Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Radikal bebas (ROS) adalah senyawa kimia yang dapat menyebabkan
kerusakan pada molekul tubuh karena sangat reaktif dan tidak stabil (Pangkahila,
2007). Radikal bebas dapat diperoleh secara alamiah dari proses pembentukan energi
(proses metabolisme) dan sebagai respon terhadap beberapa situasi seperti paparan
sinar UV, Xray, rokok dan polusi lingkungan (Sibuea, 2003).
Paparan sinar UV yang menghasilkan radikal bebas dapat memacu sekresi
melanin melalui jalur melanogenesis sehingga menimbulkan hiperpigmentasi dari
kulit akibat dari meningkatnya proliferasi melanosit (Herrling et al, 2007). Enzim
tirosinase memiliki peran penting pada jalur melanogenesis dan hiperpigmentasi
(Chang T, 2009). Proses ini dapat dihambat dengan ROS scavenger atau zat yang
disebut antioksidan (Bernatoniene J et al, 2011).
Penggunaan jangka panjang agen depigmentasi sintesis seperti hidrokuinon,
kortikosteroid dan asam kojat dapat menimbulkan efek samping walaupun sampai
saat ini efektivitasnya masih tinggi (Parvez s et al, 2006; Westerhof and Kooyers,
2005). Maka dari itu perlu dikembangkan konsep “back to nature” untuk produk
antioksidan dan pencerah kulit karena selain dinilai lebih aman, kosmetik yang
berbahan dasar dari alam sudah terbukti mempunyai efektivitas yang baik (Smit N et
al, 2009). Salah satu tanaman Indonesia yang berada disekitar kita dan banyak
dimanfaatkan untuk tujuan tersebut adalah daun kelor (Moringa oliefera).
Daun kelor segar memiliki kekuatan antioksidan 7 kali lebih banyak
dibandingkan vitamin C (Fuglie, 2001). Daun kelor mengandung vitamin C,
Flavonoid, fenol dan carotenoids yang memiliki khasiat sebagai antioksidan.
Senyawa bioaktif utama dari daun kelor adalah flavonoid seperti quarcetin dan
kaemferol (Farooq et al, 2007). Dimana kuarsetin memiliki kekuatan antioksidan 4-5
kali lebih tinggi dibandingkan vitamin C dan vitamin E (Sutrisno, 2011).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Arun et al 2011, aktivitas antioksidan
dari ekstrak daun kelor dengan metode uji DPPH menunjukan nilai IC50 sebesar
18,54 µg/mL. Hal ini sesuai dengan Jun 2006, bahwa antioksidan dengan nilai IC50 <
50 µg/mL memiliki intensitas antioksidan yang sangat aktif (sangat kuat). Penelitian
lain yang dilakukan oleh Torres C et al 2013, bahwa berdasarkan uji fitokimia bahwa
daun menunjukan aktivitas antioksidan yang tinggi. Studi yang dilakukan Sreelatha
dan Padma 2012, kandungan antioksidan dalam daun kelor mampu mencegah
kerusakan oksidatif pada sebagian besar biomolekul dan menghasilkan proteksi
terhadap kerusakan oksidatif secara signifikan melalui penetralan radikal bebas.
Beberapa penelitian yang telah dilakukan dan menunjukan bahwa daun kelor
(Moringa oliefera) memiliki aktivitas antioksidan. Namun hal tersebut hanya berbatas
pada uji terhadap ekstrak. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk memformulasikan
ekstrak daun kelor kedalam bentuk sediaan agar potensi antioksidan dan
antitirosinase dari daun kelor dapat secara langsung dirasakan oleh masyarakat.
Sediaan yang dipilih oleh peneliti adalah lotion dan gel. Perbedaan basis
keduanya akan mempengaruhi aktivititas baik antioksidan maupun secara in vitro.
Hal ini bergantung pada kemampuan kandungan aktif dari daun kelor berdifusi dari
basis dan bereaksi dengan bahan dari metode uji. Selain itu perbedaan basis
mempengaruhi kestabilan fisik dari sediaan. Sehingga pada penelitian ini, setelah
memformulasikan ekstrak etanol daun kelor dalam bentuk sediaan lotion dan gel,
peneliti melakukan uji stabilitas fisik dan uji aktivitas antioksidan secara in vitro
terhadap kedua sediaan. Dimana pada masa yang akan datang diharapkan sediaan
yang stabil dan memiliki aktivitas yang tinggi dapat digunakan sebagai salah satu
produk kosmetika alami untuk antioksidan.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka dirumuskan
permasalahan dalam penelitian ini adalah :
1. Sediaan manakah diantara gel atau lotion ekstrak etanol 70 % daun kelor
(Moringa oleifera) yang memiliki stabilitas fisik yang baik?
2. Sediaan manakah diantara gel atau lotion ekstrak etanol 70 % daun kelor
(Moringa oleifera) yang memiliki aktivitas antioksidan yang tinggi?
I.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk mengetahui jenis bentuk
sediaan ekstrak etanol 70% daun kelor yang memiliki aktivitas antioksidan yang
tinggi serta stabilitas fisik yang baik sehingga dapat dijadikan suatu produk kosmetik
alami untuk antioksidan
I.4 Manfaat Penelitian
1. Manfaat Aplikatif
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pilihan bentuk sediaan yang tepat
untuk dapat dikembangkan menjadi produk kosmetik sebagai antioksidan
kulit yang aman dan efektif.
2. Manfaat bagi ilmu pengetahuan
Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan masukan untuk melakukan
penelitian lanjutan seperti uji manfaat sebagai sediaan antioksidan dan
penelitian ini diharapkan dapat memperkaya penelitian tentang tanaman yang
bermanfaat sebagai antioksidan
3. Manfaat bagi pembangunan Negara dan Bangsa
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu referensi atau informasi
kepada masyarakat agar dapat menggunakan tanaman disekitar sebagai
kosmetik yang lebih aman.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kajian Pustaka
2.1.1 Radikal bebas dan Antioksidan
Radikal bebas adalah senyawa kimia yang reaktif dan tidak stabil karena
memiliki satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan sehingga dapat
menyebabkan kerusakan pada molekul tubuh (Pangkahila, 2007). Radikal bebas
sebenarnya diproduksi secara alamiah sebagai produk samping dari proses
pembentukan energi (Sibuea, 2003). Selain dari proses metabolisme, radikal bebas
juga muncul sebagai respon terhadap beberapa situasi misalnya paparan sinar
matahari, X-ray, rokok dan polusi lingkungan. Senyawa radikal bebas meliputi
hidroksil (OH), anion superoksida (O2-), hidrogen peroksida (H2O2), alkoksil (RO),
peroksil (ROO), nitrit oksida (NO), Nitrogen dioksida (NO2) dan lipid peroksil
(LOO) (Pham Huy et al, 2008).
Radikal bebas merusak bermacam-macam struktur seluler seperti protein,
membran seluler, materi genetik (DNA) dan dapat memicu reaksi biokimia dalam
tubuh. Radikal bebas yang berlebihan di dalam tubuh dapat memicu stress oksidatif
yang berkontribusi terhadap penuaan, peradangan dan kanker (Sayre et al, 2001).
Akumulasi radikal bebas akan mempercepat proses penuaan dalam berbagai sistem
tubuh termasuk kulit (Sibuea, 2003). Resiko penyakit kronis seperti kanker dan
penyakit jantung yang dapat meningkat seiring dengan banyaknya radikal bebas yang
terbentuk di dalam tubuh manusia dan yang masuk kedalam tubuh manusia (Baillie et
al, 2009; Bjelakovic et al, 2007; Benzie, 2003).
Radikal bebas dan reaksi oksidasi dapat dihambat oleh suatu zat yang disebut
antioksidan, yaitu senyawa yang mampu menunda, memperlambat atau menghambat
reaksi oksidasi (Bagchi K., Puri S, 1998). Antioksidan menstabilkan radikal bebas
dengan cara memberikan elektron kepada radikal bebas sebelum radikal bebas
tersebut bereaksi dengan sel yang belum rusak sehingga membentuk radikal bebas
yang tidak reaktif yang relatif stabil (Jacob RA, 1995). Antioksidan mencegah
kerusakan sel dan jaringan karena kemampuannya menangkap radikal bebas sehingga
disebut sebagai free radical scavenger (Masaki H, 2010; Debbie and Jennifer, 2010).
Secara umum, ada dua kategori antioksidan yaitu alami dan sintetik. Saat ini
perhatian sangat meningkat dalam penemuan bahan-bahan alami khususnya
antioksidan untuk pemakaian dalam makanan atau bahan obat untuk menggantikan
antioksidan sintetik (Zheng and Wang, 2009). Senyawa flavonoid yang terkandung
dalam herbal memiliki aktivitas antioksidan sebagai penangkap radikal bebas karena
mengandung gugus hidroksil yang bersifat sebagai reduktor dan dapat bertindak
sebagai donor hidrogen terhadap radikal bebas (Saha, 2008; aliyu et al, 2009). Selain
itu, adapula senyawa fenolik yang memiliki aktivitas antioksidan terutama karena
adanya reaksi reduksi oksidasi yang berperan penting dalam menyerap dan
menetralisir radikal bebas, mengurangi oksigen singlet dan triplet serta dekomposisi
peroksida (Zheng and Wang, 2009).
Telah banyak penelitian tentang aktivitas antioksidan dari beberapa tanaman
herbal dan telah diaplikasikan di dalam dunia medis dan estetik baik oral maupun
topikal (Iswari, 2011; Hashim, 2011; Tiwari, 2011).

2.1.2 Kelor (Moringa oleifera)


a. Taksonomi Daun Kelor (Moringa oleifera)

Gambar 2 1 Daun Kelor (Moringa oleifera)


Adapun klasifikasi dari buah kawista adalah :
Nama ilmiah : Moringa oleifera L.
Nama lokal : kelor
Kingdom : Plantae
Devisio : Magnoliphyta
Class : Magnoliopsida
Ordo : Brassicales
Famili : Moringaceae
Genus : Moringa
Spesie : Moringa oleifera L. (Krisnadi, 2013)
b. Daerah Tumbuh
Kelor (Moringa oleifera) merupakan tanaman perdu yang tinggi
pohonnya dapat mencapai 10 meter, tumbuh subur mulai dari dataran rendah
sampai ketinggian 1000 meter diatas permukaan laut. Juga dapat tumbuh
dengan baik pada berbagai jenis tanah kecuali tanah berlempung berat dan
menyukai pH tanah netral sampai sedikit asam (Kurniasih, 2013).
Tanaman kelor tidak hanya dapat tumbuh dan berkembang di India
dan di Indonesia saja, tetapi juga dikawasan tropis lainnya di dunia. Kondisi
lahan dan pemeliharaan akan mempengaruhi kandungan unsure hara.
Kandungan unsure hara dalam tanaman berbeda-beda, tergantung pada jenis
hara, jenis tanaman, kesuburan tanah atau jenis tanah, dan pengelolaan
tanaman (Kurniasih, 2013; Rosmarkam dan Yuwono, 2002).
Secara umum, menurut Kurniasih (2013) parameter lingkungan yang
dibutuhkan tanaman kelor untuk tumbuh dengan baik adalah sebagai berikut :
 Iklim : tropis atau subtropis
 Ketinggian : 0-2000 meter dpl
 Suhu : 25-35ºC
 Curah hujan : 250 mm-2000 mm per tahun
 Tipe tanah : berpasir atau lempung berpasir
 pH tanah : 5-9
c. Uraian tanaman
Kelor (Moringa oleifera L.) merupakan tumbuhan dalam bentuk pohon,
berumur panjang (perenial) dengan tinggi 7 – 12 m. batang berkayu (lignosus),
tegak, berwarna putih kotor, kulit tipis, permukaan kasar. Percabangan
simpodial, arah cabang tegak atau miring, cenderung tumbuh lurus dan
memanjang. Daun majemuk, bertangkai panjang, tersusun berseling (alternate),
beranak daun gasal (imparipinnatus), helai daun saat muda berwarna hijau
muda dan setelah dewasa berwarna hijau tua, bentuk helai daun bulat telur,
panjang 1 – 2 cm, lebar 1 – 2 cm, tipis lemas, ujung dan pangkal tumpul
(obtusus), tepi rata, susunan pertulangan menyirip (pinnate), permukaan atas
dan bawah daun halus. Bunga muncul di ketiak daun (axillaris), bertangkai
panjang 20 – 60 cm, buah muda berwarna hijau dan setelah tua menjadi coklat,
bentuk biji bulat berwarna coklat kehitaman, berbuah setelah berumur 12 – 18
bulan. Akar tunggang, berwarna putih, membesar seperti lobak. Berkembang
biak secara generatif (biji) maupun vegetatif (stek batang) (Krisnadi, 2013)
d. Kandungan Kimia
Tanaman kelor mengandung protein, vitamin, β-karoten, asam amino
dan senyawa fenolik. Selain itu tanaman kelor juga kaya dengan senyawa
zeatin, kuersetin, β-sitosterol, cafteoylquinic dan kaemferol (Anwar dkk.,
2007). Kandungan vitamin dan senyawa mineralnya juga sangat tinggi. Hal ini
terlihat dari jumlah Vitamin A lebih besar dari wortel, kalsium lebih tinggi dari
susu, besi lebih dari bayam, Vitamin C lebih dari jeruk, Kalium lebih dari
pisang dan protein setara dengan susu dan telor. Selain itu juga dilaporkan
bahwa kelor mngandung gula sederhana rhamnosa, kaya akan glukosinolat dan
isothiosianat (Fahey, 2005).
e. Khasiat
Ekstrak metanol dan etanol daun kelor memiliki aktivitas antioksidan.
Ekstrak tersebut diperoleh dengan metode freeze dried. Kandungan bahan
aktif yang diduga memiliki khasiat tersebut adalah senyawa fenolik yang
berupa kuersetin dan kaemferol (Siddhuraju dan Becker, 2003). Penelitian
lainya juga menunjukkan bahwa berbagai bagian tanaman dari kelor meliputi
daun, akar, biji, batang, buah dan bunga memiliki khasiat sebagai stimulan
sistem jantung dan peredaran darah, antitumor, antipiretik, antiepilepsi,
antiinflamasi, antiasam lambung, antispasmodik, diuretik, antihipertensi,
menurunkan kolesterol, antioksidan, antidiabetes, hepatoprotektif, antibakteri
dan antijamur (Anwar dkk., 2007; Fahey, 2005).

2.1.3 Pengukuran Antioksidan dengan Metode DPPH


Aktivitas antioksidan suatu senyawa dapat ditetapkan melalui metode
Transfer Atom Hidrogen atau Transfer Elektron (ET). Prinsip metode HAT adalah
dengan memanfaatkan kontrol kinetik, termasuk kompetisi yang terjadi antara
antioksidan dan subtratmemperebutkan peroksil radikal yang akhirnya akn
mendekomposisi senyawa. Metode ET dilakukan berdasarkan reaksi reduksi yang
dialami oleh oksidan sehingga akan mengubah warnanya (ketika tereduksi). Contoh
metode HAT antara lain ABTS/TEAC, CUPRAC, DPPH, Folin-Ciocalteu dan FRAP.
Masing-masing metode tersebut menggunakan reagen dan standar potensial yang
berbeda (Apak et al, 2007)
Uji aktivitas antioksidan menggunakan metode DPPH diperkenalkan pertama
kali oleh Blois pada tahun 1958. DPPH (2,2-Difenil-1-Pikrilhidrazil) merupakan
radikal bebas atau zat pengoksidan yang stabil yang mempunyai satu kelebihan
elektron pada strukturnya. Metode ini dapat digunakan untuk mengevaluasi aktivitas
antioksidan pada ekstrak tanaman dan makanan.
Prinsip kerja metode DPPH adalah berdasarkan adanya senyawa (AH) akan
mendonorkan hidrogen (H) pada DPPH sehingga mengubah radikal bebas DPPH
yang berwarna ungu menjadi warna kuning pucat. Kemudian dengan
Spektrofotometer UV-Vis diukur serapannya pada panjang gelombang 517 nm.
aktivitas antioksidan dinyatakan sebagai IC50 yaitu konsentrasi dimana sampel uji
menghambat DPPH sebesar 50 %.

2.1.4 Kosmetika
Kosmetik berasal dari kata kosmein (yunani) yang berarti berhias. Bahan yang
digunkan dalam kosmetik dapat menggunakan bahan alam seperti herbal maiupun
bahan sintetik selama digunakan secara aman. Pengertian kosmetik adalah sediaan
atau panduan bahan yang siap digunakan pada bagian luar badan (epidermis, rambut,
kuku, bibir dan organ kelamin luar), gigi dan rongga mulut untuk membersihkan,
menambah daya tarik, mengubah penampilan, melindungi supaya dalam keadaan
baik, memperbaiki bau badan tetapi tidak dimaksudkan untuk mengobati atau
menyembuhkan penyakit (SK MENKES no 140/1991).
Dewasa ini pengertian kosmetika telah mengalami pergeseran dengan
berkembangnya produk kosmetik yang mengandung bahan obat. Sekarang kosmetika
semakin berkembang penggunaannya antara lain digunakan untuk meningkatkan
daya tarik (make up), meningkatkan kepercayaan diri dan ketenangan, melindungi
kulit dan rambut dari sinar UV yang merusak, polutan dan faktor lingkungan lain
serta menghambat penuaan dini (Wasitaatmaja, 2011; Roberts and Walters, 2008;
Miteva and Fluhr, 2008).

2.1.5 Sediaan Gel


Menurut farmakope indonesia edisi IV, gel atau jelly merupakan sistem
semipadat yang terdiri dari suspensi yang dibuat dari partikel anorganik yang kecil
atau molekul organik yang besar terpenetrasi oleh suatu cairan (Depkes RI, 1995).
Menurut Howard C. Ansel, gel didefinisikan sebagai suatu sistem semi padat yang
terdiri dari suatu dispersi yang tersusun baik dari partikel unorganik yang kecil atau
molekul organik yang besar dan saling diresapi cairan (Ansel, 1989).
Bentuk gel meempunyai beberapa keuntungan diantaranya tidak lengket,
mudah dioleskan, mudah dicuci, tidak meninggalkan lapisan berminyak pada kulit,
viskositas gel tidak mudah mengalami perubahan selama penyimpanan (Lieberman,
1989). Gel merupakan sediaan semisolid yang memiliki aliran tiksotropik dan
pseudoplastikyang artinya berbentuk padat bila disimpan dan akan segera mencair
bila dikocok (Depkes RI, 1995).
Faktor yang perlu diperhatikan dalam pembuatan sediaan gel yang baik adalah
pemilihan dan pembuatan basis gel yang terdiri dari bahan pembentuk gel, humektan,
pengawet dan air. Bahan pembentuk gel yang digunakan dapat berupa polimer
karbohidrat alam seperti tragakan, pektin, alginat, selulosa dan derivatnya, maupun
polimer sintesis seperti karbomer (Aulton, 1988).

2.1.6 Sediaan lotion


Menurut Farmakope Indonesia Edisi IV, definisi lotion adalah sediaan cair
berupa suspensi atau dispersi yang digunakan sebagai obat luar dapat berbentuk
suspensi zat padat dalam serbuk halus dengan ditambah bahan pensuspensi yang
cocok, emulsi tipe o/w dengan surfaktan yang cocok. Pelembab tubuh (moisturizer)
umumnya dibuat dengan karakteristik tersendiri sehingga memiliki kombinasi air,
tipe minyak, dan emolien (pengencer) yang berbeda satu sama lainnya. Lotion
menurut FI III adalah sediaan cair berupa suspensi atau dispersi, digunakan sebagai
obat luar. Dapat berbentuk suspensi zat padat dalam bentuk sebuk halus dengan
bahan pensuspensiyang cocok atau emulsi tipe minyak dalam air (o/w atau m/a)
dengan surfaktan yang cocok.
Body Lotion mempunyai konsistensi paling encer dibandingkan dengan
pelembab lainnya. Lotion yang baik adalah tidak terlalu greasy (berminyak) saat
digunakan dan dapat menyerap dengan cepat saat dioleskan di kulit. Lotion
merupakan pilihan paling tepat jika membutuhkan pelembab yang ringan atau bila
digunakan untuk seluruh tubuh. Karena bentuknya ringan dan tidak meninggalkan
residu, lotion bisa digunakan di pagi hari tanpa perlu khawatir bisa menempel di
pakaian dan juga digunakan jika tinggal di iklim yang lembab atau ketika cuaca mulai
panas.

2.1.7 Preformulasi
Adapun bahan yang digunakan dalam formulasi baik dalam gel maupun lotion
adalah :
a. Ultrez-20
Carbopol atau Carbomer adalah serbuk berwarna Putih, fluffy, asam,
dan higroskopis dengan karakteristik sedikit bau. Karbopol dapat
mengembang di air dan gliserin, dan setelah dinetralkan, dengan Etanol
(95%). Karbopol tidak larut tapi mengembang menjadi luar biasa semenjak
karbopol adalah mikrogel silang tiga-dimensi. Karbopol biasa digunakan
dalam sediaan formulasi farmasi berupa cairan atau semisolid seperti krim,
gel, lotion, dan salep dalam sediaan mata, rectal, vaginal, dan topikal sebagai
agen modifikasi reologi. Kegunaan karbopol diantaranya adalah sebagai
material Bioadhesive, controlled-release agent, agen pengemulsi, penstabil
emulsi, agen modifikasi reologi, zat penstabil, zat pensuspensi, dan zat
pengikat tablet. Persentasi penggunaan karbopol sebagai zat pengemulsi
adalah 0,1 – 0,5 %, sebagai gelling agent 0,5 – 2,0 %, sebagai zat pensuspensi
0,5 – 1,0 %, sebagai pengikat dalam formulasi tablet 0,75 – 3,0 %, dan
sebagai controlled-release agent 5,0 – 30,0 %. (Rowe, R.C., Paul, J.S., dan
Marian, 2009).
Pada penelitian ini, karbopol digunakan pada sediaan gel.

b. Triethanolamine (TEA)
Trietanolamin (TEA) berbentuk larutan viskos yang bening, tidak
berwarna hingga sedikit kuning yang memiliki bau sedikit amoniak.
Trietanolamin digunakan sebagai agen pembasa dan agen pengemulsi.
Trietanolmain dapat berubah menjadi coklat ketika terpapar udara dan cahaya.
Trietanolamin harus disimpan dalam wadah bebas udara yang terlindung dari
cahaya, dalam tempat dingin dan kering. Trietanolamin dapat bercampur
dengan air, metanol, karbon tetraklorida, aseton, dapat larut dalam benzena
dan etil eter dengan perbandingan 1:20 dan 1:63 dalam suhu 20ºC.
trietanolamin banyak digunakan dalam formasi garam untuk larutan injeksi
dan preparasi analgesic topikal. TEA juga dapat digunakan dalam preparasi
sunscreen. Trietanolamin juga digunakan dalam pembuatan surfaktan,
demulsfikasi minyak, dan zat warna. Selain itu Trietanolamin juga biasa
digunakan sebagai buffer, pelarut, dan plasticizer polimer, atau humektan
(Rowe, R.C., Paul, J.S., dan Marian, 2009).
Pada penelitian ini, TEA digunakan pada sediaan gel maupun lotion.

c. Gliserin
Penggunaan gliserin pada umumnya digunakan sebagai humektan,
emolien juga sebagai bahan tambahan pada akuous maupun non akuous gel.
Selain itu gliserin digunakan sebagai pelarut, plastisizer dan penambah
viskositas. Karakteristik gliserin merupakan cairan jernih, tidak berwarna,
tidak berbau, kental, terasa manis (± 0,6 kali lebih manis dibandingkan
sukrosa). Pada gel ini, gliserin digunakan sebagai gel vehicle aquousdengan
konsentrasi 5-15 % dan juga sebagai humektan dengan konsentrasi ≤ 30 %
(Rowe, Sheskey and Quinn, 2009).
Pada penelitian ini, gliserin digunakan pada sediaan gel maupun lotion.
d. Propilenglikol
Bahan ini merupakan cairan jernih, tidak berwarna, manis, kental dan
praktis tidak berbau. Propilen glikol larut dalam aseton, kloroform, air,
gliserin, eter dan etanol namun tidak larut dalam minyak mineral. Kegunaan
propilen glikol adalah sebagai humektan plastisizer, pelarut dan stabilizer.
Konsentrasi propilen glikol yang umum digunakan sebagai humektan adalah ±
15% dan sebagai pelarut dalam sediaan topikal adalah 5-80% (Rowe, Sheskey
and Quinn, 2009).
Pada penelitian ini, propilenglikol digunakan pada sediaan gel.
e. Metil paraben
Metil paraben banyak digunkan sebagai pengawet antimikroba dalam
kosmetik, produk makanan dan formulasi farmasi. Metil paraben dapat
digunakan baik sendiri, dalam kombinasi dengan paraben lain atau dengan
agen antimikroba lain. Pada produk kosmetik, metil adalah yang paling sering
digunakan pengawet antimikroba. Mempunyai aktivitas mikroba antara pH 4-
8, konsentrasi yang sering digunakan adalah 0,02-0,3%. Kelarutannya yaitu
larut dalam etanol 95% (1:3), eter (1:10), dan metanol (Rowe, Sheskey and
Quinn, 2009).
Pada penelitian ini, metil paraben digunakan pada sediaan gel maupun
lotion.
f. Propil paraben
Propil paraben (C10H12O3) atau nipasol berbentuk bubuk putih, kristal,
tidak berbau, dan tidak berasa. Propil paraben banyak digunakan sebagai
pengawet antimikroba dalam kosmetik, produk makanan, dan formulasi
sediaan farmasi. Propil paraben menunjukkan aktivitas antimikroba antara pH
4-8. Efikasi pengawet menurun dengan meningkatnya pH karena
pembentukan anion fenolat. Paraben lebih aktif terhadap ragi dan jamur
daripada terhadap bakteri. Mereka juga lebih aktif terhadap gram-positif
dibandingkan terhadap bakteri gram-negatif (Rowe, Sheskey and Quinn,
2009).
Pada penelitian ini, propil paraben digunakan pada sediaan lotion.
g. Cetyl alcohol
Pemerian cetyl alcohol berupa serpihan putih licin, granul, atau kubus,
putih (Dirjen POM RI, 1995). Pada lotion, cream, dan ointment, cetyl alcohol
digunakan sebagai emollient (pelembut), water-absorbtive, dan emulsifying.
Cetyl alcohol dapat meningkatkan stabilitas, memperbaiki tekstur, dan
meningkatkan konsistensi. Titik leleh adalah 45-52⁰C (Rowe, et al., 2009).
Pada penelitian ini, setil alcohol digunakan pada sediaan lotion
h. Asam stearat
Asam stearat berwujud keras, sedikit berkilap, berupa padatan kristal
atau serbuk berwarna putih maupun kekuningan, dan seperti lemak. Titik leleh
≥54⁰C, praktis tidak larut air. Dalam formulasi untuk penggunaan topikal,
asam stearat berfungsi sebagai emulsifying agent dan solubilizing agent.
Untuk pembuatan krim, biasanya penetralan menggunakan basa atau
triethanolamine (Rowe,et al., 2009) melalui peristiwa penyabunan
(saponifikasi). Asam stearat memiliki rHLB 15 untuk tipe emulsi M/A (Allen,
2002).
Pada penelitian ini, asam stearat digunakan pada sediaan lotion.
i. Aquadest
Akuades adalah air murni yang diperoleh dengan cara penyulingan. Air
murni dapat diperoleh dengan cara penyulingan, pertukaran ion, osmosis
terbalik atau dengan cara yang sesuai. Air murni lebih bebas kotoran maupun
mikroba. Air murni digunakan dalam sediaan-sediaan yang membutuhkan air
terkecuali untuk parentral, akuades tidak dapat digunakan.
Pada penelitian ini, aquadest digunakan pada sediaan lotion dan gel.

2.1.8 Uji Stabilitas Fisik Sediaan


Stabilitas didefinisikan sebagai kemampuan suatu produk obat atau kosmetik
untuk bertahan dalam batas spesifikasi yang diterapkan sepanjang periode
penyimpanan dan penggunaan untuk menjamin identitas, kekuatan, kualitas, dan
kemurnian produk. Definisi sediaan kosmetik yang stabil yaitu suatu sediaan yang
masih berada dalam batas yang dapat diterima selama periode waktu penyimpanan
dan penggunaan, dimana sifat dan karakteristiknya sama dengan yang dimilikinya
saat dibuat (Ansel, 1989).
Kestabilan dari suatu sediaan ditandai dengan tidak terjadinya sineresis dan
memberikan penampilan, bau, warna dan sifat-sifat fisik lainnya yang baik (Martin,
Swarbick and Cammarata, 1983).
Parameter-parameter yang digunakan dalam uji kestabilan fisik sediaan adalah
(ASEAN, 2005):
a. Organoleptis atau Penampilan fisik
Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengamati adanya perubahan bentuk
sediaan, timbulnya bau atau tidak, dan perubahan warna, terjadinya sineresis atau
tidak. Sineresis adalah suatu proses yang terjadi akibat adanya kontraksi di dalam
massa sediaan sehingga cairan yang terjerat akan keluar dan berada di atas
permukaan sediaan.
b. Pemeriksaan Homogenitas
Sediaan diletakan di antara dua kaca objek lalu diperhatikan ada atau tidak
ketidakhomogenan di bawah cahaya.
c. Pemeriksaan pH
Sediaan sebaiknya memiliki pH yang sesuai dengan pH kulit yaitu 4,5-6,5
karena jika sediaan memiliki pH yang terlalu basa maka dapat menyebabkan kulit
menjadi kering, sedangkan jika pH terlalu asam akan menimbulkan iritasi kulit
(Djajadisastra, 2004).
d. Sifat Aliran (Viskositas)
Viskositas merupakan ukuran tahanan suatu cairan untuk mengalir, sedangkan
reologi adalah ilmu yang mempelajari sifat aliran zat caair. Secara umum
kenaikan viskositas dapat meningkatkan kestabilan sediaan (berdasarkan hukum
stokies). Umumnya sediaan sediaan memiliki sifat aliran sistem non-Newton.
Sifat aliran dari sistem non-Newton itu sendiri terbagi lagi menjadi 2 yaitu
(Martin, Swarbick and Cammarata, 1983).
Cairan yang sifat alirny/a tidak dipengaruhi oleh waktu
Kelompok ini terbagi lagi menjadi 3 kelompok yaitu:
a. Aliran plastis
Cairan ini mempunyai sifat tidak akan mengalir sebelum gaya tertentu
dilampauinya, yang disebut yield value. Kurva aliran plastis tidak melalui titik
(0,0) tetapi memotong shearing stress pada suatu titik tertentu yaitu yield value.
Adanya yield value disebabkan oleh adanya kontak antara partikel-partikel yang
berdekatan yang harus dipecah sebelum aliran terjadi.
b. Aliran Pseudoplastis
Sebagian besar produk farmasi seperti polimer menunjukan aliran
pseudoplastis. Kurva aliran ini melalui titik (0,0). Hal ini berlawanan dengan
aliran plastis sehingga liran pseudoplastis tidak memiliki yield value. Viskositas
berkurang dengan meningkatnya rate of shear, disebut juga shear thinning
system.
c. Aliran dilatan
Peningkatan viskositas akan meningkat seiring meningkatnya rate of shear
karena volume dari sediaan akan naik bila rate of shear ditingkatkan, disebut
shear thickening system.
Cairan yang sifat alirnya dipengaruhi oleh waktu
Kelompok ini juga terbagi menjadi 3 kelompok:
a. Tiksotropik
Aliran tiksotropik dijumpai pada zat yang mempunyai aliran plastis dan
pseudoplastis, yang mana menunjukan adanya pemecahan struktur yang tidak
berbentuk dengan segera jika stress dihilangkan atau dikurangi. Kurva aliran ini
bergantung pada rate of shear yang meningkat dan berkurang serta lamanya zat
mengalami rate of shear.
b. Reopeksi
Aliran ini disebut juga aliran tiksotropik negatif, yaitu terjadi kenaikan
konsistensi pada kurva menaiknya. Konsistensi meningkat seiring menaiknya
waktu shear.
c. Anti-tiksotropik
Kurva aliran menurun disebelah kanan kurva menaik. Aliran ini merupakan
kebalikan dari aliran tiksotropik.

2.1.9 Uji Stabilitas


Untuk memperoleh nilai kestabilan suatu sediaan farmasetika atau kosmetik
dalam waktu yang singkat,dapat dilakukan uji stabilitas dipercepat. Tujuan pengujian
ini adalah mendapatkan informasi yang diinginkan pada waktu sesingkat mungkin
dengan cara menyimpan sampel pada kondisi yang dirancang sedemikian rupa untuk
mempercepat terjadinya perubahan yang biasanya terjadi pada kondisi normal. Jika
hasil pengujian suatu sediaan pada uji dipercepat selama 3 bulan diperoleh hasil yang
stabil, maka sediaan tersebut pada penyimpanan suhu kamar selama setahun
(Djajadisastra, 2004).
Uji stabilitas dipercepat pada sediaan gel antara lain :
a. Peningkatan suhu dan kelembapan : bertujuan sebagai indikator kestabilan
dan menguji kemasan produk. Berdasrkan ICH guidelines, uji penyimpanan
dilakukan pada suhu 40 0C / kelembapan kamar selama 3 hari; 1,2,3,4
minggu; 2,3,6 bulan.
b. Cycling test : tes ini bertujuan untuk menguji apakah terjadi sineresis atau
tidak. Sampel disimpan pada suhu rendah selama 24 jam lalu dipindahkan
pada suhu tinggi selam 24 jam, dilakukan selama 6 (enam) siklus.
2.2 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan identifikasi masalah dan kajian teori, maka yang menjadi
hipotesis dalam penelitian ini adalah :
1. Sediaan gel & lotion ekstrak etanol 70% daun kelor (Moringa oleifera)
memiliki stabilitas yang baik
2. Gel dan lotion ekstrak etanol 95% buah kawis (Limonia acidissima) memiliki
aktivitas antioksidan dan anti tirosinase secara in vitro
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian eksperimental.
3.2 Bahan Penelitian
Pada penelitian ini digunakan bahan-bahan kimia antara lain akuades, etanol
96%, metanol, kloroform, petroleum eter, etil asetat, H2SO4, HCl, amonia, Na2CO3,
iodium, Serbuk Mg, amil alkohol, Folin ciocalteu, silika gel G60 F254, 1,1 difenil-2-
pikrihidrazil (DPPH), asam askorbat, asam galat, mushrom tyrosinase, L-DOPA,
asam kojat, kalium peroksida, natrium hidroksida, Na EDTA, propilen glikol,
gliserin, nipagin, natrium metabisulfit, ultrez-20.
3.3 Alat Penelitian
Alat penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah timbangan analitik,
neraca analitik, waterbath, rotary evaporatory, oven, blender, chumber, mousture
analyzer, pH meter, inkubator, spektrofotometer UV-Vis, kufet kuarsa, piknometer,
alkoholmeter, vortex, stirer, viskometer brookfield, centifuse, labu ukur, pipet mikro,
pipet volume, kaca arloji, batang ose, cawan petri, cawan porselen, tabung reaksi,
botol vial, alat-alat gelas lainnya.
3.4 Prosedur Penelitian
3.4.1 Penyiapan Simplisia
Persiapan sampel yang dilakukan yaitu sampel dipisahkan bagian daun dan
ranting, kemudian di keringkan dengan menggunakan oven dengan suhu 60°C dan
lama pengeringan 5 jam (Setyawatik, 2011). Daun kelor kering lalu digiling dengan
blender hingga menjadi serbuk untuk memudahkan proses ekstraksi. Serbuk daun
kelor kering dikemas dalam kantong plastik dan disimpan dalam freezer sebelum
dilakukan proses ekstraksi (Saputra dkk, 2013).
3.4.2 Pembuatan Ekstrak
Dari jurnal Ekstraksi Senyawa Bioactiv dari Daun Moringa oleifera untuk
memperoleh senyawa phenolic dan aktivitas antioksidan yang tinggi maka digunakan
metode maserasi. Metode maserasi dilakukan dengan rasio 1:40. Timbang 10 gram
serbuk sampel kering kemudian diekstraksi menggunakan pelarut etanol (70%)
sebanyak 400 mL. Serbuk sampel yang telah ditimbang direndam dalam pelarut
selama 72 jam pada suhu kamar. Setelah itu difiltrasi dengan kertas saring dan pompa
vakum, ekstrak yang diperoleh diletakkan di ruang ber-AC hingga pelarut menguap
dan ekstrak kering. Ekstrak kering kemudian dikerik dan ditempatkan dalam kemasan
plastik, lalu disimpan dalam freezer sebelum digunakan sebagai bahan analisis
(Vongsak dkk., 2013).
3.4.3 Uji Aktivitas Aktivitas Antioksin Ekstrak Daun Kelor
Larutan uji dibuat dengan cara 4 mL dari masing-masing konsentrasi
ditambahkan 1 mL DPPH 0,3 mM. Campuran divorteks selama 20 detik kemudian
larutan uji dan larutan kontrol diinkubasi pada suhu 37oC selama 30 menit. Asam
askorbat digunakan sebagai pembanding atau kontrol positif.
Uji antioksidan ekstrak dilakukan dengan metode DPPH yang menggunakan
spektrofotometer UV-Vis. Serapan atau absorbansi larutan uji diukur pada panjang
gelombang maximum. Untuk menghasilkan pengukuran yang baik, larutan yang
diukur memberikan serapan sebesar 0,2-0,8 di daerah ultraviolet atau cahaya tampak
(Depkes, 2008).
Persentase penghambatan atau inhibisi dapat dihitung menggunakan rumus :
absorbansi kontrol-absorbansi sampel
% inhibisi= ×100 %
absorbansi kontrol
IC50 dihitung dengan menggunakan persamaan regresi linier, konsentrasi
sampel sebagai sumbu x dan persen penghambatan (% inhibisi) sebagai sumbu y.
Dari persamaan y = a + bx dapat dihitung nilai IC50.
3.4.3 Pembuatan Sediaan
a. Sediaan gel ekstrak etanol 70% daun kelor
Pada pembuatan gel dari ekstrak etanol 70 % daun kelor, pertama-tama
bahan-bahan yang digunakan ditimbang terlebih dahulu. Kedalam beaker glass
pertama, dimasukan akuades 10 mL dan sodium hidroksida lalu diaduk sampai
larut (berwarna jernih), disebut larutan 1. Kemudian ke dalam beaker glass kedua
dimasukan nipagin kedalam propilen glikol, diaduk sampai larut baru
ditambahkan gliserin, diaduk kembali sampai larut (berwarna jernih), disebut
larutan 2. Selanjutnya kedalam beaker glass ketiga, dimasukan akuades 15 mL,
sodium EDTA dan natrium metabisulfit lalu diaduk sampai larut (berwarna
jernih), disebut larutan 3. Ke dalam beaker glass ke empat, dimasukan akuades 45
mL, ultrez-20 sedikit demi sedikit sambil diaduk dengan stirer kecepatan 140-255
ppm sampai terdispersi homogen. kemudianditambahkan larutan 1, diaduk
dengan stirer kecepatan 160 rpm sampai kelihatan lebih kental lalu ditambahkan
larutan 2 dan selanjutnya larutan 3, diaduk sampai homogen. selanjutnya
dimasukan ekstrak buah kawis yang terlebih dahulu dilarutkan dalam etanol 95
%. Diaduk dengan stirer kecepatan 160 rpm sampai kental dan homogen. terakhir
ditambahkan akuades sampai 100 gram, diaduk dengan stirer kecepatan 160 rpm
sampai kental dan homogen dan menjadi massa gel.
Tabel 3.1 Formulasi Sediaan Gel Ekstrak Etanol Daun Kelor
Bahan Blangko Formula
negatif (%)
(%)
Sodium
0,15 0,15
hidroksida
Nipagin 0,15 0,15
Sodium
0,01 0,01
EDTA
Na 0,02 0,02
Metabisulfit
Gliserin 5,75 5,75
Propilen 5,0 5,0
glikol
Ultrez 20 0,70 0,70
Ekstrak - 0,2
Akuades Ad 100 Ad 100

b. Sediaan lotion ekstrak etanol 70% daun kelor


Lotion dibuat dengan cara memasukan setil alcohol, asam stearat, kedalam
cawan porselin dan dileburkan diatas penangas air hingga suhu 70oC (fase
minyak). Kemudian TEA, propilen paraben dan metil paraben dilarutkan dalam
aquades yang sebelumnya sudah dipanaskan (fase air). Setelah masing-masing
sediaan tercampur, fase air dimasukan kedalam fase minyak kemudian diaduk
hingga homogeny. Selanjutnya ditambahkan ekstrak etanol daun kelor.
Tabel 3.1 Formulasi Sediaan Lotion Ekstrak Etanol Daun Kelor
Bahan Blangko Formula
negatif (%)
(%)
Setil alkohol 0,15 4
Asam stearat 0,15 4
Trietanolamin 0,01 2
Gliserin 0,02 2
Metil paraben 5,75 0,2
Propil 5,0 0,03
paraben
Ekstrak - 0,2
Propilen 10 10
glikol
Aquades Add 100 Add 100

3.4.4 Evaluasi fisik Sediaan


Evaluasi dari sediaan gel dilakukan untuk pengamatan organoleptis,
homogenitas, pengukuran pH, Viskositas.
a. Pengamatan organoleptis
Sediaan diamati warna, baunya, terjadi sineresis atau tidak
b. Pemeriksaan homogenitas
Sediaan diletakan di antara dua kaca objek lalu diperhatikan adanya partikel-
partikel kasar atau ketidakhomogenan di bawah cahaya.
c. Pengukuran pH
Uji pH dapat dilakukan menggunakan indikator universal atau pH meter. Jika
pH diukur dengan menggunakan pH meter, mula-mula elektroda dikalibrasi
dengan dapar standar pH 4, 7 dan 9. Kemudian elektroda dicelupkan ke dalam
sediaan, dicatat nilai pH yang muncul di layar. Pengukuran dilakukan pada suhu
ruang.
d. Penentuan viskositas dan sifat alir
Pengukuran viskositas dengan menggunakan viskometer brookfield
menggunakan spindle nomor yang sesuai, dipasang pada alat kemudian
dicelupkan ke dalam sediaan yang telah diletakan dalam beaker glass. Kecepatan
alat dipasang pada kecepatan yang beragam pada 2, 4, 10, 20 rpm dan kemudian
dibalik 20, 10, 4 dan 2 rpm kemudian dibaca skalanya dengan mengamati jarum
merah saat posisinya stabil. Sifat aliran dapat diperoleh dengan membuat kurva
shearing stress vsrateof shear.

3.4.5 Uji Stabilitas


a. Uji Stabilitas pada suhu 4±2, 28±2oC, dan suhu 40±2oC RH 75%
Tiap formula sediaan disimpan pada suhu 4±2, 28±2oC, dan suhu 40±2oC dan
diukur parameter-parameter kestabilannya seperti bau, warna, dan pH dievaluasi
selama 12 minggu dengan pengamatan setiap 2 minggu.
b. Cycling test
Sampel disimpan pada suhu 4±2 selama 24 jam lalu dipindahkan dalam lemari
uji stabilitas bersuhu 40±2oC selama 24 jam, waktu selama penyimpanan 2 suhu
tersebut dianggap satu siklus. Cycling test dilakukan sebanyak 6 siklus kemudian
dilihat organoleptis berupa perubahan warna dan apakah yang terjadi sinergis atau
tidak.

3.4.6 Uji Aktivitas Antioksidan Sediaan Ekstrak Etanol 70% Daun Kelor
a. Pembuatan Larutan Sampel
Sampel sediaan gel sejumlah 1 gr diekstraksi dengan penambahan 10 ml
pelarutnya. Disentrifus dengan kecepatan 10000 rpm selama 15 menit. Cairan
supernatan ditampung sedangkan endapan dilarutkan kembali dengan pelarutnya dan
disentrifus kembali. Perlakuan diulang sampai 3 kali. Masing-masing larutan uji dari
3 macam sediaan dipipet sejumlah 1 mL kemudian ditambahkan metanol sampai 4
mL. Selanjutnya masing-masing larutan uji ditambahkan 1 mL DPPH, diinkubasi
pada suhu 37oC selama 30 menit.
Uji antioksidan sediaan dilakukan menggunakan metode DPPH dengan
menggunakan spektrofotometer UV-Vis. Serapan atau absorbansi larutan uji diukur
pada panjang gelombang maximum. Persentase penghambatan atau inhibisi dapat
dihitung menggunakan rumus:
absorbansi kontrol-absorbansi sampel
% inhibisi= ×100 %
absorbansi kontrol

3.5 Analisis Data


Data uji sifat fisik sediaan lotion dan gel yang meliputi data pengamatan
organoleptis, pemeriksaan homogenitas, penentuan pH, dan viskositas sediaan
menjadi parameter sediaan lotion dan gel yang baik dan memiliki stabilitas sediaan
sesuai dengan yang diinginkan. Data pH dan viskositas yang menunjukan adanya
perubahan pada perlakuan uji stabilitas dianalisis dengan ANOVA dengan taraf
kepercayaan 95 % untuk mengetahui adanya perbedaan yang signifikan nilai pH dan
viskositas selama uji stabilitas.
Data nilai IC50 yang menunjukan aktivitas antioksidan ekstrak dan sediaan gel
dan lotion dianalisis dengan ANOVA dengan taraf kepercayaan 95% untuk
mengetahui adanya perbedaan yang signifikan nilai aktivitas antioksidan antara
ekstrak dan sediaan serta perbedaan antara sediaan gel dan lotion.

Anda mungkin juga menyukai