Anda di halaman 1dari 6

Ta’aruf [‫ ]التعارف‬secara bahasa dari kata ta’arafa – yata’arafu [‫]تعارف – يتعارف‬, yang artinya saling

mengenal. Kata ini ada dalam al-Quran, tepatnya di surat al-Hujurat,

َ ‫َر َوُأ ْنثَى َو َج َع ْلنَا ُك ْم ُشعُوبًا َوقَبَاِئ َل ِلتَ َع‬


‫ارفُوا‬ ٍ ‫يَاَأيُّهَا النَّاسُ ِإنَّا َخلَ ْقنَا ُك ْم ِم ْن َذك‬
“Hai manusia sesungguhnya kami telah menciptakan kalian dari seorang pria dan seorang wanita, lalu
menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kalian saling mengenal (li-ta’arofu) …” (QS.
al-Hujurat: 13).

Ketika manusia itu berbeda-beda, mereka bisa saling kenal… ini ciri orang Melayu, ini orang Arab, ini ciri
orang Cina, ini orang Eropa, dst. Anda semua ciri manusia sama, tentu kita tidak bisa saling kenal seperti
ini.

Diambil dari makna bahasa di atas, ta’aruf antara lelaki dan wanita yang hendak menikah, berarti saling
kenalan sebelum menuju jenjang pernikahan.

Sebelumnya ada 3 hal yang perlu dibedakan,

[1] Ta’aruf: saling perkenalan. Dan umumnya dilakukan sebelum khitbah

[2] Khitbah: meminang atau lamaran, menawarkan diri untuk menikah

Khitbah, ada yang disampaikan terang-terangan dan ada yang disampaikan dalam bentuk isyarat.

Khitbah secara terang-terangan, misalnya dengan menyatakan, “Jika berkenan, saya ingin menjadikan
anda sebagai pendamping saya..” atau yang bentuknya pertanyaan, “Apakah anda bersedia untuk
menjadi pendamping saya?”

Khitbah dalam bentuk isyarat, misalnya dengan mengatakan, “Sudah lama aku mendambakan wanita
yang memiliki banyak kelebihan seperti kamu…” atau kalimat semisalnya, meskipun bisa jadi ada kesan
menggombal…

Allah berfirman,
ْ ‫َاح َعلَ ْي ُك ْم فِي َما َعرَّضْ تُ ْم بِ ِه ِم ْن ِخ‬
‫طبَ ِة النِّ َسا ِء َأوْ َأ ْكنَ ْنتُ ْم فِي َأ ْنفُ ِس ُك ْم َعلِ َم هَّللا ُ َأنَّ ُك ْم َست َْذ ُكرُونَه َُّن َولَ ِك ْن اَل تُ َوا ِعدُوه َُّن ِس ًّرا ِإاَّل َأ ْن تَقُولُوا قَوْ اًل‬ َ ‫َواَل ُجن‬
‫َأ‬ ْ
ُ‫َاح َحتَّى يَ ْبلُ َغ ال ِكتَابُ َجلَه‬ ِ ‫ْز ُموا ُع ْق َدةَ النِّك‬
ِ ‫َم ْعرُوفًا َواَل تَع‬
Tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan
(keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut
mereka, dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali
sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma’ruf. Dan janganlah kamu berazam (bertetap
hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis ‘iddahnya. (QS. Al-Baqarah: 235)

Berdasarkan ayat di atas, bagi wanita yang sedang menjalani masa iddah, tidak boleh dilamar dengan
kalimat terang-terangan.

[3] Nadzar: melihat calon pasangan.

Biasanya ini dilakukan ketika ta’aruf atau ketika melamar.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


ْ‫ فَ ْليَ ْف َعل‬J،‫ فَِإ ِن ا ْستَطَا َع َأ ْن يَ ْنظُ َر ِم ْنهَا ِإلَى َما يَ ْد ُعوْ هُ ِإلَى نِكَا ِحهَا‬،َ‫ب َأ َح ُد ُك ُم ْال َمرْ َأة‬
َ َ‫ِإ َذا خَ ط‬
“Apabila seseorang di antara kalian ingin meminang seorang wanita, jika dia bisa melihat apa-apa yang
dapat mendorongnya untuk menikahinya maka lakukanlah!” (HR. Ahmad 3/334, Abu Dawud 2082 dan
dihasankan al-Albani).

Bagaimana Cara Ta’aruf yang Benar?

Tidak ada cara khusus dalam masalah ta’aruf. Intinya bagaimana seseorang bisa menggali data calon
pasangannya, tanpa melanggar aturan syariat maupun adat masyarakat. Hanya saja, ada beberapa
catatan yang perlu diperhatikan terkait ta’aruf,

[1] Sebelum terjadi akad nikah, kedua calon pasangan, baik lelaki maupun wanita, statusnya adalah
orang lain. Sama sekali tidak ada hubungan kemahraman. Sehingga berlaku aturan lelaki dan wanita
yang bukan mahram.

Mereka tidak diperkenankan untuk berdua-an, saling bercengkrama, dst. Baik secara langsung atau
melalui media lainnya.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan,

‫الَ يَ ْخلُ َو َّن َأ َح ُد ُك ْم بِا ْم َرَأ ٍة فَِإ َّن ال َّش ْيطَانَ ثَالِثُهُ َما‬

“Jangan sampai kalian berdua-duaan dengan seorang wanita (yang bukan mahramnya), karena setan
adalah orang ketiganya.” (HR. Ahmad dan dishahihkan Syu’aib al-Arnauth).

Setan menjadi pihak ketiga, tentu bukan karena ingin merebut calon pasangan anda. Namun mereka
hendak menjerumuskan manusia ke maksiat yang lebih parah.

[2] Luruskan niat, bahwa anda ta’aruf betul-betul karena ada i’tikad baik, yaitu ingin menikah. Bukan
karena ingin koleksi kenalan, atau cicip-cicip, dan semua gelagat tidak serius. Membuka peluang, untuk
memberi harapan palsu kepada orang lain. Tindakan ini termasuk sikap mempermainkan orang lain, dan
bisa termasuk kedzaliman.

Sebagaimana dirinya tidak ingin disikapi seperti itu, maka jangan sikapi orang lain seperti itu.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫الَ يُْؤ ِمنُ َأ َح ُد ُك ْم َحتَّى ي ُِحبَّ َأل ِخ ْي ِه َما ي ُِحبُّ لِنَ ْف ِس ِه‬

Kalian tidak akan beriman sampai kalian menyukai sikap baik untuk saudaranya, sebagaimana dia ingin
disikapi baik yang sama. (HR. Bukhari & Muslim)

[3] Menggali data pribadi, bisa melalui tukar biodata

Masing-masing bisa saling menceritakan biografinya secara tertulis. Sehingga tidak harus melakukan
pertemuan untuk saling cerita. Tulisan mewakili lisan. Meskipun tidak semuanya harus dibuka. Ada
bagian yang perlu terus terang, terutama terkait data yang diperlukan untuk kelangsungan keluarga, dan
ada yang tidak harus diketahui orang lain.
Jika ada keterangan dan data tambahan yang dibutuhkan, sebaiknya tidak berkomunikasi langsung, tapi
bisa melalui pihak ketiga, seperti kakak lelakinya atau orang tuanya.

[4] Setelah ta’aruf diterima, bisa jadi mereka belum bertemu, karena hanya tukar biografi. Karena itu,
bisa dilanjutkan dengan nadzar.

Dari al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu’anhu, beliau menceritakan,

“Suatu ketika aku berada di sisi Nabi shallallahu’alaihi wasallam, tiba-tiba datanglah seorang lelaki. Dia
ingin menikahi wanita Anshar. Lantas Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bertanya kepadanya,

“Apakah engkau sudah melihatnya?”

Jawabnya, “Belum.”

Lalu beliau memerintahkan,

‫ا ْنظُرْ ِإلَ ْيهَا فَِإنَّهُ َأحْ َرى َأ ْن يُْؤ َد َم بَ ْينَ ُك َما‬

“Lihatlah wanita itu, agar cinta kalian lebih langgeng.” (HR. Turmudzi 1087, Ibnu Majah 1865 dan
dihasankan al-Albani)

Nadzar bisa dilakukan dengan cara datang ke rumah calon pengantin wanita, sekaligus menghadap
langsung orang tuanya.

[5] Dibolehkan memberikan hadiah ketika proses ta’aruf

Hadiah sebelum pernikahan, hanya boleh dimiliki oleh wanita, calon istri dan bukan keluarganya.

Dari Abdullah bin Amr bin al-Ash radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,

‫َاح فَهُ َو لِ َم ْن ُأ ْع ِطيَهُ َأوْ ُحبِ َى‬ ِ ‫ق َأوْ ِحبَا ٍء َأوْ عد ٍة قَ ْب َل ِعصْ َم ِة النِّك‬
ِ ‫َاح فَهُ َو لَهَا َو َما َكانَ بَ ْع َد ِعصْ َم ِة النِّك‬ َ ‫َما َكانَ ِم ْن‬
ٍ ‫صدَا‬
“Semua mahar, pemberian dan janji sebelum akad nikah itu milik penganten wanita. Lain halnya dengan
pemberian setelah akad nikah, itu semua milik orang yang diberi” (HR. Abu Daud 2129)

Agar tidak salah kaprah dalam menjalani proses taaruf, alangkah baiknya seorang muslim mengetahui
tata cara taaruf yang benar sesuai syariat Islam.

Tata cara tersebut yaitu sebagai berikut:

1. Niat.

Sebelum melakukan taaruf, seseorang harus memiliki niat karena Allah. Tidak boleh menjalankan taaruf
apabila terdapat niat buruk di dalamnya.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:


"Kalian tidak akan beriman sampai kalian menyukai sikap baik untuk saudaranya, sebagaimana dia ingin
disikapi baik yang sama." (HR. Bukhari & Muslim)

2. Dilarang berduaan.

Sebelum terjadi pernikahan, pasangan yang sedang menjalani taaruf dilarang berduaan. Sebab jika
hanya berduaan antara lelaki dan perempuan yang bukan muhrim, setan menjadi pihak ketiga, yang
ingin menjerumuskan manusia pada tindakan maksiat.

Dalam sebuah hadits Rasulullah bersabda:

"Jangan sampai kalian berdua-duaan dengan seorang wanita (yang bukan mahramnya), karena setan
adalah orang ketiganya." (HR. Ahmad dan dishahihkan Syu'aib al-Arnauth).

Seorang yang ingin menjalankan taaruf harus melalui perantara, orang yang dipercaya dapat menjadi
perantara pertukaran informasi calon pasangan.

3. Bertukar biodata.

Dalam proses taaruf, untuk saling mengenal satu sama lain harus melalui pertukaran biodata tertulis
yang kemudian ada pihak ketiga yang menjadi perantara pertukaran biodata tersebut. Hal ini dilakukan
untuk meminimalisasi pertemuan.

Masing-masing dapat mengetahui profil calon pasangannya dari biodata tersebut, atau dari orang-orang
terdekat yang mengenal pribadi calon pasangannya.

4. Nadzar untuk bertemu.

Setelah permohonan taaruf diterima, dapat dilanjutkan dengan bernadzar yang dilakukan dengan cara
datang ke rumah calon pengantin wanita dan menghadap langsung kepada orang tuanya.

Dari al-Mughirah bin Syu'bah radhiyallahu'anhu menceritakan:

"Suatu ketika aku berada di sisi Nabi shallallahu'alaihi wasallam, tiba-tiba datanglah seorang lelaki. Dia
ingin menikahi wanita Anshar. Lantas Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam bertanya kepadanya,
"Apakah engkau sudah melihatnya?" Jawabnya, "Belum." Lalu Beliau memerintahkan, "Lihatlah wanita
itu, agar cinta kalian lebih langgeng." (HR. Tarmidzi 1087, Ibnu Majah 1865 dan dihasankan al-Albani)

5. Diperbolehkan memberi hadiah kepada calon pengantin wanita.

Hadiah sebelum pernikahan hanya boleh dimiliki oleh wanita calon istri dan bukan keluarganya.

Dari Abdullah bin Amr bin al-Ash radhiyallahu 'anhuma, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda:

"Semua mahar, pemberian, dan janji sebelum akad nikah itu milik pengantin wanita. Lain halnya dengan
pemberian setelah akad nikah, itu semua milik orang yang diberi." (HR. Abu Daud 2129)

Adab taaruf.

Dalam melakukan taaruf terdapat adab yang harus dijaga, adab-adab tersebut yaitu sebagai berikut:

1. Menjaga pandangan.
Dalam proses taaruf hal yang harus diperhatikan adalah cara menjaga pandangan. Melihat calon
pasangan boleh-boleh saja dilakukan, tetapi hanya dilakukan untuk memastikan kecocokan saja, tidak
boleh saling berpandang-pandangan terlalu lama karena dikhawatirkan akan menimbulkan zina.

2. Menutup aurat.

Sudah kewajiban sebagai seorang muslim untuk menjaga aurat dari orang yang bukan mahramnya.
Wanita yang sedang ditemui oleh calon suaminya harus didampingi orang tuanya dan menutup
auratnya.

3. Menjaga sikap dengan sopan.

Pada saat melakukan pertemuan dengan calon pasangan, keduanya harus menjaga jarak seperti tidak
boleh duduk berdekatan dan menjaga sikap dengan sopan, mulai tutur kata dan gerak gerik tubuh.

4. Menghindari hal-hal yang tidak perlu dalam pembicaraan.

Sebaiknya dalam membicarakan sesuatu pada saat bertaaruf menghindari hal-yang yang tidak perlu.
Bicarakan hal-hal yang penting dan diperlukan saja.

5. Selalu mengingat Allah.

Dengan selalu mengingat Allah dalam setiap perbuatan, khususnya saat bertaaruf, akan dapat menjaga
diri dari gangguan setan. Saat taaruf alangkah baiknya diiringi dengan mengerjakan sholat istikharah
agar keyakinan untuk menikah tidak mudah goyah.

MELIHAT/ NAZHOR

Melihat atau “nadzor” wanita yang hendak dinikahi adalah hal yang disyariatkan. Hal ini agar tidak
“seperti beli kucing dalam karung”. Seseorang yang akan menikah berhak untuk mengetahui lebih dalam
tentang calon yang akan dinikahinya. Hal ini akan menimbulkan rasa cinta yang lebih untuk memulai
rumah tangga. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

ْ‫ فَ ْليَ ْف َعل‬، ‫َاحهَا‬


ِ ‫ فَِإ ْن ا ْستَطَا َع َأ ْن يَ ْنظُ َر ِإلَى َما يَ ْدعُوهُ ِإلَى نِك‬، َ‫ب َأ َح ُد ُك ْم ْال َمرْ َأة‬
َ َ‫ِإ َذا خَ ط‬
“Jika salah seorang dari kalian meminang seorang wanita, maka apabila dia bisa melihatnya hingga
memiliki hasrat untuk menikahinya, maka hendaknya dia melakukannya”. [HR. Abu Daud]

Beliau juga bersabda,

‫ فَِإنَّهُ َأحْ َرى َأ ْن يُْؤ َد َم بَ ْينَ ُك َما‬،‫ُأ ْنظُرْ ِإلَ ْيهَا‬

“Lihatlah wanita tersebut, sebab hal itu lebih patut untuk melanggengkan (cinta kasih) antara kalian
berdua.” [HR. Tirmidzi]
Akan tetapi nadzor akhwat ada aturannya, tidak sembarangan. Laki-laki yang hendak melakukan nadzor
ke seorang akhwat hendaknya memperhatikan kaidah-kaidah berikut (kami sarikan dari penjelasan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin)

Pertama: ketika Nazar tidak berkhalwat berdua-duaan dengan seorang wanita

Tidak dibenarkan janjian bertemu berdua di pantai atau janjian bertemu di taman untuk melakukan
nadzor

Kedua: Hendaknya memandang tanpa syahwat karena wanita dengan syahwat diharamkan tujuannya
adalah melihat calon istri untuk mengetahui kondisi sebenarnya apakah sesuai dengan fakta yang
didapatkan bukan untuk sekedar menikmatinya

Ketiga: Dia memiliki prasangka kuat bahwa sang wanita akan menerima lamarannya

Jadi bukan asal-asalan nadzor atau sedikit-dikit baru ta’aruf langsung ingin nadzor dan minta foto untuk
dinadzor.

Keempat: Hendaknya memandang apa yang biasa nampak dari tubuhnya seperti muka telapak tangan
leher dan kaki

Ada perbedaan pendapat ulama mengenai apa yang dilihat ketika melakukan nadzor. Ada ulama yang
mengatakan hanya wajah dan telapak tangan saja yang dilihat. Ada juga yang berpendapat bisa melihat
kakinya

Kelima: Hendaknya dia benar-benar bertekad melamar sang wanita Jadi bukan sekedar untuk main-main
sekedar untuk iseng-iseng ingin tahu saja bagaimana akhwat tersebut.

Bagi sang wanita yang akan dinadzor, hendaknya Nazar tidak berhias tidak memakai wangi-wangian
memakai celak atau sarana kecantikan yang lain sehingga wanita ini benar-benar terlihat alami bukan
seperti dipaksakan kecantikannya dengan berbagai macam teknik make-up yang zaman sekarang yang
bisa jadi menipu.

Anda mungkin juga menyukai