Anda di halaman 1dari 28

Nilai :

Tanda tangan:

LAPORAN KASUS
Miopia Astigmatisma Compositus

Pembimbing :
dr. Moch Soewandi, Sp.M

Disusun Oleh :
Lisda Yolanda
11 – 2017 – 210

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT MATA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
RUMAH SAKIT ANGKATAN UDARA DR ESNAWAN ANTARIKSA
PERIODE 29 MARET – 1 JUNI 2019

1
LEMBAR PENILAIAN

Nama Lisda Yolanda

NIM 112017210

Tanggal Mei 2019

Judul kasus Miopia Astigmatisma Compositus

Skor
Aspek yang dinilai
1 2 3 4 5

Pengumpulan data

Analisa masalah

Penguasaan teori

Referensi

Pengambilan keputusan klinis

Cara penyajian

Bentuk laporan

Total

Nilai %= (Total/35)x100%

Keterangan : 1 = sangat kurang (20%), 2 = kurang (40%), 3 = sedang (60%), 4 = baik (80%),
dan 5 =sangat baik (100%)

Komentar penilai

Nama Penilai Paraf/Stempel

2
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus dengan judul:

Miopia Astigmatisma Compositus

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat menyelesaikan kepanitraan klinik

Ilmu Penyakit Mata RSAU Dr. Esnawan Antariksa periode 29 Maret – 1 Juni 2019

Disusun Oleh:

Lisda Yolanda

112017210

Telah diterima dan disetujui oleh dr. Moch Soewandi, Sp.M selaku dokter pembimbing
Departement Mata RSAU Dr. Esnawan Antariksa

Jakarta, Mei 2019

Pembimbing

dr. Moch Soewandi, Sp.M

3
DAFTAR ISI

4
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
(UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA)
Jl. TerusanArjuna No. 6 Kebon Jeruk – Jakarta Barat

KEPANITERAAN KLINIK
STATUS ILMU PENYAKIT MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
Hari / TanggalUjian / PresentasiKasus: Mei 2019
SMF ILMU PENAKIT MATA
RSAU dr. EsnawanAntariksa

Nama : Lisda Yolanda TandaTangan

NIM : 112017210 ………………..

Dr. Pembimbing / Penguji : dr. Moch Soewandi,Sp.M ………………..

I. IDENTITAS
Nama : Nn. JPK
Umur : 23 Tahun
Agama : Kristen
Pekerjaan : Mahasiswa
Alamat : Komplek TNI AU Cakrawala II – Halim Perdanakusuma
Tanggal pemeriksaan : 06 Mei 2019

II. ANAMNESIS
Auto Anamnesis tanggal : 06 Mei 2019

Keluhan Utama :
Penglihatan kabur berbayang sejak 1 bulan SMRS.

Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien datang ke poli mata dr. Esnawan Antariksa dengan keluhan penglihatan kabur
dan berbayang sejak 1 bulan SMRS dan kacamata yang digunakan mulai terasa tidak

5
nyaman sejak sebulan ini. Pasien merasa minus-nya bertambah karena beberapa
tulisan kecil sudah tak terbaca jika dalam jarak yang cukup jauh. Ukuran kacamata
yang digunakan pasien (OD S-2.75 dan OS S-0.50) dan pasien jarang memakai
kacamata. Pasien juga mengeluhkan kadang sakit kepala jika pasien terlalu lama
bermain ponsel tanpa menggunakan kacamata. Pasien memiliki kebiasaan membaca
dalam posisi tiduran dan menonton telivisi dalam waktu yang cukup lama tanpa
istirahat. Keluhan lainnya seperti mata merah, berair, pandangan berkabut, nyeri dan
silau disangkal pasien. Pasien menyangkal mempunyai keluhan sering menabrak saat
berjalan.

Riwayat Penyakit Dahulu :


Pasien sudah menggunakan kacamata sejak 9 tahun yang lalu. Saat itu pasien berusia
14 tahun dan sedang duduk di bangku kelas 3 SMP. Penglihatan kedua mata kabur
terutama pada saat melihat jauh ke papan tulis. Pandangan akan terasa lebih jelas bila
pasien memicingkan mata.
Pasien mengaku pernah mengalami infeksi pada kornea akibat penggunaan kontak
lens yang lama. Pasien mengalami mata merah, berair, terasa ada pasir dan silau jika
melihat cahaya sekitar 8 tahun yang lalu.
Riwayat diabetes melitus, hipertensi dan penyakit jantung disangkal. Riwayat trauma
pada mata dan riwayat operasi mata sebelumnya juga disangkal.

Riwayat Alergi :
Primperan

Riwayat Penyakit Keluarga :


Orangtua pasien memiliki riwayat menggunakan kacamata lihat jauh.

III. PEMERIKSAAN FISIK


a. Status generalis
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis

Tanda-tanda vital
Tekanan darah : 120/70 mmHg

6
Nadi : 82x per menit
Suhu : 36°C
Laju pernafasan : 18x per menit

Kepala : Normocephal, tidak terdapat deformitas


Telinga : Discharge (-)
Hidung : Deviasi septum (-), discharge (-), epistaksis (-)
Mulut : Karies gigi (-)
Leher : Kelenjar getah bening tidak mengalami pembesaran
Thorax
Jantung : BJ I-II reguler, murmur (-), gallop (-)
Paru : Suara napas dasar vesikuler, rhonki (-), wheezing (-)
Abdomen : Cembung, supel, nyeri tekan (-), bising usus (+) N.
Ekstremitas : Hangat, udema -/-, deformitas (-)

b. Status oftalmologis
KETERANGAN OD OS
VISUS
Tajam penglihatan 3/60 6/9
Koreksi S–2.75 C–0.50 x 10o 6/6 S–0.25 C–0.25 x 180o 6/6
Addisi - -
Distansia Pupil 60/- mm
KEDUDUKAN BOLA MATA
Eksoftalmus Tidak ada Tidak ada
Endoftalmus Tidak ada Tidak ada
Deviasi Tidak ada Tidak ada
Gerakan mata Baik ke segala arah Baik ke segala arah
SUPRA SILIA
Warna Hitam Hitam

Letak Simetris Simetris

PALPEBRA SUPERIOR DAN INFERIOR

7
Edema Tidak Ada Tidak Ada
Nyeri tekan Tidak Ada Tidak Ada
Ektropion Tidak Ada Tidak Ada
Entropion Tidak Ada Tidak Ada
Blefarospasme Tidak Ada Tidak Ada
Trikiasis Tidak Ada Tidak Ada
Sikatriks Tidak Ada Tidak Ada
Fisura palpebra 9 mm 9 mm
Hordeolum Tidak Ada Tidak Ada
Kalazion Tidak Ada Tidak Ada
Ptosis Tidak Ada Tidak Ada
KONJUNGTIVA TARSAL SUPERIOR DAN INFERIOR
Hiperemis Tidak Ada Tidak Ada
Folikel Tidak Ada Tidak Ada
Papil Tidak Ada Tidak Ada
Sikatriks Tidak Ada Tidak Ada
Anemia Tidak Ada Tidak Ada
Kemosis Tidak Ada Tidak Ada
KONJUNGTIVA BULBI
Injeksi konjungtiva Tidak Ada Tidak Ada
Injeksi siliar Tidak Ada Tidak Ada
Perdarahan
Tidak Ada Tidak Ada
subkonjungtiva
Pterigium Tidak Ada Tidak Ada
Pinguekula Tidak Ada Tidak Ada
Nervus pigmentosus Tidak Ada Tidak Ada
SKLERA
Warna Putih Putih
Ikterik Tidak Ada Tidak Ada
KORNEA

8
Kejernihan Jernih Jernih
Permukaan Licin Licin
Ukuran 12 mm 12 mm
Sensibilitas Baik Baik
Infiltrat Tidak ada Tidak ada
Ulkus Tidak ada Tidak ada
Perforasi Tidak ada Tidak ada
Arkus senilis Tidak ada Tidak ada
Edema Tidak ada Tidak ada
Tes Plasido Tidak dilakukan Tidak dilakukan
BILIK MATA DEPAN
Kedalaman Dalam Dalam
Kejernihan Jernih Jernih
Hifema Tidak ada Tidak ada
Hipopion Tidak ada Tidak ada
Efek Tyndall Tidak ada Tidak ada
IRIS
Warna Coklat Coklat
Kripte Jelas Jelas
Bentuk Bulat Bulat
Sinekia Tidak ada Tidak ada
Koloboma Tidak ada Tidak ada
PUPIL
Letak Sentral Sentral
Bentuk Bulat Bulat
Ukuran 5 mm 5 mm
Refleks cahaya langung + +
Refleks cahaya tidak
+ +
langsung
LENSA

9
Kejernihan Jernih Jernih
Letak Ditengah Ditengah
Tes shadow Tidak dilakukan Tidak dilakukan

BADAN KACA
Kejernihan Tidak dilakukan Tidak dilakukan
FUNDUS OKULI
Batas Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Warna Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Ekskavasio Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Ratio Arteri : Vena Tidak dilakukan Tidak dilakukan
C/D Ratio Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Makula Lutea Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Retina Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Eksudat Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Sikatriks Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Ablasio Tidak dilakukan Tidak dilakukan
PALPASI
Nyeri tekan Tidak Ada Tidak Ada
Massa tumor Tidak Ada Tidak Ada
Tensi okuli (digital) N+0/P N+0/P
Non Contact Tonometers 16 mmHg 14 mmHg

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG - Tidak dilakukan

V. RESUME
Pasien perempuan berumur 23 tahun datang ke poli mata dr. Esnawan Antariksa
dengan keluhan penglihatan kabur berbayang dan kacamata yang digunakan mulai
terasa tidak nyaman sejak sebulan ini. Pasien merasa minus-nya bertambah karena
beberapa tulisan kecil sudah tak terbaca jika dalam jarak yang cukup jauh. Saat ini
kacamata yang digunakan pasien dengan ukuran (OD S-2.75 OS 0.50). Pasien sudah
menggunakan kacamata sejak 9 tahun yang lalu. Pandangan akan terasa lebih jelas

10
bila pasien memicingkan mata. Pasien memiliki riwayat infeksi pada kornea kanan 8
tahun yang lalu akibat penggunaan kontak lens yang terlalu lama. Pada pemeriksaan :
OD PEMERIKSAAN OS
S–2.75 C–0.50 x 10o 6/6 Koreksi S–0.25 C–0.25 x 180o 6/6
VI. DIAGNOSIS KERJA
ODS Miopia Astigmatisma Compositus
Dasar diagnosis :
 OD S–2.75 C–0.50 x 10o 6/6
 OS S–0.25 C–0.25 x 180o 6/6

VII. PENATALAKSAAN
Non Medika Mentosa
 Kacamata dengan koreksi
SPH CYL AXIS DP
O.D. - 2.75 - 0.50 10o 65
O.S. - 0.25 - 0.25 180o -

VIII. PROGNOSIS
OD OS
Ad Vitam : ad bonam ad bonam
Ad Functionam : ad bonam ad bonam
Ad Sanationam : ad bonam ad bonam

11
TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN
Miopia adalah suatu bentuk kelainan refraksi dimana sinar-sinar sejajar yang datang
dari jarak tak terhingga oleh mata dalam keadaan tidak berakomodasi dibiaskan pada satu
titik di depan retina. Miopia berasal dari bahasa yunani “muopia” yang memiliki arti menutup
mata. Miopia merupakan manifestasi kabur bila melihat jauh, istilah populernya adalah
“nearsightedness.1
Astigmat adalah suatu keadaan dimana sinar yang masuk ke dalam mata tidak terpusat
pada satu titik saja. Astigmat merupakan kelainan pembiasan mata yang menyebabkan
bayangan penglihatan pada satu bidang fokus pada jarak yang berbeda dari bidang sudut.
Pada astigmatisma berkas sinar tidak difokuskan ke retina tetapi di dua garis titik api yang
saling tegak lurus.1
Astigmat Myopicus Compositus yaitu dimana sinar-sinar sejajar yang masuk ke bola
mata dibiaskan oleh media refrakta dalam sumbu orbital akan terbentuk fokus bayangan dua
titik di depan retina semua. Astigmatisme jenis ini, titik fokus dari daya bias terkuat berada di
depan retina, sedangkan titik fokus dari daya bias terlemah berada di antara titik A dan
retina.1

II. ANATOMI MEDIA REFRAKSI


Struktur organ yang berperan sebagai media refraksi dari anterior hingga posterior mata
ialah :3
1. Air Mata
2. Kornea
3. Aqueus Humor
4. Lensa
5. Vitreus Humor

12
Gambar 1. Anatomi Mata

Media Refraksi3
Hasil pembiasan sinar pada mata ditentukan oleh media penglihatan yang terdiri atas
kornea, aqueous humor (cairan mata), lensa, badan vitreous (badan kaca), dan panjangnya
bola mata. Pada orang normal susunan pembiasan oleh media penglihatan dan panjang bola
mata sedemikian seimbang sehingga bayangan benda setelah melalui media penglihatan
dibiaskan tepat di daerah makula lutea. Mata yang normal disebut sebagai mata emetropia
dan akan menempatkan bayangan benda tepat di retinanya pada keadaan mata tidak
melakukan akomodasi atau istirahat melihat jauh.

Kornea3
Kornea adalah jaringan transparan yang avaskular, dengan bentuk yang cembung
seperti kubah. Kornea terletak di depan mata kira-kira berdiameter 11 mm (0,43 inci) dan
memiliki ketebalan 500 mikrometer di sentral dan 700 mikrometer di pinggir. Kornea
memiliki 5 lapisan yaitu, 90% terdiri dari kolagen yang disusun membentuk suatu lapisan
terletak di tengah disebut stroma dan 10% terdiri lapisan epitelium dan lapisan Bowman di
bagian depan kornea dan membran Descemet dan lapisan endotelium di bagian belakang
kornea. Lapisan epitel dan lapisan Bowmen berfungsi menjaga stroma dari gangguan hidrasi.
Membran Descement dibelakang juga memiliki fungsi yang sama untuk protektif, sedangkan
endotelium berfungsi sebagai penyalur nutrisi.

13
Aqueous Humor (Cairan Mata)3
Aqueus humor adalah cairan yang mengisi ruang dimata di antara kornea dan lensa.
Aqueus dihasilkan oleh badan siliari, dimana akan mengalir ke ruangnya diantara lensa dan
iris melalui pupil. Fungsi aqueus ada 2, yaitu menyediakan nutrisi untuk kornea dan juga
sebagai media refraksi.
Volumenya adalah sekitar 250 mikroliter, dan kecepatan pembentukannya memiliki
variasi diurnal yaitu 2,5 mikroliter/menit. Tekanan osmotiknya sedikit lebih tinggi
dibandingkan plasma. Komposisi aqueus humor serupa dengan plasma, kecuali bahwa cairan
ini memiliki konsentrasi askorbat, piruvat, dan laktat yang lebih tinggi tetapi protein, urea,
dan glukosa yang lebih rendah.

Lensa3
Seperti kornea, lensa adalah struktur transparan dan avaskular. Namun tidak seperti
kornea, lensa memiliki kemampuan untuk mengubah bentuk dalam hal meningkatkan atau
menurunkan kekuatan refraksi ketika cahaya datang ke mata.
Lensa memiliki ketebalan 4 mm dan diameternya 9 mm. Lensa tergantung pada zonula
di belakang iris, zonula menghubungkannya dengan korpus siliari. Bagian anterior lensa ialah
aqueus humor dan di sebelah posteriornya terdapat vitreus. Bagian terdapat selapis epitel
subskapsular. Nukleus lensa lebih keras daripada korteksnya. Seiring dengan bertambah usia,
serat-serat lamelar subepitel terus diproduksinya sehingga lensa perlahan-lahan menjadi lebih
besar dan kurang elastik.

Badan Vitreous (Badan Kaca)3


Vitreus adalah suatu badan gelatin yang jernih dan avaskular yang membentuk dua per
tiga volume dan berat mata. Vitreus mengisi ruangan yang dibatasi oleh lensa, retina, dan
diskus optikus. Vitreus mengandung air sekitar 99%. Sisa 1%-nya meliputi dua komponen,
kolagen dan asam hialuronat, yang memberi bentuk dan konsistensi mirip gel pada vitreous
karena kemampuannya mengikat banyak air.

14
Tabel 1. Indeksi Bias Kornea dan Bagian Optis Mata Lainnya
Bagian Mata Indeks Bias
Kornea 1,34
Aqueous Humour 1,33
Penutup Lensa 1,38
Bagian Tengah Lensa 1,41
Vitreous Humor 1,34

Panjang Bola Mata3


Panjang bola mata menentukan keseimbangan dalam pembiasan. Panjang bola mata
seseorang dapat berbeda-beda. Bila terdapat kelainan pembiasan sinar oleh karena kornea
(mendatar atau cembung) atau adanya perubahan panjang (lebih panjang atau lebih pendek)
bola mata, maka sinar normal tidak dapat terfokus pada mekula. Keadaan ini disebut sebagai
ametropia yang dapat berupa miopia, hipermetropia, atau astigmatisma.

III. KELAINAN REFRAKSI


Mata dianggap normal atau “emetrop” bila cahaya sejajar dari objek jauh difokuskan di
retina pada keadaan otot siliaris relaksasi total. Ini berarti bahwa mata emetrop dapat melihat
semua objek jauh secara jelas dengan otot siliaris harus berakomodasi agar mata dapat
berakomodasi dengan baik. Pada emetropia terdapat 2 sistem yang membiaskan sinar yaitu
kornea yang mempunyai kekuatan pembiasan 80% atau 40 Dioptri dan lensa mata
berkekuatan 20% atau 10 Dioptri.7
Kelainan refraksi atau ametropia merupakan kelainan pembiasan sinar pada mata
sehingga sinar tidak difokuskan pada retina atau bintik kuning. Kelainan refraksi dapat di
depan atau di belakang bintik kuning dan mungkin tidak terletak pada satu titik yang fokus.
Kelainan refraksi dikenal dalam bentuk miopia, hipermetropia dan astigmatisma. Penderita
dengan keluhan refraksi akan memberikan keluhan sakit kepala, mata berair, cepat
mengantuk, mata terasa pedas, pegal pada bola mata, dan penglihatan kabur. 7

A. MIOPIA
Miopia adalah salah satu bentuk kelainan refraksi dimana sinar yang datang sejajar dari
jarak yang tak berhingga difokuskan di depan retina saat mata tidak berakomodasi. Pasien
dengan myopia akan menyatakan melihat lebih jelas bila dekat sedangkan melihat jauh kabur
atau pasien adalah rabun jauh. Pasien miopia mempunyai pungtum remotum (titik terjauh

15
yang masih dilihat jelas) yang dekat sehingga mata selalu dalam atau berkedudukan
konvergensi yang akan menimbulkan keluhan astenopia konvergensi. Bila kedudukan mata
ini menetap maka penderita akan terlihat juling ke dalam atau esotropia. 4,8
Berdasarkan penyebabnya dikenal dua jenis myopia, yaitu: 9
 Myopia aksial, adalah myopia yang disebabkan oleh sumbu orbita yang lebih panjang
dibandingkan panjang fokus media refrakta. Dalam hal ini, panjang fokus media refrakta
adalah normal (± 22,6 mm) sedangkan panjang sumbu orbita > 22,6 mm.
 Myopia aksial disebabkan oleh beberapa faktor seperti; 9
1. Menurut Plempius (1632), memanjangnya sumbu bolamata tersebut disebabkan oleh
adanya kelainan anatomis.
2. Menurut Donders (1864), memanjangnya sumbu bolamata tersebut karena bolamata
sering mendapatkan tekanan otot pada saat konvergensi.
3. Menurut Levinsohn (1925), memanjangnya sumbu bolamata diakibatkan oleh
seringnya melihat ke bawah pada saat bekerja di ruang tertutup, sehingga terjadi
regangan pada bolamata.
 Myopia refraktif, adalah myopia yang disebabkan oleh bertambahnya indek bias media
refrakta. Pada myopia refraktif, menurut Albert E. Sloane dapat terjadi karena beberapa
macam sebab, antara lain :9
1. Kornea terlalu melengkung (< 7,7 mm).
2. Terjadi hydrasi / penyerapan cairan pada lensa kristalinaa sehingga bentuk lensa
kristalinaa menjadi lebih cembung dan daya biasnya meningkat. Hal ini biasanya
terjadi pada penderita katarak stadium awal (imatur).
3. Terjadi peningkatan indeks bias pada cairan bolamata (biasanya terjadi pada
penderita diabetes melitus).
Beberapa hal yang mempengaruhi resiko terjadinya myopia, antara lain:9
1. Keturunan. Orang tua yang mempunyai sumbu bolamata yang lebih panjang dari normal
akan melahirkan keturunan yang memiliki sumbu bolamata yang lebih panjang dari
normal pula.
2. Ras/etnis. Ternyata, orang Asia memiliki kecenderungan myopia yang lebih besar (70%
– 90%) dari pada orang Eropa dan Amerika (30% – 40%). Paling kecil adalah Afrika
(10% – 20%).
3. Perilaku. Kebiasaan melihat jarak dekat secara terus menerus dapat memperbesar resiko
myopia. Demikian juga kebiasaan membaca dengan penerangan yang kurang memadai.

16
Gambar 2. Miopia

Klasifikasi
 Menurut perjalanan myopia:9
1. Myopia stasioner, myopia simpleks, myopia fisiologis
Myopia yang menetap setelah dewasa.
2. Myopia progresif
Myopia yang bertambah terus pada usia dewasa akibat bertambah panjangnya bola
mata.
3. Myopia maligna, myopia pernisiosa, myopia degenerative
Myopia yang berjalan progresif, yang dapat mengakibatkan ablasi retina atau
kebutaan.2

 Menurut klinis: 9
a. Simpel myopia: adalah myopia yang disebabkan oleh dimensi bolamata yang terlalu
panjang, atau indeks bias kornea maupun lensa kristalinaa yang terlalu tinggi.
b. Nokturnal myopia: adalah myopia yang hanya terjadi pada saat kondisi sekeliling
kurang cahaya. Sebenarnya, fokus titik jauh mata seseorang bervariasi terhadap level
pencahayaan yang ada. Myopia ini dipercaya penyebabnya adalah pupil yang
membuka terlalu lebar untuk memasukkan lebih banyak cahaya, sehingga
menimbulkan aberasi dan menambah kondisi myopia.
c. Pseudomyopia: diakibatkan oleh rangsangan yang berlebihan terhadap mekanisme
akomodasi sehingga terjadi kekejangan pada otot – otot siliar yang memegang lensa
kristalinaa. Di Indonesia, disebut dengan myopia palsu, karena memang sifat myopia

17
ini hanya sementara sampai kekejangan akomodasinya dapat direlaksasikan. Untuk
kasus ini, tidak boleh buru – buru memberikan lensa koreksi.
d. Degenerative myopia: disebut juga malignant, pathological, atau progressive
myopia. Biasanya merupakan myopia derajat tinggi dan tajam penglihatannya juga
di bawah normal meskipun telah mendapat koreksi. Myopia jenis ini bertambah
buruk dari waktu ke waktu.
e. Induced (acquired) myopia: merupakan myopia yang diakibatkan oleh pemakaian
obat – obatan, naik turunnya kadar gula darah, terjadinya sklerosis pada nukleus
lensa, dan sebagainya.
 Menurut derajat beratnya miopi9
a. Ringan : lensa koreksinya < 3,00 Dioptri
b. Sedang: lensa koreksinya 3,00 – 6,00 Dioptri.
c. Berat: lensa koreksinya > 6,00 Dioptri. Penderita myopia kategori ini rawan
terhadap bahaya pengelupasan retina dan glaukoma sudut terbuka.
 Menurut umur9
a. Congenital (sejak lahir dan menetap pada masa anak-anak)
b. Youth-onset myopia (< 20 tahun)
c. Early adult-onset myopia (20-40 tahun)
d. Late adult-onset myopia (> 40 tahun).

Gejala Klinis
Gejala subyektif:10
 Kabur bila melihat jauh.
 Membaca atau melihat benda kecil harus dari jarak dekat
 Lekas lelah bila membaca (karena konvergensi yang tidak sesuai dengan akomodasi),
astenovergens.
Gejala obyektif:10
Myopia simpleks:
 Pada segmen anterior ditemukan bilik mata yang dalam dan pupil yang relatif lebar.
Kadang-kadang ditemukan bola mata yang agak menonjol.
 Pada segmen posterior biasanya terdapat gambaran yang normal atau dapat disertai
cresen myopia (myopiaic crescent) yang ringan di sekitar papil syaraf optik.
 Myopia patologik

18
 Gambaran pada segmen anterior serupa dengan myopia simpleks
 Gambaran yang ditemukan pada segmen posterior berupa kelainan-kelainan pada: 10
1. Badan kaca: dapat ditemukan kekeruhan berupa perdarahan atau degenerasi yang
terlihat sebagai floaters, atau benda-benda yang mengapung dalam badan kaca.
Kadang-kadang ditemukan ablasi badan kaca yang dianggap belum jelas
hubungannya dengan keadaan myopia.
2. Papil syaraf optik: terlihat pigmentasi peripapil, kresen myopia, papil terlihat lebih
pucat yang meluas terutama ke bagian temporal. Kresen myopia dapat ke seluruh
lingkaran papil, sehingga seluruh papil dikelilingi oleh daerah koroid yang atrofi dan
pigmentasi yang tidak teratur
3. Makula: berupa pigmentasi di daerah retina, kadang-kadang ditemukan perdarahan
subretina pada daerah makula.
4. Retina bagian perifer: berupa degenerasi sel retina bagian perifer.
5. Seluruh lapisan fundus yang tersebar luas berupa penipisan koroid dan retina. Akibat
penipisan retina ini maka bayangan koroid tampak lebih jelas dan disebut sebagai
fundus tigroid.

B. HIPERMETROPIA
Hipermetropia atau rabun dekat merupakan suatu kelainan refraksi dimana sinar sejajar
yang datang dari jarak tak terhingga oleh mata dalam keadaan istirahat atau tanpa akomodasi
di fokuskan di belakang retina. Pada hipermetropia bayangan terbentuk di belakang retina,
yang menghasilan penglihatan penderita hipermetropia menjadi kabur. Hal ini dikarenakan
bola mata penderita terlalu pendek atau daya pemiasan kornea dan lensa terlalu lemah.
Banyak anak lahir dengan hiperopia, dan beberapa mereka tumbuh normal dengan
pemanjangan bola mata. Terkadang sulit dibedakan hiperopia dengan presbiopia, yang juga
menyebabkan masalah penglihatan dekat namun karena alasan yang berbeda. 3,7
Hipermetropia dapat disebabkan karena hipermetropia aksial (kelainan refraksi akibat
bola mata yang terlalu pendek); hipermetropia refraktif (daya pembiasan mata terlalu lemah);
hipermetropia kurvatur (kelengkungan kornea atau lensa kurang sehingga bayangan terfokus
di belakang retina); hipermetropia indeks (berkurangnya indeks bias akibat usia atau sedang
dalam pengobatan diabetes); hipermetropia posisional (posisi lensa yang posterior); dan juga
afakia.7,8

19
Gambar 3. Hipermetropia

Gejala yang sering dikeluhkan pasien berupa penglihatan jauh kabur, terutama pada
hipermetropia 3 D atau lebih, hipermetropia pada orang tua dimana amplitudo akomodasi
menurun. Penglihatan dekat kabur lebih awal, terutama bila lelah, bahan cetakan kurang
terang atau penerangan kurang. Pasien juga akan mengeluh sakit kepala terutama daerah
frontal dan makin kuat pada penggunaan mata yang lama dan membaca dekat. Penglihatan
tidak enak (asthenopia akomodatif = eye strain) terutama bila melihat pada jarak yang tetap
dan diperlukan penglihatan jelas pada jangka waktu yang lama, misalnya menonton TV. Mata
juga sensitif terhadap sinar, spasme akomodasi yang dapat menimbulkan pseudomiopia serta
perasaan mata juling karena akomodasi yang berlebihan akan diikuti konvergensi yang
berlebihan pula.8
Pada pemeriksaan, karena akomodasi yang terus menerus, akan terjadi hipertrofi dari
otot–otot akomodasi di corpus ciliare. Akomodasi, miosis dan konvergensi adalah suatu trias
dari saraf parasimpatik N III. Karena seorang hipermetropia selalu berakomodasi, maka
pupilnya kecil (miosis). Karena akomodasi yang terus menerus, juga timbul hiperraemi dari
mata. Mata kelihatan terus merah. Juga fundus okuli, terutama N II kelihatan merah, hingga
memeberi kesan adanya radang dari N II. Karena ini bukan radang yang sebenarnya, maka
kemerahan N II juga dinamakan pseudo-neuritis optica atau pseudo-papillitis.8

Klasifikasi Hipermetropia
 Klasifikasi Berdasarkan Gejala Klinis 8
1. Hiperopia simpleks

20
Disebabkan oleh variasi biologi normal dalam pertumbuhan bola mata, etiologinya
bisa aksial atau kurvatur.
2. Hiperopia patologik
Disebabkan kongenital atau didapat yang di luar vaiasi biologi normal
a. Hipermetropia indeks
b. Hipermetropia posisional
c. Afakia
d. Consecutive hypermetropia
3. Hiperopia fungsional
Disebabkan oleh paralisis dari proses akomodasi seperti yang terlihat pada penderita
dengan paralisis nervus III dan oftalmoplegia internal.
 Klasifikasi Berdasarkan Derajat Beratnya
1. Hiperopia ringan, kesalahan refraksi +2.00 D atau kurang
2. Hiperopia sedang, kesalahan refraksi antara +2.25 D hingga +5.00 D
3. Hiperopia berat, kesalahan refraksi +5.25 D atau lebih tinggi
 Klasifikasi Berdasarkan Status Akomodasi Mata 8
1. Hipermetropia Laten
Sebagian dari keseluruhan dari kelainan refraksi mata hiperopia yang dikoreksi
secara lengkap oleh proses akomodasi mata. Hanya bisa dideteksi dengan
menggunakan sikloplegia. Lebih muda seseorang yang hipermetropia, lebih laten
hiperopia yang dimilikinya

2. Hipermetropia Manifes
Hipermetropia yang dideteksi lewat pemeriksaan refraksi rutin tanpa menggunakan
sikloplegia. Bisa diukur derajatnya berdasarkan jumlah dioptri lensa positif yang
digunakan dalam pemeriksaan subjektif. Terdiri dari
a. Hiperopia Fakultatif
Hipermetropia yang bisa diukur dan dikoreksi dengan menggunakan lensa
positif, tapi bisa juga dikoreksi oleh proses akomodasi pasien tanpa
menggunakan lensa. Semua hiperopia laten adalah hipermetropia fakultatif.
Akan tetapi, pasien dengan hipermetropia laten akan menolak pemakaian lensa
positif karena akan mengaburkan penglihatannya. Pasien dengan

21
hipermetropia fakultatif bisa melihat dengan jelas tanpa lensa positif tapi juga
bisa melihat dengan jelas dengan menggunakan lensa positif
b. Hipermetropia Absolut
Tidak bisa dikoreksi dengan proses akomodasi. Penglihatan subnormal.
Penglihatan jarak jauh juga bisa menjadi kabur terutama pada usia lanjut.
3. Hipermetropia total
Jumlah dari hipermetropia latent dan manifes. Bisa dideteksi setelah proses
akomodasi diparalisis dengan agen sikloplegia.

Komplikasi
1. Blefaritis atau chalazia
2. Accommodative convergent squint
3. Ambliopia
4. Predisposisi untuk terjadi glaucoma sudut tertutup

Penatalaksanaan Hipermetropia
Penggunaan kacamata untuk koreksi dengan lensa sferis positif terkuat yang
menghasilkan tajam penglihatan terbaik ataupun penggunaan lensa kontak untuk
anisometropia dan hipermetropia tinggi.6 Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam koreksi
hipermetropia sebagai berikut :
1. Jika derajat hipermetropia ringan, tajam penglihatan normal, penderita dalam keadaan
sehat, tidak didapatkan keluhan asthenopia akomodatif maupun gangguan pada
keseimbangan otot ekstraokuler, maka tidak diperukan terapi khusus, namun jika
didapatkan salah satu keadaan tersebut maka koreksi hipermetropia perlu dilakukan.
2. Pada anak kurang dari 6 tahun, koreksi hanya perlu dilakukan bila derajat cukup besar
atau didapatkan strabismus. Pemeriksaan pada anak usia ini dilakukan dengan
sikoplegik. Pemberian kacamata untuk anak usia kurang dari 6 tahun disarankan fulltime
dan rutin control setiap 3 bulan.
3. Pada anak leih dari 6 tahun, perlu dipertimbangkan kebutuhan penglihatannya karena
aktivitas mereka lebih banyak. Jika dengan hasil refraksi sikoplegik, terdapat keluhan
kabur untuk penglihatan jauh, maka diberikan koreksi full tanpa sikoplegik. Dan jika
didapatkan esophoria, esotrophia, atau hipermetrophia laten, ditambahkan lensa addisi
untuk penglihatan dekatnya.

22
C. ASTIGMATISMA
Astigmatisma adalah keadaan dimana terdapat variasi pada kurvatur kornea atau lensa
pada meridian yang berbeda yang mengakibatkan berkas cahaya tidak difokuskan pada satu
titik.Astigmat merupakan akibat bentuk kornea yang oval seperti telur, makin lonjong bentuk
kornea makin tinggi astigmat mata tersebut. Dan umumnya setiap orang memiliki astigmat
yang ringan. Gejala pada orang dengan astigmatisma akan memberikan keluhan memiringkan
kepala untuk melihat, penglihatan akan kabur untuk jauh atau pun dekat, bentuk benda yang
dilihat berubah (distorsi), mengecilkan celah kelopak jika ingin melihat, disertau sakit kepala,
mata tegang dan pegal. Astigmatisma tinggi (4-8 D) yang selalu melihat kabur sering
mengakibatkan ambliopia.8,11
Diagnosa ditegakkan berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan fisik. Pasien akan datang
dengan gejala klinis seperti yang tersebut di atas. Pada pemeriksaan fisik, terlebih dahulu
dilakukan pemeriksaan dengan menggunakan kartu Snellen. Periksa kelainan refraksi miopia
atau hipermetropia yang ada, tentukan tajam penglihatan. Dengan menggunakan juring atau
kipas astigmat, garis berwarna hitam yang disusun radial dengan bentuk semisirkular dengan
dasar yang putih merupakan pemeriksaan subyektif untuk menilai ada dan besarnya derajat
astigmat. Keadaan dari astigmatisma irregular pada kornea dapat dengan mudah di temukan
dengan melakukan observasi adanya distorsi bayangan pada kornea. Cara ini dapat dilakukan
dengan menggunakan Placido’s Disc di depan mata. Bayangan yang terlihat melalui lubang
di tengah piringan akan tampak mengalami perubahan bentuk. Karena sebagian besar
astigmatisma disebabkan oleh kornea, maka dengan mempergunakan keratometer, derajat
astigmat dapat diketahui, sehingga pada saat dikoreksi untuk mendapatkan tajam penglihatan
terbaik hanya dibutuhkan lensa sferis saja.12

Gambar 4. Kipas Astigmat

23
Gambar 5. Astigmatisma

Klasifikasi Astigmatisma
1. Astigmatisma Reguler
Astigmatisma regular merupakan astigmatisma yang memperlihatkan kekuatan
pembiasan bertambah atau berkurang perlahan-lahan secara teratur dari satu meridian ke
meridian berikutnya. Bayangan yang terjadi dengan bentuk yang teratur dapat berbentuk
garis, lonjong atau lingkaran. Penyebabnya bisa berupa corneal astigmatisme
(abnormalitas kelengkungan kornea) dan lenticular astigmatisme (kurvatur : abnormalitas
kelengkungan lensa; posisional : peralihan atau posisi lensa yang oblik; indeks : indeks
bias yang bervariasi pada meridian yang berbeda; retinal – posisi macula yang oblik)
a. Simple astigmatism
Dimana satu dari titik fokus di retina. Fokus lain dapat jatuh di dapan atau
dibelakang dari retina, jadi satu meridian adalah emetropik dan yang lainnya
hipermetropia atau miopia. Yang kemudian ini dapat di rumuskan sebagai Simple
hypermetropic astigmatism dan Simple myopic astigmatism.
b. Compound astigmatism
Dimana tidak ada dari dua focus yang jatuh tepat di retina tetapi keduanya terletak di
depan atau dibelakang retina. Bentuk refraksi kemudian hipermetropi atau miopi.
Bentuk ini dikenal dengan Compound hypermetropic astigmatism dan Compound
miopic astigmatism.
c. Mixed Astigmatism

24
Dimana salah satu focus berada didepan retina dan yang lainnya berda dibelakang
retina, jadi refraksi berbentuk hipermetrop pada satu arah dan miop pada yang
lainnya.

Gambar 6. Jenis astigmatisma

Apabila meridian-meridian utamanya saling tegak lurus dan sumbu-sumbunya


terletak di dalam 20 derajat horizontal dan vertical, maka astigmatisme ini dibagi
menjadi astigmatism with the rule (astigmatisme direk), dengan daya bias yang
lebih besar terletak di meridian vertikal, dan astigmatism against the rule
(astigmatisma inversi) dengan daya bias yang lebih besar terletak dimeridian
horizontal. Astigmatisme lazim lebih sering ditemukan pada pasien berusia muda
dan astigmatisme tidak lazim sering pada orang tua.
2. Astigmatisma Irreguler
Astigmatisma yang terjadi tidak memiliki 2 meridian saling tegak lurus. Astigmat
ireguler dapat terjadi akibat kelengkungan kornea pada meridian yang sama berbeda
sehingga bayangan menjadi ireguler. Pada keadaan ini daya atau orientasi meridian
utamanya berubah sepanjang bukaan pupil. Astigmatisma ireguler bisa terjadi akibat
infeksi kornea, trauma dan distrofi atau akibat kelainan pembiasan.

Gejala Klinis
Pada umunya, seseorang yang menderita astigmatismus tinggi menyebabkan gejala-
gejala sebagai berikut:10
- Memiringkan kepala atau disebut dengan “titling his head”, pada umunya keluhan ini
sering terjadi pada penderita astigmatismus oblique yang tinggi.
- Memutarkan kepala agar dapat melihat benda dengan jelas.

25
- Menyipitkan mata seperti halnya penderita myopia, hal ini dilakukan untuk mendapatkan
efek pinhole atau stenopaic slite. Penderita astigmatismus juga menyipitkan mata pada
saat bekerja dekat seperti membaca.
- Pada saat membaca, penderita astigmatismus ini memegang bacaan mendekati mata,
seperti pada penderita myopia. Hal ini dilakukan untuk memperbesar bayangan,
meskipun bayangan di retina tampak buram.
Sedang pada penderita astigmatismus rendah, biasa ditandai dengan gejala-gejala sebagai
berikut :10
- Sakit kepala pada bagian frontal.
- Ada pengaburan sementara / sesaat pada penglihatan dekat, biasanya pende-rita akan
mengurangi pengaburan itu dengan menutup atau mengucek-ucek mata.

Penatalaksanaan Astigmatisma 13
Astigmatisma ringan, yang tidak mengalami gangguan ketajaman penglihataan (0,5 D
atau kurang) tidak perlu dilakukan koreksi. Pada astigmatsma yang berat dipergunakan
kacamata silinder, lensa kontak atau pembedahan.
1. Kacamata Silinder
Pada astigmatism againts the rule, koreksi dengan silender negatif dilakukan dengan
sumbu tegak lurus (90 o +/- 20o) atau dengan selinder positif dengan sumbu horizontal
(180o +/- 20o). Sedangkan pada astigmatism with the rule diperlukan koreksi silinder
negatif dengan sumbu horizontal (180o +/- 20o) atau bila dikoreksi dengan silinder positif
sumbu vertikal (90o +/- 20o). Pada koreksi astigmatisma dengan hasil keratometri
digunakan hukum jawal :
a. Berikan kacamata koreksi astigmatisma pada astigmatism with the rule dengan
selinder minus 180°, dengan astigmatisma hasil keratometri yang ditemukan
ditambahkan dengan ¼ nilainya dan dikurangi dengan 0,5 D.
b. Berikan kacamata koreksi astigmatisma pada astigmatism againts the rule dengan
selinder minus 90°, dengan astigmatisma hasil keratometri yang ditemukan
ditambahkan dengan ¼ nilainya dan ditambah dengan 0,5 D.
2. Lensa Kontak
Pada penderita astigmatisma diberikan lensa rigid, yang dapat menetralisasi astigmat
yang terjadi di permukaan kornea.
3. Pembedahan

26
Untuk mengoreksi astigmatisma yang berat, dapat digunakan pisau khusus atau dengan
laser untuk mengoreksi kornea yang irreguler atau anormal. Ada bebrapa prosedur
pembedahan yang dapat dilakukan, diantaranya :
a. Photorefractive Keratectomy (PRK), laser dipergunakan unutk membentuk kurvatur
kornea.
b. Laser in Situ Keratomileusis (lasik), laser digunakan untuk merubah kurvatur kornea
dengan membuat flap (potongan laser) pada kedua sisi kornea.
c. Radial keratotomy, insisi kecil dibuat secara dalam dikornea.

Daftar Pustaka

1. A. K. Khurana, Comprehensive Ophtalmology Fourth Edition: Optics and Refraction,


New Age International (P) limited Publishers, 12: 36-38, 2007.
2. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2009.
3. Monica FZ. Media Refraksi. Sumatera Utara: Universitas Sumatera Utara; 2010.
4. Meister D. Introduction to Ophtalmics Optic. San Diego: Carl Zeiss Vision; 2010.

27
5. Trisnowati TT, Suryani PT. Refraksi dalam buku ajar Ilmu Kesehatan Mata. Surabaya:
Airlangga University Press; 2012.
6. Ilyas HS, Yulianti SR. Tajam Penglihatan dan Kelainan Refraksi Penglihatan Warna
dalam Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2011.
7. Muslimah, Ratna. Buku Ajar Kepaniteraan Klinik SMF Mata RSU Haji Surabaya.
Surabaya: RSU Haji Surabaya; 2013.
8. Vaughan D, Asbury T. Oftalmologi Umum. Jakarta: EGC; 2009.
9. Olver J and Cassidy L, Basic Optics and Refraction. In Olver J and Cassidy L,
Ophtalmology at a Glance. New York: Blackwell Science, 2005; 22-23.
10. A. K. Khurana, Comprehensive Ophtalmology Fourth Edition: Optics and Refraction,
New Age International (P) limited Publishers, 12: 36-38, 2007.
11. Khurana AK. Comprehensive Ophtalmology. Ed ke – 4. New Delhi: New Age
International.
12. Langston DP. Manual of Ocular Diagnosis and Therapy. 5th ed. Philadelphia: Lippincott
Wlliams & Wilkins.
13. Sidarta I. Kelainan Refraksi dalam Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Jakarta; 2007.

28

Anda mungkin juga menyukai