TATALAKSANA DERMATOFITOSIS
PADA KEHAMILAN
OLEH:
DISUSUN OLEH:
Pembimbing Residen
dr. Ivan Kurniadi
Dosen Pembimbing
dr. Safruddin Amin, Sp.KK(K), MARS, FINSDV, FAADV.
dr. Safruddin Amin, Sp.KK(K), MARS, FINSDV, FAADV. dr. Ivan Kurniadi
DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN............................................................................................ii
DAFTAR ISI.....................................................................................................................iii
ii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN...................................................................................................3
2.1 Definisi...........................................................................................................4
2.2 Etiologi...........................................................................................................4
2.3 Patogenesis.....................................................................................................9
2.4 Manifestasi Klinis.........................................................................................14
2.5 Tatalaksana Umum.......................................................................................24
2.6 Tatalaksana pada kehamilan…………....…………………………………………34
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................39
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Kulit adalah organ tubuh yang terletak paling luar dan membatasinya dari
lingkungan hidup manusia. Kulit merupakan organ yang esensial dan vital serta
merupakan cermin kesehatan dan kehidupan. Kulit juga sangat kompleks, elastik
dan sensitif, bervariasi pada keadaan iklim, umur, jenis kelamin, ras dan juga
sangat bergantung pada lokasi tubuh.1
3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 DEFINISI
2.2 ETIOLOGI
4
Tabel 2.1 Pola Infeksi Integumen Akibat Mikosis Superfisial.2
Tabel 2.2 Habitat dan Host Dermatofit secara Umum dan Transmisinya. 2,9
Tinea corporis
Semua Dermatofit dapat berpotensi menyebabkan tinea corporis, tapi
Trichophyton rubrum adalah patogen yang paling umum di seluruh dunia,
diikuti oleh Trichophyton mentagrophytes.9
Tinea corporis dapat berpindah dari manusia ke manusia (termasuk
autoinoculation, misalnya dari tinea capitis atau tinea pedis), dari hewan ke
manusia (sering ditularkan oleh hewan domestik), atau menyebar dari tanah
ke manusia (Lihat tabel 2.2). Sumber penularan juga termasuk eksposur saat
pekerjaan atau saat rekreasi (misalnya perumahan militer, gimnasium, ruang
loker, kegiatan di luar ruangan, gulat) dan kontak dengan pakaian yang
terkontaminasi atau barang lainnya. 9
Tinea imbrikata adalah dermatoftosis yang disebabkan oleh dermatofit
antropofilik Trichophyton consentricum. Hal ini menyebabkan infeksi kronis
di negara-negara yang berada di garis khatulistiwa, meliputi Pasifik Selatan,
5
Asia, dan Amerika Tengah dan Selatan. Tiga agen penyebab yang paling
umum adalah Epidermophyton floccosum, Trichophyton rubrum, dan
Trichophyton mentagrophytes (Tabel 2.3). 9
6
Tabel 2.4 Patogen Penyebab Tinea Cruris secara Umum. 9
Tinea Manum
Infeksi Dermatofit pada aspek dorsal tangan memiliki presentasi
klinis yang mirip dengan tinea corporis. Akan tetapi, infeksi dermatofit pada
telapak tangan dan celah interdigital memiliki karakteristik yang berbeda dan
lebih mengarah sebagai tinea manum. Penyebab adanya dua gambar klinis
yang berbeda dianggap berkaitan dengan kurangnya kelenjar sebaceous pada
telapak tangan. Organisme penyebab yang khas adalah sama seperti untuk
tinea pedis dan tinea cruris: Trichophyton rubrum, Trichophyton
mentagrophytes, dan Epidermophyton floccosum. 9
Tinea Barbae
Tinea Barbae adalah dermatofitosis yang melibatkan daerah
berjanggut wajah dan leher pada pria. Oleh karena penyakit ini sering
diperoleh dari hewan, organisme penyebab biasanya dermatofit zoophilic,
yaitu Trichophyton mentagrophytes dan Trichophyton verrucosum. Infeksi
Microsporum canis atau Trichophyton rubrum jarang terjadi. Di beberapa
wilayah geografis, dermatofit antropofilik lainnya (Tricophyton schoenleinii,
Tricophyton violaceum, dan Tricophyton megninii) adalah endemik dan juga
menyebabkan tinea barbae. Jenis kedua tinea barbae lebih superfisial,
infalmasi minimal, dan mirip dengan tinea corporis. Trichophyton rubrum
biasanya agen penyebab dalam jenis ini. 9
Tinea Capitis
Patogen penyebabnya hanya anggota dari dua genera: Trichophyton
dan Microsporum. Trichophyton tonsurans saat ini adalah penyebab paling
umum tinea capitis di Amerika Serikat (untuk > 90% kasus), dengan etiologi
kedua paling sering adalah Microsporum canis. Secara global, terdapat
variasi yang signifikan dalam epidemiologi tinea capitis. Sementara
Microsporum canis adalah penyebab umum di banyak negara, Trichophyton
tonsurans menjadi agen utama di Eropa dan di tempat lain. Insiden tinea
7
capitis akibat Trichophyton violaceum, yang merupakan endemik di Afrika,
juga baru-baru ini meningkat di beberapa daerah di Amerika Serikat dan
Eropa, mungkin mencerminkan pola imigrasi. 9
Tinea Pedis
Tinea pedis adalah infeksi Dermatofit pada telapak dan celah
interdigital kaki. Dermatofit yang biasanya menjadi penyebab tinea pedis
adalah Trichophyton rubrum dan Trichophyton interdigitale (sebelumnya
Trichophyton mentagrophytes var. interdigitale), Trichophyton
mentagrophytes, Epidermophyton floccosum, dan Trichophyton tonsurans
(pada anak). 9
Tinea Unguium (Onikomikosis dermatofitosis)
Onikomikosis adalah istilah yang digunakan untuk mencakup semua
infeksi jamur pada kuku dan termasuk yang karena dermatofit serta non-
dermatofit.
Tinea unguium mengacu pada infeksi dermatofit unit kuku. Hal ini
terjadi di seluruh dunia, tapi pria lebih sering dibandingkan wanita serta
sering dikaitkan dengan tinea pedis kronis. Trauma dan kelainan pada kuku
lainnya merupakan faktor predisposisi. Meskipun semua dermatofit dapat
menyebabkan tinea unguium, Microsporum spp. adalah penyebab yang
sangat jarang. Patogen penyebab yang paling umum adalah Tricophyton
rubrum, Trichophyton interdigitale, Trichophyton tonsurans (pada anak), dan
Epidermophyton floccosum. 9
2.3 PATOGENESIS
8
Adapun tahapan terjadinya suatu dermatofitosis yakni:
2. Invasi
9
Gambar 2.1. Skema jalur masuk dermatofit ke dalam sistem tubuh host dan onset
dari repson imun ketika patogen masuk. 10
10
2) Pengendalian, dengan sengaja mengaktifkan mekanisme penghambatan imun
pejamu atau secara aktif mengendalikan respons imun mengarah kepada tipe
pertahanan yang tidak efektif, contohnya adhesin pada dinding sel jamur
berikatan dengan CD14 dan komplemen C3 (CR3, MAC1) pada dinding
makrofag yang berakibat aktivasi makrofag akan terhambat. 10
3) Penyerangan, dengan memproduksi molekul yang secara langsung merusak
atau memasuki pertahanan imun spesifik dengan mensekresi toksin atau
protease. Jamur mensintesa katalase dan superoksida dismutase, mensekresi
protease yang dapat menurunkan barrier jaringan sehingga memudahkan
proses invasi oleh jamur, dan memproduksi siderospore (suatu molekul
penangkap zat besi yang dapat larut) yang digunakan untuk menangkap zat
besi untuk kehidupan aerobik. 10
Respon imun pejamu terdiri dari dua mekanisme, yaitu imunitas alami
yang memberikan respons cepat dan imunitas adaptif yang memberikan respons
lambat. Pada kondisi individu dengan sistem imun yang lemah
(immunocompromized), cenderung mengalami Dermatofitosis yang berat atau
menetap. Pemakaian kemoterapi, obat-obatan, transplantasi dan penggunaan
steroid dapat meningkatkan kemungkinan terinfeksi oleh dermatofit non
patogenik. 10
Pertahanan non spesifik atau juga dikenal sebagai pertahanan alami terdiri
dari:
11
menjadi benteng pertahanan terhadap dermatofitosis, termasuk proses
keradangan sebagai bentuk proliferasi akibat reaksi imun yang dimediasi
sel T.
2. Adanya akumulasi netrofil di epidermis, secara makroskopi berupa pustul,
secara mikroskopis berupa mikroabses epidermis yang terdiri dari
kumpulan netrofil di epidermis, dapat menghambat pertumbuhan
dermatofit melalui mekanisme oksidatif.
3. Adanya substansi anti jamur, antara lain unsaturated transferrin dan 2-
makroglobulin keratinase inhibitor dapat melawan invasi dermatofit. 10
Antigen Dermatofit
12
infeksi pada hewan dan manusia, baik secara alamiah dan eksperimental,
berkorelasi dengan pembentukan respon DTH. Infeksi yang persisten seringkali
terjadi karena lemahnya respon transformasi limfosit in vitro, tidak adanya respon
DTH, dan peningkatan proliferasi kulit dalam respon DTH. Reaksi DTH di
mediasi oleh sel Th1 dan makrofag, serta peningkatan proliferasi kulit akibat
respon DTH merupakan mekanisme terakhir yang menyingkirkan dermatofit dari
kulit melalui deskuamasi kulit. 10
Respon sel Th1 yang ditampilkan dengan ciri pelepasan interferon gamma
(IFN-γ), ditengarai terlibat dalam pertahanan pejamu terhadap dermatofit dan
penampilan manifestasi klinis dalam dermatofitosis. Respons T Helper-1(Th1).
Sitokin yang diproduksi oleh sel T (Sitokin Th1) terlibat dalam memunculkan
respon DTH, dan IFN- γ dianggap sebagai faktor utama dalam fase efektor dari
reaksi DTH. Pada penderita dermatofitosis akut, sel mononuklear memproduksi
sejumlah besar IFN- γ untuk merespon infeksi dermatofit. Hal ini dibuktikan
dengan ekspresi mRNA IFN- γ pada lesi kulit dermatofitosis. Sedangkan pada
penderita dermatofitosis kronis, produksi IFN-γ secara nyata sangat rendah yang
terjadi akibat ketidakseimbangan sistem imun karena respon Th2. 10
Sel Langerhans, Infiltrat radang pada dermatofitosis terutama terdiri dari sel T
CD4+ dan sel T CD8+ yang dilengkapi oleh makrofag CD68+ dan sel
Langerhans CD1a+. Sel Langerhans dapat menginduksi respon sel T terhadap
Trichophyton, serta bertanggung jawab dalam pengambilan dan pemrosesan
antigen pada respon Th1 pada lesi infeksi dermatofit. 10
Tinea pedis adalah infeksi jamur superficial terutama pada sela-sela jari dan
telapak kaki. Tinea pedis yang sering terlihat adalah bentuk interdigitalis. Di
13
antara jari IV dan V terlihat fisura yang dilingkari sisik halus dan tipis. Kelainan
ini dapat meluas ke bawah jari (subdigitalis) dan juga ke sela jari yang lain
(gambar 2.1). Oleh karena daerah ini lembab, maka sering dilihat maserasi. Aspek
klinis maserasi berupa kulit putih dan rapuh. Bila bagian kulit yang mari
dibersihkan, maka akan terlihat kulit baru, yang pada umunya juga telah diserang
oleh jamur. Dapat disertai infeksi sekunder akibat bakteri sehingga terjadi
selulitis, limfangitis, limfadenitis dan erysipelas1. Penyebab tersering terjadinya
tinea pedis adalah Epidermophyton, Trichophyton, Microsporum, dan Candida
albicans yang ditularkan secara kontak langsung maupun tidak langsung . Tinea
ini banyak terjadi di daerah tropis. Panas, udara lembab serta sepatu yang sempit
sering mempermudah infeksi 6.
Moccasin foot adalah bentuk lain dari tinea pedis. Pada seluruh kaki, dari
telapak kaki, tepi sampai punggung kaki terlihat kulit menebal dan bersisik.
Bersifat kronik dan biasanya persisten terhadap pengobatan. Dibagian tepi lesi
dapat terlihat papul dan vesikel. Pada bentuk subakut terlihat vesikel, vesiko-
pustul, dan kadang-kadang bula. Setelah pecah, vesikel tersebut meninggalkan
sisik yang berbentuk lingkaran atau koleret. Jamur biasanya terdapat pada bagian
atap dari vesikel1. Sehingga secara umum, gambaran klinis dari tinea pedis adalah
terlihat fissure pada sisi kaki, sisik halus putih kecoklatan, vesikula miliar dan
dalam, vesikopustula miliar sampai lenticular pada telapak kaki dan sela jari kaki,
serta terlihat hiperkeratotik 6 (Gambar 2.2)
Tinea pedis banyak terlihat pada orang-orang yang bersepatu tertutup, serta
perawatan kaki yang buruk dan bisa juga akibat para pekerja dengan kondisi kaki
yang selalu basah. Pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan untuk menegakkan
diagnosis tinea pedis yaitu kerokan kulit dengan KOH 10%, biakan pada
Saboraud agar serta sinar Wood. Selain itu, dapat pula dilakukan pemeriksaan
histopatologi sehingga terlihat pada epidermis migrasi leukosit, edema
intraseluler, spongiosis, dan parakeratosis pada keadaan akut. Pada lesi yang aktif
tampak akantosis dan pada dermis terihat infiltrasi akut, filament, dan spora. Tinea
pedis dapat di diagnosis bandingkan dengan kandidiasis, akrodermatitis perstans
dan pustular bacterid. Pada kandidiasis terdapat skuama berwarna putih, ada lesi
14
satelit. Pada akrodermatitis perstans telihat radang, vesikel yang dalam dan steril.
Sedangkan untuk pustular-bacterid secara klinis susah dibedakan tetapi dapat
dibedakan melalui agen penyebab6.
15
permukaan kuku. Leukonikia trikofita biasa disebabkan oleh Trichophyton
mentagrophytes. Pada bentuk subungual proksimalis akan terlihat kuku di bagian
distal masih utuh, sedangkan bagian proksimal rusak1.
Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis tinea
unguium adalah dengan melakukan kerokan kuku dengan KOH 40%, serta biakan
kerokan skuama6.
Pasien yang datang dengan keluhan rasa gatal hebat pada daerah kruris dan
bahkan sampai ke perut dan organ genital. Ruam kulit berbatas tegas, eritematosa
dan bersisik dan akan semakin parah jika berkeringat. Dari hasil effloresensi akan
terlihat adanya macula eritematosa numular sampai geografis, batas tegas dengan
tepi lebih aktif terdiri atas papula atau pustula. Jika kronik dapat menjadi
hiperpigmentasi dengan skuama di atasnya6 (Gambar 2.4). Kelainan ini dapat
bersifat akut atau menahun. Bila penyakit ini menjadi menahun, dapat berupa
bercak kehitaman disertai sedikit sisik. Erosi dan keluarnya cairan biasanya akibat
garukan 1.
16
intertriginosa, dan kandidiasis. Pada eritrasma akan terlihat lesi batas tegas,
dengan fluoresensi dibawah lampu Wood berwarna merah bata. Pada kandidiasis
lesi biasanya basah, batas jelas dengan lesi satelit. Sedangkan pada psoriasis
intertriginosa skuama lebih tebal dan berlapis 6.
17
imbrikata mulai dengan bantuk papul berwarna coklat yang perlahan-lahan
menjadi besar. Stratum korneum bagian tengah ini terlepas dari dasarnya dan
melebar (Gambar 2.6). Proses ini setelah beberapa waktu mulai lagi dari tengah
sehinggabterbentuk lingkaran-lingkaran skuama yang konsentris.
Bentuk lain tinea korporis yang disertai kelainan pada rambut adalah tine
favus. Penyakit ini biasanya dimulai dari kepala sebagai bintik kecil dibawah kulit
berwarna merah kuning dan berkembang menjadi krusta berbentuk cawan
(skutula) (Gambar 2.5). Bila tidak diobati, penyakit ini meluas ke seluruh kepala
dan meninggalkan parut dan botak. Tinea favus tidak menyembuh pada usia akil
balik. Biasanya dapat tercium bau tikus (mousy odor). Spesies dermatofita yang
dapat menyebabkan favus yaitu Trichophyton schoenleini, Trichophyton
violaceum, dan Microsporum gypseum.
Pemeriksaan tambahan yang dapat digunakan untuk menegakkan
diagnosis dari tine korporis adalah dengan melakukan pemeriksaan kerokan kulit
dengan KOH 10% sehingga nantinya akan terlihat hifa. Tinea korporis dapat di
diagnosis bandingkan dengan morbus Hansen, pitiriasis rosea dan
neurodermatitis. Pada morbus Hansen akan terlihat macula eritematosa dengan
tepi sedikit aktif. Pada pitiriasis rosea terlihat macula eritematosa dengan tepi
sedikit meninggi, ada papul, skuama, dan diameter panjang lesi menuruti garis
kulit. Sedangkan pada neurodermatitis sirkumskriptaterlihat macula eritematosa
batas tegas terutama pada tengkuk, lipat lutut dan lipat siku 6.
18
pada daerah beriklim panas. Proses penularan penyakit ini bisa karena kebersihan
yang buruk dan kontak dengan binatang peliharaan seperti kucing, dan anjing.
Selain itu, lingkungan yang kotor dan panas serta udara lembab dapat berperan
dalam proses penularan. Pasien tinea kapitis biasanya mengeluhkan gatal dan
nyeri.6
Kelainan pada tinea kapitis dapat ditandai dengan lesi bersisik, kemerahan,
dan alopesia. Gambaran klinis tinea kapitis dibagi menjadi 3 bentuk yaitu gray
patch ringworm, kerion dan bentuk black dot ringworm.1
Gray patch ringworm merupakan tinea kapitis yang yang biasanya
disebabkan oleh genus Microsporum dan lebih sering pada anak-anak. Dimulai
dengan papul merah kecil di sekitar rambut, yang melebar dan membentuk bercak
sehingga menjadi pucat dan bersisik (Gambar 2.8). Pasien mengeluh gatal, warna
rambut menjadi abu-abu dan tidak berkilat lagi, rambut mudah patah dan bisa
sebabkan alopesia setempat. Pada pemeriksaan dengan lampu Wood dapat dilihat
effloresensi hijau kekuningan pada rambut. 1
Kerion adalah bentuk peradangan yang berat pada tinea kapitis, berupa
pembengkakan yang menyerupai sarang lebah dengan serbukan sel radang yang
padat disekitarnya. Lebih sering akibat Microsporum canis dan Microsporum
gypseum. Kelainan ini dapat menimbulkan jaringan parut yang berakibat pada
alopesia yang menetap1. Pada tipe kerion ini, akan tampak bisul-bisul kecil
dengan skuamasi akibat radang local, rambut putus dan mudah dicabut 6 (Gambar
2.9). Sedangkan pada bentuk black dot ringworm lebih banyak disebabkan oleh
Trichophyton tonsurans dan Trichophyton violaceum dan menginfeksi rambut luar
(ektotriks), maupun dalam rambut (endotriks). Rambut yang tekena infeksi mudah
patah, tepat pada muara folikel sehingga yang tertinggal adalah ujung rambut
yang penuh spora. Ujung rambut yang hitam didalam folikel rambut inilah yang
disebut black dot 1. (Gambar 2.10).
Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis tinea
kapitis adalah dengan melakukan pemeriksaan sinar Wood , pembiakan skuama,
dan praparat langsung dari kerokan kulit dengan larutan KOH 10%. Pada
pemeriksaan dengan sinar Wood akan memberikan gambaran fluoresensi
kehijauan. Pembiakan skuama dapat dilakukan dalam media Sabouraud agar. Pada
6.
pemeriksaan dengan KOH 10% dapat terlihat hifa atau spora dan miselium.
Tinea kapitis dapat di diagnosis bandingkan dengan alopesia areata,
19
dermatitis seboroik dan psoriasis. Pada alopesia areata tampak lebih licin dan
berwarna coklat. Pada dermatitis seboroik rambut tampak berminyak, kulit kapala
ditutupi skuama yang berminyak. Sedangkan pada psoriasis tampak sisik/skuama
tebal, berwarna putih mengkilat dan bersifat kronik residif 6.
20
dan tidak mengkilat, tampak reaksi radang pada folikel rambut berupa
kemerahan, edema, dan kadang terdapat pustule (Gambar 2.10).
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menegakkan
diagnosis tine barbae adalah dengan pemeriksaan laboratorium berupa
kerokan kulit, biakan , dan sinar Wood. Pemeriksaan histopatologi juga
dapat dilakukan pada Tinea Barbae sehingga pada batang dan folikel
rambut tampak organisme, pada keadaan kronik juga akan terlihat nanah,
sel raksasa dan infiltrasi sel radang kronik. Tinea barbae dapat di diagnosis
bandingkan dengan dermatitis kontak alergi, dermatitis seboroik, dan akne
kistika yang semuanya itu dapat dibedakan dengan pemeriksaan mikologis
6.
21
derrmatofitosis pada umumnya dapat diatasi dengan griseofulvin yang
bersifatfungistatik. Bagian dosis pengobatan griseovulvin berbeda beda yang
secara umum dalam bentuk fine particle dapat diberikan dosis 0,5-1 g unttuk
orang dewasa dan 0,255-0,55 g untuk anak anak sehari 10-25 mg/kg berat badan.
Lama pengobattan bergantung pada lokasi penyakit, penyebab penyakit dan
keadaan imunitas penderita. Yang kemudian dilanjutkan 2 minggu pengobatan
agar tidak residif. Serta pengobatan tambahan seperti pemotongan rambut pada
tinea kapitis dan pemberian obat obatan.1
Ada 3 kategori utama yang dipakai untuk ergosterol adalah allylamins dan
bezylamines , azole ( imidazole dan triazole) dan polynes. Golongan azole,
allylamin dan benzylamine memblokeir biosintesis ergosterole sedangkan,
polyenes mengikat molekul pada afinitas yang tinggi yang dapat membuat
membrane sel bocor. Pengobatan sistemik lainnya seperti griseovulfin dan
flucyosin bekerja pada struktur intraseluer melewati mekanisme yang sama seperti
agen chemoterapi untuk kanker. Meskipun keduanya efektif secara klinis azole
memperlihatkan efek yang lebih baik dibandingkan dengan allylamine , tetapi
kurang melawan dermatopithes.meskipun efek samping yang paling umum
berkaitan dengan terapi topical ringan , transient dan reaksi hipersensitivitas
22
terlokalisasi , anti jamur sistemik menunjukkan berbagai derajat toksisitas organ
dan mungkin interaksi obat yang serius. 2
A. Allylamine
Dua agen yang mewakili golongan ini, terbinafin, tersedia dalam bentuk oral dan
topical, dan naftilen yang hanya tersedia dalam bentuk topical.
Mekanisme kerjanya:
1. Naftine
Naftine merupakan broad spectrum dari allylamine topical, aktivitas
obat ini selain sebagai antifungal juga sebagai antibakteri (baik gram
positif maupun bakteri gram negative) cocok untuk tambahan pengobatan
dengan inflamasi sekunder. Yaitu kerjanya dengan menekan sintesis
leukotrin dan prostaglandin.
Farmakokinetik : sifat lifofilik dari naftine memudahkan untuk
penetrasi melalui stratum korneum. Lama bertahan dari obat ini pada
stratum korneum sampai sekitar 5 hari setelah penggunaan dengan dosis
tunggal, hanya 3-6 % yang diserap secara sistemik.
Indikasi paling sering digunakan untuk pengobatan secara topical yaitu
untuk mengatasi tinea cruris, tinea pedis, tinea corporis, tinea versicolor,
dan biasanya juga untuk infeksi jamur candida.
Formulasi dosis yang tersedia yang biasa digunkan yaitu 1% dalam
bentuk gel dan cream dengan indikasi sekitar 2-4 minggu selama
pengobatan.
23
Efek samping yang ditimbulkan , berupa keluhan umum namun sangat
minimal hanya terjadi pada beberapa persen kasus seperti kulit kering,
gatal- gatal, iritasi local, dan eritem.
2. Terbinafin
Mekanisme kerjanya yaitu menekan sequelene enzym epoxide,yang
akan menghambat pembentukan ergosterol. Absorbsinya secara sistemik
,namun yang jika digunakan terbinafin topical yang diserap hanya sekitar
3-5 %. Untuk absorbs secara oral tidak dipengaruhi oleh intake makanan,
karena sifatnya yang lifofilik, cenderung terdistribusi dan terkumpul di
folikel rambut, kuku, dan kulit, dengan konsentrasi minimal di plasma,
waktu paruhnya hanya sekitar 17 jam, biotransformasi obat untuk tempat
oksidasinya di hati melalui enzyme CYP026. Sebagian obat ini dieliminasi
di urine sehingga perlu dipertimbangkan penggunaannya untuk pasien
pasien dengan gangguan fungsi hati dan gangguan ginjal.
Terbinafin sangat baik untuk pengobatan mycosis superfisial, termasuk
tinea verrsicolor. Pada penggunaan tanpa kontraindikasi, terbinafin adalah
obat yang digunakan sebagai lini pertama untuk dermatofitosis,karena
memiliki aktivitas fungisidal yang baik, penggunaan dosis tunggal harian,
serta memiliki afinitas fusi yang baik pada stratum korneum.
Terbinafin juga merupakan fungisidal kuat , diatas Griseofulvin dan
Itrakonazole dalam melawan Trycophyton rubrum dan Tinea
mentagriphytes. Meskipun sangat baik untuk dermatofita dan
onikomikosis, akan tetapi tidak khasiat untuk jamur nondermatofita dan
kandidiasis onikomikosis.
Pengobatan menggunakan terbinafin dan griseofulvin telah disetujui
oleh FDA , dapat digunakan pada tinea kapitis anak- anak, terbinafin juga
lebih baik untuk membasmi endotrikosis tinea kapitis, pada pediatri
khususnya yang disebabkan oleh microsporum canis dan trichosis. Karena
kecenderungan yang tnggi terhadap aktivitas produksis sebum.
Jumlah dosis yang biasa digunakan yaitu 500 mg, dua kali sehari
selama 2 – 4 minggu, untuk topical 1%, tab 250 mg untuk penggunaan
secara oral.
Efek sampng yang emungkinan kecil timbul terutama penggunaan
topical sangat minimal, terbatas reaksi local. Pada umunya berupa gejala
abdominal pain ,keluhan gastrointestinal seperti mual, muntah , diare, dan
24
kadang terjadi diskolorisasi lidah. Biasanya pada penggunaan empat
sampai enam minggu terjadi erupsi kutaneus, namun keluhan ini sangat
jarang terjadi.
Tabel 2.5 Obat Anti Jamur Topikal Berdasarkan Golongan Dan Resiko Terhadap
Kehamilan
25
Tabel 2.6 Obat Anti Jamur Sistemik Berdasarkan Golongan Dan Resiko Terhadap
Kehamilan
26
27
B. Benzylamine
Regimen struktur dan fungsinya sama dengan allylamine. Beberapa jenis obat
seperti :
1. Butenafine
Butenafine adalah satu satunya turunan anti jamur yang tersedia dari
benzylamine, yang mempunyai rumus kimia n-(4-tertbutylbenzyl)-n-
metyl-1-naphetylamine hydroclorida. Mekanisme kerjanya sama dengan
allylamine, butenafine menghambat sintesis ergosterol, dengan
enchacement berikutnya dalam permeabilitas membrane dan akhiran
komponen seluler yang penting,sehingga hasilnya adalah kematian sel
jamur itu sendiri.
Penggunaan butenafine untuk pengobatan infeksi dermatofita, dengan
efikasi yang lebih tinggi dari pada allylamine, sebagai tambahan juga
dapat digunakan untuk kasus pityriasis versocolor. (PV) dan kandidiasis.
Untuk formulasi hanya terdiri dari satu macam yaitu 1% cream
penggunaannya sekali sehari selama dua sampai empat minggu. Efek
samping butenafine sendiri terbilang minimal termasuk gatal- gatal, rasa
terbakar, eritem, dan dermatitis kontak.
C. Azole
28
Azole adalah kelompok anti jamur yang ditandai degan 1 atau lebih cincin
azol, subdiklasifikasikan menjadi imidazole, yang terasuk
ketoconazole,butoconazole, ecoazole, lulikonazole, miconazol, dan
sertakonazol, dan tiazole ynag termasuk fluconazole, itrakonazol, efinaconazol
dan isavuconazol.
Mekanisme kerja melalui tindakan azoid yaitu dengan menghambat enzim
lanosterol demethylase (14a-demethylase), a cytochrome p450(cyp)- enzim
tergantung yang mengkatalis setiap konversi darrri lanosterol menjadi
ergosterol, sehingga menghambat sintesis dari ergosterrrol. Karrena penurunan
darri ergosterol maka akan terjadi kerusakan permeabilitas membrane . selain
itu pembentukan prekurssorr sterol 14a-methasi akan mengganggu
pertumbuhan sel yang pada akhirrnya akan menyebabkan kematian sel.
1. Imidazole
29
pedis, dan (2%), cream
juga efekttif (2%),
unttuk PV ointment,
dan lotion and
kandidiasis powder.
2. Triazole
3. Polyenes
A. Nistatin
Merupakan derivate polyene dari Streptomyces spp. Nistatin
memegang dua fungsi sebagai fungistatik dan fungisidal yaitu dengan
30
mengikat ergosterol mycotic dengan afinitas ayng lebih tinggi dari sel
mamalia.ikatan ini akan membuat celah –celah pada membrane sel
yang akan merusak komponen sel sehingga terjadi kematian sel.
Karena toksisitas yang tinggi untuk intravena, nistatin terbatas
pada penggunaan yang topical saja. Tersedia dalam bentuk cream,
bedak, dan formulasi lozenge. Dua kali sehari selama 4-5 hari untuk
infeksi kutaneus. Untuk kandidiasis oral sebanyak 4 kali sehari selama
14 hari.
Efek samping berupa reaksi hipersensitivitas yang terlokasi terkait
dengan kulit dan seperti Gambaran dermatitis alergi, eritem, gatal-
gatal, dan edema. Mual muntah serta riare hanya pada dosis besar
penggunaan secara oral. Untuk kategori keamanan terhadap kehamilan
termasuk kategori B.
4. Other Antifungal
Obat antijamur lainnya termasuk Ciclopirox, Amorolfine,
Griseofulvin, Tavaborol kategori kehamilan yaitu C. Griseofulvin sendiri
merupakan derivate metabolic dari Penicillium griseofulvum, yang
digunakan secara klasik uttuk dermatofita, tidak ada kativitas terhadap ragi
dan jamur.
Termasuk kedalam obat fungistatik, menghambat pertumbuhan dan
proiferasi sel jamur. Griseofulvin mengikat tubulin dan microtubulin
menhubungkannya dengan protein di sepanjang polymer microtubules,
menekan pembentukan poros mitotic pada fase siklus G2 fase siklus sel.
Menghambat pembelahan sel ini dan memaksa sel untuk terjadi apoptosis.
Indikasi griseofulvin untuk lini pertama pengobatan tinnea capitis
kausa Microsporum dan lebih baik dari terbinafin. Terbatas pada
dermatofitosis saja , namun baik untuk onikomikosis pediatric.
Tersedia ukuran mikro 250 – 500 mg, ultramicro tablet 125- 165- dan
250 mg, suspense oral 125 mg/ml. direkomendasikan 1 g / hari selama 4- 8
minggu. Pada anak 10- 15 mg/kgbb. Dilanjutkan 1-2 bulan.
Efek samping yang ditimbulkan berupa urtikaria, edema,serum
sickness,steven –johnson syndrome, dan toxit epidermal nekrosis. Jarang
namun cukup serius seperti ,hepatotoksik, leukopenia, trombositopenia
dan anemia. Masalah neurologi seperti lupa ingatan, bingung, dan
insomnia, hanya pada beberapa pasien.
31
2.6. TATALAKSANA PADA KEHAMILAN
Terdapat bukti positif mengenai adanya resiko pada janin manusia, tetapi
ada kemungkinan pada kondisi tertentu dimana manfaat yang diperoleh
dari penggunaan pada ibu hamil jauh lebih besar dari resikonya (misalnya
jika obat diperlukan untuk situasi yang mengancam jiwa atau penyakit
serius dimana obat yang lebih aman tidak digunakan atau tidak efektif).
e. Kategori X
32
Studi pada binatang percobaan dan manusia telah menunjukan
ketidaknormalan pada janin dan terdapat bukti mempunyai resiko tinggi
terjadinya pengaruh buruk yang menetap pada janin jika diminum pada
masa kehamilan Obat ini merupakan kontraindikasi mutlak selama
kehamilan.
33
2. Obat antijamur dan kategori risiko dalam kehamilan
a. Azoles
Ketokonazole
Ketokonazol telah terbukti bersifat teratogenik dan embriotoksik pada
dosis tinggi (80 mg / kg / hari) pada binatang percobaan. Ketokonazol
juga telah terbukti dapat melintasi barrier plasenta pada binatang
34
percobaan studi, secara teoritis dapat mempengaruhi diferensiasi organ
seks pada janin.
Flukonazol
Flukonazole adalah embrio-fetotoksik dan teratogenik yang telah diuji
pada tikus dan kelinci. Dosis flukonazol total 300 mg adalah teratogenik
dan menjadi kontraindikasi dalam kehamilan, dengan penunjukan FDA
kategori D. Dosis tunggal rendah (≤300 mg dosis total) flukonazol tidak
meningkatkan risiko cacat bawaan dan dapat dipertimbangkan tanpa
adanya alternatif topikal setelah trimester pertama.
Itrakonazol
Itraconazole bersifat embriotoksik dan teratogenik pada tikus. Studi
klinis belum mendeteksi adanya peningkatan risiko selama kehamilan,
terutama selama trimester pertama, dan FDA memberi label itraconazole
kategori C. Namun mengingat kemungkinan resiko yang dapat terjadi
maka obat tetap harus dihindari selama kehamilan, terutama selama
trimester pertama.
Vorikonazol
Vorikonazole diberi label kategori D (FDA) karena efek embriotoksik /
teratogenik pada tikus dan kelinci. Data pada paparan kehamilan terbatas
pada pengamatan tunggal dengan hasil materno-janin yang baik.
Seharusnya tidak dipertimbangkan dalam kehamilan, kecuali pada
penyakit ibu yang mengancam jiwa tanpa adanya alternatif terapi.
Posaconazole
FDA memberi label posaconazole kategori C karena bersifat
embriotoksik dan teratogenik pada tikus dan kelinci. Tidak ada data
manusia tersedia sejauh ini dan tidak boleh dipertimbangkan dalam
kehamilan, kecuali pada penyakit ibu yang mengancam jiwa tanpa terapi
alternatif.
b. Polyenes
adalah salah satu obat antijamur tertua. Obat ini mengikat ergosterol,
membentuk pori-pori transmembran yang akan membuat kebocoran ionik
dan kematian jamur.
Amfoterisin B
Amfoterisin B diklasifikasikan sebagai kategori B oleh FDA. Obatt ini
dianggap sebagai antijamur teraman dalam kehamilan.
Nystatin
35
Nystatin diklasifikasikan sebagai kategori A oleh FDA . Namun, data
terbaru Hungaria obat ini meningkatkan kemungkinan risiko hipospadia
sedikit meningkat pada janin yang terpajan. Oleh karena itu lebih
bijaksana untuk menghindari penggunaannya selama periode kritis untuk
menghindari malformasi ini.
c. Squalene Epoksidase Inhibitor
Terbinafine
Diklasifikasikan sebagai kategori B oleh FDA. Obat ini tidak bersifat
embriotoksik pada kehamilan binatang percobaan, tetapi data manusia
tidak tersedia, karenanya menghambat penggunaan sistemiknya pada
kehamilan. Sebaliknya, terbinafine topikal, yang memiliki kemampuan
penyerapan terbatas, bisa menjadi pilihan.
f. Antimetabolites
Flucytosine
Flucytosine Diklasifikasikan sebagai kategori C oleh FDA.. Laporan
kasus yang terbatas tidak dapat membuktikan hasil yang merugikan
setelah penggunaan flucytosine selama trimester kedua dan ketiga. Masih
kurangnya data untuk mempelajari lebih lanjut toksisitas terhadap janin
dan boleh tidaknya dipertimbangkan dalam kehamilan, kecuali setelah
trimester pertama yaitu adanya infeksi yang mengancam jiwa ibu dimana
manfaatnya menambahkan flucytosine dapat membenarkan risiko.
g. Griseofulvine
Griseofulvin diklasifikasikan sebagai kategori C oleh FDA. Obat ini yaitu
bersifat karsinogenik, embriotoksik dan teratogenik pada tikus. Data pada
manusia masih terlalu terbatas untuk memungkinkan penggunaannya
pada kehamilan, terutama pada trimester.pertama.
36
DAFTAR PUSTAKA
37
Chandigarh, India. Indian Dermatology Online Journal | Published by
Wolters Kluwer - Medknow
14. Adiguna, MS., 2004. Epidemiologi Dermatomikosis di Indonesia.
Dalam: Dermatomikosis Superfisialis. Jakarta; Balai Penerbit FKUI.
38