Anda di halaman 1dari 5

Manifestasi Klinis

Manifestasi peritonitis bergantung pada luasnya infeksi, serta usia dan kesehatan umum pasien.
Manifestasi lokal dan sistemik dapat muncul. Gejala klinis peritonitis yang terutama adalah nyeri
abdomen. Nyeri dapat dirasakan terus-menerus selama beberapa jam, dapat hanya di satu tempat
ataupun tersebar di seluruh abdomen dan makin hebat nyerinya dirasakan saat penderita
bergerak.

Manifestasi Abdomen/Gastrointestinal

 Nyeri yang menyebar atau terlokalisasi

Tipe nyeri menyebar yang menjadi konstan, setempat, dan lebih hebat dekat tempat
proses inflamasi.

 Nyeri diperburuk dengan bergerak.

 Area dari abdomen yang sakit menjadi sangat keras dan ototnya menjadi kaku.

 Nyeri tekan memantul (rebound tendernes )

 Bising usus berkurang atau tidak ada Distensi

 Anoreksia, mual, dan muntah

Manifestasi Sistemik

 Demam, Malaise

 Takikardia

 Takipnea

 Jumlah leukosit meningkat

 Gelisah

 Konfusi atau disorientasi


 Oliguria

(Lemone, Burke, & Bauldoff, 2015) (Baughman & Hackley, 1996)

Patofisiologi

Peritoneum adalah membran serosa berlapis ganda yang melapisi dinding (peritoneum
parietal) dan organ (peritoneum visera) pada rongga abdomen. Terdapat ruang potensial antara
lapisan parietal dan viseral peritoneum yang mengandung sejumlah kecil cairan serosa. Ruang
ini, yaitu rongga peritoneal, normalnya bersifat steril.

Patofisiologi Peritonitis terjadi akibat kontaminasi terhadap rongga peritoneal yang


normalnya steril oleh infeksi atau iritan kimia. Peritonitis kimia sering kali mendahului
peritonitis bakterial. Perforasi ulkus peptikum atau ruptur kandung empedu melepaskan getah
lambung (asam hidroklorida dan pepsin) atau empedu ke dalam rongga peritoneal, menyebabkan
respons inflamasi akut.

Peritonitis bakterial biasanya disebabkan oleh infeksi bakteri Escherichia coli,


Klebsiella, Proteus, atau Peudomonas, yang normalnya berada di usus. Inflamasi dan mekanisme
pertahanan imun akan teraktivasi ketika bakteri memasuki ruang peritoneal. Pertahanan ini dapat
secara efekrif mengeliminasi sejumlah kecil bakteri, tetapi tidak mampu melawan kontaminasi
berlanjut. Ketika kondisi tersebut terjadi, sel mast melepaskan histamin dan zat vasoaktif
lainnya, menyebabkan vasodilatasi lokal dan meningkatkan permeablitas kapiler. Leukosit
polimorfonuklear (salah satu tipe SDP) menginfiltrasi peritoneum untuk berperan sebagai fagosit
bakteri dan benda asing. Eksudat plasma yang kaya akan fibrinogen membantu destruksi
bakterial, dan membentuk gumpalan fibrin untuk menutup dan memisahkan bakteri. Proses ini
membantu membatasi dan melokalisasi infeksi memungkinkan host (pejamu) untuk
mengereduksinya. Namun, kontaminasi yang terus berlanjut dapat mengakibatkan inflamasi
umum pada rongga peritonium. Proses inflamasi menyebabkan cairan berpindah ke dalam
rongga peritonium (ruang ketiga). Jumlah darah dalam sirkulasiakan menurun, menyebabkan
hipovolemia. Septikemia, gangguan sistemik yang disebabkan oleh patogen atau toksinnya
sendiri dalam darah, dapat terjadi (Lemone, Burke, & Bauldoff, 2015).
Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya eksudat fibrinosa.
Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk di antara perlekatan fibrinosa, yang menempel
menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga membatasi infeksi. Perlekatan biasanya
menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat menetap sebagai pita-pita fibrosa, yang kelak
dapat mengakibatkan obstuksi usus.

Peradangan menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler dan membran mengalami


kebocoran. Jika defisit cairan tidak dikoreksi secara cepat dan agresif maka dapat menimbulkan
kematian sel. Pelepasan berbagai mediator, seperti misalnya interleukin, dapat memulai respon
hiperinflamatorius, sehingga membawa ke perkembangan selanjutnya dari kegagalan banyak
organ. Karena tubuh mencoba untuk mengkompensasi dengan cara retensi cairan dan elektrolit
oleh ginjal, produk buangan juga ikut menumpuk. Takikardi awalnya meningkatkan curah
jantung, tapi ini segera gagal begitu terjadi hipovolemia.

Organ-organ didalam cavum peritoneum termasuk dinding abdomenbmengalami oedem.


Oedem disebabkan oleh permeabilitas pembuluh darah kapiler organ-organ tersebut meninggi.
Pengumpulan cairan didalam rongga peritoneum dan lumen-lumen usus serta oedem seluruh
organ intra peritoneal dan oedem dinding abdomen termasuk jaringan retroperitoneal
menyebabkan hipovolemia. Hipovolemia bertambah dengan adanya kenaikan suhu, masukan
yang tidak ada, serta muntah.

Terjebaknya cairan di cavum peritoneum dan lumen usus, lebih lanjut meningkatkan
tekanan intra abdomen, membuat usaha pernapasan penuh menjadi sulit dan menimbulkan
penurunan perfusi. Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum atau
bila infeksi menyebar, dapat timbul peritonitis umum. Dengan perkembangan peritonitis umum,
aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik; usus kemudian menjadi atoni dan
meregang. Cairan dan elektrolit hilang kedalam lumen usus, mengakibatkan dehidrasi, syok,
gangguan sirkulasi dan oliguria. Perlekatan dapat terbentuk antara lengkung-lengkung usus yang
meregang dan dapat mengganggu pulihnya pergerakan usus dan mengakibatkan obstruksi usus.

Sumbatan yang lama pada usus atau obstruksi usus dapat menimbulkan ileus karena
adanya gangguan mekanik (sumbatan) maka terjadi peningkatan peristaltik usus sebagai usaha
untuk mengatasi hambatan. Ileus ini dapat berupa ileus sederhana yaitu obstruksi usus yang tidak
disertai terjepitnya pembuluh darah dan dapat bersifat total atau parsial, pada ileus stangulasi
obstruksi disertai terjepitnya pembuluh darah sehingga terjadi iskemi yang akan berakhir dengan
nekrosis atau ganggren dan akhirnya terjadi perforasi usus dan karena penyebaran bakteri pada
rongga abdomen sehingga dapat terjadi peritonitis

Penatalaksanaan

1. Penggantian cairan, koloid, dan elektrolit merupakan fokus utama dari penatalaksanaan medis

2. Analgesik untuk nyeri; antiematik untuk mual dan muntah

3. Intubasi dan penghisapan usus untuk menghilangkan distensi abdomen

4. Terapi oksigen dengan nasal kanul atau masker untuk memperbaiki fungsi ventilasi

5. Kadang dilakukan intubasi jalan napas dan bantuan ventilator juga diperlukan

6. Terapi antibiotik masif (sepsis merupakan penyebab kematian utama)

7. Tujuan utama tindakan bedah adalah untuk membuang materi penginfeksi dan diarahkan pada
eksisi, resksi, perbaikan dan drainase.

8. Komplikasi pasca operatif: eviserasi luka dan abses

(Baughman & Hackley, 1996)


Daftar Pustaka
Baughman, D. C., & Hackley, J. C. (1996). Keperawatan Medikal Bedah Buku Saku dari Brunner &
Suddarth. Jakarta: EGC.

Lemone, P., Burke, K. M., & Bauldoff, G. (2015). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah (Vol. 2). Jakarta:
EGC.

Anda mungkin juga menyukai