Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Difteri merupakan salah satu penyakit infeksi yang dapat dicegah dengan
imunisasi. Penyakit difteri disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphtheriae
yang menyerang sistem pernapasan bagian atas. Menurut Purwana (2010) bahwa
semua golongan umur dapat terinfeksi oleh bakteri Corynebacterium diphtheriae,
namun 80% kasus terjadi diderita pada anak usia kurang dari 15 tahun dan yang
tidak mendapatkan imunisasi dasar.
Faktor ibu salah satunya dapat menjadi penyebab terjadinya kasus difteri.
Perilaku yang terdiri dari pengetahuan, sikap, dan tindakan ibu dalam menjaga
anaknya agar terhindar dari penyakit menjadi salah satu faktor yang signifikan
berhubungan terhadap kejadian difteri.
B. Rumusan Masalah
a. Bagaimana untuk mengetahui Definisi difteri ?
b. Bagaimana untuk mengetahui etiologi difteri ?
c. Bagaimana untuk mengetahui patofisiologi dan WOC difteri ?
d. Bagaimana untuk mengetahui Klasifikasi difteri ?
e. Bagaimana untuk mengetahui Manifestasi difteri ?
f. Bagaimana untuk mengetahui Penatalaksanaan difteri ?
g. Bagaimana untuk mengetahui Pemeriksaan diagnostic ?
h. Bagaimana untuk mengetahui Pencegahan difteri ?
i. Bagaimana untuk mengetahui komplikasi difteri ?
C. Tujuan
a. Untuk mengetahui Definisi difteri
b. Untuk mengetahui etiologi difteri
c. Untuk mengetahui patofisiologi dan WOC difteri
d. Untuk mengetahui Klasifikasi difteri
e. Untuk mengetahui Manifestasi difteri
f. Untuk mengetahui Penatalaksanaan difteri
g. Untuk mengetahui Pemeriksaan diagnostic
h. Untuk mengetahui Pencegahan difteri
i. Untuk mengetahui komplikasi difteri

1|Page
BAB II
TINJAUN PUSTAKA
I. Tinjauan Teori
A. Definisi
Difteria adalah suatu infeksi akut yang mudah menular dan yang diserang
terutama saluran pernapasan bagian atas dengan tanda khas timbulnya
pseudomembran (Ngastiyah,2005).Difteri adalah infeksi akut yang disebabkan
oleh corynebacterium diphteriae (Rampengan, 1993). Difteri adalah infeksi saluran
pernapasan yang disebabkan oleh corynebacterium diphteriae dengan bentuk
basil gram positif (WHO).

B. Etiologi
Disebabkan oleh corynebacterium diphteriae, bakteri gram positif yang
bersifat polimorf, tidak bergerak dan tidak membentuk spora. Pewarna sediaan
langsung dengan biru metilen atau biru toluidin. Basil ini dapat ditemukan dengan
sediaan langsung dari lesi.Sifat basil polimorf, gram positif, tidak bergerak dan
tidak membentuk spora, mati pada pemanasan 60ºC selama 10 menit, tahan
sampai beberapa minggu dalam es, air susu, dan lendir yang telah mengering.
Terdapat 3 jenis basil yaitu bentuk gravis mitis dan intermedius atas dasar
perbedaan bentuk koleni dalam biakan agar darah darah yang mengandung
kalium terlarut. Basil dapat membentuk :
 Pseudomembran yang sukar diangkat, mudah berdarah dan berwarna putih
keabu-abuan yang terkena terdiri dari fibrin, leukosit, jaringan nekrotik dan
basil.
 Eksotoksin yang sangat ganas dan dapat meracuni jaringan setelah beberapa
jam diabsorbsi dan memberikan gambaran perubahan jaringan yang khas
terutama pada otot jantung, ginjal dan jaringan saraf. Satu perlima puluh ml
toksin dapat membunuh marmut dan kurang lebih 1/50 dosis ini dipakai untuk
uji Schick.
C. Patofisiologi
Corynebacterium diphteriae masuk kehidung atau mulut dimana basil akan
menempel di mukosa saluran nafas bagian atas, kadang-kadang kulit, mata atau
mukosa genital. Setelah 2-4 jam hari masa inkubasi bakteri dengan corynephage
menghasilkan toksik yang mula-mula diabsorbsi oleh membran sel, kemudian

2|Page
penetrasi dan interferensi dengan sintesa protein bersama-sama dengan sel
kuman mengeluarkan suatu enzim penghancur terhadap Nicotinamide Adenine
Dinucleotide (NAD). Sehingga sintesa protein terputus karena enzim dibutuhkan
untuk memindahkan asam amino dan RNA dengan memperpanjang rantai
polipeptida akibatnya terjadi nekrose sel yang menyatu dengan nekrosis jaringan
dan membentuk eksudat yang mula-mula dapat diangkat, produksi toksin kian
meningkat dan daerah infeksi makin meluas akhirnya terjadi eksudat fibrin,
perlengketan dan membentuk membran yang berwarna dari abu-abu sampai hitam
tergantung jumlah darah yang tercampur dari pembentukan membran tersebut
apabila diangkat maka akan terjadi perdarahan dan akhirnya menimbulkan difteri.
Hal tersebut dapat menimbulkan beberapa dampak antara lain sesak nafas
sehingga menyebabkan pola nafas tidak efektif, anoreksia sehingga penderita
tampak lemah sehingga terjadi intoleransi aktifitas.
D. Manifestasi Klinis
Gejala umum yang timbul berupa :
1. Demam tidak terlalu tinggi
2. Lesu dan lemah
3. Pucat
4. Anoreksia
Gejala khas yang menyertai :
1. Nyeri menelan
2. Sesak nafas
3. Serak
Gejala local : nyeri menelan, bengkak pada leher karena pembengakakan
pada kelenjar regional, sesak napas, serak sampai stridor jika penyakit sudah
pada stadium lanjut.Gejala akibat eksitoksin tergantung bagian yang terkena,
misalnya mengenai otot jantung terjadi miokarditis dan bila mengenai saraf terjadi
kelumpuhan. Bila difteria mengenai hidung (hanya 2% dari jumlah pasien difteria)
gejala yang timbul berupa pilek, sekret yang keluar bercampur darah yang berasal
dari pseudomembran dalam hidung. Biasanya penyakit ini akan meluas ke bagian
tenggorak pada tonsil, faring dan laring.

3|Page
E. Klasifikasi
Menurut tingkat keparahannya, penyakit ini dibagi menjadi 3 tingkat yaitu :
a. Infeksi ringan bila pseudomembran hanya terdapat pada mukosa hidung
dengan gejala hanya nyeri menelan.
b. Infeksi sedang bila pseudomembran telah menyerang sampai faring (dinding
belakang rongga mulut) sampai menimbulkan pembengkakan pada laring.
c. Infeksi berat bila terjadi sumbatan nafas yang berat disertai dengan gejala
komplikasi seperti miokarditis (radang otot jantung), paralisi (kelemahan
amggota gerak) dan nefritis (radang ginjal). Menurut lokasi gejala yang
dirasakan pasien :
1) Difteri hidung bila penderita menderita pilek dengan ingus yang bercampur
darah. Difteri hidung biasanya ringan dan kronis dengan salah satu rongga
hidung tersumbat dan terjadi ekskorisasi (ledes). Infeksi subklinis (atau
kolonisasi) merupakan kasus terbanyak. Toksin dapat menyebabkan
myocarditis dengan heart block dan kegagalan jantung kongestif yang
progresif, timbul satu minggu setelah gejala klinis difteri. Gejala lain yang
muncul belakangan antara lain neuropati yang mirip dengan Guillain Barre
Syndrome. Tingkat kematian kasus mencapai 5-10% untuk difteri
noncutaneus, angka ini tidak banyak berubah selama 50 tahun. Bentuk
lesi pada difteria kulit bermacam-macam dan tidak dapat dibedakan dari
lesi penyakit kulit yang lain, bisa seperti atau merupakan bagian dari
impetigo.
2) Difteri faring dan tonsil dengan gejala radang akut tenggorokan, demam
sampai dengan 38,5 derajat celsius, nadi yang cepat, tampak lemah, nafas
berbau, timbul pembengkakan kelenjar leher. Pada difteri jenis ini juga akan
tampak membran berwarna putih keabu abuan kotor di daerah rongga mulut
sampai dengan dinding belakang mulut (faring).
3) Difteri laring dengan gejala tidak bisa bersuara, sesak, nafas berbunyi,
demam sangat tinggi sampai 40 derajat celsius, sangat lemah, kulit tampak
kebiruan, pembengkakan kelenjar leher. Difteri jenis ini merupakan difteri
paling berat karena bisa mengancam nyawa penderita akibat gagal nafas.
4) Difteri kutaneus dan vaginal dengan gejala berupa luka mirip sariawan pada
kulit dan vagina dengan pembentukan membran diatasnya. Namun tidak

4|Page
seperti sariawan yang sangat nyeri, pada difteri, luka yang terjadi cenderung
tidak terasa apa.
F. Pemeriksaan Penunjang
a) Schick test
Tes kulit ini digunakan untuk menentukan status imunitas penderita. Tes ini
tidak berguna untuk diagnosis dini karena baru dapat dibaca beberapa hari
kemudian. Untuk pemeriksaan ini digunakan dosis 1/50 MED. Yang diberikan
intrakutan dalam bentuk larutan yang telah diencerkan sebanyak 0,1 ml bila
orang tersebut tidak mengandung antitoksin akan timbul vesikel pada bekas
suntikan akan hilang setelah beberapa minggu.
Pada orang yang mengandung titer antitoksin yang rendah uji schick
dapat positif, pada bekas suntikan akan timbul warna merah kecoklatan dalam
24 jam. Uji schick dikatakan negatif bila tidak didapatkan reaksi apapun pada
tempat suntikan dan ini terdapat pada orang dengan imunitas atau
mengandung antitoksin yang tinggi. Positif palsu dapat terjadi akibat reaksi
alergi terhadap protein antitoksin yang akan menghilang dalam 72 jam.
Pemeriksaan laboratorium pada pemeriksaan darah terdapat penurunan kadar
hemoglobin dan leukositosis polimorfonukleus, penurunan jumlah eritrosit, dan
kadar albumin. Pada urin terdapat albumin ringan.
b) Pemeriksaan Diagnostik
 Pada pemeriksaan darah terdapat penurunan kadar hemoglobin dan
leukositosis, penurunan jumlah eritrosit dan kadar albumin.
 Pada urine terdapat albuminuria ringan.
G. Pencegahan
1) Isolasi penderita
Penderita harus diisolasi dan baru dapat dipulangkan setelah
pemeriksaan kuman difteri dua kali berturut-turut negatif.
2) Pencegahan terhadap kontak
Terhadap anak yang kontak dengan difteri harus diisolasi selama 7
hari. Bila dalam pengamatan terdapat gejala-gejala maka penderita tersebut
harus diobati. Bila tidak ada gejala klinis, maka diberi imunisasi terhadap
difteri.
3) Imunisasi

5|Page
Penurunan drastis morbiditas diftery sejak dilakukan pemberian
imunisasi. Imunisasi DPT diberikan pada usia 2, 4 dan 6 bulan. Sedangkan
boster dilakukan pada usia 1 tahun dan 4 sampai 6 tahun. Di indonesia
imunisasi sesuai PPI dilakukan pada usaia 2, 3 dan 4 bulan dan boster
dilakukan pada usia 1 – 2 tahun dan menjelang 5 tahun. Setelah vaksinasi I
pada usia 2 bulan harus dilakukan vaksinasi ulang pada bulan berikutnya
karena imunisasi yang didapat dengan satu kali vaksinasi tidak mempunyai
kekebalan yang cukup proyektif. Dosis yang diberikan adalah 0,5 ml tiap kali
pemberian.
Cara Pencegahan
a. Kegiatan penyuluhan sangatlah penting: beri penyuluhan kepada
masyarakat terutama kepada para orang tua tentang bahaya dari difteria
dan perlunya imunisasi aktif diberikan kepada bayi dan anak-anak.
b. Tindakan pemberantasan yang efektif adalah dengan melakukan
imunisasi aktif secara luas (missal) dengan Diphtheria Toxoid (DT).
Imunisasi dilakukan pada waktu bayi dengan vaksin yang mengandung
diphtheria toxoid, tetanus toxoid, antigen “acellular pertussis: (DtaP, yang
digunakan di Amerika Serikat) atau vaksin yang mengandung “whole cell
pertusis” (DPT). Vaksin yang mengandung kombinasi diphtheria dan
tetanus toxoid antigen “whole cell pertussis”, dan tipe b haemophillus
influenzae (DPT-Hib) saat ini juga telah tersedia.
c. Jadwal imunisasi berikut ini adalah yang direkomendasikan di Amerika
Serikat (Negara lain mungkin menggunakan jadwal lain dan tidak
memberikan 4 dosis sebagai imunisasi dasar).
1) Untuk anak-anak berusia kurang dari 7 tahun imunisasi dasr untuk
vaksin DtaP atau DPT-Hib, 3 dosis pertama diberikan dengan interval
4-8 minggu. Dosis pertama diberikan saat bayi berusia 6-8 minggu;
dosis ke-4 diberikan 6-12 bulan setelah dosis ke-3 diberikan. Jadwal ini
tidak perlu diulang kembali walaupun terjadi keterlambatan dalam
pelaksanaan jadwal tersebut. Dosis ke-5 diberikan pada saat usia 4-6
tahun (usia masuk sekolah); dosis ke-5 ini tidak perlu diberikan jika
sudah mendapat dosis ke-4 pada usia 4 tahun. Bila komponen pertusis
dari DTP merupakan kontraindikasi, sebagai pengganti dapat diberikan
vaksin DT.
6|Page
2) Untuk usia 7 tahun keatas mengingat efek samping pemberian
imunisasi meningkat dengan bertambahnya usia maka dosis booster
untuk anak usia di atas 7 tahun, vaksin yang dipakai adalah vaksin
dengan konsentrasi / kadar diphtheria toxoid (dewasa) yang rendah.
Sedangkan untuk mereka yang sebelumnya belum pernah diimunisasi
maka diberikan imunisasi dasar berupa 3 dosis vaksin serap tetanus
dan diphtheriae toxoid (Td). Dua dosis pertama diberikan dengan
interval 4-6 minggu dan dosis ketiga diberikan 6 bulan hingga 1 tahun
setelah dosis ke-2. Data yang terbatas dari Swedia menunjukkan
bahwa jadwal pemberian imunisasi ini mungkin tidak memberikan
tingkat perlindungan yang memadai pada kebanyakan remaja, oleh
karena itu perlu diberikan dosis tambahan. Untuk mempertahankan
tingkat perlindungan maka perlu dilakukan pemberian dosis Td setiap
10 tahun kemudian.
3) Upaya khusus perlu dilakukan terhadap mereka yang terpajan dengan
penderita seperti kepada para petugas kesehatan dengan cara
memberikan imunisasi dasar lengkap dan setiap sepuluh tahun sekali
diberikan dosis booster Td kepada mereka.
4) Bagi anak-anak dan orang dewasa yang mempunyai masalah dengan
sistem kekebalan mereka (immunocompromised) atau mereka yang
terinfeksi HIV diberikan imunisasi dengan vaksin diphtheria dengan
jadwal yang sama bagi orang normal walaupun ada risiko pada orang-
orang ini tidak memberikan respon kekebalan yang optimal.
Penanganan Penderita, Kontak dan Lingkungan Sekitar
 Isolasi: Isolasi ketat dilakukan terhadap penderita difteria faringeal,
isolasi untuk difteria kulit dilakukan terhadap kontak hingga 2 kultur dari
sampel tenggorokan dan hidung (dan sampel dari lesi kulit pada
difteria kulit hasilnya negatif tidak ditemukan baksil. Jarak 2 kultur ini
harus dibuat tidak kurang dari 24 jam dan tidak kurang dari 24 jam
setelah penghentian pemberian antibiotika. Jika kultur tidak mungkin
dilakukan maka tindakan isolasi dapat diakhiri 14 hari setelah
pemberian antibiotika yang tepat (lihat 9B7 di bawah).

7|Page
 Desinfeksi serentak: Dilakukan terhadap semua barang yang dipakai
oleh/untuk penderita dan terhadap barang yang tercemar dengan
discharge penderita. Dilakukan pencucihamaan menyeluruh.
 Karantina: Karantina dilakukan terhadap dewasa yang pekerjaannya
berhubungan dengan pengolahan makanan (khususnya susu) atau
terhadap mereka yang dekat dengan anak-anak yang belum
diimunisasi. Mareka harus diistirahatkan sementara dari pekerjaannya
sampai mereka telah diobati dengan cara seperti yang diuraikan di
bawah dan pemeriksaan bakteriologis menyatakan bahwa mereka
bukan carrier.
 Manajemen Kontak: Semua kontak dengan penderita harus dilakukan
kultur dari sample hidung dan tenggorokan, diawasi selama 7 hari.
Dosis tunggal Benzathine Penicillin (IM: lihat uraian dibawah untuk
dosis pemberian) atau dengan Erythromycin selama 7-10 hari
direkomendasikan untuk diberikan kepada semua orang yang tinggal
serumah dengan penderita difteria tanpa melihat status imunisasi
mereka. Kontak yang menangani makanan atau menangani anak-anak
sekolah harus dibebaskan untuk sementara dari pekerjaan tersebut
hingga hasil pemeriksaan bakteriologis menyatakan mereka bukan
carrier. Kontak yang sebelumnya sudah mendapatkan imunisasi dasar
lengkap perlu diberikan dosis booster apabila dosis imunisasi terakhir
yang mereka terima sudah lebih dari lima tahun. Sedangkan bagi
kontak yang sebelumnya belum pernah diimunisasi, berikan mereka
imunisasi dasar dengan vaksinasi: Td, DT, DPT, DtaP atau DPT-Hib
tergantung dari usia mereka.
 Investigasi kontak dan sumber infeksi: Pencarian carrier dengan
menggunakan kultur dari sampel yang diambil dari hidung dan
tenggorokan tidak bermanfaat.Pencarian carrier dengan kultur hanya
bermanfaat jika dilakukan terhadap kontak yang sangat dekat.
H. Komplikasi
Komplikasi yang timbul:
1. Infeksi tumpangan oleh bakteri lain

8|Page
Infeksi ini dapat disebabkan oleh bakteri streptococcuss dan staphilococcus.
Panas tinggi terutama didapatkan pada penderita difteri dengan infeksi
tumpangan dengan bakteri streptococcus.
2. Obstruksi jalan napas akibat membran atau oedem jalan nafas.
Obstruksi ini dapat terjadi akibat membaran atau oedem jalan nafas.
Obstruksi jalan nafas dengan sengaja akibatnya, bronkopneumoni dan
atelektasis.
3. Sistemik
a) Miokarditis, Sering timbul akibat komplikasi difteri berat tetapi juga dapat
terjadi pada bentuk ringan. Komplikasi terhadap jantung pada anak
diperkirakan 10-20%. Faktor yang mempengaruhi terhadap niokarditis
adalah virulensi kuman. Virulensi makin tinggi komplikasi jantung.
Miokarditis dapat terjadi cepat pada minggu pertama atau lambat pada
minggu keenam.
b) Neuritis,Terjadi 5-10% pada penderita difteri yang biasanya merupakan
komplikasi dari difteri berat. Manifestasi klinis ditandai dengan :
- Timbul setelah masa laten
- Lesi biasanya bilateral dimana motorik kena lebih dominan
daripada sensorik
- Biasanya sembuh sempurna
- Nefritis
c) Susunan saraf
Kira-kira 10% penderita difteri akan mengalami komplikasi yang
mengenai sistem susunan saraf terutama sistem motorik. Paralysis ini
dapat berupa :
1) Paralysis pallatum molle
 Timbul pada minggu ketiga dan khas dengan adanya suara dan
regurgitasi hidung, tetapi ada yang mengatakan suara ini timbul
pada minggu 1-2. Kelainan ini biasanya hilang sama sekali dalam
1-2 minggu (Ocular palsy).
 Biasanya timbul pada minggu kelima atau khas ditandai oleh
paralysis dari otot akomodasi yang menyebabkan penglihatan
menjadi kabur. Otot yang kena ialah m. rectus externus.
2) Paralysis diafragma
9|Page
 Dapat terjadi pada minus 5-7
 Paralisis ini disebabkan neuritis n. phrenicus dan bila tidak segera
diatasi penderita akan meninggal.
3) Paralysis anggota gerak
 Dapat terjadi pada minggu 6-10
 Pada pemeriksaan didapati lesi bilateral, refleks tendon
menghilang, cairan cerebrospinal menunjukan peningkatan protein
yang mirip dengan sindrom guillian barre.
I. Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan Medis
Pengobatan umum dengan perawatan yang baik, isolasi dan
pengawasan EKG yang dilakukan pada permulan dirawat satu minggu
kemudian dan minggu berikutnya sampai keadaan EKG 2 kali berturut-turut
normal dan pengobatan spesifik. Pengobatan spesifik untuk difteri :
1) ADS (Antidifteri serum), 20.000 U/hari selama 2 hari berturut-turut dengan
sebelumnya harus dilakukan uji kulit dan mata.
2) Antibiotik, diberikan penisillin prokain 5000 U/kgBB/hari sampai 3 hari
bebas demam. Pada pasien yang dilakukan trakeostomi ditambahkan
Cloramfenikol 75 mg/kg/BB/hari dibagi 4 dosis.
3) Kortikosteroid, untuk mencegah timbulnya komplikasi miokarditis yang
sangat membahayakan, dengan memberikan predison 2 mg/kgBB/hari
selama 3-4 minggu. Bila terjadi sumbatan jalan nafas yang berat
dipertimbangkan untuk tindakan trakeostomi. Bila pada pasien difteri
terjadi komplikasi paralisis atau paresis otot, dapat diberikan strikin ¼ mg
dan vitamin B1 100 mg tiap hari selama 10 hari.
4) Procain Penicillin G (IM) diberikan sebanyak 25.000 – 50.000 unit/kg/BB
untuk anak-anak dan 1,2 juta unit/kg/BB/hari untuk orang dewasa. Dibagi
dalam dua dosis. Penderita dapat juga diberikan erythromycin 40-50
mg/kg/BB/hari maksimum 2 g/hari secara parenteral. Jika penderita sudah
bisa menelan dengan baik maka erythromycin dapat diberikan per oral
dibagi dalam 4 dosis per hari atau penicillin V per oral sebesar 125-250
mg empat kali sehari, selama 14 hari. Pernah ditemukan adanya strain
yang resisten terhadap erythromycin namun sangat jarang. Antibiotik
golongan macrolide generasi baru seperti azythromycin dan
10 | P a g e
chlarithromycin juga efektif untuk strain yang sensitif terhadap
erythromycin tetapi tidak sebaik erythromycin. Terapi profilaktik bagi
carrier: untuk tujuan profilaktik dosis tunggal penicillin G sebesar 600.000
unit untuk anak usia dibawah 6 tahun dan 1,2 juta unit untuk usia 6 tahun
ke atas. Atau dapat juga diberikan erythromycin oral selama 7-10 hari
dengan dosis 40 mg/kg/BB/hari untuk anak-anak dan 1 gram/hari untuk
orang dewasa.
b. Penatalaksanaan Keperawatan
Pasien difteri harus dirawat di kamar isolasi yang tertutup. Petugas
harus memakai gaun khusus (celemek) dan masker yang harus diganti tiap
pergantian tugas atau sewaktu-waktu bila kotor (jangan dari pagi sampai
malam hari). Sebaiknya penunggu pasien juga harus memakai celemek
tersebut untuk mencegah penularan ke luar ruangan. Harus disediakan
perlengkapan cuci tangan: desinfektan, sabun, lap, atau handuk yang
selallu kering (bila ada tisu) air bersih jika ada kran juuga tempat untuk
merendam alat makan yang diisi dengan desinfektan.
Resiko terjadi komplikasi obstruksi jalan napas, miokarditis,
pneumonia. Pasien difteri walaupun penyakitnya ringan perlu dirawat di
rumah sakit karena potensial terjadi komplikasi yang membahayakan
jiwanya yang disebabkan adanya pseudomembran dan eksotosin yang
dikeluarkan oleh basil difteri tersebut.
1) Sumbatan jalan nafas
Kelainan ini terjadi karena adanya edema pada laring dan trakea serta
adanya pseudomembran. Gejala sumbatan adalah suara serak dan
stridor inspiratoir. Bila makin berat terjadi sesak napas, sianosis, tampak
retraksi otot, kedengaran stridor :
a. Berikan Oksigen
b. Berikan posisi fowler atau semi fowler
c. Hubungi dokter
d. Pasang infus (bila belum terpasang)
e. Hubungi orang tua beritahu keadaan anak dan bahaya yang dapat
terjadi.
2) Miokarditis

11 | P a g e
Eksotoksin yang dikeluarkan oleh basil difteri jika diserap oleh
janutng akan menyebabkan terjadinya miokarditis yang biasanya
kelainan ini timbul pada minggu kedua sampai ketiga. Untuk mencegah
adanya miokarditis hanya dengan pemberian suntikan ADS sedini
mungkin. Tetapi untuk mengetahui gejala miokarditis perlu observasi
terus menerus dan pasien harus istirahat paling sedikit 3 minggu atau
sampai hasil EKG 2 kali berturut-turut normal. Selama dirawat,
pengamatan nadi, pernapasan dan suhu dicatat dalam perawatan
khusus. Bila tidak ada alat EKG :
a. Pemantauan nadi sangat penting dan harus dilakukan setiap jam dan
dicatat secara teratur. Bila terdapat perubahan kecepatan nadi makin
menurun (bradikardi) harus segera menghubungi dokter.
b. Pasien tidak boleh banyak bergerak, tetapi sikap berbaringnya harus
sering diubah, misalnya setiap 3 jam untuk mencegah terjadinya
komplikasi bronkopneumonia (pneumonia hipostatik).
c. Jaga kulit pada bagian tubuh yang tertekan agar tidak terjadi
dekubitus (ingat pasien tirah baring selama 3 minggu, tidak boleh
bangun).
3) Komplikasi yang mengenai saraf
Komplikasi yang mengenai saraf dapat terjadi pada minggu pertama dan
kedua. Jika mengenai saraf palatum mole (saraf telan) dengan gejala
bila pasien minum air/susu akan keluar melalui hidungnya. Jika terjadi
demikian :
a. Cara memberikan minum harus hati-hati, pasien sambil di dudukkan
b. Bila pasien memakan makanan cair agar dibuat agak kental dan
diberikan sedikit demi sedikit.
4) Komplikasi pada ginjal
Selama pasien difteri dalam perawatan keadaan urine selain harus
diperhatikan warnanya juga banyaknya apakah normal atau tidak.
Gangguan masukan nutrisi pada pasien difteri selain disebabkan karena
sakit menelan juga karena anoreksia. Jika anak masih mau menelan
bujuklah agar ia mau makan sedikit demi sedikit dan berikan makanan
cair atau bubur encer dan berikan susu lebih banyak. Jika pasien tidak
mau makan sama sekali atau hanya sedikit sekali, atau dalam keadaan
12 | P a g e
sesak nafas perlu dipasang infus. Setelah 2-3 hari kemudian sesak
nafas telah berkurang sebelum infus dihentikkan dicoba makan per oral
dan apabila anak telah mau makan infus dihentikan. Berikan minum
yang sering untuk memelihara kebersihan mulut dan membantu
kelancaran eliminasi.
II. Asuhan Keperawatan Teori
A. Asuhan Keperawatan
Asuhan keperawatan merupakan proses atau rangkaian kegiatan praktik
keperawatan langsung pada klien di berbagai tatanan pelayanan kesehatan yang
pelaksanaannya berdasarkan kaidah profesi keperawatan dan merupakan inti
praktik keperawatan (Ali, 2009).
Proses keperawatan adalah suatu metode yang sistematis dan ilmiah yang
digunakan perawat untuk memenuhi kebutuhan klien dalam mencapai atau
mempertahankan keadaan biologis, psikologis, sosial dan spiritual yang optimal,
melalui tahap pengkajian, identifikasi diagnosis keperawatan, penentuan rencana
keperawatan, serta evaluasi tindakan keperawatan (Suarli & Bahtiar, 2009).
B. Metode Asuhan Keperawatan
Terdapat beberapa metode pemberian asuhan keperawatan, yaitu metode
kasus, metode fungsional, metode tim, dan metode keperawatan primer (Gillies,
1989 dalam Sitorus, 2006).
1. Metode Kasus
Metode Kasus merupakan metode pemberian asuhan keperawatan yang
pertama kali digunakan. Pada metode ini satu perawat akan memberikan
asuhan keperawatan kepada seorang klien secara total dalam satu periode
dinas. Jumlah klien yang dirawat oleh satu perawat tergantung pada
kemampuan perawat tersebut dan kompleksnya kebutuhan klien.
2. Metode Fungsional
Pada Metode Fungsional, pemberian asuhan keperawatan ditekankan
pada penyelesaian tugas dan prosedur. Setiap perawat diberi satu atau
beberapa tugas untuk dilaksanakan kepada semua klien di suatu ruangan.
Komunikasi antar perawat sangat terbatas sehingga tidak ada satu perawat
yang mengetahui tentang satu klien secara komprehensif kecuali mungkin
kepala ruangan. Keterbatasan itu sering menyebabkan klien merasa kurang
puas terhadap layanan atau asuhan yang diberikan. Pada metode ini, kepala
13 | P a g e
ruangan menentukan tugas setiap perawat dalam suatu ruangan. Perawat akan
melaporkan tugas yang dikerjakannnya kepada kepala ruangan dan kepala
ruangan tersebut bertanggung jawab dalam membuat laporan klien (Sitorus,
2006).
3. Metode Tim Metode
Tim berkembang pada awal tahun 1950-an, saat berbagai pemimpin
keperawatan memutuskan bahwa pendekatan tim dapat menyatukan
perbedaan katagori perawat pelaksana. Tujuan dari keperawatan tim adalah
untuk memberikan perawatan yang berpusat pada klien. Keperawatan tim
melibatkan semua anggota tim dalam perencanaan asuhan keperawatan klien,
melalui penggunaan konferensi tim dan penulisan rencana asuhan
keperawatan (Swansburg, 2000).
4. Metode Keperawatan Primer
Metode penugasan yang paling dipuji dan dipraktikkan saat ini adalah
keperawatan primer. Tanggung jawab mencakup periode 24 jam, dengan
perawat kolega yang memberikan perawatan bila perawat primer tidak ada.
Perawatan yang diberikan direncanakan dan ditentukan secara total oleh
perawat primer (Swansburg, 2000). Perawat primer bertanggung-jawab untuk
mengadakan komunikasi dan koordinasi dan juga akan membuat rencana
pulang klien jika diperlukan. Jika perawat primer tidak bertugas, kelanjutan
asuhan akan didelegasikan kepada perawat lain (Sitorus, 2006).
C. Sifat-sifat Proses Keperawatan
Proses keperawatan memiliki beberapa sifat yang membedakannya
dengan metode lain. Sifat pertama adalah dinamis, artinya setiap langkap dalam
proses keperawatan dapat kita perbarui jika situasi yang kita hadapi berubah.
Sifat kedua adalah siklus, artinya proses keperawatan berjalan menurut alur
(siklus) tertentu : pengkajian, penetapan diagnosis, perencanaan, implementasi
dan evaluasi. Sifat ketiga adalah saling ketergantungan, artinya masingmasing
tahapan pada proses keperawatan saling bergantung satu sama lain. Sifat
terakhir adalah fleksibilitas, artinya urutan pelaksanaan proses keperawatan
dapat berubah sewaktu-waktu, sesuai dengan situasi dan kondisi klien (Asmadi,
2008).

14 | P a g e
D. Komponen Proses Keperawatan
a. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dari proses keperawatan. Disini,
semua data data dikumpulkan secara sistematis guna menentukan status
kesehatan klien saat ini. Pengkajian harus dilakukan secara komprehensif
terkait dengan asfek biologis, psikologis, sosial, maupun spiritual klien. Tujuan
pengkajian adalah untuk mengumpulkan informasi dan membuat data dasar
klien. Metode utama yang dapat digunakan dalam pengumpulan data adalah
wawancara, observasi, dan pemeriksaan fisik serta diagnostik (Asmadi,
2008).
b. Diagnosa keperawatan
Diagnosis keperawatan adalah pernyataan yang menguraikan respon
aktual atau potensial klien terhadap masalah kesehatan yang perawat
mempunyai izin dan berkompeten untuk mengatasinya. Respon aktual dan
potensial klien didapatkan dari data dasar pengkajian, tinjauan literatur yang
berkaitan, catatan medis klien masa lalu, dan konsultasi dengan profesional
lain, yang kesemuanya dikumpulkan selama pengkajian (Potter & Perry,
2005).
c. Perencanaan
Tahap perencanaan memberikan kesempatan kepada perawat, klien,
keluarga dan orang terdekat klien untuk Universitas Sumatera Utara
merumuskan rencana tindakan keperawatan guna mengatasi masalah yang
dialami klien. Perencanaan ini merupakan suatu petunjuk tertulis yang
menggambarkan secara tepat rencana tindakan keperawatan yang dilakukan
terhadap klien sesuai dengan kebutuhannya berdasarkan diagnosis
keperawatan. Tahap perencanaan dapat disebut sebagai inti atau pokok dari
proses keperawatan sebab perencanaan merupakan keputusan awal yang
memberi arah bagi tujuan yang ingin dicapai, hal yang akan dilakukan,
termasuk bagaimana, kapan, dan siapa yang akan melakukan tindakan
keperawatan. Karenanya, dalam menyusun rencana tindakan keperawatan
untuk klien, keluarga dan orang terdekat perlu dilibatkan secara maksimal
(Asmadi, 2008).
d. Implementasi

15 | P a g e
Implementasi yang merupakan komponen dari proses keperawatan
adalah katagori dari prilaku keperawatan dimana tindakan yang diperlukan
untuk mencapai tujuan dan hasil yang dipekirakan dari asuhan keperawatan
dilakukan dan diselesaikan. Dalam teori, implementasi dari rencana asuhan
keperawatan mengikuti komponen perencanaan dari proses keperawatan.
Namun demikian, di banyak lingkungan perawatan kesehatan, implementasi
mungkin dimulai secara langsung setelah pengkajian (Potter & Perry, 2005).
e. Evaluasi
Evaluasi adalah tahap akhir dari proses keperawatan yang merupakan
perbandingan yang sistematis dan terencana antara hasil akhir yang teramati
dan tujuan atau kriteria hasil yang dibuat pada tahap perencanaan. Evaluasi
dilakukan secara berkesinambungan dengan melibatkan klien dan tenaga
kesehatan lainnya. Jika hasil evaluasi menunjukkan tercapainya tujuan dan
kriteria hasil, klien bisa keluar dari siklus proses keperawatan. Jika
sebaliknya, klien akan masuk kembali ke dalam siklus tersebut mulai dari
pengkajian ulang (reassessment). Secara umum, evaluasi ditujukan untuk: 1)
Melihat dan menilai kemampuan klien dalam mencapai tujuan. 2) Menentukan
apakah tujuan keperawatan telah tercapai atau belum. 3) Mengkaji penyebab
jika tujuan asuhan keperawatan belum tercapai (Asmadi, 2008).

16 | P a g e
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN KASUS

ASUHAN KEPERAWATAN
PENYAKIT DIFTERIA PADA ANAK

I. Pengkajian
Pernapasan.
- Sulit bernapas.
- Produksi sputum meningkat.
- Dispneu.
- Pada tenggorakan ada luka.
- Edema mukosa.
- Pembesaran kelenjar getah bening.
- Pernapasan cepat dan dangkal.
- Penggunaan otot bantu pernapasan.
- Terdengar wheezing (auskultasi).
Nutrisi
- Tidak nafsu makan.
- Sulit menelan.
- Turgor kulit menurun.
- Berat badan menurun.
- Edema laring,faring.
Aktivitas
- Tidak mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari.
- Kurang tidur, penurunan kemampuan beraktivitas, pusing.
- Fatique.
- Insomnia.
Sirkulasi
- nadi meningkat (takikardi).
- Aritmia.
Interaksi Sosial
- Merasa tergantung.
- Pembatasan mobilitas fisik.
17 | P a g e
Pemeriksaan Fisik :
Inspeksi :
1. Difteri hidung bila penderita menderita pilek dengan ingus yang
bercampur darah.
2. Difteri faring dan tonsil, terlihat pembengkakan kelenjar leher. Juga
akan tampak membran berwarna putih keabu abuan kotor di daerah
rongga mulut sampai dengan dinding belakang mulut (faring).
3. Difteri kutaneus dan vaginal dengan gejala berupa luka mirip sariawan
pada kulit dan vagina dengan pembentukan membran diatasnya tetapi
tidak nyeri.
Data penunjang :
Laboratorium : apusan tenggorok terdapat kuman corynebacterium difteri.
EKG : low voltage, depresi segmen ST, gelombang T terbaik.
II. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan disfungsi neuromuskular.
2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan anoreksia.
3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan secara menyeluruh.
Indicator Skala :
1) tidak pernah menunjukkan.
2) jarang menunjukkan.
3) kadang menunjukkan.
4) sering menunjukkan.
5) Selalu menunjukkan.
NIC :
Airway management
Intervensi :
1. Buka jalan nafas, gunakan tehnik chin lift.
2. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi.
3. Lakukan fisioterapi dada jika perlu.
4. Auskultasi suara nafas, catat adanya suaran nafas tambahan.
5. Monitor respirasi dan status O2.
6. Berikan antibiotik.

18 | P a g e
Dx 2 :
Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
Anoreksia
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses keperawatan
diharapkan BB stabil,pasien bebas dari tanda-tanda malnutrisi dan pasien
dapat mengumpulkan energi untuk beraktivitas kembali.
NOC :
Nutritional status: food and fluid intake.
Kriteria Hasil :
1. Asupan nutrisi.
2. Asupan makanan dan cairan.
3. BB meningkat.
4. Kekuatan dapat terkumpul kembali.
5. Stamina
Indikator Skala :
1. tidak pernah menujukkan 4. sering menunjukkan
2. jarang menunjukkan 5. Selalu menujukkan
3. kadang menunjukkan
NIC :
1. Nutrition Management
2. Nutrition terapi
Intervensi :
NIC I
1. Kaji BB
2. Berikan makanan tinggi kalori untuk peningkatan energi.
3. Berikan makanan tinggi Na.
4. Tingkatkan makanan yang mengandung protein,vitamin dan besi apabila
dianjurkan.
NIC II
1. Berikan lingkungan nyaman pada saat pasien makan.
2. Lakukan perawatan mulut sebelum pasien makan.
3. Sediakan makanan yang menarik untuk pasien agar pasien merasa tertarik.
4. Ajari pasien dan keluarga tentang diet yang harus diberikan.
19 | P a g e
Dx 3 :
Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan secara menyeluruh.
Tujuan :
Setelah dilakuakn tindakan keperawatan selama proses keperawatan
diharapkan tidak terjadi intoleransi aktivitas.
NOC :
Activity Tolerance
Kriteria Hasil :
1. Berpartisipasi dalam aktivitas fisik tanpa disertai peningkatan TD,Nadi,RR.
2. Mampu melakukan aktivitas sehari-hari (ADLs) secara mandiri.
Keterangan Skala :
1 : Tidak dilakukan sama sekali.
2 : Jarang dilakukan
3 : Kadang dilakukan
4 : Sering dilakukan
5 : Selalu dilakukan
NIC :
Activity Theraphy
Intervensi :
1. Kolaborasi dengan tenaga rehabilitas medik dalam merencanakan
program terapi yang tepat.
2. Bantu klien untuk mengidentifikasi aktivitas yang dapat dilakukan.
3. Bantu pasien/keluarga untuk mengidentifikasi kekurangan dalam
beraktivitas.
4. Bantu klien membuat jadwal latihan di waktu luang.
III. EVALUASI
Dx 1
Kriteria Hasil :
1. Suara nafas bersih, tidak ada sianosis, dyspneu (mampu mengeluarkan
sputum, mampu bernapas dengan baik) (skala 5).
2. Menunjukkan jalan nafas yang paten (klien tidak merasa tercekik,
frekuensi pernafasan dalam rentang normal, tidak ada suara nafas
abnormal)
3. Tanda- tanda vital dalam rentang normal
20 | P a g e
Dx 2
Kriteria Hasil :
1. Asupan nutrisi
2. Asupan makanan dan cairan
3. BB meningkat
4. Kekuatan dapat terkumpul kembali
5. Stamina
Dx 3
Kriteria Hasil :
1. Berpartisipasi dalam aktivitas fisik tanpa disertai peningkatan TD,Nadi,RR
2. Mampu melakukan aktivitas sehari-hari (ADLs) secara mandiri

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Difteri adalah infeksi saluran pernapasan yang disebabkan oleh
corynebacterium diphteriae dengan bentuk basil gram positif
2. Terdapat 3 jenis basil yaitu bentuk gravis mitis dan intermedius atas dasar
perbedaan bentuk koleni dalam biakan agar darah darah yang
mengandung kalium terlarut.
3. Corynebacterium diphteriae masuk kehidung atau mulut dimana basil
akan menempel di mukosa saluran nafas bagian atas, kadang-kadang
kulit, mata atau mukosa genital.

4. Menurut tingkat keparahannya, penyakit ini dibagi menjadi 3 tingkat yaitu


:Infeksi ringan bila pseudomembran hanya terdapat pada mukosa hidung
dengan gejala hanya nyeri menelan, Infeksi sedang bila pseudomembran
telah menyerang sampai faring (dinding belakang rongga mulut) sampai
menimbulkan pembengkakan pada laring, Infeksi berat bila terjadi
sumbatan nafas yang berat disertai dengan gejala komplikasi seperti

21 | P a g e
miokarditis (radang otot jantung), paralisi (kelemahan amggota gerak) dan
nefritis (radang ginjal).
5. Komplikasi yang timbul yaitu Infeksi tumpangan oleh bakteri lain,
Obstruksi jalan napas akibat membran atau oedem jalan nafas,
Sistemik, Susunan saraf.

22 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai