Anda di halaman 1dari 16

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologis Kelenjar Tiroid


Kelenjar tiroid terletak tepat dibawah kedua sisi laring dan terletak disebelah
anterior trakea. Kelenjar tiroid mensekresi dua macam hormon yaitu hormon tiroid dan
kalsitonin. Setiap menitnya jumlah aliran darah di dalam kelenjar tiroid kira-kira lima
kali lebih besar daripada berat kelenjar tiroid itu sendiri (Guyton, 1997). Kira-kira 93
persen hormon-hormon aktif metabolism yang disekresikan oleh kelenjar tiroid adalah
tiroksin (t4) dan triiodotironin (T3). Namun, hampir semua tiroksin akhirmya akan
diubah menjadi triioditironin di dalam jaringan, sehingga secara fungsional keduanya
penting (Guyton, 1997) .

Sekitar 75% dari T4 dan 70% dari T3 berikatan dengan tiroid binding globulin
(TBG). hanya sejumlah kecil dari hormon T3 (0.3%) dan T4 (0.03%) yang tidak
berikatan dan berdifusi ke jaringan perifer. Hormon T3 dan T4 yang tidak terikat inilah
yang akhirnya akan menjadi hormon yang aktif di dalam tubuh.
Hormon tiroid memiliki efek terhadap mayoritas organ dan jaringan di dalam tubuh,
kecuali organ otak pada orang dewasa, limpa, testis, uterus, dan kelenjar tiroid itu sendiri.
Hormon tiroid berperan besar. dalam pertumbuhan dan metabolisme yang terjadi di
dalam tubuh.

2.2 Definisi
Migneco et al (2005) menyatakan bahwa krisis tiroid merupakan suatu keadaan
eksaserbasi lanjut dari kondisi hipertiroid dengan karakteristik kegagalan organ pada satu
atau lebih sistem organ. Senada dengan pernyataan di atas, Hudak & Galo
(2010)menyatakan bahwa krisis tiroid merupakan keadaan krisis terburuk dari status
tirotoksik. Penurunan kondisi yang sangat cepat dan kematian dapat terjadi jika tidak
segera tertangani.
3
4

Dari pernyataan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa krisis tiroid merupakan
suatu bentuk kegawatdaruratan yang merupakan suatu keadaan eksaserbasi lanjut dari
tirotoksikosis dengan karakteristik dekompensasi organ yang dapat dengan segera
menimbulkan kematian jika pasien tidak mendapatkan penangan segera dan adekuat.

2.3 Etiologi
Penyebab paling sering terjadinya krisis tiroid adalah penyakit grave. Penyakit
grave merupakan penyakit autoimun yang dimediasi oleh antibodi reseptor tirotropin
yang menstimulasi sintesis hormon tiroid menjadi berlebihan dan tidak terkendali (Nayak,
2010). Selain itu penyebab lainnya yang terjadi berupa hipertiroidisme eksogen, tiroiditis,
goiter nodular toksik, dan kanker tiroid. Obat-obat tertentu seperti prosedur radiografi
atau amiodaron (obat antidisritmia) juga dapat mencetuskan terjadinya status tirotoksik
karena mengandung iodin yang tinggi (Hudak & Galo, 2010).
Krisis tiroid juga dapat dicetuskan oleh suatu kondisi tertentu. Menurut Hudak &
Galo (2010) faktor pencetus terjadinya kritis tiroid terbagi menjadi dua yaitu pertama,
pasien yang beresiko terhadap terjadinya krisis endokrin pada mereka yang telah
mengetahui adanya gangguan endokrin seperti infeksi, trauma, penyakit medical yang
bersamaan (infark miokard, penyakit paru), kehamilan, dan pengobatan (terapi steroid, β-
blocker, narkotik, alkohohol, terapi glukokortikoid, terapi insulin, diuretik tiasin, fenitoin,
agen-agen kemoterapi, dan agen-agen inflamasi nonsteroid). Faktor pencetus yang kedua
yaitu pasien yang beresiko terkena krisis endokrin, yang sebelumnya belum mengetahui
adanya gangguan endokrin. Faktor pencetus kedua ini meliputi tumor pituitary, terapi
radiasi pada leher dan kepala, penyakit autoimun, prosedur pembahasan neurologi,
metastasis malignasi, pembedahan, penyakit yang berkepanjangan, syok, postpartum, dan
trauma.
Kritis tiroid dilaporkan terjadi pada pasien dengan trauma. Seorang pria berusia 40
tahun mengalami kecelakaan lalu lintas. Pria tersebut mengalami kontusio multiple dan
abrasi pada semua ekstremitas. Tidak terdapat obvious cedera kepala dengan gcs 15.
Kondisi hemodinamik pasien stabil dan hasil laboratorium darah lengkap, glukosa darah,
fungsi renal dan elektrolit dalam batas normal. Namun, setelah beberapa jam kondisi
sensoris pasien semakin menurun dan pasien mengalami bingung dan stupotubuh. Suhu
tubuh meningkat mencapai 38.4o C dan nadi mencapai 140/menit. T3 pasien 7pg/ml (1.4-
4.4), T4 = 2.2 (0.8-2) dan TSH <0.01 (0.35-4.94). Kasus ini mewakili kejadian krisis
tiroid yang disebabkan oleh kondisi yang berhubungan dengan penyakit akut/sub akut
dimana sebelumnya pasien tidak mengalami gangguan endokrin.
5

2.4 Manifestasi Klinis


Manifestasi klinis dari kritis tiroid merupakan suatu kondisi ekstrem dari keadaan
tirotoksikosis. Semakin parahnya, gejala dari tirotoksikosis patut diwaspadai, karena
kondisi seperti ini akan jatuh pada tahap krisis tiroid. Migneco (2005) menjelaskan bahwa
gambaran klinis dari krisis tiroid terbagi menjadi 4 hal utama, yaitu : 1) demam tinggi, 2)
gangguan kardiovaskuler seperti sinus takikardi atau variasi aritmia
supraventrikuler(takikardi atrial paroksisimal, atral fibrilasi, atrial flutter), dan dapat
dijumpai gagal jantung kongestif, 3) gangguan sistem saraf pusat (agitasi, kegelisahan,
kebingungan, delirium, dan koma), 4) gangguan gastrointestinal seperti muntah dan diare.
Senada dengan yang diungkapakan oleh Migneco, Nayak (2010) menyatakan bahwa
manifestasi klinis dari krisis tiroid meliputi :

1. Gangguan Konstitusional
Salah satu kondisi yang dapat ditemukan pada pasien dengan krisis tiroid adalah
kehilangan berat badan. Hal ini dapat disebabkan kondisi hipermetabolik yang terjadi,
dimana sejumlah energi dihasilkan namun pada kondisi ini penggunaan energi terjadi
secara berlebihan. selanjutnya, hal ini akan menyebabkan peningkatan produksi panas
dan pembuangan panas secara berlebihan. gejala konstitusional lain yang dapat
ditemukan adalah kelelahan dan kelemahan otot

2. Gangguan Neuropsikiatri
Gangguan neuropsikiatri pada pasien dengan krisis trioid dapat ditemukan kondisi
seperti labilitas, gelisah, cemas, agitasi, bingung, psikosis, bahkan koma. Sebuah studi
perilaku menunjukkan bahwa kinerja memori dan konsentrasi yang buruk berbanding
dengan derajat keparahan tirotoksikosis itu sendiri.

3. Gangguan Gastrointestinal
Gejala gastrointestinal meliputi peningkatan frekuensi motilitas usus yang disebabkan
peningkatan kontraksi motor usus kecil. Hal ini akan menyebabkan pembuangan isi
usus lebih cepat

4. Gangguan Kardiorespiratori
Gejala kardiorespiratori pada pasien tirotoksikosis meliputi palpitasi dan dispnea.
Sesak nafas dapat disebabkan multifaktorial dikarenakan penurunan komplians paru
dan gagal jantung kiri. Selian itu, nyeri dapat ditemukan pada pasien dengan
tirotoksikosis seperti halnya nyeri pada angina pectoris. Nyeri ini dapat disebabkan
6

oleh peningkatan kebutuhan penggunaan oksigen dan spasme arteri koroner. Gejala
lainnya pada pasien dengan krisis tiroid dapat ditemukan kondisi seperti takikardi,
peningkatan nadi, pleuropericardial, dan takiaritmia.

2.5 PATOFISIOLOGI
Patogenesis kriris tiroid pada dasarnya belum diketahui secara pasti. Namun,dapat
dipastikan bahwa kadar hormon tiroid yang beredar dalam darah menjadi jauh lebih
tinggi. Menurut Hudak & Galo (2010) terdapat tiga mekanisme fisiologis yang dapat
meningkatkan krisis tiroid:
1. Pelepasan seketika hormon tiroid dalam jumlah yang besar
Pelepasan tiba-tiba hormon tiroid dalam jumlah besar diduga menyebabkan
manifestasi hipermetabolik yang terjadi selama krisis tiroid. Pelepasan tiba-tiba
hormon tiroid ini dapat disebabkan pemberian yodium radioaktif, pembedahan
tiroid, atau dosis berlebihan pemberian hormon tiroid.
2. Hiperaktivitas adrenergic
Hiperaktivitas adrenergik dapat dipandang sebagai kemungkinan penghubung
pada krisis tiroid. Hal ini dapat dilihat dari pemberian penghambat beta adrenergic
memberikan respon yang dramatis pada pasien dengan krisis tiroid (Bakta, M,
Suartika, K, 1999).
Hormon tiroid dan katekolamin saling mempengaruhi satu sama lain. Namun,
masih belum pasti apakah efek hipersekresi hormon tiroid atau peningkatan kadar
katekolamin menyebabkan peningkatan sensitivitas dan fungsi organ efektor,
Interaksi tiroid katekolamin menyebabkan peningkatan kecepatan reaksi kimia,
meningkatkan konsumsi nutrient dan oksigen, meningkatkan produksi panas,
perubahan keseimbangan cairan dan elektrolit dan status katabolik.
3. Lipolisis dan pembentukan asam lemak yang berlebihan
Dengan lipolisis yang berlebihan terjadi peningkatan jumlah asam lemak bebas.
Okisdasi dan asam lemak bebas ini menyebabkan meningkatnya kebutuhan
oksigen, kalori, dan hipertermi dengan menghasilkan produksi panas yang
berlimpah yang sulit untuk dihilangkan melalui proses vasodilatas.

Sedangakan menurut Urden (2010), proses patofisiologis pada krisis tiroid dapat
dijelaskan sebagai berikut :

Pada hipertiroidisme hormon tiroid yang berlebih menyebabkan peningkatan


aktiivitas metabolik dan merangsang reseptor β-adrenegic, yang akan
7

menyebabkan peningkatan respon SNS. Terdapat hiperaktivitas dari jaringan


syaraf, jaringan cardiac, jaringan otot polos, dan produksi panas yang berlebih.
Peningkatan hormon tiroid juga akan menyebabkan pemakaian oksigen
seluler di hampir seluruh proses metabolik sel di dalam tubuh. Metabolisme yang
berlebih akan menghasilkan panas , dan suhu tubuh dapat mencapai 41o C atau
(106.80 F). Respon dari cardiac adalah dengan cara meningkatkan CO dan
memompa darah lebih banyak untuk mengirimkan oksigen secara cepat dan
membawa karbondioksida. Sehingga akan mengakibatkan takikardi dan
hipertensi. Pada akhirnya, permintaan oksigen dalam keadaan hipermetabolik
yang begitu besar mengakibatkan jantung tidak dapat berkompensasi secara
adekuat.
Guyton (1997) memiliki pandangan lain terkait peningkatan aktivitas
metabolik seluler di dalam tubuh. Menurut Guyton, peningkatan aktivitas
metabolik berhubungan dengan meningkatnya transport aktif ion-ion melalui
mebran sel. Salah satu enzim yang meningkat sebagai respon hormon tiroid adalah
Na, K-ATPase. Na, K-ATPase ini selanjutnya meningkatkan kecepatan transport
baik natrium maupun kalium melalui membran-membran sel dari berbagai
jaringan. Proses ini menggunakan energi dan meningkatkan jumlah panas yang
dibentuk dalam tubuh. Pada akhirnya proses ini diduga sebagai salah satu
mekanisme peningkatan kecepatan metabolik dalm tubuh.
Peningkatan aktivitas metabolik yang terjadi menyebabkan peningkatan
kebutuhan oksigen dan sumber energi. Hal ini berpotensi terjadinya asidosis
metabolik. Peningkatan peristaltik usus akan menyebabkan terjadinya diare, mual,
dan muntah. Gejala ini akan menyebabkan terjadinya dehidrasi dan malnutrisi
serta kehilangan BB pada pasien (Urder, 2010).
Kontraksi dan relaksasi otot dapat meningkat secara cepat. Keadaan ini
disebut juga dengan hiperrefleksia hipertiroidisme. Kelemahan otot terjadi
disebabkan oleh katabolisme protein yang berlebihan.
8

2.6 DIAGNOSIS
Diagnosis dari krisis tiroid ditegakkan melalui temuan-temuan klinis. Burch &
Watorfsky (1993) mengembangkan suatu skoring yang disebut dengan APACHE (Acute
Phisiology, Age, and Chronic Health Evaluation) dengan kriteria yang terdiri dari suhu,
sistem saraf pusat, gastrointestinal, kardiovaskuler, dan sejarah presipitasi untuk
penegakkan diagnosis dari krisis tiroid.

Tabel 1.1

Kriteria Poin
Gangguan Termoregulasi
Temperature 0F
99.0–99.9 5
100.0–100.9 10
101.0–101.9 15
102.0–102.9 20
103.0–103.9 25
≥104.0 30 30

Kardiovaskuler
Takikardia (beats per minute)
100–109 5
110–119 10
120–129 15
130–139 20
≥140 25

Atrial Fibrilasi
Absent 0
Present 10
Congestive Heart Failure
Absent 0
Mild 5
Moderate 10
Severe 20
9

Disfungsi Gastrointestinal-Hepatic
Manifestation
Absent 0
Mild 10
Severe 20
Gangguan CNS
Manifestasi
Absen 0
Mild (agitation) 10
Moderate (delirium, psikosis, ekstreme lethargy) 20
Severe (Seizure, coma) 30

Sejarah Pencetus (Precipitant History)


Status
Positif 0

Negatif 10
Scores totaled
>45 Thyroid storm
25-44 Impending Storm
< 25 Storm Unlikely

Sumber : (Burch and Wartofsky, 1993 (21) dalam ATA & AACE, 2011)

Adapun kesimpulan dari scoring ini adalah jika skor pasien > 45 maka pasien
didiagnosis mengalami krisis tiroid. Skor 25-44 menunjukkan kondisi ini segera
terjadi krisis tiroid dan jika skor < 25 menunjukkan tidak terjadi krisis tiroid.
Selain Burch and Wartofsky (BW) scoring sebagai alat untuk menilai kriteria
diagnosis krisis tiroid, Japan Thyroid Association dan Japan Endocrine Society
(JTA/JCE) juga memiliki kriteria diagnosis krisis tiroid. Kriteria diagnosis yang
dirumuskan oleh JTA/JCE ini jauh lebih mudah dan sederhana jika dibandingkan
dengan BW scoring. Dibawah ini merupakan kriteria diagnostic krisis tiroid menurut
JTA/JCE :
10

Tabel 1.2
Diagnostic Criteria For Thyroid Storm of Japan Thyroid Association and Japan
Endocrine Society

Presenece of thyrotoxicosis (elevation of free


Essential criterion symptoms : T3 and/or T4)

Symptoms involving the central


Symptoms : 1. nervous
System
2. Fever (≥ 38oC)
3. Tachycardia (≥ 130/min)
4. Symptoms of heart failure
5. Gastrointestinal system

Cases definitely diagnosed as having thyroid storm :

Satisfaction of the essential criterion and at least one of the following criteria
a. Central nervous system symptoms + one more of the symptoms, or
b. 3 or more symptoms other than those of central nervous system
Cases suspected of having thyroid storm :
a. Satisfaction of essential criterion + 2 symptoms other than those of central nervous
system, or
b. Satisfaction of essential criterion is not confirmed, but positive history of thyroid
disease + exopthalmos + goiter are present and criterion a or b for definite case is
satified

Sumber : Journal Thyroid Research (2011)


11

2.7 PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Laboratorium
Seperti yang telah dijelaskan di atas penegakkan diagnosa krisis tiroid
berdasarkan temuan-temuan klinis, bukan berdasarkan hasil laboratorium. Hasil
laboratorium dapat berguna untuk mengidentifikasi faktor pencetus.
Pemeriksaan laboratorium yang ditemukan seperti peningkatan kadar serum
total dan konsentrasi T3 bebas, peningkatan T4, dan penekan level TSH. Gambaran
laboratorium lain berupa leukositosis, abnormalitas enzim liver, hiperglikemia,
hiperkalsemia, dan peningkatan glikogenolisis. Hiperkalsemia dapat ditemukan
karena hormon tiroid dapat menstimulasi resorpsi tulang (misra; 2012, nayak; 2010)

2. Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah dengan penggunaan ultratiroid scan.
Pemeriksaan ini dapat memperlihatkan keadaan dari hipertiroidisme yang ditunjukkan
dengan gambaran khas dari basedow’s disease atau nodular goiter dengan
karakteristik warna-pola Doppler dari hiperaktivitas kelenjar tiroid. Sehingga, hal ini
dapat membedakan kelenjar normal dengan mudah (Migneco et al, 2005).

Gambar 1
Penyakit Graves : transverse

sonogram dari lobus kiri


menunjukkan pembesaran secara
difusi, heterogen, dan hypoechoic
parenkim. Gambaran power Doppler
menunjukkan pola hipervaskuler

Gambar 2
Toxic Nodular Goiter : transverse
sonogram dari lobus kanan menunjukkan
adanya massa yang berisi darah
12

Gambar 3
Normal Thyroid
Studi pencitraan lain yang dapat dilakukan
adalah radiografi dada. Radiografi dada
berguna untuk menunjukkan adanya
pembesaran jantung dan menunjukkan
adanya oedema paru yang disebabkan karna
adanya pembesaran jatung ataupun infeksi
paru. Selain itu, dapat dilakukan CT scan
untuk menilai fungsi neurologis pasien
(Misra, 2010).
3. Pemeriksaan Lainnya
Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah ECG. Pemeriksaan ini
bertujuan untuk memonitor cardiac aritmia, dimana kasus atrial fibrilasi paling
banyak ditemukan pada pasien dengan krisis tiroid. Aritmia yang lain seperti halnya
flutter, ventrikular takikardi juga dapat terjadi pada kasus ini (Misra, 2010).

2.8 Manajemen Farmakologis


Menurut Urden (2010), pada dasarnya manajemen farmakologis pada krisis tiroid
terbagi menjadi tiga, yaitu memblok sintesis dan pengeluaran hormon tiroid, memblok
dan menghambat konversi dari T4 menjadi T3, dan Menurunkan sensiitivitas seluler
peripheral terhadap katekolamin
Pengobatan yang pertama menggunakan Prophyltiouracil (PTU) atau methimazole
yang akan memblok sintesis dari hormone tiroid dan menghambat konversi dari T4
menjadi T3. Dosis PTU 200-250 mg setiap 4 jam secara oral atau melalui NGT. Perawat
harus memonitor tanda dari perdarahan dan penurunan jumlah platelet (Dahlen, 2002;
Dulak, Kaplow & Hardin, 2007).
Satu sampai dua jam kemudian diberikan iodine solution (lugol) yang bertujuan
untuk mencegah pengeluaran dari penyimpanan hormon tiroid ke seluruh tubuh. Dosis
ini diberikan 8 tetes setiap 6 jam secara oral atau melalui ngt (Dahlen, 2002; Dulak,
Kaplow & Hardin, 2007 dalam Bray, 2010).
13

Untuk melawan efek beta adrenergic dari krisis tiroid seperti takikardi, tremor, dan
gelisah dapat diberikan beta blocker. Perawat dapat memberikan propanolol 60-120 mg
IV setiap 6 jam.
Fungsi cardiac pasien harus senantiasa dimonitor. Propanolol merupkan drug of
choice karena tidak hanya sebagai beta blocking tetapi juga dapat mengurangi HR, dan
memblok konversi dari T4 menjadi T3. Propanolol sebaiknya tidak digunakan pada
pasien dengan PPOK karena berpotensi terjadi bronkospasme. Pada kasus ini beta 1
selective blocker dapat menjadi pilihan (Dahlen, 2002; Dulak, Kaplow & Hardin, 2007
dalam Bray, 2010)
Menurut Urden (2010), beberapa pasien dengan krisis tiroid mengalami
insufisiensi adrenal. Sehingga perlu diberikan deksametason ataupun hidrokortison.
Hidrokortison berguna untuk menekan kortisol dari kelenjar adrenal. Perawat dapat
memberikan 100 mg iv setiap 8 jam dan memonitor glukosa dan elektrolit (Dahlen,
2002; Dulak, Kaplow & Hardin, 2007 dalam Bray, 2010)
Dibawah ini merupakan manajemen farmakologis yang direkomendasikan oleh
American Thyroid Associaton (ATA)/American Associations of Clinical
Endocrinologists (2011) pada pasien dengan krisis tiroid :

Table 1.3
Thyroid Storm : Drugs & Doses

Drug Dosing Comment


500-1000 mg load,then 250
Prophyltiouracil mg Block new hormone synthesis
setiap 4 jam Blocks T4-to-T3 conversion
Methimazole 60-80 mg/day Blocks new hormone synthesis
Consider invasive monitoring
Propanolol 60-80 mg every 4 hour in
congestive heart
failure
Blocks T4 to T3 conversion in
high doses
Alternate drugs : esmolol
infusion
Iodine (Saturated solution of 5 drops (0.25mL or 250 mg) Do not start until 1 hour after
14

potassium iodide) orally every 6 hours antithyroid drugs


Blocks new hormone synthesis
Blocks thyroid hormone
release
Hidrokortison 300 mg iv load, then 100 mg Block T4 to T3 conversion
Prophylaxi
setiap 8 jam s against relative
adrenal insufficiency
Alternativ
e drug :
dexamethasone

Sumber : Bahn et al (2011)

Esmolol merupakan salah satu alternatif obat beta blocker yang direkomendasikan
oleh ATA/AACE untuk mengatasi takikardi sebagai respon dari hiperaktivtias adrenergik
pada pasien dengan krisis tiroid. Namun, terdapat sebuah studi yang mengungkapkan
kegagalan esmolol dalam menangani takikardi pada pasien dengan krisis tiroid pasca sub-
tiroidektomi. Kasus ini dialami seorang wanita berusia 33 tahun dengan berat 56 kg di China.
Wanita ini mengalami pembengkakkan di lehernya`secara progresif dalm kurun waktu 7
tahun. Sebelumnya, 4 tahun yang lalu wanita ini pernah didiagnosa mengalmi
hipertiroidisme. Dikarenakan kegagalan dari pengobatan, akhirnya dilakukan operasi subtotal
tiroidektomi dengan menggunakan propofol dan infuse sufentanil sebagai anestesi umum.
Setelah 30 menit, wanita ini sadar dan kemampuan nafas dinyatakan adekuat. Namun
demikian, wanita ini mengalami febris (38.6°C), gelisah, dan keringat berlebihan. Selain itu,
arterial pressure 156/107 mm Hg dan ECG menunjukkan terjadi sinus takikardi (154x/m).
pasien ini diduga mengalami krisis tiroid sehingga diberikan esmolol 30 mg melalui
intravena dan midazolam 5 mg. ice packs dan alcohol sponging digunakan untuk
menurunkan suhu tubuh, methimazole 20 mg diberikan melalui ngt, dan hydrocortisone 100
mg dan nicardipine 0.25 mg diberikan melalui i.v. setelah 20 menit suhu tubuh pasien
menurun. Namun masih terrdapat takikardi dan hipertensi. Selanjutnya esmolol kembali
diberikan namun ternyata hipertensi dan takikardi masih menetap. Tes fungsi tiroid yerjadi
kenaikan T# dan T4 serta penurunan TSH. Akhirnya pasien dbawa ke ICU dan pemberian
esmolol dihentikan dan pemberian diltiazem dilanjutkan. Pasien juga diberikan perngobatan
yang sama seperti sebelumnya yaitu hidrokortison, PTU, dan iodine, setelah 10 jam
pengobatan, kondisi pasien stabil dan nadi pasien menurun menjadi 92x/m.
15

Zhong, HJ dan Yang, T.D (2012) mengungkapkan bahwa pada pasien ini
kemungkinan besar mengalami insensitivitas terhadap beta-blocker. Hal ini mungkin
disebabkan oleh abnormalitas sifat dan jumlah beta adrenergic reseptor di jantung.
Peningkatan dosis pemberian beta blocker mungkin diperlukan untuk mengatasinya.
Pada kasus di atas ditemukan buruknya respon terhadap obat beta bloker yang
diberikan. Respon yang cepat dibutuhkan terhadap pengobatan yang tidak sesuai agar tidak
terjadi dampak yang lebih buruk.
Apabila dengan pengobatan konvensional seperti di atas tidak berhasil, maka untuk
menurunkan kadar hormon secara langsung dapat menggunakan plasmaferesis, tukar plasma,
dialysis peritoneal, tranfusi tukar, dan charcoal plasma perfusion (Bakta, M, Suastika
K,1999).
Penelitian yang dilakukan oleh Muller et al (2011) bertujuan untuk mengetahui peran
pertukaran plasma pada krisis tiroid. Penelitian ini merupakan sebuah laporan kasus dimana
theurapetic plasma exchange (TPE) diberikan kepada 3 pasien lansia yang dirawat karena
mengalami krisis tiroid. Hasil menunjukkan setelah pemberian TPE terdapat peningkatan
kondisi klinis dan biologis pasien. TPE memberikan efek membuang sitokin, putatives
antibodies, hormon tiroid dan ikatannya terhadap protein.

2.9 Manajemen Perioperatif


Riwayat pembedahan tiroid ataupun pembedahan tiroid dalam keadaan tiroksikosis
memiliki mortalitas yang tinggi pada akhir abad ke 19. Hal ini disebabkan oleh krisis tiroid
yang terjadi pasca operasi. Pada tahun 1923, penggunaan iodine inorganik dapat menurunkan
mortalitas sampai kurang dari 1%. Kemudian, pada awal tahun 1940 thionamide mulai
digunakan untuk persiapan pre-operasi.
Manajemen pre-operasi dari pasien tirotoksikosis dapat dibagi menjadi 2 : persiapan
elektif atau prosedur non urgen dan persiapan prosedur emergensi. Pada keadaan non-urgen,
terapi thionamide sangat direkomendasikan dan akan menyebabkan keadaan eutiroidime
dalam beberapa minggu. Penggunaan iodine sebelum pre-operasi dapat menurunkan
vaskularitas kelenjar tiroid dan menurunkan aliran darah. Namun, penggunaan iodine
diindikasikan hanya jika penggunaan thionamide tidak dapat ditoleransi.
Pada persiapan preoperasi dari pasien tirotoksikosis untuk prosedur emergensi, waktu
merupakan hal yang paling penting, Penurunan secara cepat level hormone tiroid, kontrol
pengeluaran hormon tiroid, dan kontrol dari manifestasi perifer. Pada kondisi ini, regimen
pengobatan sama dengan krisis tiroid
Sebuah studi yang dilakukan Erbil et al (2007) tentang efek lugol terhadap aliran
darah pada kelenjar tiroid dan kepadatan pembuluh darah mikro. Penelitian ini bertujuan
16

untuk mengetahui pengaruh lugol dalam menurunkan vaskularitas pada kelenjar tiroid,
karena selama ini keefektivititasan dari pemberian lugol masih menjadi perdebatan.
Penelitian ini menggunakan desain uji klinis prospektif. 36 pasien dipilih secara acak untuk
diberikan cairan lugol sebagai preoperative treatement. Pada penelitian ini 17 pasien
mendapatkan cairan lugol dan sisanya 19 pasien sebagai kelompok kontrol. Penilaian
dilakukan menggunakan USG pewarnaan Dopler. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
pemberian cairan lugol pre operasi dapat menurunkan aliran darah, vaskularitas tiroid, dan
kehilangan darah pada saat proses tiroidektomi.
Setelah dilakukan tiroidektomi, tionamide dapat dihentikan 1 sampai 3 hari setelah
operasi. Namun, terapi dengan reseptor β-adrenegik masih dibutuhkan dalam jangka waktu
pendek, sekitar 7-8 hari dikarena waktu paruh dari T4.

2.10 Manajemen Keperawatan


Menurut Urden (2010), pada kasus emergensi krisis tiroid ini perawat berperan dalam
pemberian obat secara aman dan mengawasi timbulnya efek samping obat, normalisasi suhu
tubuh, rehidrasi dan koreksi metabolik, serta dalam memberikan pendidikan kesehatan
terhadap klien.

1. Medication Adminstration
Pemberian obat harus dilakukan secara aman dan sesuai dengan prosedur. Perawat
juga harus memahami efek yang ditimbulkan dari obat-obatan yang diberikan. Seperti
penggunaan beta blocker, perhatikan efek samping apakah setelah diberikan obat terjadi
penurunan nadi dan tekanan darah secara cepat, bahkan timbul cardiac arrest.

2. Normalisasi suhu tubuh


Pada pasien dengan krisis tiroid memiliki suhu tubuh yang sangat tinggi (hiperpiretik)
berkaitan dengan kondisi hipermetabolik yang dialami pasien. Perawat dapat mengurangi
demam dengan penggunaan ice packs. Selain itu, perawat dapat memberikan kompres pada
aksila, kepala, dan lipatan paha pasien. Asetaminopen (antipiretik) dapat diberikan. Namun
untuk aspirin dan salisilat tidak dapat diberikan karena dapat meningkatkan level sirkulasi
hormon tiroid (Dahlen, 2002: Dulak, 2005 dalam Bray, 2010).
Selain dengan pemberian asetaminofen, Carrol dan Matflin (2011) mengungkapkan
bahwa chlorpromazin 50-100 mg setiap 6 jam sekali dapat diberikan baik secara oral ataupun
melalui intramuscular (IM). CPZ dapat mengurangi hipertermi , karena efeknya langsung
pada termoregulasi sentral.
17

3. Rehidrasi dan Koreksi Perubahan Metabolik


Hipertermi, takipnea, diaphoresis, muntah, diare menyebabkan pasien mengalami
kekurangan cairan. Penggantian cairan dan elektrolit perlu dilakukan secara cepat. Glukosa
dapat diberikan untuk menggantikan cadangan glikogen yang menurun, pemberian insulin
dapat dilakukan apabila terdapat kondisi hipeglikemi yang dapat disebabkan oleh mobilisasi
dari nutrisi maupun glukokortikoid. Pengukuran kadar glukosa perlu diperlukan secara
berkala untuk mengetahui dosis insulin yang perlu diberikan, Hiponatremia yang bisa
disebabkan oleh muntah dapat dipantau melalui hasil laboratorium serum. Pemberian cairan
isotonis diperlukan dalam kondisi ini. selain itu pemantaun kelembaban mukosa, berat badan,
dan intake output cairan perlu dipantau secara berkala.

4. Pendidikan Kesehatan
Pasien maupun keluarga pasien perlu mendapatkan penjelasan yang adekuat terkait
kondisi krisis yang dialami pasien. Penjelesan yang diberikan merujuk pada kondisi
emosional dan tingkat kognitif pasien. Penyebab dari demam tinggi, ansietas, dan disritmia
cardiac perlu dijelaskan dengan bahasa yang dapat dipahami oleh keluarga pasien maupun
pasien itu sendiri. Sehingga, pasien maupun keluarga memahami bahwa kondisi-kondisi
tersebut merupakan hasil sirkulasi kimia dalam tubuh dan untuk penangan awal dapat diatasi
segera dengan pengobatan secara konservatif.
18

Anda mungkin juga menyukai