Anda di halaman 1dari 40

BAGIAN ILMU KULIT DAN KELAMIN REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN MEI 2019


UNIVERSITAS HASANUDDIN

TATALAKSANA DERMATOFITOSIS
PADA KEHAMILAN

OLEH:

DISUSUN OLEH:

Nirwana Mustafa C014182041


Alma Aulia Rivanti C014182042
Nur Jadi C014182043
Nur Inda Rahmayani C014182044
Gia Purnama Muthmainnah C014182045

Pembimbing Residen
dr. Ivan Kurniadi

Dosen Pembimbing
dr. Safruddin Amin, Sp.KK(K), MARS, FINSDV, FAADV.

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN KULIT DAN KELAMIN FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2019
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan bahwa:


Nama:
1. Nirwana Mustafa C014182041
2. Alma Aulia Rivanti C014182042
3. Nur Jadi C014182043
4. Nur Inda Rahmayani C014182044
5. Gia Purnama Muthmainnah C014182045

Judul Referat: Tatalaksana Dermatofitosis pada Kehamilan

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada


Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin.

Makassar, Mei 2019

Pembimbing Supervisor Pembimbing Residen

dr. Safruddin Amin, Sp.KK(K), MARS, FINSDV, FAADV. dr. Ivan Kurniadi

DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN............................................................................................ii
DAFTAR ISI.....................................................................................................................iii

ii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN...................................................................................................3
2.1 Definisi...........................................................................................................4
2.2 Etiologi...........................................................................................................4
2.3 Patogenesis.....................................................................................................9
2.4 Manifestasi Klinis.........................................................................................14
2.5 Tatalaksana Umum.......................................................................................24
2.6 Tatalaksana pada kehamilan…………....…………………………………………34

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................39

iii
BAB I

PENDAHULUAN

Kulit adalah organ tubuh yang terletak paling luar dan membatasinya dari
lingkungan hidup manusia. Kulit merupakan organ yang esensial dan vital serta
merupakan cermin kesehatan dan kehidupan. Kulit juga sangat kompleks, elastik
dan sensitif, bervariasi pada keadaan iklim, umur, jenis kelamin, ras dan juga
sangat bergantung pada lokasi tubuh.1

Pada zaman sekarang ini, dengan berkembangnya kebudayaan dan


perubahan tatanan hidup dari waktu ke waktu, sedikit banyak mempengaruhi pola
penyakit. Begitu pula kemajuan di bidang sosial ekonomi dan teknologi
kedokteran dapat mengubah arti penyakit jamur, yang dahulunya tidak berarti
menjadi berarti dalam kehidupan manusia sekarang ini. Penyakit kulit di
Indonesia pada umumnya lebih banyak disebabkan itu infeksi bakteri, jamur,
virus, parasit, dan penyakit dasar alergi. Hal ini berbeda dengan negara barat yang
lebih banyak dipengaruhi oleh faktor degeratif. Disamping perbedaan penyebab,
faktor lain seperti iklim, kebiasaan dan lingkungan juga ikut memberikan
perbedaan dalam gambar klinis penyakit kulit.4

Data epidemiologis menunjukkan bahwa penyakit kulit karena jamur


superfisial (mikosis superfisialis) merupakan penyakit kulit yang banyak dijumpai
pada semua lapisan masyarakat, baik di pedesaan maupun perkotaan, tidak hanya
di negara berkembang tetapi juga di negara maju. Meskipun penyakit ini tidak
fatal, namun karena bersifat kronik dan residif, serta tidak sedikit yang resisten
dengan obat anti jamur, maka penyakit dapat menyebabkan gangguan
kenyamanan dan menurunkan kualitas hidup bagi penderitanya.6

Faktor-faktor yang memegang peranan untuk terjadinya dermatomikosis


adalah iklim yang panas, higiene (kebersihan diri) masyarakat yang kurang,
adanya sumber penularan di sekitarnya, penggunaan obat-obatan antibiotik,
steroid dan sitostatika yang meningkat, adanya penyakit kronis dan penyakit
sistemik lainnya.13 Dalam praktik sehari-hari sering ditemukan kasus-kasus
mikosis superfisialis seperti dermatofitosis (kurap) dan Pitiriasis versikolor (panu)
terutama pada kehamilan.

Kehamilan adalah kondisi fisiologis yang rentan untuk terkena infeksi


terutama infeksi yang disebabkan karena jamur. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa
faktor diantaranya yaitu toleransi imun fisiologis, pertambahan berat badan, dan
peningkatan keringat karena perubahan hormon. Oleh karena itu pemberian obat
selama kehamilan melibatkan pertimbangan dua individu yaitu ibu dan janin.1

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 DEFINISI

Dermatofit ialah golongan jamur yang menyebabkan dermatofitosis.


Golongan jamur ini memiliki sifat mencerna keratin. Dermatofita termasuk
kelas Fungi imperfecti yang terbagi dalam 3 genus, yaitu Microsporum,
Trichophyton, dan Epidermophyton. Selain sifat keratofilik masih banyak
sifat yang sama diantara dermatofita, misalnya sifat faali, taksonomis,
antigenic, kebutuhan zat makanan untuk pertumbuhannya, dan penyebab
penyakit.1

2.2 ETIOLOGI

Hingga kini dikenal sekitar 41 spesies dermatofita, masing-masing 2


spesies Epidermophyton, 12 spesies Microsporum, dan 21 spesies
Trichophyton. Juga telah ditemukan bentuk sempurna (perfect stage) pada
dermatofita tersebut. Adanya bentuk sempurna yang terbentuk oleh dua
koloni yang berlainan jenisnya ini menyebabkan dermatofita masuk ke family
Gymnoascaceae. Dari beberapa spesies dermatofita, misalnya genus
Nannizzia dan Arthroderma masing-masing dihubungkan dengan genus
Microsporum dan Trichophyton. 1

Untuk kepentingan klinis dan epidemiologis, dermatofita yang


menginfeksi manusia dibagi berdasarkan tempat hidupnya, aitu geofilik unutk
jamur yang berasal dari tanah antara lain Microsporum gypseum; golongan
zoofilik berasal dari hewan misalnya Microsporum canis, antropofilik khusus
untuk jamur yang bersumber dari manusia contohnya Trichophyton rubrum. 1

4
Tabel 2.1 Pola Infeksi Integumen Akibat Mikosis Superfisial.2

Tabel 2.2 Habitat dan Host Dermatofit secara Umum dan Transmisinya. 2,9

Tinea corporis
Semua Dermatofit dapat berpotensi menyebabkan tinea corporis, tapi
Trichophyton rubrum adalah patogen yang paling umum di seluruh dunia,
diikuti oleh Trichophyton mentagrophytes.9
Tinea corporis dapat berpindah dari manusia ke manusia (termasuk
autoinoculation, misalnya dari tinea capitis atau tinea pedis), dari hewan ke
manusia (sering ditularkan oleh hewan domestik), atau menyebar dari tanah
ke manusia (Lihat tabel 2.2). Sumber penularan juga termasuk eksposur saat
pekerjaan atau saat rekreasi (misalnya perumahan militer, gimnasium, ruang
loker, kegiatan di luar ruangan, gulat) dan kontak dengan pakaian yang
terkontaminasi atau barang lainnya. 9
Tinea imbrikata adalah dermatoftosis yang disebabkan oleh dermatofit
antropofilik Trichophyton consentricum. Hal ini menyebabkan infeksi kronis
di negara-negara yang berada di garis khatulistiwa, meliputi Pasifik Selatan,

5
Asia, dan Amerika Tengah dan Selatan. Tiga agen penyebab yang paling
umum adalah Epidermophyton floccosum, Trichophyton rubrum, dan
Trichophyton mentagrophytes (Tabel 2.3). 9

Tabel 2.3 Dermatofit yang Paling Umum Menyebabkan Tinea Corporis. 9


Tinea Cruris
Tinea cruris adalah infeksi dermatofit pada daerah inguinal, khusunya
daerah paha bagian atas sebelah dalam dan lipatan tungkai bawah yang dapat
memungkinkan perluasan ke daerah abdomen dan gluteus. Terdapat tiga agen
penyebab yang paling sering, yakni Epidermophyton floccosum, Tricophyton
rubrum and Tricophyton mentagrophytes (Tabel 2.4).
Kondisi ini lebih sering ditemukan pada pria dibanding wanita, saat
scrotum menyebabkan timbulnya lingkungan yang hangat dan lembab, dimana
kondisi ini mendukung pertumbuhan jamur, serta pada pria lebih sering
dengan tinea pedis dan onikomikosis sebagai sumber dari dermatofit. Faktor
predisposisi lain adalah obesitas dan keringat yang berlebih. Tinea cruris
sering dikaitkan dengan tinea pedis, sebab pakaian yang digunakan / saat
menggunakan celana menyentuh kaki lalu bersentuhan pada kulit di lipatan
paha. 9

6
Tabel 2.4 Patogen Penyebab Tinea Cruris secara Umum. 9
Tinea Manum
Infeksi Dermatofit pada aspek dorsal tangan memiliki presentasi
klinis yang mirip dengan tinea corporis. Akan tetapi, infeksi dermatofit pada
telapak tangan dan celah interdigital memiliki karakteristik yang berbeda dan
lebih mengarah sebagai tinea manum. Penyebab adanya dua gambar klinis
yang berbeda dianggap berkaitan dengan kurangnya kelenjar sebaceous pada
telapak tangan. Organisme penyebab yang khas adalah sama seperti untuk
tinea pedis dan tinea cruris: Trichophyton rubrum, Trichophyton
mentagrophytes, dan Epidermophyton floccosum. 9
Tinea Barbae
Tinea Barbae adalah dermatofitosis yang melibatkan daerah
berjanggut wajah dan leher pada pria. Oleh karena penyakit ini sering
diperoleh dari hewan, organisme penyebab biasanya dermatofit zoophilic,
yaitu Trichophyton mentagrophytes dan Trichophyton verrucosum. Infeksi
Microsporum canis atau Trichophyton rubrum jarang terjadi. Di beberapa
wilayah geografis, dermatofit antropofilik lainnya (Tricophyton schoenleinii,
Tricophyton violaceum, dan Tricophyton megninii) adalah endemik dan juga
menyebabkan tinea barbae. Jenis kedua tinea barbae lebih superfisial,
infalmasi minimal, dan mirip dengan tinea corporis. Trichophyton rubrum
biasanya agen penyebab dalam jenis ini. 9

Tinea Capitis
Patogen penyebabnya hanya anggota dari dua genera: Trichophyton
dan Microsporum. Trichophyton tonsurans saat ini adalah penyebab paling
umum tinea capitis di Amerika Serikat (untuk > 90% kasus), dengan etiologi
kedua paling sering adalah Microsporum canis. Secara global, terdapat
variasi yang signifikan dalam epidemiologi tinea capitis. Sementara
Microsporum canis adalah penyebab umum di banyak negara, Trichophyton
tonsurans menjadi agen utama di Eropa dan di tempat lain. Insiden tinea

7
capitis akibat Trichophyton violaceum, yang merupakan endemik di Afrika,
juga baru-baru ini meningkat di beberapa daerah di Amerika Serikat dan
Eropa, mungkin mencerminkan pola imigrasi. 9
Tinea Pedis
Tinea pedis adalah infeksi Dermatofit pada telapak dan celah
interdigital kaki. Dermatofit yang biasanya menjadi penyebab tinea pedis
adalah Trichophyton rubrum dan Trichophyton interdigitale (sebelumnya
Trichophyton mentagrophytes var. interdigitale), Trichophyton
mentagrophytes, Epidermophyton floccosum, dan Trichophyton tonsurans
(pada anak). 9
Tinea Unguium (Onikomikosis dermatofitosis)
Onikomikosis adalah istilah yang digunakan untuk mencakup semua
infeksi jamur pada kuku dan termasuk yang karena dermatofit serta non-
dermatofit.
Tinea unguium mengacu pada infeksi dermatofit unit kuku. Hal ini
terjadi di seluruh dunia, tapi pria lebih sering dibandingkan wanita serta
sering dikaitkan dengan tinea pedis kronis. Trauma dan kelainan pada kuku
lainnya merupakan faktor predisposisi. Meskipun semua dermatofit dapat
menyebabkan tinea unguium, Microsporum spp. adalah penyebab yang
sangat jarang. Patogen penyebab yang paling umum adalah Tricophyton
rubrum, Trichophyton interdigitale, Trichophyton tonsurans (pada anak), dan
Epidermophyton floccosum. 9

2.3 PATOGENESIS

2.3.1. Penetrasi Dermatofit Melewati dan diantara Sel

Kemungkinan rute untuk masuknya dermatofit ke dalam tubuh host yaitu


kulit yang terluka, bekas luka dan luka bakar. Penyebab infeksi adalah arthrospora
atau conidia. Patogen menyerang lapisan paling atas, yang terdiri dari sel mati,
merupakan lapisan kulit yang berkeratin yaitu Stratum korneum, yang
menghasilkan eksoenzim keratinase dan menginduksi reaksi inflamasi di lokasi
infeksi. Proses peradangan menyebabkan patogen berpindah dari lokasi infeksi
menuju dan tinggal di tempat lain. Perpindahan organisme dari lokasi infeksi
menghasilkan lesi bercincin yang klasik. 10

8
Adapun tahapan terjadinya suatu dermatofitosis yakni:

1. Perlekatan pada Keratinosit

Dermatofit melewati beberapa baris pertahanan host sebelum hifa mulai


berkembang dalam jaringan keratin. Tahap pertama adalah terjadinya perlekatan
pada keratinosit arthroconidia, spora aseksual dibentuk oleh fragmentasi hifa,
untuk keratin melalui adhesin untuk menghasilkan perubahan ekspresi gen.
Dermatofit membuat penggunaan selektif dari unsur proteolitik mereka selama
proses perlekatan dan invasi. Setelah beberapa jam keberhasilan adhesi, spora
mulai berkecambah dalam persiapan untuk rantai proses infektif tahap berikutnya,
invasi. 10

2. Invasi

Trauma dan maserasi memfasilitasi penetrasi dermatofit melalui kulit.


Invasi elemen jamur germinating lebih lanjut dicapai melalui sekresi protease,
lipase, dan ceramidase tertentu. Produk hasil pencernaan juga berfungsi sebagai
sumber nutrisi jamur. Menariknya, komponen dinding sel jamur, termasuk β-
Glucan, galactomannans, dan chitin, menunjukkan efek penghambatan pada
proliferasi keratinosit (untuk memungkinkan invasi sebelum deskuamasi) dan
imunitas dimediasi sel. Setelah dermatofit menembus epidermis ke dermis,
pengikatan adhesin ke elastin lagi mengubah ekspresi gen. 2

9
Gambar 2.1. Skema jalur masuk dermatofit ke dalam sistem tubuh host dan onset
dari repson imun ketika patogen masuk. 10

Spora harus tumbuh dan menembus masuk stratum korneum dengan


kecepatan melebihi proses deskuamasi. Dermatofit mengeluarkan “persenjataan”
yang luas dari enzim (misalnya, protease keratinolisis, lipase) dan faktor virulensi
lainnya yang mendukung. Dermatofit menggunakan keratin sebagai sumber
nutrisi, invasi, dan pertumbuhan elemen Mycelial untuk bertahan hidup di
jaringan keratin. Sebagai akibat dari degradasi keratin, maka selanjutnya proses
tersebut diikuti dengan pelepasan mediator pro-inflamasi. Host memperlihatkan
respon inflamasi dari berbagai tingkat. Beratnya peradangan tergantung pada
faktor patogen dan host. 10

Diperlukan waktu 4–6 jam untuk germinasi dan penetrasi ke stratum


korneum setelah spora melekat pada keratin. Dalam upaya bertahan dalam
menghadapi pertahanan imun yang terbentuk tersebut, jamur patogen
menggunakan beberapa cara:

1) Penyamaran, antara lain dengan membentuk kapsul polisakarida yang tebal,


memicu pertumbuhan filamen hifa, sehinggga glucan yang terdapat pada
dinding sel jamur tidak terpapar oleh dectin-1, dan dengan membentuk
biofilamen, suatu polimer ekstra sel, sehingga jamur dapat bertahan terhadap
fagositosis. 10

10
2) Pengendalian, dengan sengaja mengaktifkan mekanisme penghambatan imun
pejamu atau secara aktif mengendalikan respons imun mengarah kepada tipe
pertahanan yang tidak efektif, contohnya adhesin pada dinding sel jamur
berikatan dengan CD14 dan komplemen C3 (CR3, MAC1) pada dinding
makrofag yang berakibat aktivasi makrofag akan terhambat. 10
3) Penyerangan, dengan memproduksi molekul yang secara langsung merusak
atau memasuki pertahanan imun spesifik dengan mensekresi toksin atau
protease. Jamur mensintesa katalase dan superoksida dismutase, mensekresi
protease yang dapat menurunkan barrier jaringan sehingga memudahkan
proses invasi oleh jamur, dan memproduksi siderospore (suatu molekul
penangkap zat besi yang dapat larut) yang digunakan untuk menangkap zat
besi untuk kehidupan aerobik. 10

Kemampuan spesies dermatofit menginvasi stratum korneum bervariasi


dan dipengaruhi oleh daya tahan pejamu yang dapat membatasi kemampuan
dermatofit dalam melakukan penetrasi pada stratum korneum. 10

2.3.2. Respons Imun Pejamu

Respon imun pejamu terdiri dari dua mekanisme, yaitu imunitas alami
yang memberikan respons cepat dan imunitas adaptif yang memberikan respons
lambat. Pada kondisi individu dengan sistem imun yang lemah
(immunocompromized), cenderung mengalami Dermatofitosis yang berat atau
menetap. Pemakaian kemoterapi, obat-obatan, transplantasi dan penggunaan
steroid dapat meningkatkan kemungkinan terinfeksi oleh dermatofit non
patogenik. 10

 Mekanisme Pertahanan Non Spesifik

Pertahanan non spesifik atau juga dikenal sebagai pertahanan alami terdiri
dari:

1. Struktur, keratinisasi, dan proliferasi epidermis, bertindak sebagai barrier


terhadap masuknya dermatofit. Stratum korneum secara kontinyu
diperbarui dengan keratinisasi sel epidermis sehingga dapat
menyingkirkan dermatofit yang menginfeksinya. Proliferasi epidermis

11
menjadi benteng pertahanan terhadap dermatofitosis, termasuk proses
keradangan sebagai bentuk proliferasi akibat reaksi imun yang dimediasi
sel T.
2. Adanya akumulasi netrofil di epidermis, secara makroskopi berupa pustul,
secara mikroskopis berupa mikroabses epidermis yang terdiri dari
kumpulan netrofil di epidermis, dapat menghambat pertumbuhan
dermatofit melalui mekanisme oksidatif.
3. Adanya substansi anti jamur, antara lain unsaturated transferrin dan 2-
makroglobulin keratinase inhibitor dapat melawan invasi dermatofit. 10

 Mekanisme Pertahanan Spesifik

Lokasi infeksi dermatofit yang superfisial tetap dapat membangkitkan baik


imunitas humoral maupun cell-mediated immunity (CMI). Pembentukan CMI
yang berkorelasi dengan Delayed Type Hypersensitivity (DTH) biasanya
berhubungan dengan penyembuhan klinis dan pembentukan stratum korneum
pada bagian yang terinfeksi. Kekurangan CMI dapat mencegah suatu respon
efektif sehingga berpeluang menjadi infeksi dermatofit kronis atau berulang.
Respons imun spesifik ini melibatkan antigen dermatofit dan CMI.10

 Antigen Dermatofit

Dermatofit memiliki banyak antigen yang tidak spesifik menunjukkan


spesies tertentu. Dua kelas utama antigen dermatofit adalah: glikopeptida dan
keratinase, di mana bagian protein dari glikopeptida menstimulasi CMI, dan
bagian polisakarida dari glikopeptida menstimulasi imunitas humoral. Antibodi
menghambat stimulasi aktivitas proteolitik yang disebabkan oleh keratinase, yang
dapat memberikan respons DTH yang kuat. 10

 Cell Mediated Immunity

Pertahanan utama dalam membasmi infeksi dermatofit adalah CMI, yaitu


T cell-mediated DTH. Kekurangan sel T dalam sistem imun menyebabkan
kegagalan dalam membasmi infeksi dermatofit. Penyembuhan suatu penyakit

12
infeksi pada hewan dan manusia, baik secara alamiah dan eksperimental,
berkorelasi dengan pembentukan respon DTH. Infeksi yang persisten seringkali
terjadi karena lemahnya respon transformasi limfosit in vitro, tidak adanya respon
DTH, dan peningkatan proliferasi kulit dalam respon DTH. Reaksi DTH di
mediasi oleh sel Th1 dan makrofag, serta peningkatan proliferasi kulit akibat
respon DTH merupakan mekanisme terakhir yang menyingkirkan dermatofit dari
kulit melalui deskuamasi kulit. 10

Respon sel Th1 yang ditampilkan dengan ciri pelepasan interferon gamma
(IFN-γ), ditengarai terlibat dalam pertahanan pejamu terhadap dermatofit dan
penampilan manifestasi klinis dalam dermatofitosis. Respons T Helper-1(Th1).
Sitokin yang diproduksi oleh sel T (Sitokin Th1) terlibat dalam memunculkan
respon DTH, dan IFN- γ dianggap sebagai faktor utama dalam fase efektor dari
reaksi DTH. Pada penderita dermatofitosis akut, sel mononuklear memproduksi
sejumlah besar IFN- γ untuk merespon infeksi dermatofit. Hal ini dibuktikan
dengan ekspresi mRNA IFN- γ pada lesi kulit dermatofitosis. Sedangkan pada
penderita dermatofitosis kronis, produksi IFN-γ secara nyata sangat rendah yang
terjadi akibat ketidakseimbangan sistem imun karena respon Th2. 10

Sel Langerhans, Infiltrat radang pada dermatofitosis terutama terdiri dari sel T
CD4+ dan sel T CD8+ yang dilengkapi oleh makrofag CD68+ dan sel
Langerhans CD1a+. Sel Langerhans dapat menginduksi respon sel T terhadap
Trichophyton, serta bertanggung jawab dalam pengambilan dan pemrosesan
antigen pada respon Th1 pada lesi infeksi dermatofit. 10

2.4 MANIFESTASI KLINIS

Pasien dermatofitosis merasa gatal, kelainan berbatas tegas, terdiri atas


macam-macam effloresensi kulit (polimorf). Bagian tepi lesi lebih aktif (lebih
jelas tanda-tanda peradangan) daripada bagian tengah sehingga disebut eczema
marginatum.1

2.4.1 Tinea Pedis / Athlete’s Foot

Tinea pedis adalah infeksi jamur superficial terutama pada sela-sela jari dan
telapak kaki. Tinea pedis yang sering terlihat adalah bentuk interdigitalis. Di

13
antara jari IV dan V terlihat fisura yang dilingkari sisik halus dan tipis. Kelainan
ini dapat meluas ke bawah jari (subdigitalis) dan juga ke sela jari yang lain
(gambar 2.1). Oleh karena daerah ini lembab, maka sering dilihat maserasi. Aspek
klinis maserasi berupa kulit putih dan rapuh. Bila bagian kulit yang mari
dibersihkan, maka akan terlihat kulit baru, yang pada umunya juga telah diserang
oleh jamur. Dapat disertai infeksi sekunder akibat bakteri sehingga terjadi
selulitis, limfangitis, limfadenitis dan erysipelas1. Penyebab tersering terjadinya
tinea pedis adalah Epidermophyton, Trichophyton, Microsporum, dan Candida
albicans yang ditularkan secara kontak langsung maupun tidak langsung . Tinea
ini banyak terjadi di daerah tropis. Panas, udara lembab serta sepatu yang sempit
sering mempermudah infeksi 6.

Moccasin foot adalah bentuk lain dari tinea pedis. Pada seluruh kaki, dari
telapak kaki, tepi sampai punggung kaki terlihat kulit menebal dan bersisik.
Bersifat kronik dan biasanya persisten terhadap pengobatan. Dibagian tepi lesi
dapat terlihat papul dan vesikel. Pada bentuk subakut terlihat vesikel, vesiko-
pustul, dan kadang-kadang bula. Setelah pecah, vesikel tersebut meninggalkan
sisik yang berbentuk lingkaran atau koleret. Jamur biasanya terdapat pada bagian
atap dari vesikel1. Sehingga secara umum, gambaran klinis dari tinea pedis adalah
terlihat fissure pada sisi kaki, sisik halus putih kecoklatan, vesikula miliar dan
dalam, vesikopustula miliar sampai lenticular pada telapak kaki dan sela jari kaki,
serta terlihat hiperkeratotik 6 (Gambar 2.2)

Tinea pedis banyak terlihat pada orang-orang yang bersepatu tertutup, serta
perawatan kaki yang buruk dan bisa juga akibat para pekerja dengan kondisi kaki
yang selalu basah. Pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan untuk menegakkan
diagnosis tinea pedis yaitu kerokan kulit dengan KOH 10%, biakan pada
Saboraud agar serta sinar Wood. Selain itu, dapat pula dilakukan pemeriksaan
histopatologi sehingga terlihat pada epidermis migrasi leukosit, edema
intraseluler, spongiosis, dan parakeratosis pada keadaan akut. Pada lesi yang aktif
tampak akantosis dan pada dermis terihat infiltrasi akut, filament, dan spora. Tinea
pedis dapat di diagnosis bandingkan dengan kandidiasis, akrodermatitis perstans
dan pustular bacterid. Pada kandidiasis terdapat skuama berwarna putih, ada lesi

14
satelit. Pada akrodermatitis perstans telihat radang, vesikel yang dalam dan steril.
Sedangkan untuk pustular-bacterid secara klinis susah dibedakan tetapi dapat
dibedakan melalui agen penyebab6.

Tine manum adalah bentuk dermatofitosis pada tangan. Penyebab tersering


adalah Trichophyton mentagrophytes dan Trichophyton rubrum. Klinis tampak
bentuk hyperkeratosis dan penebalan lipat dan terlihat macula eritematosa dengan
tepi aktif, , batas tegas serta terdapat vesikel atau skuama di atasnya 6.

Gambar 2.2 Kelainan kulit pada Tinea pedis

2.4.2 Tinea Unguium

Tinea unguium adalah infeksi jamur dermatofita pada kuku. Dapat


ditularkan secara langsung maupun tidak langsung. Penyebab tersering yaitu
Trichophyton mentagrophytes dan Trichophyton rubrum. Sehingga tinea unguium
sering bersamaan dengan tinea pedis maupun manus. Tinea unguium sangat
dipengaruhi oleh lingkungan yang lembab atau basah, atau sering kontak dengan
air kotor. 6
Pasien dengan tinea unguium akan mengeluhkan kuku yang menjadi
suram dan rapuh, permukaan kuku menebal, dibawah kuku tampak detritus yang
mengandung elemen jamur6 (Gambar 2.3). Tinea unguium terdapat beberapa jenis
bentuk klinis yaitu bentuk subungual distalis, bentuk subungual proksimalis, dan
leukonikia trikofita. Bentuk subungual distalis mulai dari tepi distal dan menjalar
ke proksimal dan dibawah kuku sehingga terbentuk sisa kuku yang rapuh.
Sedangkan pada bentuk leukonikia trikofita kelainan berupa keputihan di

15
permukaan kuku. Leukonikia trikofita biasa disebabkan oleh Trichophyton
mentagrophytes. Pada bentuk subungual proksimalis akan terlihat kuku di bagian
distal masih utuh, sedangkan bagian proksimal rusak1.
Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis tinea
unguium adalah dengan melakukan kerokan kuku dengan KOH 40%, serta biakan
kerokan skuama6.

Gambar 2.3 tinea unguium

2.4.3 Tinea Kruris

Tinea kruris atau biasa disebut aczema marginatum adalah dermatofitosis


pada lipat paha, daerah perineum, dan sekitar anus. Penyebab tersering tinea
kruris adalah Epidermophyton floccosum , namun dapat pula oleh Trichophyton
rubrum dan Trichophyton mentagrophytes yang ditularkan secara langsung
ataupun tak langsung. Tinea ini sangat dipengaruhi oleh musim yaitu musim
panas, banyak keringat, dan juga kebersihan yang tidak terjaga 6.

Pasien yang datang dengan keluhan rasa gatal hebat pada daerah kruris dan
bahkan sampai ke perut dan organ genital. Ruam kulit berbatas tegas, eritematosa
dan bersisik dan akan semakin parah jika berkeringat. Dari hasil effloresensi akan
terlihat adanya macula eritematosa numular sampai geografis, batas tegas dengan
tepi lebih aktif terdiri atas papula atau pustula. Jika kronik dapat menjadi
hiperpigmentasi dengan skuama di atasnya6 (Gambar 2.4). Kelainan ini dapat
bersifat akut atau menahun. Bila penyakit ini menjadi menahun, dapat berupa
bercak kehitaman disertai sedikit sisik. Erosi dan keluarnya cairan biasanya akibat
garukan 1.

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan KOH


10%. Tinea kruris dapat didiagnosis bandingkan dengan eritrasma, psoriasis

16
intertriginosa, dan kandidiasis. Pada eritrasma akan terlihat lesi batas tegas,
dengan fluoresensi dibawah lampu Wood berwarna merah bata. Pada kandidiasis
lesi biasanya basah, batas jelas dengan lesi satelit. Sedangkan pada psoriasis
intertriginosa skuama lebih tebal dan berlapis 6.

Gambar 2.4 Tinea Kruris

2.4.4 Tinea Korporis

Tinea korporis merupakan dermatofitosis pada kulit tubuh tidak berambut


(glabrous skin) 1. Penyebab tersering tinea korporis adalah Epidermophyton
floccosum atau Trichophyton rubrum. Tinea korporis lebih banyak menyerang
orang dewasa dan daerah tropis atau daerah dengan tingkat kelembapan udara
yang tinggi. Pasien tinea korporis biasanya mengeluhkan gatal terutama jika
berkeringat 6. Kelainan kulit yang dilihat merupakan lesi bulat atau lonjong,
berbatas tegas, terdiri atas skuama, eritem, vesikel dan papul di tepi. Daerah
tengahnya biasanya lebih tenang. Erosi dan krusta akibat garukan (Gambar 2.5).
Lesi-lesi ini umumnya terpisah satu dengan yang lain. Dan dapat pula terlihat lesi
dengan pinggir yang polisiklik akibat beberapa lesi kulit yang menjadi satu.
Munculnya tanda radang lebih nyata terjadi pada anak-anak dibandingkan
dewasa, oleh karena pada anak mereka mendapat infeksi baru pertama kali. Pada
tinea korporis yang menhun, tanda radang biasanya sudah tidak terlihat lagi. Tinea
korporis dapat terjadi pada tiap bagian tubuh dan bersama-sama dengan kelainan
pada sela paha. Sedangkan bentuk menahun yang disebabkan oleh Trichophyton
rubrum biasanya diikuti dengan tinea unguium. Bentuk khas tinea korporis yang
disebabkan oleh Trichophyton concentricum disebut tinea imbrikata. Tinea

17
imbrikata mulai dengan bantuk papul berwarna coklat yang perlahan-lahan
menjadi besar. Stratum korneum bagian tengah ini terlepas dari dasarnya dan
melebar (Gambar 2.6). Proses ini setelah beberapa waktu mulai lagi dari tengah
sehinggabterbentuk lingkaran-lingkaran skuama yang konsentris.
Bentuk lain tinea korporis yang disertai kelainan pada rambut adalah tine
favus. Penyakit ini biasanya dimulai dari kepala sebagai bintik kecil dibawah kulit
berwarna merah kuning dan berkembang menjadi krusta berbentuk cawan
(skutula) (Gambar 2.5). Bila tidak diobati, penyakit ini meluas ke seluruh kepala
dan meninggalkan parut dan botak. Tinea favus tidak menyembuh pada usia akil
balik. Biasanya dapat tercium bau tikus (mousy odor). Spesies dermatofita yang
dapat menyebabkan favus yaitu Trichophyton schoenleini, Trichophyton
violaceum, dan Microsporum gypseum.
Pemeriksaan tambahan yang dapat digunakan untuk menegakkan
diagnosis dari tine korporis adalah dengan melakukan pemeriksaan kerokan kulit
dengan KOH 10% sehingga nantinya akan terlihat hifa. Tinea korporis dapat di
diagnosis bandingkan dengan morbus Hansen, pitiriasis rosea dan
neurodermatitis. Pada morbus Hansen akan terlihat macula eritematosa dengan
tepi sedikit aktif. Pada pitiriasis rosea terlihat macula eritematosa dengan tepi
sedikit meninggi, ada papul, skuama, dan diameter panjang lesi menuruti garis
kulit. Sedangkan pada neurodermatitis sirkumskriptaterlihat macula eritematosa
batas tegas terutama pada tengkuk, lipat lutut dan lipat siku 6.

Gambar 2.5 Tinea corporis


Gambar 2.5 Tinea
2.4.5 Tinea Kapitis
Tinea kapitis adalah infeksi jamur superficial yang menyerang kulit kepala
Gambar 2.6 Tinea favus Gambar 2.7 Tinea imbrikata
dan rambut. Penyebabnya adalah jamur golongan Dermatofita, terutama
Trichophyton rubrum, Trichophyton mentagrophytes, dan Microsporum gypseum.
Tinea kapitis umumnya dialami oleh anak-anak sekolah dasar dengan prevalensi
anak pria lebih banyak daripada anak wanita. Tinea kapitis lebih banyak terjadi

18
pada daerah beriklim panas. Proses penularan penyakit ini bisa karena kebersihan
yang buruk dan kontak dengan binatang peliharaan seperti kucing, dan anjing.
Selain itu, lingkungan yang kotor dan panas serta udara lembab dapat berperan
dalam proses penularan. Pasien tinea kapitis biasanya mengeluhkan gatal dan
nyeri.6
Kelainan pada tinea kapitis dapat ditandai dengan lesi bersisik, kemerahan,
dan alopesia. Gambaran klinis tinea kapitis dibagi menjadi 3 bentuk yaitu gray
patch ringworm, kerion dan bentuk black dot ringworm.1
Gray patch ringworm merupakan tinea kapitis yang yang biasanya
disebabkan oleh genus Microsporum dan lebih sering pada anak-anak. Dimulai
dengan papul merah kecil di sekitar rambut, yang melebar dan membentuk bercak
sehingga menjadi pucat dan bersisik (Gambar 2.8). Pasien mengeluh gatal, warna
rambut menjadi abu-abu dan tidak berkilat lagi, rambut mudah patah dan bisa
sebabkan alopesia setempat. Pada pemeriksaan dengan lampu Wood dapat dilihat
effloresensi hijau kekuningan pada rambut. 1
Kerion adalah bentuk peradangan yang berat pada tinea kapitis, berupa
pembengkakan yang menyerupai sarang lebah dengan serbukan sel radang yang
padat disekitarnya. Lebih sering akibat Microsporum canis dan Microsporum
gypseum. Kelainan ini dapat menimbulkan jaringan parut yang berakibat pada
alopesia yang menetap1. Pada tipe kerion ini, akan tampak bisul-bisul kecil
dengan skuamasi akibat radang local, rambut putus dan mudah dicabut 6 (Gambar
2.9). Sedangkan pada bentuk black dot ringworm lebih banyak disebabkan oleh
Trichophyton tonsurans dan Trichophyton violaceum dan menginfeksi rambut luar
(ektotriks), maupun dalam rambut (endotriks). Rambut yang tekena infeksi mudah
patah, tepat pada muara folikel sehingga yang tertinggal adalah ujung rambut
yang penuh spora. Ujung rambut yang hitam didalam folikel rambut inilah yang
disebut black dot 1. (Gambar 2.10).
Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis tinea
kapitis adalah dengan melakukan pemeriksaan sinar Wood , pembiakan skuama,
dan praparat langsung dari kerokan kulit dengan larutan KOH 10%. Pada
pemeriksaan dengan sinar Wood akan memberikan gambaran fluoresensi
kehijauan. Pembiakan skuama dapat dilakukan dalam media Sabouraud agar. Pada
6.
pemeriksaan dengan KOH 10% dapat terlihat hifa atau spora dan miselium.
Tinea kapitis dapat di diagnosis bandingkan dengan alopesia areata,

19
dermatitis seboroik dan psoriasis. Pada alopesia areata tampak lebih licin dan
berwarna coklat. Pada dermatitis seboroik rambut tampak berminyak, kulit kapala
ditutupi skuama yang berminyak. Sedangkan pada psoriasis tampak sisik/skuama
tebal, berwarna putih mengkilat dan bersifat kronik residif 6.

Gambar 2.8 Tinea capitis tipe gray patch ringworm

Gambar 2.9 Tinea capitis tipe kerion

Gambar 2.10 Tinea capitis tipe black dot

2.4.6 Tinea Barbae


Tinea barbae adalah bentuk infeksi jamur dermatofita pada daerah
dagu / jenggot yang menyerang kulit dan folikel rambut. Penyebab
tersering adalah dari golongan Trichophyton dan Microsporum. Biasanya
terjadi pada pria dewasa, dan lingkungan yang kurang bersih dapat
mempermudah proses infeksi6.
Pasien dengan tinea barbae biasanya mengeluhkan gatal dan pedih
pada daerah yang terkena, disertai bintik-bintik kemerahan yang terkadang
bernanah. Tinea barbae ini berlokalisasi di daerah dagu/jenggot tapi dapat
menyebar ke wajah dan leher. Rambut daerah yang terkena manjadi rapuh

20
dan tidak mengkilat, tampak reaksi radang pada folikel rambut berupa
kemerahan, edema, dan kadang terdapat pustule (Gambar 2.10).
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menegakkan
diagnosis tine barbae adalah dengan pemeriksaan laboratorium berupa
kerokan kulit, biakan , dan sinar Wood. Pemeriksaan histopatologi juga
dapat dilakukan pada Tinea Barbae sehingga pada batang dan folikel
rambut tampak organisme, pada keadaan kronik juga akan terlihat nanah,
sel raksasa dan infiltrasi sel radang kronik. Tinea barbae dapat di diagnosis
bandingkan dengan dermatitis kontak alergi, dermatitis seboroik, dan akne
kistika yang semuanya itu dapat dibedakan dengan pemeriksaan mikologis
6.

Gambar 2.11 Tinea barbae

2.5 TATALAKSANA UMUM

Pengobatan dermatofitosis mengalami kemajuan yang sangat pesat sejak tahun


1958. Se belum zaman grriseovulvin obat yang digunakan hanya secara topikal
dengan zat zat keratolitik dan fungistatik. Pada tinea kapitis yang disebabkan oleh
microsporum audouini dilakukan pengobatan topical dan disertai penyinaran
dengan sinar X untuk merontokkan rambut pada bagian yang sakit.cara
penyinaran ini diberikan dengan dosis tunggal memerlukan perhitungan yang
cermat. Persiapan yang digunakan untuk melindungi bagian yang sehat juga
sangat rumit. Selain itu efek samping pada penyinaran yangmungkin timbul pada
masa datang akan cukup berbahaya seperrti keganasan. Pada masa sekarang

21
derrmatofitosis pada umumnya dapat diatasi dengan griseofulvin yang
bersifatfungistatik. Bagian dosis pengobatan griseovulvin berbeda beda yang
secara umum dalam bentuk fine particle dapat diberikan dosis 0,5-1 g unttuk
orang dewasa dan 0,255-0,55 g untuk anak anak sehari 10-25 mg/kg berat badan.
Lama pengobattan bergantung pada lokasi penyakit, penyebab penyakit dan
keadaan imunitas penderita. Yang kemudian dilanjutkan 2 minggu pengobatan
agar tidak residif. Serta pengobatan tambahan seperti pemotongan rambut pada
tinea kapitis dan pemberian obat obatan.1

Mycosis superficial ,disebabkan oleh terutama dermatofita dan ragi ,antara


infeksi yang paling sering di seluruh dunia, mempengaruhi sekitar 20-25% dari
populasi. Anti jamur topical adalah pilihan untuk pengobatan sebagian besar
untuk infeksi jamur. Selain itu ,banyak obat topical memiliki efek anti bakteri
tambahan .yang bermanfaat untuk kasus infeksi bakterri superimposed. Lebih
lanjut banyak juga yang memiliki anti virus, yang menguntungkan dalam
meminimalkan efek dari reaksi inflamasi local terhadap infeksi mikotik. Anti
jamur sistemik adalah pengobatan utama tinea capitis dan onicomicosis, juga
dermatologis cenderung menahan mereka untuk meluas, recurrent, recalcitrant
dermatomicosis. Meskipun keragaman dalam membrane sel jamur dan keunikan
dari dinding sel mycotic dibandingkan sel mamalia, kesamaan dalam profil
metabolic antara kedua kingdom memungkinkan untuk membatasi jumlah tertentu
dari target. Secara keseluruhan target utama dari keduanya adalah ergosterol.2

Ada 3 kategori utama yang dipakai untuk ergosterol adalah allylamins dan
bezylamines , azole ( imidazole dan triazole) dan polynes. Golongan azole,
allylamin dan benzylamine memblokeir biosintesis ergosterole sedangkan,
polyenes mengikat molekul pada afinitas yang tinggi yang dapat membuat
membrane sel bocor. Pengobatan sistemik lainnya seperti griseovulfin dan
flucyosin bekerja pada struktur intraseluer melewati mekanisme yang sama seperti
agen chemoterapi untuk kanker. Meskipun keduanya efektif secara klinis azole
memperlihatkan efek yang lebih baik dibandingkan dengan allylamine , tetapi
kurang melawan dermatopithes.meskipun efek samping yang paling umum
berkaitan dengan terapi topical ringan , transient dan reaksi hipersensitivitas

22
terlokalisasi , anti jamur sistemik menunjukkan berbagai derajat toksisitas organ
dan mungkin interaksi obat yang serius. 2

A. Allylamine

Dua agen yang mewakili golongan ini, terbinafin, tersedia dalam bentuk oral dan
topical, dan naftilen yang hanya tersedia dalam bentuk topical.

Mekanisme kerjanya:

Yaitu menghambat aktivitas diferensiasi / antifungal terhadap spesies candida


(fungistatik) dan dermatophita (fungisidal). Mekanisme kerjanya yaitu mampu
menekan sintesis ergosterol dengan menghambat aksi dari pembentukan
sequelene epoxide yaitu enzim yang mengkatalisasi precursor pembentukan
ergosterol. Karena obat ini maka akan membantu pengurangan dari ergosterrol
atau dengan kata lain terjadi defisiensi ergosterol sebagai respon atau efek dari
fungistatik, sedangkan penumpukan dari sequelen ini merupakan kerja dari
aktivitas fungisidal.

1. Naftine
Naftine merupakan broad spectrum dari allylamine topical, aktivitas
obat ini selain sebagai antifungal juga sebagai antibakteri (baik gram
positif maupun bakteri gram negative) cocok untuk tambahan pengobatan
dengan inflamasi sekunder. Yaitu kerjanya dengan menekan sintesis
leukotrin dan prostaglandin.
Farmakokinetik : sifat lifofilik dari naftine memudahkan untuk
penetrasi melalui stratum korneum. Lama bertahan dari obat ini pada
stratum korneum sampai sekitar 5 hari setelah penggunaan dengan dosis
tunggal, hanya 3-6 % yang diserap secara sistemik.
Indikasi paling sering digunakan untuk pengobatan secara topical yaitu
untuk mengatasi tinea cruris, tinea pedis, tinea corporis, tinea versicolor,
dan biasanya juga untuk infeksi jamur candida.
Formulasi dosis yang tersedia yang biasa digunkan yaitu 1% dalam
bentuk gel dan cream dengan indikasi sekitar 2-4 minggu selama
pengobatan.

23
Efek samping yang ditimbulkan , berupa keluhan umum namun sangat
minimal hanya terjadi pada beberapa persen kasus seperti kulit kering,
gatal- gatal, iritasi local, dan eritem.
2. Terbinafin
Mekanisme kerjanya yaitu menekan sequelene enzym epoxide,yang
akan menghambat pembentukan ergosterol. Absorbsinya secara sistemik
,namun yang jika digunakan terbinafin topical yang diserap hanya sekitar
3-5 %. Untuk absorbs secara oral tidak dipengaruhi oleh intake makanan,
karena sifatnya yang lifofilik, cenderung terdistribusi dan terkumpul di
folikel rambut, kuku, dan kulit, dengan konsentrasi minimal di plasma,
waktu paruhnya hanya sekitar 17 jam, biotransformasi obat untuk tempat
oksidasinya di hati melalui enzyme CYP026. Sebagian obat ini dieliminasi
di urine sehingga perlu dipertimbangkan penggunaannya untuk pasien
pasien dengan gangguan fungsi hati dan gangguan ginjal.
Terbinafin sangat baik untuk pengobatan mycosis superfisial, termasuk
tinea verrsicolor. Pada penggunaan tanpa kontraindikasi, terbinafin adalah
obat yang digunakan sebagai lini pertama untuk dermatofitosis,karena
memiliki aktivitas fungisidal yang baik, penggunaan dosis tunggal harian,
serta memiliki afinitas fusi yang baik pada stratum korneum.
Terbinafin juga merupakan fungisidal kuat , diatas Griseofulvin dan
Itrakonazole dalam melawan Trycophyton rubrum dan Tinea
mentagriphytes. Meskipun sangat baik untuk dermatofita dan
onikomikosis, akan tetapi tidak khasiat untuk jamur nondermatofita dan
kandidiasis onikomikosis.
Pengobatan menggunakan terbinafin dan griseofulvin telah disetujui
oleh FDA , dapat digunakan pada tinea kapitis anak- anak, terbinafin juga
lebih baik untuk membasmi endotrikosis tinea kapitis, pada pediatri
khususnya yang disebabkan oleh microsporum canis dan trichosis. Karena
kecenderungan yang tnggi terhadap aktivitas produksis sebum.
Jumlah dosis yang biasa digunakan yaitu 500 mg, dua kali sehari
selama 2 – 4 minggu, untuk topical 1%, tab 250 mg untuk penggunaan
secara oral.
Efek sampng yang emungkinan kecil timbul terutama penggunaan
topical sangat minimal, terbatas reaksi local. Pada umunya berupa gejala
abdominal pain ,keluhan gastrointestinal seperti mual, muntah , diare, dan

24
kadang terjadi diskolorisasi lidah. Biasanya pada penggunaan empat
sampai enam minggu terjadi erupsi kutaneus, namun keluhan ini sangat
jarang terjadi.

Tabel 2.5 Obat Anti Jamur Topikal Berdasarkan Golongan Dan Resiko Terhadap
Kehamilan

25
Tabel 2.6 Obat Anti Jamur Sistemik Berdasarkan Golongan Dan Resiko Terhadap
Kehamilan

26
27
B. Benzylamine
Regimen struktur dan fungsinya sama dengan allylamine. Beberapa jenis obat
seperti :
1. Butenafine
Butenafine adalah satu satunya turunan anti jamur yang tersedia dari
benzylamine, yang mempunyai rumus kimia n-(4-tertbutylbenzyl)-n-
metyl-1-naphetylamine hydroclorida. Mekanisme kerjanya sama dengan
allylamine, butenafine menghambat sintesis ergosterol, dengan
enchacement berikutnya dalam permeabilitas membrane dan akhiran
komponen seluler yang penting,sehingga hasilnya adalah kematian sel
jamur itu sendiri.
Penggunaan butenafine untuk pengobatan infeksi dermatofita, dengan
efikasi yang lebih tinggi dari pada allylamine, sebagai tambahan juga
dapat digunakan untuk kasus pityriasis versocolor. (PV) dan kandidiasis.
Untuk formulasi hanya terdiri dari satu macam yaitu 1% cream
penggunaannya sekali sehari selama dua sampai empat minggu. Efek
samping butenafine sendiri terbilang minimal termasuk gatal- gatal, rasa
terbakar, eritem, dan dermatitis kontak.
C. Azole

28
Azole adalah kelompok anti jamur yang ditandai degan 1 atau lebih cincin
azol, subdiklasifikasikan menjadi imidazole, yang terasuk
ketoconazole,butoconazole, ecoazole, lulikonazole, miconazol, dan
sertakonazol, dan tiazole ynag termasuk fluconazole, itrakonazol, efinaconazol
dan isavuconazol.
Mekanisme kerja melalui tindakan azoid yaitu dengan menghambat enzim
lanosterol demethylase (14a-demethylase), a cytochrome p450(cyp)- enzim
tergantung yang mengkatalis setiap konversi darrri lanosterol menjadi
ergosterol, sehingga menghambat sintesis dari ergosterrrol. Karrena penurunan
darri ergosterol maka akan terjadi kerusakan permeabilitas membrane . selain
itu pembentukan prekurssorr sterol 14a-methasi akan mengganggu
pertumbuhan sel yang pada akhirrnya akan menyebabkan kematian sel.
1. Imidazole

Nama Mekanisme kerja Indikasi Sediaan dan Efek samping Kategori


dosis kehamilan

Clotrimazol Merusak fosfolipid, Semua Cream, Gatal- gatal , reaksi B


degradasi asam nukleat mikosis lotion,spray, alergi , eritema dan
dan menekan respirrasi suerfisial powder mala-rash
sel

Ketokonazole Menghambat 14a- Topical : sampo 5% Gatal- gatal , reaksi


demethylase ,lanosterol baik unttuk 1x sehari alergi , untuk yang serius
semua selama 5-10 sperti toxik terhadap
dermatofitos menit hepar, reaksi anafilaktif
is, dan untuk dengan dan depresi.
sampo dapat jangka
mengatasi waktu 1-4
dermatitis minggu.
Cream 2%
seboroid.
Tablet 200
mg

Mikonazol Menghambat mycotic Ttinea Vaginal Hampir sama dengan


enzyme peroxidase cruris, tiinea suppositorie golongan azole lainnya
corporis, s (100 mg, secara topikal.
dan tinea 200 mg), gel

29
pedis, dan (2%), cream
juga efekttif (2%),
unttuk PV ointment,
dan lotion and
kandidiasis powder.

2. Triazole

3. Polyenes
A. Nistatin
Merupakan derivate polyene dari Streptomyces spp. Nistatin
memegang dua fungsi sebagai fungistatik dan fungisidal yaitu dengan

30
mengikat ergosterol mycotic dengan afinitas ayng lebih tinggi dari sel
mamalia.ikatan ini akan membuat celah –celah pada membrane sel
yang akan merusak komponen sel sehingga terjadi kematian sel.
Karena toksisitas yang tinggi untuk intravena, nistatin terbatas
pada penggunaan yang topical saja. Tersedia dalam bentuk cream,
bedak, dan formulasi lozenge. Dua kali sehari selama 4-5 hari untuk
infeksi kutaneus. Untuk kandidiasis oral sebanyak 4 kali sehari selama
14 hari.
Efek samping berupa reaksi hipersensitivitas yang terlokasi terkait
dengan kulit dan seperti Gambaran dermatitis alergi, eritem, gatal-
gatal, dan edema. Mual muntah serta riare hanya pada dosis besar
penggunaan secara oral. Untuk kategori keamanan terhadap kehamilan
termasuk kategori B.
4. Other Antifungal
Obat antijamur lainnya termasuk Ciclopirox, Amorolfine,
Griseofulvin, Tavaborol kategori kehamilan yaitu C. Griseofulvin sendiri
merupakan derivate metabolic dari Penicillium griseofulvum, yang
digunakan secara klasik uttuk dermatofita, tidak ada kativitas terhadap ragi
dan jamur.
Termasuk kedalam obat fungistatik, menghambat pertumbuhan dan
proiferasi sel jamur. Griseofulvin mengikat tubulin dan microtubulin
menhubungkannya dengan protein di sepanjang polymer microtubules,
menekan pembentukan poros mitotic pada fase siklus G2 fase siklus sel.
Menghambat pembelahan sel ini dan memaksa sel untuk terjadi apoptosis.
Indikasi griseofulvin untuk lini pertama pengobatan tinnea capitis
kausa Microsporum dan lebih baik dari terbinafin. Terbatas pada
dermatofitosis saja , namun baik untuk onikomikosis pediatric.
Tersedia ukuran mikro 250 – 500 mg, ultramicro tablet 125- 165- dan
250 mg, suspense oral 125 mg/ml. direkomendasikan 1 g / hari selama 4- 8
minggu. Pada anak 10- 15 mg/kgbb. Dilanjutkan 1-2 bulan.
Efek samping yang ditimbulkan berupa urtikaria, edema,serum
sickness,steven –johnson syndrome, dan toxit epidermal nekrosis. Jarang
namun cukup serius seperti ,hepatotoksik, leukopenia, trombositopenia
dan anemia. Masalah neurologi seperti lupa ingatan, bingung, dan
insomnia, hanya pada beberapa pasien.

31
2.6. TATALAKSANA PADA KEHAMILAN

Kehamilan adalah kondisi fisiologis yang rentan untuk terkena infeksi


terutama infeksi yang disebabkan karena jamur. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa
faktor diantaranya yaitu toleransi imun fisiologis, pertambahan berat badan, dan
peningkatan keringat karena perubahan hormon. Oleh karena itu pemberian obat
selama kehamilan melibatkan pertimbangan dua individu yaitu ibu dan janin.
Berikut ini adalah rekomendasi pemberian anti jamur pada kehamilan dengan
mempertimbangkan beberapa studi.
1. Klasifikasi FDA tentang Keamanan Obat Selama Kehamilan
a. Kategori A
Studi terkontrol pada wanita tidak memperlihatkan adanya resiko terhadap
janin pada trimester 1 (dan tidak ada bukti resiko pada trimester
berikutnya) kemungkinan aman pada fetus.
b. Kategori B
Pada studi terhadap reproduksi hawan tidak memperlihatkan adanya resiko
pada janin, tetapi tidak ada studi terkontrol pada wanita hamil / studi
terhadap reproduksi binatang percobaan tidak menunjukan efek samping
(selain dari penurunan fertilitas) yang tidak dikonfimasikan pada studi
terkontrol wanita hamil pada trimester pertama (tidak ada bukti pada
trimester berikutnya).
c. Kategori C
Studi pada binatang percobaan menunjukan efek samping pada janin
(teratogenik) / embriosidal), tetapi belum ada studi terkontrol pada wanita
atau studi pada wanita dan binatang percobaan tidak dapat dilakukan, obat
sebaiknya diberikan hanya jika manfaat yang diperoleh melebihi besarnya
resiko yang mungkin terjadi pada janin.
d. Kategori D

Terdapat bukti positif mengenai adanya resiko pada janin manusia, tetapi
ada kemungkinan pada kondisi tertentu dimana manfaat yang diperoleh
dari penggunaan pada ibu hamil jauh lebih besar dari resikonya (misalnya
jika obat diperlukan untuk situasi yang mengancam jiwa atau penyakit
serius dimana obat yang lebih aman tidak digunakan atau tidak efektif).

e. Kategori X

32
Studi pada binatang percobaan dan manusia telah menunjukan
ketidaknormalan pada janin dan terdapat bukti mempunyai resiko tinggi
terjadinya pengaruh buruk yang menetap pada janin jika diminum pada
masa kehamilan Obat ini merupakan kontraindikasi mutlak selama
kehamilan.

33
2. Obat antijamur dan kategori risiko dalam kehamilan

a. Azoles
 Ketokonazole
Ketokonazol telah terbukti bersifat teratogenik dan embriotoksik pada
dosis tinggi (80 mg / kg / hari) pada binatang percobaan. Ketokonazol
juga telah terbukti dapat melintasi barrier plasenta pada binatang

34
percobaan studi, secara teoritis dapat mempengaruhi diferensiasi organ
seks pada janin.
 Flukonazol
Flukonazole adalah embrio-fetotoksik dan teratogenik yang telah diuji
pada tikus dan kelinci. Dosis flukonazol total 300 mg adalah teratogenik
dan menjadi kontraindikasi dalam kehamilan, dengan penunjukan FDA
kategori D. Dosis tunggal rendah (≤300 mg dosis total) flukonazol tidak
meningkatkan risiko cacat bawaan dan dapat dipertimbangkan tanpa
adanya alternatif topikal setelah trimester pertama.
 Itrakonazol
Itraconazole bersifat embriotoksik dan teratogenik pada tikus. Studi
klinis belum mendeteksi adanya peningkatan risiko selama kehamilan,
terutama selama trimester pertama, dan FDA memberi label itraconazole
kategori C. Namun mengingat kemungkinan resiko yang dapat terjadi
maka obat tetap harus dihindari selama kehamilan, terutama selama
trimester pertama.
 Vorikonazol
Vorikonazole diberi label kategori D (FDA) karena efek embriotoksik /
teratogenik pada tikus dan kelinci. Data pada paparan kehamilan terbatas
pada pengamatan tunggal dengan hasil materno-janin yang baik.
Seharusnya tidak dipertimbangkan dalam kehamilan, kecuali pada
penyakit ibu yang mengancam jiwa tanpa adanya alternatif terapi.
 Posaconazole
FDA memberi label posaconazole kategori C karena bersifat
embriotoksik dan teratogenik pada tikus dan kelinci. Tidak ada data
manusia tersedia sejauh ini dan tidak boleh dipertimbangkan dalam
kehamilan, kecuali pada penyakit ibu yang mengancam jiwa tanpa terapi
alternatif.
b. Polyenes
adalah salah satu obat antijamur tertua. Obat ini mengikat ergosterol,
membentuk pori-pori transmembran yang akan membuat kebocoran ionik
dan kematian jamur.
 Amfoterisin B
Amfoterisin B diklasifikasikan sebagai kategori B oleh FDA. Obatt ini
dianggap sebagai antijamur teraman dalam kehamilan.
 Nystatin

35
Nystatin diklasifikasikan sebagai kategori A oleh FDA . Namun, data
terbaru Hungaria obat ini meningkatkan kemungkinan risiko hipospadia
sedikit meningkat pada janin yang terpajan. Oleh karena itu lebih
bijaksana untuk menghindari penggunaannya selama periode kritis untuk
menghindari malformasi ini.
c. Squalene Epoksidase Inhibitor
 Terbinafine
Diklasifikasikan sebagai kategori B oleh FDA. Obat ini tidak bersifat
embriotoksik pada kehamilan binatang percobaan, tetapi data manusia
tidak tersedia, karenanya menghambat penggunaan sistemiknya pada
kehamilan. Sebaliknya, terbinafine topikal, yang memiliki kemampuan
penyerapan terbatas, bisa menjadi pilihan.
f. Antimetabolites
 Flucytosine
Flucytosine Diklasifikasikan sebagai kategori C oleh FDA.. Laporan
kasus yang terbatas tidak dapat membuktikan hasil yang merugikan
setelah penggunaan flucytosine selama trimester kedua dan ketiga. Masih
kurangnya data untuk mempelajari lebih lanjut toksisitas terhadap janin
dan boleh tidaknya dipertimbangkan dalam kehamilan, kecuali setelah
trimester pertama yaitu adanya infeksi yang mengancam jiwa ibu dimana
manfaatnya menambahkan flucytosine dapat membenarkan risiko.
g. Griseofulvine
Griseofulvin diklasifikasikan sebagai kategori C oleh FDA. Obat ini yaitu
bersifat karsinogenik, embriotoksik dan teratogenik pada tikus. Data pada
manusia masih terlalu terbatas untuk memungkinkan penggunaannya
pada kehamilan, terutama pada trimester.pertama.

36
DAFTAR PUSTAKA

1. Djuanda,Adi. 2011. Ilmu Penyakit Kulit Kelamin Fakultas


Kedokteran Universitas Indonesia. 2011. Badan penerbit
FKUI:Jakarta
2. Kang, sewong, etc. 2019. Fitzpatrick's Dermatology 9th Edition, 2-
Volume Set FF. p-3436-3448.
3. Benoıˆt Pilmis1, Vincent Jullien2, Jack Sobel, Marc Lecuit1, Olivier
Lortholary1 and Caroline Charlier. 2015. Antifungal drugs during
pregnancy: an updated review. J Antimicrob Chemotheraphy 2015;
70: 14–22
4. Siregar, R.S., 2005. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit, editor,
Huriawati
5. Hartanto. Ed.2. Jakarta: EGC. pp : 29,57
6. Soebono, H., 2001. Dermatomikosis Superfisialis. Jakarta; Balai
Penerbit FKUI.
7. Andrews Clinical_Dermatology 11th ed
8. Rooks Textbook of Dermatology, 4 Volume
9. Jian LB, Julie VS, Lorenzo C. In: Jeffrey, et all., editors.
Dermatology. 4th edition. Elsevier. 2017.p.1331-42.
10. Sughanti M. Pathogenesis and clinical significance of
dermatophytes: A comprehensive review. Department of
Microbiology, Government Kilpauk Medical College, Tamilnadu,
India. Published by Innovations in Pharmaceuticals and
Pharmacotherapy. 2017. Vol 4 (1).p. 62-70.
11. Siregar ,R.S. 2005. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Penerbit
Buku Kedokteran Egc: Jakarta. P- 13-30.
12. Smitha S Prabhu, Pragathi Sankineni. 2017. Managing
Dermatophytoses in Pregnancy, Lactation, and Children. Department
of Dermatology, Venereology and Leprosy, Kasturba Medical College
and Hospital, Manipal University, Manipal, Karnataka, India. Clinical
Dermatology Review | Published by Wolters Kluwer -.Medknow
13. Subuhi Kaul, Savita Yadav, Sunil Dogra. 2017. Treatment of
Dermatophytosis in Elderly, Children, and Pregnant Women.
Department of Dermatology and Venereology, AIIMS, New Delhi,
1Department of Dermatology, Venereology and Leprology, PGIMER,

37
Chandigarh, India. Indian Dermatology Online Journal | Published by
Wolters Kluwer - Medknow
14. Adiguna, MS., 2004. Epidemiologi Dermatomikosis di Indonesia.
Dalam: Dermatomikosis Superfisialis. Jakarta; Balai Penerbit FKUI.

38

Anda mungkin juga menyukai