Anda di halaman 1dari 136

Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S.

, ITB 2009

Bab VI
Lumpur Pemboran

6.1. Pendahuluan
Pada mulanya orang hanya menggunakan air saja untuk mengangkat serpih
pemboran (cutting). Lalu dengan berkembangnya pemboran, lumpur mulai
digunakan. Untuk memperbaiki sifat-sifat lumpur, zat-zat kimia ditambahkan dan
akhirnya digunakan pula udara dan gas untuk pemboran walaupun lumpur tetap
bertahan. Dalam bab ini tak akan dibahas fluida pemboran yang berupa udara
dan gas.
Secara umum lumpur pemboran dapat dipandang mempunyai empat
komponen atau fasa :

a. Fasa cair.
Ini dapat berupa minyak atau air. Air dapat pula dibagi dua, tawar dan asin. Tujuh
puluh lima persen lumpur pemboran menggunakan air. Sedang pada air dapat
pula dibagi menjadi air asin tak jenuh dan jenuh. Istilah oil-base digunakan bila
minyaknya lebih dari 95% . Invert emulsions mempunyai komposisi minyak 50
-70% (sebagai fasa kontinu) dan air 30 - 50% (sebagai fasa terdispersi).

b. Reactive solids.
Padatan ini bereaksi dengan sekelilingnya untuk membentuk koloidal. Dalam hal
ini clay air tawar seperti bentonite menghisap (absorp) air tawar dan membentuk
lumpur. Istilah "yield" digunakan untuk menyatakan jumlah barrel lumpur yang
dapat dihasilkan dari satu to clay agar viskositas lumpurnya 15 cp.
Untuk bentonite, yieldnya kira-kira 100 bbl/ton. Dalam hal ini bentonite
mengabsorp air tawar pada permukaan partikel-partikelnya, hingga kenaikan
volumenya sampai 10 kali atau lebih, yang disebut "swelling" atau "hidrasi".
Untuk salt water clay (attapulgite), swelling akan terjadi baik diair tawar atau di air
asin dan karenanya digunakan untuk pemboran dengan "salt water muds". Baik
bentonite ataupun attapulgite akan memberi kenaikan viskositas pada lumpur.
Untuk oil base mud, viskositas dinaikkan dengan penaikan kadar air dan
penggunaan asphalt.

c. Inert solids (zat padat yang tidak bereaksi)


Biasanya berupa barite (BaSO4) yang digunakan untuk menaikkan densitas
lumpur, ataupun galena atau bijih besi. Inert solids dapat pula berasal dari
formasi-formasi yang dibor dan terbawa lumpur seperti chert, pasir atau clay-clay
non swelling, dan padatan-padatan seperti ini secara tidak sengaja memberikan
kenaikan densitas lumpur dan perlu dibuang secepat mungkin (bisa
menyebabkan abrasi, kerusakan pompa dll).

d. Fasa kimia.
Zat kimia merupakan bagian dari sistem yang digunakan untuk mengontrol sifat-
sifat lumpur, misalnya dalam dispersion (menyebarnya paritkel-partikel clay) atau
flocculation (berkumpulnya partikel-partikel clay). Efeknya terutama tertuju pada
peng"koloid"an clay yang bersangkutan. Banyak sekali zat kimia yang digunakan
untuk menurunkan viskositas, mengurangi water loss, dan mengontrol fasa koloid
(disebut surface active agent). Zat-zat kimia yang mendispersi (thinner =
menurunkan viskositas/mengencerkan), misalnya :

Lumpur Pemboran 197


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

 Quebracho (dispersant)
 Phosphate
 Sodium Tannate (kombinasi caustic soda dan tannium)
 Lignosulfonates (bermacam-macam kayu pulp)
 Lignites
 Surfactant (surface active agents)
Sedang zat-zat kimia untuk menaikkan viskositas misalnya adalah :
 C.M.C
 Starch
 Beberapa senyawa polimer
Zat-zat kimia bereaksi dan mempengaruhi lingkungan sistem lumpur tersebut
misalnya dengan menetralisir muatan-muatan listrik clay, menyebabkan
dispersion dan lain-lain.

6.2. Fungsi Lumpur Pemboran


Lumpur pemboran merupakan faktor yang penting dalam pemboran.
Kecepatan pemboran, efisiensi, keselamatan dan biaya pemboran sangat
tergantung pada lumpur ini.
Fungsi lumpur antara lain adalah :
1. Pengangkatan cutting ke permukaan.
Pengangkatan Cutting ke permukaan tergantung dari :
a. Kecepatan fluida di annulus
b. Kapasitas untuk menahan fluida yang merupakan fungsi dari densitas,
aliran (laminer atau turbulen), viskositas. Umumnya kecepatan 100 - 120
fpm telah cukup (kadang-kadang perlu 200 fpm tetapi jarang).
2. Mendinginkan dan melumas bit dan drill string.
Panas dapat timbul karena gesekan bit dan drill string yang kontak dengan
formasi. Konduksi formasi umumnya kecil, sehingga sukar menghilangkan
panas ini. Tetapi umumnya dengan adanya aliran lumpur volume maupun
specific heat lumpur telah cukup untuk mendinginkan sistem serta melumasi.
3. Memberi dinding pada lubang bor dengan mud cake
Lumpur akan membuat mud cake atau lapisan zat padat tipis di permukaan
formasi yang permeable (lulus air). Pembentukan mud cake ini akan
menyebabkan tertahannya aliran fluida masuk ke formasi untuk selanjutnya.
Adanya aliran yang masuk yaitu cairan plus padatan menyebabkan padatan
tertinggal/tersaring. Cairan yang masuk ke formasi disebut filtrat.
Sifat wall building ini dapat diperbaiki dengan penambahan :
a. Sifat koloid drilling mud dengan bentonite.
b. Memberi zat kimia untuk memperbaiki distribusi zat padat dalam lumpur,
misalnya starch, CMC dan cypan, yang dapat mengurangi filter loss dan
memperkuat mud cake.
4. Mengontrol tekanan formasi.
Tekanan fluida formasi umumnya adalah di sekitar 0.465 psi/ft kedalaman.
Pada tekanan yang normal air dan padatan dipemboran telah cukup untuk
menahan tekanan formasi ini. Untuk tekanan yang lebih kecil dari normal
(subnormal), densitas lumpur harus diperkecil agar lumpur tidak hilang ke
formasi. Sebaliknya untuk tekanan yang lebih besar dari normal (lebih dari
0.465 psi/ft) atau abnormal pressure, maka barite kadang-kadang perlu
ditambahkan untuk memperberat lumpur.

198 Lumpur Pemboran


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Tekanan yang diakibatkan oleh kolom lumpur pada kedalaman tertentu (D, ft)
dapat dihitung menggunakan rumus :
Pm  0.052d m D
P  Ph  Ploss
dimana
Pm = Tekanan statik lumpur, psi
P = P dinamis
d m = Densitas lumpur, ppg
Ph = P hidrostatik
D = Kedalaman, ft.
Ploss = Kehilangan tekanan selama sirkulasi

Perlu diketahui, bahwa tekanan fluida dinamis (pada saat mengalir) kepada
formasi adalah tekanan statik (menggunakan rumus diatas) ditambah
pressure loss yg terjadi di sepanjang jalur sirkulasi.
5. Membawa cutting dan material-material pemberat pada suspensi bila sirkulasi
lumpur dihentikan sementara.
6. Melepaskan pasir dan cutting di permukaan
Kemampuan lumpur untuk menahan cutting selama sirkulasi dihentikan
terutama tergantung dari gel – strength. Pada saat fluida pemboran menjadi
gel, tahanan terhadap gerakan cutting ke bawah dapat dipertinggi. Cutting
perlu ditahan agar tidak turun kebawah, karena dapat menyebabkan
akumulasi cutting pada annulus dan pipa akan terjepit (pipe sticking). Selain
itu, pengendapan cutting di annulus akan memperberat beban torsi pada saat
rotasi permulaan dan juga memperberat kerja pompa pada saat memulai
sirkulasi kembali. Akan tetapi gel – strength yang terlalu besar juga tidak
diinginkan karena akan mempersulit proses pembuangan cutting di
permukaan (selain pasir). Penggunaan alat-alat seperti desander atau shale
shaker dapat membantu proses pemisahan cutting/pasir dari lumpur
dipermukaan. Sebagai tambahan, pasir harus dibuang dari aliran lumpur
karena sifatnya yang sangat abrasive (mengikis) pada pompa, fitting
(sambungan- sambungan) dan bit. Untuk ini biasanya kadar pasir maksimal
yang boleh adalah 2%.
7. Menahan sebagian berat drill pipe dan casing (Bouyancy effect).
8. Mengurangi efek negatif pada formasi.
9. Mendapatkan informasi (mud log, sample log).
Dalam pemboran, kadang – kadang lumpur dianalisa untuk mengetahui
apakah lumpur mengandung hidrokarbon atau tidak (mud log). Selain itu
dilakukan pula sample log, yaitu proses analisa cutting yang naik
kepermukaan, untuk menentukan formasi yang sedang dibor.
10. Media logging
Untuk penentuan adanya zona minyak atau gas serta juga zone – zone air
dan juga untuk korelasi dan maksud – maksud lain, diadakan logging
(pemasukan sejenis alat antara lain alat listrik atau gamma ray / neutron)
seperti misalnya electric logging, yang mana memerlukan lumpur sebagai
media penghantar arus listrik di lubang bor.

Lumpur Pemboran 199


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

6.3. Sifat-Sifat Lumpur.


Komposisi dan sifat-sifat lumpur sangat berpengaruh pada pemboran.
Perencanaan casing, drilling rate dan completion dipengaruhi oleh lumpur yang
digunakan saat itu. Misalnya pada daerah batuan lunak pengontrolan sifat-sifat
lumpur sangat diperlukan tetapi di daerah batuan keras sifat-sifat ini tidak terlalu
kritis sehingga air biasapun kadang-kadang dapat digunakan. Dengan ini dapat
dikatakan bahwa sifat-sifat geologi suatu daerah menentukan pula jenis lumpur
yang harus digunakan.

6.3.1 Densitas dan Sand Content

Densitas Lumpur
Lumpur sangat besar peranannya dalam menentukan berhasil tidaknya suatu
operasi pemboran, sehingga perlu diperhatikan sifat-sifat dari lumpur
tersebut, seperti densitas, viskositas, gel strength, atau filtration loss.
Densitas lumpur bor merupakan salah satu sifat lumpur yang sangat penting,
karena peranannya berhubungan langsung dengan fungsi lumpur bor sebagai
pengimbang tekanan formasi. Lumpur dengan densitas yang terlalu besar
akan menyebabkan lumpur hilang ke formasi (lost circulation), sedang
densitas yang terlalu kecil akan menyebabkan "kick". Maka densitas lumpur
harus disesuaikan dengan keadaan formasi yang akan dibor.
Densitas lumpur dapat menggambarkan gradien hidrostatik dari lumpur bor
dalam psi/ft. Tetapi di lapangan biasanya dipakai satuan ppg (pound per
gallon) yang diukur dengan menggunakan alat yag disebut dengan mud
balance (Gambar 6.1).
Dalam perhitungan harga ddensitas, asumsi-asumsi yang digunakan :
1. Volume setiap material adalah additive :
Vs  Vml  Vmb ......................................................................................(6-1)

2. Jumlah berat adalah additive, maka :


  s  Vs     ml  Vml    mb  Vmb ............................................................(6-2)
Keterangan :
V s = Volume solid, bbl
Vml = Volume lumpur lama, bbl
Vmb = Volume lumpur baru, bbl
 s = Berat jenis solid, ppg
 ml = Berat jenis lumpur lama, ppg
 mb = Berat jenis lumpur baru, ppg

200 Lumpur Pemboran


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Gambar 6.1. Mud Balance

dari persamaan (6-1) dan (6-2) didapat :


  mb   ml   Vml
Vs 
  s   mb  ............................................................................( 6-3 )

karena zat pemberat (solid) beratnya adalah :


Ws  Vs   s .........................................................................................(6-4)

Dimasukkan ke dalam persamaan (6-3):


  mb   ml 
Ws     V 
  s   mb  s ml
% Volume solid :
Vs     ml 
 100  mb  100 ................................................................( 6-5 )
Vmb   s   ml 

% Berat solid :
 s  Vs      ml 
 100  s mb  100 .....................................................( 6-6 )
 mb  Vmb  mb   s   ml 

Maka bila yang digunakan sebagai solid adalah barite dengan SG = 4.3 ,
untuk menaikkan densitas dari lumpur lama seberat dml ke lumpur baru
sebesar  mb setiap bbl lumpur lama memerlukan berat solid, Ws
sebanyak:
  mb   ml 
Ws  684 
 35.8   mb  ........................................................................( 6-7 )
Keterangan :
W s = Berat solid/zat pemberat, kg barite/bbl lumpur.

Lumpur Pemboran 201


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Sedangkan jika yang digunakan sebagai zat pemberat adalah bentonit


dengan SG = 2.5 , maka untuk tiap barrel lumpur diperlukan :
  mb   ml 
Ws  398 
 20.8   mb  ........................................................................( 6-8 )
dimana
W s = kg bentonite/bbl lumpur lama.

Sand Content
Tercampurnya serpihan – serpihan formasi (cutting) ke dalam lumpur
pemboran akan dapat membawa pengaruh pada operasi pemboran. Serpihan
– serpihan pemboran yang biasanya berupa pasir dapat mempengaruhi
karakteristik lumpur yang disirkulasikan, dalam hal ini akan menambah
densitas lumpur yang telah mengalami sirkulasi. Bertambahnya densitas
lumpur yang tersirkulasi ke permukaan akan menambah beban pompa
sirkulasi lumpur. Oleh karena itu setelah lumpur disirkulasikan harus
mengalami proses pembersihan untuk menghilangkan partikel-partikel yang
masuk ke dalam lumpur selama sirkulasi. Alat - alat ini, yang biasanya disebut
“Conditioning Equipment", adalah:

Shale Saker
Fungsinya membersihkan lumpur dari serpihan-serpihan atau cutting yang
berukuran besar.
Degasser
Untuk membersihkan lumpur dari gas yang masuk.
Desander
Untuk membersihkan lumpur dari partikel-partikel padatan yang berukuran
kecil yang bisa lolos dari shale shaker.
Desilter
Fungsinya sama dengan desander, tetapi desilter dapat membersihkan
lumpur dari partikel-partikel yang berukuran lebih kecil.

Sand content dari lumpur pemboran adalah adalah persen volume dari
partikel-partikel dengan diameternya lebih besar dari 74 mikron. Pengukuran
sand content dilakukan melalui pengukuran dengan menggunakan saringan
tertentu. Rumus untuk menentukan kandungan pasir (sand content) pada
lumpur pemboran adalah :
V
n  s  100 ............................................................................................( 6-9 )
Vm
di mana :
n = Kandungan pasir, %
Vs = Volume pasir dalam lumpur, bbl
Vm = Volume lumpur, bbl

202 Lumpur Pemboran


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

6.3.2. Viskositas dan Gel Strength


Viskositas dan gel strength merupakan bagian yang pokok dalam sifat-sifat
rheology fluida pemboran. Pengukuran sifat-sifat rheology fluida pemboran
penting dilakukan karena efektivitas pengangkatan cutting merupakan fungsi
langsung dari viskositas. Sifat gel pada lumpur juga penting pada saat round
trip sehingga viskositas dan gel strength menjadi salah satu indikator baik
tidaknya suatu lumpur pemboran.
Fluida pemboran dalam percobaan ini adalah lumpur pemboran. Lumpur
pemboran ini mengikuti model – model rheology Bingham Plastic, Power Law
dan Modified Power Law. Diantara ketiga model ini, Bingham Plastic
merupakan model yang sederhana untuk fluida Non-Newtonian.
Yang dimaksud dengan fluida Non-Newtonian adalah fluida yang
mempunyai viskositas tidak konstan, bergantung pada besarnya geseran
(shear rate) yang terjadi. Gambar 6.2 adalah suatu plot pada kertas koordinat
rectangular dari viskositas vs shear rate untuk fluida ini. Pada setiap shear rate
tertentu, fluida mempunyai viskositas yang disebut apparent viscosity.

Gambar 6.2. Plot Koordinat Rectangular Dari Viskositas vs Shear Rate

Berbeda dengan fluida Newtonian yang mempunyai viskositas konstan,


fluida Non-Newtonian memperlihatkan suatu yield stress - suatu jumlah tertentu
dari tahanan dalam yang harus diberikan agar fluida mengalir seluruhnya.
Perhatikan (Gambar 6.3).

Lumpur Pemboran 203


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Gambar 6.3. Plot Koordinat Shear Stress Vs Shear Rate


Pengukuran viskositas yang sederhana dilakukan dengan menggunakan
alat Marsh Funnel (Gambar 6.4). dalam perhitungan viskositas ini, didapatkan
waktu (detik) yang dibutuhkan lumpur sebanyak 0.9463 liter (1 quart) untuk
mengalir keluar dari corong Marsh Funnel. Bertambahnya viskositas ini
direfleksikan dalam bertambahnya apparent viscosity. Untuk fluida Non-
Newtonian, informasi yang didapat dengan Marsh Funnel memberikan suatu
Gambaran rheology fluida yang tidak lengkap sehingga harga viskositas yang
didapatkan biasanya digunakan sebagai perbandingan antara fluida yang baru
(awal) dengan kondisi sekarang.

Gambar 6.4. Marsh Funnel

204 Lumpur Pemboran


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Berikut ini adalah beberapa istilah yang selalu diperhatikan dalam


penentuan rheology suatu lumpur pemboran :
 Viskositas plastik (plastic viscosity) seringkali digambarkan sebagai bagian
dari resistensi untuk mengalir yang disebabkan oleh friksi mekanik.
 Yield point adalah bagian dari resistensi untuk mengalir oleh gaya tarik-
menarik antar partikel. Gaya tarik – menarik ini disebabkan oleh muatan-
muatan pada permukaan partikel yang di dispersi dalam fasa fluida.
 Gel strength dan yield point keduanya merupakan ukuran dari gaya tarik
menarik dalam suatu sistem lumpur. Bedanya, gel strength merupakan
ukuran gaya tarik – menarik pada saat statik sedangkan yield point
merupakan ukuran gaya tarik-menarik yang dinamik.

Penentuan harga shear stress dan shear rate didapatkan dari


penyimpangan skala penunjuk (dial reading) dan kecepatan rotasi (RPM) dari
Fann VG Viscometer yang diolah menjadi harga shear stress (dyne/cm 2) dan
shear rate (sec-1). Dari harga shear rate dan shear stress tersebut maka akan
didapatkan harga apparent viscosity dalam satuan cp (centipoise).

Adapun persamaan tersebut sebagai berikut :


  5.077  C ...............................................................................................(6-10)
  1.704  N ...............................................................................................(6-11)
dimana:
 = Shear stress, dyne/cm2
 = Shear rate, detik-1
C = Dial reading, derajat
N = Rotation per minute RPM dari rotor

Penentuan viskositas nyata (  a ) untuk setiap harga shear rate dihitung


berdasarkan hubungan:

Gambar 6.5. Skema Gambar Fann VG Viscometer

Lumpur Pemboran 205


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009


a   100
 .................................................................................................(6-12)
a 
 300  C 
N
...............................................................................................(6-13)
Untuk menentukan plastic viscosity (  p ) dan yield point (Yp) dalam field unit
digunakan persamaan Bingham Plastic (Gambar 6.6) berikut :

Gambar 6.6. Persamaan Bingham Plastic

 600   300
p 
 600   300 .............................................................................................(6-14)
Dengan memasukkan persaman (6-10) dan (6-11) ke dalam persamaan (6-14)
didapat:
 p  C 600  C 300
............................................................................................(6-15)
Yb  C 300   p
...............................................................................................(6-16)
dimana :
p
= Plastic viscosity, cp
Yb = Yield point Bingham, lb/100 ft2
C 600 = Dial reading pada 600 RPM, derajat
C 300 = Dial reading pada 300 RPM, derajat

206 Lumpur Pemboran


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Harga gel strength dalam 100 lb/ft 2 diperoleh secara langsung dari
pengukuran dengan alat Fann VG. Simpangan skala penunjuk akibat
digerakkannya rotor pada kecepatan 3 RPM, langsung menunjukkan harga gel
strength 10 detik atau 10 menit dalam 100 lb/ft 2.

6.3.3. Filtrasi Dan Mud Cake


Ketika terjadi kontak antara lumpur pemboran dengan batuan porous,
batuan tersebut akan bertindak sebagai “saringan” yang memungkinkan fluida
dan partikel-partikel kecil melewatinya. Fluida yang hilang ke dalam batuan
tersebut disebut "filtrate". Sedangkan lapisan partikel-partikel besar tertahan
dipermukaan batuan disebut "filter cake". Proses filtrasi diatas hanya terjadi
apabila terdapat perbedaan tekanan positif ke arah batuan. Pada dasarnya ada
dua jenis filtration yang terjadi selama operasi pemboran yaitu static filtration
dan dynamic filtration. Static filtration terjadi jika lumpur berada dalam keadaan
diam dan dynamic filtration terjadi ketika lumpur disirkulasikan.
Apabila filtration loss dan pembentukan mud cake tidak dikontrol maka ia
akan menimbulkan berbagai masalah, baik selama operasi pemboran maupun
dalam evaluasi formasi dan tahap produksi. Mud cake yang tipis akan
merupakan bantalan yang baik antara pipa pemboran dan permukaan lubang
bor. Mud cake yang tebal akan menjepit pipa pemboran sehingga sulit diangkat
dan diputar sedangkan filtrat yang masuk ke formasi dapat menimbulkan
damage pada formasi.
Standar prosedur yang digunakan dalam pengukuran volume filtration loss
dan tebal mud cake untuk static filtration adalah API RP 13B untuk LPLT (low
pressure - low temperature) lihat Gambar 3.7. Lumpur ditempatkan dalam
silinder standar yang bagian dasarnya dilengkapi kertas saring dan diberi
tekanan sebesar 100 psi dengan lama waktu pengukuran 30 menit. Volume
filtrat ditampung dengan gelas ukur dengan satuan cubic centimeter (cc).

Gambar 6.7. Rangkaian Peralatan Pengukuran Filtration Loss LPLT

Lumpur Pemboran 207


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Persamaan untuk volume filtrat yang dihasilkan dapat diturunkan dari


persamaan Darcy, persamaannya adalah sebagai berikut :
1
  f sc  2
 2k 
 f  1
tP 
Vf  A  sm   .............................................................................(6-17)
  
 

 

dimana :
A = Filtration area, cm2
k = Permeabilitas cake, darcy
f sc = Volume fraksi solid dalam mud cake
f sm = Volume fraksi solid dalam lumpur
P =Tekanan Filtrasi, atm
t =Waktu filtrasi, menit
 = Viscositas filtrat, cp

Pembentukan mud cake dan filtration loss adalah dua kejadian dalam
pemboran yang berhubungan erat, baik waktu maupun kejadiannya maupun
sebab dan akibatnya. Oleh sebab itu maka pengukurannya dilakukan secara
bersamaan.
Persamaan yang umum digunakan untuk static filtration loss adalah:
0.5
t 
Q2  Q1   2  ...........................................................................................(6-18)
 t1 
dimana :
Q1 = Fluid loss pada waktu t1, cm3
Q2 = Fluid loss pada waktu t2, cm3
t = waktu filtrasi, min

208 Lumpur Pemboran


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

6.3.4. Sifat-Sifat Lumpur pada Tekanan dan Temperatur Tinggi.


Effisiensi operasi pemboran sangat dipengaruhi oleh sifat- sifat lumpur. Oleh
sebab itu pemeliharaan dan mempelajari sifat-sifat lumpur menjadi sangat
penting.
Kondisi lingkungan pemboran, dalam hal ini adalah tekanan dan temperatur,
dapat mempengaruhi sifat-sifat lumpur tersebut. Dimana pada umumnya
temperatur yang tinggi dapat mengurangi efektivitas aditif yang ditambahkan
kedalam lumpur sebagai pembentuk sifat-sifat lumpur. Jika pada kondisi
tersebut sifat-sifat lumpur tidak dapat dikontrol, maka dapat menimbulkan
masalah terhadap kecepatan pemboran, bit dan hole cleaning, kestabilan
lubang bor dan masalah-masalah lainnya yang cukup serius.
Salah satu sifat lumpur yang akan dipelajari dalam percobaan ini adalah
filtration/water loss pada tekanan dan temperatur tinggi. Pengukuran fluid loss
tersebut menggunakan High -Pressure dan High-Temperature (HPHT) filter
press yang mempunyai prinsip yang sama dengan standart filter press (Gambar
6.8). Untuk mengindikasikan kecepatan filtrasi pada formasi permeable yang
ditutupi oleh mud cake yang terbentuk setelah pemboran , maka digunakan
filter-paper standar, selain itu pembentukan mud cake harus dibawah kondisi
standar test. Dari penurunan persamaan Darcy, maka didapat hubungan antara
volume filtat yang terkumpul terhadap waktu, yaitu :
0. 5 0.5
  f  t 
V f   2kP sc  1  A  ....................................................................(6-19)
  f sm  

Persamaan tersebut dapat ditulis sebagai :


V f  c  t 0.5 ..................................................................................................(6-20)
dengan :
Vf
= volume filtrat lumpur yang terkumpul, cm3
k = Permeabilitas mud cake, darcy
P = Perbedaan tekanan yang melalui mud cake, atm
f sc = Fraksi volume solid pada mud cake
f sm = Fraksi volume solid pada Lumpur
 = Viskositas filtrat, cp
A = Luas filter paper, cm2
t = Waktu, (menit)
c = Konstanta

Lumpur Pemboran 209


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Gambar 6.8. Skema Alat HP-HT Filter Press

Sifat filtration loss lumpur, dinyatakan dalam API water loss, yaitu volume
filtrat yang dikumpulkan selama 30 menit pada kondisi standar test. Untuk
pengukuran water loss dengan menggunakan HPHT filter press, maka :
APIwaterloss  2  V30
dimana :
V30  2V7.5  Vsp   V sp
V30 = volume filtrat yang dihasilkan selama 30 menit, cm 3
V7.5 = volume filtrat yang dihasilkan selama 7.5 menit, cm 3
V sp = volume spurt loss, cm3
Selain sifat water loss dari lumpur, percobaan ini juga mempelajari pengaruh
temperatur terhadap sifat rheology lumpur. Pada umumnya kenaikan
temperatur menyebabkan lumpur menjadi lebih encer, tetapi hal ini tergantung
dari tipe dan total solid di dalam lumpur tersebut. Hal ini mengakibatkan plastic
viscositas lumpur akan berkurang. Jika dibandingkan dengan fasa liquidnya,
dalam hal ini adalah air, maka penurunan PV tersebut menunjukan trend yang
sama sampai harga temperatur tertentu. Di atas harga tersebut, PV tidak
mengalami penurunan terhadap naiknya temperatur. Keadaan ini diakibatkan
oleh meningkatnya efek friksi/gesekan dari fasa solid jika dibandingkan dengan
kecepatan pengenceran dari fasa liquidnya.

Alat yang digunakan untuk mengetahui sifat rheology adalah fann VG


Viscometer yang dilengkapi cup heater untuk menaikkan temperatur lumpur.

210 Lumpur Pemboran


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Lumpur yang akan di tes ditempatkan sedemikian rupa sehingga mengisi


ruangan antara Bob dan Rotor sleeve. Pada saat rotor berputar, maka lumpur
akan menghasilkan torque pada Bob sebanding dengan besarnya viskositas
lumpur. Dari skala pembacaan yang dihasilkan,maka dapat dihitung sifat
rheology lumpur sebagai berikut :
a.  p   600   300
b. Y p   300   p
c. P  0.5 600
d. GS   3
dimana :
p = Plastik Viscosity, cp
a = Apparent Viscosity, cp
YP = Yield Point, lb/100 ft2
 300 = Dial Reading pada 300 RPM, derajat
 600 = Dial Reading pada 600 RPM, derajat
GS = Gel Strength, lb/100 ft2
3 = Dial Reading pada 3 RPM, derajat

6.3.5. Analisa Kimia Lumpur Bor


Seperti telah diketahui lumpur bor sangat menentukan keberhasilan suatu
operasi pemboran. Oleh sebab itu penanganan sifat-sifat fisik maupun kimia
lumpur bor harus dilakukan sebaik-baiknya, dengan cara menganalisis
perubahan pada sifat-sifatnya.
Dalam percobaan akan dilakukan analisis kimia lumpur bor dan filtratnya,
yaitu: analisis kimia alkalinitas, analisis kesadahan total, analisis kandungan ion
klor (Cl), ion kalsium (Ca), ion besi (Fe), serta pH lumpur bor (dalam hal ini
filtratnya).
Alkalinitas atau keasaman lumpur, ditunjukkan dengan harga pH – nya,
tetapi karakteristik lumpur dapat berfluktuasi meskipun harga pH – nya tetap.
Hal ini berhubungan dengan bervariasinya jenis dan jumlah ion – ion yang
terdapat di dalam lumpur bor (filtrat lumpur), dalam percobaan ini yang akan
dianalisis adalah alkalinitas filtratnya.
Analisa kesadahan total dari lumpur (filtrat lumpur) pemboran dilakukan
dengan menyelidiki kandungan ion Mg +2 dan Ca+2 di dalam lumpur bor (filtrat
lumpur).
Analisis ion klor merupakan hal yang penting untuk dilakukan, terutama jika
pemboran dilakukan di daerah yang kemungkinan terkontaminasi oleh ion
garam NaCl sangat besar. Caranya adalah dengan mentitrasi suatu filtrat
lumpur dengan larutan standar perak nitrat.
Adanya ion kalsium dalam jumlah yang banyak dalam lumpur bor juga perlu
dianalisis, hal ini berkaitan dengan kemungkinan terjadinya kontaminasi lumpur
oleh gypsum yang akan merubah sifat-sifat fisik lumpur seperti besar water loss
dan gel strength-nya. Begitu pula dengan analisis kandungan ion besi di dalam
lumpur bor karena ion besi yang terdapat dalam lumpur dapat mengindikasikan
terjadinya korosi pada peralatan.
6.3.6. Kontaminasi Lumpur Pemboran

Lumpur Pemboran 211


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Sejak digunakannya teknik rotary drilling dalam operasi pemboran lapangan


minyak, lumpur pemboran menjadi faktor yang penting. Bahkan lumpur
pemboran menjadi salah satu pertimbangan dalam mengoptimasikan operasi
pemboran. Oleh sebab itu perlu dikontrol sifat-sifat fisik lumpur pemboran agar
sesuai dengan yang diinginkan.
Salah satu penyebab berubahnya sifat fisik lumpur adalah adanya material-
material yang tidak dinginkan (kontaminan) yang masuk kedalam lumpur pada
saat operasi pemboran sedang berjalan. Kontaminasi yang sering sekali terjadi
adalah sebagai berikut :
1. Kontaminasi Sodium Chlorida (NaCl)
Kontaminasi ini terjadi saat pemboran menembus kubah garam (salt dome),
lapisan garam, lapisan batuan yang mengandung konsentrasi garam cukup
tinggi atau akibat air formasi yang berkadar garam tinggi dan masuk ke
dalam sistem lumpur. Akibat adanya kontaminasi ini, akan mengakibatkan
berubahnya sifat lumpur seperti viskositas, yield point, gel strength dan
filtration loss. Kadang-kadang penurunan pH dapat pula terjadi bersamaan
dengan kehadiran garam pada sistem lumpur.
2. Kontaminasi Gypsum.
Gypsum dapat masuk ke dalam lumpur saat pemboran menembus formasi
gypsum, lapisan gypsum yang terdapat pada formasi shale atau limestone.
Akibat adanya gypsum dalam jumlah yang cukup banyak dalam lumpur
pemboran, maka akan merubah sifat-sifat fisik lumpur tersebut seperti
viskositas plastik, yield point, gel strength dan fluid loss.
3. Kontaminasi Semen
Kontaminasi semen dapat terjadi akibat operasi penyemenan yang kurang
sempurna atau setelah pengeboran lapisan semen dalam casing, float collar
dan casing shoe. Kontaminasi semen akan merubah viskositas, yield point,
gel strength, fluid loss dan pH lumpur.

Selain dari ketiga kontaminasi di atas, bentuk kontaminasi lain yang dapat
terjadi selama operasi pemboran adalah :
a. Kontaminasi "hard water", atau kontaminasi oleh air yang mengandung ion
kalsium dan magnesium cukup tinggi.
b. Kontaminasi Karbon Dioksida
c. Kontaminasi Hidrogen Sulfida
d. Kontaminasi Oksigen.

6.3.7. Sifat Pelumasan Lumpur dengan Metode Multi-Torsi


Sifat pelumasan lumpur adalah kemampuan lumpur untuk melumasi bagian
alat-alat pemboran yang saling bersinggungan atau bergesekan pada saat
pemboran berlangsung. Gesekan -gesekan yang mungkin terjadi pada saat
operasi pemboran adapun seperti berikut :
 Metal to metal : antara drillstring dan casing (cased hole).
 Metal to mineral : antara drillstring dengan borehole wall, borehole solid atau
dengan filter cake (open hole).
 Mineral to mineral : cutting dengan borehole wall.

Sifat pelumasan yang baik terutama diperlukan untuk memperpanjang umur


peralatan (misalnya bit, casing, dll). Selain itu berguna pula untuk melawan efek

212 Lumpur Pemboran


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

side wall sticking, menurunkan efek drillpipe torque (momen puntir) dan drillpipe
drag (seretan).
Dengan berkembangnya teknologi di bidang pemboran maka sifat
pelumasan lumpur semakin penting artinya. Pada pemboran bersudut / miring,
torque dan drag dari drillstring serta keausan (wear) casing sangat tinggi. Hal ini
menyebabkan timbulnya masalah-masalah operasional yang tidak diperkirakan
sebelumnya dan akan meningkatkan biaya pemboran.
Masalah yang sama juga dijumpai pada pemboran sumur - sumur
horizontal. Lumpur yang biasa dipakai pada pemboran vertikal perlu diperbaiki
untuk menghasilkan sifat pelumasan yang sesuai dengan yang dibutuhkan
untuk keperluan pemboran sumur horizontal.
Prinsip untuk melakukan pengujian terhadap sifat pelumasan lumpur
pemboran, digunakan alat Extreme Pressure Lubricity Tester (Gambar 6.9)
yang prosedurnya telah dimodifikasi. Dengan menganggap bahwa dasar yang
dipakai untuk membuat modifikasi fungsi dasar alat tersebut, sebagaimana
tidak lepas dari pengaruh pelumas di antara dua bidang yang saling
bergesekan, maka secara tidak langsung dengan prosedur yang dibuat
kemudian, pengujian dapat dilakukan untuk mengetahui sifat pelumasan lumpur
secara relatif.
Pada prinsipnya Extreme Pressure Lubricity Tester terdiri atas sebuah ring
baja berputar yang disentuhkan pada sebuah blok yang dapat ditekan pada
berbagai besar harga beban dengan menggunakan pengatur torsi. Ring, dan
blok dibenamkan dalam lumpur pada saar pengujian dan gaya gesek yang
terjadi antara dua benda tersebut dapat diukur / dibaca pada skala. Dalam
pengukuran yang sebenarnya, harga gaya gesek yang diperoleh (pada beban
dan RPM tertentu) dapat dikorelasikan dengan menggunakan grafik untuk
mengetahui koefisien gesek yang terjadi pada suatu jenis fluida pemboran.

Gambar 6.9. Extreme Pressure Lubricity Tester

Dengan pengujian ini, dapat diketahui sifat pelumasan lumpur, relatif


terhadap lumpur lainnya dan kecenderungan perubahan sifat pelumasan
lumpur yang terjadi akibat perubahan harga beban dan jumlah zat aditif. Pada
setiap jenis lumpur dilakukan pengukuran pada berbagai harga beban torsi dan
kemudian direpresentasikan dalam bentuk grafik antara gaya friksi dengan

Lumpur Pemboran 213


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

beban torsi. Gambaran yang dapat dilihat secara tidak langsung adalah bahwa
terjadinya gaya friksi yang lebih besar diakibatkan oleh sifat pelumasan lumpur
yang rendah.

6.4. Hidrasi Bentonite


Telah diketahui bahwa bentonite menghidrasi dalam air dengan ukuran yang
bervariasi. Hidrasi bentonite terbentuk dalam lembaran-lembaran silica dan
alumina, dengan aturan yang berbeda-beda untuk membentuk lapisan dari
masing-masing mineral clay, lihat (Gambar 6.10).

Gambar 6.10. Hidrasi Bentonite

Partikel clay ini bisa terdiri dari satu macam lapisan atau sampai tak
terhingga, yang saling tumpuk menyerupai sebuah deck kartu-kartu yang diikat
bersama-sama dalam suatu gaya residual. Ketika tersuspensi dalam air, clay
akan memperlihatkan bermacam-macam derajat swelling-nya. Molekul
bentonite terdiri dari tiga layer yaitu : sebuah layer alumina dan layer silika yang
berada di atas dan di bawah layer alumina.
Plate (lempengan) bentonite bermuatan negatif dan mempunyai kation-
kation yang berlawanan dan bergabung dengannya. Jika kation-kation ini
adalah sodium (Na), maka clay tersebut disebut sodium Montmorillonite, jika
kalsium (Ca) maka disebut Calcium Montmorillonite.
Bila suspensi clay dan air dari hasil pengadukan yang sempurna, maka
akan terdapat tiga model ikatan lempeng yaitu :
 Tepi terhadap tepi (edge to egde)
 Tepi terhadap muka (edge to face)
 Muka terhadap muka (face to face)

214 Lumpur Pemboran


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Mata rantai dari partikel-partikel ini akan terbentuk secara serentak atau
hanya terdapat satu jenis mata rantai yang akan menguasai proses tersebut.

Berdasarkan cara penggabungan lempeng (Gambar 6.11), terdapat empat


cara yang berbeda:
 Dispersi
 Aggregasi
 Flokulasi
 Deflokulasi

Gambar 6.11. Ikatan Lempeng


6.4.1. Dispersi
Lempengan-lempengan yang tersuspensi di dalam larutan dalam keadaan
tersebar merata dan tidak terdapat ikatan antara permukaan maupun tepi dari
lempengan-lempengan.
Karena jumlah dari partikel yang tersuspensi besar, maka akan
menghasilkan kenaikan pada viskositas dan gel strength. Biasanya lempengan-
lempengan clay teraggregasi sebelum terhidrasi dan setelah terjadi hidrasi dan
diaduk, keadaan ini berubah menjadi terdispersi.
Derajat terdispersinya tergantung pada kandungan elektrolit dalam fasa cair,
waktu, temperatur, ion-ion yang dapat saling dipertukarkan serta konsentrasi
clay.

Lumpur Pemboran 215


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

6.4.2. Flokulasi
Bila lempengan-lempengan clay bergabung satu dengan yang lainnya
dimana didalam sistem akan terdapat ikatan muka dengan tepi lempeng, tepi
dengan tepi lempeng yang tidak tersebar secara merata di dalam fasa cairnya.
Flokulasi akan menghasilkan clay yang menggumpal sehingga akan
menghasilkan gel yang berlebihan.

6.4.3. Aggregasi
Aggregasi terjadi bila muka antar muka atau tepi dengan tepi lempeng clay
saling berikatan satu sama lainnya dan tersebar di dalam fasa cairnya.

6.4.4. Deflokulasi
Deflokulasi terjadi bila dalam larutan yang terflokulasi terjadi pemutusan
ikatan antara tepi dengan muka, yaitu dengan penambahan thinner ke dalam
sistem, sehingga sistem kembali ke dalam fasa terdispersi.

6.5. Jenis-Jenis Lumpur Bor.


ZABA dan DOHERTY ( 1970 ) mengklasifikasikan lumpur bor terutama
berdasarkan fasa fluidanya : air (water base), minyak ( oil base ) atau gas,
sebagai berikut :
I. Fresh Water Muds (lumpur air tawar)
a. Spud
b. Natural atau Native (alamiah).
c. Bentonite – treated
d. Phosphate – treated
e. Organic coloid – treated
f. "Red" atau alkaline - tannate treated
g. Calcium muds.
1. Lime – treated
2. Gypsum – treated
3. Calcium - (selain 1 & 2 ) - treated.
II. Salt Water Muds (air asin)
a. Unsaturated salt water
b. Saturated salt water
c. Sodium silicate
III. Oil in Water Emulsion
a. Fresh Water (air tawar)
b. Salt water (air asin)
IV. Oil Base dan Oil Base Emulsion Muds
V. Gaseous Drilling Fluids
a. Udara atau Natural gas
b. Aerated Muds.

216 Lumpur Pemboran


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

6.5.1. Fresh Water Muds


Adalah lumpur yang fasa cairnya adalah air tawar dengan (kalau ada) kadar
garam yang kecil (kurang dari 10000 ppm = 1% berat garam).
A. Spud Mud.
Spud mud digunakan untuk membor formasi bagian atas bagi conductor
casing. Fungsi utamanya mengangkat cutting dan membuka lubang
dipermukaan (formasi atas). Volume yang diperlukan biasanya sedikit dan
dapat dibuat dari air dan bentonite (yield 100 bbl/ton) atau clay air tawar
yang lain (yield 35 - 50 bbl/ton). Tambahan bentonite atau clay perlu
dilakukan untuk menaikkan viskositas dan gel strength bila membor pada
zone-zone loss. Kadang- kadang perlu lost circulation material. Densitas
harus kecil saja.
B. Natural Mud.
Natural mud dibentuk dari pecahan-pecahan cutting dalam fasa air. Sifat-
sifatnya bervariasi tergantung dari formasi yang dibor. Umumnya type
lumpur ini digunakan untuk pemboran yang cepat seperti pemboran pada
surface casing (permukaan). Dengan bertambahnya kedalaman pemboran
sifat- sifat lumpur yang lebih baik diperlukan dan natural mud ini ditreated
dengan zat-zat kimia dan aditif-aditif koloidal. Beratnya sekitar 9.1 - 10.2
ppg, dan viskositasnya 35 - 45 detik.
C. Bentonite - treated Mud.
Mencakup sebagian besar dari tipe-tipe lumpur air tawar. Bentonite adalah
material yang paling umum digunakan untuk membuat koloid inorganis
untuk mengurangi filter loss dan mengurangi tebal mud cake (ketebalan
mud cake). Bentonite juga menaikan viskositas dan gel yang mana dapat
dikontrol dengan thinner.
D. Phosphate treated Mud.
Mengandung polyphosphate untuk mengontrol viskositas dan gel strength.
Penambahan zat ini akan berakibat pada terdispersinya fraksi-fraksi clay
colloid padat sehingga densitas lumpur dapat cukup besar tetapi viskositas
dan gel strengthnya rendah. Ia mengurangi filter loss serta mud cake dapat
tipis. Tannin sering ditambahkan bersama-sama dengan polyphosphate
untuk pengontrolan lumpur.Polyphosphat tidak stabil pada temperatur tinggi
(sumur-sumur dalam) dan akan kehilangan efeknya sebagai thinner
(poliphosphat akan rusak pada kedalaman 10.000 ft atau temperatur 160 -
180 oF, karena berubah ke- orthophosphate yang malah menyebabkan
terjadinya flokulasi). Juga phosphate mud sukar dikontrol pada densitas
lumpur tinggi (yang sering berhubungan dengan pemboran dalam). Dengan
penambahan zat-zat kimia dan air, densitas lumpur dapat dijadikan 9 -11
ppg. Polyphosphate mud juga menggumpal bila terkena kontaminasi NaCl,
calcium sulfate atau kontaminasi semen dalam jumlah banyak.
E. Organic Colloid treated Mud.
Terdiri dari penambahan pregelatinized starch atau carboxymethylcellulose
pada lumpur. Karena organic colloid tidak terlalu sensitif terhadap flokulasi
seperti clay, maka pengendalian filtrasinya pada lumpur yang terkontaminasi
dapat dilakukan dengan organic colloid ini baik untuk mengurangi filtration
loss pada fresh water mud. Dalam kebanyakan lumpur pengurangan filter
loss lebih banyak dilakukan dengan koloid organic daripada dengan
inorganic.

Lumpur Pemboran 217


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

F. "Red " Mud.


Red Mud mendapatkan warnanya dari warna yang dihasilkan oleh treatment
dengan caustic soda dan quabracho (merah tua). Istilah ini akan tetap
digunakan walaupun nama-nama koloid yang dipakai sekarang ini mungkin
menyebabkan warna-warna abu-abu kehitaman. Umumnya istilah ini
digunakan untuk lignin-lignin tertentu dan humic thinner selain untuk tannin
diatas. Suatu jenis lain lumpur ini adalah alkaline tannate treatment dengan
penambahan polyphosphate untuk lumpur dengan pH dibawah 10.
Perbandingan alkaline, organic dan polyphosphate dapat diatur sesuai
dengan kebutuhan setempat. Alkaline-tannate treated mud mempunyai
range pH 8 - 13.Alkaline tannate dengan pH kurang dari 10 sangat sensitif
terhadap flokulasi karena kontaminasi garam. Dengan naiknya pH maka
lebih sukar untuk flokulasi. Untuk pH lebih dari 11.5, pregelatinized starch
dapat digunakan tanpa bahaya fermentasi. Dibawah pH ini, preservative
harus digunakan untuk mencegah fermentasi (meragi) pada fresh water
mud. Jika diperlukan densitas lumpur yang tinggi lebih murah bila digunakan
treatment yang menghasilkan calcium treated mud dengan pH yang
tingginya 12 atau lebih.
G. Calcium Mud.
Lumpur ini mengandung larutan calcium (disengaja). Calcium bisa ditambah
dalam bentuk slaked lime (kapur mati), semen, plaster (CaSO 4) dipasaran
atau CaCl2, tetapi dapat pula karena pemboran semen, anhydrite dan
gypsum.

 Lime treated Mud.


Lumpur ini ditreated dengan caustic soda atau organic thinner, hydrated
lime dan untuk mendapat filter loss rendah, suatu koloid organik.
Treatment ini menghasilkan lumpur dengan pH 11.8 atau lebih, dan 60 -
100 (3 - 20 epm) ppm ion Ca dalam filtrat. Lumpur ini menghasilkan
viskositas dan gel strength rendah, memberi suspensi yang baik bagi
material-material pemberat, mudah dikontrol pada densitas sampai 20
ppg, toleran terhadap konsentrasi garam (penyebab flokulasi) yang relatif
besar dan mudah dibuat dengan filter loss rendah. Keuntungannya
terutama pada kemampuannya untuk membawa konsentrasi padatan
clay dalam jumlah besar pada viskositas lebih rendah daripada dengan
type-type lumpur lainnya. Kecuali tendensinya untuk memadat pada
temperatur tinggi, lumpur ini cocok untuk pemboran dalam dan untuk
mendapatkan densitas tinggi. Pilot test dapat dibuat untuk menentukan
tendensinya untuk memadat, dan dengan penambahan zat kimia
pemadatan ini dapat dihalangi sementara waktu untuk memberi
kesempatan pemboran berlangsung beserta test-test sumurnya. Suatu
Lumpur lime treated yang bertendensi memadat tidak boleh tertinggal
pada casing-tubing annulus pada waktu well completion dilangsungkan.
Penggunaan/penyelidikan yang extensif pada lumpur type lime treated
ini menghasilkan variasi-variasi lumpur yang ditujukan pada lumpur yang
sukar memadat. Dengan ini timbul dua jenis lain, yaitu "lime mud" dan
"Low lime mud" yang bedanya hanya pada jumlah excess limenya. "Lime
Mud" umumnya mengandung konsentrasi caustic soda dengan lime
yang tinggi, dengan excess lime bervariasi antara 5 - 8 lb/bbl, sedangkan
"Low lime mud" mengandung caustic soda dan lime lebih sedikit, dengan

218 Lumpur Pemboran


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

excess lime 2 - 4 lb/bbl.Jenis calcium treated mud yang lain adalah


"shale control mud". Pada lumpur ini dianjurkan agar kadar ion Ca-nya
pada filtrat dibuat minimal 400 ppm, dengan excess lime bervariasi antar
1 - 2 lb/bbl. Sifat kimia lumpur dan filtrat memberikan suatu tahanan
terhadap hidrasi/swelling shale dan clay formation. Pada temperatur
tinggi (yang cukup lama waktunya) lumpur ini tidak sesuai untuk
ditempatkan pada casing tubing annulus waktu completion (dimana
lumpur ini akan memadat). Resistivitas listriknya yang umumnya rendah
(0.5 - 1.0 ohm-meter) merugikan SP-logging, sebaliknya toleransinya
pada kontaminan memberi kemungkinan untuk penambahan garam agar
resistivitasnya sesuai untuk laterolog dan focused electrode log.

 Gypsum treated mud.


Lumpur ini berguna untuk membor formasi anhydrite dan gypsum,
terutama bila formasinya interbedded (selang- seling) dengan garam dan
shale. Treatmentnya adalah dengan mencampur base mud (lumpur
dasar) dengan plaster (CaSO4 dipasaran) sebelum formasi anhydrite dan
gypsum dibor. Dengan penambahan plastre tersebut pada rate yang
terkontrol, maka viskositas dan gel strength yang berhubungan dengan
kontaminan ini dapat dibatasi. Setelah clay dilumpur bereaksi dengan ion
Ca, tidak akan terjadi pengentalan lebih lanjut dalam pemboran formasi
gypsum atau garam. Gypsum treated mud dapat dikontrol filtrate lossnya
dengan organic colloid dan karena pH-nya rendah, maka preservative
harus ditambahkan untuk mencegah fermentasi. Preservasi ini boleh
dihentikan penambahannya bila garam yang dibor cukup untuk
memberikan saturated salt water mud.Suatu modifikasi dari gypsum
treated mud adalah dengan penggunaan chrome lignosulfonate
deflocculant yang memberikan kontrol pada karakteristik flat gels pada
lumpur tersebut. Lumpur gypsum chrom lignosulfonate inimempunyai
sifat yang sama baiknya de- ngan lime treated mud, karena itu ia
digunakan pada daerah-daerah yang sama seperti penggunaan lime
treated mud.Penggunaan non-ionic surfactant dalam gypsum chroms
lignosulfonate mud menghasilkan pengontrolan yang lebih baik pada
filtrate loss dan flow propertiesnya, selain toleransinya yang besar
terhadap kontaminasi garam.

 Calcium salt
Selain hydrated lime dan gypsum telah digunakan tetapi tidak meluas.
Juda zat-zat kimia yang memberi supply cation multivalent untuk base
exchange clay (pertukaran ion-ion pada clay) seperti Ba(OH) 2 telah
digunakan.

6.5.2 Salt Water Mud


Lumpur ini digunakan terutama untuk membor garam massive (salt dome)
atau salt stringer (lapisan formasi garam) dan kadang-kadang bila ada aliran air
garam yang terbor. Filtrate lossnya besar dan mud-cakenya tebal bila tidak
ditambah organic colloid, pH lumpur dibawah 8, karena itu perlu preservative
untuk menahan fermentasi starch. Jika salt mudnya mempu-nyai pH yang lebih
tinggi, fermentasi terhalang oleh basa. Suspensi ini bisa diperbaiki dengan
penggunaan attapulgite sebagai pengganti bentonite.

Lumpur Pemboran 219


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

A. Unsaturated Salt water mud.


Air laut dari laut lepas atau teluk sering digunakan untuk lumpur yang yang
tak jenuh kegaramannya ini. Kegaraman ( salinity ) lumpur ini ditandai oleh:
1. Filtrate loss besar kecuali ditreated dengan organic colloid.
2. Medium sampai tinggi pada gel strength kecuali ditreated dengan
thinner.
3. Suspensi yang tinggi kecuali ditreated dengan attapulgite atau organic
colloid.
Lumpur ini biasa mengalami "foaming", yaitu berbusa (gas menggelembung)
yang bisa direduksi dengan :
1. Menambah soluble surface active agents
2. Menambah zat kimia untuk menurunkan gel strength.
Lumpur yang terkena kontaminasi garam juga ditreatment seperti pada sea
water mud ini.

B. Saturated salt-water mud.


Fasa cair lumpur ini dijenuhkan dengan NaCl. Garam-garam lain dapat pula
berada disitu dalam jumlah yang berlain-lainan. Saturated salt water mud
dapat digunakanuntuk membor formasi-formasi garam dimana rongga-
rongga yang terjadinya karena pelarutan garam dapat menyebabkan
hilangnya lumpur, dan ini dicegah oleh penjenuhan garam terlebih dahulu
pada lumpurnya.
Lumpur ini juga dibuat dengan menambahkan air garam yang jenuh untuk
pengenceran dan pengaturan volume.
Filtrate loss yang rendah pada saturated salt organik colloid mud
menyebabkan tidak perlunya memasang casing diatas salt beds (formasi
garam). Filtrate loss-nya bisa dikontrol sampai 1 cc API dengan organic
colloids. Saturated salt water muds bisa dibuat berdensitas lebih dari 19
ppg. Dengan menambahkan organic colloid agar filtration lossnya kecil,
lumpur ini bisa untuk membor formasi dibawah salt beds, walaupun
resistivitynya yang rendah buruk bagi electric logs.
Gabungan dari ion-ion surfactant menyebabkan pengontrolan filtrasi dan
flow properties yang lebih mudah dan murah, terutama pada densitas tinggi.
Saturated salt muds ini dapat pula dibuat dari fresh water atau brine mud.
Jika dibuat dari fresh water mud maka paling tidak sebagian dari lumpur
semula harus dibuang. Ini diperlukan untuk pengenceran dengan air tawar
dan penambahan lebih kurang 125 lb garam/bbl lumpur. Jika dikehendaki
pengontrolan filtration loss, suatu organic colloid dan preservative dapat
ditambahkan.
Jika lumpurnya dibuat dari saturated brine (air garam yang jenuh) sekitar 20
lb/bbl attapulgite ditambahkan bersama dengan organic colloid dan mungkin
preservative. Lumpur ini densitasnya 10.3 ppg dan akan naik sampai sekitar
11 ppg selama pemboran berlangsung. Pemeliharaannya termasuk
penambahan air asin untuk mengurangi viscositas, attapulgite untuk
menambah viskositas dan organic colloids untuk mengontrol filtrasi. Jika
saturated salt water muds digunakan untuk membor shale maka kontrol
viskositas, gel dan filtrasi dapat diperoleh dengan penambahan alkaline-
tannate solution, atau sedikit lime.

220 Lumpur Pemboran


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Emulsified salt water muds telah umum digunakan di Kansas dan Dakota.
Ini mempunyai sifat-sifat baik dari conventional emulsion muds. Lumpur ini
menunjukkan tendensy foaming (berbusa) yang bisa dicegah dengan
penambahan surfactant.

C. Sodium-Silicate Muds.
Fasa cair Na-silicate mud mengandung sekitar 65% volume larutan Na-
sillicate dan 35% larutan garam jenuh. Lumpur ini dikembangkan untuk
digunakan bagi pemboran heaving shale, tetapi telah terdesak
penggunaannya oleh lime treated gypsum lignosulfonate, shale control, dan
surfactant muds (lumpur yang diberi DAS dan DME) yang lebih baik, murah
dan mudah dikontrol sifat-sifatnya.

6.5.3. Oil-in-Water Emultion Muds (Emulsion Mud)


Pada lumpur ini minyak merupakan fasa tersebar (emulsi) dan air sebagai
fasa kontinu. Jika pembuatannya baik, filtratnya hanya air. Sebagai dasar dapat
digunakan baik fresh maupun salt water mud. Sifat-sifat fisik yang dipengaruhi
emulsifikasi hanyalah berat lumpur, volume filtrat, tebal mud cake dan
pelumasan. Segera setelah emulsifikasi, filtrate loss berkurang. Keuntungannya
adalah bit yang lebih tahan lama, penetration rate naik, pengurangan korosi
pada drill string, perbaikan pada sifat-sifat lumpur (viskositas dan tekanan
pompa boleh/dapat dikurangi, water loss turun, mud cake turun, mud cake tipis)
dan mengurangi balling (terlapisnya alat oleh padatan lumpur) pada drill string.
Viskositas dan gel lebih mudah dikontrol bila emulsifiernya juga bertindak
sebagai thinner.
Umumnya oil-in-water emulsion mud dapat bereaksi dengan penambahan
zat dan adanya kontaminasi seperti juga lumpur asalnya.
Semua minyak (crude) dapat digunakan tetapi lebih baik bila digunakan
minyak refinery(refinery oil) yang mempunyai sifat-sifat sbb:
1. Uncracked (tidak terpecah-pecah molekulnya), supaya stabil.
2. Flash point tinggi, untuk mencegah bahaya api.
3. Aniline number tinggi (lebih dari 155) agar tidak merusakkan karet-karet di
pompa/circulation system.
4. Pour point rendah, agar bisa digunakan untuk bermacam-macam
temperatur.
Suatu keuntungan lainnya adalah bahwa karena bau serta fluorescene-nya
lain dengan crude oil (mungkin yang berasal dari formasi), maka ini berguna
untuk pengamatan cutting oleh geologist dalam menentukan adanya minyak di
pemboran tersebut. Adanya karet-karet yang rusak dapat juga dicegah dengan
penggunaan karet sintetis.
Fresh water oil-in-water emulsion muds adalah lumpur yang mengandung
NaCl sampai sekitar 60,000 ppm. Lumpur emulsi ini dibuat dengan
menambahkan emulsifier (pembuat emulsi) ke water base mud diikuti dengan
sejumlah minyak yang biasanya 5 - 25% volume. Jenis emulsifier bukan sabun
lebih disukai karena ia dapat digunakan dalam lumpur yang mengandung
larutan Ca tanpa memperkecil emulsifiernya dalam hal efisiensi. Emulsifikasi
minyak dapat bertambah dengan agitasi (diaduk).
Pemeliharaannya terdiri dari penambahan minyak dan emulsifier secara
periodik. Jika sebelum emulsifikasi lumpurnya mengandung persentase clay

Lumpur Pemboran 221


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

yang tinggi, pengenceran dengan sejumlah air perlu dilakukan untuk mencegah
kenaikan viskositas. Karena keuntungan dalam pemboran dan mudahnya
pengontrolan maka lumpur ini disukai orang.
Salt water oil-in water absorbtion mud mengandung paling sedikit 60,000
ppm NaCl dalam fasa airnya. Emulsifikasi dilakukan dengan emulsifier agent-
organik. Lumpur ini biasanya mempunyai pH dibawah 9, dan cocok digunakan
untuk daerah-daerah dimana perlu dibor garam massive atau lapisan-lapisan
garam, seperti di Kansas, Rocky Mountain, Dakota dan Canada Barat. Emulsi
ini mempunyai keuntungan-keuntungan seperti juga pada fresh water
emulsion,yaitu :
1). densitasnya kecil
2). filtrate loss sedikit, mud cake tipis dan lubrikasi lebih baik.
Lumpur demikian mempunyai tendensi untuk foaming yang bisa dipecahkan
dengan penambahan surface active agent tertentu. Pemeliharaan lumpur ini
sama seperti pada salt mud biasa kecuali perlunya menambah emulsifier,
minyak dan surface active defoamer (anti foam).

6.5.4. Oil Base dan Oil Base Emulsion Mud


Lumpur ini mengandung minyak sebagai fasa kontinunya. Komposisinya
diatur agar kadar airnya rendah (3 - 5% volume). Relatif lumpur ini tidak sensitif
terhadap kontaminan. Tetapi airnya adalah kontaminan karena memberi efek
negatif bagi kestabilan lumpur ini. Untuk mengontrol viskositas, menaikkan gel
strength, mengurangi efek kontaminasi air dan mengurangi filtrate loss, perlu
ditambahkan zat-zat kimia.
Manfaat oil base mud didasarkan pada kenyataan bahwa filtratnya adalah
minyak karena itu tidak akan menghidratkan shale atau clay yang sensitif baik
terhadap formasi biasa maupun formasi produktif (jadi ia juga untuk completion
mud). Kegunaan terbesar adalah pada completion dan workover sumur.
Kegunaan lain adalah untuk melepaskan drill pipe yang terjepit, mempermudah
pemasangan casing dan liner.
Oil base mud ini harus ditempatkan pada suatu tanki besi untuk
menghindarkan kontaminasi air. Rig harus dipersiapkan agar tidak kotor dan
bahaya api berkurang.
Oil base emulsion dan lumpur oil base mempunyai minyak sebagai fasa
kontinu dan air sebagai fasa tersebar. Umumnya oil base emulsion mud
mempunyai manfaat yang sama seperti oil base-mud, yaitu filtratnya minyak
dan karena itu tidak menghidratkan shale/clay yang sensitif. Perbedaan
utamanya dengan oil base mud adalah bahwa air ditambahkan sebagai
tambahan yang berguna (bukan kontaminan). Air yang teremulsi dapat antara
15 - 50% volume, tergantung densitas dan temperatur yang di inginkan
(dihadapi dalam pemboran). Karena air merupakan bagian dari lumpur ini,
maka lumpur ini mempunyai sifat-sifat lain dari oil base mud yaitu ia dapat
mengurangi bahaya api, toleran pada air, dan pengontrolan flow propertisnya
dapat seperti pada water base mud.

6.5.5. Gaseous Drilling Fluid


Digunakan untuk daerah-daerah dengan formasi keras dan kering. Dengan
gas atau udara dipompakan pada annulus, salurannya tidak boleh bocor.

222 Lumpur Pemboran


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Keuntungan cara ini adalah penetration rate lebih besar, tetapi adanya
formasi air dapat menyebabkan bit balling (bit dilapisi cutting/padatan-padatan)
yang merugikan. Juga tekanan formasi yang besar tidak membenarkan
digunakannya cara ini. Penggunaan natural gas membutuhkan pengawasan
yang ketat pada bahaya api. Lumpur ini juga baik untuk completion pada zone-
zone dengan tekanan rendah.
Suatu cara pertengahan antara lumpur cair dengan gas adalah aerated mud
drilling dimana sejumlah besar udara (lebih dari 95%) ditekan pada sirkulasi
lumpur untuk memperendah tekanan hidrostatik (untuk lost circulation zone),
mempercepat pemboran dan mengurangi biaya pemboran.

6.6. Contoh Soal

Contoh 1:
1. Hitung densitas suatu lumpur yang diperoleh dengan menambahkan 40
lbm bentonite (SG=2.60) dan 150 lbm barite (SG=4.20) ke dalam 1 bbl air.
2. Drilling Mud Design

Given:
Mud Weight = 10 ppg
Solid content = 3.9 %
Volume of mud in mud pit = 100 bbls
Determine:
a. Number of sacks barite will be required and volume (bbl) of mud must be
reduced to increase mug weight to 13 ppg if volume of muf in mud pit is
constant
b. Number of sacks barite will be required and increase of mud (bbl) in mud
pit if density of mud change to 12 ppg.
c. Number of sacks barite will be required, volume (bbl) of mud must be
reduced and volume (bbl) of water must be added to increase mud
weight to 13 ppg and reduce solid content 3.5%
d. Volume of water must be added to decrease density of mud to 9.5 ppg.

Contoh 2: Desain Lumpur


Untuk melakukan pemboran suatu sumur diperlukan 100 bbl lumpur pada
kondisi formasi yang akan ditembus, sbb:

Depth(feet) Pressure(Psi)
5000 2340
5100 2390
5200 2435
5300 2480
5400 2660
5500 2775
5600 2850
5700 2970
5800 3320
5900 3375
6000 3200
6100 3015
6200 3120

Lumpur Pemboran 223


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Berapakah kebutuhan Bentonite (SG=2.65), Air, dan Barite (SG=4,9), bila


dibatasi Low Solid Content maksimum hanya 6%.

Contoh 3:
Untuk menaikkan densitas 700 bbl lumpur dari 13 ppg menjadi 15 ppg
diperlukan penambahan barite (SG=4.20). Agar kekentalan lumpur tetap
terjaga, maka tiap penambahan 100 lbm barite akan ditambah 1 galon air.
Jika volume akhir tidak terbatas, hitung jumlah air dan barite yang diperlukan.

Contoh 4:
Untuk menaikkan densitas sejumlah 1000 bbl lumpur dari 10 ppg menjadi 13
ppg diperlukan penambahan barite. Jika volume total lumpur dibatasi hingga
1000 bbl, hitung jumlah lumpur lama yang harus dibuang dan barite
(SG=4.20) yang harus ditambahkan.

Contoh 5:
Untuk menaikkan densitas sejumlah 1000 bbl lumpur dari 10 ppg dengan
kadar solid 6% menjadi 13 ppg dengan kadar solid 3.5% diperlukan
penambahan air dan barite. Jika volume total lumpur dibatasi hingga 1000
bbl, hitung jumlah lumpur lama yang harus dibuang serta air dan barite
(SG=4.20) yang harus ditambahkan.

6.7. Aditif Lumpur Pemboran

6.7.1. Aditif Lumpur Pemboran Water-base


6.7.1.1. Fluid Loss Control
Fluid Loss Control digunakan untuk:
a. Menjaga integritas lubang
1. Melindungi shale yang sensitif terhadap air
2. Meminimalkan hole washout untuk mencapai casing-cement job yang
lebih baik
b. Mengurangi fluid loss dalam formasi produktif
1. Mengurangi problem analisa log
2. Meminimalkan kerusakan formasi yang dapat menurunkan
produksi

Secara umum, filtrat loss dalam formasi permeabel adalah tergantung


pada distribusi ukuran partikel dan kandungan koloid yang relatif tinggi dalam
range 60% kandungan padatan lumpur dalam ukuran diameter 0 - 1 mikron.
Sebagai contoh, dispersi lumpur bentonite pada suatu sumur akan
mempengaruhi filtrate loss lebih rendah karena konsentrasinya lebih besar
dari ukuran partikel-partikel koloid dibanding dengan lumpur kaolinite atau
attapulgite clay. Akan tetapi, clay tidak dapat digunakan semata-mata untuk
mengontrol fluid loss karena merusak lumpur, dimana viskositas flluida akan
naik dengan naiknya kandungan clay.
Ada beberapa aditif lumpur yang digunakan untuk mengontrol fluid loss.
Pada umumnya aditif ini digunakan bersama-sama dengan bentonite,
sementara sebagian kecil dapat digunakan secara terpisah pada setiap

224 Lumpur Pemboran


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

kandungan clay dalam lumpur. Pada umumnya aditif-aditif tersebut


mempunyai beberapa keuntungan dan kerugian.

Sifat-Sifat Fisik
Appearance powder
Warna Coklat Tua
Moisture 6%
Kelarutan Air 99 %
pH, kandungan 10 % 8.5

Rekomendasi penggunaan:
 Additive pengontrol filtrasi pada temperatur tinggi
 Penstabil rheologi
 Dapat Digunakan pada setiap lumpur berdasarkan air dengan pH system
mendekati netral
 Dapat digunakan pada lumpur dengan densitas tinggi

Keuntungan Utama:
 Dapat mengontrol sampai dengan temperatur 400 oF (205 oC)
 Relatif stabil dengan kehadiran kontaminasi dari kalsium, magnesium,
solids dan chloride.
 Compatible dengan berbagai type fluida pemboran yang lain larut sempurna
dalam air.
 Harga relatif Murah
 Mempunyai sifat racun yang rendah

a. Wyoming Bentonite
Keuntungan:
1. Merupakan aditif multiguna yang membantu dalam mengontrol fluid
loss, suspensi barite, dan viskositas untuk kemampuan pembersihan
lubang bor.
2. Dalam penambahan yang sedikit, pada range 6% berat cocok untuk
mengurangi fluid loss sampai 10 - 12 cc.
Kerugian:
1. Bentonite tidak cocok digunakan pada konsentrasi ion sodium, kalsium,
atau potassium yang tinggi tanpa prehidrasi.
2. Bentonite rentan terhadap kontaminasi pada saat pemboran formasi-
formasi, seperti garam atau anhydrite (CaSO4)
3. Lumpur clay rentan terhadap panas dalam bentuk flokulasi clay yang
meningkatkan fluid loss

b. Starch (Pregelantized)
Keuntungan:
1. Strarch dapat berfungsi dengan baik sebagai fluid loss control agent
dengan hadirnya ion kalsium atau sodium. Oleh karena itu, aditif ini
cocok digunakan untuk lumpur saltwater atau lumpur lime.
2. Jika digunakan pre-treated non-fermenting starch, maka tidak perlu
digunakan bactericide

Lumpur Pemboran 225


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Kerugian:
1. Kenaikan viskositas sering terjadi jika menggunakan starch
2. Harus digunakan bactericide untuk mencegah degradasi jika starch
bukan pre-treated
3. Starch rentan terhadap panas diatas 250oF

c. Sodium Carboxymethylcellulose - CMC


CMC paling terkenal, adalah merupakan produk dari tumbuhan gum yang
digunakan sebagai fluid loss control dan sebagai viscosifier.
Keuntungan:
1. CMC sangat aktif meskipun terkontaminasi oleh konsentrasi ion tinggi,
yang membuat CMC ini sangat cocok digunakan pada inhibited muds.
2. Technical grade dan high viscosity grade dapat digunakan tergantung
dari besarnya kenaikan viskositas yang diinginkan. Technical grade
biasanya lebih banyak digunakan karena pengaruh kenaikan
viskositasnya lebih rendah
3. Aditif ini stabil sampai temperatur diatas 350 oF.
Kerugian :
CMC perlu menggunakan thinner untuk mengatasi pengaruh viskositas
aditif

d. Acrylonitrite (Cypan)
Keuntungan :
Cypan stabil pada temperatur sampai 400oF.
Kerugian :
Cypan sangat sensitif terhadap kontaminasi ion kalsium.

e. X-C Polymer
Bacterially produced polysaccaride gum. Stabil terhadap kehadiran larutan
garam.
1. Membangun viskositas
2. Struktur gel
3. Viskositas rendah pada shear rate yang tinggi

f. Ben-Ex
Suatu rantai panjang polimer yang dirancang penggunaannya untuk low
solid muds. Ben-Ex mengikat partikel clay bersama-sama pada shear rate
rendah.

g. Lignins, Tannins, dan Lignosulfonates


Semuanya memberikan sifat fluid loss control karena sifat kimia
alamiahnya, ukuran, dan dengan peranannya sebagai dispersant untuk
partikel-partikel koloid clay. Kemampuan pendispersian setiap aditif
dibahas pada bagian terpisah.
Keuntungan :
1. Produk-produk ini mempunyai stabilitas yanng baik pada range
temperatur antara 350 oF - 400 oF. Formulasi khusus lignite akan
menghasilkan stabilitas sampai temperatur 450 oF.

226 Lumpur Pemboran


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

2. Lignins mempunyai struktur koloid yang membantu dalam mengontrol


fluid loss.
3. Aksi ganda sebagai fluid loss control dan pendispersian cenderung
menyebabkan produk-produk ini cocok digunakan dalam banyak
kasus.
Kerugian :
Lignins rentan terhadap kontaminasi ion kalsium dan berikutnya terjadi
flokulasi. Lignins cenderung menangkap ion kalsium yang dapat
mengurangi keefektifan lignite sebagai fluid loss agent.

h. Diesel Oil
Telah sering digunakan untuk mengurangi API filter loss lumpur pemboran.
Akan tetapi, diesel oil ini telah terbukti bahwa meskipun prinsipnya dapat
mengurangi water loss, tetapi pada temperatur dan tekanan tinggi water
loss tidak terpengaruh oleh minyak.

i. Thermex
Thermex syntetic resin additive digunakan secara luas untuk menstabilkan
rheologi dan filtrasi dari lumpur pemboran berdasar air pada berbagai
elevate temperatur. Thermex merupakan chrome bebas, non viscosifying
solution polymer yang mengurangi fluida loss dan mengontrol kestabilan
lumpur tanpa menambah viskositas dari fasa air serta relatif stabil pada
temperatur di atas 400 oF (204 oC). Thermex dapat digunakan pada semua
jenis lumpur berdasar air.
Type Sifat-Sifat Fisik Additive :
Appearance : Burgundy Liquid
Specific gravity : 1.13 @ o F (21 o C)
Kelarutan dalam air tawar : 100 %
Flash Joint : > 200oF (93oC) PMCC
pH : 10.7
pour point : 25 oF ( -4 oC)
Applikasi
Thermex merupakan non viscosifying, high temperatur rheology stabilizer
dan additive pengontrol fluid loss yang digunakan untuk lumpur jenis fresh
water, sea water, salt water atau calsium based muds.
Thermex merupakan komponen essensial dalam high temperatur chrome
free fluida pemboran yang didesain untuk kondisi yang merugikan di area
yang di lingkungan yang sensitif. Dengan catatan effektif pada densitas
yang tinggi untuk mengontrol terjadinya gel pada temperatur tinggi dimana
fluid loss dapat diterima tanpa menambah viskositasnya. Karakter tidak
memviscous merupakan kelebihan dibandingkan additive lain.
Normal treatment yang disarankan berkisar 4-12 lbm/bbl (11.4 - 34.2
kg/m3) tergantung kebutuhan untuk mengurangi fluid loss lumpur, fasa
kimia lumpur serta aplikasi pada lingkungan sekitarnya. Thermex
compatible untuk berbagai jenis lumpur anionic dan non anionic.
Keuntungan:
 Thermex mengurangi terjadinya penggumpalan lumpur dan
pembentukan gel akibat beban temperatur.
 Mengurangi fluid loss tanpa menambah viskositas dari fasa cairan.

Lumpur Pemboran 227


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

 Membentuk filter cake serta mengurangi permeabilitasnya.


 menjaga fluid loss lumpur pada temperatur di atas 400 oF (204 oC)
 Relatif solid untuk kondisi yang sensitif.
 Mengurangi filtrat fluida di bawah kondisi yang tidak menguntungkan.
 Merupakan Chrome free (Material logam berat tidak digunakan dalam
produk ini.
Limitasi Penggunaan:
Konsentrasi elektrolit tinggi (>dari 100000 mg/l) memerlukan penambahan
konsentrasi additive ini.
Konsentrasi yang optimum disarankan untuk pemakaian produk ini.

j. Resinex
Resinex merupakan non viscosifying fluid loss dan mengontrol rheology
yang effektif untuk temperatur tinggi serta kompatible dengan adanya
konsentrasi tinggi dari elektrolit. Diaplikasikan secara luas pada berbagai
type dari water base muds. Pada aplikasi di lapangan hasil yang excelent
untuk lebih fresh water, brackish water, sea water, salty water, lime, gyp,
lignosulfonate, polymer, non dispersed dan berbagai sistem lain. Relatif
stabil pada temperatur di atas 400 oF. Non viscousifying dari resinex
dipromosikan untuk menambah keuntukan dari operasi pengeboran
terutama pada lumpur dengan densitas yang tinggi dimana penambahan
viskositas akan berakibat merugikan.
Aplikasi
Minimum pemakaian sekitar 2 lbs/bbl. Penambahan konsentrasi dilakukan
tergantung dari sifat-sifat lumpur yang diinginkan. Konsentrasi optimum
sekitar 1-6 lbs/bbl.
Konsentrasi calsium sekitar 200 ppm atau lebih diperlukan resinex untuk
mengontrol fluid loss dan rheologi dari lumpur.
Keuntungan
 Non viscousifying. Penambahan viskositas air hanya sebanding
dengan kandungan lignosulfonat. Penggunaan normal dilakukan dalam
konsentrasi kecil dari pada lignosulfonate.
 Mengurangi permeabilitas filter cake. Kebanyakan dari additive
pengontrolan fluid loss mengentalkan air atau menyebabkan bentonit
mempunyai daya kontrol yang lebih baik dengan jalan deflokulasi atau
dengan meremove kandungan kesadahan dari air.
 Resinex secara independen mengurangi permeabilitas dari filter cake,
mengeliminir high solid, meninggikan viskositas filtrat serta mengontrol
sifat kimia air.
 Mengurangi pembentukan gel akibat beban temperatur. Menstabilkan
sifat rheologi dari lumpur berdasar air.
Stabil pada temperatur tinggi. Relatif mempunyai filtrat yang stabil diatas
temperatur 400oF.
Resistan terhadap salinitas garam. Dalam lumpur dengan kadar chloride
diatas 110000 ppm mengurangi permeabilitas dari filter cake dan
mendekati jenis fresh water muds.
Resistant terhadap calsium dan magnesium. Karakteristik dari
pengontrolan fluid loss secara aktual meningkat dengan kandungan
konsentrasi calsium atau magnesium di atas 2000 ppm. Menyimpulkan

228 Lumpur Pemboran


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

bahwa resinex relatif kompatible dengan sea water muds, gyp muds, serta
lime muds.
Lebih ekonomis, dibanding lignite, lignosulfonate, dan sea water muds.
Secara general dengan bertambahnya salinity, kesadahan serta
temperatur yang semakin tinggi, pemakaian resinex sangat
dipertimbangkan.

k. Sodium Carboxyl Methyl Cellulose


CMC merupakan organic kolloid yang digunakan untuk mengontrol laju
filtrasi. Struktur dari CMC mempunyai rantai molekul yang panjang yang
dipolymerkan ke dalam berbagai panjang yang berbeda. Terdiri dari tiga
bagian, merupakan variasi dari viskositas, suspensi dan pengontrol fluid
loss. Dibedakan dalam berbagai tingkatan, CMC HV, CMC LV, serta
medium CMC.
CMC merupakan additive fluid loss yang efektif pada berbagai lumpur
berdasar air, terutama untuk lumpur jenis Calsium treated muds.
Menstabilkan Calsium dan Sodium yang terkandung dalam lumpur.
Memberikan hasil yang baik pada semua range alkaline pH. Keefektifan
berkurang dengan konsentrasi garam di atas 50000 ppm. CMC. Tejadi
degradasi dengan adanya pembebanan temperatur ketika mencapai 250
oF. Penggunaan CMC tergantung dari sifat yang dikehendaki. Untuk
mengurangi sifat fluid loss dari lumpur digunakan CMC-HV dan medium
CMC. Bila dikehendaki pengurangan sifat viscous dan fluid loss
ditambahkan CMC-LV.
Polyonic Cellulose (Drispac).
Drisprac merupakan organic fluid loss agent. Material ini merupakan
polymer polyanionic rantai panjang yang mempunyai berat molekul yang
besar.

Aplikasi
Didesain terutama untuk aplikasi lumpur yang mengandung konsentrasi
garam yang tinggi untuk jenis low solids drilling fluids. Drispac memberikan
sifat viscositas dan fluid loss untuk mengontrol lumpur jenis fresh dan salt.
Drisprac yang diperlukan dalam konsentrasi kecil.
Drisprac efektif untuk meningkatkan serta memelihara low solids muds
(jenis attapulgite clay).

l. Baranex
Baranex merupakan modifikasi dari lignin polymer berfungsi sebagai
additive pengontrol filtrat dari lumpur berdasar air. Sifat powder
polymernya effektif untuk mengurangi fluid loss yang terjadi akibat
pembebanan temperatur di atas 400 oF (205 oC) dalam berbagai jenis
fluida. Penambahan Baranex tidak mengakibatkan terjadinya kenaikan
viscositas lumpur dan secara aktual menstabilkan rheologi lumpur.
Dalam fungsinya sebagai pengontrol laju filtrasi pada temperatur tinggi,
Baranex merupakan anionic polymer yang mempunyai reaksi hubungan
sulfonat yang radikal yang merupakan bagian dari polymer, selain itu dapat
menghandel kontaminasi yang terjadi terutama Calsium chloride. Baranex
tidak memerlukan penambahan caustic untuk solubilize, lumpur dapat

Lumpur Pemboran 229


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

dipelihara mendekati pH netral, dapat digunakan untuk lumpur berdasar air


serta lumpur dengan densitas yang tinggi.

Aplikasi
Variasi yang dipakai dari 1 - 10 lbs/bbl (2.9 - 28.6 kb/m3. Baranex
merupakan polymer yang compatible dengan lignosulfonate dan lignit.
Kandungan additive ini mempunyai mineral besi yang rendah serta
mempunyai kadar racun yang rendah.

6.7.1.2. Thinner (Pengencer)

a. Thinner (dispersant)
Adalah merupakan senyawa (agent) yang menurunkan viskositas fluida
pemboran. Viskositas, seperti yang dibahas dimuka, dapat dihubungkan
dengan semua konsentrasi padatan atau interaksi antar partikel padatan.
Setiap senyawa yang efektif dapat mengurangi viskositas fluida.

b. Air
Telah lama digunakan sebagai pengencer yang efektif pada lumpur
pemboran. Efek pengenceran diperoleh dengan mengurangi total
konsentrasi padatan lumpur pemboran. Karena penambahan drilled solid
pada sistem lumpur sudah menjadi sifat yang umum, maka diperlukan
pencairan dengan air atau mengambil padatan-padatan tersebut secara
mekanis.
Perlu dicatat bahwa air biasanya ditambahkan pada lumpur water-base
untuk menggantikan air yang hilang kedalam formasi. Jika air yang hilang
tersebut tidak digantikan dengan penambahan air, maka akan menaikan
viskositas karena konsentrasi padatan bertambah dan treatment kimia
akan membuktikan tidak efektifannya menurunkan viskositas dalam situasi
ini.

c. Phosphates
Phosphate bekerja dengan pengabsorbsian pada valensi tepi partikel clay
yang terputus, sehingga menghasilkan keseimbangan listrik dan
memungkinkan partikel-partikel mengambang dengan bebas dalam
larutan. Pengaruh pendispersian phosphate ini adalah karena muatan
negatif plat-plat clay, yang memungkinkan plat-plat menolak satu dengan
yang lain setelah semua valensi tepi putus. Phosphate penggunaannya
terbatas dalam lingkungan kontaminasi ion. Jika terdapat ion kalsium atau
magnesium, bentuk kompleks polyphosphate atau terbentuk suatu ion
metal orthophosphate yang tidak larut.
Phosphate yang umum digunakan dalam aplikasi praktis pada lumpur
pemboran ditunjukkan pada Tabel berikut :

230 Lumpur Pemboran


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Nama Kimia Nama Umum pH Aditif Batasan temperatur

Sodium Acid Pyrophosphat SAAP 4.8 130oF

Sodium Hexametaphosphate Calgon 6.8 130oF

Sodium Tetraphosphat Barafos 7.5 130oF


o
Tetra Sodium Pyrophosphat TSPP 10 130 F

Keuntungan :
1. Phosphate sangat berguna karena merupakan thinner yang efektif
untuk gel mud pada pemboran dangkal.
2. Sedikit saja thinner sudah efektif.
Kerugian :
1. SAPP mempunyai pH 4.8. Oleh karena itu, perlu ditambahkan caustic
soda,NaOh, atau beberapa aditif hidroksil untuk menjaga pH lumpur
diatas 7.0
2. Pada umumnya Phosphate hanya dapat stabil pada temperatur rendah
3. Phosphate tidak mempunyai kemampuan untuk mengontrol fluid loss,
seperti halnya thinner yang lain

d. Lignins
Merupakan thinner dan fluid loss control agent yang efektif. Produk Lignin
dapat diperoleh dari humic acid extract, tetapi biasanya berbentuk
kepingan lignite coal.
Keuntugan :
1. Lignite stabil pada temperatur 4000F, dan dapat stabil pada temperatur
4500F dengan menggunakan aditif-aditif khusus.
2. Lignites (lignins) berfungsi sebagai dispersant dengan memenuhi
valensi tepi yang terputus dan sebagai fluid loss control agent karena
struktur koloidal-nya.
3. Walaupun lignins mempunyai pH asam, produk pre-causticized dapat
diperoleh yang mempunyai 1 - 6, caustic-lignin ratio, yang dapat
digunakan tanpa pH adjuster.
Kerugian :
Lignin tidak cocok untuk fluida dengan kandungan garam yang tinggi
karena lignite tidak larut dalam garam.

e. Tannin
Diperoleh dari ekstrak tumbuhan. Tannin yang paling banyak dijumpai
adalah quebracho, yang diperoleh dari pohon quebracho di Argentina.

Keuntungan :
1. Tannin merupakan bahan dengan fungsi ganda sebagai dispersant dan
fluid loss control agent.
2. Tannins, terutama quebracho efektif untuk pengencer lumpur lime dan
lumpur yang terkontaminasi semen.

Lumpur Pemboran 231


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

f. Lignosulfonates
Adalah campuran lignin sulfonate yang diperoleh dari sulfite liquor.
Berbagai macam jenis dan sejumlah ion-ion metal ditambahkan dalam
campuran tersebut untuk meningkatkan kemampuannya dalam
menetralisir valensi tepi yang terputus. Ion-ion yang ditambahkan adalah
kalsium, besi, dan chrome.
Keuntungan :
1. Calsium lignosulfonate adalah thinner yang efektif untuk lumpur lime.
2. Ferrochrome lignosulfonate, dengan berbagai jumlah besi dan chrome,
merupakan thinner yang efektif untuk tujuan umum karena adanya ion-
ion metal berat.
3. Lignosulfonates mempunyai stabilitas sampai temperatur 400 oF.
4. Lignosulfonate merupakan aditif fungsi ganda baik sebagai dispersant
maupun fluid loss control agent.
Kerugian :
Ada beberapa spekulasi bahwa dibawah kondisi temperatur tekanan yang
sangat tinggi, lignosulfonate dapat terdegradasi dan mengembangkan
racun gas H2S.

g. XP-20/Spersence System
Jenis Calsium treated muds mempunyai limitasi pemakaian, terutama
pada temperatur di atas 275 oF. Jenis Calcium tretated muds tidak selalu
membuat lubang bor yang stabil sama seperti pada temperatur rendah.
Jenis lumpur surfactan dibuat untuk menanggulangi limitasi dari calsium
muds pada temperatur tinggi. Jenis surfaktan mud baik kelemahan
dikarenakan cost yang tinggi sifat kimia yang kompleks serta filtrat
lossnya.
Jenis lignosulfonate (XP-20/Spersence) system menanggulangi banyak
limitasi yang terdapat pada system calsium treated muds serta surfaktan
muds. Demonstrasi dari lignosulfonate muds mempunyai sifat yang lain
yang tidak terdapat pada jenis calsium treated muds. Inhibition merupakan
mud yang mempunyai sifat kimia simple, stabil terhadap pembebanan
temperatur, exelent flitrat loss, resistance terhadap kontaminasi. Pada
masa sekarang jenis lignosulfonate muds dipergunakan secara luas pada
inhibitive water based muds, dan dapat menggantikan jenis calsium
treated muds dan jenis surfaktan muds.

h. XP-20
XP-20 mempunyai pH 10, merupakan prereacted chrome lignit yang
digunakan terutama dengan Spersene (Chrome Lignosulfonate). Selain
sebagai penstabil dan pengemulsi, juga menurunkan fluid loss dan
mengkontribusi sifat inhibitive lumpur. Pada penggunaannya tidak hanya
terbatas pada system XP-20/Spersene tetapi dapat juga digunakan untuk
lumpur berdasar air dengan pH rendah.

i. Spersene
Spersene merupakan deflokulasi dan protektive koloid

Aplikasi

232 Lumpur Pemboran


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Konsentrasi minimum yang dipakai untuk system XP-20/Spersene sekitar


12 lbs/bbl dengan ratio pemakaian 1-2 lbs/bbl. XP-20/Spersene dapat
digunakan untuk berbagai jenis densitas dan berbagai variasi
pembebanan temperatur, problem shale serta kontaminasi yang eksestif
lainnya.

Limitasi
Jenis material lignit tidak efektif untuk kandungan konsentrasi garam
calsium tinggi dan relatif moderat untuk kandungan salt tinggi.
j. CC-16
CC-16 merupakan dispersant jenis garam sodium larut dari material asam.
Effisient untuk mengontrol viskositas dan gel strength lumpur. CC-16
exelent untuk mengemulsi oil dalam lumpur pemboran.
Sifat Fisik
Wet screen analysis (325 mesh) 10 - 20 %
Bulk Density (lb/ft3), Compacted/Uncompacted 62/52
Appearance Blck Powder
pH, 10% dalam air 9 - 10
Treatment yang Direkomendasikan
CC-16 dispersant dapat ditambahkan langsung ke dalam lumpur, dan
relatif larut dengan cepat dalam air.
Berfungsi Sebagai
 Mengurangi viskositas dan gel dari banyak lumpur berat
 Mengurangi laju filtrasi dari lumpur pada kondisi tekanan dan
temperatur tinggi dengan membentuk mud cake yang tipis dan liat.
 Mengurangi effek kontaminasi yang terjadi pada lumpur dengan jalan
deflokulasi
 Mengentalkan dan mengemulsi minyak yang terdapat pada lumpur
berdasar air
 Memelihara karakteristik lumpur akibat kondisi HTHP

Aplikasi
CC-16 dispersant dapat digunakan untuk mentreatment lumpur dari pH
normal sampai pH tinggi termasuk lime muds. CC-16 dispersant dapat
emnghandel kontaminasi akibat garam dan cement.
Keuntungan Utama
 Larut cepat dalam air
 Harga relatif murah (penggunaan dalam jumlah kecil)
 Tidak memerlukan pengemulsi tambahan serta relatif bagus untuk
mengemulsi minyak dalam lumpur
 Mempunyai total mud cost yang rendah, effektif dalam menghandel
berbagai kontaminan
 Overtreatment tidak mempengaruhi kondisi lumpur

6.7.1.3. Bahan-bahan Pemberat (Weighting Material)


Material pemberat adalah bahan-bahan yang mempunyai specific gravity
tinggi yang ditambahkan kedalam cairan untuk menaikkan densitas fluida.
Biasanya, material pemberat ditambahkan kedalam lumpur pemboran untuk
mengontrol tekanan formasi.

Lumpur Pemboran 233


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

a. Barite (Barium Sulfate)


Barite adalah merupakan bahan pemberat yang paling umum digunakan
dalam fluida pemboran. Barite mempunyai specific gravity 4.2, yang
mampu menaikkan densitas sampai 22 ppg. Barite merupakan padatan
inert, sehingga tidak mempengaruhi aktivitas aditif dalam sistem lumpur.
Keuntungan :
 Barite akan menaikkan densitas lumpur sehingga cukup untuk
mengontrol tekanan formasi.
 Butiran-butiran yang kasar dapat diperoleh untuk tujuan penyumbatan.
Butiran-butiran khusus tidak dapat melalui 80 mesh screen, sehingga
akan terekstraksi pada awal sirkulasi.
Kerugian :
Pada umumnya suspensi barite memerlukan viskositas yang lebih tinggi.
Barite, dalam packer fluid yang tinggi akan menyebabkan pengendapan,
sehingga menyebabkan kesulitan dalam pekerjaan workover.

b. Galena
Galena mempunyai specific gravity 3.8 dan digunakan dalam pengontrolan
problem-problem sumur khusus. Galena mampu menaikkan densitas
lumpur sampai 32 ppb. Galena umumnya tidak cocok dalam operasi
pemboran karena adanya problem suspensi.

c. Calsium Carbonate
Adalah merupakan aditif yang digunakan dalam fluida workover dan
packer fluids utuk menaikkan densitas fluida. Calsium carbonate
mempunyai specific gravity 2.7 dan dapat menghasilkan densitas lumpur
12.0 ppg.
Keuntungan :
1. Calcium carbonate lebih ekonomis dari pada agent-agent lainnya.
2. Lebih mudah tersuspensi daripada barite.
3. Calcium carbonate lebih mudah diambil dari formasi untuk mengurangi
kerusakan formasi.

Kerugian :
Densitas maksimum yanng diperoleh hanya 12.0 ppg.

d. Brine Solution
Diperoleh dengan menggunakan berbagai macam garam. Tabel berikut
menyajikan densitas maksimum yang dapat dicapai dari setiap jenis garam
:

234 Lumpur Pemboran


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Keuntungan :
1. Sodium Chloride dapat digunakan secara ekonomis karena densitas
agent tanpa perlu penambahan bentonite untuk kemampuan
suspensinya. Lumpur ini efektif digunakan pada pemboran atau packer
fluid.
2. Calcium Chloride umumnya digunakan sebagai density material dalam
packer fluids.
Kerugian :
1. Larutan sodium chloride jenuh pada 10.8 ppg.
2. Calcium chloride menndatangkan problem ketika digunakan sebagai
lumpur pemboran karena laju korosinya cukup menyolok jika
berhubungan dengan udara.
3. Zinc Chloride mahal
4. Zinc chloride sangat korosif terhadap tubing dan casing.

6.7.1.4. Pengatur pH (pH Adjuster)


Karena beberapa aditif lumpur pH-nya rendah dan karena pengoperasian
optimum range pH sistem lumpur, sehingga pada suatu saat perlu
menambahkan bahan-bahan yang akan merubah pH sistem lumpur. Karena
pada umumnya aditif secara alamiah bersifat asam, maka jarang bahwa pH-
nya tinggi. Sebaliknya, biasanya pH yang terlalu rendah harus dinaikkan.
pH adjuster harus ditangani dengan hati-hati, dengan menggunaan suatu
chemical barrel. Tidak menggunakan hopper atau dump secara langsung
kedalam sistem.
Secara umum, ada tiga macam pH adjuster, yaitu Sodium Hydroxide
(Caustic soda), Potassium Hydroxide, dan Calcium Hydroxide. Sodium
Hydroxide adalah merupakan pH adjuster yang umum digunakan, sedangkan
lainnya biasanya digunakan untuk tujuan khusus.

Keuntungan :
1. Ketiga macam aditif tersebut dapat menaikan pH.
2. Sodium Hydroxide, karena tingginya tingkat aktivitas ion sodium,
cenderung menyebabkan jumlah terkecil clay inhibition.

Kerugian :
1. Semuanya dapat menyebabkan kulit terbakar.
2. Semuanya sangat korosif terhadap peralatan.
3. Potassium Hydroxide dan Calcium Hydroxide mempunyai karakteristik
ihibitive (menghalangi) yang kuat karena adanya ion-ion potassium dan
calcium. Kedua produk ini biasanya digunakan dalam lumpur untuk clay
hidration inhibition.

6.7.2. Penggunaan Aditif-aditif Khusus

Lost Circulation Materials


Adalah merupakan material yang ditambahkan baik untuk mencegah lost
circultation atau untuk mendapatkan kembali sirkulasi setelah terjadi hilang
sirkulasi. Pada umumnya material-material ini digunakan tanpa pandang bulu
dan tanpa pemikiran-pemikiran sebelumnya.

Lumpur Pemboran 235


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Problem lost circulation secara umum dibagi menjadi dua kategori, yaitu :
 Pertama, adalah problem hilang lumpur kedalam rongga-rongga, seperti
zona porous, vuggy limestone, shell reefs, gravel beds, atau gua-gua
alami.
 Kedua, adalah lost circulation yang terjadi karena terlampauinya
compressive strength formasi. Kemungkinan penanganan untuk kategori
pertama akan tidak menyelesaikan problem rekah formasi. Maka, aditif
lumpur harus dibagi menjadi kelompok-kelompok yang dapat diterapkan
pada setiap jenis lost circulation tersebut.
Secara umum, tidak ada aditif lumpur yang dapat diaplikasikan dalam rongga-
rongga yang besar seperti gua-gua dibawah tanah. Drilling ©blindª dan setting
casing string sering digunakan untuk menyelesaikan masalah tersebut. Akan
tetapi, dalam rongga-rongga yang kecil, material penyumbat dapat secara
efektif menutup zona-zona tersebut.
Fibrous Materials - seperti ground leather atau ground sugar dari batang
rotan paling efektif pada rongga-rongga yang besar karena serat kasar
tersebut dapat memberikan kemampuan membungkus dengan baik. Problem
lain yang mungkin terjadi adalah penyumbatan bit jet dengan material ini.
Walnut Shells dan Ground Mica - dapat diperoleh dalam ukuran yang halus,
medium dan kasar dan biasanya cocok untuk menutup zona porous.
Cellophane Flakes - juga bekerja dalam cara yang sama dalam zona-zona
porous. Barite dan Bentonite - biasanya sangat efektif untuk penutupan
formasi yang porous.
Squeeze Techniques - mungkin efektif untuk menyelesaikan problem-
problem lost circulation ini. Squeeze adalah setiap material yang didesak
masuk kedalam formasi sebagai usaha untuk menutup formasi dari dalam.
Setiap bahan yang disebutkan diatas dapat digunakan dalam squeeze dan
biasanya dalam jumlah yang cukup banyak per barrel-nya.
Squeeze khusus menggunakan diesel-oil sebagai carrying agent yang
dicampur dengan bentonite atau semen sangat efektif. Semen atau bentonite
tidak bereaksi dengan minyak, tetapi akan bereaksi dengan lumpur atau air
formasi.
Spotting Fluids - Fluida harus mempunyai sifat basah minyak (oil wetting).
Hal ini akan merusak water base filter cake.
Bahan-bahan :
 Minyak - biasanya diesel oil
 Surfactant - oil wetting purposes
 Suspension material to support barite.

6.7.3. Bahan-bahan Aditif Lumpur Minyak (Oil Based Mud)

(a).Oil Base
1. Biasanya berupa diesel oil
2. Dapat juga menggunakan minyak mentah (crude oil)

(b). Water in Emulsified Phase 5 - 50%


1. Surfactant menyebabkan tegangan permukaan
2. Berlaku sebagai material padat

236 Lumpur Pemboran


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

(c). Emulsifiers
1. Heavy molecular weight soap
2. Menaikkan tegangnan permukaan
3. Menghasilkan emulsi yang stabil
4. Cairan emulsifier bekerja lebih cepat, tetapi tidak membentuk emulsi
yang ketat.
5. Harus mempunyai stabilitas listrik 350 - 400 volt.

(d). Filtration Control Agent


1. Blown Asphalt - biasanya pada oil base muds
2. Organophillic atau hydrophobic clays (amine-treated clay).

(e). Suspension Agent dan Gelling Agent

(f). Clays-organophillic

(g). Calcium Chloride


Sebagai dehidrator formasi dan menjaga ukuran lubang.

6.7.4. Pengaruh Elektrolit terhadap Karateristik dan Sifat Fisik


Lumpur Pemboran
Kontaminasi oleh NaCl ( Sodium Chlorida ) akan merubah sifat fisik Lumpur.
Kontaminasi jenis ini terjadi jika terdapat air laut/garam atau pemboran lapisan
garam atau karena tekanan air garam yang lubang sumur selama operasi
pemboran berlangsung. Konsentrasi garam yang tinggi akan menimbulkan fluid
loss yang tinggi akibat pencegahan dehidrasi dan dispersi dari bentonit. Jika
konsentrasi sangat besar maka lumpur akan berubah menjadi lumpur jenis air
asin ( Salt Water Type ).
Elektrolit NaCl merupakan material yang terdiri dari ionion positip dan
negatip. Jika Elektrolit NaCl ini dimasukkan ke dalam air maka ion positip dan
ion negatip akan tersebar.
Dengan adanya Elektrolit NaCl dalam sistem lumpur air tawar, keadaan ini
akan mempengaruhi Karakteristik dan Sifat-sifat Fisik dari Lumpur tersebut.

6.7.5. Pengaruh Temperatur terhadap Karakteristik dan


Sifat Fisik Lumpur.
Temperatur pengaruhnya sangat kuat terhadap kekentalan lumpur bor.
Lumpur bor menjadi encer dengan kenaikkan temperatur. Pengaruh temperatur
ini ditentukan oleh jenis dan kandungan padatan di dalam lumpur bor. Beberapa
komponen dari lumpur pemboran stabil pada temperatur permukaan, tetapi
pada temperatur tinggi akan bereaksi secara cepat satu terhadap yang lain.
Apabila terjadi kontaminasi pada lumpur pemboran, maka reaksi kontaminant
pada sistem lumpur akan menjadi lebih cepat jika temperatur meningkat. Fluid
loss akan menjadi masalah jika temperatur lubang tinggi, dan ini akan
menimbulkan masalah lain seperti terjepitnya pipa bor serta problem shale.
Temperatur tinggi dijumpai pada pemboran sumur-sumur dalam, sehingga
untuk mengontrol terhadap sifat-sifat lumpur menjadi sulit. Ada beberapa

Lumpur Pemboran 237


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

dispersant dan fluid loss additive akan terurai dan menjadi tidak efektif pada
temperatur tinggi. Pengontrolan pada karakteristik dan sifat-sifat lumpur pada
temperatur tinggi adalah dengan menjaga harga viskositas dan Gel Strengthnya
agar tetap mampu menahan material pemberat serta membersihkan lubang.
Pengaruh temperatur terhadap kekentalan lumpur dapat dilihat pada
Gambar 6.12, kurva 1 menunjukkan konsentrasi padatan berada pada titik B
dan selanjutnya dengan kenaikkan temperatur dispersi dari clay akan
menghasilkan flokulasi dan lumpur yang kental. Jika dibandingkan dengan
kurva 2 kenaikkan temperatur akan menghasilkan lumpur yang encer.
Beberapa peneliti telah menyelidiki hasil test-test laboratorium yang
mengGambarkan kelakuan lumpur bor pada temperaturtemperatur yang tinggi.
Keadaan ini diselidiki oleh Barlett sebagai yang ditunjukkan pada Tabel 6-1.
Dari Tabel dapat dicatat Viskositas Plastik turun secara drastis dengan
kenaikkan temperatur. Pada Tabel 6-1 dapat juga menunjukkan kelakuan Yield
Point sebagai fungsi dari kenaikkan temperatur yang tidak teratur.

Tabel 6-1. Data Fann Yang Tersimulasi

Gambar 6.12. Viscositas Tehadap Kandungan Padatan

Penurunan Viskositas Plastik dengan naiknya temperatur akan


menyebabkan makin encernya lumpur bor. Prinsip ini dikuat pada Gambar 6.13
yang Viskositas air yang telah ternormalisasi sebagai bandingan terhadap
Viskositas Plastik dari lumpur terhadap temperatur, pada Gambar ini juga
memperlihatkan kekentalan dari air dan lumpur akan mengalami penurunan
yang sama dengan kenaikkan temperatur sampai temperatur 220 oF dicapai.
Mulai titik ini dan seterusnya Viskositas Plastik dari lumpur bor tidak turun
terhadap Kenaikkan temperatur. Dan akan tergantung pada jenis dari lumpur
itu. Pada Tabel (6.1) Viskositas Plastik lumpur bor sebesar 10 cp

238 Lumpur Pemboran


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Gambar 6.13. Pengaruh Temperatur Pada Viskositas Plastik dari Water Base
Mud pada 320oF dan 50 cp pada 220oF

Temperatur mempunyai akibat yang kuat pada sifat-sifat aliran dari lumpur
bor. Tabel (6.1) dapat digunakan untuk memperkirakan pengaruh temperatur
pada kekentalan lumpur bor jika tidak terjadi flokulasi pada lumpur bor. Data
dari Tabel (6.1) didasarkan secara lengkap pada pengaruh temperatur pada
keenceran air yang ditunjukkan pada Gambar (6.13).
Temperatur akan mempengaruhi besarnya viskositas lumpur pemboran.
Besarnya temperatur mempengaruhi jarak intermolekul. Untuk cairan, jarak
antara molekul-molekul naik dengan naiknya temperatur, yang akan
menurunkan gayagaya kohesi sehingga viskositas fluida akan turun.
Untuk gas, temperatur naik menyebabkan gaya-gaya getaran dari molekul-
molekul naik dan gaya kohesi turun. Pada prakteknya gaya-gaya vibrasi
(getaran) dari gas melampaui gaya kohesi, sehingga menghasilkan kenaikkan
viskositas dengan naiknya temperatur.

6.7.6. Perhitungan Additive lumpur


1. Hukum Konsentrasi Massa :
M3 = M1 + M2..................................................................................(6-21)
V3 = V1 + V2....................................................................................(6-22)
M 3 M1  M 2
3   ........................................................................(6-23)
V3 V1  V 2
2. Untuk meningkatkan densitas dari ke per 1 bbl volume lumpur awal:
a. Masa barite yang dibutuhkan, M:
(  3  1)
M  1491 lb barite / bbl lumpur .........................................(6-24)
(35.5   3)
dimana densitas dalam ppg, 1 ppg = 1/7.48 pcf.
b. Jumlah Sack barite, S:
 3  1
S  15.9 sk / bbl / bbl lumpur .............................................(6-25)
35.5   3
c. Penambahan volume pit dalam satuan barrel, V:
bbl
(  3  1)
V  / bbl lumpur .......................(6-26)
(35.5   3)

Lumpur Pemboran 239


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

3. Untuk Menurunkan desitas dari volume Lumpur awal


a. Volume liquid (air atau diesel oil) V2 dalam bbl yang dibutuhkan :
(  3  1)
V 2  V1 ......................................................................(6-27)
(  2   3)
dimana :
V1 = Volume lumpur awal, bbl
V3 = Volume lumpur akhir, bbl
1 = densitas lumpur awal
2 = densitas dari penambahan liquid
3 = densitas akhir campuran
(  3  1)
V1  V 3 ......................................................................(6-28)
(  2   3)
( 1   3)
V2 V3 ......................................................................(6-29)
( 1   2)
b. Densitas akhir lumpur
V2
 3  1  ( 1   2)
V3 ...............................................................(6-30)
V2
3  ( 1   2)
V1  V 2 ...............................................................(6-31)

Menaikan Densitas Lumpur


Contoh 1.
Hitung Jumlah penambahan barite (sk/100 bbl) untuk menambah densitas
dari 100 bbl lumpur dengan densitas 12.0 ppg (W1) menjadi 14.0 ppg (W2)
Rumus :
1470(W 2  W 1)
Barite, sk/100 bbl =
35  W 2

Contoh 2.
Hitung pertambahan volume, ketika menaikan densitas dari 12.0 ppg (W1)
menjadi 14.0 ppg (W2) dengan menambahkan barite (SG=4.2).
100(W 2  W 1
Pertambahan volume/100 bbl = 35  W 2

Contoh 3.
Hitung volume awal (bbl) dari 12 ppg (W1) lumpur, apabila diketahui 100 bbl
(VF), 14.0 ppg (W2) lumpur dengan barite (SG=4.2).
Rumus :
VF (35  W 2)
Volume awal, bbl =
35  W 1

Menurunkan Densitas
Contoh 1.

240 Lumpur Pemboran


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Hitung Jumlah air yang diperlukan (bbl), untuk menurunkan 100 bbl (V1)
lumpur dari 14.0 ppg (W1) menjadi 12.0 ppg (W2) diketahui densitas air 8.33
ppg (DW).
Rumus :
V 1(W 1  W 2)
Air, bbl =
W 2  DW
Contoh 2.
Hitung jumlah diesel yang diperlukan untuk mengurangi densitas 100 bbl
(V1), 14.0 ppg (W1) lumpur menjadi 12.0 ppg (W2), diketahui densitas diesel
7.0 ppg (DW).
Rumus :
V 1(W 1  W 2)
Diesel, bbl =
W 2  DW

Contoh 2.
Tentukan jumlah barite yang dibutuhkan untuk mengubah densitas dari 12.53
ppg ke 13.7 ppg. Hitung peningkatan volume di pit yang disebabkan karena
penambahan barite untuk menaikan densitas tersebut. Volume lumpur awal
diketahui 63 bbl.

Contoh 3.
Tentukan densitas lumpur dasar air (water base mud) yang mengandung 5 %
berat bentonite. Densitas bentonite adalah 20.8 ppg.

Contoh 4.
Dibutuhkan fluida untuk mengurangi densitas dari 25.1 ppg ke 22.6 ppg agar
mengurangi permasalahan loss sirkulasi. Hitung volume air dan oil yang
dibutuhkan untuk membawa densitas lumpur turun sesuai dengan yang
diinginkan.
Apabila oil yang digunakan, berapa persenkah oil di dalam lumpur jika volume
lumpur awal adalah 629 bbl. Densitas adalah 3.87 ppg.

Menaikan Densitas
Contoh 5.
Hitung densitas suatu lumpur yang diperoleh dengan menambahkan 40 lbm
bentonite (SG=2.60) dan barite (SG=4.20) ke dalam 1 bbl air.

Contoh 6.
Untuk menaikan densitas 700 bbl lumpur dari 13 ppg menjadi 15 ppg
diperlukan penambahan barite (SG=4.20). Agar kekentalan lumpur tetap
terjaga, maka tiap penambahan 100 lbm barite akan ditambah 1 galon air.
Jika volume akhir tidak terbatas, hitung jumlah air dan barite yang diperlukan.

Contoh 7.
Untuk menaikan densitas sejumlah 1000 bbl lumpur dari 10 ppg menjadi 13
ppg diperlukan penambahan barite. Jika volume total lumpur dibatasi hingga

Lumpur Pemboran 241


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

1000 bbl, hitung jumlah lumpur lama yang harus dibuang dan barite
(SG=4.20) yang harus ditambahkan.
Volume lumpur lama yang diperlukan
 ( 4.20 x8.33)  13 
 1000 x    880
 4.20 x8.33)  10 
Volume lumpur lama yang harus dibuang = 1000 - 880 = 120 bbl
Massa barite yang diperlukan = (4.20 x 8.33) x (42 x 120 ) = 176400 lbm

Contoh 8.
Untuk menaikan densitas sejumlah 1000 bbl lumpur dari 10 ppg dengan
kadar solid 6% menjadi 13 ppg dengan kadar solid 3.5% diperlukan
penambahan air dan barite. Jika volume total lumpur dibatasi hingga 1000
bbl, hitung jumlah lumpur lama yang harus dibuang serta air dan barite
(SG=4.20) yang harus ditambahkan.
Volume lumpur yang diperlukan
Volume lumpur lama yang harus dibuang = 1000 - 583 = 417 bbl
Jumlah air yang ditambahkan
  (4.20 x8.33)  13)  x1000  left  (4.20 x8.33)  10 x583 
 
  (4.20 x8.33)  8.33 
Massa barite yang diperlukan = (4.20 x8.33) x [42 x (1000 - 583 - 278)]
= 204330 lbm

6.8 Teknik Pemboran AERASI (Lumpur + Udara)

6.8.1. Pendahuluan
Pemboran aerasi adalah pemboran yang menggunakan lumpur aerasi
sebagai fluida pemboran. Pemboran aerasi merupakan salah satu metoda
pemboran underbalanced dengan tujuan utama mencegah masalah hilang
sirkulasi. Metoda ini pertama kali dilakukan oleh Philip Petroleum Company
pada tahun 1953 di Emory County, Utah8).

6.8.2. Pengertian Lumpur Aerasi


Lumpur aerasi adalah lumpur pemboran yang terdiri dari dua fasa yaitu
lumpur biasa sebagai fasa kontinu dan udara sebagai fasa diskontinu.
Penambahan udara ke dalam lumpur akan memperbesar volume cairan
sehingga densitas lumpur aerasi lebih kecil dari lumpur biasa.
Penurunan densitas tergantung dari perbandingan udara dan cairan dalam
lumpur aerasi, semakin besar volume udara maka densitas lumpur aerasi
makin rendah. Menurut Zhou11), densitas lumpur aerasi berkisar 0,45 - 1,2
gr/cc atau 28,1 - 74,9 pcf.
Lumpur aerasi digunakan pada pemboran di daerah yang mempunyai
masalah hilang sirkulasi. Lumpur aerasi lebih diharapkan sebagai pencegah
terjadinya hilang sirkulasi untuk menekan biaya pemboran daripada sebagai
penanggulangan masalah tersebut. Penanggulangan hilang sirkulasi lebih
mudah pelaksanaannya dengan menggunakan LCM, blind drilling, dan cement
plug.

6.8.3. Komponen Lumpur Aerasi

242 Lumpur Pemboran


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Komponen lumpur aerasi terdiri dari dua bagian utama yaitu udara dan
lumpur biasa. Dalam lumpur aerasi, kedua komponen ini bercampur dengan
perbandi-ngan tertentu sehingga lumpur aerasi mempunyai sifat-sifat turunan
dari kedua komponen tersebut.

6.8.3.1. Udara
Udara di alam terbentuk dari campuran gas-gas dengan komposisi
tertentu, yaitu 78% nitrogen, 21% oksigen, dan 1% gas-gas lain seperti argon,
neon, dan lain-lain. Karena udara tersedia di bumi dalam jumlah banyak,
maka biaya penyediaan udara sangat murah. Udara juga tidak beracun
sehingga setelah digunakan sebagai campuran lumpur aerasi dapat dibuang
langsung ke alam tanpa merusak lingkungan.
Keuntungan menggunakan udara sebagai fluida sirkulasi dalam pemboran
antara lain:
 meningkatkan laju penetrasi karena udara mengurangi tekanan hidrostatis
pada formasi yang sedang dibor, sehingga batuan lebih mudah terlepas
untuk menyeimbangkan perbedaan tekanan. Laju penetrasi di kebanyakan
formasi dapat meningkat 100% dibandingkan menggunakan fluida
pemboran yang lain.
 tidak menyebabkan kerusakan formasi, karena udara memiliki berat yang
sangat ringan dibandingkan fluida pemboran lain.
 fluida formasi dapat diketahui seketika karena udara membentuk sistem
underbalanced di depan formasi sehingga fluida formasi masuk ke dalam
sumur.
 udara dapat digunakan untuk pemboran formasi batuan kering atau
formasi batuan basah. Penginjeksian udara ke dalam lumpur bertujuan
mengimbangi tekanan formasi sehingga tidak terjadi masalah hilang
sirkulasi atau masalah kick.

Udara merupakan fluida kompresibel yang volumenya dipengaruhi


tekanan dan temperatur. Karena densitas lumpur aerasi dipengaruhi oleh
volume udara maka densitas lumpur aerasi berbeda disetiap kedalaman.

6.8.3.2. Lumpur Biasa


Lumpur biasa digunakan dalam pemboran overbalanced, dimana
komponen utamanya adalah air (water-base mud), atau minyak (oil-base
mud). Komponen lain adalah aditif yang membentuk sifat-sifat lumpur seperti
densitas, viskositas, gel strength, dan lain-lain.
Kebanyakan pemboran menggunakan air sebagai bahan dasar utama
lumpur, karena lebih mudah diperoleh dan murah dibandingkan dengan
minyak. Lumpur berbahan dasar minyak, khusus dipakai untuk membatasi
pengembangan shale.
Pada beberapa daerah operasi pemboran, terdapat formasi-formasi
bertekanan rendah, memiliki permeabilitas tinggi, atau rekahan dan patahan,
dimana lumpur biasa tidak efisien digunakan sebagai fluida pemboran.
Ketidakefisienan lumpur biasa karena tekanan hidrostatis yang
ditimbulkannya dapat menyebabkan hilang sirkulasi. Udara merupakan fluida
yang memiliki densitas jauh lebih ringan dari air, dan ditinjau dari segi biaya,
penggunaan udara sangat ekonomis. Tapi karena formasi yang hendak

Lumpur Pemboran 243


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

ditembus memiliki fluida formasi yang banyak, maka penerapan udara


sebagai fluida pemboran hanya pada daerah-daerah tertentu.
Minyak memiliki densitas lebih rendah dari air, sehingga bisa digunakan
sebagai komponen utama lumpur menggantikan air. Karena dalam pemboran
memerlukan jumlah lumpur yang banyak maka dari segi biaya pemboran,
penggunaan minyak tidak ekonomis.
Lumpur aerasi merupakan pilihan terbaik pada daerah-daerah yang
memiliki masalah hilang sirkulasi. Lumpur aerasi terdiri dari lumpur pemboran
biasa ditambah penginjeksian udara kedalamnya. Ditinjau dari segi biaya,
lumpur aerasi menghemat biaya karena tidak membutuhkan pembuatan
lumpur baru menggantikan lumpur pemboran yang sedang dipakai, dan hanya
membutuhkan beberapa peralatan tambahan untuk proses penginjeksian
udara.

6.8.4. Kelebihan dan Kekurangan Lumpur Aerasi


Lumpur aerasi mempunyai kelebihan dan kekurangan dibandingkan fluida
pemboran yang lain seperti udara, gas, busa, atau cairan (lumpur biasa).
Setelah bersirkulasi sebagai lumpur pemboran, lumpur aerasi melalui
separator udara-lumpur untuk proses pemisahan udara dan lumpur biasa.
Kemudian lumpur aerasi dibersihkan dari cutting, dan lumpur aerasi kembali
menjadi lumpur biasa. Lumpur biasa akan membentuk kembali menjadi lumpur
aerasi dengan menginjeksikan udara. Kelebihan ini tidak dimiliki oleh pemboran
busa yang menggunakan busa sebagai fluida pemboran, dimana setelah
bersirkulasi busa tidak bisa digunakan lagi.
Lumpur aerasi dapat digunakan untuk pemboran di formasi-formasi
bertekanan rendah dimana masalah hilang sirkulasi terjadi jika menggunakan
lumpur biasa walau hanya menggunakan air ditambah viscosifier. Lumpur
aerasi juga dapat digunakan pada formasi yang mengandung fluida formasi
yang banyak dimana pemboran air/gas tidak dapat berfungsi dengan efisien.
Kemampuan udara/gas dalam meningkatkan laju penetrasi pada pemboran
air/gas juga dimiliki oleh lumpur aerasi dibandingkan laju penetrasi pada
pemboran konvensional yang menggunakan lumpur biasa.
Kemudahan dan kecepatan menembus suatu formasi ketika pemboran
merupakan fungsi dari tekanan hidrostatis terhadap formasi seperti ditunjukkan
Gambar 6.14. Fenomena ini ditunjukkan oleh Murray dan Cunningham 8).
Kerusakan formasi produktif lebih kecil jika tekanan hidrostatis sirkulasi
lumpur lebih besar sedikit daripada tekanan formasi. Jadi lumpur aerasi dapat
berfungsi sebagai fluida pemboran pada pemboran overbalanced atau
pemboran underbalanced, hanya dengan mengatur perbandingan udara dan
lumpur biasa.

244 Lumpur Pemboran


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Gambar 6.14. Hubungan Laju Penetrasi dan Tekanan Hidrostatis

Ukuran cutting yang diperoleh dari pemboran dengan menggunakan lumpur


aerasi hampir sama dengan ukuran cutting dari pemboran yang menggunakan
lumpur biasa, dibandingkan ukuran cutting pemboran air/gas yang berbentuk
serbuk. Ukuran cutting ini memudahkan untuk dianalisa dan dijadikan petunjuk
formasi yang sedang ditembus.
Pemboran aerasi tidak menyebabkan terjadinya pembesaran lubang
(washout) dibandingkan dengan pemboran yang menggunakan lumpur biasa.
Hambatan pada dinding lubang sumur akan diperkecil dengan adanya udara
dalam lumpur aerasi.
Masalah korosi yang terjadi pada pemboran lumpur aerasi merupakan
masalah korosi paling besar dalam pemboran underbalanced, karena adanya
udara dan cairan dalam lumpur aerasi.
Dengan penanganan yang memadai seperti pemilihan dan penggunaan air,
pengaturan pH > 8, dan penggunaan korosi inhibitor maka masalah korosi
dapat dikurangi, sehingga pemboran dengan menggunakan lumpur aerasi
dapat dijadikan alternatif pemilihan teknik pemboran yang baik.
Masalah keselamatan juga perlu menjadi perhatian karena penggunaan
udara yang mengandung oksigen jika bertemu dengan hidrokarbon dan panas
yang cukup akan mengakibatkan bahaya kebakaran dan ledakan, walaupun
masalah ini lebih kecil daripada pemboran udara/gas karena adanya lumpur
biasa.
Pemboran aerasi membutuhkan peralatan tambahan seperti kompresor
penginjeksi udara, penyekat drillstring, pipa udara, dan separator udara-lumpur.
Tetapi biaya pengadaan peralatan tambahan ini bisa ditekan karena
penggunaan udara dan ketersediannya di alam, membuat lumpur aerasi lebih
ekonomis dibandingkan jika penggunaan gas-gas pada pemboran udara/gas.
Pemboran aerasi tidak menjamin proses penyemenan biasa berjalan lancar
tanpa terjadi hilang semen. Hal ini karena lumpur aerasi tidak membentuk
penyekat pada zona loss. Penggunaan Lost Circulating Material (LCM),
penyemenan dengan foam cement, dan mengatur densitas lumpur aerasi agar
lebih tinggi dari tekanan formasi tanpa menyebabkan hilang sirkulasi akan
mengatasi masalah ini.

6.8.5. Distribusi Gelembung dalam Lumpur Aerasi


Penginjeksian udara kedalam lumpur akan membentuk distribusi gelembung
udara yang berukuran makin kecil jika berada semakin dalam karena pengaruh
tekanan dan temperatur.

Lumpur Pemboran 245


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Distribusi gelembung dalam lumpur aerasi terbagi menjadi dua bagian yaitu:
1. Ketika lumpur aerasi bersirkulasi
2. Ketika lumpur aerasi tidak bersirkulasi

6.8.5.1. Lumpur Aerasi ketika Bersirkulasi

a. Di dalam drillstring.
Distribusi gelembung dalam drillstring terjadi ketika udara pertama kali
diinjeksikan ke dalam lumpur di permukaan hingga ke dasar sumur.
Gelembung udara cenderung bergerak ke atas karena densitas yang lebih
kecil daripada densitas lumpur. Kecepatan slip gelembung udara dalam
pipa adalah selisih kecepatan lumpur menuju ke dasar sumur terhadap
kecepatan gelembung untuk bergerak ke permukaan. Perubahan tekanan
dan temperatur yang semakin tinggi ke arah bawah, menyebabkan volume
gelembung akan semakin kecil, sehingga kecepatan slip masing-masing
gelembung akan berbeda. Kecepatan slip harus lebih besar dari nol pada
gelembung berukuran paling besar, sehingga gelembung akan mengikuti
aliran lumpur ke bawah.
b. Di anulus
Ketika lumpur aerasi keluar dari bit, terjadi penurunan tekanan yang besar
sehingga menimbulkan efek pengembangan gelembung udara yang
terkompresi. Setelah mengembang, gelembung udara akan terkompresi
kembali menjadi gelembung udara berukuran kecil dan bergerak ke
permukaan bersama dengan aliran lumpur dan cutting.
Gelembung udara bergerak menuju ke permukaan bersama dengan aliran
lumpur sehingga kecepatan gelembung bergerak ke atas merupakan
penjumlahan dari kecepatan slip gelembung terhadap aliran lumpur dan
kecepatan aliran lumpur. Kecepatan gelembung ini akan makin besar bila
ukuran gelembung makin besar. Jika pola aliran slug terbentuk, maka
kecepatan gelembung udara akan makin besar dan memberikan efek
piston terhadap lumpur di atasnya sehingga dapat membahayakan
keselamatan disamping terbatasnya kemampuan BOP dalam menahan
tekanan dari dasar sumur.
Cutting bergerak ke bawah dengan kecepatan terminalnya melawan arus
pergerakan gelembung udara dan aliran lumpur. Kecepatan aliran lumpur
aerasi harus lebih besar dari kecepatan slip dan terminal cutting.

6.8.5.2. Lumpur Aerasi dalam Keadaan Tidak Bersirkulasi

a. Di dalam drillstring
Lumpur tidak bersirkulasi ketika pemboran sedang melakukan penyambu-
ngan atau pelepasan drillstring (proses tripping). Gelembung udara yang
berdensitas ringan cenderung bergerak ke atas dan menimbulkan
pergerakan permukaan lumpur ke bawah sementara gelembung udara
terus keluar dari lumpur.
Keluarnya gelembung udara dari lumpur tidak diinginkan, karena
menyebabkan densitas lumpur di bagian bawah makin berat dan tekanan

246 Lumpur Pemboran


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

udara yang besar dari gelembung yang keluar dapat membahayakan


proses tripping tersebut.
Hal-hal yang harus diperhatikan untuk mengurangi bahaya adalah dengan
memompakan lumpur biasa saja (tanpa injeksi udara) hingga minimal
mencapai satu joint atau mencapai check valve. Tujuan pemasukan
lumpur biasa adalah untuk memberikan tekanan terhadap lumpur
sehingga gelembung akan bergerak lambat ketika menuju permukaan.
b. Dianulus
Berhentinya sirkulasi lumpur aerasi dapat menyebabkan cutting turun ke
dasar sumur. Kecepatan cutting untuk turun (kecepatan terminal)
diperkecil karena sifat gel strength dari lumpur dan gerakan gelembung
udara ke permukaan yang menabrak cutting.

6.8.5.3. Pengaruh Tekanan Permukaan terhadap Distribusi Gelembung


Distribusi gelembung dan pola aliran dalam drillstring berbeda daripada di
anulus seperti ditunjukkan dalam Gambar 6.15.
Perbedaan distribusi gelembung dan pola aliran tersebut disebabkan:
 Perbedaan arah aliran di dalam drillstring dan anulus
 Perbedaan tekanan di permukaan, dimana tekanan di dalam drillstring
dipengaruhi tekanan lumpur sedangkan tekanan di permukaan anulus
(blooie line) dipengaruhi tekanan udara.
 Adanya cutting dalam aliran lumpur di anulus yang mempe-ngaruhi
densitas lumpur aerasi.

Gambar 6.15. Pengaruh Tekanan terhadap Distribusi Gelembung Udara


Perhitungan parameter-parameter di anulus tergantung pada hasil perhitu-
ngan parameter-parameter di dalam drillstring. Di dalam drillstring, perhitu-
ngan dilakukan dengan menggunakan metoda White15) untuk mengetahui
densitas lumpur aerasi di setiap kedalaman. Tekanan hidrostatis dalam
drillstring di setiap kedalaman, volume udara, dan temperatur dapat diketahui.
Perhitungan di anulus, menggunakan data-data dari dalam drillstring dan
dengan menggunakan hubungan PV/T = konstan, dapat diketahui densitas
lumpur aerasi dan pola aliran di anulus.

6.8.6. Pola Aliran Dua Fasa


Aliran lumpur aerasi ketika bersirkulasi terbagi menjadi dua bagian, yaitu di
dalam drillstring dan di dalam anulus. Pola aliran dua fasa terjadi di dalam
drillstring sedangkan di anulus akan terbentuk aliran tiga fasa, karena adanya
cutting yang ikut mengalir bersama lumpur aerasi.

Lumpur Pemboran 247


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Karena konsentrasi cutting dalam lumpur aerasi sangat kecil (kurang dari
4%) maka pola aliran dua fasa dapat juga berlaku di dalam anulus.
Ada empat pola aliran dua fasa, yaitu :
1. Pola aliran Bubble, dimana perbandingan gas dan cairan rendah dan
gradien tekanan alir mula-mula adalah tekanan statis ditambah hambatan
cairan. Besar hambatan tergantung pada kecepatan. Pada pola ini, densitas
lumpur sudah berkurang, namun sifat-sifat cairan masih mendominasi. Pola
aliran bubble adalah pola aliran yang diinginkan. Ciri-ciri pola aliran bubble
adalah distribusi gelembung merata untuk kedalaman yang sama, aliran
lumpur ketika keluar dari anulus tidak terputus-putus (kontinu), densitas
lumpur aerasi yang keluar lebih rendah dari yang masuk.
2. Pola aliran Slug, berlaku untuk kecepatan cairan kurang dari 79 ft/min dan
kecepatan gas lebih cepat sehingga gelembung bergabung dan membentuk
pola aliran slug yang berukuran mendekati diameter pipa. Kecepatan cairan
tidak konstan, kerena slug selalu bergerak ke atas; pada kecepatan tinggi
cairan ikut bergerak ke atas, tetapi pada kecepatan rendah, cairan bergerak
ke bawah. Ciri pola aliran slug antara lain: distribusi gelembung pada pola
aliran ini tidak merata, aliran lumpur yang keluar dari anulus terputus-putus
dan menyebar. Karena terjadi pemisahan antara udara dan lumpur pada
pola aliran ini, maka densitas lumpur yang keluar dari anulus lebih besar
diban-dingkan jika pola aliran lumpur adalah bubble.
3. Pola aliran Transisi Slug-Anular, ketika kecepatan alir udara makin cepat,
maka pola aliran slug akan pecah dan membentuk pola aliran transisi slug-
anular. Pada pola aliran slug dan transisi slug-anular, hambatan dinding pipa
diabaikan. Volume udara yang terkandung dalam slug atau transisi slug-
anular jauh lebih besar dari pada volume udara pada gelembung, hal ini
akan mempertinggi kecepatan gelembung untuk bergerak ke atas sehingga
terjadi perbedaan densitas lumpur aerasi pada bagian slug atau transisi
slug-anular dan bagian bawah slug. Pada pipa vertikal, makin dalam
terbentuknya pola aliran slug atau transisi slug-anular, maka kecepatan slip
makin tinggi, dan mendorong lumpur di atasnya sehingga tekanan lumpur di
permukaan akan lebih tinggi. Hal ini dapat membahayakan operasi
pemboran.
4. Pola aliran Mist, jika aliran cairan masih kurang dari 79 ft/min, tetapi
kecepatan aliran udara lebih dari 2953 ft/min, maka pola aliran slug akan
berubah menjadi pola aliran mist. Pada pola aliran ini, fasa gas akan
menjadi fasa kontinu dan cairan akan berbentuk butiran halus (droplet) dan
menempel di dinding membentuk film, pada pola aliran ini hambatan dinding
merupakan faktor terbesar penyebab kehilangan tekanan.
5. Kecepatan gelembung berukuran kecil untuk bergerak ke atas lebih kecil
daripada gelembung yang berukuran lebih besar. Berdasarkan persamaan
Stoke15) di bawah ini dapat diketahui hubungan diameter gelembung
(dianggap berbentuk bola) dan kecepatan slip gelembung terhadap cairan
dalam keadaan statis (tidak bersirkulasi).

138 x( a  m) xdb 2


Vslip  ........................................................................(6-32)
m
dimana :
vslip = kecepatan slip (ft/s)
a = densitas udara (ppg)

248 Lumpur Pemboran


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

m = densitas lumpur (ppg)


db = diameter gelembung (ft)
m = viskositas lumpur (cp)

Harga vslip akan negatif yang menunjukkan gelembung bergerak menuju ke


atas. Ketika bersirkulasi harus diperhitungkan juga kecepatan aliran lumpur dan
pe-ngaruh dari putaran drillstring.

Gambar 6.16. Pola Aliran Dua Fasa dalam Pipa Vertikal

Untuk mengetahui pola aliran yang terjadi dalam pipa, dapat menggunakan
bilangan Froude sebagai berikut :
 
 
Qa  Qm
Fr   
 Aa  ............................................................................................(6-33)
 
 g c xd av 
dimana :
Fr = bilangan Froude (tak berdimensi)
Aa = luas anulus (sq ft)
gc = percepatan gravitasi = 32,174 ft/sec2 = 115826,4 ft/min2
dav = diameter rata-rata = (D1 + D2)/2 , ft

Perbandingan laju aliran udara di dalam lumpur aerasi diketahui dengan


persamaan :
Qa
Xa  ..............................................................................................(6-34)
Qa  Qm

Bilangan Froude dan fraksi udara kemudian diplotkan pada Gambar 6.17. di
bawah ini untuk mengetahui pola alirannya.

Lumpur Pemboran 249


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Gambar 6.17. Chart Froude Untuk Pola Aliran Dua Fasa dalam
Pipa Vertikal
6.8.7. Sifat-sifat Lumpur Aerasi
Pada dasarnya penginjeksian udara ke dalam lumpur tidak mengubah sifat-
sifat kimia dari lumpur, tetapi hanya sifat fisika. Setelah bersirkulasi, lumpur
aerasi kembali menjadi lumpur biasa. Sifat-sifat fisika yang perlu dibahas antara
lain : densitas, viskositas, dan gel strength.

6.8.7.1. Densitas
Densitas lumpur aerasi tergantung dari densitas lumpur awal, volume
lumpur, densitas udara, volume udara, tekanan, dan temperatur. Densitas
terendah dicapai ketika lumpur aerasi terbentuk pertama kali di permukaan,
ketika bersirkulasi ke bawah, densitas lumpur akan semakin besar. Hal ini
disebabkan distribusi gelembung yang tidak merata dalam lumpur aerasi.
Karena gelembung udara berdensitas lebih kecil dari densitas lumpur, maka
gelembung cenderung bergerak ke atas.
Berdasarkan persamaan White15) jika Qa, Qm, dan densitas lumpur awal
tetap, maka terdapat hubungan antara densitas lumpur aerasi terhadap
kedalaman, seperti ditunjukkan pada Gambar 6.18.

Gambar 6.18. Perubahan Densitas Lumpur Aerasi terhadap Kedalaman

250 Lumpur Pemboran


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Udara merupakan fluida kompresibel, sedangkan lumpur merupakan fluida


yang inkompresibel. Kompresibilitas berhubungan dengan perubahan tekanan
dan volume seperti yang ditunjukkan persamaan kompresibilitas di bawah
ini21) :
1 dV
cx   x ..........................................................................................(6-35)
V dP

Ketika lumpur aerasi bergerak ke bawah, tekanan sirkulasi lumpur aerasi


akan semakin besar, sehingga ukuran gelembung akan mengecil. Ukuran
gelembung yang mengecil dalam lumpur aerasi menyebabkan volume lumpur
akan bertambah besar dibandingkan volume udara yang semakin kecil,
sehingga densitas lumpur aerasi akan semakin besar bila tekanan dinaikkan.
Setelah melewati bit, lumpur aerasi mengalir melalui anulus dengan
densitas lumpur aerasi yang lebih besar karena adanya cutting dalam lumpur.
Penurunan tekanan sirkulasi lumpur aerasi ketika menuju permukaan
menyebabkan gelembung udara berekspansi memperbesar volume lumpur
aerasi sehingga densitas lumpur aerasi akan turun kembali dan setelah
melalui separator udara-lumpur dan peralatan pembersih cutting, densitas
lumpur akan kembali seperti semula (densitas lumpur biasa).

6.8.7.2. Viskositas
Viskositas lumpur aerasi didefinisikan sebagai ketahanan lumpur aerasi
terhadap aliran, dengan menggunakan satuan centipoise. Adanya gelembung
udara dalam lumpur mempengaruhi viskositas lumpur aerasi. Hal ini karena
gelembung udara akan memperkecil gesekan. Besarnya perubahan viskositas
ini tergantung pada fraksi udara dalam lumpur aerasi. Asumsi yang digunakan
adalah viskositas udara dan lumpur biasa bersifat konstan.
Karena fraksi udara aliran lumpur aerasi berbeda-beda tergantung ke
dalamannya, maka viskositas lumpur aerasi memiliki sifat yang sama dengan
sifat densitas lumpur aerasi, dimana semakin dalam letak satu bagian lumpur
aerasi, maka viskositas lumpur akan semakin mendekati viskositas lumpur
biasa, dan viskositas terkecil terjadi ketika lumpur aerasi berada di
permukaan.
f  X udara x udara  (1  X udara ) x lumpurbiasa .................................................(6-36)
dimana :
f = viskositas lumpur aerasi (cp)
Xudara = fraksi udara dalam lumpur aerasi
 udara = viskositas udara (cp)
 lumpur biasa = viskositas lumpur awal (cp)

Viskositas berpengaruh terhadap kecepatan slip lumpur untuk mengangkat


cutting ke permukaan, seperti yang ditunjukkan persamaan Stoke (1). Makin
besar viskositas maka kecepatan slip makin kecil sehingga cutting lebih
mudah terbawa aliran lumpur ke permukaan.
Karena viskositas lumpur aerasi makin kecil ketika mengalir ke
permukaan, dan berpengaruh terhadap kemampuan lumpur membawa
cutting, maka viskositas lumpur awal perlu menjadi perhatian dalam
pemboran aerasi ini.

Lumpur Pemboran 251


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

6.8.7.3. Gel Strength


Sifat gel strength lumpur adalah suatu kemampuan lumpur untuk tetap
menahan cutting ketika sirkulasi dihentikan. Kestabilan gelembung dan
kecepatan lumpur aerasi membentuk gel, tergantung pada gel strength
lumpur awal. Gel strength lumpur aerasi tidak mengalami perubahan berarti
dibandingkan gel strength lumpur awal, karena ketika berhenti sirkulasi dan
gelembung bergerak ke atas, maka komponen lumpur awal lebih
mendominasi sifat-sifat gel strength lumpur aerasi ini.
6.8.8. Kapasitas Pengangkatan Cutting
Kapasitas pengangkatan cutting tergantung dari laju alir fasa cair/lumpur.
Penurunan jumlah cairan dalam aliran lumpur akan meningkatkan kecepatan
slip cairan terhadap aliran udara. Karena cairan merupakan media pembawa
cutting, penurunan laju injeksi cairan akan berpengaruh pada kemampuan
pengangkatan cutting oleh lumpur aerasi.
Ketika bersirkulasi aliran lumpur di anulus berfungsi membawa cutting,
sehingga diperlukan perhitungan kecepatan minimum yang diperlukan untuk
membawa cutting ke permukaan. Kecepatan slip adalah kecepatan cutting
melawan aliran lumpur ke arah dasar sumur.
Perhitungan kecepatan slip dapat menggunakan persamaan Rittenger12)
dimana drag koefisien diasumsikan = 0,94 , yaitu :
Dc( c  f )
Vs  7.3x ............................................................................(6-37)
f
dimana :
Vs = kecepatan slip (ft/s)
Dc = ekivalen diameter cutting (ft)
 c = densitas cutting (pcf)
 f = densitas lumpur campuran (pcf).
Selain persamaan Rittenger di atas, kecepatan slip bisa dihitung
berdasarkan persamaan Stoke (1), dengan kondisi ekstrim dan
memperhitungkan pengaruh viskositas lumpur pemboran.
Ukuran maksimum cutting dapat diketahui dari laju penetrasi (ft/jam), dan
kecepatan putaran (RPM), sehingga 10):
ROPP
Dc  ..........................................................................................(6-38)
RPMx60

Kecepatan cutting tergantung pada laju penetrasi dan konsentrasi cutting


dalam lumpur, seperti yang ditunjukkan persamaan di bawah ini 10):
ROP
vt  ............................................................................................(6-39)
Ccx3600
dimana :
vt = laju untuk membawa cutting (ft/s)
ROP = laju penetrasi pemboran (ft/jam)
Cc = konsentrasi cutting (%)

Kecepatan lumpur di anulus merupakan kecepatan fluida 3 fasa dan dapat


dihitung denan menggunakan persamaan 10):

252 Lumpur Pemboran


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

M
vf  ..............................................................................................(6-40)
FxAa
Qm
Qa   Qc
7.48 ...................................................................................(6-41)
vf 
Aa
dimana :
vf = kecepatan lumpur (ft/s)
M = laju alir massa lumpur (lb/s)
Qa = laju volume udara (cfpm)
Qm = laju volume lumpur (gpm)
Qc = laju volume cutting (cfpm)
Aa = luas anulus (ft2).
Cutting akan terbawa ke permukaan, jika kecepatan lumpur di anulus lebih
besar dari kecepatan slip ditambah kecepatan cutting atau vf > vs + vt.
Kecepatan aliran lumpur di anulus ini harus pula didukung dengan viskositas
lumpur yang tinggi. Dengan meningkatnya viskositas lumpur maka efek
pembersihan lubang sumur dapat lebih baik. Menurut Williams18), rotasi
drillstring dapat memperbesar efek pembersihan cutting.
Kecepatan lumpur di anulus harus dibatasi agar tidak membentuk pola
aliran turbulen. Aliran turbulen di anulus dapat mengikis mud-cake pada
dinding sumur yang belum diberi casing. Pencegahan aliran turbulen dapat
diindikasikan dengan bilangan Reynolds dengan tidak lebih dari 2000. Batas
ini dijadikan pegangan untuk menentukan kecepatan maksimum aliran lumpur
di anulus yang disebut kecepatan kritik18).
8000 xf
Vca  .........................................................................(6-42)
fxx (dh 2  dp 2 )
dimana :
vca = kecepatan kritik (ft/s)
mf = viskositas lumpur (cp)
dh = diameter lubang (ft)
dp = diameter luar drillpipe (ft)

6.8.9. Volume Udara Injeksi


Penentuan volume udara yang harus diinjeksikan sangat penting dalam
keberhasilan pelaksanaan pemboran aerasi, dimana jika terlalu sedikit maka
densitas lumpur aerasi tidak serendah yang diharapkan, dan masalah hilang
sirkulasi tidak dapat dicegah. Jika volume udara terlalu banyak, maka densitas
dan viskositas lumpur aerasi akan terlalu rendah, disamping dapat
membahayakan peralatan permukaan, juga dapat merusak dinding sumur
karena aliran yang terjadi makin cepat.
Makin besar volume udara, maka lumpur aerasi akan kehilangan kapasitas
pengangkatan cutting, karena viskositas lumpur akan makin kecil dan
kecepatan slip cutting terhadap aliran lumpur makin besar.
Metoda yang digunakan untuk menentukan jumlah udara yang diinjeksikan,
antara lain :
1. Metoda Poettmann & Begman
2. Metoda White
3. Metoda PV = konstan

Lumpur Pemboran 253


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

4. Metoda PV/T = konstan

6.8.9.1. Metoda Poettmann & Begman


Penentuan jumlah udara yang diinjeksikan berdasarkan kedalaman sumur,
densitas lumpur sebelum dijadikan lumpur aerasi, dan selisih dari densitas
lumpur aerasi dan densitas lumpur biasa. Metoda ini menggunakan grafik
yang dibuat oleh Poettmann dan Begman, dan sudah umum digunakan dalam
pemboran aerasi. Menurut Rovig17), hasil perhitungan dari grafik Poetmann &
Begman ini harus dikurangi 10 - 15% ketika diterapkan di lapangan.
Kelemahan grafik ini adalah tidak ada grafik untuk kedalaman dibawah 3000
ft, sehingga tidak cocok diterapkan di lapangan Duri.
Cara menggunakan grafik Poettmann & Begman :
1. Tentukan kedalaman pemboran dalam satuan feet pada skala bagian
bawah
2. Tentukan densitas lumpur aerasi yang diinginkan (Wd)
3. Tentukan selisih densitas lumpur biasa dan densitas lumpur aerasi (Wa -
Wd)
4. Tentukan jumlah udara yang dibutuhkan kubik kaki perbarel lumpur pada
skala bagian atas.

Gambar 6.19. Grafik Poettmann & Begman


6.8.9.2. Metoda White
Tekanan dasar sumur atau tekanan di depan zona loss harus diturunkan
dengan menginjeksikan udara dalam jumlah tertentu. R.J. White15) telah
membuat suatu hubungan kedalaman (H, ft), densitas lumpur mula-mula (ri,
pcf), dan densitas lumpur di kedalaman tersebut (rf, pcf). Persamaan itu
adalah:
n
4.72 x10  4 x( i  f )  x log(4.72 x10  4.h.f  1) .................................(6-43)
100  n
n adalah fraksi udara dalam lumpur, dari fraksi ini dapat diketahui volume
udara yang harus diinjeksikan dalam volume lumpur tertentu.

254 Lumpur Pemboran


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

n Qm
Qa  x ...........................................................................................(6-44)
100  n 7.48
Dimana:
Qa = laju volume udara (cfpm)
Qm = laju volume lumpur (gpm)
Persamaan (6-43) digabungkan dengan persamaan (6-44) sehingga
persamaan White menjadi:
6.31x10 5.H .( i   pf )
Qa  xQm ..........................................................(6-45)
(2.30.lo( 4.72 x10  4.h.f  1)
Volume udara yang diinjeksikan akan menurunkan densitas lumpur, tetapi
jumlah yang diinjeksikan harus memperhatikan kemampuan aliran lumpur di
anulus untuk membawa cutting. Jika laju aliran lumpur lebih besar dari dari
kecepatan kritik akan membuat aliran turbulen dalam anulus, sementara jika
lebih kecil dari kecepatan slip dan kecepatan cutting, maka cutting tidak
terbawa ke permukaan dan mengendap di dasar sumur.

6.8.9.3. Metoda PV = konstan


Karena menggunakan gas (udara) untuk membentuk lumpur aerasi dan
gas adalah fluida kompresibel, maka hukum-hukum gas dapat digunakan
untuk menentukan jumlah udara yang diinjeksikan. Metoda ini dibahas oleh
Fatah14).
Hukum gas ideal :
PxV  ZxRxT .........................................................................................(6-46)
Dimana :
P = tekanan (psia)
V = volume (cuft)
Z = faktor kompresibilitas (untuk udara Z = 1)
R = konstanta gas = 10,732 psia.cuft/lb-mole.o
R T = temperatur (oR), yang diasumsikan berharga tetap
untuk sumur dangkal.

Persamaan diatas dapat ditulis menjadi :


PxV  Kons tan .......................................................................................(6-47)

Konstanta ditentukan dari harga tekanan dan volume udara di permukaan,


dan digunakan untuk memperhitungkan distribusi tekanan, volume, densitas
udara, dan densitas lumpur aerasi di setiap kedalaman sumur.
mxVm  axVa
f  ..............................................................................(6-48)
Vm  Va
dimana :
 f = densitas lumpur aerasi (pcf)
 m = densitas lumpur biasa (pcf)
Vm = volume lumpur biasa (cuft)
 a = densitas udara (pcf)
Va = volume udara (cuft).

Lumpur Pemboran 255


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Dari densitas lumpur aerasi ini, dapat ditentukan gradien perubahan


densitas, sehingga bisa diketahui tekanan hidrostatik pada kedalaman
tertentu, seperti ditunjukkan pada persamaan:
 f (i  1) 
Pf  i   Pf (i  1)     Di  Di  1  .................................................(6-49)
 144 
dimana :
Di = kedalaman i (feet).

Volume udara pada kedalaman i ditentukan berdasarkan sifat persamaan


(6-46) yang berharga konstan.
Psurf  Vsurf
Vai  ...................................................................................(6-50)
Pf (i )

Laju alir massa udara ditentukan berdasarkan persamaan berikut :


Wa ( surf )  a ( surf ) xQa( surf ) .................................................................(6-51)
dimana :
Wa(surf) = laju alir massa udara di permukaan (lb/min)
ra(surf) = densitas udara di permukaan (pcf)
Qa(surf) = laju alir volume udara di permukaan (scfm).

Laju alir ini bersifat konstan dan berlaku dalam penentuan densitas udara di
setiap kedalaman.
Kecepatan lumpur aerasi di anulus ditentukan berdasarkan persamaan
berikut.
 Qm 
   Qa
7.48  ......................................................................................(6-52)
Vta  
Aa
dimana :
vfa = kecepatan lumpur aerasi di anulus (ft/min)
Qm = laju alir lumpur biasa (gpm)
Qa = laju alir udara (cuft)
Aa = luas anulus (sqft).

6.8.9.4. Metoda PV/T = konstan


Metoda ini tidak jauh berbeda dengan metoda PV = konstan, hanya
terdapat perbedaan variabel temperatur yang dianggap tidak konstan untuk
setiap kedalaman.
Persamaan (6-46) dapat ditulis menjadi :
PxT
......................................................................................................(6-53)
T

Konstanta ditentukan dari harga tekanan, volume, dan temperatur udara di


permukaan, dan digunakan untuk memperhitungkan distribusi tekanan,
volume, temperatur, densitas udara, dan densitas lumpur aerasi di setiap
kedalaman sumur.

256 Lumpur Pemboran


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Dari densitas lumpur aerasi ini, dapat ditentukan gradien perubahan


densitas, sehingga bisa diketahui tekanan hidrostatik pada kedalaman
tertentu, seperti ditunjukkan pada persamaan (6-49).
Ketika sumur di bor makin dalam, maka terjadi perubahan tekanan dan
temperatur untuk setiap kedalaman. Pada metoda ini diasumsikan gradien
perubahan temperatur (GT) bersifat tetap dalam satuan oF/100 ft.
Ti  Ti  1GT xDi .....................................................................................(6-54)
PsurfxVsurfxTf (i )
Va (i )  ......................................................................(6-55)
P (i ) xTsurf

Kecepatan lumpur aerasi di anulus ditentukan berdasarkan persamaan (6-


52).
Metoda penentuan volume injeksi yang biasa dilakukan di dunia
internasional adalah metoda Poettmann & Begman, tetapi karena
keterbatasan metoda ini untuk Lapangan Duri (dengan kedalaman reservoir
kurang dari 3000 ft), maka metoda White digunakan untuk penentuan volume
udara injeksi yang dibutuhkan pada pemboran aerasi di Lapangan Duri ini.
Perbedaan volume udara injeksi yang dibutuhkan, berdasarkan keempat
metoda tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.2. Jumlah udara yang dibutuhkan
diperoleh dari data-data berikut :
Qm = 350 GPM ;
ri = 8,6 ppg = 64,3 pcf;
rf = 8,09 ppg = 60,5 pcf;
D = 8500 ft.

Tabel 6-2. Perbandingan Metoda Penentuan Volume Udara Injeksi

Menurut Rovig17), ketika melakukan pemboran aerasi, lebih baik


kekurangan jumlah udara daripada kelebihan udara yang diinjeksikan, untuk
menjaga agar tekanan hidrostatis tidak terlalu rendah sehingga terlalu banyak
fluida formasi yang masuk dan dinding sumur lebih mudah runtuh.
Berdasarkan hasil perhitungan di atas dan pendapat Rovig, maka metoda
White lebih baik digunakan daripada metoda PV = konstan atau PV/T =
konstan. Penerapan metoda White dapat dilakukan di Lapangan Duri dimana
formasi produktif terletak pada kedalaman kurang dari 1000 ft.
6.8.10. Metoda Pembuatan Lumpur Aerasi
Pembuatan lumpur aerasi terbagi menjadi 3 jenis berdasarkan cara
menginjeksikan udara kedalam lumpur, yaitu :
1. Penginjeksian melalui standpipeMetoda yang paling umum dilakukan pada
pemboran aerasi yaitu dengan menginjeksikan udara melalui standpipe.

Lumpur Pemboran 257


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Gambar 6.20. Penginjeksian Udara Melalui Standpipe

Faktor pembatas metoda ini adalah kemampuan memampatkan udara


pada peralatan permukaan dimana tekanan injeksi operasional terbatas
pada tekanan 1250 psi. Tekanan injeksi ini dapat mencapai kedalaman
sumur bor 8000 - 9000 ft. Dibawah tekanan operasional ini, tekanan injeksi
pada standpipe akan terlalu tinggi untuk diatasi tekanan udara dari
kompresor.
2. Penginjeksian melalui parasite stringParasite string adalah pipa tambahan
yang menempel pada casing intermediate dan berfungsi menginjeksikan
udara kedalam anulus diantara casing dan drillpipe.

Gambar 6-21. Penginjeksian Udara Melalui Parasite String

Penentuan kedalaman titik injeksi parasite string berdasarkan antisipasi


penurunan tekanan maksimum untuk mencegah terjadinya hilang sirkulasi.
Total penurunan tekanan adalah fungsi dari kedalaman tubing,
perbandingan udara dan lumpur, dan densitas lumpur.

258 Lumpur Pemboran


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

3. Penginjeksian melalui jet subsMetoda penginjeksian melalui jet subs


merupakan kombinasi dua cara penginjeksian di atas. Penginjeksian
dilakukan melalui beberapa jet sub pada drillstring. Penempatan jet sub
berdasarkan perbedaan densitas lumpur dan kedalaman sumur total dan
pada posisi drillstring masih berada di dalam casing intermediate.
Menempatkan jet sub ketika drillstring berada di anulus terbuka (tanpa
casing) akan menyebabkan wash out.

Gambar 6.22. Penginjeksian Udara Melalui Jet Subs


Untuk sumur yang dalam (10000 feet atau lebih) memerlukan dua atau
lebih subs, tergantung berapa tekanan dasar sumur yang diinginkan.

6.8.11. Peralatan Pemboran


Sebagai fluida pemboran, lumpur aerasi berbeda dengan lumpur biasa.
Peralatan-peralatan yang digunakan pada pemboran aerasi hampir sama
dengan peralatan pada pemboran konvensional. Penambahan peralatan
terutama pada proses penginjeksian udara dan penanganan lumpur aerasi
setelah bersirkulasi, seperti kompresor udara bertekanan tinggi, rotating head,
dan separator udara-lumpur.
Peralatan tambahan tersebut antara lain :
a. Kompresor UdaraVolume udara yang dikeluarkan kompresor dapat
diketahui dengan menggunakan persamaan Moss, S.A.16):
axCxP1
W  0.5303 x ........................................................................(6-56)
T1
dimana :
W = laju alir massa (lb/sec)
a = luas orifice (sq. in.)C = konstanta aliran
P1 = tekanan total upstream (lbs/sq. in.)
T1 = temperatur upstream (oR)

Lumpur Pemboran 259


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

untuk orifice berbentuk bulat C = 0,95 sedangkan jika berbentuk sudut


tajam (sharp edge) C = 0,65 . P1 = tekanan alat ukur (psig) + 14,7 psia.
Harga W dikonversi menjadi satuan cu. ft per menit dengan menggunakan
densitas udara kering pada kondisi standar (14,7 psi dan 70oF) = 0,07494
lbs/cu. ft. Sehingga keluaran dari kompresor adalah :
axCxP1
Qak  424.58 x .....................................................................(6-57)
T1
Volume udara yang dihasilkan kompresor berdasarkan batas keluaran
pada kondisi ideal di permukaan laut, sehingga volume udara yang keluar dari
kompresor perlu dikoreksi karena adanya efek dari temperatur, tekanan, dan
kelembaban udara.
Tekanan, temperatur dan kelembaban udara di lapangan tergantung pada
ketinggian tempat dari permukaan laut, dan iklim. Ketika menghitung volume
udara maksimum yang dihasilkan kompresor, tekanan, temperatur, dan
kelembaban udara ditentukan pada harga maksimum yang ada di lapangan.
Penentuan koreksi :
1. Koreksi tekanan, Pkor = (Pudara - 0,1) : 14,7 psia (6-48)
tekanan udara di lapangan dapat diketahui dengan menggunakan
barometer.
2. Koreksi temperatur,
Tkor = (460o + 60o) : (460o + Tudara, oF).........................................(6-58)
3. Koreksi kelembaban,
Kkor = (Pudara - Kudara x 0, 5068) / Pudara .(6-59)

sehingga laju volume maksimum yang bisa dihasilkan kompresor adalah :


Qak max  Qak  Pkor  TkorKkor ...........................................................(6-60)

b. Booster berfungsi sebagai penguat aliran udara yang dikeluarkan oleh


kompresor, sehingga tekanan udara yang terkompres mampu memasuki
aliran lumpur. Bila volume udara dari kompresor sebesar 650 scfm dan
tekanan 250 psi, maka booster dapat memperbesar tekanan menjadi 1000
psi dengan volume udara 650 scfm.
c. Pipa Saluran Udara dari kompresor disalurkan ke standpipe melalui
sebuah pipa yang berukuran cukup besar (biasanya 2") untuk mengurangi
masalah friksi. Pada pipa ini terdapat cek valve untuk mencegah aliran
balik udara dan lumpur ke kompresor. Pipa ini juga harus mempunyai
pressure gauge untuk mengetahui tekanan udara yang masuk, dan
mempunyai release valve untuk mengeluarkan udara yang termampatkan
ketika proses penyambungan pipa sedang dilakukan. Manifold juga harus
ada sehingga pompa lumpur dapat digunakan terus jika udara dari
kompresor tidak digunakan.

260 Lumpur Pemboran


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Gambar 6.23. Posisi Pipa Saluran Udara di Standpipe


d. Rotating Head dipasang di atas BOP. Berfungsi menyekat anulus dan
melindungi seluruh komponen yang berputar di drillstring kecuali bit dan
reamer yang berukuran besar. Lumpur keluar dari anulus, langsung
menuju separator udara-lumpur melalui blooie line.

Gambar 6.24. Rotating Head

e. Blooie LineBlooie line adalah pipa yang terletak di bawah rotating head
berfungsi menyalurkan lumpur aerasi yang keluar dari anulus menuju
separator udara-lumpur atau langsung menuju kolam lumpur jika lumpur
aerasi yang keluar tidak dibutuhkan lagi. Panjang blooie line harus cukup
jauh dari sumur, mencegah bahaya kebakaran yang disebabkan
kandungan hidrokarbon dalam lumpur.
f. Separator Udara-Lumpur berfungsi memisahkan udara dan lumpur dari
lumpur aerasi yang keluar dari anulus. Peralatan ini menggunakan prinsip
gaya sentrifugal yang memisahkan udara dan lumpur berdasarkan
perbedaan densitas. Setelah lumpur bebas dari udara, lumpur mengalir ke
shale shaker untuk memisahkan cutting, dan selanjutnya ke tangki lumpur.

Lumpur Pemboran 261


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Gambar 6.25. Separator Udara-Lumpur

g. Unit AerasiUnit aerasi adalah kendaraan yang mengangkut peralatan


tambahan seperti kompresor dan booster, sehingga peralatan ini dapat
dipindah-pindahkan dengan cepat.

Gambar 6.26. Skema Unit Aerasi

262 Lumpur Pemboran


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Gambar 6.27. Skema Pemboran Aerasi

6.8.12. Prosedur Pemboran


Prosedur pemboran dengan menggunakan lumpur aerasi berbeda sedikit
dari pemboran biasa. Perbedaan tersebut antara lain adanya sambungan pipa
udara pada stand pipe. Ketika proses tripping, aliran udara ke stand pipe
dihentikan dan lumpur dipompakan hingga mencapai string check valve yang
berada dibagian bawah sambungan pertama drillpipe dibawah kelly atau
untuk lebih aman, lumpur disirkulasikan hingga mencapai bit. Standpipe harus
mempunyai bleed valve yang dapat dibuka untuk memastikan tidak adanya
udara bertekanan tinggi yang tersekat dalam hose hingga kelly, kemudian
proses penyambungan atau pelepasan pipa dilakukan seperti biasa.

6.8.13. Operator
Keberhasilan pemboran aerasi ditentukan dari kerjasama tiga pihak yaitu
operator pemboran, operator unit aerasi, dan operator lumpur. Operator
pemboran bertindak melakukan pemboran, dan memerlukan bantuan dari
operator lumpur untuk kebutuhan sirkulasi lumpur seperti laju volume lumpur
(GPM) dan tekanan pompa lumpur. Operator pemboran juga membutuhkan
bantuan operator unit aerasi, ketika proses pelepasan dan penyambungan
pipa sedang dilakukan, dimana operator unit aerasi harus menghentikan
injeksi udara, dan ketika pemboran berlangsung, operator unit aerasi harus
mengatur jumlah udara injeksi yang dibutuhkan.
Operator unit aerasi memerlukan informasi tekanan lumpur dari operator
lumpur, selama pemboran berlangsung. Informasi tekanan lumpur ini penting
karena pengaturan jumlah udara yang perlu diinjeksikan bergantung pada
tekanan udara yang harus diberikan agar valve standpipe (check valve)
terbuka dan udara dapat masuk ke dalam lumpur. Ketika proses triping
hendak berlangsung, operator unit aerasi harus menghentikan aliran udara
injeksi.

Lumpur Pemboran 263


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

ra(surf) = densitas udara di permukaan (pcf)


Qa(surf)= laju alir volume udara di permukaan (scfm).
vfa = kecepatan lumpur aerasi di anulus (ft/min)
Qm = laju alir lumpur biasa (gpm)
Qa = laju alir udara (cuft)
W = laju alir massa (lb/sec)
a = luas orifice (sq. in.)
C = konstanta aliran
P1 = tekanan total upstream (lbs/sq. in.)
T1 = temperatur upstream (oR)

6.9.Lumpur Inhibitif

6.9.1. Pendahuluan
Untuk pengelompokan lumpur, pembagian garis antara lumpur freshwater
dan saltwater ditentukan oleh kadar garam. Jika konsentrasi garam sebesar
10.000 ppm atau kurang, maka lumpur tersebut disebut sistem freshwater,
sedangkan diatas 10.000 ppm sistem lumpur tersebut diformulasikan dan
dirawat sebagai salt mud (lumpur garam). Ada beberapa jenis salt mud, yaitu :
brackish-water mud dengan konsentrasi garam dari 10.000 sampai 20.000
ppm; seawater mud mengandung garam 20.000 sampai 40.000 ppm; cut-brine
mud dibuat dari oilfield brines dan berbagai konsentrasi garam dari 40.000 ppm
sampai mendekati batas saturasi (jenuh); saturated salt muds dengan kadar
garam maksimum 315.000 ppm. Lumpur pemboran yang mengandung garam
lebih dari 10.000 ppm biasanya diklasifikasikan secara salah sebagai
freshwater mud. Sebagai contoh, lime mud yang mengandung garam 40.000
ppm masih disebut sebagai lime mud, atau gyp mud yang mempunyai kadar
garam 50.000 ppm tetapi disebut gyp mud, bukan sebagai gyp-salt mud. Tetapi
pada kenyataannya, berdasarkan klasifikasi diatas lumpur tersebut adalah
merupakan salt mud.
Salt mud digunakan jika memperbaiki air yang mengadung konsentrasi
garam tinggi, jika aliran air garam menghambat penggunaan freshwater system,
jika menembus salt stringer atau formasi garam masif, dan untuk menghambat
hidrasi formasi yang sensitif terhadap air. Beberapa atau semua faktor diatas
terlibat dalam pemilihan salt mud yang dapat digunakan pada pemboran
ditempat tertentu.
Chapter ini akan membahas faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan
jenis-jenis salt mud, penggunaan salt mud secara efektif untuk pemboran pada
lingkungan tertentu, dan perawatan salt mud secara umum.

6.9.2. Seawater Mud


Penggunaan seawater mud semakin meningkat pada beberapa tahun
terakhir, disebabkan karena dapat diperolehnya organic polymer untuk
memperbaiki formulasi dan perawatan lumpur tersebut. Semula seawater mud
dipersiapkan dan dirawat dengan attapulgite dan asbestos untuk membangun
kekuatan struktur untuk mengangkat cutting dan starch untuk mengontrol fluid
loss. Lumpur ini mempunyai viskositas rendah, sukar mengangkat cutting, dan
laju penembusannya rendah. Sebagian besar seawater mud saat ini
menggunakan bahan polimer seperti xanthan gum dan polyanionic cellulose
atau prehydrated bentonite untuk membangun viskositas dan mengurangi fluid

264 Lumpur Pemboran


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

loss. Lumpur ini lebih efisien dibandingkan dengan lumpur attapulgite-asbestos-


starch yang pada awalnya digunakan karena komposisinya memberikan
stabilitas formasi yang lebih baik melalui proses pembungkusan polimer.
Potassium chloride sering ditambahkan dalam sistem lumpur ini untuk
menghambat hidrasi bentonit yang terkandung didalam formasi secara efektif.
Kunci sukses dari lumpur polymer seawater untuk menjaga kadar padatan tetap
minimum dengan menggunakan high-speed shaker dengan saringan halus,
desilter, dan desander.

6.9.3. Lumpur Prehydrated Bentonite-polyanionic Cellulose (CMC)


Lumpur prehydrated bentonite seawater relatif mudah perawatannya, dan
menghasilkan laju penembusan yang lebih tinggi dari sistem lumpur awal
attapulgite-starch. Cutting lebih mudah dipisahkan dengan peralatan pemisah
padatan karena viskositasnya lebih rendah. Lumpur seawater memerlukan
tangki tambahan untuk prehydrating bentonite yang dapat merugikan untuk
lokasi pemboran di lepas pantai karena lokasinya yang terbatas.

6.9.3.1 Formulasi Lapangan


1. Tentukan volume dengan air laut
2. Prehydrate bentonite sebagai berikut :
a. Test perbaikan air untuk total hardness (Ca ++ dan Mg++). Pada
umumnya hardness akan berasal dari magnesium. Treatment dengan
caustic soda untuk menekan kelarutan.
b. Tambahkan 20 sampai 30 lb/bbl bentonit untuk memperbaiki air;
campurkan semuanya, dan jika mungkin aduk slurry tersebut selama
16 jam.
c. Tambahkan 1 - 2 lb/bbl lignosulfonate, campur semuanya, dan pH
diatur sekitar 9,5.
3. Tambahkan prehydrated bentonite slurry untuk memperbaiki air dengan
menggunakan volume ratio dari 1 : 3 sampai 1 : 2 prehydrated slurry
sampai 2 : 3 sampai 1 : 2 air yang diperbaiki (Ratio tergantung pada
kualitas bentonit dan waktu hidrasi)
4. Tambahkan dari 0,25 - 0,5 lb/bbl polyanionic cellulose pada sistem untuk
mengurangi fluid loss dan untuk membungkus cutting dan formasi yang
terbuka.

6.9.3.2 Perawatan
1. Jika viskositas terlalu rendah, tambahkan prehydrated bentonite,
polyanionic cellulose, atau CMC.
2. Jika viskositas naik diatas range yang diinginkan, encerkan dengan air laut
dan tambahkan lignosulfonate
3. Menjaga kadar padatan tetap rendah (total low-density solids content,
lb/bbl bentonite-eqivalent content, MBT) dengan pemrosesan lumpur
melalui peralatan pemisahan padatan
4. Menjaga total hardness level (Ca++ dan Mg++) dibawah 200 ppm
5. Menaikkan densitas lumpur dengan barite jika diperlukan.

Lumpur Pemboran 265


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

6.9.3.3. Mengantisipasi Sifat-sifat Lumpur


Karena banyaknya variabel yang terlibat, maka sangat sukar untuk
menentukan sifat-sifat lumpur secara pasti. Jika formulasi dan prosedur
perawatan dilakukan secara memadai, maka dapat diperoleh range sifat-sifat
berikut :
 Yield point 6 - 10 lb/100sqft
 10-det gel strength 2 - 5 lb/100sqft
 10-mnt gel strength 5 - 6 lb/100sqft
 API fluid loss 15 - 30 ml
 pH 9,5
 API MBT (CEC) bentonite 10 - 15 lb/bbl

6.9.4. Lumpur Xanthan Gum Polymer


Lumpur xanthan gum polymer banyak digunakan pada operasi pemboran di
lepas pantai, karena dapat memberikan hidrolika yang baik yang dihasilkan dari
sifat viscoelastic dari gum tersebut. Dapat menghasilkan laju penembusan yang
cukup tinggi jika kadar padatan tetap terjaga rendah.

6.9.4.1 Formulasi Lapangan


1. Siapkan volume yang diinginkan dengan air laut
2. Tambahkan 1 lb/bbl xanthan gum melalui hopper
3. Setelah semuanya tercampur, harus mempunyai sifat-sifat dengan range :
Yield point 6 - 10 lb/100sqft
10-det gel strength 2 - 5 lb/100sqft
10-mnt gel strength 3 - 6 lb/100sqft
API fluid loss 20 - 30 ml
pH 7-9
4. Jika diperlukan, harga yield point dan gel strength dapat dinaikkan dengan
menambahkan xanthan gum dengan kenaikan 0,25 lb/bbl sampai
diperoleh harga yang diinginkan 5. Fluid loss xanthan gum dapat diperbaiki
dengan menambahkan bentonit kering dari 2 - 5 lb/bbl melalui hopper atau
dengan menambahkan prehydrated bentonite slurry
5. Mengatur pH antara 7 dan 9 dengan caustic soda
6. Menambahkan 0,25 sampai 0,50 lb/bbl paraformaldehyde untuk
menghambat fermentasi xanthan gum.

6.9.4.2 Perawatan
Tambahkan air laut kedalam sistem untuk menjaga volume, gunakan high-
speed shaker dengan ukuran saringan yang halus, desander, dan desilter
untuk membersihkan sistem lumpur dari padatan yang terikut.
Menjaga total hardness (Ca++ dan Mg++) kurang dari 100 ppm dengan soda
ash dan caustic soda
Jika sifat aliran tidak dapat dikontrol dengan pengenceran, flokulasi, atau
secara mekanis, tambahkan 2 sampai 4 lb/bbl lignosulfonate
Untuk menaikkan densitas, tambahkan barite

6.9.5. Lumpur Jenuh Garam (salt-saturated Mud)


Lumpur jenuh garam digunakan untuk membor formasi garam atau stringer,
shale inhibition, dan sebagai fluida workover. Lumpur ini disiapkan dengan
menambahkan garam kedalam air tawar atau air asin atau dari saturated brine

266 Lumpur Pemboran


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

yang diperoleh dari lokasi setempat. Tabel 6.3 menunjukkan banyaknya garam
dalam pound per barrel (lb/bbl) yang diperlukan untuk densitas sampai 9,97
lb/gal. Air tawar memerlukan 123 lb.bbl garam untuk mencapai saturasi, yang
setara dengan 311.300 ppm garam. Ada beberapa kerancuan dalam laporan
kadar garam terlarut dibandingkan dengan larutan jenuh. Pada konsentrasi
rendah - 10.000 ppm sebagai contoh, dengan 1 wt%, tetapi larutan jenuh garam
dilaporkan sebagai 311.300 ppm bukan 31,13 wt%, yang kenyataannya 31,13 Ã
1,1972 (sp gr) atau 26 wt%.
Ada banyak jenis lumpur jenuh garam yang digunakan secara rutin. Dalam
pembahasan ini hanya dibatasi untuk jenis sistem lumpur paling baru yang
ditekankan pada konsep low-solid. Lumpur lama, yaitu lumpur attapulgite-starch
saturated-salt telah digunakan lebih dari 50 tahun. Formulasi dan perawatannya
telah banyak ditulis dalam berbagai literatur tidak akan diulang disini.

Tabel 6.3 Data kelarutan garam

6.9.5.1. Formulasi Lapangan


1. Siapkan volume yang diinginkan dengan air yang dijenuhi garam atau
saturated brine
2. Prehydrate bentonite menggunakan prosedur seperti yang dijelaskan pada
bagian seawater
3. Tambahkan prehydrate bentonite slurry kedalam air jenuh garam,
campurkan semuanya, dan selanjutnya cek sifat-sifat fisiknya. Campuran
50 : 50 prehydrates bentonite dan air jenuh garam harus menghasilkan
sifat-sifat sebagai berikut :
Yield point 6 - 10 lb/100sqft
10-det gel strength 2 - 3 lb/100sqft
10-mnt gel strength 3 - 5 lb/100sqft
API fluid loss 40 - 50 ml
pH 8 - 10
4. Tambahkan dari 0,25 sampai 0,50 lb/bbl polyanionic cellulose untuk
menurunkan fluid loss dan sebagai pelindung koloid.

Lumpur Pemboran 267


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

6.9.5.2. Perawatan
1. Untuk menaikkan viskositas, tambahkan prehydrated bentonite
2. Tambahkan hanya dengan saturated brine kedalam sistem untuk menjaga
volume
3. Menjaga total hardness kurang dari 100 ppm dengan menggunakan
caustic soda dan soda ash
4. Gunakan selective flocculant, desander, dan desilter untuk menjaga kadar
padatan minimum
5. Menjaga fluid loss dalam range yang diinginkan dengan menambahkan
prehydrated bentonite dan polyanionic cellulose
6. Jika viskositas naik sampai diatas batas yang ditentukan akibat
terakumulasinya padatan, maka tambahkan lignosulfonate barite untuk
menaikkan densitas.

6.9.6. Xanthan Gum Dan Hydroxypropyl Guar


Xanthan gum dan campuran xanthan gum dengan hydroxypropyl guar
(HPG) gum digunakan untuk menyiapkan lumpur jenuh garam dimasukkan
sebagai salah satu jenis lumpur karena formulasi dan prosedur perawatannya
sama.

6.9.6.1. Formulasi Lapangan


1. Siapkan volume yang diinginkan dengan air laut
2. Tambahkan 1 lb/bbl xanthan gum atau dari 1 sampai 1,5 lb/bbl xanthan
gum HPG saturated salt water melalui hopper
3. Setelah semuanya tercampur, harus mempunyai sifat-sifat dengan range :
Yield point 6 - 10 lb/100sqft
10-det gel strength 2 - 4 lb/100sqft
10-mnt gel strength 3 - 6 lb/100sqft
API fluid loss 20 - 40 ml
pH 7 - 9 (diatur dengan caustic soda)
4. Untuk menaikkan viskositas dan mengurangi fluid loss, tambahkan
xanthan gum atau xanthan gum-HPG dengan kenaikan 25 lb/bbl sampai
diperoleh sifat-sifat yang diinginkan
5. Untuk menurunkan fluid loss yang diperoleh dari polimer, maka tambahkan
bentonit kering dari 2 - 5 lb/bbl untuk memberikan range ukuran partikel
koloid yang lebih besar.

6.9.6.2. Perawatan
1. Air jenuh garam digunakan untuk menjaga volume sistem lumpur
2. Karena kunci keefektifan kinerja lumpur ini adalah solids control, maka rig
harus dilengkapi dengan high-speed shale shaker, desander, dan desilter.
Tambahkan selective flocculant dalam flowline untuk mempermudah
pemisahan padatan yang terikut dalam lumpur
3. Jika viskositas yang dihasilkan dari akumulasi padatan tidak dapat dirawat
dalam range yang diinginkan dengan peralatan pemisah padatan dan
bahan kimia flokulan, maka tambahkan lignosulfonate antara 2 sampai 4
lb/bbl
4. Menjaga total hardness (Ca++ dan Mg++) kurang dari 100 ppm dengan
soda ash dan caustic soda

268 Lumpur Pemboran


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

5. Untuk menaikkan densitas, tambahkan barite.

6.9.7. Lumpur Potassium-base


Potassium chloride digunakan untuk mensuplai kation potassium, yang
menghasilkan cation exchange capacity paling efektif untuk mencegah swelling
(pengembangan) dan hidrasi clay. Potassium chloride digunakan dalam
konsentrasi yang bervariasi dari 3 wt% sampai 15 wt% (11 - 53 lb/bbl). Salah
satu keuntungan lumpur potassium adalah bahwa densitas rendah dapat dijaga
sementara clay swelling dapat dicegah. Konsentrasi potassium chloride
diselaraskan dengan tingkat pengembangan dan hidrasi clay. Dengan rumus
jempol, jika cutting yang keluar dari shaker screen adalah bulat-bulat, maka
konsentrasi potassium chloride harus dinaikkan. Jika cutting tersebut brittle,
maka konsentrasi potassium chloride harus diturunkan.
Ammonium sulfate dengan konsentrasi yang sama dengan potassium
chloride adalah efektif untuk mengurangi clay swelling. Ammonium sulfate
mudah didapat tetapi dapat menimbulkan problem yang serius karena dengan
penambahan sodium hydroxide akan melepaskan uap ammonia.
Pemilihan lumpur inhibitive salt berdasarkan pada tingkat pengembangan
clay. Dengan mempertimbangkan berbagai aspek tersebut, maka potassium
chloride adalah merupakan pilihan terbaik untuk mencegah clay swelling. API
MBT (CEC) test dapat digunakan untuk mengklasifikasikan tingkat
pengembangan clay. Harga MBT 6 - 10 menunjukkan ketidak-stabilan formasi
yang kecil, MBT dari 10 - 20 menunjukkan ketidak-stabilan menengah,
sedangkan MBT dari 20 - 40 menunjukkan ketidak-stabilan yang sangat
berbahaya.
Ada berbagai macam lumpur potassium di pasaran yang diproduksikan oleh
berbagai mud company. Semua sistem lumpur yang menggunakan potassium
chloride sebagai inhibiting salt dan polimer atau gum untuk membungkus
padatan. Gilsonite juga direkomendasikan sebagai komponen ketiga untuk
menyekat microfracture dalam formasi shale. Berikut adalah sistem lumpur
gabungan dari ketiga komponen tersebut.

6.9.7.1. Kebutuhan Sistem Lumpur


1. Polimer - dari 0,5 sampai 1,5 lb/bbl xanthan gum akan menghasilkan sifat-
sifat yang diperlukan untuk membersihkan lubang dan menahan cutting
pada saat lumpur diam.
2. Potassium chloride - jumlahnya bervariasi, tergantung dari hasil MBT
formasi shale.
3. Gilsonite - penggunaannya berdasarkan asumsi adanya microfracture
dalam formasi shale. Konsentrasi yang direkomendasikan adalah dari 2
sampai 4 lb/bbl.
4. FL-1 - adalah merupakan getah (gum) alami yang dihasilkan dari tepung
rami (flax meal), berfungsi sebagai encapsulating agent (senyawa
pembungkus). Jumlah yang diperlukan bervariasi dari 3 sampai 6 lb/bbl,
tergantung dari shale MBT. Konsentrasi tinggi (6 lb/bbl) digunakan untuk
MBT rendah (6 - 10), sedangkan konsentrasi rendah digunakan untuk
MBT yang tinggi (20 - 40).

Lumpur Pemboran 269


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

6.9.7.2. Menaikkan Densitas


Barite dapat digunakan untuk menaikkan densitas lumpur sesuai dengan
keperluan. Penambahan polyanionic cellulose, baik reguler (jika viskositas
terlalu rendah) maupun super low (jika viskositas naik), diperlukan untuk
memberikan filtration control dalam lumpur yang diperberat. Secara rumus
jempol, 0,25 - 1,0 lb/bbl akan menghasilkan API fluid loss dalam range 10 - 20
ml.

6.9.7.3. Perawatan
Penambahan harian bahan-bahan xanthan gum, KCl, FL-1, dan gilsonite
berdasarkan kedalaman lubang bor karena bahan-bahan tersebut mengisap
atau menempel pada cutting dan menutupi formasi. Oleh karena itu, penting
sekali adanya pemantauan kandungan ion potassium seperti metoda yang
distandarkan dalam API-RP-13.

6.9.7.4. Calcium-Treated Mud


Ada 2 kelompok dasar calcium-treated system, yaitu lime mud dan gyp
mud. Penamaan tersebut menunjukkan sumber dari ion kalsium yang terlarut.
Lumpur kalsium berguna pada daerah yang mengalami problem sloughing
dan aliran air garam yang ditandai dengan berat lumpur yang tinggi. Lumpur
kalsium tidak dapat mencapai harga viskositas dan gel strength yang
memadai ketika terkontaminasi dengan garam yang konsentrasinya sampai
50.000 ppm. Cutting kurang berpengaruh karena tidak mudah terdispersi
dalam lumpur kalsium seperti pada lumpur sodium-base.
Lime-treated mud semula adalah merupakan lumpur kalsium, dan telah
digunakan dalam sumur-sumur dalam di Gulf Coast. Lumpur lime dapat terjadi
ketika membor semen, yang ditandai adanya sejumlah lime yang dapat
menghambat kenaikan viskositas dan gel strength. Dengan menjaga pH 11,5
atau lebih besar sebelum membor semen, maka kelarutan ion kalsium dapat
ditekan, sehingga sifat-sifat lumpur tetap relatif baik. Aditif yang digunakan
pembuatan lumpur lime-treated adalah caustic soda, organic dispersant, lime
dan fluid loss control agent.
Ada tiga jenis lumpur lime yang dikembangkan selama 30 tahun terakhir,
yaitu low-lime/low-alkalinity mud, conventional atau medium-lime mud, and
high-lime/high-lime alkalinity mud. Ketiga jenis lumpur tersebut pada
prinsipnya sama, perbedaannya hanya pada kadar lime dan alkalinitasnya.
High-lime mud dan conventional-lime mud digunakan terutama pada daerah
yang mengalami problem aliran air garam dan terbentuknya lumpur dari
formasi. Sedangkan low-lime mud dikembangkan terutama untuk menghindari
problem gelasi pada temperatur tinggi yang berasosiasi dengan high-lime
mud.
Dari segi optimasi pemboran , ada beberapa kerugian dari penggunaan
lumpur lime, yaitu :
(1) bersifat shear thickening, yang dapat menghalangi optimasi hidrolika,
(2) mempunyai kecenderungan memadat pada temperatur tinggi diatas
250oF,
(3) menampung low-density solid pada konsentarsi yang tinggi, sehingga
dapat menurunkan laju penembusan.

270 Lumpur Pemboran


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Gyp-treated mud digunakan untuk pemboran di daerah yang dijumpai


formasi anhydrite dan gypsum. Aditif yang digunakan untuk pembuatan dan
perawatan gyp-mud adalah caustic soda, ferrochrome lignosulfonate dan fluid
loss reducer.

6.10. Deskripsi Material Clay


6.10.1. Deskripsi Material Clay
Clay (lempung) adalah batuan sedimen klasik artinya berasal dari
pelapukan batuan beku atau metamorf. Clay berbutir baik, dengan ukuran
butir lebih kecil dari l/256 mm menurut skala Wenworth, karena itu clay sukar
dideskripsi. Material clay hadir di dalam batuan sebagai campuran martiks
dan semen, bahkan kadang-kadang mendominasi batuan sebagai claystone
(batu lempung). Proses geologisnya menyangkut sedimentasi, sementasi,
kompaksi dan distribusinya di dalam batuan khususnya batuan reservoir
minyak.

6.10.1.1 Genesa Mineral Clay


Mineral clay berasal dari penghancuran, pelapukan batuan induk (batuan
beku dan metamorf), mengalami transportasi (oleh air dan angin) dan
diendapkan. Material hancuran tadi disebut "rock flour", dan biasanya terdiri
dari mineral-mineral: kuarsa, felspar, muskovit dan biotit. Adanya air
memungkinkan terjadinya reaksi kimia dan pertukaran katioan di dalam
material hancuran tadi dan ia juga diperkaya oleh Hydroxides Aluminium dan
Ferric Iron serta beberapa mineral tambahan (accessory) seperti gamping
magnesium dan alkali tergantung dari lingkungannya. Jadi mineral clay
berasal dari penghancuran mekanis yang kemudian diperkaya oleh proses
kimiawi dan material tersebut mengalami dekomposisi.

a). Sedimentasi
Ukuran butir clay yang kecil (fraksi halus) menyebabkan ia ditransport
tersuspensi dalam media air, sehingga membentuk koloid mengstabil yang
sangat tergantung dari muatan listrik partikel, sehingga diperlukan elektrolit
untuk menstabilkannya, tetapi bila konsentrasi elektrolit tidak berlebihan maka
koloid yang tadi akan diendapkan. Faktor lain yang berpengaruh terhadap
sedimentasi clay adalah reaksi kimia dan kuat lemahnya arus transport. Arus
yang terlalu kecil akan mengakibatkan terendapkannya koloid tadi sedangkan
untuk beberapa koloid misalnya koloid humus hanya stabil oleh adanya zat-
zat kimia.

b). Sementasi
Ukuran butir clay yang halus dan kemampuannya membentuk koloid
menyebabkan ia bertindak sebagai semen pada batuan sedimen. Proses ini
terjadi dimana koloid, fragmen batuan dalam air setelah ditrasport lalu
diendapkan dan diakumulasi pada suatu tempat dan terkompaksi sehingga air
terperas keluar. Pengaruh dan penyesuaian dengan lingkungan, membentuk
diri sebagai bahan perekat fragmen-fragmen batuan sedimen.

Lumpur Pemboran 271


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

c). Kompaksi
Proses kompaksi ini menyebabkan air terperas keluar, makin besar tekanan
overburder kompaksi akan semakin kuat sehingga porositas dari batuan yang
terbentuk akan makin berkurang demikian pula permeabilitasnya. Kecepatan
sedimentasi yang tinggi akan menyebabkan air terjebak didalam material clay
sehingga seolah-olah butiran-butirannya terapung di dalam air (air formasi).
Proses kompaksi juga mungkin akan menyebabkan perubahan mineralogi
clay. Dari proses kompaksi ini dapat diketahui terjadinya tekanan abnormal
pada formasi shale yaitu dengan melihat bahwa tekanan geostatik sebagian
besar didukung oleh air formasi (formasi shale), sedangkan air tersebut
sebagian terjebak di dalam material clay sehingga perhitungan tekanan
formasi berdasarkan tekanan hidrostatik akan lebih kecil dari tekanan yang
sebenarnya.

d). Distribusi Mineral Clay Dalam Batuan Reservoir


Kehadiran mineral clay akan memengaruhi sifat batuan seperti: porositas,
permeabilitas, saturasi dan dalam interpretasi electric logging. Distribusi
dalam batuan reservoir teutama dalam batu pasir (sandstone) dan tig
keadaan:
1. Continuous (laminasi), diman clay terdistribusi dal bentuk lapisan-lapisan
yang kontinu diantara lapisan pasir secara selang-seling. Lapisan clay
yang tidak terlalu tebal tidak mempengaruhi Porositas dan permebilitas
batuan.
2. Dispersed (menyebar), material clay menyebar tak beraturan diseluruh
badan batuan dan bentuk distribusi inilah yang paling mempengaruhi
porositas dan permeabilitas batuan.
3. Structural, Yaitu bentuk distribusi penyebaran teratur hampir mendekati
distribusi continuous.

Ketiga bentuk distribusi diatas ditunjukan oleh Gambar 6.28 dibawah ini.

Gambar 6.28. Distribusi material clay dalam batu pasir.


Tubuh batuan dengan distribusi continuous dan structural clay akan
mengalami tekanan overburden yang sama seperti pada lapisan clay
diatasnya dengan kadar air yang sama pula. Sedangkan tubuh batuan
dengan distribusi dispersed clay akan mengalami tekanan hidrostatik yang
lebih dominan dibandingkan disebabkan banyak air yang akan bereaksi
dengan material clay membentuk semacam koloid sehingga disebut juga
sebagai distribusi colloidal clay sand.

272 Lumpur Pemboran


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

6.10.1.2 Klasifikasi Material Clay


Material clay merupakan bongkahan yang terdiri dari beberapa material
dan zat pembentuk koloid. Ukuran clay yang lebih kecil dari 1/256 mm me-
ngakibatkan sulitnya dideskripsi. Untuk melakukan determinasi mineral clay
dipergunakan sinar X, tetapi ada beberapa mineral clay yang hanya dapat
diselidiki secara mendetail dengan menggunakan mikroskop elektron de-ngan
pembesaran sampai 5000 kali. Namun demikian karena sulitnya menyelidiki
karakteristik material clay menimbulkan perbedaan dalam melakukan
klasifikasi mineral clay tersebut. Berikut adalah salah satu cara klasifikasi
mineral clay yang dilakukan oleh R.E. Grimm (Tabel 6.3), klasifikasi yang
berdasarkan atas :
 Bentuk (morfologi) mineral clay
 Sistem lapisan unit silika dan Aluminium
 Sifat mengembang (swelling) dari mineral clay
 Mengenai morfologi mineral clay dapat dijelaskan sebagai berikut :

a. Morfologi Mineral Clay


Untuk dapat melihat morfologi mineral clay digunakan alat yang disebut
scanning electron microscop.
Berikut adalah morfologi beberapa mineral clay:
Mineral Allophone berbentuk bulatan dan seperti bulu halus pada
permukaannya, kadang-kadang berbentuk serpih atau fibrous. Dapat dilihat
pada Gambar 6.29.
Halloyite mempunyai bentuk memanjang dan seperti tabular (Gambar6.30),
tetapi ada juga yang berbentuk serabut dan kristal memanjang, merupakan
transisi dari Alophane ke Halloyite.

Tabel 6.4 Klasifikasi Mineral Clay Menurut RE. Grimm

Lumpur Pemboran 273


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Gambar 6.29 Electron Micrograph Minerla Allophone

Gambar 6.30. Electron Micrograph Mineral Haloysite

274 Lumpur Pemboran


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Gambar 6.31. Electron Micrograph Minerla Kaolinite

Gambar 6.32. Electron Micrograph Mineral Dickite

Lumpur Pemboran 275


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Gambar 6.33. Elektron Micrograph Mineral Attapulgite

Gambar 6.34. Electron Micrograph Mineral Nacrite

276 Lumpur Pemboran


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Gambar 6.35. Electron Micrograph Mineral Sauconite

Gambar 6.36. Electron Micrograph Mineral Illite

Lumpur Pemboran 277


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Gambar 6.37. Electron Micrograph Mineral Anaucite

Gambar 6.38. Electron Micrograph Mineral Montmorillonite

278 Lumpur Pemboran


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Gambar 6.39. Electron Micrograph Mineral Kaolinite

Kaolinite memiliki kristal dan sudut sisi yang baik (Gambar 6.31), namun ada
juga yang berbentuk kristal tidak sempurna dengan tepi yang bergigi.
Mineral dickite berbentuk hexagonal yang memanjang pada arah tertentu.
Morfologi mineral lainnya dapat dilihat pada Gambar berikutnya.

b. Struktur Kristal Mineral Clay.


Ada dua unit yang termasuk pada struktur atom pada kebanyakan mineral-
mineral clay. Unit yang pertama terdiri dari dua muatan tertutup oksigen atau
gugusan hidroksil dimana atom-atom Aluminium, besi atau magnesium
terkungkung pada sistem karbonat octrahedral, sedemikian rupa sehingga
atom-atom logam tersebut terletak pada jarak yang sama terhadap enam
atom oksigen atau gugus hidroksil; Hal tersebut dapat kita lihat pada Gambar
6.40 dibawah ini.

Gambar 6.40. Struktur Kristal Mineral Clay

Keseimbangan struktur ditentukan oleh penempatan posisi oleh atom logam.


Sebagai contoh gibsite dengan rumus molekul AL 2(OH)6 memungkinkan
pengisian 2/3 dari jumlah posisi agar struktur atomnya seimbang.
Ketebalan unit octahedral untuk meneral clay adalah 5.05 A (Angstrom)
denganjarak normal antara atom oksigen 2.6 A dan jarak antara gugus

Lumpur Pemboran 279


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

hidroksil umumnya 3.0 A,. Tetapi pada struktur ini jarak antara gugus hidroksil
adalah 2.94 A dan jarak atom yang dapat ditempati 0.61 A.
Unit yang kledua adalah silika tetrahedron, dimana atom silika terletak dipusat
struktur dengan jarak yang sama terhadap keempat atom oksigen atau gugus
hidroksil sehingga struktur ini seimbang. Group silika tetrahedral ini
membentuk jaringan hexsagonal serta membentuk mineral dengan komposisi
Si4O6(OH)4 seperti terlihat pada Gambar 6.41 dibawah ini.

Gambar 6.41 Group Silika Tetrahedral


Bila tidak mengalami invasi maka struktur tetrahedral dapat dilukiskan
sebagai bidang oksigen yang dilubangi dengan bidang dasr yang terdiri dari
atom silikon dengan tiap atom silikon terpadat pada tempat yang kosong di
antara sambungan tiga atom oksigen sehingga akan membentuk jaringan
hexagonal.
Sedangkan bidang gugus hidroksil terdapat di ujung tetrahedral dimana tiap
gugusan tepat berada diatas atom silikon. Ketebalan tiap unit ini untuk
mineral clay adalah 4.93 A. Sedangkan jaringan hexagonal itu dilukiskan
sendiri sebagai gabungan tiap untai atom oksigen yang saling berpotongan
dengan sudut 120o. Jarak antara atom oksigen adalah 2.55A, sedangkan
antara gugus hidroksil merupakan ruangan yang dapat dipakai antar susunan
dengan jarak kira-kira 0.55 A.
Selain memiliki struktur seperti diatas, ada beberapa mineral clay yang
memiliki gabungan dua struktur di atas. Mineral-mineral tersebut menyerupai
amphibole pada karakteristik srtukturnya dengan dasar unit strukturnya
adalah gabungan dari silica tetrahedral yang disusun dua rantai dengan
komposisinya Si4O11 seperti terlihat pada Gambar 6.42. Kedua rantai terikat
bersama dengan atom alumunium atau magnesium, sehingga tiap-tiap bentuk
itu dikelilngi oleh enam atom Oksigen yang aktif.

Gambar 6.42. Diagram double rantai silica tetrahedral.

280 Lumpur Pemboran


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Berikut ini uraian mengenai beberapa mineral clay.


(1). Mineral Allophane. Struktur mineral allophane amorp seperti gelas, sehingga
sulit untuk mengetahui kehadiran dan jumlah kandungannya di dalam materail
clay. Pada deskripsi komposisi material clay, bila tidak 100 % kristalin, maka
sisanya dianggap mineral allophane. Struktur kristalnya terdiri dari silica pada
struktur tetrahedral dan metalic ion pada struktur octahedral, misalnya pada
phosphate tetrahedron.
(2). Mineral Kaolinite. Strukturnya merpakan gabungan dari satu sheat silica
tetrahedral dan satu sheet alumina octahedral dalam satu unit sehingga ujung
dari sheet tetrahedral dan octahedral membentuk struktur seperti yang terlihat
pada Gambar 6.43.

Gambar 6.43. Diagram Struktur Mineral Kaolinite

Formula dari struktur ini adalah Al 2S12O5(OH)4 dan dari perhitungan teoritis
struktur ini memiliki komposisi 43.54 % SiO 2, 39,50 % Al2O3 dan 26,96 % H2O.
Sedangkan ketebal;annya adalah kira-kira 7 Angstrom.Dikarenakan adanya
superposisi dari atom-atom oxigen dengan gugus hidroksil pada batas unit, maka
masing- masing unit akan saling berikatan, sedangkan atom hidrogen berada
diantara laipsan-lapisan, dengan ini mineral tersebut tidak cepat larut dalam
air.Anggota dari group kaolinite ini antara lain adalah dickite dan nacrite. Keduanya
memiliki bentuk dan struktur kristak yang mirip dengan struktur kristal yang
diterangkan di atas. Perbedaannya terletak pada posisi dan aturan unit silicate.
Kedua mineral tersebut di atas (dickite dan nacrite) jarang atau sukar sekali
ditemukan didalam material clay. Electron micrograph mineral kaolinite (Gambar 4)
menunjukan unit-unit pelapisan yang agak memanjang dan berbentuk baik. Sering
pula ditemukan sisi-sisi yang agak melengkung. Dimensi memanjang tadi besarnya
kira-kira 0,35 micron dengan tebal 0,5-2 micron.
(3). Mineral Halloysite. Struktur dari mineral ini menyerupai kaolinite, hanya
perbedaannya pada mineral halloysite terdapat kelebihan air. Kelebihan ini
disebabkan ikatan pada tiap-tiap lapisan mineral halloysite lebih lemah
dibandingkan ikatan pada kaolinite. Dengan demikian struktur dari mineral
halloysite terbentuk dari urutan-urutan lapisan yang disisipi lapisan air. Diagram
strukturnya dapat kita lihat pada Gambar 6.44.

Lumpur Pemboran 281


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Gambar 6.44. Diagram Struktur Mineral Halloysite

(4). Mineral Montmorillonite. Konsep mengenai struktur montmorillonite dikemukakan


oleh Maacgdefrau dan Hormann (1937), Marshal (1935) dan Hendricks (1942)
yang menyatakan bahwa struktur kristal montmorillonite terdiri dari dua unit silica
tetrahedral sheet dengan pusatnya adalah alumina octahedral sheet, dimana
semua ujung dari unit tetrahedral menuji ke pusat unit sehingga masing-masing
bertemu dengan satu gugusan hidroksil dari unit octahedral, dengan demikian
tetrahedral bergabung dengan octahedral dan membentuk satu lapisan. Diagram
struktur kristalnya dapat kita lihat pada Gambar 3.45.Analisa mineralogi
memberikan hasil bahwa montmorillonite terdiri dari : 66,7% SiO 2, 28,3 % Al2O3,
dan 5% H2O. Pergantian kation terjadi di antara bidang pelapisan silica yang
mengalami hidrasi denga sempurna. Di dalam air montmorillonite akan menyebar
rata dalam bentuk partikel-partikel yang sangat kecil terutama bila ion natrium
yang diganti. Ketebalan dari bidang pelapisan air diatara unit-unit silica juga
tergantung dari sifat-sifat kation yang diganti pada harga tekanan uap air tertentu.
(5). Mineral Illite. Struktur dasar dari mineral ini dari satu unit bidang pelapisan
berupa octahedral sheet sebagai pusat serta dua unit silica tetrahedral menuju ke
pusat unit dan bergabung dengan octahedral sheet pada suatu bidang pelapisan
dimana terjadi pergantian hidroksil dengan oksigen. Secara keseluruhan sifat-
sifat kristalnya mirip dengan struktur kristal mica, diagram dapat kita lihat pada
Gambar 6.45.

Gambar 6.45. Diagram Struktur mineral montmorillonite

282 Lumpur Pemboran


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Gambar 6.46. Diagram Gambar Struktur Mineral Illite

(6). Mineral Chlorite.Mineral ini tidak kompak dan memiliki butiran-butiran yang
halus, akibatnya bentuk kristalnya sukar diamati. Kebanyakan mineral clay
chlorite memiliki struktur kristal trioctahedral,tetapi ada juga yang mempunyai
struktur dioctahedral. Secara keseluruhan mirip struktur kristal (trioctahedral)
mica dengan komposisi umumnya (OH)4(SiAl)8(MgFe) 6020, dan untuk yang
berstruktur mirip brucite mempunyai komposisi umum (MgAl)6(OH)12. Diagram
struktur mineral chlorite tersebut dapat dilihat pada Gambar 6.47.
(7). Mineral Velmiculite.Mineral ini mempunyai struktur yang dibentuk oleh selang-
seling lapisan air dengan struktur mica dengan jarak 4.98A. (tebal dua molekul
air), dimana struktur mika tadi berupa lapisan-lapisan trioctahedral. Mineral
vermiculite dengan komposisi (OH)4 (MgAl)x(Si5-xALx) (Mg.Fe)6020.yH2O
dengan x=1 sampai 1.4 dan y=8, mempunyai kapasitas pergantian kation yang
cukup besar. Diagram dari struktur kristalnya dapat dilihat pada Gambar 6.48.

Gambar 6.47. Diagram Struktur Mineral Chlorite

Lumpur Pemboran 283


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Gambar 6.48. Diagram Struktur Mineral Vermiculite


(8). Mineral Clay Lainnya.Mineral clay lainnya adalah mineral attapulgite,
palygorskite, sepiolite dan beberapa mineral lainnya yang tercampur dalam satu
mineral clay secara biasa (diskrite) yang tidak menunjukan orientasi tertentu serta
tercampur secara interstratitifikasi membentuk perlapisan yang uniform, tetapi
ada juga yang tidak uniform dimana satu lapisan terdiri dari berbagai jenis
mineral clay.Struktur mineral attapulgite pertamakali dipelajari oleh De Lapparent
(1938) dan dilanjutkan oleh Bradley (1940) yang menyatakan bahwa attapulgite
terdiri dari double rantai silica yang terikat bersama atom oksigen membentuk
struktur octahedral yang mirip dengan mineral clay lainnya. Diagram strukturnya
dapat kita lihat pada Gambar 6.49.

Gambar 6.49. Diagram Struktur Mineral Attapulgite

Mineral sepiolite mempunyai struktur kristal yang memiliki sifat-sifat umum


yang sama dengan struktur attapulgite. Perbedaannya terutama pada jumlah
pergantian atom-atom magnesium atau silica yang lebih kecil, tetapi

284 Lumpur Pemboran


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

mempunyai ukuran bentuk bijih yang lebih besar dari pada attapulgite. Hal ini
berlaku pula untuk mineral palygorskite. Hal ini berlaku pula untuk mineral
palygorskite yang tercampur dengan mineral-mineral clay lainnya.

c. Jenis-jenis Mineral Clay dan Komposisinya


Telah diuraikan bahwa mineral clay pada umumnya terdiri dari pelapisan-
pelapisan yang dibentuk oleh unit-unit silica dan alumina. Tiap-tiap susunan
unit tersebut akan specific untuk jenis mineral clay tertentu. Selain itu mineral
clay juga mengandung magnesium, besi, alkali dalam jumlah yang cukup
besar, serta beberapa unsur tambahan yang berupa mineral non-clay seperti
kwarsa, calcite, felspar, pyrite dan beberapa bahan organik. Susunan unit
untuk tiap jenis mineral clay ini dapat kita lihat pada Gambar 6.50. Jenis-jenis
mineral clay yang berbeda serta komposisinya ini dimasukan ke dalam group
seperti yang dapat kita lihat pada Tabel 6.4.

Gambar 6.50. Susunan Unit Silica Alumina Untuk Beberapa


Jenis Mineral Clay.

Lumpur Pemboran 285


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Tabel 6.5 Jenis-jenis Mineral Clay dan Komposisinya

6.10.1.3 Sifat-sifat Kimia Mineral Clay


Sifat kimia mineral clay yang penting adalah kemampuan menyerap anion-
anion dan kation tertentu dan merubahnya ke lain anion dan kation dengan
pereaksi dengan suatu ion dalam air (ionic exchange). Reaksi pertukaran ini
berlangsung secara stoichiometric, dan terjadi di sekitar sisi luar dari unit
srtuktur silica-alumina clay. Reaksi pertukaran ini biasanya tidak
mempengaruhi struktur mineral clay yang tersebut.
Kapasitas penggantian ion dari mineral clay ini diukur dalam satuan
milliequivalent per-gram atau perseratus gram pada kondisi PH = 7.0 .
Dibawah ini akan dijelaskan mengenai pergantian kation dan anion (Cation
and anion exchange) dan kapasitasnya.

a). Cation Exchange (pergantian kation)


Mineral-mineral clay bukan satu-satunya jenis komponen material clay yang
tidak memiliki kapasitas pergantian kation, melainkan ada material organic
didalannya yang memiliki sifat tersebut meskipun sangat kecil sebagai akibat
dari terlepasnya ikatan atom disekeliling material tersebut. Kapasitas
pergantian ini bertambah dengan berkurangnya ukuran partikel, tetapi untuk
material-material n0n-clay yang memiliki ukuran partikel yang kecil kapasitas
pergantian kationnya tidak berarti, kecuali pada mineral zeolite yang sering
ditemukan dalam material-material clay mempunyai kapasitas pergantian
kation antara 100 - 300 milliequivalent/100 gram. Berikut Tabel 6 yang
meperlihatkan kapasitas pergantian kation beberapa mineral clay.

286 Lumpur Pemboran


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Berdasarkan atas kemampuan menggantikan, kation-kation dapat diurutkan


dalam suatu deret yang tergantung pada jenis mineral dan ion yang akan
digantikan. Deret kation berdasarkan makin bertambahnya kemampuan
menggantikan (replacing power) tersebut dapat dilihat dibawah ini.
Li+ < Na+ < H+ < K+ < NH4+ < Mg2+ < Ca2+ << Al3+
Jumlah dari pergantian kation ternyata tergantung kada konsentrasi ion dalam
larutan. Beberapa persamaan telah dikembangkan, tetapi yang paling
sederhana dan paling umum digunakan pertama kali dikemukan oleh Gapon,
yaitu :
Me n1 n1
Mo n1
K .................................................................................(6-61)
Ne n 2 n2
Mo n 2

Dimana M dan N adalah kation masing-masing bervalensi n1 dan n2,


subskrip "e" menunjukan kation yang dapat diganti (exchangeeable) dan "o"
untuk ion bukan di dalam larutan, K adalah konstanta yang tergantung pada
spesifik efek absorbsi kation. Untuk pergantian ion-ion monovalent sodium
dan divalent calcium persamaan menjadi:
Na e Nsa o
K .....................................................................................(6-62)
Ca e Ca o
Harga kapasitas pergantian kation pada range yang rendah biasanya dimiliki
oleh mineral-mineral authigenic, yakni mineral clay yang terbentuk dari proses
kimiawi. Sedangkan harga yang tinggi pada sutu range biasanya dimiliki oleh
mineral-mineral allogenic, yakni mineral yang berasal dari pecahan batuan
induk. Tetapi ini sulit ditentukan, sebab selain pada kedua sebab di atas,
kapasitas pergantian kation juga tergantung pada :
 Jenis dan kristallinitas mineral clay. Mineral clay yang berukuran kecil
biasanya memiliki kapasitas pergantian kation akan makin kecil bila
kristallinitas suatu mineral makin baik.
 PH pelarut.
Makin besar PH larutan, makin besar kapasitas pergantian kationnya.
 Jenis kation yang dipertukarkan.
 Kadar atau konsentrasi mineral clay.
Sedangkan laju reaksi pergantian kation tergantung pada jenis kation yang
dipertukarkan dan jenis serta kadar mineral clay (konsentrasi kation).
Adapun hal yang menyebabkan mineral clay memiliki kapasitas pergantian
kation adalah :
Adanya ikatan yang putus disekeliling sisi unit silica – alummina, akan
menimbulkan mutanyang tidak seimbang sehingga agar seimbang kembali
harus bervalensi rendah terutama magnesium di dalam menyerap kation.
Adanya substitusi alumunium bervalensi 3 di dalam kristal untuk silicon
quadrivalent, serta ion-ion bervalensi rendah terutama magnesium didalam
struktur tetrahedral.
Pergantian hydrogen yang muncul dari gugusan hydroksil yang muncul oleh
kation-kation yang dapat ditukar-tukarkan (exchangeable). Namun untuk
faktor yang ketiga ini ada keraguan karena pada kondisi pertukaran ini
hidrogen tidak akan dapat diganti oleh kation secara normal.
Reaksi pergantian kation kadang-kadang bersamaan dengan swelling. Bila
permukaan clay kontak dengan air dan dengan menganggap bahwa satu plat

Lumpur Pemboran 287


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

clay terpisah dari matriknya, maka ion-ion yang bermuatan positif (kation)
akan meninggalkan plat clay tersebut. Karena molekul air adalah polar maka
molekul air akan ditarik balik oleh kation yang terlepas maupun oleh plat clay,
dan molekul air yang bermuatan positif akan ditarik oleh plat claynya sendiri,
sehingga keseluruhan clay akan mengembang.
Masalah lain dari pergantian kation ini adalah pengaruhnya terhadap
permeabilitas clay, sebagaimana dapat ditunjukan sebagai contoh pada
Gambar 24 dibawah ini. Jumlah kation yang diabsorbsi tergantung pada jenis
mineral clay, konsentrasi air, jenis kation dan konsentrasi relatif dari kation.
Namun menurut Marshal sebagian dari kation yang diabsorbsi mengalami
ionisasi.
b). Anion Exchange (pergantian anion)
Reaksi pergantian anion sangat sulit diselidiki dikarenakan adanya
kemungkinan mineral clay akan mengurai salama reaksi berlangsung. Kasus
ini ditemukan pada absorbsi phospate olek kaolinite, dimana terjadi
pengrusakan struktur kaolinite yang disebabkan bereaksinya ion phosphate
dengan alumina pada struktur kristalnya disamping pergantian gugusan
hidroksil dephosphate. Berikut adalah beberapa kemungkinan penyebab
terjadinya pergantian anioan.
1. Adanya rantai ikatan yang putusditepi partikel mineral clay. Rantai yang
putus tadi diperkirakan akanmenyediakan tempat (muatan) negatif
sebanyak tempat (muatan) positif sekeliling sisi mineral clay, sehingga
diharapkan kapasitas pergantian anion sama dengan kapasitas pergantian
kation.
2. Perpindahan ion hidroksil pada permukaan partikel mineral clay.
3. Geometri dari anion-anion dalam hubungannya dengan geometri struktur
mineral clay. Anion-anion seperti phosphate, arsenate, borate yang
mempunyai ukuran dan geomerti yang sama seperti pada silica dengan
struktur tetrahedral, mungkin terserap secara sempurna pada pinggir silica
tersebut.

Gambar 6.51 Pengaruh kation-kation yang dapat diganti terhadap


permeabelitas beberapa jenis clay yang berbeda.

Pada kenyataannya kapasitas pergantian anion tidak sama besar dengan


kapasitas pergantian kation. pada mineral kaolinite dimana pergantian kation

288 Lumpur Pemboran


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

disebabkan oleh putusnya ikatan, maka kapasitas pergantian anionnya.


Sedangkan pada smectite dan vermiculite dimana pergantian kation
disebabkan oleh substitusi, maka kapasitas pergantian anionnya jauh lebih
kecil dibandingkan kapasitas pergantian kationnya; Begitu juga halnya pada
mineral Illite, Chlorite, sepiolite dan palygorskite. Kapasitas pergantian anion
beberapa mineraldapat dilihat pada Tabel 6.6 di bawah ini :

Tabel 6.6. Kapasitas pergantian anion mineral clay.


(milliequivalent/100 gram)
Mineral (mec/100 gr)
Monmorillonite, Geisenhein 31
Monmorillonite, Wyoming 23
Beidellite, Unterrupsroth 21
Nontronite, Untergriesbach 20
Nontronite, Pfreindtal 12
Saponite 21
Vermiculite 4
Kaolinite 20

c). Sistem air-clay


Sifat menghidrate mineral clay memungkinkan mineral tersebut menarik ion-
ion melalui permukaannya, menyebabkan terserapnya air dalam beberapa
cara,yakni:
1). Bersifat mengikat untuk menahan partikel clay bersama atau membatasi
jarak sejauh masih dapat dipisahkan.
2). Menyerap kation dan menghidratenya, yaitu menyelimutinya dengan
molekul-molekul air yang mungkin akan mempengaruhi konfigurasi
molekul air yang diserap di dekatnya.
3). Ukuran dan geometri ion yang terserap akan mempengaruhi bagaimana
terbentuknya konfigurasi molekul air yang terserap serta sifat-sifatnya.

Suatu bentuk konfigurasi molekul-molekul air yang diserap oleh mineral


clay dikemukan oleh Hendricks dan Jefferson (1938) yang didasarkan pada
orientasi srtuktur dan konfigurasi molekul yang mengikat oksigen atau
gugusan hidroksil pada permukaan lapisan basalt dalam satuan cell mineral
clay. Konfigurasi molekul air tersebut dapat dilihat pada Gambar 6.52 dan
Gambar 6.53. Pada Gambar 6.52 ditunjukan bahwa lapisan air tersusun atas
molekul air yang berhubungan dengan jaringan struktur hexagonal. Struktur
ini sebagian adalah akibat dari distribusi muatan dari molekul air yang
berbentuk tetrahedral, dimana dua sudut dari struktur ini diisi oleh kelebihan
electron.

Lumpur Pemboran 289


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Gambar 6.52. Susunan Oksigen dan Hidrogen pada jaringan molekul air.

Tiap sisi dari jaringan hexagonal harus dihubungkan dengan ikatan dari
molekul air yang langsung menuju muatan negatif dari molekul disampingnya.

Gambar 6.53. Konfigurasi jaringan molekul air yang terikat pada permukaan
mineral clay.

Gambar 6.53 menunjukan bahwa pengikatan terjadi karena gaya tarik


antar atom-atom hidrogen yang tidak termasuk dalam jaringan ikatan molekul
air dan permukaan lapisan oksigen dari mineral clay. Disini dianggap bahwa
atom- atom oksigen terletak sebidang, dan konfigurasi ini relatif terbuka pada

290 Lumpur Pemboran


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

molekul-molekul air. Kemantapan dari bidang lapisan molekul air dapat dilihat
dari hubungan geometris dari atom-atom oksigen atau gugusan hidroksil
terhadap kerangka silica.
Air yang diserap oleh mineral clay tersebut akan bertahan pada temperatur
yang relatif rendah, karena dengan pemanasan pada temperatur 100 o sampai
150o air tersebut akan dilepaskan. Kondisi air yang terikat ini dibagi tiga
kategori, yaitu :
1). Air yang berada dipori-pori, dipermukaan dan disekeliling partikel-partikel
mineral clay.
2). Air yang berupa sisipan-sisipan diantara bidang pelapisan unit silicate yang
dapat menyebabkan pengembangannya (swelling) mineral clay tersebut.
Hal tersebut terjadi pada mineral montmorillonite, Vermiculite dan
halloysite.
3). Air terdapat dalam tabung-tabung terbuka diantara perpanjangan unit-unit
strukturnya, yang mana hal ini terjadi pada mineral sepolite dan
attapulgite. Energi untuk pemindahan air pada kategori 1sangat kecil dan
temperatur peneringannya sedikit diatas temperatur ruangan. Sedangkan
air pada kategori 2 dan 3 memerlukan energi tertentu untuk
memindahkannya yang sempurna.
Kecepatan pemindahan lapisan-lapisan air bertambah sebanding dengan
naiknya temperatur. Untuk halloysite reaksi tidak reversible, dan mineral yang
mengalami hidrasi biasanya tidak dapat mengembalikan sifat semulanya.
Vermiculite dan montmorillonite akan mengalami hidrasi kembali dengan
susah-payah, apabila proses dehidrasinya berlangsung dengan sempurna,
tetapi ini akan mudah apabila masih ada bekas-bekas air yng tinggal diantara
unit-unit pelapisan mineral tersebut.

6.10.1.4. Sifat-sifat Listrik Mineral Clay


Sifat mengabsorbsi kation-kation dan pertukarannya dari mineral clay,
menyebabkan ia memiliki sifat kelistrikan. Sifat tersebut dapat ditunjukan
dengan adanya membrane potensial yaitu perbedaan potensial antara
suspensi clay dengan larutan. Sifat lainnya dari mineral clay adalah sifat
konduktifnya.

a). Membrane Potensial


Membrane potensial timbil deangan adanya arus listrikyang disebabkan
oleh adanya gerakan ion bermuatan listrik positif (kation) dari konsentrasi
tinggi ke konsentrasi rendah. Hal ini dapt kita lihat bila mineral
clay ditempatkan pada larutan elektrolit NaCl. Mineral clay mengabsorbsi
Na+, sebaliknya mineral clay menolak ion Cl -. Bila mineral clay
dimisalkan larutan NaCl pada konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah,
dengan demikian akan timbul arus listrik. Dengan demikian maka
membrane potensial yang ada merupakan perbedaan potensial antara
suspensi clay yang mengabsorbsi kation Na+ dengan larutannya.
Pada formasi dilapangan, membrane potensial berupa lapisan shale
yang bertindak sebagai membrane pemisah ion-ion. Membrane ini
berfungsi untuk melewatkan kation yang bergerak dari air formasi dapat
lapisan pasir sebagai lingkungan konsentrasi tinggi ke fresh-water dalam
lumpur pemboran sebagai lingkungan konsentrasi rendah. Keadaan

Lumpur Pemboran 291


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

tersebut menyebabkan adanya perbedaan potensial, beda potensial


inilah yang dicatat atau dideteki pada spontaeous-potensial log (SP-log).

b. Sifat Konduktif Mineral Clay


Sifat konduktif mineral clay juga disebabkan oleh adanya penarikan
kation-kation serta mepertukarkannya oleh mineral clay tersebut.
Permukaan koloid mineral clay mempunyai muatan atau sifat negatif
sehingga ia menarik kation-kation membentuk lapisan atau membrane
difusi ion yang juga diffuse ion-layers. Interaksi diffuse ion-layers pada
partikel yang berdekatan memberikan petunjuk mengenai sifat-sifat
swelling, plasticity dan kandungan air dari clay.
Konduktifitas layer dipengaruhi oleh konsentrasi larutan, dimana
konduktivitas merupakan fungsi dari kation dan anion, atau z 1-z2, dimana
z1 adalah jumlah kation dan z 2 adalah jumlah anion. Selain itu juga
dipengaruhi oleh mobilitas anion.
Pada konsentrasi rendah, kenaikan akan menyebabkan penurunan yang
besar pada obilitas. Dengan demikian pada konsentrasi rendah, kation
lebih bersifat monil dan mudah menghantarkan arus listrik, berarti
konduktivitasnya menjadi tinggi.
Selain konsentrasi larutan, ternyata konsentrasi clay juga mempengaruhi
konduktivitas diffuse ion layers. Konsentrasi clay yang tinggi akan
memperbesar mobilitas pertukaran kation sehingga konduktivitas diffuse
ion layers akan meningkat pula.
Dari uraian di atas dapat dirangkumkan bahwa sifat konduktif mineral
clay dipengaruhi oleh konsentrasi larutan, jenis serta konsentrasi mineral
clay yang bersangkutan.

6.10.2. Terjadinya Swelling


Adanya fasa cair dari lumpur pemboran (mud-filtrate) serta mineral clay
yang bisa mengembang (exspandable), adalah merupakan faktor utama
penyebab terjadinya swelling clay. Masalah ini terjadi disebabkan oleh adanya
invasi mud filtrate yang kemudian dihidrasi oleh mineral clay yang terdistribusi
di dalam formasi.

6.10.2.1. Invasi Mud Filtrate


Invasi mud filtrate atau filtration rate, didefinisikan sebagai kecepatan
masuknya sebagian fasa cair ke dalam formasi sebagai akibat dari filtrasi
lumpur pemboran. Filtrasi tersebut terutama disebabkan oleh terlalu
besarnya tekanan kolom hidrostatik lumpur dibandingkan dengan tekanan
formasi. Rate dari filtrasi atau water loss tergantung pada lumpur yang
digunakan, temperatur serta besarnya tekanan differensial.
Selama pemboran berlangsung, lumpur pemboran dapat bersentuhan
langsung dengan dinding lubang sumur yang berlangsung selama beberapa
hari bahkan lebih lama lagi, dan selama itu mud filtrate dapat terinvasikan ke
dalam formasi. Invasi mud filtrate tersebut dapat menimbulkan beberapa
masalah yang tidak diinginkan dalam teknik pemboran dan produksi, dalam
hal ini terutama terjadinya pengembangan clay (clay Swelling).

292 Lumpur Pemboran


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Invasi mud filtrate ke dalam formasi produktif berlangsung dengan aliran


radial. Invasi tersebut melalui suatu lapisan yang disebut mud-cake. Mud
cake ini mempunyai permeabilitas dan berfungsi sebagai filter untuk
mengurangi invasi yang terjadi (dengan permeabilitas yang kecil) serta
untuk mencegah terjadinya keguguran formasi.
Rate dari filtration loss tergantung dari komposisi lumpur pemboran yang
digunakan, temperatur, dan tekanan differensial. Pengukuran filtration loss
di laboratorium dilakukan dengan menggunakan standard filter pressure,
dimana lumpur ditempatkan pada sebuah silinder yang pada dasarnya
dipasang kertas filter, sedangkan diatasnya dikenakan tekanan udara atau
gas. Hasil dari percobaan ini adalah dapat dilaporkan volume filtrate dan
tebal mud cake yanmg terbentuk. API filtration rate (statik) adalah cc
filtrate/30 menit pada tekanan differensial 100 psig. Sedangkan mud cake
diukur tebalnya dalam satuan per tigapuluh dua inchi. Pengukuran tersebut
mempunyai sifat kondisi yang statik yaitu bila pemboran berhenti, yang
sudah tentu akan berbeda bila dalam kondisi dinamik yaitu bila terjadi
sirkulasi dan penghancuran mud cake atau filter cake yang terbentuk oleh
bit.

a. Filtrasi Statik
Fluida loss melalui filter cake dapat dirumuskan sebagai berikut :
2 LP 1b t
V ..................................................................................(6-63)
 b ro W
V  Konst . ....................................................................................(6-64)
t

Persamaan di atas menyatakan bahwa volume filtrate sebanding dengan


akar pangkat dua dari waktu filtrasinya.
Diamna :
L = konsentrasi yang sebanding dengan filtration area
P = Tekanan pendorong (driving pressure)
= viskositas liquid filtrate
ro = konstanta yang dipengaruhi oleh tahanan pengaliran
filtrate per-unit berat solid dalam filter cake
b = Konstanta kompressible
t = waktu filtrasi
w = berat dari bahan padat per-unit volume dari filtrasi yang dihasilkan
V = volume dari filtrate yang dihasilkan

Dari prakteknya ternyata untuk filtrasi statik berlaku hubungan :


t2
V2  V1
t1
dimana :
V1, V2 = filtration loss pada waktu
t1 dan t2 (cc).t1, t2 = waktu filtration test, menit.

Rumus diatas berlaku bila spurt atau semprotanf filtrate sebelum terbentuk
mud cake tidak diperhitungkan, dan temperatur kedua test sama. Bila
temperatur kedus test tidak sama, maka perlu koreksi sebagai berikut :

Lumpur Pemboran 293


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

1
V2  V1
2
dimana :
 2 , 1 = viscositas cairan pada temperatur T1 dan T2.

Hubungan antara volume filtrate dengan waktu filtrasinya dapat dilihat pada
Gambar 6.55, sedangkan Gambar 6.54 menunjukkan hubungan antara fluid
loss dengan tekanan filtrasinya.
Pada filtrasi statik dimana filtrasi berlangsung sewaktu tidak ada sirkulasi
lumpur pemboran dan rotasi drill string, mud cake terbentuk secara
sempurna sehingga invasi mud filtrate-nya kecil, dengan perkataan lain
volume filtratenya kecil, dengan perkataan lain volume filtratenya akan lebih
kecil dibandingkan volume filtrate dinamik. Faktor-faktor yang
mempengaruhi filtrasi statik lain adalah
 Jenis lumpur pemboran yang digunakan
 Tekanan Filtrasi
 Viscositas dan Temperatur

Gambar 6.54. Pengaruh tekanan Pada Filtration Loss.

294 Lumpur Pemboran


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Gambar 6.55. Hubungan volume Filtrat dengan Waktu Filtrasi (metoda standar
API water loss).

b. Filtrasi Dinamik
Filtrasi dinamik adalah filtrasi yang berlangsung sewaktu adanya sirkulasi
lumpur dan rotasi drill string. Filtrasi dinamik merupakan hasil yang paling
besar, yang mana akan tercapai sewaktu adanya aktivitas pemboran. Pada
saat itu terjadi penggabungan filtrasi dinamik dan filtrasi di bawah bit.
Suatu persamaan mengenai filtrasi dinamik sehubungan dengan lossfluida
setelah mud cake mencapai ketebalan tertentu (keseimbangan ketebalan)
telah diturunkan oleh Outman's sebagai berikut :

dimana :
V = Rate aliran fluida
kf = permeabilitas filter cake (diukur dari statik filtration loss).
 b = viskositas filtrate cairan)
f = koefisien internal friction antara partikel padat dengan filter
cake, empiris.
d = ketebalan lapisan permukaan filter cake setelah tercapai
keseimbangan dengan erosi yang dideritanya, empiris.
-v+1 = Compaction coeficient, angka yang menunjukkan kesen
sitifan tekanan pada kompresibilitas filter cake (antara
0.10 - 0.15)
F = shear force; Harga ini dapat diperoleh dengan rumus :

Dimana :
D = diameter saluran
Y = Yield point, lb/100 ft2

Lumpur Pemboran 295


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

v = Kecepatan fluida mengalir, ft/sec


 = Viscositas plastik, cp

Pada filtrasi dinamis mud cake yang terbentuk sangat mungkin untuk rusak
akibat gesekan denganm drill string, atau kena erosi oleh fluida pemboran.
Hal tersebut akan menambah filtrate yang masuk ke dalam filtrasi yang
masuk ke dalam formasi. Apabila pemboran menembus formasi shale
dimana di dalamnya terdistribusi mineral clay yang swelling maka akan
terjadi hidrasi mud filtrate tadi oleh clay sehingga terjadi pembengkakan
lempung (clay swelling) di dalam formasi, dan ini tidak dikehendaki, karena
dapat menyebabkan tidak stabilnya formasi (sumur pemboran) tersebut.
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi filtrasi dinamik antara lain adalah:
 kecepatan sirkulasi lumpur pemboran
 jenis lumpur pemboran yang digunakan
 tekanan filtrasi
 Viskositas dan temperatur

Hubungan antara rate filtrasi dinamik dengan waktu filtrasi untuk beberapa
jenis lumpur pemboran dapat dilihat pada Gambar berikut ini :

Gambar 6.56 Filtrasi dinamik dari lumpur bentonite

296 Lumpur Pemboran


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Gambar 6.57 Filtrasi dinamik dari oil base mud

Gambar 6.58 Filtrasi dari Emulsion Mud

c. Filtasi dari bawah bit


Yang dimaksud dengan filtrasi dari bawah bit adalah sejenis filtrasi dinamik
yang bervariasi melalui bagian bawah bit, dimana disana tidak terdapat filter
cake karena dihancurkan oleh putaran bit dan sirkulasi lumpur pemboran,
fluida yang terinvasi dari bagian bawah bit terdiri dari mud filtrate dan fluida
dari dalam formasi. Aliran pada invasi ini adalah aliran radial dan vertikal
terhadap lubang bor, seperti ditunjukkan oleh Gambar 6.59 .

Lumpur Pemboran 297


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Gambar 6.59. Jalur aliran Filtrate dari Bagian Bawah Bit.

Penentuan volume filtrate yang melalui bagian didapat dengan persamaan


berikut :
Q f  Q  Ah Vd 
dimana :
Qf = rate aliran filtrate melalui dasar sumur, cc/menit.
Q = Rate aliran fluida yang melaui dinding formasi yang tegak
lurus terhadap sumur yang dianggap berbentuk
silinder,cc/menit.
Ah = Luas dasar lubang sumur, inch2
Ud = Drilling rate, ft/jam
 = Porositas, fraksi
Kedalaman invasi mud filtrate dapat ditentukan berdasarkan persamaan :
J X Q/E
 1 
rw E Ah  U d
dimana:
J = dalamnya invasi mud filtrate terhadap formasi
produktif, inch.
rw = jari-jari sumur, inch
X = Fraksi connate water atau fluida yang terdesak ke bawah
permukaan dasar sumur dan tidak masuk ke dalam arus
lumpur.
E = Effisiensi, fraksi daro connate water yang didesak oleh
fluida di depannya.
Dari persamaan diatas dapat dilihat bahwa :
 Harga J/rw akan maximum pada harga X=0, artinya
seluruh connate water terdesak merembes ke dalam formasi produktif.
 Harga J/rw akan minimum pada harga X=1. artinya
seluruh connite water masuk ke dalam aliran lumpur.

298 Lumpur Pemboran


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Ketergantungan jarak invasi mud filtrate ke dalam formasi dapat dijelaskan


sebagai berikut :
Jika cutting yang terjadi besar-besar maka hampir seluruh liquid yang
berada dalam pori-pori cutting akan tercampur dengan lumpur dan tidak
terdesak masuk ke dalam lubang sumur, sehingga harga X akan kecil.
Sebaliknya bila cutting yang dihasilkan berukuran kecil, maka liquid dan
pori-pori antara butiran dapat didesak masuk ke dasar lubang sumur,
sehingga harga X akan mendekati satu. Harga tersebut dapat ditunjukkan
oleh Gambar 6.60

Gambar 6.60. Aliran filtrate dan connate water.

Sebagai contoh data experimen untuk perbandingan invasi mud filtrate


dapat dilihat pada Gambar 6.61, sedangkan pada Gambar 6.62 ditunjukkan
hubungan antara volume filtrasi dengan waktu untuk beberapa jenis lumpur.

Gambar 6.61. Invasi mud filtrate karena filtrasi dari bawah bit.

Lumpur Pemboran 299


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Gambar 6.62. Filtrasi dari bawah bit dari jenis lumpur yang berbeda.

6.10.2.2. Hidrasi Clay


Proses hidrasi air (air filtrat lumpur pemboran dan air formasi) oleh clay
yang mengakibatkan clay tersebut mengembang (swelling), tergantung dari
jenis air yang terhidrasi (asin atau tawar) serta struktur mineral clay yang
dapat mengembang (clay swelling) dan clay yang dapat mengembang (clay
non-swelling). Sedangkan proses hidrasinya berlangsung dengan dua
mekanisme, yaitu hidrasi osmosis dan hidrasi permukaan.

a. Clay Swelling
Clay yang dapat mengembang ini (expandable clays) terdiri dari
kelompok mineral smectites (monmorillonite) dan mineral vermiculite.
1. Mineral-mineral smectites terdiri dari :
 Montmorrilonite
 Saponite
 orite
 Beidellite
2. Mineral Vermiculite

Mineral-mineral di atas mampu menyerap air (terutama air tawar)


dalam jumlah yang besar sehingga volumenya akan membesar secara
keseluruhan (swelling). Pada prosesnya ia akan membagi diri menjadi
partikel-partikel clay yang berukuran lebih kecil selama proses hidrasi.
Sebagai contoh kasus diambil sodium montmorrilonite(bentonite)
yang strukturnya terdiri dari dua silica tetrahedral dan satu alumina
octahedral, dapat dilihat pada Gambar 6.63.

300 Lumpur Pemboran


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Gambar 6.63. Struktur plat mineral bentonite

Gamabar 6.64. Struktur plat mineral bentonite yang telah diubah

Mengingat muatan listrik yang sama akan saling tolak menolak dan
sebaliknya, dan dengan ikatan oleh ion Na+, maka ikatan antar platnya
akan lemah, sehingga bila dimasukan ke dalam air, ia akan mengurangi
dan air akan terhisap ke permukaan clay sebagai proses hidrasi,
sehingga akan menyebabkan mineral tersebut membengkak (swelling).

b. Clay Non-Swelling
Clay non-swelling (unexpandable clays), pada pokoknya ia menyerap
air hanya saja dalam jumlah yang sangat kecil. Kelompok mineral ini
terdiri dari:
 mineral Illite
 mineral Chlorite
 mineral Kaolinite
Sebagai contoh jenis mineral yang sering dijumpai dalam operasi
pemboran adalah mineral kaolinite. Struktut mineral ini terdiri dari satu
perlapisan silica octahedral dan diagramnya (sengle kaolinite plate)
dapat dilihat pada Gambar 6.65.

Lumpur Pemboran 301


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Gambar 6.65. Struktur plate mineral kaolinite

Gambar 6.66. Struktur plate mineral kaolinite yang telah diubah.

Pada mineral kaolinite kationnya adalah + yang daya ikatnya sangat


kuat seperti kation yang divalent, disamping plate yang di seberangnya
yang mengandung ion hidroksil menambah kekuatan tarinknya. Dengan
demikian ia sukar terdispersi dalam air.

c. Hidrasi Permukaan dan Hidrasi Osmosis


Telah kita ketahui bahwa proses pada mineral-mineral clay dapat
berlangsung dengan dua mekanisme yaitu hidrasi permukaan dan
hidrasi osmosis.
Hidrasi permukaan dicirikan oleh penyerapan air dalam jumlah kecil,
yang secara normal menyerap empat lapisan molekul air. Bila
permukaan clay kontak dengan air dan dengan menganggap bahwa satu
plat clay terpisah dari matriknya, maka ion-ion yang bermuatan positif
(kation) akan meninggalkan plat clay tersebut. Karena molekul air adalah
polar, maka ia akan ditarik baik oleh kation yang terlepas maupun oleh
plete claynya sendiri. Kombinasi dari dua plate clay ini disebut sebagai
"Diffuse double layer". Proses hidrasi permukaan plate clay dalam air
untuk berbagai konsentrasi garam ditunjukan oleh gamabar 6.40. Pada
higrasi permukaan ini meskipun penyerapan airnya kecil dan tidak
mengembang, namun memiliki energi hidrasi yang cukup tinggi, yaitu:
He = G - Pp
Harga diatas sama besarnya dengan gaya kompaksi effektif dari serpih
yang bersangkutan dimana :
He = Tekanan hidrasi, psi
G = Tekanan overburden (umumnya diambil 1 psi/ft)
Pp = Tekanan pori-pori batuan, psi

302 Lumpur Pemboran


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Dapat dilihat bahwa energi hidrasi permukaan dipengaruhi oleh


sejarah terbentuknya clay melalui proses sedimentasi.

Gambar 6.67. Sifat clay di dalam air dengan konsentrasi garam


yang berbeda-beda.

Hydrasi osmosis terjadi karena adanya perbedaan konsentrasi ion


yang ada pada permukaan plat clay dengan konsentrasi ion dalam
lumpur. Karena itu hidrasi clay tergantung pada konsentrasi electrolit
dalam cairan pemboran. Hidrasi osmosis ini dapat menyerap air dalam
jumlah yang besar, yang akan menyebabkan lemahnya ikatan-ikatan ion
yang ada pada kisi-kisi mineral yang bersangkutan, sehingga volumenya
dapat membengkak (swelling). Berdasarkan konsep kelembaban relatif
dalam termodinamika, Chevenet telah menurunkan persamaan untuk
menentukan tekanan osmosis dari dua larutan sebagai berikut:
Po  RT  1 C1 V1   2 C 2 V2 
Dimana :
Po = Tekanan osmosis, atm
R = Konstanta gas
T = Temperatur Absolut, oK
 = Koefisien dari larutan
c = Konsentrasi garam dalam larutan, molal
v = Jumlah ion dalam larutan per-mol

Energi hidrasi berbeda-beda untuk ion-ion yang berbeda pula, baik


untuk clay yang swelling maupun yang non swelling.
Terjadinya swelling sampai pada batas tertentu akan menyebabkan
terdispersinya clay yang bersangkutan. Dispersi adalah peristiwa
terlepasnya plate-plate (partikel-partikel) clay dari permukaannya secara
kontinyu disebabkan berkurangnya daya ikat antar plate pada
permukaan clay tersebut. Meskipun masalah dispersi clay sangat erat
hubungannya dengan clay yang swelling (Expandable clays) tetapi harus
ditinjau secara terpisah, sebab pada kenyataanya beberapa clay yang
menunjukan sifat swelling (expandable clay) tetapi harus ditinjau secara
terpisah, sebab pada kenyataannya sifat swelling yang tinggi dapat
disertai oleh sifat dispersi yang rendah saja. Sebaliknya pada beberapa
clay yang keras, meskipun sifat swellingnya rendah, ternyata sifat
dispersinya menunjukan derajat yang tinggi. Peristiwa dispersi kadang-

Lumpur Pemboran 303


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

kadang berlangsung sangat cepat bila terjadi kontak antara clay dengan
fluida pemboran yang fasa utamanya adalah air (water base drilling
fluids).
Agregasi adalah bertambahnya daya ikat antar plat pada permukaan
clay yang menyebakan clay bersangkutan memiliki kecenderungan untuk
lebih menyatu. Agregasi (Aggregation) merupakan kebalikan dari sifat
dispesi yang dimiliki oleh clay yang swelling (Expandable clays). Pada
Gambar 6.68 ditunjukan sifat dispersi dan agregasi dari bentonite dalam
air. Sifat lain dari clay yang swelling dalam air adalah flokulasi dan
deflokulasi (flocculation dan deflocculation). Floculation berarti
bertambahnya sifat mengikat antar tepi dari plate-plate clay. Gambar
6.68 juga dapat menunjukkan sifat-ifat tersebut.
Dalam dunia perminyakan khususnya dalam teknik pemboran, jenis
clay yang dapat mengembang atau menghidrat (swelling clay) yang
paling umum ditemui adalah montmorrilonite, sehingga seringkali nama
montmorrilonite digunakan untuk mewakili semua jenis clay yang
mengembang (swelling). Semakin dalam penguburan batu
serpih(siltstone), semakin sedikit jumlah mineral clay yang
montmorrilonite di dalamnya, sebalinya akan bertambah clay yang
kaolitik. Karena kedalaman berhubungan dengan usia geologi, maka
jumlah fraksi clay dalam batu serpih (formasi shale) juga bervariasi
terhadap perioda geologi, seperti ditunjukan oleh Gambar 3.69. Pada
Gambar tersebut ditunjukan bahwa pada perioda Tersier mineral
montmorrilonite mempunyai distribusi terbesar, sedangkan pada periode
pre-Upper Mississippian jumlah terbesar dimiliki oleh gabungan (mix-
layer) mineral montmorrilonite-Illite.

Gambar 6.68. Sodium dan Calcium bentonite dalam air.

304 Lumpur Pemboran


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Gambar 6.69. Distribusi relatif dari empat jenis mineral clay dalam formasi-
formasi shale pada perioda geologi.
6.10.3. Prinsip Pengukuran
Ada dua macam yang biasa dipakai untuk mengukur swelling clay
dilaboratorium yaitu Geonor swelling atest dan CBR Test. Pada prinsipnya
pengukuran swelling dengan dua alat tersebut adalah sama, dimana
pengembangan sample (clay) setelah terjadi hidrasi (clay mengabsorbsi air)
menimbulkan menyimpangan "dial swell" sedangkan besarnya tekanan
swelling dari suatu sample adalah tekanan yang dihasilkan dari gaya
persatuan lias plate untuk mengembalikan sample ke keadaan/ketinggian
awal (elevasi awal, dial swell = ho) dan ini diwakili oleh gaya yang maximum,
yaitu ketika swelling mencapai maximum pada akhir percobaan.
Gaya untuk mengembalikan sample evaluasi awal pada Geonor Swelling
Test dimobilisasikan dengan kedua alat tersebut adalah harga "dial swell"
yang menunjukkan besarnya swelling sample dan tekanan swelling yaitu
tekanan untuk melawan agar sample tidak mengembang (swelling).

3.10.3.1. Pengukuran dengan Alat Geonor Swelling Test


Parameter yang diukur dengan alat ini adalah : dial swell, tekanan
swelling dan waktu.

a. Dial Swell
Dial swell dalam posisi awal adalah ketika sample mempunyai ketinggia ho,
yang diperoleh melalui proses kompaksi dan expansi berdasarkan prinsip
sedimentasi.
Dial swell akan bekerja beberapa saat setelah sample kontak dengan air
(mengabsorbsi air) skala yang terbaca pada dial swell ini adalah besarnya

Lumpur Pemboran 305


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

swelling sample yang perbandingannya terhadap ho memberikan persentase


swelling sample.

b. Tekanan Swelling
Tekanan swelling adalah besarnya tekanan untuk menjaga agar sample tidak
mengembang (swelling).
Pada prakteknya tekanan swelling merupakan gaya persatuan luas plate
(diatas sampl untuk mengembalikan sample ke evaluasi awal yaitu ho. Jadi
tekanan swelling disini adalah gaya persatuan luas untuk melawan
pengembangan atau desakan swelling. Gaya ini dimobilisasikan melalui alat
yang disebut "warm gear" dan besarnya terbaca pada "dial swell" tekanan
swelling yang representatif untuk suatu sample adalah tekanan swelling
maximum yaitu pada akhir percobaan.

c. Waktu
Pengukuran kedua parameter di atas dilakukan untuk interval waktu yang
umum yaitu pada tiap :
(15,30) detik, (1,2,4,8,15 dan 30 ) menit, (1,2,4 dan 24) jam untuk tiap
sample.
6.10.3.2. Peralatan
Gambar alat Geonor Swelling Test dapat dilihat pada Gambar 6.69.
Bagian-bagian terpentingnya adalah :
1. Lucite Cylinder yang di dalamnya terdiri dari:
 silinder sample
 filter paper
 filter keramik
 filter stone
2. Dial Swell
3. Dial Gouge
4. Warm Gear
5. Pengontrol Dial Reading

Gambar 6.70 Geonor Swelling Test Apparatus

6.10.3.3 Cara dan Hasil Pengukuran


a. Cara Pengukuran

306 Lumpur Pemboran


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

1. Menempatkan silinder sample di atas filter keramik bagian bawah,


gunakan filter paper di bagian atasnya untuk menjaga peralatan tetap
bersih
 Mengisi silinder sample dengan sample kering
sebanyak 20 gram. Pengambilan dilakukan dengan metoda
sedimentasi sampai setinggi silinder sample.
 Mengangkat sample dengan "Clamping ring" ke
dalam lucite cylinder. Pasang filter paper, keramik, stone dan tutup
diatas sample.
2. Preconsolidation, yaitu :
 Mengatur dial gouge dan mengenakan gaya sebesar
200 t/m2 melalui "warm gear" untuk konsolidasi sample.
Keseimbangan pada sample akan dicapai selama 4 sampai 10
jam.
 Lepaskan gaya (dial gouge = 0) dan biarkan
mengembang sampai pada ketinggian konstan (ho).
Pengembangan akan berkisar antara 0.5 sampai 1 mm untuk
montmorrilonite dan berlangsung selama 8 sampai 16 jam. Catat
ho = h silinder - h comp + hexpansi
3. Absorbsi, yaitu :
 Air yang telah disaring dimasukan ke dalam lucite
cylinder setinggi sample. Absorbsi akan berlangsung melalui filter.
Waktu mulai dicatat.
4. Tekanan Swelling
 Pengembangan (swelling) akan terjadi setelah sample
kontak dengan air (absorbsi). Dial swell serempak bekerja.
 Gaya akan bekerja melalui warm gear untuk
mengembalikan ke evaluasi awal ho. Gaya ini yang terbaca pada
dial gouge dan menggambarkan 1.10 tekanan swelling sample.
5. Pengukuran :
 Pembacaan dilakukan setelah :
 Sesuai dengan waktu pengukuran yang dibaca,
diperoleh hasil secara tabulasi sebagai berikut

Tabel 6.7. Hasil pengukuran Swelling dengan Alat Geonor Swelling Test
Waktu Dial Dial Swell Tekanan Swelling
Gauge Swelling (%)

 Tekanan Swelling = 10 x (dial gouge)


 Presentase Swelling =

Hubungan antara tekanan swelling sample dengan waktu dapat dilihat pada
Gambar 6.71. Sedangkan untuk hubungan antara swelling sample dengan waktu
dapat dilihat pada Gambar 6.70. Secara keselurhan prinsip pengukuran swelling
sample dengan menggunakan alat Geonor Swelling Test, dapat digambarkan
secara grafis pada Gambar 6.71.

Lumpur Pemboran 307


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Gambar 6.71. Kurva Tekanan Swelling Sample Terhadap Waktu

Gambar 6.72 Kurva Swelling Sample Terhadap Waktu

Gambar 6.73 Prinsip Pengukuran Swelling Dengan alat Geonor Swelling Test.

308 Lumpur Pemboran


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

6.10.4. Pengukuran dari Alat CBR


6.10.4.1. Parameter Yang Diukur
Parameter yang diukur melalui alat ini adalah dial swell untuk beban
kerja tertentu dan waktu tertentu pula. Prinsipnya sama dengan pengukuran
Geonor Swelling Test, hanya berbeda pada hal beban kerja pada periode
pengukuran tertentu adalah tetap. Periode waktu pengukuran untuk alat ini
lebih panjang (berhari-hari). Sedangkan hasil pengukurannya kurang teliti
dibandingkan dengan hasilo pengukuran pada alat Geonor Swelling Test.

6.10.4.2. Peralatan
Bagian-bagian penting alat dapat dilihat pada Gambar 3.74- 3.75.
Bagian-bagian tersebut yaitu :
1. Silinder
2. Ring logam
3. Batu porous
4. Plat logam (besi atau kuningan)
5. Beban kerja/rencana
3. Dial-swell

6.10.4.3. Cara dan Hasil Pengukuran


a. Cara Pengukuran
1. Persipan bahan:
Sample didapatkan dengan metoda sedimentasi di dalam mold
silinder atas beberapa lapisan. Dipotong setinggi mold, lalu dipasang
diatasnya.
2. Pengukuran:
Beban kerja/rencana dikenakan di atas alat tadi. Dial Swell diatur de
keadaan awal, kemudian semua sistem alat tadi dimasukan ke dalam
silinder berisi air sampai terendam.
Dial swell akan mulai bekerja karena swelling,
pengukuran/pembacaan dimulai sesuai interval waktu tertentu.

Gambar 6.74 Mold Silinder dari CBR Test Appartue

Lumpur Pemboran 309


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Gambar 6.75 Swelling Sample Terhadap Waktu Untuk Satu Jenis Sample Pada
Tiap beban Kerja.

Hasil pengukuran dengan alat inisecara tabulasi adalah sebagai berikut :

Tabel 6.8. Hasil Pengukuran Swelling Dengan Alat CBR Test.


Waktu Beban Dial Swell Tekanan Swelling
Kerja Swelling %

Tekanan swelling sample (Pss) diperoleh dari beban kerja maksimum (Bms),
yaitu dimana pada beban kerja tersebut sample tidak mengembang lagi.
B
Pss  ms
As
dimana
As = Luas permukaan plat di atas sample
Dial Swell  H 
Swelling Sample S s  
Tinggi Awal  Tinggi mold 
dimana
Ho = Tinggi awal sample (tinggi mold CBR).
H
Ss  x 100%
Ho

310 Lumpur Pemboran


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

6.11.Lumpur Dasar Minyak (Oil Base Mud)


6.11.1. Oil Base Mud
Pengembangan oil-base mud dimulai pada awal tahun 1920 ketika para
engineer menyadari bahwa dengan terbukanya formasi tertentu maka filtrat
yang dihasilkan dari water-base mud hilang dalam formasi produktif. Oil-base
mud pertama kali digunakan sebagai fluida komplesi dan workover. Para
peneliti mencatat bahwa produksi sumur dapat diperbaiki jika dibandingkan
dengan sumur yang dibor dengan water-base mud. Kemudian, dari hasil uji
laboratorium dapat dikonfirmasikan apa yang terjadi. Jika formasi produktif
mengandung clay yang dapat menghidrat berhubungan dengan air akan
menyebabkan clay mengembang dan terdispersi. Ketika terdispersi clay
berpindah dengan fluida kedalam ruang pori sampai mencapai menyumbat
pori dan membentuk suatu penutup (bridge), sehingga dapat menghentikan
atau menghalangi aliran. Mekanisme ini disebut clay blocking. Tetesan air dan
padatan yang larut dalam air menyebabkan naiknya apparent viscosity minyak
dan mengurangi kemampuan untuk mengalir, kondisi ini disebut sebagai
water blocking atau solid blocking. Dari hasil studi core telah
didokumentasikan bahwa kapasitas produktif dapat berkurang sebanyak 90%
akibat pengaruh intrusi air tawar kedalam formasi yang sensitif.
Crude oil digunakan secara efektif pada awal penggunaan lumpur ini,
tetapi dengan penggunaan yang terus-menerus mempunyai beberapa
kerugian yang serius, yaitu :
1. Material pemberat tidak dapat tersuspensi karena kurangnya struktur gel
2. Viskositas bervariasi, tergantung dari tempat diperolehnya crude oil
3. Fluid loss ke dalam formasi berlebihan
4. Dapat terjadi bahaya kebakaran karena terdiri dari unsur-unsur yang volatil
dalam crude oil
5. Keefektifan penyekatan formasi jelek karena tidak adanya padatan koloid
yang dapat menghasilkan ©wall cakeª.

Untuk mengatasi kerugian-kerugian tersebut, peneliti melakukan


pengembangan sistem yang sifat-sifatnya telah diprediksi sehingga dapat
menjaga keefektifan selama operasi pemboran atau komplesi. Penelitian ini
dilakukan terhadap dua front utama. Usaha pertama adalah mentreatment
minyak sehingga material pemberat dapat tersuspensi. Kedua melibatkan
sejumlah emulsifying air yang relatif besar kedalam minyak. Penelitian
terhadap kedua front tersebut menghasilkan dua sistem oil-base, yang secara
umum disebut sebagai true-oil mud dan invert emulsion. Kedua sistem
tersebut diperoleh dari mud service company. Sistem ini sangat komplek, dan
harus diawasi oleh orang-orang yang terlatih dalam semua tahap operasi
termasuk formulasi, pendesakan, perawatan, prosedur test khusus, peralatan
yang hanya digunakan untuk oil-base mud, dan awal pengenalan problem.
Teknologi oil-base mud sangat berbeda dengan water-base mud.
Pemantauan terhadap sifat-sifat lumpur bukan sebagai sesuatu yang dapat
diprediksi, terutama jika pengguna lumpur (mud user) tersebut tidak mengerti
atau mengetahui sifat-sifat kimia dari produk yang digunakan atau jika bahan-
bahan kimia dari yang digunakan berasal dari berbagai suplayer. Keaneka-
ragaman bahan-bahan kimia yang digunakan untuk oil-base mud tampaknya
sedikit, akan tetapi sebenarnya dapat merusak sistem lumpur jika
penggunaannya tidak sesuai. Dalam sistem water-base, pada umumnya

Lumpur Pemboran 311


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

dapat diprediksi pengaruh treatment kimia dan kontaminan terhadap sifat-sifat


fisik lumpur, tetapi untuk oil-base mud tidak selalu mungkin, terutama jika
orang yang bertugas sebagai pengawas belum mendapatkan latihan yang
memadai.
Meskipun sistem lumpur oil-base relatif mahal dibanding dengan lumpur
water-base, penggunaannya telah semakin meningkat pada dasa warsa yang
lalu. Penggunaan sistem lumpur oil-base terutama adalah :
1. Pemboran yang mengalami problem shale
2. Pemboran dalam, dan bertemperatur tinggi
3. Fluida komplesi
4. Fluida workover
5. Fluida packer
3. Fluida perendam untuk pipa terjepit
7. Pemboran zona garam yang masif
8. Fluida coring
9. Pemboran formasi yang mengandung hydrogen sulfide dan karbon
dioksida.

6.11.2. Teori Emulsi


Emulsi didefinisikan sebagai dispersi suatu fluida, yang disebut fasa
internal dalam fluida yang lain, yang disebut sebagai fasa eksternal atau fasa
kontinyu. Dua macam cairan yang tidak tercampur , tetapi fasa internal tetap
terdispersi dalam fasa kontinyu dalam bentuk butiran-butiran kecil (lihat
Gambar 6.76). Jika butir-butir air terdispersi dalam minyak, maka akan
terbentuk water-in-oil emulsion. Jika butir-butir minyak terdispersi dalam air,
maka akan menghasilkan oil-in water emulsion.

Gambar 6.76. Skema Yang Merepresentasikan Suatu Emulsi Dengan butir-butir


Yang tidak Seragam

Ada tiga istilah yang sering muncul dalam literatur lumpur pemboran,
yaitu : oil-emulsion mud, oil-base mud, dan invert emulsion mud. Istilah ©oil-
emulsion mudª hanya digunakan untuk oil-in-water system. Oil-base mud
biasanya mengandung 3 - 5% air yang teremulsi dalam minyak sebagai fasa
kontinyu. Invert-emulsion mud dapat mengandung sampai 80% air (walaupun
secara umum sekitar 50%) teremulsi dalam minyak. Sedangkan dua yang
terakhir adalah water-in-oil emulsion.
Jenis emulsi yang terbentuk ketika dua macam cairan yang tidak
tercampur secara mekanis terpotong akibat penambahan bahan kimia
emulsifier. Gambar 6.77 menunjukkan bentuk struktur dari emulsifier strearic

312 Lumpur Pemboran


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

acid. Polar head dari molekul ini larut dalam air, sementara non polar tail larut
dalam media organik, seperti diesel oil. Jika strearic acid terlarut, hidrogen
menjadi terpisah dari kelompok hidroksil pada polar head. Jika kation sodium
bebas (Na+) hadir, maka terbentuk oil-in-water emulsion. Jika kation divalen
seperti kalsium (Ca++)
hadir, akan menghasilkan suatu struktur yang bercabang dua. Hal ini
cenderung membentuk suatu permukaan minyak yang cembung yang
membentuk water-in-oil emulsion.
Pemotongan mekanis dari campuran diesel oil, air, dan emulsifier dengan
struktur yang bercabang dua memecah air menjadi butir-butir yang lebih kecil
dari gabungan dengan suatu film molekuler pada setiap butiran tersebut. Film
tersebut adalah merupakan bidang kontak antar permukaan antara minyak
dan air dimana emulsifying agent terkonsentrasi. Fungsi dari emulsifier adalah
untuk mengurangi tegangan antar permukaan, yang secara alamiah butir-butir
air cenderung akan bergabung. Dengan mengkonsentrasikan emulsifier pada
bidang antar permukaan molekuler antara butir-butir minyak dan air, maka
tegangan permukaan akan berkurang. Butir-butir air yang telah berkurang
menjadi kecil oleh adanya energi mekanis, maka tidak akan membentuk
kembali menjadi butir-butir yang lebih besar jika emulsifier yang digunakan
sudah mencukupi.
Ukuran butir-butir air adalah merupakan kunci stabilitas emulsi dan
menentukan sifat-sifat viskositas dan gel strength. Butir-butir ini karena
ukurannya menjadi kecil, dan seragam ukurannya akibat pemotongan
mekanis dan distabilkan dengan emulsifier, maka ukurannya mendekati koloid
yang memberikan kekuatan struktur untuk mengangkat cutting dari dasar
lubang bor dan menahan cutting tersebut ketika lumpur dalam keadaan diam.
Tiga kriteria dasar untuk pembuatan emulsi, yaitu pemotongan mekanis
(mechanical shearing) yang cukup untuk memperkecil butir-butir air dengan
ukuran yang seragam; emulsifying agent dalam jumlah yang memadai untuk
memisahkan butir-butir air dan mencegahnya agar tidak bersatu lagi; dan
minyak yang viskositasnya rendah sebagai fasa eksternal. Jumlah energi atau
kerja yang diperlukan untuk mendispersikan air ke dalam minyak
berhubungan langsung dengan viskositas cairan fasa kontinyu. Mobilitas
(berapa kecepatan emulsifier sampai ke bidang antar permukaan molekular)
juga tergantung dari viskositas fasa eksternal. Kriteria-kriteria atau faktor-
faktor tersebut harus dipertimbangkan pada saat mencampur oil-base mud,
terutama invert emulsion, pada lokasi pemboran (rig site).

Lumpur Pemboran 313


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Gambar 6.77. Pembentukan emulsi

6.11.3. Komposisi Lumpur Minyak (Oil Mud)


Produk dasar yang diperlukan untuk formulasi baik oil-base mud ataupun
invert emulsion system adalah sebagai berikut :
1. Diesel oil atau nontoxic mineral oil
2. Air
3. Emulsifier
4. Wetting agent
5. Oil-wettable organophillic clay
3. Lime
7. Barite/Hematite

Produk-produk pelengkap meliputi :


1. Calcium chloride/sodium chloride
2. Asphaltenes
3. Oil-wettable lignites
4. Calcium carbonate
5. Thinner

314 Lumpur Pemboran


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

6.11.4. Formulasi Lapangan


Keberhasilan oil-base mud di lapangan memerlukan persiapan yang lama.
Dengan alasan ini, maka perlu diadakan pertemuan dengan mud company
untuk mendisusikan peralatan pencampur khusus atau bahan-bahan yang
diperlukan, prosedur pencampuran, prosedur pendesakan, spesifikasi sifat-
sifat lumpur, dan tersedianya peralatan test khusus. Perencanaan harus
dikembangkan dalam pertemuan tersebut untuk menangani kemungkinan
problem yang akan terjadi, seperti pipa terjepit, lost circulation, dan gas kick.
Pertemuan juga harus diselenggarakan dengan driiling contractor untuk
menyusun peralatan-peralatan khusus atau modifikasi-modifikasi peralatan
yang ada untuk menangani oil-base mud secara memadai.

6.11.4.1 Prosedur Pencampuran Diesel Oil-Base Mud


Berikut adalah prosedur pencampuran berdasarkan asumsi bahwa fasilitas
penyimpanan dan pencampuran tersedia di lokasi pemboran :
1. Larutkan sodium atau calcium chloride secukupnya dalam air pada tangki
pencampur terpisah
2. Tambahkan volume diesel oil atau nontoxic sesuai dengan kebutuhan ke
dalam tangki pencampur utama
3. Tambahkan sedikit demi sedikit basic emulsifier ke dalam diesel oil atau
nontoxic oil pada waktu sirkulasi melalui hopper
4. Pada waktu sirkulasi, tambahkan sedikit demi sedikit sekitar setengah air
sodium atau calcium chloride dalam campuran diesel oil/nontoxic oil
emulsifier
5. Tambahkan lime melalui hopper
6. Tambahkan emulsifier tambahan dan wetting agent
7. Sirkulasikan sistem dengan kuat, menggunakan lumpur gum sampai test
terbentuk emulsi yang stabil
8. Tambahkan material pemberat secukupnya.

6.11.4.2. Prosedur Pendesakan


Prosedur pendesakan merupakan tujuan utama untuk meminimalkan
kontaminasi oil-base mud dengan lumpur yang sedang didesak (biasanya
berupa lumpur water-base) dan dengan filter cake dari dinding lubang bor.
Langkah pertama adalah mengkondisikan lumpur yang akan didesak agar
harga gel strength dan yield point berkurang. Langkah berikutnya adalah
menyiapkan spacer, yaitu berupa gelled diesel oil untuk memisahkan fluida
pendesak dan lumpur yang akan didesak. Beberapa perusahaan telah
mengembangkan spacer yang dapat diperperat baik digunakan pada
penyemenan maupun pendesakan oil-base mud. Spacer tersebut kadang-
kadang merupakan campuran dari emulsifier dan wetting agent yang tidak
membentuk gel strength yang tinggi pada bidang antar permukaan antara oil
dan water-base mud. Metoda pendesakan yang lainnya adalah menggunakan
spearhead dengan highly viscous bentonite dan diikuti oleh diesel oil dan
fluida pendesak. Faktor ketiga dalam proses pendesakan adalah laju
pemompaan. Pada umumnya, pendesakan harus menggunakan aliran

Lumpur Pemboran 315


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

turbulen. Disamping itu juga dilakukan dengan memutar dan menaik-turunkan


drill string.

6.11.5. Sifat-sifat Fisik Lumpur Minyak


Pemantauan sifat-sifat fisik oil-base mud sangat penting. Meskipun sistem
lumpur dipersiapkan secara memadai, tetapi biasanya menunjukkan adanya
perubahan sifat-sifat tersebut. Oleh karena itu, trend sifat-sifat fisik harus
dipantau dan jika perlu dilakukan koreksi-koreksi sebelum terjadi problem
yang serius.

6.11.5.1 High-Temperature/High-Pressure (HTHP) Fluid Loss


Pengontrolan fluid loss dari oil-base mud bukan merupakan problem yang
umum karena bahan-bahan yang digunakan formulasi sistem lumpur tersebut
dan micellar emulsion sangat efektif untuk menyekat ruang pori yang sangat
kecil. API fluid loss lumpur minyak biasanya mendekati nol. HTHP fluid loss
dari oil mud dan invert system bervariasi antara 15 sampai 30 cc/menit
Telah lama disadari bahwa bahan-bahan koloid dalam lumpur mempunyai
pengaruh merusak terhadap laju penembusan. Studi microbit oleh FONENOT
dan SIMPSON dan hasil uji lapangan yang dilaporkan oleh O'BRIEN et al.
menunjukkan bahwa pengurangan kadar koloid dari sistem oil-base mud
dapat menaikkan laju penembusan. Karena fluid loss yang sangat rendah dan
laju penembusan yang sangat rendah telah menjadi ciri dari lumpur minyak.
HTHP fluid loss test dilakukan di laboratorium dengan menggunakan
tekanan 750 psi pada fluida dengan back pressure 250 psi pada tabung
penerima untuk mencegah flashing atau penguapan dari filtrat minyak.
Beberapa peralatan uji lapangan menggunakan 600 psi dan 100 psi back
pressure untuk memperoleh perbedaan tekanan 500 psi. Penampang
melintang HTHP cell adalah setengah dari regular API fluid loss cell, sehingga
volume filtrat yang terkumpul harus dikalikan dua. Uji temperatur dan tekanan
harus selalu dilaporkan dengan volume filtrat terkoreksi.

6.11.5.2 Sifat-sifat Aliran


Sifat-sifat aliran (plastic viscosity, yield point, gel strength) dipengaruhi oleh
banyaknya dan ukuran butir-butir air yang teremulsi dalam minyak; jumlah,
ukuran dan kondisi total padatan yang terkandung didalam sistem lumpur; dan
elektrokimia dan interaksi fisik dari padatan, air, dan hadirnya minyak. Sifat-
sifat aliran lumpur minyak dikembangkan dengan 4 metoda dasar :
 Sabun yang tidak larut, jika dibasahi dengan minyak,
membentuk struktur rantai panjang
 Bahan-bahan asphaltic yang menghasilkan viskositas
melalui interaksi mekanis
 Organophillic clay yang menghasilkan dispersi dalam
media mi nyak
 Butir-butir emulsi yang menyerupai struktur micellar
yang sangat kecil.

Pengukuran sifat-sifat aliran sistem oil-base pada permukaan dapat


memberikan trend yang baik terhadap perubahan fluida, tetapi dapat

316 Lumpur Pemboran


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

menyesatkan/keliru jika pengaruh kondisi temperatur dan tekanan pada


lubang bor tidak diperhitungkan. Pengukuran sifat-sifat contoh lumpur minyak
yang diambil di permukaan juga dapat memberikan informasi penting
terhadap perubahan sistem yang mungkin terjadi, tetapi kondisi lubang bor
yang sesungguhnya dapat menyebabkan harga pengukuran di permukaan
terlalu jauh berbeda dengan kondisi di dasar lubang bor. Viskositas baik air
maupun minyak berkurang dengan naiknya temperatur, tetapi kedua fasa
fluida tersebut perilakunya sangat berbeda dengan naiknya tekanan.
Viskositas air tetap tidak berubah dengan naiknya tekanan, tetapi viskositas
diesel oil, sebagai contoh, naik secara tajam dengan bertambahnya tekanan.
Gambar 6.78 menunjukkan apparent viscosity diesel oil vs. tekanan pada
temperatur 100oF, 200oF, 300oF, dan 350oF. Dari Gambar tersebut secara
mudah dapat disimpulkan bahwa pada berbagai kombinasi temperatur dan
tekanan di dasar lubang bor apparent viscosity akan bertambah besar. Pada
kasus lain, apparent viscosity berkurang. Hal ini merupakan masalah pokok,
mengapa engineer tidak dapat menggantungkan pengukuran di permukaan
ketika memperkirakan kehilangan tekanan, bit hydraulics, kapasitas
pengangkatan cutting. Beberapa mud company telah mengembangkan
metoda dan faktor koreksi untuk memperkirakan harga apparent viscosity
sistem oil-base, sehingga engineer dapat mentreatment dan melakukan
perhitungan hidrolika. Chart-chart dan Tabel-Tabel yang dikembangkan oleh
mud company berdasarkan pada asumsi bahwa lumpur minyak akan
dipengaruhi oleh temperatur dan tekanan dengan cara yang sama seperti
diesel oil.

6.11.5.3 Oil-Water Ratio


Seperti telah dijelaskan dimuka, bahwa sistem oil-base mempunyai fasa
eksternal minyak dan fasa internal air, yang bervariasi dari 5% vol sampai
sekitar 50% vol. Jika campuran dari kedua fasa tersebut diputus secara
mekanis dengan hadirnya emulsifier yang memadai, air akan terdispersi
kedalam butir-butir yang sangat kecil, yang disebut sebagai colloidal micelles.
Mereka mempunyai pengaruh yang sama terhadap viskositas yang diperoleh
jika koloid ditambahkan kedalam lumpur water-base. Oleh karena itu, naiknya
kadar air atau berkurangnya oil-water ratio akan menyebabkan naiknya
viskositas, sedangkan dengan bertambahnya kadar minyak akan menurunkan
viskositas. Meskipun demikian, manipulasi oil-water ratio untuk mengatur
viskositas oil-base mud biasanya tidak dilakukan kecuali untu kondisi khusus.

Lumpur Pemboran 317


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Gambar 6.78. Pengaruh tekanan dan temperatur terhadap viskositas


Dalam perencanaan oil-base mud, cara terbaik adalah dimulai dengan oil-
water ratio minimum dan mencoba menjaga ratio ini sedekat mungkin selama
pemboran berlangsung.

6.11.5.4 Padatan (Solids)


Padatan halus masuk kedalam oil-base mud selama proses pemboran dan
menaikkan viskositas, berasal dari 3 sumber, yaitu : (1) organophllic clay, (2)
naiknya kadar air yang membentuk colloidal micelles, dam (3) cutting (drilled
solids). Kelompok pertama, organophllic clay dapat dikontrol. Sumber padatan
kedua, colloidal micelles, dapat dikontrol kecuali dalam kasus aliran air yang
mengkontaminasi sistem. Kelompok ketiga, cutting, merupakan masalah yang
paling besar.
Bahkan dengan sistem solid control yang paling efektifpun, cutting akan
tetap bertambah dalam sistem oil-base. Cutting dalam oil-base mud sering
terjadi terutama karena cutting tidak menghidrat dalam sistem eksternal
minyak. Hal ini menunjukkan bahwa padatan tidak menghidrat dalam sistem
lumpur minyak. Ketika cutting menjadi koloid, tidak dapat dipisahkan dengan
peralatan pemisah padatan. Jika jumlah padatan terlalu banyak, maka akan
menaikkan viskositas, dan hanya treatment dengan minyak untuk
menurunkan viskositas tersebut.

6.11.5.5 Penentuan Kadar Padatan


Prosedur untuk menentukan kadar padatan oil-base mud adalah sama
seperti yang digunakan untuk water-base mud. Prosedur ini ditunjukkan

318 Lumpur Pemboran


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

dalam API RP13B. Untuk penentuan kadar padatan dalam lumpur minyak
harus diperhatikan beberapa hal, yaitu :
(1) base oil (diesel, mineral oil, dsb.) menggantikan air atau larutan sabun
dalam pembersihan sampel dan peralatan, dan (2) total %volume padatan
yang dilaporkan meliputi kadar garam, bahan pemberat, cutting, dan kadar
bentonit komersial. Menurut
(2), hal ini sangat penting untuk mengetahui low specific gravity kadar
padatan sebenarnya untuk menganalisa problem yang ada dalam lumpur.
Low gravity solid disebut LGS dihitung dari data retort seperti ditunjukkan
pada Tabel 6.8. Tabel 6.9 memberikan densitas larutan dan faktor koreksi
volume baik untuk sodium chloride maupun calcium chloride.

Tabel 6.9 Perhitungan padatan dengan specific gravity rendah

Tabel 6.10 Densitas larutan dan faktor koreksi volume

Lumpur Pemboran 319


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Tabel 6.11 menunjukkan suatu analisa kadar padatan dengan


menggunakan harga specific gravity yang memadai untuk calcium chloride,
hematite, dan low-density solids.
Tabel 6.11 Analisa kadar padatan dalam oil-base mud dari sumur

Gambar 6.79 dan 6.80 menunjukkan kadar padatan terkoreksi vs. densitas
untuk lumpur minyak yang diperberat dengan hematite atau barite. Gambar-
Gambar tersebut telah dikoreksi untuk water-soluble solids, yaitu : sodium
chloride, calcium chloride, atau campuran dalam oil-base mud. Grafik-grafik
tersebut sangat berguna baik di kantor maupun di lokasi pemboran untuk
menentukan keefektifan teknik solid-control yang digunakan dalam menjaga
konsentrasi low specific-gravity solids pada batas yang ditentukan. Tiga garis
diplot pada setiap grafik. Garis di dasar adalah hematite atau barite, minyak,
dan 10%, 20%, atau 20% air. Garis kedua pada semua grafik diberi label
©poor solids aboveª. Garis ketiga dari dasar diberi label ©maximum allowable
solidsª. Engineer mempertahankan oil-base mud total jumlah padatan yang
tidak terlarut tetap berada diantara dasar (bottom) dan garis kedua, tetapi
tidak melebihi maksimum ©allowable solids lineª.

320 Lumpur Pemboran


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Gambar 6.79. Kadar padatan terkoreksi vs berat lumpur (lumpur minyak


denganmenggunakan hematite)

Gambar 6.80.Kadar padatan terkoreksi vs berat lumpur (lumpur minyak dengan


menggunakan barite)

6.11.6. Pengontrolan Activitas Oil-base Mud Untuk Mencapai


Stablitas Lubang Bor
MONDSHINE mengemukakan bahwa ada dua mekanisme yang
diperlukan untuk mengatasi gaya hidrasi yang dihasilkan oleh formasi shale,
yaitu: hidrasi permukaan dan osmotic swelling. Dalam pembahasan hidrasi
permukaan, hal pertama yang harus dipertimbangkan adalah bahwa shale
mempunyai afinitas terhadap air sama dengan gaya kompaksi. Afinitas ini
sering disebut sebagai gaya hidrasi permukaan, yaitu sama dengan tekanan

Lumpur Pemboran 321


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

overburden dikurangi tekanan formasi. Gaya kompaksi adalah sama seperti


formation matrix stress dan dapat diperkirakan sebagai berikut :
OB = PP + MS
MS = OB - PP
dimana ;
OB = tekanan overburden, psi/ft.
PP = tekanan formasi, psi/ft.
MS = matrix stress, psi/ft.
Biasanya, tekanan overburden besarnya 1 psi/ft, sedangkan tekanan
formasi dan matrix stress masing-masing sebesar 0,465 psi/ft dan 0,535 psi/ft.
Dapat dilihat dengan mudah bahwa tekanan formasi lebih tinggi, matrix stress
lebih rendah dan gaya hidrasi permukaan lebih rendah.
Perkembangan gaya hidrasi permukaan dalam shale adalah merupakan
alasan utama mengapa shale menjadi tidak stabil jika berhubungan dengan
air tawar. Penelitian telah dilakukan baik menggunakan pendekatan fisik
maupun kimia untuk mencegah hidrasi shale dalam sistem air tawar.
Mekanisme kedua adalah osmotic swelling merupakan prinsip ketidak-stabilan
shale ketika pemboran menggunakan oil-base mud.
Dengan mendefinisikan bahwa osmosis adalah aliran pelarut dari larutan
yang konsentrasinya kurang kedalam larutan yang kosentrasinya lebih tinggi
melalui selaput (membrane) semipermeable. Hal ini dijelaskan dengan
Gambar 6.81. Dalam oil-base mud, interfacial film disekitar setiap butir-butir
air teremulsi beraski sebagai film semipermeable. Jika fluida yang terdiri dari
fasa air (internal) dalam fasa minyak (eksternal) mengandung salinitas lebih
tinggi dari fluida formasi, maka akan terjadi transfer fluida dari shale, dan
akibatnya akan terjadi dehidrasi pada shale. Sebaliknya jika air bersatu
dengan shale yang mempunyai kadar garam lebih tinggi dari air dalam fasa
internal lumpur pemboran, maka akan terjadi transfer fluida ke dalam shale,
sehingga dapat menaikkan gaya hidrasi. Pada saat ini umumnya oil-base mud
mempunyai konsentrasi calcium chloride sebesar 400.000 ppm. Konsentrasi
ini dapat menghasilkan tekanan osmotik sebesar 13.100 psi, merupakan gaya
yang cukup untuk memªdesorbª air dari clay yang mengandung
montmorilonite dengan konsentrasi tinggi. Dalam beberapa kasus, tekanan
osmotik turun secara drastis antara 5.000 dan 10.000 psi. Tekanan tersebut
dapat dihasilkan oleh 220.000 sampai 310.000 ppm CaCl2. Larutan jenuh
sodium chloride akan menembangkan tekanan osmotik sebesar 5.800 psi.
Maka, dapat terbukti bahwa mengapa pada umumnya oil-base mud
mengandung calcium chloride.

322 Lumpur Pemboran


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Gambar 6.81. Pengaruh tekanan osmotik, gerakan air berkadar garam rendah
menuju ke kadar garam tinggi

CHENEVERT mengemukakan konsep bahwa tidak ada perpindahan air


baik dari atau ke shale, karena potensi kimia atau aktivitas baik lumpur
maupun shale harus sama. Aktivitas didefinisikan sebagai perbandingan
antara fugasitas air dalam sistem dengan fugasitas air murni. Untuk tujuan
praktis, perbandingan fugasitas (fugacity ratio) dapat digantikan dengan
perbandingan tekanan uap (ratio of vapor pressure). Karena tekanan uap
pada dasarnya sama seperti kelembaban relatif, dan karena kelembaban
relatif air murni adalah 1,0, maka aktivitas setiap sistem secara relatif dapat
ditentukan, yaitu 1,0. Jika aktivitas formasi yang dibor diketahui , maka sistem
lumpur dapat dipersiapkan atau diatur agar mencapai aktivitas yang sama.
MONDSHINE mengemukakan tentang pendekatan secara sederhana
untuk memperkirakan aktivitas formasi shale, dengan asumsi bahwa aktivitas
shale dengan kedalaman dan tekanan formasi (kompaksi) dan dapat
diperkirakan dari matrix stress dan salinitas awal. Mondshine selanjutnya
mengemukakan bahwa matrix stress plus tekanan osmotik dalam formasi
mendekati aktivitas formasi tersebut. Dengan menggunakan berbagai variasi
persamaan potensial kimia untuk menunjukkan bahwa tekanan osmotik yang
ada diantara lumpur minyak dikenal sebagai salinitas dan formasi shale
dikenal sebagai aktivitas. Persamaan dan tekanan osmotik berbagai salinitas
lumpur minyak berlawanan dengan shale yang mengandung air tawar seperti
yang disajikan dalam paper-nya. Pada dasarnya, apa yang dikemukakan
Mondshine adalah bahwa jumlah matrix stress dan tekanan osmotik sama
terhadap aktivitas formasi. Dari data-data yang diplot pada Gambar 6.82,
yang menunjukkan bahwa tekanan osmotik tegantung dari kadar garam air
dalam formasi.

Lumpur Pemboran 323


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Metoda-metoda yang dikemukakan oleh CHENEVERT dan MONDSHINE


untuk memperkirakan aktivitas shale hanya berbeda tingkat ketelitiannya. Hal-
hal yang harus diingat adalah :
(1) uji laboratorium untuk menentukan aktivitas langsung tergantung persen
berat air dalam shale yang sedang diuji dan
(2) aktivitas shale pada dasarnya merupakan fungsi gaya kompaksi dan
tekanan osmotik dalam formasi.

Gambar 6.82. Kadar garam yang diperlukan untuk menyeimbangkan tekanan

Berikut adalah petunjuk praktis yang dapat membantu dalam penyiapan


dan perawatan oil-base mud menstabilkan lubang bor yang bermasalah :
1. Shale biasanya mengandung clay yang dapat menghidrat dengan naiknya
kompaksi karena bertambahnya kedalaman, yang berarti bahwa gaya
hidrasi permukaan berkurang.
2. Pada umumnya salinitas yang lebih tinggi diperlukan dengan
bertambahnya kedalaman untuk memerangi pengaruh tekanan osmotik.
3. Pada umumnya shale dapat dikontrol dengan aktivitas antara 0,52 dan
0,53, yang dihasilkan dari 300.000 sampai 350.000 ppm CaCl2.
4. Dengan naiknya temperatur aktivitas lumpur juga bertambah, tetapi
aktivitas formasi berkurang.

6.11.7. Low-colloid Oil Mud


Setelah melalui berbagai tahapan pengembangan yang dimulai pada awal
tahun 1950, invert emulsion mud yang mengandung sampai 50% air telah
disempurnakan sehingga pada saat ini dapat diandalkan sebagai fluida
pemboran. Kerugian utama dari penggunaan invert emulsion mud, dan juga
oil-base mud adalah tingginya biaya pembuatan awal dan rendahnya laju
penembusan. Kerugian lainnya adalah lumpur tersebut membuat kotor
lingkungan seperti lantai bor, pakaian, dsb., dan crew pemboran tidak

324 Lumpur Pemboran


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

menyukainya. Untuk mengatasi hal ini adalah dengan melakukan penanganan


yang lebih baik dan benar.
SIMPSON dan FONTENOT melakukan penelitian pada tahun 1974 dan
menyimpulkan bahwa oil-base mud mengandung sedikit material koloid untuk
penstabil emulsi dan suspensi cutting. Penelitian ini adalah merupakan
pendorong untuk mencapai keberhasilan dalam pengembangan apa yang
sekarang dikenal sebagai ©low-colloid mudª.
Formulasi dari low-colloid oil mud untuk pemboran dalam, bertemperatur
tinggi dengan kestabilan emulsi yang baik dan HTHP loss dibawah 30 cc,
adalah sebagai berikut :
Oil-water ratio 80:20
Calcium soap emulsifier, lb/bbl 2-5
Fatty acid polyamide, lb/bbl 3-7
Lime, lb/bbl 2-4
Organophillic caly, lb/bbl 3-7
CaCl2, ppm 350.000
Barite atau hematite sesuai dengan keperluan
Range sifat-sifat fisik yang diharapkan jika densitas lumpur tersebut 16
lb/gal adalah:
Densitas, lb/gal 16
Funnel viscosity, det/qt 4-54
Plastic viscosity, cp 25-34
Yield point, lb/100sqft 10-14
10-det ge strength, lb/100sqft 3-8
API fluid loss, cc 2-4
HTHP fluid loss, cc 15-25
Electical stablity 750-1500
Total salinity, ppm CaCl2 350.000

6.11.8. Logging in Oil-base Mud


Meskipun oil-base mud tidak konduktif terhadap arus listrik biasanya
digunakan dalam logging dan karena tidak dapat menghasilkan self-potensial,
maka untuk pengontrolan kedalaman dan evaluasi formasi dapat dilakukan
dengan menggunakan log yang tidak tergantung dari hadirnya fluida konduktif
dalam lubang bor. Program logging yang disarankan utuk oil-mud disajikan
pada Tabel 6.12.

Lumpur Pemboran 325


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Tabel 6.12. Program logging untuk Lumpur Minyak

Hal-hal penting yang harus diingat untuk logging pada oil-base mud meliputi:
1. Resistivitas formasi dapat ditentukan dengan log induksi
2. Log radiasi dapat dikombinasikan dengan log lain untuk tujuan korelasi
3. Porositas ditunjukkan melalui sonic, densitas, atau log neutron, baik
secara terpisah maupun kombinasi
4. Sidewall core dan wireline formation test dapat dilakukan pada oil-base
mud dengan menggunakan gamma ray tool.

6.11.9. Pemecahan Masalah Dalam Penggunaan Oil-base Mud


Logika yang sama digunakan dalam pendeteksian dan pemecahan
masalah treatment water-base mud digunakan untuk oil-base mud. Data yang
diperoleh dianalisa dan diplot untuk melihat trend atau perubahan sifat-sifat
fisik lumpur. Perubahan sifat-sifat fisik yang mendadak dan tajam akibat
adanya kontaminasi dapat dideteksi dengan menganalisa trend pada plot
tersebut dan selanjutnya dapat dikoreksi sebelum terjadi problem yang serius.
Problem tretment lumpur biasanya terjadi pada oil-base mud adalah berasal
dari cutting, karena citting dan/atau material pemberat menjadi water-wet,
atau dari kontaminasi air. Tabel 6.13 menyajikan problem-problem yang

326 Lumpur Pemboran


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

biasanya terjadi pada oil-base mud dan ditunjukkan bagaimana cara


mengenali problem dan mengontrolnya.
Teknologi formulasi dan perawatan oil-base mud sangat berbeda dengan
water-base mud. Biasanya lumpur ini dicampur pada lokasi tertentu dan
dikapalkan ke lokasi pemboran dalam kondisi siap untuk didorong (displaced)
kedalam lubang bor. Jika persiapan dilakukan di lokasi pemboran, maka
diperlukan peralatan penyimpanan, dan pembersihan yang memadai.

Tabel 6.13. Pemecahan masalah dalam penggunaan Oil-Base Mud

Contoh 1 :
Jika Oil Water (O/W) rasio adalah 75/25 (75% oil, V1, dan 25%, V2), hitung densitas
lumpur tersebut.
Diketahui :
Densitas diesel oil, D1 = 7,0 ppg
Densitas air, D2 = 8,33 ppg
Rumus :
(V1) (D1) + (V2) (D2) = (V1 + V2 ) DF

Contoh 2.
Menghitung volume awal dari oil plus water dengan mengetahui densitas akhir dan
volume dari lumpur.
Diketahui :
W1 = 7,33 ppg (o/w ratio -75/25)
W2 = 16,0 ppg
Dv = 100 bbl

Lumpur Pemboran 327


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

Densitas Barite = 4,2 ppg


dimana :
SV = Volume awal, bbl
W1 = Densitas awal dari campuran oil/water, ppg
W2 = Densitas akhir
Dv = Volume akhir

328 Lumpur Pemboran


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

DAFTAR PARAMETER DAN SATUAN

A = Filtration Area, Cm2


C = Dial Reading, derajat
f sc = Fraksi volume solid pada mud cake
f sm = Fraksi volume solid pada Lumpur
GS = Gel Strength, lb/100 ft2
k = Permeabilitas, darcy
n = Kandungan pasir, %
N = Revolution perminute (RPM)
P = Perbedaan tekanan yang melalui mud cake, atm
Q = Fluid loss pada waktu tertentu, Cm3
SG = Specific gravity
t = Waktu, menit
Vf = Volume filtrat lumpur, Cm3
Vm = Volume lumpur , bbl
Vmb = Volume lumpur baru, bbl
V ml = Volume lumpur lama, bbl
Vs = Volume solid
Yb = Yield point Bingham, lb/100 ft2
Yp = Yield point, lb/100 ft2
 = Dial reading, derajat
 = Viskositas filtrat, cp
a = Apparent viscosity, cp
p = Plastic viscosity, cp
 = Shear rate, detik
 mb = Densitas lumpur baru, ppg
 ml = Densitas lumpur lama, ppg
s = Densitas solid, ppg
 = Shear stress, dyne/Cm2
V1 = Volume lumpur awal, bbl
V3 = Volume lumpur akhir, bbl
ρ1 = densitas lumpur awal
ρ2 = densitas dari penambahan liquid
ρ3 = densitas akhir campuran
vslip = kecepatan slip (ft/s)
ra = densitas udara (ppg)
rm = densitas lumpur (ppg)
db = diameter gelembung (ft)
mm = viskositas lumpur (cp)
Fr = bilangan Froude (tak berdimensi)
Aa = luas anulus (sq ft)
gc = percepatan gravitasi = 32,174 ft/sec2 = 115826,4 ft/min2
Dav = diameter rata-rata = (D1 + D2)/2 , ft
mf = viskositas lumpur aerasi (cp)
Xudara = fraksi udara dalam lumpur aerasi
mudara = viskositas udara (cp)
mlumpur biasa= viskositas lumpur awal (cp)

Lumpur Pemboran 329


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

vs = kecepatan slip (ft/s)


Dc = ekivalen diameter cutting (ft)
rc = densitas cutting
(pcf)rf = densitas lumpur campuran
(pcf).vt = laju untuk membawa cutting (ft/s)
ROP = laju penetrasi pemboran (ft/jam)
Cc = konsentrasi cutting (%)
vf = kecepatan lumpur (ft/s)
M = laju alir massa lumpur (lb/s)
Qa = laju volume udara (cfpm)
Qm = laju volume lumpur (gpm)
Qc = laju volume cutting (cfpm)
Aa = luas anulus (ft2).
vca = kecepatan kritik (ft/s)
mf = viskositas lumpur (cp)
dh = diameter lubang (ft)
dp = diameter luar drillpipe (ft)
Qa = laju volume udara (cfpm)
Qm = laju volume lumpur (gpm)
P = tekanan (psia)
V = volume (cuft)
Z = faktor kompresibilitas (untuk udara Z = 1)
R = konstanta gas = 10,732 psia.cuft/lb-mole.oR
T = temperatur (oR), yang diasumsikan berharga tetap untuk
sumur dangkal.
rf = densitas lumpur aerasi (pcf)
rm = densitas lumpur biasa (pcf)
Vm = volume lumpur biasa (cuft)
ra = densitas udara (pcf)
Va = volume udara (cuft).
Di = kedalaman i (feet).
Wa(surf) = laju alir massa udara di permukaan (lb/min)
L = konsentrasi yang sebanding dengan filtration area
P = Tekanan pendorong (driving pressure)
= viskositas liquid filtrate
ro = konstanta yang dipengaruhi oleh tahanan pengaliran filtrate
per-unit berat solid dalam filter cake
b = Konstanta kompressible
t = waktu filtrasi
w = berat dari bahan padat per-unit volume dari filtrasi yang
dihasilkan
V = volume dari filtrate yang dihasilkan
V1, V2 = filtration loss pada waktu t1 dan t2 (cc)
.t1, t2 = waktu filtration test, menit.
V = Rate aliran fluidak
f = permeabilitas filter cake (diukur dari statik filtration loss)
. = viskositas filtrate 9cairan)
f = koefisien internal friction antara partikel padat dengan filter
cake, empiris.
d = ketebalan lapisan permukaan filter cake setelah tercapai

330 Lumpur Pemboran


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

keseimbangan dengan erosi yang dideritanya, empiris.


-v+1 = Compaction coeficient, angka yang menunjukkan kesen-
sitifan tekanan pada kompresibilitas filter cake (antara 0.10 - 0.15).
F = shear force;
D = diameter saluran
Y = Yield point, lb/100 ft2
v = Kecepatan fluida mengalir, ft/sec
μp = Viscositas plastik, cp
Qf = rate aliran filtrate melalui dasar sumur, cc/menit.
Q = Rate aliran fluida yang melaui dinding formasi yang tegak
lurus terhadap sumur yang dianggap berbentuk silinder,cc/menit.
Ah = Luas dasar lubang sumur, inch2
Ud = Drilling rate, ft/jam
Ф = Porositas, fraksi
J = dalamnya invasi mud filtrate terhadap formasi produktif, inch.
rw = jari-jari sumur, inch
X = Fraksi connate water atau fluida yang terdesak ke bawah
permukaan dasar sumur dan tidak masuk ke dalam arus
lumpur.
E = Effisiensi, fraksi daro connate water yang didesak oleh
fluida di depannya.
He = Tekanan hidrasi, psi
G = Tekanan overburden (umumnya diambil 1 psi/ft)
Pp = Tekanan pori-pori batuan, psi
Po = Tekanan osmosis, atm
R = Konstanta gas
T = Temperatur Absolut, oK
= Koefisien dari larutan
c = Konsentrasi garam dalam larutan, molal
v = Jumlah ion dalam larutan per-mol
OB = tekanan overburden, psi/ft.
PP = tekanan formasi, psi/ft.
MS = matrix stress, psi/ft.
SV = Volume awal, bbl
W1 = Densitas awal dari campuran oil/water, ppg
W2 = Densitas akhir
Dv = Volume akhir

Lumpur Pemboran 331


Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 2009

DAFTAR PUSTAKA

1. Bourgoyne A.T. et.al., "Applied Drilling Engineering", First Printing Society of


Petroleum Engineers, Richardson TX, 1983.
2. Shale, L.T., "Underbalanced Drilling : Formation Damage Control During Hight
Angle or Horizontal Drilling", SPE paper no. 27351, SPE Inc., 1994.
3. Rizo, T.M., "Aerated Fluid Drilling Observations in Geothermal Operation in
Luzon, Philipines", SPE paper no. 12455, SPE Inc., 1984.
4. Huddleston, Billy Pete, "The Future of Aerated Fluids in Drilling Industry", SPE
Paper no. 839-G, SPE, Inc., 1957.
5. Guo, Boyun; Rajtar, J.M., "Volume Requerements for Aerated Mud Drilling",
SPE paper no. 26956, SPE Inc., 1994.
6. Rennels, Dale A., "Air Drilling", Energy Air Drilling Service Co., 1991.
Rovig, Joe W., "Air Drilling Handbook", Oiltools International, 1992.
7. Bourgoyne A.T. et.al., "Applied Drilling Engineering", First Printing Society of
Petroleum Engineers, Richardson TX, 1983.
8. Shale, L.T., "Underbalanced Drilling : Formation Damage Control During Hight
Angle or Horizontal Drilling", SPE paper no. 27351, SPE Inc., 1994.
9. Rizo, T.M., "Aerated Fluid Drilling Observations in Geothermal Operation in
Luzon, Philipines", SPE paper no. 12455, SPE Inc., 1984.
10. Huddleston, Billy Pete, "The Future of Aerated Fluids in Drilling Industry", SPE
Paper no. 839-G, SPE, Inc., 1957.
11. Guo, Boyun; Rajtar, J.M., "Volume Requerements for Aerated Mud Drilling",
SPE paper no. 26956, SPE Inc., 1994.
12. Rennels, Dale A., "Air Drilling", Energy Air Drilling Service Co., 1991.
13. Rovig, Joe W., "Air Drilling Handbook", Oiltools International, 1992.

332 Lumpur Pemboran

Anda mungkin juga menyukai