan di Amerika Serikat dan
bertanggung jawab atas 1,2% dari seluruh kematian. Menurut organisasi
kesehatan dunia (WHO), pada tahun 2006 sekitar 170 juta umat manusia
terinfeksi sirosis hepatis. Angka ini meliputi sekitar 3% dari seluruh populasi
manusia di dunia dan setiap tahunnya infeksi baru sirosis hepatis bertambah 3-4
juta orang. Angka prevalensi penyakit sirosis hepatis di Indonesia, secara pasti
belum diketahui. Prevalensi penyakit sirosis hepatis pada tahun 2007 di Indonesia
berkisar antara 1-2,4%.

DAFTAR PUSTAKA

Ala I, Sharara S, Don C, Rockey R. 2001. Gastroesophageal variceal hemorrhage.


N Engl J Med. Available from: www.nejm.org., Accessed June 17, 2014.
Bendtsen F, Krag A, Moller S. 2008. Treatment of acute variceal bleeding.
Digestive and liver disease 2008. Available from:
www.sciencedirect.com., Accessed June 16, 2016.
Berzigotti A, Escorsell A, Bosch J. 2001. Pathophisiolgy Of Variceal Bleeding In
Chirrotics. Annals Of Gastroenterology. Vol 14. No 3. Hal 150 – 157
Block B, Schachschal G, Schmidt H. 2004. Esophageal varices. In: Block B,
Schachschal G, Schmidt H, eds. Endoscopy of the upper GI Tract.
Germany: Grammlich; p. 85-150.
Chavez-Tapia NC, Barrientos-Gutierrez T, Tellez-Avila F, et al. 2011. Meta-
analysis: antibiotic prophylaxis for cirrhotic patients with upper
gastrointestinal bleeding— an updated Cochrane review. Aliment
Pharmacol Ther; 34:509–18.
Dite P, Labrecque D, Fried M, Gangl A, Khan AG, Bjorkman D, et al. 2007.
Esophageal varices. World gastroenterology organisation practise
guideline 2007. Available from:
http://www.worldgastroenterology.org/graded-evidence-access.html.,
Accessed June 17, 2016
Era AD, Franchis RD, Iannuzzi F. 2008. Acute variceal bleeding: pharmacological
treatment and primary/ secondary propilaxis. Best practice & research
clinical gastroenterology 2008. Available from:
http://www.scientdirect.com., Accessed June 16, 2016.
Fernandez J, Ruiz del Arbol L, Gomez C, et al. 2006. Norfloxacin vs ceftriaxone
in the prophylaxis of infections in patients with advanced cirrhosis and
hemorrhage. Gastroenterology; 131:1049–56.
Guyton AC, Hall JE. 2002. Prinsip-prinsip umum fungsi gastrointestinal-motilitas,
pengaturan saraf, dan sirkulasi darah. Dalam: Guyton AC, ed. Buku ajar
fisiologi kedokteran. Edisi 11. Jakarta: Penerbit buku kedokteran EGC;.
hal. 817-9
Hilzenrat N. 2012. Review Articel: Pathophisiology Of Portal Hypertension And
Esophageal Varices. International Journal Of Hepatology. Vol 2012. Hal
7
Kumar V, Cotran RS, Robbins SL, 2004. Hati dan saluran empedu Dalam :
Hartanto H, Darmaniah N, Wulandari N. Robbins Buku Ajar Patologi. 7th
Edition. Volume 2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. hal.671-2.
Maruyama H, Yokosuka O. 2012. Review Articel: Pathopishiology Of Portal
Hypertension And Esophageal Varices. International Journal Of
Hepatology. Vol 2012. Hal 7
Nurdjanah Sitti, 2006. Sirosis hati. Dalam : Sudoyo AW et.al, eds. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 4. Jakarta : Pusat Penerbitan ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran UI. hal. 443-53.
Prasanti. 2013. Karya Tulis Ilmiah : Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas.
Semarang: Universitas Diponegoro
Robert S. Rahimi, Don C. Rockey. 2012. Complications of Cirrhosis. Curr Opin
Gastroenterol. 28(3):223-229
Setiawan, Poernomo Budi, 2007. Sirosis hati. In: Askandar Tjokroprawiro,
Poernomo Boedi Setiawan, et al. Buku Ajar Penyakit Dalam, Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga. Page 129-136
Sherwood, Lauralee, 2001. Sistem Pencernaan. Fisiologi Manusia dari Sel ke
Sistem. Edisi 2. Jakarta: EGC. hal 570.
Sutadi, S.M., 2003, Sirosis Hepatitis, diunduh dari:
http://library.usu.ac.id/download/fk/penydalam-srimaryani5.pdf, diakses
pada : 26 Mei 2012
Tripathi D, Stanley AJ, Hayes PC, Patch D, Millson C, Mehrzad H, et al., 2015.
UK guidline on the management of variceal haemorrhage in cirrhotic
patients. Gut 2015: p 1-25.
Vaezi MF. 2006. Upper gastrointestinal bleeding. In: Vaezi MF, Park W, Swoger J,
eds. Esophageal diseases. Oxford: An imprint of atlas medical publishing
Ltd;. p. 110-4.

Anda mungkin juga menyukai