Anda di halaman 1dari 4

2.1.

1 Teori Sinyal (Signalling Theory)


Signalling theory menekankan kepada pentingnya informasi yang dikeluarkan oleh
perusahaan terhadap keputusan investasi pihak di luar perusahaan. Informasi
merupakan unsur penting bagi investor dan pelaku bisnis karena informasi pada
hakekatnya menyajikan keterangan, catatan atau gambaran baik untuk keadaan masa
lalu, saat ini maupun keadaan masa yang akan datang bagi kelangsungan hidup suatu
perusahaan dan bagaimana pasaran efeknya. Informasi yang lengkap, relevan, akurat
dan tepat waktu sangat diperlukan oleh investor di pasar modal sebagai alat analisis
untuk mengambil keputusan investasi.
Pada waktu informasi diumumkan dan semua pelaku pasar sudah menerima informasi
tersebut, pelaku pasar terlebih dahulu menginterpretasikan dan menganalisis informasi
tersebut sebagai signal baik (good news) atau signal buruk (bad news). Jika
pengumuman informasi tersebut sebagai signal baik bagi investor, maka terjadi
perubahan dalam volume perdagangan saham.
Menurut Sharpe (1997: 211) dan Ivana (2005:16), pengumuman informasi akuntansi
memberikan signal bahwa perusahaan mempunyai prospek yang baik di masa
mendatang (good news) sehingga investor tertarik untuk melakukan perdagangan
saham, dengan demikian pasar akan bereaksi yang tercermin melalui perubahan dalam
volume perdagangan saham. Dengan demikian hubungan antara publikasi informasi
baik laporan keuangan, kondisi keuangan ataupun sosial politik terhadap fluktuasi
volume perdagangan saham dapat dilihat dalam efisiensi pasar investor, maka terjadi
perubahan dalam volume perdagangan saham.
Signalling theory adalah informasi mengenai perusahaan merupakan sinyal bagi
investor, dalam keputusan berinvestasi. Sinyal dapat berupa informasi bersifat financial
maupun non-financial yang menyatakan bahwa perusahaan tersebut lebih baik daripada
perusahaan lain.
Semua investor memerlukan informasi untuk mengevaluasi risiko relatif setiap
perusahaan sehingga dapat melakukan diversifikasi portofolio dan kombinasi investasi
dengan preferensi risiko yang diinginkan. Jika suatu perusahaan ingin sahamnya dibeli
oleh investor maka perusahaan harus melakukan pengungkapan laporan keuangan
secara terbuka dan transparan.
Tujuan dari teori Signalling adalah menaikkan nilai suatu perusahaan saat melakukan
penjualan saham. Perusahaan yang berkualitas baik dengan sengaja akan memberikan
sinyal pada pasar, sehingga pasar diharapkan dapat membedakan perusahaan yang
berkualitas baik dan buruk. Agar sinyal tersebut efektif, maka harus dapat ditanggapi
oleh pasar dan presepsi baik, serta tidak mudah ditiru oleh perusahaan yang berkualitas
buruk (Megginson, 1997).
Menurut Allen dan Faulhaber (1989), perusahaan yang berkualitas buruk tidak mudah
untuk meniru perusahaan yang berkualitas baik yang melakukan underpricing, hal ini
disebabkan karena cash flow periode berikutnya akan mengungkapkan tipe perusahaan
tersebut (baik atau buruk). Sinyal yang baik adalah yang tidak dapat ditiru oleh
perusahaan yang nilai perusahaanya lebih rendah karena faktor biaya.
2.1.1 Teori Keagenan (Agency Theory)
Agency Theory, merupakan konsep yang menjelaskan hubungan kontraktual antara
principals dan agents. Pihak principal adalah pihak yang memberikan mandat kepada
pihak lain, yaitu agent, untuk melakukan semua kegiatan atas nama principal dalam
kapasitasnya sebagai pengambil keputusan (Sinkey, 1992:78; Jensen dan Smith,
1984:7).
Dalam hubungan keagenan manajer sebagai pihak yang memiliki akses langsung
terhadap informasi perusahaan, memiliki asimetris informasi terhadap pihak eksternal
perusahaan, seperti kreditor dan investor. Dimana ada informasi yang tidak
diungkapkan oleh pihak manajemen kepada pihak eksternal perusahaan, termasuk
investor.
Untuk memperkecil asimetris informasi, maka pengelolaan perusahaan harus diawasi
dan dikendalikan untuk memastikan bahwa pengelolaan dilakukan dengan penuh
kepatuhan kepada berbagai peraturan dan ketentuan yang berlaku. Upaya ini
menimbulkan apa yang disebut sebagai agency costs, yang menurut teori ini harus
dikeluarkan sedemikian rupa sehingga biaya untuk mengurangi kerugian yang timbul
karena ketidakpatuhan setara dengan peningkatan biaya enforcement-nya.
Agency costs ini mencakup biaya untuk pengawasan oleh pemegang saham; biaya yang
dikeluarkan oleh manajemen untuk menghasilkan laporan yang transparan, termasuk
biaya audit yang independen dan pengendalian internal; serta biaya yang disebabkan
karena menurunnya nilai kepemilikan pemegang saham sebagai bentuk ‘bonding
expenditures’ yang diberikan kepada manajemen dalam bentuk opsi dan berbagai
manfaat untuk tujuan menyelaraskan kepentingan manajemen dengan pemegang
saham.
Teori keagenan memprediksi bahwa perusahaan dengan rasio leverage yang lebih
tinggi akan mengungkapkan lebih banyak informasi, karena biaya keagenan perusahaan
dengan struktur modal seperti itu lebih tinggi (Jensen dan Meckling, 1976:354).
Tambahan informasi diperlukan untuk menghilangkan keraguan pemegang obligasi
terhadap dipenuhinya hak-hak mereka sebagai kreditur (Schipper, 1981) dan (Meek, et
al, 1995). Oleh karena itu perusahaan dengan rasio leverage yang tinggi memiliki
kewajiban untuk melakukan ungkapan yang lebih luas daripada perusahaan dengan
rasio leverage yang rendah.
Pendapat lain mengatakan bahwa semakin tinggi leverage, kemungkinan besar
perusahaan akan mengalami pelanggaran terhadap kontrak utang, maka manajer akan
berusaha untuk melaporkan laba sekarang lebih tinggi dibandingkan laba di masa
depan. Dengan laba yang dilaporkan lebih tinggi akan mengurangi kemungkinan
perusahaan melanggar perjanjian utang.
Manajer akan memilih metode akuntansi yang akan memaksimalkan laba sekarang.
Kontrak utang biasanya berisi tentang ketentuan bahwa perusahaan harus menjaga
tingkat leverage tertentu (rasio utang/ekuitas), interest coverage, modal kerja dan
ekuitas pemegang saham [Watts and Zimmerman dalam Scott (1997:92)]. Oleh karena
itu semakin tinggi tingkat leverage (rasio utang/ekuitas) semakin besar kemungkinan
perusahaan akan melanggar perjanjian kredit sehingga perusahaan akan berusaha untuk
melaporkan laba sekarang lebih tinggi [Belkaoui & Karpik dalam Marwata (2001:25)].
Supaya laba yang dilaporkan tinggi maka manajer harus mengurangi biaya-biaya
(termasuk biaya untuk mengungkapkan informasi).

2.1. Teori Keagenan (agency theory)


Teori keagenan adalah teori yang menjelaskan mengenai hubungan antara pemilik dan
manajemen. Dalam teori agensi menyatakan bahwa apabila terdapat pemisahan antara pemilik
sebagai prinsipal dan manajer sebagai agen yang menjalankan perusahaan, maka akan muncul
permasalahan agensi karena masing – masing pihak baik prinsipal dan manajer akan selalu
berusaha untuk memaksimalkan fungsi utilitasnya (Jensen dan Meckling,1976).
Adanya perkembangan perusahaan menjadi semakin besar, maka akan sering terjadi konflik
antara prinsipal dimana dalam hal ini adalah para pemegang saham dengan agen yang diwakili
oleh pihak manajemen. Agen memiliki tanggung jawab atas penyelesaian tugas yang diberikan
oleh prinsipal, sedangkan prinsipal mempunyai kewajiban untuk memberi imbalan kepada agen
atas jasa yang telah diberikan. Prinsipal dengan agen sama – sama menginginkan keuntungan
yang sebesar – besarnya, dan juga sama – sama menghindari adanya risiko yang pada akhirnya
terjadilah konflik keagenan (Jensen dan Meckling,1976).
Eisenhardt (1989) menyatakan bahwa teori agensi menggunakan tiga asumsi sifat manusia yaitu :
manusia pada umumnya mementingkan diri 10
sendiri (self interest), manusia memiliki daya pikir terbatas mengenai persepsi masa mendatang
(bounded rationality) dan manusia selalu menghindari risiko (risk averse). Berdasarkan asumsi
tersebut, agen sebagai manusia akan bertindak secara oportunistik, yaitu mengutamakan
kepentingan pribadinya.
Adapun tugas dari agen sebagai pengelola perusahaan yang lebih banyak mengetahui informasi
internal dan prospek perusahaan di masa yang akan datang dibandingkan prinsipal adalah
memberikan pengungkapan informasi akuntansi secara transparan di dalam laporan keuangan.
Adanya ketidakseimbangan penguasaan informasi dalam laporan keuangan disebut sebagai
asimetri informasi (Ball,Robin, dan Wu, 2003).
Menurut Scott (1997), asimetri informasi terbagi menjadi dua macam, yaitu :
1. Adverse selection, yaitu para pihak internal perusahaan yakni manajer dan orang – orang yang
terlibat di dalamnya mengetahui lebih banyak informasi dibandingkan dengan para investor yang
menjadi pihak eksternal perusahaan. Hal ini menyebabkan informasi – informasi yang dapat
mempengaruhi keputusan para pemegang saham dikhawatirkan tidak tersampaikan secara
maksimal.

2. Moral hazard, yaitu aktivitas – aktivitas yang dilakukan oleh pihak internal perusahaan tidak
seluruhnya dapat diketahui oleh para pemegang saham, investor maupun kreditur sehingga pihak
internal perusahaan dapat melakukan tindakan – tindakan diluar sepengetahuan dari para
pemegang saham, investor maupun kreditur.

Anda mungkin juga menyukai