Anda di halaman 1dari 10

MUWAZAH ISSN 2502-5368 (Paper) ISSN 2085-8353 (Online) Vol. 9, No.

2, Desember 2017
Website : http://e-journal.iainpekalongan.ac.id/index.php/Muwazah

Diskursus Gender Dalam Pendidikan Islam


Rodianto
Fakultas Tarbiyah IAIN Pekalongan
Rodianto89@gmail.com

Abstract: Education is a media for transferring values, cultures, knowledge and


capabilities in society. So, arising of gender inequalities in society, should be
assumed as a result of gender bias thought in education. We found them in
islamic one too. The main of its problem in Islam could be rooted from its
thoughts, that assumed contain some misinterpretations of its origins and base.
The reinterpretation of religious understanding which gender biased, becomes
necessary and improving the content of the Islamic education curriculum by
eliminating the dichotomy between men and women.

Keywords: Education, Gender equity, Islam

Abstrak: Pendidikan merupakan media untuk mentransfer nilai, budaya


masyarakat, pengetahuan dan kemampuan manusia, termasuk yang berkaitan
dengan nilai-nilai gender yang berkembang di masyarakat. Ketidakadilan
gender di masyarakat, diasumsikan muncul karena terdapat bias gender dalam
pendidikan termasuk dalam pendidikan Islam. Hal tersebut bukan disebabkan
oleh substansi ajaran agama, melainkan adanya penafsiran yang keliru dalam
memahami sumber asli ajaran agama (Islam), sehingga berimplikasi pada
muatan kurikulum yang bias gender. Reintepretasi terhadap pemahaman agama
yang bias gender menjadi penting dilakukan, secara kontinyu dan memperbaiki
muatan kurikulum pendidikan Islam dengan cara menghilangkan dikotomis
antara laki-laki dan perempuan.

Kata kunci: Pendidikan, Keadilan gender, Islam

Diskursus Gender… (Rodianto) 188


MUWAZAH ISSN 2502-5368 (Paper) ISSN 2085-8353 (Online) Vol. 9, No.2, Desember 2017
Website : http://e-journal.iainpekalongan.ac.id/index.php/Muwazah

1. Pendahuluan dalam pernikahan yang banyak


Perdebatan mengenai isu gender mengandung bias gender. Hal ini mungkin
sebagai suatu wacana dan gerakan untuk terjadi dikarenakan dalil-dalil (argumen
mencapai kesetaraan antara laki-laki dan hukum) yang diambil sebagai rujukan
perempuan telah menjadi pembicaraan berasal dari kita-kitab klasik yang penuh
yang cukup menarik perhatian masyarakat. dengan budaya patriarkhi. Selain itu
Respons dan pendapat yang muncul pun semakin mengentalnya kecenderungan bias
berbeda-beda, mulai dari mendukung, gender ini dikarenakan para penulis buku
menolak, menerima sebagai wacana menganggap kitab fiqh yang menjadi
teoretis tapi tidak bisa dilaksanakan secara rujukkannya sebagai sesuatu yang final,
empiris. Kondisi mendukung dan menolak sakral tidak bisa diubah (Syafrida,
ini bukan hanya dilakukan oleh laki-laki 2015:58).
tetapi juga perempuan. Walaupun isu Contoh lain misalnya, bias gender
gender sebagai isu ketidakadilan, yang dalam dunia pendidikan dapat dilihat
banyak mendapat ketidakadilan adalah dalam buku bacaan wajib di sekolah, yang
pada perempuan, tetapi perempuan banyak sebagian besar mentransfer nilai atau
menerima kondisi ketidakadilan itu sebagai norma gender yang berlaku dalam
suatu kondisi yang sudah seharusnya kebudayaan masyarakat. Artinya sistem
diterima (taken for granted). Tidak bisa nilai gender akan berpengaruh pada
pungkiri dalam kehidupan masyarakat kehidupan sistem sosial di sekolah.
Indonesia, budaya patriarkhi masih Sebagai contoh adalah buku ajar telah
berkembang sampai saat ini. Akibatnya, dikonstruksi peran gender perempuan dan
perbedaan jenis kelamin antara laki-laki laki-laki secara segregasi, ayah/laki-laki
dan perempuan telah mengakibatkan digambarkan di kantor, di kebun dan
adanya perbedaan gender, yaitu sejenisnya (sektor publik), sementara
pembedaan peran pandangan seseorang perempuan atau ibu digambarkan di dapur,
terhadap perbedaan laki-laki dan memasak, mencuci, mengasuh adik dan
perempuan. sejenisnya (domestik) (Muawanah, 2009:
Sampai saat ini masih dijumpai 54).
adanya ketimpangan gender dalam dunia Selain itu, Muawanah (2009: 55)
pendidikan termasuk pendidikan agama. Di mengatakan, perilaku yang tampak dalam
antara aspek yang menunjukkan adanya kehidupan sekolah interaksi guru-guru,
bias gender dalam pendidikan dapat dilihat guru-murid, dan murid-murid, baik di
pada perumusan kurikulum. Implementasi dalam maupun di luar kelas, pada saat
kurikulum pendidikan sendiri terdapat pelajaran berlangsung maupun saat
dalam buku ajar yang digunakan di istirahat akan menampakkan konstruksi
sekolah-sekolah. Realitas yang ada, dalam gender yang terbangun selama ini, yaitu
kurikulum pendidikan (agama ataupun bias. Siswa laki-laki selalu ditempatkan
umum) masih terdapat banyak hal yang pada posisi menentukan, misalnya
menonjolkan laki-laki berada pada sektor memimpin organisasi siswa, ketua kelas,
publik sementara perempuan berada pada diskusi kelompok, ataupun dalam
sektor domestik. Dengan kata lain, pemberian kesempatan bertanya dan
kurikulum yang memuat bahan ajar bagi mengemukakan pendapat. Hal ini
siswa belum bernuansa netral gender baik menunjukkan kesenjangan gender muncul
dalam gambar ataupun ilustrasi kalimat dalam proses pembelajaran di sekolah
yang dipakai dalam penjelasan materi. terutama dipengaruhi oleh kurikulum dan
Demikian halnya dalam materi agama, buku-buku pelajaran yang belum
sebagai contoh dalam materi asal kejadian berlandaskan pada peran gender yang
manusia, kewajiban shalat berjama'ah, seimbang terlebih para penulis sebagian
ketentuan poligami, fungsi suami-istri besar laki-laki.

Diskursus Gender… (Rodianto) 189


MUWAZAH ISSN 2502-5368 (Paper) ISSN 2085-8353 (Online) Vol. 9, No.2, Desember 2017
Website : http://e-journal.iainpekalongan.ac.id/index.php/Muwazah

Realitas tersebut jelas akan Berdasarkan penjelasan di atas


menghantarkan pada gambaran sosok dapat disimpulkan bahwa gender adalah
perempuan yang lemah secara fisik dan suatu konsep yang digunakan untuk
psikis dibandingkan laki-laki. Akhirnya, mengidentifikasi perdedaan laki-laki dan
citra perempuan dengan berbagai aspek perempuandari aspek sosial-budaya.
negatifnya, mendarah daging seiring Artinya cara pandang dalam membedakan
sejalan dengan sejarah manusia dan antara laki-laki dan perempuan
kemanusiaan itu sendiri. direkonstruksi nilai, norma, sosio-kultural
yang berkembang dalam suatu daerah.
2. Pembahasan Dengan demikian, gender dalam arti ini
2.1. Definisi Gender mendefinisikan perbedaan laki-laki dan
Secara etimologi, kata “ gender” perempuan dari sudut non-biologis.
berasal dari bahasa Inggris yang berarti Perbedaan tersebut melahirkan
“ jenis kelamin. Dalam Webster’ s New pemisahan fungsi dan tanggung jawab
World sebagaimana dikutip Nasarruddin antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki
Umar, gender diartikan sebagai bertugas mengurusi urusan luar rumah dan
“ perbedaan yang tampak antara laki-laki perempuan bertugas mengurusi urusan
dan perempuan dilihat dari segi nilai dan dalam rumah yang dikenal sebagai
tingkah laku (Umar, 1999: 33). Menurut masyarakat pemburu (hunter) dan peramu
kamus bahasa Inggris, kata gender (gatherer) dalam masyarakat tradisional,
diartikan sebagai "the grouping of words sektor publik dan sektor domestik dalam
into masculine, feminine and neuter, masyarakat modern (Umar, 1999: 302).
according as they are regarded as male, Perbedaan gender (gender differences)
female or without sex". Artinya gender pada proses berikutnya melahirkan peran
adalah kelompok kata yang mempunyai gender (gender role) dan dianggap tidak
sifat maskulin, feminim, atau tanpa menimbulkan masalah, maka tak pernah
keduanya/netral (Homby, 1987: 357). digugat. Akan tetapi yang menjadi masalah
Mosse dalam Syafrida (2015: dan perlu digugat adalah struktur
59)berpendapat, konsep gender pada ketidakadilan yang ditimbulkan oleh peran
dasarnya berbeda dari jenis kelamin gender dan perbedaan gender (Lubis, 2003:
biologis. Jenis kelamin biologis laki-laki 47).
atau perempuan merupakan pemberian dari Tercatat di dalam sejarah bahwa
Tuhan, akan tetapi jalan yang menjadikan hubungan antara laki-laki dan perempuan
maskulin atau feminim adalah gabungan di berbagai belahan dunia, baik pra-Islam
antara blok-blok bangunan biologis dasar maupun masa Islam hingga sekarang,
dan interpretasi biologis oleh kultur sosial. pihak laki-laki selalu berada dalam posisi
Sementara itu, menurut Mansour dominan, walaupun kaum perempuan juga
Fakih (1996: 46) yang mengambil pernah mengukir sejarah dominasinya.
pendapat Oakley mengatakan bahwa Superioritas dan dominasi laki-laki
gender adalah behavioral differences dicontohkan dalam sejarah, misalnya
antara laki-laki dan perempuan yang social terjadinya poligami yang melibatkan
constructed, yakni perbedaan yang bukan penguasaan di berbagai negara, seperti di
kodrat atau bukan ciptaan Tuhan, Parsi, Eropa, Asia Barat, Athena, Yunani,
melainkan diciptakan oleh baik kaum laki- Romawi, bahkan negara Islam seperti
laki maupun perempuan melalui proses Madinah dan masa kerajaan Islam di
sosial budaya yang panjang. Pandangan ini Indonesia. Superioritas kaum perempuan
didukung oleh Zaitunah (1993: 5) bahwa juga mempunyai bukti sejarah bahwa di
gender merupakan sebuah konstruksi sosial masyarakat Arab pra-Islam pernah
yang bersifat relatif, tidak berlaku umum mengalami sistem keluarga matrilinial, di
atau universal.

Diskursus Gender… (Rodianto) 190


MUWAZAH ISSN 2502-5368 (Paper) ISSN 2085-8353 (Online) Vol. 9, No.2, Desember 2017
Website : http://e-journal.iainpekalongan.ac.id/index.php/Muwazah

mana pertalian keluarga dicatat dari pihak perempuan yang menimbulkan


perempuan (Wijaya, 2004: 134). ketimpangan relasi antara laki-laki dan
Sementara itu, dalam dunia Islam perempuan dalam hubungannya sebagai
debat masa kini tentang feminisme, gender hamba tuhan. Dengan kata lain
dan hak-hak perempuan adalah beban pemahaman akan posisi perempuan yang
secara ideologis, karena sudah tertanam bias gender sudah dengan sendirinya
dalam sejarah dari polemik peradaban tertradisikan di masyarakat yang
antara Islam dan Barat. Diskursus gender dibakukan oleh konstruksi budaya dan
dalam dunia Islam kontemporer doktrin keagamaan serta ditopang oleh
digambarkan oleh sejarah sebagai konflik nilai-nilai kultural dan ideologis (Syafrida,
politik antara Islam dan Kristen dan juga 2015: 61).
kolonialisasi bangsa Barat terhadap dunia Menurut Masdar. F. Mas’udi (1997:
Muslim (SadiyyaSyaikh, 2005: 148). 55-56) ketidakadilan dan diskriminasi
Adapun istilah feminisme itu sendiri di terhadap perempuan dalam masyarakat
dalam masyarakat pos-kolonial Arab disebabkan oleh banyak faktor. Pada
Muslim dinodai, tidak murni, dan sangat awalnya adalah disebabkan adanya
direasapi oleh stereotip. Adapun, stereotip stereotype yang cenderung merendahkan
ini didasarkan pada permusuhan antara posisi kaum perempuan, seperti bahwa
laki-laki dan wanita, dan juga imoralitas perempuan itu lemah, lebih emosional dari
dalam bentuk persetubuhan seksual pada nalar, cengeng tidak tahan banting,
terhadap wanita (SadiyyaSyaikh, 2005: tidak patut hidup selain di dalam rumah,
149). dan sebagainya. Menurutnya ada empat
Menurut Arief Budiman (1985: 34), persoalan yang menimbulkan stereotype
ada dua faktor yang mempertahankan terhadap perempuan; 1. Melalui
pembagian peran dan atau kerja laki-laki subordinasi, kaum perempuan harus
dan perempuan yang bias gender. Pertama, tunduk kepada kaum laki-laki. Pemimpin
faktor sosial ekonomi yang didasarkan (imam) hanya pantas dipegang oleh laki-
pada kebutuhan nyata dari sistem laki, sedangkan perempuan hanya boleh
masyarakat itu. Kedua, faktor ideologi atau menjadi yang dipimpin (ma’mum).
sistem patriarkhi yang bukan hanya Perempuan boleh menjadi pemimpin hanya
sekedar sistem kepercayaan abstrak belaka terbatas pada kaumnya saja, yang
akan tetapi didukung oleh lembaga- berfungsi sebagai pendukung kegiatan
lembaga kemasyarakatan yang utama kaum laki-laki, misalnya di Dharma
menyebarkan, mengembangbiakkan dan Wanita, Muslimat, Aisyiah, Fatayat dan
melestarikannya. sebagainya. 2. Perempuan cenderung
Jika ditelusuri lebih jauh, dimarginalisasi atau dipinggirkan. Dalam
keterpurukkan perempuan salah satunya kegiatan masyarakat, perempuan paling
dilatarbelakangi oleh “ kekurangarifan” tinggi hanya menjadi seksi konsumsi atau
dalam menafsirkan dalil-dalil agama Islam penerima tamu saja. Dalam rumah tangga,
yang kemudian seringkali dijadikan dasar perempuan adalah konco wingking di
utuk menolak kesetaraan gender. Kitab- dapur. 3. Kaum perempuan berada dalam
kitab tafsir dijadikan referensi untuk posisi yang lemah, karenanya kaum
melegitimasi paradigma patriarki, yang perempuan sering menjadi sasaran tindak
memberikan hak-hak istimewa kepada kekerasan (violence) oleh kaum laki-laki.
laki-laki dan cenderung memojokkan Dalam masyarakat, bentuk kekerasan itu
perempuan dengan pendefinisian yang mulai dari digoda, dilecehkan, dipukul,
negatif. Pendefinisian sosok perempuan dicerai sampai diperkosa. 4. Akibat
yang negatif ini kemudian diwariskan ketidakadilan gender itu, kaum perempuan
secara turun temurun yang pada akhirnya harus menerima beban pekerjaan yang
mengendap dalam alam bawah sadar lebih berat dan lebih lama daripada yang

Diskursus Gender… (Rodianto) 191


MUWAZAH ISSN 2502-5368 (Paper) ISSN 2085-8353 (Online) Vol. 9, No.2, Desember 2017
Website : http://e-journal.iainpekalongan.ac.id/index.php/Muwazah

dipikul kaum laki-laki. Dalam bekerja, sebagai bahan kurikulum dalam


laki-laki paling aktif maksimal bekerja pendidikan Islam yang bersumber dari teks
rata-rata 10 jam/hari, sedangkan agama dan pemahaman terhadap teks
perempuan bekerja 18 jam/hari. Pada tersebut. Teks sebagai sumber materi dapat
umumnya beban ini dianggap remeh oleh diambil melalui al-Qur’an dan Hadist
kaum laki-laki, karena secara ekonomi sebagai sumber utama. Sedangkan
dinilai kurang berarti (Mas’udi, 1997: 56- pemahaman terhadap teks dapat dilihat
57). dalam buku-buku yang berkaitan dengan
pendidikan Islam. Buku-buku ini
2.2. Bias Gender dalam Pendidikan merupakan buah karya para pemikir Islam,
Islam biasanya disebut dengan kitab kuning.
Bias gender dalam pendidikan salah Dalam kurikulum pendidikan
satunya disebabkan karena metode agama Islam masih terdapat bias gender,
pendidikan yang digunakan. Misalnya, diantaranya pada materi tentang asal
pada metode uswatunhasanah, bila guru kejadian manusia, dijelaskan bahwa laki-
tidak peka dalam memberikan suri laki diciptakan dari tanah sementara
tauladan, maka akan menjebak murid perempuan diciptakan dari tulang rusuk
untuk menerima perilaku guru tanpa ada Nabi Adam. Selanjutnya dijelaskan sebab
penyaringan dari murid. Termasuk perilaku manusia terusir dari syurga adalah karena
yang sangat dapat menimbulkan bias Nabi Adam dan Siti Hawa memakan buah
gender adalah guru perempuan yang khuldi, yang mana Siti Hawa dibujuk oleh
menerangkan secara lemah lembut. Syaithan untuk memakan buah khuldi,
Perilaku lemah lembut guru perempuan di seterusnya Siti Hawa membujuk Nabi
sini, bisa saja tidak dipahami sebagai Adam untuk mau mengikuti saran
proses membimbing melainkan karena syaithan. Berdasarkan sejarah yang yang
memang sudah menjadi kodrat wanita dipaparkan bahwa perempuan tercipta dari
untuk berperilaku lemah lembut. Sehingga bagian tubuh laki-laki yaitu tulang rusuk
tak jarang kebanyakan murid laki-laki suka yang bengkok, ini mengindikasikan bahwa
diajar oleh guru perempuan. Pemberian perempuan tidak sama dengan laki-laki
hukuman pada siswa juga bisa jadi tapi adalah bagian dari laki-laki. Pada
menimbulkan bias apabila dalam memberi giliran membawa pemahaman bahwa
hadiah dan memberi hukuman ada perempuan adalah manusia yang lemah.
pembedaan antara laki-laki dan Dari kisah terusirnya Nabi Adam dan Siti
perempuan. Lalu pada metode yang Hawa dari syurga karena Siti Hawa yang
berdasarkan pada conditioning bisa membujuk Nabi Adam untuk memakan
menjadikan adanya bias gender sebab alat buah quldi. Ini mengisyaratkan bahwa
peraga yang dipergunakan dalam kelas perempuan mudah digoda oleh syaithan,
biasanya rawan untuk membedakan selanjutnya perempuan sering
pembagian kerja berdasarkan jenis menjerumuskan laki-laki dengan bujuk
kelamin. Misalnya para siswi biasanya rayunya, yang notabene-nya membawa
disuruh menyapu atau ditampilkan untuk pemahaman bahwa perempuan adalah
memperagakan bagaimana menyapu lantai, manusia penggoda dan sering
sedangkan para siswa laki-laki disuruh menjerumuskan pasangannya. Selain itu,
melakukan hal-hal yang menunjukkan dalam buku-buku ajar agama Islam untuk
keperkasaan, seperti mencangkul rumput SD mulai kelas 1-3, Kisah-kisah Nabi dan
dan sebagainya (Gustiana, 2014: 61). Rasul diceritakan hanya kisah Nabi dan
Tidak hanya di dalam tujuan dan Rasul dari kaum laki-laki saja (Tim KKG
metode, materi dalam proses pendidikan PAI, 2002: 125).
Islam juga mengalami bias. Materi dalam Disamping itu, bias gender dalam
proses pendidikan Islam harus didudukkan pendidikan Islam juga terlihat dalam

Diskursus Gender… (Rodianto) 192


MUWAZAH ISSN 2502-5368 (Paper) ISSN 2085-8353 (Online) Vol. 9, No.2, Desember 2017
Website : http://e-journal.iainpekalongan.ac.id/index.php/Muwazah

pengelompokan gender ke dalam jurusan, Pada zaman sebelum Islam,


bidang kejuruan atau bidang-bidang perempuan bangsa Arab berada pada
keahlian yang berbeda-beda menurut jenis posisi yang sangat rendah dalam
kelamin. Gejala ini berdampak buruk masyarakatnya. Mereka tidak hanya rendah
berupa kompetisi yang kurang sehat dalam secara sosial tapi juga diperlakukan tidak
hubungan antar gender yang lebih dari barang dagangan. Mereka tidak
mengakibatkan seluruh potensi peserta hanya diperbudak, tetapi juga dapat
didik tidak akan dikembangkan secara diwariskan sebagaimana harta benda.
optimal. Menurut Musda Mulia dalam Bahkan setelah mewarisi istri ayahnya,
Amsari, pendidikan Islam khususnya seorang laki-laki dapat mengawininya.
pendidikan di pesantren, dikenal dengan Menurut Maulana Muhammad Ali dalam
pendidikan yang menganut sistem otoriter. Asghar Ali Engineer (2000: 32), “ Di
Guru atau ustadz umumnya diperlakukan kalangan masyarakat Arab pra Islam,
sebagai sosok yang harus dihormati apabila seorang laki-laki meninggal dunia,
sehingga tidak pantas dikritik. Fatalnya, putranya yang lebih tua atau anggota
mengajukan pertanyaan sering dimaknai keluarga lainnya mempunyai hak untuk
sebagai memberi kritik. Hubungan antar memiliki janda atau janda-jandanya,
guru dan peserta didik selalu berjarak mengawini mereka jika mereka suka, tanpa
seperti hubungan atasan dan bawahan memberikan mas kawin, atau
(Amasari, 2005: 31). Meskipun demikian, mengawinkannya dengan orang lain, atau
menurut penulis pernyataan tersebut tidak melarang mereka kawin sama sekali.
sepenuhnya benar. Sebab dalam proses Sebelum Islam, perempuan tidak
pembelajaran di pesantren banyak santri memperoleh hak-hak menurut undang-
yang bertanya kepada ustadz (guru) dan undang dan tidak dapat kedudukan dalam
kyainya. masyarakat sebagaimana yang sewajarnya
diberikan kepada mereka dan seharusnya
2.3. Diskursus Gender dalam diakui oleh masyarakat. Perempuan sama
Pendidikan Islam sekali tidak mempunyai hak untuk
Sebelum jauh membahas tentang mendapatkan pendidikan, wanita harus
dinamika gender dalam pendidikan Islam, tinggal di rumah saja dan tidak mempunyai
agaknya perlu diulas sedikit kedudukan andil dalam kehidupan masyarakat.
perempuan pada awal Islam. Kepada perempuan tidak diberikan
Bagaimanakah hak perempuan dalam kebebasan dalam segala urusan, mereka
pendidikan Islam, hal ini bisa ditinjau tidak diberi kesempatan untuk menikmati
secara umum dari kedudukan dan hak-hak kehidupan dan tidak mendapat
perempuan dalam Islam. Islam perlindungan untuk memperoleh hak-
menekankan persamaan hakiki dan haknya.Namun semua itu berubah, setelah
mendasar antara laki-laki dan perempuan Islam hadir pada abad ke-7. Hal ihwal
dan hak yang sama dalam semua bidang kaum perempuan menjadi baik dan
yang menentukan, termasuk dalam menggembirakan. Islam mengangkat
pendidikan.Dalam sejarah tertulis bahwa martabat kaun perempuan dan memberikan
pada awal kelahiran Islam,semua hak-hak yang telah hancur luluh oleh
peradaban, baik Yunani,Romawi, Cina, tradisi-tradisi, fanatisme golongan dan
India dan Persia dengan tingkat kebangsaan. Kepada kaum wanita
kebudayaannyayangtinggi memperlakukan diberikan peran yang amat besar, yang
perempuan hanya sebagaiharta benda yang belum pernah diberikan oleh agama-agama
tidak memiliki hak apapun,Islam justru sebelumnya, bahkan oleh undang-undang
memberikan kedudukan yang tinggi pada manapun. Norma-norma Islam yang
perempuan (El-Nimr, 1996: 93). menyangkut kedudukan wanita adalah

Diskursus Gender… (Rodianto) 193


MUWAZAH ISSN 2502-5368 (Paper) ISSN 2085-8353 (Online) Vol. 9, No.2, Desember 2017
Website : http://e-journal.iainpekalongan.ac.id/index.php/Muwazah

perwujudan dari nilai-nilai kemanusiaan syariah dengan menggunakan ilmu bantu


dan keadilan (Ali Yafie, Tt: 63) bahasa dan logika deduktif yang merujuk
Al-Qur’an, sebagai sumber ajaran pada menderivasi hukum-hukum, aturan-
Islam, merupakan sumber ajaran yang aturan, dan norma-norma dari kitab suci.
yang banyak sekali mencurahkan perhatian Dari sana lalu muncul kluster ilmu-ilmu
terhadap kedudukan perempuan. Al- agama (Islam) seperti kalam (logika), fiqh
Qur’an lah yang mengangkat harkat dan (hukum Islam terapan), tafsir (interpretasi),
martabat kaum perempuan disaat budaya faraidl (pewarisan), aqidah (keyakinan),
Arab pra Islam begitu merendahkan akhlaq (etika), ibadah (peribadatan) dan
perempuan sehingga pembunuhan anak begitu seterusnya dengan ilmu bantu
perempuan menjadi hal yang diterima bahasa Arab. Dalam pendidikan Islam
secara wajar. Al-Qur’an juga memberikan menurutMuhaimin (2004: 20-21) apa yang
hak-hak pada kaum perempuan pada abad disebut sebagai ‘ulumu al-din ini berada
ke 7, hal yang tidak bisa diperoleh dalam kurikulum pendidikan Islam. Dan
perempuan Barat hingga baru-baru ini saja apa yang disebut sebagai epistemologi
(Mayer, 1995: 94). pendidikan Islam berarti mempertanyakan
Dalam aspek epistemologi, apa saja isi pendidikan Islam (kurikulum)
pendidikan berarti menekankan sistem yang perlu dididikkan? Dengan apa
kegiatan pendidikan pada pembentukan pendidikan Islam itu dijalankan (metode).
sikap ilmiah‘ (scientific attitude), suatu Sementara itu, Abuddin Nata terdiri bahwa
sikap yang dijiwai nilai kebenaran. Dari kurikulum mencakul empat bagian, dua
sikap ilmiah itu, diharapkan adanya diantaranya ialah bagian yang berisi
pertumbuhan dan perkembangan pengetahuan, informasi-informasi, data,
kematangan intelektual, berupa kreativitas aktifitas-aktifitas, dan pengalaman-
dan keterampilan hidup. Sementara itu, pengalaman yang merupakan bahan bagi
epistemologi pendidikan Islam lebih penyusunan kurikulum yang isinya berupa
menekankan pada upaya, cara atau mata pelajaran yang kemudian dimasukkan
langkah-langkah untuk mendapatkan dalam silabus. Berikutnya ialah bagian
pengetahuan pendidikan Islam yang yang berisi metode atau cara
didasarkan pada Al-Quran dan Al-Sunnah menyampaikan mata pelajaran tersebut
(Yutimaalahuyatazaka: 2014: 298). (AbudinNata: 2005: 177).
Sementara itu, dalam dimensi Dengan demikian, bisa diambil
epistemologis pendidikan Islam sumber kesimpulan bahwa problem mendasar dari
pengetahuan berasal dari Al-Quran dan Al- kurikulum pendidikan ilmu-ilmu
Sunnah. Sumber yang dimaksud di sini keagamaan (‘ulum al-din) Islam ialah
adalah landasan yang digunakan oleh para masih dipertahankannya corak berpikir
pengelola lembaga pendidikan Islam untuk deduktif. Konstruksi ilmu Agama Islam
mendapatkan konsep sebagai dasar yang diajarkan di sekolah-sekolah,
pengembangan lembaga pendidikan. madrasah-madrasah, dan pesantren-
Secara umum sumber ilmu pendidikan pesantren tidak lepas dari logika deduktif
Islam terbagi menjadi dua yaitu tadwini dari para perancangnya. Sebagai misal
dan takwini. Ilmu tadwini dapat dipahami fikih dan tafsir yang di situ disinyalir
sebagai ilmu yang berkembang dengan adanya praktik-praktik yang dinilai bersifat
penjabaran dari Al-Qur’an dan Al-Hadits subordinatif. Logika deduktif menjadi
dengan metode bayani(Riyadi: 2010: 6). pedoman dalam merancang bangunan
Menurut Amin Abdullah (2010: x), batang tubuh pengetahuan (body of
ketika disebut sebagai ‘ulumu al-din knowledge) fikih dan tafsir. Sehingga,
(religious knowledge), pemahaman kita karena hanya mendasarkan diri pada teks
umumnya langsung merujuk pada ilmu- yang sifatnya umum (Al-Quran dan As-
ilmu agama (Islam) seperti aqidah dan Sunnah), pemikiran deduktif ini cenderung

Diskursus Gender… (Rodianto) 194


MUWAZAH ISSN 2502-5368 (Paper) ISSN 2085-8353 (Online) Vol. 9, No.2, Desember 2017
Website : http://e-journal.iainpekalongan.ac.id/index.php/Muwazah

terbatas dan terfokus pada hal-hal yang materi dalam pelajaran fikih yang
bersifat aksidental bukan subtansial, berhubungan dengan kedudukan hakim
sehingga kurang bisa dinamis mengikuti wanita dalam Islam, wali dan saksi
perkembangan sejarah dan sosial pengantin perempuan, kewajiban istri dan
masyarakat yang begini cepat (Shaleh, suami, hingga pembagian harta warisan,
2012: 191). materi-materi ini yang terkesan bersifat
Akibatnya, ilmu-ilmu Agama subordinatif dan misoginis, apabila
(seperti fikih dan tafsir) yang ada di dalam dipahami secara tekstual dan disampaikan
kurikulum pendidikan Islam kemudian kepada peserta didik secara taken for
disampaikan kepada peserta didik tanpa granted dan dogmatis, maka akan
pendekatan kritis, dapat mengakibatkan berdampak secara sosial dan kultural bagi
masuknya budaya-budaya patriarki dalam kehidupan peserta didik yaitu akan
sistem berpikir peserta didik. Apalagi menimbulkan pandangan yang bias gender
ditambah dengan adanya latar belakang dengan memandang rendah wanita sebagai
dari pendidik yang berbudaya patriarki. Ini the second, dan di sinilah praktik-praktik
seolah-olah pendidikan Islam memang marginalisasi dapat tumbuh subur. Imbas
dibangun untuk mewarisi budaya dari pandangan yang serba subordinatif
subordinatif melalui mata pelajaran Agama tersebut, tidak hanya dalam lingkup
yang diberikan, sekaligus ditambah lagi pendidikan saja, melainkan juga akan
corak berpikir dari pendidik yang juga merembet pada aspek ekonomi, sosial,
mencerminkan konstruksi bias gender. budaya, politik dan tentunya praktik
Sehingga, dapat disimpulkan bahwa mata keagamaan itu
pelajaran keagamaan (Pendidikan Agama) sendiri(Yutimaalahuyatazaka: 2014: 300).
bersifat a-historis, karena kurangnya Upaya untuk mengatasi
memperhatikan realitas relasi dan ketidakadilan gender dalam pendidikan
kedudukan antara laki-laki dan perempuan menurut Nasaruddin Umar (1999: 288)
di zaman kontemporer dapat dilakukan beberapa langkah, di
ini(Yutimaalahuyatazaka: 2014: 299). antaranya; (1) Reintepretasi ayat-ayat Al-
Fikih dan Tafsir yang dirancang Qur’an dan hadits yang bias gender
sistematikanya oleh para ulama-ulama dilakukan secara kontinu (sudut pandang
abad pertengahan masih menjadi pedoman Islam), (2) Muatan kurikulum nasional
keilmuan masa kini dalam pendidikan yang menghilangkan dikotomis antara laki-
Islam tanpa adanya proses selektifitas dan laki dan perempuan, demikian pula
kritis terhadap bangunan epistemologi kurikulum lokal dengan berbasis
keilmuan Islam. Dampaknya, corak kesetaraan, keadilan dan keseimbangan.
berpikir masyarakat Arab yang lebih Kurikulum disusun sesuai dengan
mengunggulkan sifat maskulinitas dan kebutuhan dan tipologi daerah yang
merendahkan feminimitas menjadi terpola dimulai dari tingkat pendidikan Taman
dan terpatri dalam diri peserta didik, Kanak-Kanak sampai ke tingkat Perguruan
sehingga menghasilkan produk-produk Tinggi. (3) Pemberdayaan kaum
peserta didik yang memiliki pandangan perempuan di sektor pendidikan informal
hidup yang bias gender. seperti pemberian fasilitas belajar mulai di
Misalnya, di dalam materi-materi tingkat kelurahan sampai kepada tingkat
pembelajaran PAI yang membahas tentang kabupaten disesuaikan dengan kebutuhan
“ talak, di situ terdapat adanya dominasi daerah.
laki-laki terhadap perempuan, khususnya
dalam pembahasan macam-macam talak. 3. Simpulan
Dalam buku itu juga mencantumkan UU Berdasarkan uraian di atas bisa
No. 1 tahun 1974, pasal 3 ayat 2 tentang diambil beberapa kesimpulan, diantaranya;
ijin beristri lebih dari seorang. 34 Materi- (1) Dalam pendidikan Islam masih ditemui

Diskursus Gender… (Rodianto) 195


MUWAZAH ISSN 2502-5368 (Paper) ISSN 2085-8353 (Online) Vol. 9, No.2, Desember 2017
Website : http://e-journal.iainpekalongan.ac.id/index.php/Muwazah

adanya bias gender, seperti dalam metode Engineer, A.A (2000). Hak-hak
pendidikan dan kurikulum pendidikan Perempuan Dalam Islam. (Farid
Islam. Dalam kurikulum pendidikan Islam Wajidi dan Cicik Farkha, Penerj.).
yang di dalamnya ada materi fiqh, tafsir di Yogyakarta: LSPPA.
dalamnya mengandung bias gender, seperti Gustiana, J.(2014).Bias Gender dalam
materi munakahat (perkawinan) dan Proses Pendidikan Islam.
tentang penciptaan hawa, Akan tetapi bias JurnalMarwah, Vol. XIII No. 1
gender dalam pendidikan Islam bukan Juni.
dikarenakan substansi ajaran Islam, Hornby, AS., 1987,Oxford Advanced
melainkan adanya penafsiran/pemahaman Dictionary of Current English.
agama yang kurang tepat dalam memahami London: Oxford University Press.
sebuah sumber asli ajaran Islam. Islam Lubis, Nur Ahmad Fadhil,
adalah ajaran yang sangat menjujung tingg 2003,Yurisprudensi Emansipatif.
prinsip-prinsip universal, seperti keadilan, Bandung: Citapustaka Media.
kesetaraan dan kemanusiaan. Maka, upaya Mansour Fakih, et al., 1996,Membincang
yang dapat dilakukan untuk mengatasi bias Feminisme: Diskursus Jender
gender dalam pendidikan adalah dengan Perspektif Islam (Surabaya: Risalah
melakukan reintepretasi ayat-ayat Al- Gusti.
Qur’an dan hadits yang bias gender dan Mas’udi, M.E.(1997). Perempuan dalam
dilakukan secara kontinu. Selain itu, dalam Wacana Keislaman, dalam Smita
praktik pembelajaran harus berhati-hati Notosutanto dan E. Kristi
dalam menggunakan metode pendidikan, Poerwandari (Peny, Perempuan
serta di dalam muatan kurikulum dan Pemberdayaan: Kumpulan
pendidikan Islam harus menghilangkan Karangan untuk Menghormati
dikotomis antara laki-laki dan perempuan. Ulang tahun ke–70 Ibu Saparinah
Saalli, Cet. I. Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia.
Daftar Pustaka Muawanah,Elfi, 2009,Pendidikan Gender
dan Hak Asasi Manusia.
Abdullah, M.A. (2010). “ Pendekatan Yogyakarta: Teras.
Terhadap Islam dalam Studi Muhaimin, 2004,Wacana Pengembangan
Agama. Richard C Martin, Pendidikan Islam. Yogyakarta:
(ed).Yogyakarta: SukaPress. Pustaka Pelajar.
Amasari (Member of PSG LAIN). Nata, Abudin,2005, Filsafat Pendidikan
(2005).Laporan Penelitian Islam. Jakarta: Gaya Media
Pendidikan Berwawasan Gender. Pratama
Banjarmasin: IAIN Antasari Riyadi, A.A(2010). Filsafat Pendidikan
Budiman,A. (1985),Pembagian Kerja Islam. Yogyakarta: Teras
Secara Seksual, Sebuah Shaleh, A. Khudori,2012,Wacana Baru
Pembahasan Sosiologis tentang Filsafat Islam. Yogyakarta: Pustaka
Peran Wanita di dalam Pelajar.
Masyarakat.Jakarta: PT Gramedia Syafrida, “ 2015, “Evaluasi Materi
Elizabeth,A.M. (1995). Islam and Human Pendidikan Islam Perspektif
Rights, Tradition and Politics. Gender (Evaluasi Terhadap Materi
London: Pinter Publishers. Buku Ajar Agama Islam).
El-Nimr, R. (1996). ” Women In Islamic JurnalMarwah, Vol. XIV No. 1
Law” in Mai Yamani,ed. Juni.
Feminism And Islam Legal and Syaikh, S. (2005). “ Transforming
Literary Perspective. New York: Feminisms: Islam, Women and
New York University Press. Gender Justice” dalam Omid

Diskursus Gender… (Rodianto) 196


MUWAZAH ISSN 2502-5368 (Paper) ISSN 2085-8353 (Online) Vol. 9, No.2, Desember 2017
Website : http://e-journal.iainpekalongan.ac.id/index.php/Muwazah

Shafi, Progressive Muslim on


Justice, Gender and Pluralism.
Oxford: One World.
Tim KKG PAI. (2002). Integrasi Budi
Pekerti dalam Pendidikan Agama
Islam untuk SD Kelas 4. Jakarta:
Ghalia Indonesia.
Umar, N.(1999) Argumen Kesetaraan
Jender Perspektif Al-Qur’ an.
Jakarta: Paramadina.
Wijaya, A.(2004) Menggugat Otentisitas
Wahyu Tuhan; Kritik Atas Nalar
Tafsir Gender. Yogyakarta: Safiria
Insania Press.
Yafie,A. (T.t.).” Kemitrasejajaran Wanita-
Pria Perspektif Agama Islam. HJ.
Bainar (ed.) Wacana Perempuan.
Yutimaalahuyatazaka.“ (2014).Gender dan
Pengembangan Pemikiran
Pendidikan Islam.Jurnal
Pendidikan Islam, Volume III,
Nomor 2, Desember.
Zaitunah.(1993). Tafsir Kebencian; Studi
Bias Jender dalam Tafsir Al-
Quran. Yogyakarta: LkiS

Diskursus Gender… (Rodianto) 197

Anda mungkin juga menyukai