Anda di halaman 1dari 37

Lomba Karya Tulis Ilmiah Nasional Agroindustrial Week 2018

MAWUT (MIE JAWAWUT): UPAYA PENINGKATAN NILAI LAHAN


PERTANIAN UNTUK KETERCAPAIAN KETAHANAN PANGAN
PADA KAWASAN KARST TERDAMPAK PABRIK SEMEN

Diusulkan oleh :
Joseph Emmanuel Ardine/0021158786
Shimpony Sophie/0015155616

SMA BOPKRI 1 YOGYAKARTA


KOTA YOGYAKARTA
2018

i
ii
LEMBAR ORISINILITAS

iii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Kasih atas berkat, bimbingan,
kekuatan, petunjuk, dan terang-Nya mulai dari awal hingga penulisan karya tulis
ini sehingga semuanya dapat diselesaikan dengan baik. Karya tulis yang berjudul
ditulis untuk mengikuti Agroindustrial Week 2018. Karya tulis ini dapat
terselesaikan karena kerjasama dan bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu
dihaturkan banyak terima kasih kepada :
1. Bapak Drs. Andar Rudjito, M. H. selaku Kepala Sekolah BOPKRI 1 yang
telah mendukung dan menyetujui kegiatan penelitian ini.
2. Ibu Chatarina Evita A M. Eng. selaku wakil kepala sekolah bagian
keurikulum yang selalu memotivasi kami dan memberikan kemudahan
pelaksanaan kegiatan penelitian.
3. Bapak dan Sulung Setyawan Wibowo, S.Pd dan Obey Angga Nursyahid, M.
Sc. selaku guru pembimbing yang membantu memberikan masukan dalam
pembuatan dan penyusunan laporan penelitian ini.
4. Orang tua kami yang memberikan doa dan dukungan terhadap kegiatan
penelitian yang kami lakukan.
5. Teman-teman ekstrakurikuler Karya Ilmiah Remaja SMA BOPKRI 1 yang
memberikan kritik dan saran yang membangun sehingga produk ini lebih baik
lagi.
6. Semua pihak yang telah banyak memberikan dukungan dan bantuan dalam
penyusunan laporan ini yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
Kami menyadari bahwa karya ini masih jauh dari kata sempurna, oleh
karena itu kami mohon kritik dan saran untuk perbaikan produk kami. Semoga
karya tulis ini memberikan bermanfaat.

Yogyakarta, 27 Januari 2018

Tim Penyusun

iv
ABSTRAK

Kebutuhan pangan menjadi permasalahan utama penolakan masyarakat


kawasan karst yang terdampak pabrik semen. Saat ini masyarakat kawasan karst
masih bergantung pada budidaya padi sebagai pemenuhan kebutuhan pokok.
Kegiatan penambangan karst menjadi ancaman penyempitan area lahan
persawahan. Diperlukan alih budidaya pertanian yang dapat hidup pada kualitas
kelas lahan S2, S3, dan N1.
Gagasan budidaya jawawut perlu diimplementasikan agar kebutuhan
pangan dan penambangan batu gamping pada kawasan karst dapat berjalan
beriringan. Pemanfaatan jawawut menjadi mie dalam bentuk kemasan kering
diharapkan dapat menjadi penambahan pendapatan dan pemunuhan gizi pengganti
beras. Mie kering dapat disimpan menjadi lumbung pangan sehingga dapat
menjadi mitigasi kelaparan akibat bencana kekeringan atau bencana alam.
Jawawut merupakan tanaman serealia, dengan kandungan: karbohidrat
84,2%; protein 10,7%; lemak 3,3%; serat 1,4%; dan kandungan vitamin C, B1,
B2, Fe, dan Ca (BKPP Bantul, 2014). Pembuatan mie meliputi tahap-tahap
pencampuran, pengistirahatan, pembentukan lembaran, dan pemotongan atau
pencetakan. Produk yang awet dan mudah dihidangkan (instant) diperoleh dengan
pengukusan dan penggorengan. Pencampuran bertujuan untuk pembentukan
gluten dan distribusi bahan-bahan agar homogen. Pembentukan lembaran dengan
roll pengepress akan membentuk serat-serat gluten yang halus dan ekstensibel.
Penelitian ini menggunakan metode eksperimen. Metode analisis data yang
digunakan deskriptif didukung dengan data kualitatif. Teknik pengumpulan data
menggunakan studi literatur, eksperimen, dan dokumentasi.
Gagasan ini diharapkan dapat terwujud sehingga menjadi solusi alternatif
untuk pemenuhan kebutuhan pangan serta meminimalkan penolakan petani
terhadap kegiatan pabrik semen. Petani pada kawasan karst dapat menyuplai
bahan baku jawawut pada perusahaan yang dikelola badan usaha desa setempat.
Badan usaha tersebut bekerja sama dengan mitra perusahaan mie dengan
fasilitator pemerintah dan pabrik semen sehingga membuka lapangan kerja baru.

Kata kunci: ekonomis, jawawut, karst, pangan

v
DAFTAR ISI

Halaman
JUDUL.....................................................................................................................................i
LEMBAR PENGESAHAN..............................................................................................ii
LEMBAR ORISINALITAS..............................................................................................iii
KATA ENGANTAR.............................................................................................................iv
ABSTRAK..............................................................................................................................v
DAFTAR ISI..........................................................................................................................vi
DAFTAR TABEL.................................................................................................................vii
DAFTAR BAGAN...............................................................................................................viii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................1
A. Latar Belakang Masalah................................................................................1
B. Rumusan Masalah............................................................................................2
C. Tujuan Penelitian.............................................................................................3
D. Manfaat Penelitian..........................................................................................3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA......................................................................................4


A. Kajian Teori.......................................................................................................4
B. Karst.....................................................................................................................5
C. Mie.......................................................................................................................7
D. Ketahanan Pangan...........................................................................................10
E. Lahan Pertanian................................................................................................12
F. Inovasi.................................................................................................................14

BAB III METODE PENELITIAN..................................................................................15


A. Desain Penelitian.............................................................................................15
B. Tempat dan Waktu Penelitian.......................................................................15
C. Bahan dan Alat Penelitian.............................................................................16
D. Prosedur..............................................................................................................17
E. Diagram Alir Penelitian.................................................................................18

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN..........................................19


A. Cara Pembuatan Mawut................................................................................19
B. Skema Penerapan Gagasan...........................................................................22
C. Tinjauan Aspek Keberlanjutan.....................................................................23

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN.........................................................................25


A. Kesimpulan...............................................................................................................25
B. Saran...........................................................................................................................25

vi
DAFTAR TABEL

Tabel 1 Waktu Penelitian....................................................................................................13

vii
DAFTAR BAGAN

Bagan Alir Penelitian...........................................................................................................18


Bagan Skema Penerapan Gagasan...................................................................................22

viii
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Indonesia memiliki kawasan karst yang sangat luas mencapai lebih dari
15,4 juta hektar, tersebar di beberapa di wilayah Pulau Sumatera, Jawa, Papua
dan pulau-pulau kecil lainnya (Guntarto: 2009). Kawasan karst memiliki nilai
ekonomi yang tinggi karena merupakan daerah penghasil Batu Gamping yang
kemudian dapat diolah menjadi banyak jenis produk strategis misalnya
semen. Kawasan karst yang luas di Indonesia, merupakan pendorong
pembangunan pabrik semen di daerah karst strategis. Kegiatan pembangunan
pabrik semen akan memberi dampak positif maupun negatif bagi kawasan
yang terdampak. Dampak positif dari kegiatan pembangunan pabrik dan
pelaksanaan pertambangan semen pada suatu daerah dapat berupa,
terbentuknya lapangan kerja, percepatan pembangunan daerah terdampak,
dan terjadinya pertumbuhan ekonomi daerah maupun nasional.
Dampak negatif dari pembangunan pabrik dan pelaksanaan
pertambangan semen yang dapat terjadi adalah penurunan nilai lahan
khususnya lahan pertanian. Penurunan nilai lahan pertanian mencakup luas
lahan pertanian dan tingkat produktivitas lahan. Pembangunan pabrik dan
aktivitas pertambangan membutuhkan lahan yang luas. Kebutuhan yang
tinggi akan lahan mendorong terjadinya konversi lahan. Pembangunan pabrik
dan pelaksanaan pertambangan semen selain menjadi ancaman penyempitan
lahan, memberi dampak buruk bagi lingkungan sekitar. Menurunnya kualitas
lahan pertanian berkaitan dengan produktivitas. Penurunan produktivitas
lahan dapat dilihat dari semakin sedikitnya komoditas tanaman yang dapat
hidup misal, sebelumnya dapat ditanami padi menjadi sukar diolah.
Penyempitan lahan pertanian disertai dengan penurunan produktivitas
berdampak langsung pada ketahanan pangan pada daerah yang terdampak.
Ketahanan pangan menjadi latarbelakang penolakan petani terhadap kegiatan
pembangunan dan aktivitas produksi pabrik semen.

1
Berdasarkan permasalahan tersebut, dibutuhkan solusi alternatif yang
mampu menguntungkan semua pihak. Solusi alternatif yang dapat diterapkan
berupa alih budidaya pertanian. Jawawut (Sentaria italica) digunakan sebagai
komoditas utama pada alih budidaya lahan. Pemilihan jawawut sebagai
komoditas utama pada alih budidaya pertanian dilatarbelakangi syarat hidup
yang rendah dan perawatan yang relatif lebih mudah sehingga dapat
menaikkan nilai lahan pertanian dalam usaha ketercapaian ketahanan pangan.
Jawawut memiliki kandungan karbohidrat dan serat yang lebih tinggi
dibanding beras. Diterapkannya alih budidaya lahan dengan komoditas
jawawut, dapat mendukung program keragaman pangan. Dalam
pegembangannya, jawawut diolah menjadi mie.
Mie dipilih sebagai pengganti subtitusi beras dikarenakan, masyarakat
Indonesia gemar mengkonsumsi olahan mie. Berdasarkan data yang dihimpun
World Instant Noodles Association (WINA), total konsumsi mie instan di
Indonesia diperkirakan mencapai 14,8 miliar bungkus pada 2016. Bahan
dasar mie adalah gandum. Permintaan akan produk olahan gandum akan
meningkatkan impor, dikarenakan gandum bukan tanaman khas Indonesia.
Data Asosiasi Produsen Terigu Indonesia (Aptindo) menunjukkan, realisasi
impor gandum untuk industri makanan sampai dengan kuartal III-2017
sebesar 5,8 juta ton. Produk mie dengan bahan dasar jawawut dapat menjadi
alternatif pengganti tepung terigu sehingga impor terhadap gandum dapat
dikurangi.
Alih budidaya pertanian pada lahan karst terdampak pabrik semen dari
padi menjadi jawawut diharapkan mampu menjadi solusi alternatif untuk
mengatasi permasalahan antara pengembang dan petani. Penggunaan jawawut
sebagai bahan baku mie diharapkan dapat memberi dampak ekonomi yang
positif bagi masyarakat.

B. RUMUSAN MASALAH
Solusi yang diharapkan memerlukan kerangka permasalahan yang
dikaji agar fokus kajian dapat menghasilkan produk yang diharapkan, maka
berikut ini adalah rumusan masalah dalam penelitian ini :

2
1. Bagaimana cara pembuatan pembuatan Mawut?
2. Bagaimana skema penerapan gagasan Mawut?
3. Bagaimana tinjauan aspek keberlanjutan dari Mawut?

C. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui :
1. Dapat merumuskan cara pembuatan Mawut
2. Mengetahui skema penerapan gagasan Mawut
3. Mengetahui tinjauan aspek keberlanjutan dari Mawut.

D. MANFAAT HASIL PENELITIAN Penelitian


ini diharapkan bermanfaat untuk :
1. Aspek keilmuan
a. Memberi alternatif penyelesaian masalah pada Perusahaan Semen
dalam menghadapi penolakan petani.
b. Mengedukasi masyarakat bahwa ada tanaman yang mampu
dibudidayakan untuk mengatasi penurunan nilai lahan.
2. Aspek Praktis
a. Memberikan informasi berupa cara membuat mie yang efektif dan
ekonomis dari jawawut.
b. Menanggulangi permasalahan ketahanan pangan pada kawasan karst
terdampak pabrik semen.
c. Peningkatan perekonomian masyarakat pada kawasan karst
terdampak pabrik semen.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. JAWAWUT
Jawawut (Sentaria itallica) adalah tanaman serealia berbiji kecil yang
pernah menjadi makanan pokok masyarakat Asia Timur dan Tenggara
sebelum mereka bercocok tanam tumbuhan serealia lainnya. Berbentuk
seperti rumput dengan tinggi 150 - 175 cm. Batangnya tegak, kadang-kadang
bercabang. Daun-daunnya tunggal, berseling, bentuk garis atau pita. Bulirnya
kecil sekitar 3 mm diameternya, bahkan ada yang lebih kecil. Warna bulir
beraneka ragam, mulai dari hitam, ungu, merah, sampai jingga kecoklatan.
Jawawut mulai terkenal di Afrika Timur dan Barat, Eurasia, India, dan
China. Jawawut tumbuh di sepanjang area gersang di Afrika Barat. Di
Indonesia sendiri tanaman Jawawut tersebar hampir diseluruh wilayah
Indonesia seperti pulau Buruh, Jember, dan termasuk di Sulawesi Selatan
seperti Enrekang, Sidrap, Maros, Majene dan daerah lainnya. Sebagaian besar
masyarakat belum mengenal Jawawut sebagai sumber pangan sehingga
selama ini tanaman Jawawut hanya dijadikan sebagai pakan burung. Padahal
tanaman ini dapat diolah menjadi sumber makanan oleh masyarakat guna
mendukung ketahanan pangan dan mengantisipasi masalah kelaparan (Marlin,
2009).
Jawawut bisa hidup pada kesuburan tanah yang rendah, kelembaban
rendah, dan kondisi lingkungan yang panas. Jawawut mempunyai masa
tumbuh yang pendek dan produktivitas lebih tinggi pada kondisi lingkungan
yang panas dan musim kering. Tanaman ini sangat mudah dibudidayakan
karena dapat ditanam pada lahan-lahan ladang penduduk dengan menaburkan
biji Jawawut ke ladang yang telah disiapkan. Jawawut tidak memiliki musim
dan bisa ditanam sepanjang tahun dengan mempertimbangkan kondisi
pertumbuhannya. Kemudian tidak membutuhkan jenis tanah khusus sehingga
bisa ditanam dimana saja dengan cara ditabur. Dari segi ekonomi tidak
membutuhkan biaya produksi yang tinggi dan dalam pemeliharaan sederhana
karena tidak membutuhkan pestisida dan jenis bahan kimia lainnya. Hanya

4
saja perlu diamankan dari gangguan burung karena merupakan salah satu
makanan burung. Sehingga terkadang di luar negeri Jawawut di budidayakan
pada tempat yang tertutup kaca. Jawawut baik ditanam pada kondisi kering,
dengan kesuburan tanah yang rendah, dan pada suhu tinggi. Pertumbuhannya
baik di tanah yang berkadar garam tinggi atau pH rendah. Jawawut dapat
tumbuh di daerah-daerah lain dimana tanaman serealia lain seperti jagung
atau gandum tidak dapat bertahan. (Marlin, 2009).
Jawawut termasuk tanaman ekonomi minor namun memiliki nilai
kandungan gizi yang mirip dengan tanaman pangan lainnya seperti padi,
jagung, gandum, dan tanaman biji-bijian yang lain karena tanaman Jawawut
sendiri adalah tergolong ke dalam jenis tanaman biji-bijian. Kandungan gizi
jawawut : karbohidrat 84,2%; protein 10,7%; lemak 3,3%; serat 1,4%; dan
kandungan vitamin C, B1, B2, Fe, dan Ca (BKPP Bantul, 2014).
Karakter tanaman seralia yang mengandung zat tepung dapat diolah
dengan metode sederhana untuk menjadi tepung, contohnya tepung beras
yang terbuat dari berasa dan tepung jagung yang bebahan dasar jagung.
Jawawut yang merupakan golongan tanaman seralia diasumsikan dapat
menghasilkan tepung jika diproses dengan baik. Berdasarkan asumsi tersebut,
jawawut dapat menggatikan tepung terigu sebagai bahan pembuatan mie.
Jawawut memiliki syarat hidup rendah diasumsikan dapat hidup baik
pada lahan kawasan karst yang telah terdampak pabrik semen. Lahan
terdampak yang sebelumnya mengalami penurunan produktivitas dan
kuantitas, dapat ditanami dengan jawawut sehingga menjadi produktif
kembali. Pembudidayaan yang mudah dengan biaya pembiayaan yang relatif
murah memperbesar presentase gagasan ini dapat direalisasikan.

B. KARST
Karst merupakan istilah dalam bahasa Jerman yang diturunkan dari
bahasa Slovenia (kras) yang berarti lahan gersang berbatu. Istilah ini di
negara asalnya sebenarnya tidak berkaitan dengan batugamping dan proses
pelarutan, namun saat ini istilah kras telah diadopsi untuk istilah bentuklahan
hasil proses perlarutan. Ford dan Williams (1989) mendefini-sikan karst

5
sebagai medan dengan kondisi hidrologi yang khas sebagai akibat dari batuan
yang mudah larut dan mempunyai porositas sekunder yang berkembang baik.
Ciri-ciri karst yaitu: terdapatnya cekungan tertutup dan atau lembah kering
dalam berbagai ukuran dan bentuk, langkanya atau tidak terdapatnya
drainase/ sungai permukaan, dan terdapatnya goa dari sistem drainase bawah
tanah. Kawasan karst tersusun atas beberapa jenis tanah. Jenis tanah yang
mendominasi kawasan karst yaitu tanah Latosol, Litosol, Rendzina, dan
Terarosa.
1. Latosol Jenis tanah ini telah berkembang atau terjadi diferensiasi horizon,
kedalaman dalam, tekstur lempung, struktur remah hingga gumpal,
konsistensi gembur hingga agak teguh, warna coklat merah hingga
kuning. Penyebarannya di daerah beriklim basah, curah hujan lebih dari
300 – 1000 meter, batuan induk dari tuff, material vulkanik, dan breksi
batuan beku intrusi.
2. Litosol Jenis tanah ini berupa tanah mineral tanpa atau sedikit
perkembangan profil, batuan induknya batuan beku atau batuan sedimen
keras, dan kedalaman tanah dangkal (< 30 cm) bahkan kadang-kadang
merupakan singkapan batuan induk (outerop). Tekstur tanah
beranekaragam, dan pada umumnya berpasir, umumnya tidak berstruktur,
terdapat kandungan batu, kerikil, dan kesuburannya bervariasi. Tanah
litosol dapat dijumpai pada segala iklim, umumnya di topografi berbukit,
pegunungan, lereng miring sampai curam.
3. Rendzina merupakan tanah organik diatas bahan berkapur yang memiliki
tekstur lempung seperti vertisol. Tanah rendzina memiliki kadar lempung
yang tinggi, teksturnya halus dan daya permeabilitasnya rendah sehingga
kemampuan menahan air dan mengikat air tinggi. Tanah rendzina berasal
dari pelapukan batuan kapur dengan curah hujan yang tinggi. Tanah jenis
ini memiliki kandungan Ca dan Mg yang cukup tinggi, bersifat basa,
berwarna hitam, serta hanya mengandung sedikit unsur hara. Rendzina
banyak terdapat di Maluku, Papua, Aceh, Sulawesi Selatan, Lampung dan
pegunungan kapur di selatan Pulau Jawa. Rendzina digunakan untuk
budidaya tanaman keras semusim dan juga tanaman palawija.

6
4. Terarosa merupakan tanah hasil pelapukan batuan kapur keras dan
sedimen. Berwarna putih kecoklatan, keras, dan tingkat kesuburan yang
keras. Umumnya digunakan sebagai lahan pertanian tegalan dan hutan
jati.
Karakteristik tanah yang dominan pada kawasan karst merupakan tanah
yang cenderung kering. Membandingkan karakteristik tanah dengan
syarat hidup jawawut, diasumsikan jawawut dapat hidup dan dibudiyakan
pada daerah kawasan karst yang terdampak kawasan pabrik semen dalam
rangka upaya peningkatan nilai lahan pertanian terdampak pabrik semen
untuk ketercapaian ketahanan pangan.

C. MIE
Mie merupakan makanan yang paling populer di Asia. Sekitar 40% dari
konsumsi tepung terigu di Asia digunakan untuk pembuatan mie. Di
Indonesia pada tahun 1990, penggunaan tepung terigu untuk pembuatan mie
mencapai 60-70% (Kruger dan Matsuo, 1996). Hal ini menunjukkan bahwa
mie merupakan makanan yang paling populer di Asia khususnya Indonesia
hingga saat ini. Mie pertama kali dibuat dari bahan baku beras dan tepung
kacang-kacangan. Menurut Chamdani (2005) mie basah memiliki ketahanan
masa simpan selama 36 jam. Di Indonesia produk mie merupakan makanan
yang banyak digunakan sebagai pengganti nasi. Produk mie ini berbahan
dasar tepung terigu yang berasal dari tanaman gandum. Menurut Irviani dan
nisa (2014), pada tahun 2012 impor gandum telah menembus angka 6.3 juta
ton. Upaya pelaksanaan diversifikasi pangan agar tidak tergantung kepada
tepung terigu.
Mie dapat diklasifikasikan menjadi beberapa kelompok. Pembagian
jenis mie yang paling umum yaitu berdasarkan warna, ukuran diameter mie,
bahan baku, cara pembuatan, jenis produk yang dipasarkan, dan kadar air.
Berdasarkan warnanya, mie yang ada di Asia dibagi menjadi dua jenis, yaitu
mie putih dan mie kuning karena penambahan alkali (Pagani, 1985).
Berdasarkan bahan bakunya, mie dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu
mie dengan bahan baku dari tepung terutama tepung terigu dan mie

7
transparan dengan bahan baku dari pati misalnya soun dan bihun.
Berdasarkan cara pembuatannya, mie dibedakan menjadi mie basah mentah
dan mie basah matang, sedangkan berdasarkan jenis produk yang 9 tersedia di
pasar terdapat dua jenis mie yaitu mie basah (contohnya mie ayam dan mie
kuning) dan mie kering contohnya mie telur dan mie instan (Pagani, 1985).
Komposisi dasar dari produk mie kering dan mie basah pada umumnya
hampir sama. Perbedaan dari kedua produk ini ialah kadar air dan tahapan
proses pembuatan. Berdasarkan kadar air dan tahap pengolahannya, Winarno
dan Rahayu (1994) membagi mie yang terbuat dari gandum menjadi lima
golongan, yaitu : (1) mie basah mentah yang dibuat langsung dari proses
pemotongan lembaran adonan dengan kadar air 35%, (2) mie basah matang,
yaitu mie basah mentah yang telah mengalami perebusan dalam air mendidih
sebelum dipasarkan dengan kadar air 52%, (3) mie kering, yaitu mie basah
mentah yang langsung dikering dengan kadar air 10%, (4) mie goreng, yaitu
mie mentah yang lebih dahulu digoreng sebelum dipasarkan, dan (5) mie
instan, yaitu mie basah mentah yang telah mengalami pengukusan dan
pengeringan sehingga menjadi mie instan kering atau digoreng sehingga
menjadi mie instan goreng.
Mie basah mentah umumnya terbuat dari tepung gandum (tepung
terigu), air, dan garam dengan/tanpa penambahan garam alkali. Terigu
merupakan bahan utama dalam pembuatan mie basah mentah. Fungsi terigu
adalah sebagai bahan pembentuk struktur, sumber karbohidrat, sumber
protein, dan pembentuk sifat kenyal gluten. Garam berfungsi memberikan
rasa, memperkuat tekstur, dan mengikat air (Astawan, 1999). Proses
pembuatan mie basah mentah meliputi pencampuran semua bahan (tepung,
air dan garam) menjadi adonan lalu dibentuk menjadi lembaran-lembaran
yang tipis dengan mesin rollpress, diistirahatkan, kemudian dipotong menjadi
bentuk benang-benang mie. Selanjutnya ditaburkan tapioka sebagai pemupur.
Proses pencampuran semua bahan menjadi satu dimaksudkan untuk membuat
adonan yang homogen. Selain itu, proses ini juga memicu terjadinya hidrasi
air dengan tepung yang merata dan menarik serat-serat gluten sehingga
menjadi adonan yang elastis dan halus.

8
Pada 4 proses pencampuran, pembentukan gluten sudah mulai terjadi
meskipun belum maksimal (Kruger dan Matsuo, 1996). Ada beberapa hal
yang perlu diperhatikan dalam pembuatan mie basah yaitu suhu adonan,
waktu pengadukan, dan jumlah air yang ditambahkan. Waktu pencampuran
dan pengadukan bahan yang dibutuhkan sangat bervariasi mulai dari 5 menit
hingga 20 menit tergantung dari jenis bahan dan alat. Menurut Badrudin
(1994), waktu pengadukan terbaik pada proses pembuatan mie mocaf adalah
15 hingga 25 menit. Apabila waktu pengadukan kurang dari 15 menit, adonan
akan menjadi lunak dan lengket, sedangkan jika lebih dari 25 menit adonan
akan menjadi keras, rapuh, dan kering.
Jumlah air yang ditambahkan ke dalam adonan mie juga berperan
dalam sukses tidaknya pembuatan mie mocaf. Menurut SNI 01-2987-1992,
jumlah air yang ditambahkan untuk pembuatan mie basah mentah adalah
sekitar 20% hingga 35% dari bobot tepung. Sedangkan menurut Badrudin
(1994), jumlah air terbaik dalam adonan mie basah mentah adalah sekitar
34% hingga 40% dari bobot tepung. Hal ini disebabkan karena tesktur mie
yang mudah keras, rapuh, dan lengket. Jika air yang ditambahkan kurang dari
34%, maka mie yang dihasilkan akan menjadi keras, rapuh, dan sulit dibentuk
lembaran. Sedangkan bila air yang ditambahkan lebih dari 40%, maka mie
yang dihasilkan akan menjadi basah dan lengket. Suhu adonan terbaik untuk
o o
membuat mie berkisar 25 C hingga 40 C. Jika suhu adonan mencapai kurang
o
dari 25 C, maka adonan yang dihasilkan akan menjadi keras, rapuh dan kasar,
sedangkan jika suhu adonan mencapai lebih dari 40oC maka adonan yang
dihasilkan menjadi lengket dan mie menjadi kurang elastis (Badrudin, 1994).
Mutu mie yang diinginkan oleh konsumen adalah mie yang bertekstur lunak,
lembut, elastis, halus, tidak lengket, dan mengembang dengan normal. Proses
pembentukan lembaran (sheeting) adalah menghaluskan serat-serat gluten
dalam adonan dan membentuk adonan menjadi lembaran. Tahap
pembentukan lembaran dilakukan dalam tiga tahap. Tahap pertama adalah
pembentukan 14 lembaran dari adonan dengan jarak roll 3 mm. Pada tahap
kedua, lembaran yang telah terbentuk dilipat menjadi tiga bagian dan
dilewatkan kembali pada roll berjarak 3 mm sebanyak dua kali. Tahap ketiga,

9
lembaran tersebut dilipat menjadi dua bagian dan dilewatkan kembali di
antara dua roll yang berjarak 3 mm. Selanjutnya lembaran digulung dan
diistirahatkan selama 15 menit untuk menyempurnakan pembentukan gluten
(Kruger dan Matsuo, 1996). Lembaran adonan ini kemudian dipipihkan
dengan alat rollpress dan dicetak menjadi untaian benang mie hingga
diameter mencapai 1-2 mm. Kemudian untaian benang mie ditaburi dengan
tepung terigu agar tidak lengket satu sama lain.
Daya tahan mie basah yang lebih pendek memerlukan proses
pengeringan agar lebih panjang daya simpannya. Proses pembuatan mie yang
relative lebih mudah dibandingkan produk olahan lainnya diharapkan dapat
diproduksi secara mandiri dimasyarakat.

D. KETAHANAN PANGAN
Secara luas pengertian ketahanan pangan adalah terjaminnya akses
pangan buat segenap rumah tangga serta individu setiap waktu sehingga
mereka dapat bekerja dan hidup sehat (Braun dkk., 1992; Suhardjo, 1996;
Soetrisno, 1997). Membahas ketahanan pangan pada dasarnya juga
membahas hal-hal yang menyebabkan orang tidak tercukupi kebutuhan
pangannya. Hal-hal tersebut meliputi antara lain tersedianya pangan, lapangan
kerja dan pendapatan. Ketiga hal tersebut menentukan apakah suatu rumah
tangga memiliki ketahanan pangan, artinya dapat memenuhi kebutuhan
pangan dan gizi bagi setiap anggota keluarganya (Sumarwan, dan Sukandar,
1998). Soekirman (1996) mengungkapkan bahwa cukup tidaknya persediaan
pangan di pasar berpengaruh pada harga pangan. Kenaikan harga pangan bagi
keluarga yang tidak bekerja atau yang bekerja tetapi penghasilannya tidak
cukup, dapat mengancam kebutuhan gizinya yang berarti ketahanan pangan
keluarganya terancam. Definisi ketahanan pangan tersebut disempurnakan
pada waktu International Congress of Nutrition (ICN) yang diselenggarakan
di Roma tahun 1992 dalam Suhardjo (1996) seperti berikut: ketahanan pangan
rumah tangga adalah kemampuan rumah tangga untuk memenuhi kecukupan
pangan anggotanya dari waktu ke waktu agar dapat hidup sehat dan mampu
melakukan kegiatan seharihari. Sidang Committe on Work Food Security

10
1995 dalam Soetrisno (1997) definisi di atas diperluas dengan menambahkan
persyaratan harus diterima oleh budaya setempat. Definisi tersebut dipertegas
lagi pada Deklarasi Roma tentang Ketahanan Pangan Dunia dan Rencana
Tindak Lanjut Konperensi Tingkat Tinggi (KTT) Pangan Dunia tahun 1996
menjadi ketahanan pangan terwujud apabila semua orang, setiap saat,
memiliki akses secara fisik maupun ekonomi terhadap pangan yang cukup,
aman dan bergizi untuk memenuhi kebutuhan sesuai dengan seleranya bagi
kehidupan yang aktif dan sehat. Indonesia, sebagai salah satu negara yang
menyatakan komitmen untuk melaksanakan deklarasi Roma menerima
konsep ketahanan pangan tersebut yang dilegitimasi pada rumusan dalam
Undang-Undang Pangan No. 7 tahun 1996. Namun konsep ketahanan pangan
di Indonesia telah memasukkan aspek keamanan, mutu dan keragaman
sebagai kondisi yang harus dipenuhi dalam pemenuhan kebutuhan pangan
penduduk secara cukup, merata serta terjangkau. Sementara itu Lokakarya
Ketahanan Pangan Rumah Tangga pada tahun 1996 juga menghasilkan
rumusan konsep ketahanan pangan rumah tangga yang didefinisikan sebagai
berikut: ketahanan pangan rumah tangga adalah kemampuan untuk memenuhi
pangan anggota keluarga dari waktu ke waktu dan berkelanjutan balk dari
produksi sendiri maupun membeli dalam jumlah, mutu dan ragamnya sesuai
dengan FAE. Konsep ketahanan pangan dapat diterapkan untuk menyatakan
situasi pangan pada beberapa tingkatan yaitu tingkat global, nasional, regional
(daerah), dan tingkat rumah tangga serta individu (Soehardjo, 1996).
Sementara itu Simatupang (1999) menyatakan bahwa ketahanan pangan
tingkat global, nasional, regional, komunitas lokal, rumah tangga dan individu
merupakan suatu rangkaian sistem hierarkis.
Simatupang (1999) mengungkapkan bahwa ketahanan pangan tingkat
komunitas lokal merupakan syarat keharusan tetapi tidak cukup menjamin
ketahanan pangan untuk seluruh rumah tangga. Selanjutnya ketahanan pangan
tingkat regional merupakan syarat keharusan bagi ketahanan pangan tingkat
komunitas lokal tetapi tidak cukup menjamin ketahanan pangan komunitas
lokal. Pada akhirnya ketahanan pangan tingkat nasional tidak cukup
menjamin terwujudnya ketahanan pangan bagi semua orang, setiap saat

11
sehingga dapat mencukupi kebutuhan pangan agar dapat hidup sehat dan
produktif.
Menurut Suhardjo (1996) kondisi ketahanan pangan rumah tangga
dapat dicerminkan oleh beberapa indikator antara lain: (1) Tingkat kerusakan
tanaman, ternak, perikanan; (2) Penurunan produksi pangan; (3) Tingkat
ketersediaan pangan di rumah tangga; (4) Proporsi pengeluaran pangan
terhadap pengeluaran total; (5) Fluktuasi harga-harga pangan utama yang
umum dikonsumsi rumah tangga; (6) Perubahan kehidupan sosial (misalnya
migrasi, menjual/menggadaikan harta miliknya, peminjaman); (7) Keadaan
konsumsi pangan (kebiasaan makan, kuantitas dan kualitas) dan (8) Status
gizi. Berkaitan dengan indikator (7) dan (8) di atas, Kodyat (1997) juga
mengemukakan bahwa indikator ketahanan pangan dapat dilihat dari
konsumsi pangan rumah tangga dan keadaan gizi masyarakat.
Uraian di atas menunjukkan bahwa konsep dan pengertian atau definisi
ketahanan pangan sangat luas dan beragam. Dari luas dan beragamnya konsep
ketahanan pangan tersebut intinya adalah terjaminnya ketersediaan pangan
bagi umat manusia secara cukup serta terjaminnya pula setiap individu untuk
memperoleh pangan dari waktu kewaktu sesuai kebutuhan untuk dapat hidup
sehat dan beraktivitas. Terkait dengan konsep terjamin dan terpenuhinya
kebutuhan pangan bagi setiap individu tersebut perlu pula diperhatikan aspek
jumlah, mutu, keamanan pangan, budaya lokal serta kelestarian lingkungan
dalam proses memproduksi dan mengakses pangan. Penerapan gagasan mie
dari jawawut diharapkan dapat menjadi tonggak ketahanan pangan pada
daerah kawasan karst terdampak pabrik semen.

E. LAHAN PERTANIAN
Lahan pertanian pangan merupakan bagian dari lahan fungsi budidaya.
Keberadaanya sangat penting dalam menyokong kedaulatan pangan baik
untuk memenuhi kebutuhan wilayahnya maupun untuk di jual ke luar
wilayahnya. Seiring pertumbuhan penduduk yang dinamis pada saat ini
keberadaan lahan pertanian terancam untuk kebutuhan lain seperti
perumahan, industri dan sebagainnya. Alih fungsi lahan pertanian ke non

12
pertanian menjadi fenomena yang terjadi hampir di semua wilayah. Satu hal
yang mungkin tidak menjadi bahan pertimbangan dalam melakukan alih
fungsi lahan adalah dampak yang ditimbulkan dari alih fungsi lahan tersebut.
Bagi sektor pertanian, lahan merupakan faktor produksi utama dan tak
tergantikan. Berbeda dengan penurunan produksi yang disebabkan oleh
serangan hama penyakit, kekeringan, banjir dan faktor lainnya lebih bersifat
sementara, maka penurunan produksi yang diakibatkan oleh alih fungsi lahan
lebih bersifat permanen dan sulit untuk diperbaiki. Sehingga berkurangnya
luasan lahan yang digunakan untuk kegiatan pertanian secara signifikan dapat
mengganggu stabilitas kemandirian, ketahanan dan kedaulatan pangan baik
lokal maupun nasional. Mengingat dampak yang ditimbulkan oleh adanya
konversi lahan yang begitu luas, maka diperlukan upaya pengendalian yang
dapat mengontrol laju alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian
dengan menjadikan aspek daya dukung lingkungan dan ketersediaan lahan
sebagai salah satu pertimbangan.
Salah satu upaya pengendalian alih fungsi lahan pertanian dan
perlindungan terhadap lahan pertanian produktif perlu didukung oleh suatu
peraturan perundang-undangan yang (1) Menjamin tersedianya lahan
pertanian yang cukup, (2) Mampu mencegah terjadinya alih fungsi lahan
pertanian ke penggunaan nonpertanian secara tidak terkendali, dan (3)
Menjamin akses masyarakat petani terhadap lahan pertanian yang tersedia
(http//www.dipertan.go.id, 2006).
Isu penting dalam pembangunan dewasa ini adalah pertanian
berkelanjutan. Pertanian berkelanjutan adalah suatu proses yang
memanfaatkan sumberdaya pertanian secara optimal untuk memenuhi
kebutuhan dan kesejahteraan masyarakat masa kini tanpa harus
mengorbankan kebutuhan dan kesejahteraan generasi yang akan datang.
Seiring dengan laju konversi lahan pertanian ke lahan non pertanian,
sumberdaya pertanian yang perlu mendapatkan prioritas adalah lahan
pertanian, terutama lahan pertanian pangan
F. INOVASI

13
Istilah inovasi memang selalu diartikan secara berbeda-beda oleh
beberapa ahli. Menurut Suryani (2008:304), Inovasi dalam konsep yang luas
sebenarnya tidak hanya terbatas pada produk. Inovasi dapat berupa ide, cara-
cara ataupun obyek yang dipersepsikan oleh seseorang sebagai sesuatu yang
baru. Inovasi juga sering dugunakan untuk merujuk pada perubahan yang
dirasakan sebagai hal yang baru oleh masyarakat yang mengalami. Namun
demikian, dalam konteks pemasaran dan konteks perilaku konsumen inovasi
dikaitkan dengan produk atau jasa yang sifatnya baru. Baru untuk merujuk
pada produk yang memang benar-benar belum pernah ada sebelumnya di
pasar dan baru dalam arti ada hal yang berbeda yang merupakan
penyempurnaan atau perbaikan dari produk sebelumnya yang pernah ditemui
konsumen di pasar.
Kata inovasi dapat diartikan sebagai “proses” atau “hasil”
pengembangan dan atau pemanfaatan atau mobilisasi pengetahuan,
keterampilan (termasuk keterampilan teknologis) dan pengalaman untuk
menciptakan atau memperbaiki produk, proses yang dapat memberikan nilai
yang lebih berarti.
Menurut Ronsfeld dalam Sutarno (2012:132), inovasi adalah
transformasi pengetahuan kepada produk, proses dan jasa baru, tindakan
menggunakan sesuatu yang baru. Sedangkan menurut Mitra pada buku
tersebut dan pada halaman yang sama, bahwa inovasi merupakan eksploitasi
yang berhasil dari suatu gagasan baru atau dengan kata lain merupakan
mobilisasi pengetahuan, keterampilan teknologis dan pengalaman untuk
menciptakan produk, proses dan jasa baru. Namun menurut Vontana
(2009:20), inovasi adalah kesuksesan ekonomi dan sosial berkat
diperkenalkannya cara baru atau kombinasi baru dari cara-cara lama dalam
mentransformasi input menjadi output yang menciptakan perubahan besar
dalam hubungan antara nilai guna dan harga yang ditawarkan kepada
konsumen dan/atau pengguna, komunitas, sosietas dan lingkungan.

14
BAB III
METODE PENULISAN

A. DESAIN PENELITIAN
Metode dalam penelitian ini adalah pendekatan eksperimental.
Pendekatan secara eksperimental dilakukan dengan pembuatan mie berbahan
dasar jawawut. Dalam proses eksperimen dilakukan beberapa percobaan
untuk menentukan karakter tepung jawawut yang digunakan dan
perbandingan bahan pembuatan mie. Asumsi yang kami gunakan adalah
eksperimen pembuatan dilakukan beberapa kali dengan evaluasi pada setiap
penentuan perbandingan dan komposisi agar mendapatakan kualitas yang
sesuai.
Metode Pengumpulan data menggunakan studi literatur dan
eksperimen. Studi literatur digunakan untuk mencari informasi mengenai
tanaman jawawut, ketahanan pangan, dan kawasan karst dari sumber buku
literatur, internet, dan jurnal penelitian. Eksperimen dalam penelitian ini
digunakan untuk mencari komposisi bahan pembuatan produk serta untuk
menentukan tekstur dan cita rasa produk
Metode analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif didukung
dengan data kualitatif. Eksperimen yang dilakukan dalam pembuatan
kemudian dianalisis secara deskriptif.

B. TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN


Proses penelitian ini dibagi menjadi dua tempat yaitu proses pembuatan
produk dan pengemasan produk. Pembuatan produk dilaksanakan di rumah
salah satu teman kami tepatnya di Jl. Mawar No.27, Kadirojo 2,
Purwomartani, Kalasan, Sleman, Yogyakarta. dikarenakan pertimbangan
kelengkapan peralatan yang dimiliki dan akses yang dekat dengan
penggilingan. Pengemasan dilakukan di. Pengemasan dilakukan agar produk
ini dapat bersaing dengan mie berbahan dasar terigu di pasaran.

15
Tabel 1. Waktu Penelitian
No. Waktu Kegiatan
1 10 Desember 2017 Rancang konsep produk
2 15 Desember 2017 Pembuatan Abstrak
3 5 - 7 Januari 2018 Pembuatan produk “Mawut”
4 25 – 27 Januari 2018 Uji coba dan evaluasi produk
5 22 Desember 2017 – 27 Penyusunan laporan penelitian
Januari 2018

C. ALAT DAN BAHAN


Pembuatan Mawut menggunakan alat dan bahan sebagian besar didapat
secara mudah di pasaran. Mesin penggilingan tepung menggunakan jasa
penggilingan di Pasar Beringharjo Yogyakarta. Oven yang digunakan untuk
memanggang mie dalam proses pengeringan adalah milik salah satu anggota
peneliti. Berikut adalah rincian alat dan bahan yang digunakan:
Berikut adalah rincian alat dan bahan yang digunakan:
1. Alat :
a. Mesin penggiling tepung
b. Penggiling kayu
c. Alat pembuat mie
d. Oven
2. Bahan:
a. Tepung jawawut (1kg)
b. Tepung terigu (secukupnya)
c. Tepung tapioka (50 gram)
d. Tepung beras (250 gram)
e. Telur (3 butir)
f. Garam (secukupnya)
g. Gula (secukupnya)
h. Bawang putih (secukupnya)
i. Air (1200 ml)
D. PROSEDUR PENELITIAN

16
Langkah-langkah penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini supaya
tujuan penelitian tercapai sebagai berikut:
1. Melakukan studi pustaka dan mengidentifikasi latarbelakang penolakan
petani terhadap pembangunan pabrik semen dikawasan pertanian karst.
2. Melakukan studi pustaka karakteristik tanah pada kawasan karst dan jenis
tanaman yang memiliki syarat hidup sesuai dengan kondisi lapangan.
3. Membuat desain penelitian berupa pengembangan jawawut menjadi
produk mie.
4. Merumuskan tahapan pembuatan mie dengan bahan dasar tepung
jawawut.
5. Melakukan proses pembuatan mie dengan bahan dasar tepung jawawut
dengan beberapa kali percobaan komposisi dan perbandingan bahan.
6. Melakukan evaluasi terhadap mie dengan bahan dasar jawawut meliputi
rasa, warna, tekstur, dan waktu ketahanan
7. Membuat desain kemasan dan melakukan pengemasan pada produk mie.

E. DIAGRAM ALIR PENELITIAN

17
Mulai

Studi Uteratur

Perumusan masalah dan tujuan

Metode penelitian

Survey jenis jawawut yang sesuai

Pengolahan jawawut menjadi


tepung Tekstur
Pembuatan adonan
kenyal
dan tahap dua dengan
Pembuatan adonan dengan sesuai presentase 80%
presentase jawawut 100%

Penyempurnaan adonan dengan


perebusan Tekstur
YA kenyal
dan TIDAK
Pendinginan adonan pada suhu sesuai
kamar

Pembentukan lembaran mie

YA

Pengeringan mie

Pengemasan produk

Mawut Selesai

18
BAB IV
PEMBAHASAN

A. PEMBUATAN MAWUT
Pembuatan jawawut diawali dengan pemilihan jenis jawawut yang tepat
dan studi literasi tentang pembuatan mie. Eksperimen pembuatan Mawut
dilakukan dalam dua tahap yaitu tahap percobaan dan tahap penyempurnaan.
Tahap percobaan dilakukan untuk menentukkan komposisi yang tepat. Dalam
penentuan komposisi yang sesuai dilakukan dalam dua kali percobaan.
Pada percobaan pertama, seluruh komponen adonan menggunakan
tepung jawawut. Setelah dilakukan proses pembuatan adonan, tekstur dari
adonan tidak sesuai dengan tekstur ideal sehingga tidak bisa diproses menjadi
mie. Berdasarkan hasil percobaan pertama, kami mengevaluasi komposisi
pertama dan berasumsi bahwa diperlukan jenis tepung lain yang dapat
berperan sebagai pengikat.
Percobaan kedua pembuatan adonan menggunakan campuran beberapa
jenis tepung sebagai pengikat. Penggunaan tepung jawawut mencapai 80%
dari keseluruhan adonan. Berdasarkan hasil percobaan yang kedua, adonan
yang dihasilkan belum sesuai secara keseluruhan dilihat dari tekstur. Dengan
penggunaan air yang minimun, adonan yang dihasilkan belum mampu
memenuhi adonan yang bisa diolah menjadi mie. Dilihat secara kasat mata,
kandungan air pada adonan tinggi.
Untuk bisa menghasilkan tesktur adonan yang kenyal dan tidak terlalu
basah, kami melakukan beberapa eksperimen. Adonan dengan presentase
jawawut 80% kami rebus dengan air mendidih. Tahap perebusan kami
lakukan dengan asumsi, kandungan air pada adonan bisa menguap ketika
dipanaskan sehingga kandungan air dapat dikurangi. Ada tahap perebusan
adonan diaduk dengan kuat agar tidak gosong dan lengket. Berdasarkan hasil
dari tahapan perebusan, kami mengevaluasi bahwa tekstur adonan sudah
mencukupi untuk diproses lebih lanjut menjadi mie.

19
Tahapan selanjutnya adalah perumusan langkah-langkah pembuatan
Mawut sebagai berikut :
1. Pembuatan bahan baku. Bahan baku utama berupa tepung jawawut.
Jawawut dicuci terlebih dahulu sebelum digiling menggunakan mesin
penggiling. Penggilingan dilakukan di pasar tradisional setempat.
2. Pembuatan andonan. Pertama, siapkan bahan baku berupa tepung
jawawut(1 kg), tepung beras (250 gram), dan tepung tapioka (50 gram).
Dan wadah adonan berupa baskom. Dengan bahan tersebut dapat
menghailkan sekitar 1 kg mie kering. Masukkan semua bahan tersebut
kedalam wadah dan campur semua tepung tersebut hingga rata. Kedua,
masukan air matang 1200 ml dan tiga butir telur yang sudah dikocok
kedalam adonan. Sebagai bumbu, tambahkan satu siung bawang putih
yang sudah dihaluskan dan satu sendok makan garam kedalam adonan.
Aduk adonan hingga merata. Pada tahap ini tekstur adonan belum kenyal
dan masih cenderung encer sehingga dilakukan proses perebusan. Kedua,
didihkan air dan masukan adonan secukupnya kedalam air mendidih.
Adonan harus diaduk secara terus menerus secara konstan. Pengadukkan
harus dilakukan dengan kuat dan cepat agar adonan tidak menghitam.
Ketika sudah mulai menggumpal, angkat dan pindahkan pada wadah yang
lebih yang luas. Diamkan hingga dingin.
3. Pembuatan mie. proses pembuatan mie dilakukan dengan cara manual,
dikarenakan keterbatasan data untuk menggunakan alat pencetak otomatis.
Adonan yang sudah dingin di lumuri dengan tepung terigu agar tidak
lengket, kemudian giling dengan gilingan kayu hingga tipis. Setelah
adonan menjadi tipis, dapat dipotong memenajang dengan pisau. Jenis mie
yang dihasilkan berbentuk seperti mie kwetiau.
4. Pengeringan mie. Pengeringan mie dilakukan untuk memperpanjang umur
mie. untuk mendapatkan kandungan air yang rendah, Mawut dikeringkan
menggunakan microwave. Pemanggangan dilakukan selama kurang lebih 6
menit. Hasil dari pemanggangan berupa bentuk mie yang lebih keras
Penggunaan jawawut sebagai bahan dasar dari mie merupakan inovasi.
Dikatakan inovasi dikarenakan, jawawut selama ini belum pernah digunakan

20
sebagai bahan dasar mie. Mawut merupakan hasil dari suatu proses
pengembangan dan pemanfaatan pengetahuan, keterampilan dan pengalaman
dalam pembuatan mie. Penggunaan jawawut dari hasil penerapan gagasan alih
budidaya pertanian yang selanjutnya diolah dan diproduksi menjadi mie
dibawah badan usaha berbentuk koperasi, bertujuan untuk mencapai
kesuksesan ekonomi dan sosial. Kesuksesan ekonomi dan sosial yang tercapai
akan berdampak pada mandirinya suatu daerah dan bangsa. Mawut merupakan
inovasi dalam bidang pangan yang dalam penerapannya dapat mempercepat
tercapainya ketahanan pangan dan peningkatan ekonomi untuk Indonesia
mandiri di masa yang akan datang.

21
B. SKEMA PENERAPAN GAGASAN
Sosialisasi Petani Sosialisasi

Gagasan alih
bubidaya lahan

Dijadikan Di Jual
bibit Produksi jawawut

Di produksi menjadi
mie oleh badan usaha
berupa koperasi
Bantuan pelatihan Bantuan pelatihan
dan penyediaan dan penyediaan
Mawut
alat alat
(mie jawawut)

Pengemasan

Bantuan Bantuan
pemerintah Distribusi perusahaan pemasaran
pemasar

an Lokal konsumsi

Profit Penjualan
Luar daerah

Khas Koperasi

Pemutaran uang oleh


koperasi di bawah
BUMD

Peningkatan
produksi

Kesejahteraan
petani
22
KETAHANAN PANGAN
C. TINJAUAN ASPEK KEBERLANJUTAN MAWUT
Aspek keberlanjutan diperlukan untuk meninjau suatu produk apakah
pantas atau tidak untuk dikembangkan. Tinjauan aspek keberlanjutan meliputi
analisa dimensi ekonomi, analisa dimensi kepemilikan sumber daya, dan
analisa dimensi ekologi.
Analisa dimensi ekonomi berfungsi untuk mengetahui apakah produk
yang akan dibuat dapat menguntungkan atau tidak dan layak atau tidak layak
jika diproduksi dilihat dari sudut pandang ekonomi. Mawut menguntungkan
jika dilihat dari berbagai segi seperti bahan baku dan dampak ekonomi yang
akan didapat. Penggunaan jawawut sebagai bahan baku mie dapat menekan
biaya produksi dari segi bahan baku. Bahan baku yang selalu ada dan tidak
perlu mengimpor dari luar negeri memberi nilai tambah dari segi ekonomi.
Perawatan yang mudah ditambah syarat hidup yang rendah menjadikan harga
bahan baku utama yaitu jawawut dapat ditekan sehingga harga Mawut dapat
bersaing dipasaran.
Pemilihan mie sebagai jenis produk olahan jawawut dikarenakan
pembuatan mie yang lebih mudah diproduksi dan mayoritas masyarakat
Indonesia yang menyukai mie. Dalam gagasan ini, Mawut diproduksi oleh
sebuah badan usaha yang berbentuk koperasi dibawah BUMD. Keterlibatan
Pemerintah Daerah dan perusahaan terkait diperlukan dalam hal penyediaan
alat produksi, pelatihan, dan Bentuk koperasi digunakan karena koperasi
memiliki ijin untuk mengeluarkan suatu produk. Koperasi dapat menjadi
wadah produksi dan pemasaran dari Mawut. Anggota dari koperasi tersebut
merupakan para petani jawawut, warga sekitar yang berkerja dibagian
produksi Mawut, dan penanam modal koperasi. Koperasi dikelola oleh
kepengurusan dari daerah sekitar dibawah BUMD. Hasil dari penjualan
Mawut menjadi sebagian dari pemasukkan koperasi untuk kemudian diputar
kembali untuk mensejahterakan anggotanya. Dilihat dari analisa dimensi
ekonomi, gagasan Mawut layak untuk diimplementasikan.
Analisis dimensi kepemilikan sumber daya dilakukan untuk mengetahui
kelayakan produk yang akan diproduksi dengan memperhitungkan

23
ketersediaan bahan bakunya. Mawut bebahan dasar jawawut. Jawawut
merupakan tanaman sepanjang tahun sehingga bisa diproduksi tanpa adanya
ketergantungan pada cuaca. Perawatan yang mudah dan murah disertai
dengan adanya sistem yang jelas dan tertata, memberi kepastian kepada
petani jawawut sehingga bisa menjadi pendorong terbentuknya sektor
produksi bahan baku yang konsisten. Dilihat dari segi dimensi kepemilikan
sumber daya, Mawut layak untuk diimmplementasikan.
Analisis dimensi ekologi dalam pembuatan Mawut adalah dampak pada
peningkatan nilai lahan pertanian. Lahan pertanian pada kawasan karst yang
terdampak pabrik semen mengalami penurunan nilai lahan pertanian.
Ancaman penyempitan lahan diikuti dengan penurunan produktivitas lahan
menjadi permasalahan utama. Pembuatan Mawut yang berbahan dasar
jawawut dari hasil produksi alih budidaya pertanian dapat menaikkan nilai
lahan. Peningkatan nilai lahan ditandai dengan produktivitas per meter
persegi. Dilihat dari dimensi ekologi, gagasan Mawut dengan alih budidaya
pertanian layak untuk diimplementasikan.
Berdasarkan hasil analisa dari dimensi ekonomi, dimensi ekologi, dan
dimensi kepemilikan SDA gagasan alih budidaya pertanian dengan Mawut
sebagai produk utamanya memenuhi tinjauan aspek keberlanjutan.

24
BAB V
SARAN DAN SIMPULAN

A. KESIMPULAN
1. Pembuatan produk ini diawali dengan uji jenis jawawut yang sesuai
untuk diolah menjadi mie. Setelah tepung dari jawawut dapat dihasilkan,
pembuatan produk diawali dengan pembuatan adonan mie. Pembuatan
adonan mie dilakukan dalam dua tahap dengan komposisi tepung
jawawut yang berbeda untuk menghasilkan adonan yang sesuai. Adonan
selnjutnya dipanaskan agar mengental dan didinginkan pada suhu kamar.
Pencetakan mie. Mie yang sudah terbentuk di keringkan untuk
memeperpanjang umur mie.
2. Mawut diproduksi dibawah badan usaha berbentuk koperasi. Keuntungan
yang didapat menjadi pemasukkan bagi koperasi yang kemudian diputar
kembali untuk meningkatkan kesejahteraan anggota koperasi dan
pengembangan produk sehingga tercapainya ketahanan pangan.
3. Dilihat dari tinjauan aspek keberlanjutan, produk Mawut layak untuk
diproduksi kedepannya berdasarkan hasil analisa dimensi ekonomi,
dimensi ekologi, dan dimensi kepemilikan sumber daya.
B. SARAN
Bagi pemerintah dan perusahaan terkait, diharapkan dapat mendukung
gagasan ini dengan melakukan sosialisasi, pelatihan, dan pemberian bantuan
dalam bentuk modal, peralatan produksi, dan pemasaran. Bagi masyarakat,
diperlukan peran aktif dalam penerapan gagasan ini dan kepengurusan
koperasi.

25
DAFTAR PUSTAKA

Guntarto. 2009. Museum Kars Sebagai Ilmu Pengetahuan. Badan Geologi


Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral.
Ford dan Williams, 1989., Karst Geomorphoogy and Hidrology. London:
McGraw-Hill Book Company.

Kruger, J.E and R.B. Matsuo. 1996. Pasta and Noodle Technology. American
Association of Cereal Chemist, Inc. Minnesota.
Chamdani. 2005. Pemilihan Bahan Pengawet yang Sesuai pada Produk
MieBasah. (Skripsi). Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian
Bogor.Bogor.
Pagani, M.A. 1985. Pasta Product from Non Conventional Raw Material. P.
52-68. In Ch. Mercier and C. Cantarelli (Eds.). Pasta and Exstrusion
Cooked Foods. Proceeding of an International Symposium Held in Milan.
Italy. 25-25 March 1985.
Winarno, F.G. dan T.S. Rahayu. 1994. Bahan Makanan Tambahan untuk Makanan
dan Kontaminan. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Astawan. 1999. Membuat Mei dan Bihun. Jakarta: Penerbit Swadaya

Badrudin, C. 1994. Modifikasi Tepung Ubi Kayu (Manihot esculenta


Crantz) sebagai Bahan Pembuat Mie Kering. (Skripsi).
Fakultas Teknologi Pertanian,Institut Pertanian Bogor.
Suhardjo. 1996. Berbagai Cara Pendidikan Gizi. Bumi Aksara. Jakarta.
Suhardjo. 2000. Perencanaan Pangan dan Gizi. Bumi Aksara. Jakarta.

26
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

1. Ketua Peneliti
1. Nama : Joseph Emmanuel Ardine

3. NIS: 0021158786
4. E-mail : olgrando@gmail.com
5. No.Hp : 082220309502
6. Prestasi yang pernah diraih : -Medali Perunggu OPSI Sagasitas DIY
: -Juara 2 LKTIN Semarak Geografi 2017

2. Anggota Peneliti
7. Nama : Simfony Sophie

9. NIS: 0015255616
10. E-mail : -
11. No.Hp : 08985008255
12. Prestasi yang pernah diraih : -Medali Perak FIKSI Sagasitas DIY
: -Juara 2 LKTIN Semarak Geografi 2016

27
LAMPIRAN

28

Anda mungkin juga menyukai