Anda di halaman 1dari 17

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatakan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
hanya dengan berkat, rahmat dan bimbingannya, sehingga saya dapat
menyelesaikan tugas makalah ini dengan baik.

Makalah mengenai “Permasalahan Mengenai Rumah Susun” ini kami buat


untuk melengkapi tugas mata kuliah ‘PERTANAHAN’ dari dosen pengajar :
Andika Putra Eskanugraha, S.H,M.Kn

Pada kesempatan ini, kami mengucapkan terima kasih kepada semua


pihak yang telah membantu dalam menyusun makalah ini dan dapat terselesaikan
dengan baik.

Kami sangat mengharapkan kiranya makalah ini bisa berguna bagi kita
semua dalam rangka peningkatan pendidikan khususnya di bidang ‘Pertanahan’.
Semoga makalah ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan kita menjadi
lebih luas lagi.

Seperti ada pepatah yang mengatakan “tak ada gading yang tak retak.”
Demikian pula kami menyadari makalah ini belumlah sempurna, masih banyak
kekurangan dan kesalahannya. Oleh karena itu, sangat diharapkan kritik dan saran
untuk penyempurnaan makalah ini. Atas perhatiannya diucapkan terima kasih.

Jember, 10 Desember 2018

1
BAB 1.
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Perumahan dan permukiman merupakan kebutuhan dasar manusia, yang
sangat berpengaruh dalam pembentukan kepribadian bangsa. Perumahan dan
permukiman tidak dapat hanya dilihat sebagai sarana kebutuhan hidup, tetapi
lebih dari itu merupakan proses bermukim manusia dalam menciptakan
tatanan hidup untuk masyarakat dan dirinya dalam menampakkan jati diri.
Untuk memenuhi kebutuhan rakyat akan perumahan dan permukiman yang
dapat terjangkau oleh masyarakat berpenghasilan rendah dan atau untuk
memenuhi tuntutan atau pemenuhan pola hidup modern berupa bangunan
pasar modern dan permukiman modern, pemerintah selalu dihadapkan pada
permasalahan keterbatasan luas tanah yang tersedia untuk pembangunan
terutama didaerah perkotaan yang berpenduduk padat.
Dalam upaya meningkatkan daya guna dan hasil guna tanah yang
jumlahnya terbatas tersebut, terutama bagi pembangunan perumahan dan
permukiman, serta mengefektifkan penggunaan tanah terutama didaerah-
daerah yang berpenduduk padat, maka perlu adanya pengaturan, penataan, dan
penggunaan atas tanah, sehingga bermanfaat bagi masyarakat banyak. Apalagi
jika dihubungkan dengan hak asasi, maka tempat tinggal (perumahan dan
permukiman) merupakan hak bagi setiap Warga Negara, sebagaimana diatur
dalam Pasal 28 H ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Kebutuhan dasar
tersebut wajib dihormati, dilindungi, ditegakkan, dan dimajukan oleh
Pemerintah.
1.2 MAKSUD DAN TUJUAN

2
Mengetahui permasalahan pengelolaan rumah susun sehingga tidak berfungsi
maksimal dan menemukan solusi agar rumah susun agar dapat berfungsi
maksimal dan meningkan fungsi kota secara keseluruhan.

3
BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 Dampak Perkembangan Anak Terhadap Lingkungan Rumah Susun


Meurut yusuf (2002) pada masa usia pra-sekolah ini dapat diperinci menjadi
dua masa, yaitu;
a. Masa Vital. Pada masa ini, individu menggunakan fungsi-fungsi biologis
untuk menemukan berbagai hal dalam dunianya. Untuk masa belajar, Freud
menamakan tahun pertama dalam kehidupan individu itu sebagai masa oral
(mulut), karena mulut dipandang sebagai sumber kenikmatan anak memasukkan
apa saja yang dijumpai masuk ke dalam mulutnya itu, tidaklah karena mulut
sumber kenikmatan utama, tetapi karena waktu itu mulut merupakan alat untuk
melakukan eksplorasi (penelitian) dan belajar.
b. Masa Estetik. Pada masa ini dianggap sebagai masa perkembangan rasa
keindahan. Kata estetik di sini dalam arti bahwa pada masa ini, perkembangan
anak yang terutama adalah fungsi panca inderanya. Kegiatan eksploitasi dan
belajar anak terutama menggunakan panca inderanya, pada masa ini, indera masih
peka, karena itu Montessori menciptakan bermacam-macam alt permainan untuk
melatih panca inderanya.
menurut Hurlock (1980:108) ciri itu tercermin dalam sebutan yang biasa
diberikan oleh para orang tua, pendidik, dan ahli psikologi;
(a) Sebutan yang digunakan orang tua. Ada beberapa sebutan untuk
menggambarkan masa kanak-kanak, sebutan tersebut berkisar tentang perilaku
dan aktivitas yang dilakukan anak-anak, pada sebagian besar orang tua
menganggap awal masa pada kanak-kanak sebagai usia yang mengundang
masalah atau usia sulit. Masa kanak-kanak merupakan masa-masa yang sulit bagi
orang tua karena pada masa kanak-kanak awal ialah karena anak-anak sedang
mengembangkan kepribadian yang unik dan menuntut kebebasan yang pada
umumnya kurang berhasil. Selain itu pada sebagian orang tua mudah
menghabiskan sebagian besar waktu juga bermain dengan mainanya.

4
(b) Sebutan yang digunakan para pendidik. Sedangkan para pendidik menyebut
usia awal kanak-kanak sebagai usia pra-sekolah, usia pra-sekolah adalah usia yang
belum memasuki usia sekolah atau masih di taman kanak-kanak, kelompok
bermain, atau penitipan anak-anak.
(c) Sebutan yang digunakan para ahli psikologi. Para ahli psikologi menggunakan
sejumlah sebutan yang berbeda untuk menguraikan ciri-ciri yang menonjol dari
perkembangan psikologi anak selama tahun awal masa kanak-kanak.

2.1 Rumah Susun Tidak Aman bagi Anak

Saat anak-anak mulai diberikan kepercayaan melakukan aktivitas harian,


peran tetangga menjadi sangat penting. Menurut Ketua Umum Komisi
Perlindungan Anak Indonesia, Hadi Supeno, bagi sebuah keluarga yang tinggal di
rusun itu komunikasi antar tetangga sangat diperlukan. Ikatan komunal antar
penghuni rusun itu dengan sendirinya akan dapat menciptakan saling menjaga dan
melindungi anak-anak dari berbagai macam risiko.

Sebab, suatu saat, sebuah keluarga yang memiliki anak balita itu mungkin
saja lengah dalam memberikan pengawasan. Dan saat lengah itulah sang tetangga
dapat mengover pengawasan kepada anak-anak.Tidak hanya itu, manfaat adanya
ikatan komunal, bila terjadi kecelakaan yang tidak disengaja saat aktivitas anak-
anak bermain dapat diselesaikan secara kekeluargaan.Misalnya, dalam kasus
Daniel, ketika temannya tanpa sengaja mendorongnya hingga jatuh dari lantai
empat, dapat diselesaikan di luar pengadilan.Arist mengamini pentingnya
penyelesaian sengketa antara anak-anak itu di luar ketentuan hukum, meskipun
siapa pun yang dapat mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang pada dasarnya
harus diproses secara hukum. Anak-anak tidak bisa disalahkan karena mereka
sejatinya masih belum sepenuhnya mengerti berbagai bahaya, baik bahaya itu
dapat mengancam nyawanya sendiri atau anak lainya.

Menurut Ketua Umum Asosiasi Penghuni Rumah Susun Seluruh Indonesia


(Aperssi) Ibnu Taji, persoalan yang menyangkut penghuni rusun dengan fasilitas

5
keamanan yang tidak memadai untuk anak-anak secara teori dapat diperkarakan di
pengadilan. Ambil contoh kasus yang dialami Daniel. Orang tua sebenarnya dapat
menggugat pihak pengembang maupun pemberi izin bangunan tentang bangunan
yang tidak berperspektif anak.Gugatan tersebut tentunya untuk memberikan efek
jera agar kasus serupa tidak terulang lagi serta dapat menjadi pelajaran bagi
pengembang saat akan membangun rusun.Tapi permasalahannya selama ini,
berdasarkan pengamatan Ibnu, belum ada penghuni rusun yang berani
melayangkan gugatan ke pihak pengembang, apalagi kepada pemberi izin dalam
hal ini pemerintan daerah setempat. Hal rersebut bisa dimaklumi lantaran proses
pengadilan di negeri ini memakan waktu bertahun-tahun dan biaya yang
dibutuhkan tentu tidak murah.

Perkotaan sebagai pusat pertumbuhan perekonomian menjadi tumpuan


banyak orang untuk berusaha dan bekerja. Pertumbuhan ekonomi di sektor
industri tidak diimbangi dengan dengan pertumbuhan di sektor lain, seperti:
 Ketersediaan sumber daya manusia yang berkualitas;
 Ketersediaan infrastruktur perkotaan yang memadai;
 Ketersediaan perumahan dan permukiman yang layak huni;
Didukung lagi dengan kondisi Kota–kota besar sebagai pusat
perekenomian yang umumnya sebagai berikut:
1) Peran penting karena diperkirakan pada tahun 2010 separuh dari jumlah
penduduk Indonesia akan tinggal di kota;
2) Terlibat dalam perekonomian global, sehingga membutuhkan
pembangunan sarana dan prasarana permukiman dalam skala yang lebih
besar;
3) Pertumbuhan ekonomi kota lebih tinggi dari rata-rata nasional, sehingga
pembangunan kota akan lebih pesat dibandingkan kawasan lain;
4) Pembangunan kota selalu mengejar nilai tambah ekonomi;
5) Pembangunan di sektor perumahan dan permukiman yang layak huni dan
terjangkau bagi masyarakat berpenghasilan rendah kurang diperhatikan;
6) Pembangunan infrastruktur tidak memadai.

6
Dengan segala kondisi tersebut, mengakibatkan beberapa kelemahan
dalam pelayanan perkotaan seperti:
1) Keterbatasan dalam penyediaan air minum, listrik, gas, bahan bakar dan
sebagainya, baik secara kualitas maupun kuantitas;
2) Keterbatasan ketersediaan infrastruktur perkotaan seperti jalan, saluran,
drainase, pengolah sampah dan sebagainya;
3) Keterbatasan dalam pelayanan publik seperti: rumah sakit, sekolah dan
sebagainya;
4) Keterbatasan sarana perumahan yang terjangkau dan layak huni,
khususnya bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
Karena keterbatasan ini, maka dampak yang ditimbulkan adalah sebagai
berikut:
 Kemacetan lalu lintas;
 Banjir;
 Menurunnya tingkat kesehatan;
 Tingginya kriminalitas;
 Permukiman kumuh;

Dalam mengatasi permasalah tersebut salah satu solusi yang telah dibuat
adalah dengan mendekatkan permukiman penduduk dengan lokasi tempat mereka
bekerja dan berusaha. Dikarenakan di perkotaan ketersediaan lahan untuk
permukiman sangat terbatas dan sangat mahal, maka solusi yang ditawarkan
adalah dengan pembangunan perumahan dengan sistem vertikal yang biasa
disebut apartemen atau rumah susun.

Pembangunan Rumah Susun dimaksudkan untuk penyediaan hunian yang


layak bagi orang dan badan hukum. Oleh karena itu, perumahan itu harus
memenuhi standar sebagai hunian yang memenuhi syarat baik dari segi kesehatan,
kenyamanan, dan keasrian dari rumah tersebut. Pembangunan Rumah Susun
merupakan pemenuhan atas kebutuhan papan (tempat tinggal) khususnya bagi
masyarakat yang berpenghasilan rendah, sebagaimana yang dinyatakan dalam

7
Pasal 5 Undang-Undang No.16 Tahun 1985 Undang-Undang Nomor 16 Tahun
1985 tentang Rumah Susun yang menyatakan bahwa Rumah Susun dibangun
sesuai dengan tingkat keperluan dan kemampuan masyarakat terutama masyarakat
yang berpenghasilan rendah. Pembangunannya dapat dilaksanakan atau
diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara atau Daerah, Koperasi, atau
Badan Usaha Milik Swasta yang bergerak dibidang itu.
Dalam perkembangannya, banyak rumah susun yang dibangun oleh
pemerintah tidak dihuni oleh orang-orang yang tepat, sebagaimana sasaran
semula. Sehingga tidak menimbulkan dampak yang signifikan terhadap fungsi
kota secara keseluruhan,
2.3 Umum
Sebagai sesuatu yang baru bagi masyarakat, cukup banyak permasalahan
yang menyangkut pengelolaan rumah susun. Permasalahan penghunian datang
dari kenyataan bahwa menghuni rumah susun masih dirasakan sebagai bentuk
budaya baru yang memerlukan waktu penyesuaian. Rumah susun terdiri dari
beberapa lantai hunian, merupakan bentuk perubahan hidup yang biasa melekat
dengan tanah, menjadi tidak memiliki tanah untuk sekedar bercocok tanam.
Kendala lain adalah masalah penghunian, pada awal penghunian sudah diadakan
seleksi sesuai dengan target sasasan, yaitu masyarakat yang berpenghasilan
rendah. Namun dalam perjalanannya, banyak penghuni yang memperjual-belikan
hak penghuniannya kepada orang-orang yang tidak berhak. Hal ini dipicu Tugas
oleh kebutuhan ekonomi para penghuni awal. Masalah-masalah lainnya antara
lain adalah sebagai berikut:

2.3.1 Teknis
Secara teknis permasalahan yang sering kali timbul dalam pengelolaan
rumah susun adalah:
a. Mahalnya harga tanah di pusat-pusat kota yang berdekatan
dengantempat bekerja dan berusaha, sehingga harga jual rusunawa
masihmahal walau telah disubsidi;

8
b. Kurang sempurnanya perletakan antara dapur, kamar mandi dan
kamar tidur, dikarenakan keterbatasan luasan per satuan unit rumah
susun serta belum adanya desain standar yang ideal;
c. Kurangnya pengawasan pada saat pelaksanaan pembagunan,
sehingga sering terjadi kebocoran air, baik itu air bersih atau air
kotor dari lantai diatasnya;
d. Tidak tersedianya ruang jemur pakaian yang memadai;
e. Karena umumnya berlantai lebih dari 4, maka pada saat hujan
terjadi tempias dan saat musim panas cahaya dapat masuk
langsung ke dalam rumah;
f. Kualitas bangunan yang serba standar, sehingga mengurangi rasa
nyaman;
g. Tidak tersedia lift untuk bangunan sampai dengan berlantai 5.
h. Tidak tersedianya ruang pertemuan yang memadai sebagai tempat
bersosialisasi;
i. Belum semua bangunan rumah susun yang dilengkapi dengan ramp
untuk penyandang cacat.
j. Distribusi air bersih sering kali tidak merata, misalnya apabila unit
bagian bawah memakai air, maka unit bagian atas akan kesulitan
mendapatkan air, karena kurangnya volume dan tekanan air.
2.3.2 Sosial Budaya
Tinggal di rumah susun merupakan budaya yang relatif baru bagi
masyarakat kita, sehingga seringkali kegiatan sehari-hari yang dilakukan pada saat
tinggal di rumah biasa (tidak susun) terbawa ke lingkungan rumah susun
(Ekaputra,dkk. 2014), yang antara lain sebagai berikut:
a. Berbicara dan menggunakan perangkat audio dengan keras, sehingga
mengganggu tetangga kamar maupun penghuni secara keseluruhan;
b. Mengutamakan kepentingan individu dalam menggunakan fasilitas
umum seperti, tangga, selasar depan kamar yang juga berfungsi
sebagai jalan akses bagi tetangga, dapur dan kamar mandi umum,

9
tempat bermain umum bagi anak-anak, parkir dan fasilitas umum
lainnya;
c. Menjemur pakaian keluar jendela, sehingga merusak pemandangan
dan dapat meneteskan air dari pakaian yang masih basah ke jemuran
pakaian yang sudah kering di bawahnya;
d. Tanpa disadari selalu membuang sampah atau barang tidak berharga
lainnya ke luar yang dapat mengganggu kenyamanan penghuni lainya,
khususnya dilantai bawah;
e. Karena terletak saling berdekatan, maka segala kegiatan, harta benda
tetangga jelas terlihat, sehingga sering menjadi pergunjingan dan
saling cemburu;
f. Kurangnya kesadaran penghuni dalam memelihara fasilitas umum.
2.3.3 Ekonomi
Penghuni rumah susun sewa umumnya adalah yang berpendidikan dan
berpenghasilan rendah, sehingga dalam kegiatan penghunian selalu timbul
permasalahan:
1. Kriminalitas diantara sesama penghuni;
2. Kecemburuan secara ekonomi antar penghuni;
3. Terlambat membayar sewa, air, listrik dan iuran lainnya sebagai
penghuni;
4. Kurangnya insentif perpajakan kepada para penghuni, pengelola
maupun pengembangnya.
2.3.4 Hukum
a. Hak dan kewajiban penghuni dan pengelola tidak terperinci secara
jelas berikut sanksi yang akan diterapkan apabila terjadi pelanggaran;
b. Rendahnya disiplin para penghuni dalam mematuhi segala kewajiban;
c. Lemahnya penegakan hukum terhadap semua pelanggaran yang
dilakukan.
2.3.5 Administrasi
Masalah – masalah yang sering timbul dari segi administrasi adalah:

10
a. Lemahnya pengelola dalam mengadiministrasikan penghuni, baik yang
masuk maupun yang keluar;
b. Rendahnya kesadaran para penghuni dalam melaporkan dan
mencatatkan segala kegiatan keluar – masuk penghuni, jumlah dan
kegiatannya kepada pengelola.
2.4 Permasalahan Lain
Mulailah muncul masalah, karena unit hunian yang luasnya hanya 36 m2
itu menjadi terasa sumpek. Apalagi bangunan rumah susun tidak bisa
dikembangkan seperti hanya bangunan rumah horisontal. Karena itu sekitar
dua tahun lalu Djunaedi memutuskan untuk pindah ke rumah biasa, yang
memiliki halaman. Walaupun setiap tahun dilanda banjir dan setiap hari harus
mengeluarkan biaya transportasi yang cukup besar, tetapi ia mengaku cukup
senang dan puas. Di sini terlihat bahwa orang lebih rela sedikit menderita
(transport mahal, banjir) daripada harus tinggal di rumah susun yang sumpek
tetapi dekat ke mana-mana.

Permasalahan lain yang timbul pada rumah susun adalah yang


menyangkut faktor manusia penghuni rumah susun itu sendiri. Dan faktor ini
yang seringkali diabaikan oleh pemerintah pada waktu membangun rumah
susun. Pola kebiasaan tinggal di rumah horisontal yang memiliki halaman,
tidak sama. Dengan pola kebiasaan tinggal di rumah yang disusun secara
vertikal. Pola kebiasaan manusia yang dipengaruhi oleh faktor sosial budaya
masyarakat. Yang bersangkutan yang pada gilirannya juga akan
mempengaruhi perilaku masyarakat tersebut. Pada rumah tinggal horisontal,
rumah memiliki halaman sendiri yang batas-batas kepemilikannya diperjelas
dengan adanya pagar yang mengelilingi rumah beserta halamannya. Di sana
penghuni bebas melakukan apa saja, selama itu masih berada di dalam wilayah
pribadinya dan tidak merugikan orang lain, tidak akan ada yang mengusik dan
memprotes. Pada permukiman horisontal, tingkat toleransi antar warganya
tidak dituntut terlalu tinggi, bahkan ada yang cenderung bersifat individual
dalam arti tidak terlalu perduli dengan urusan orang lain. Berbeda dengan

11
permukiman dengan pola vertikal yang biasa disebut rumah susun ini. Rumah
susun memiliki beberapa ciri fisik antara lain, kepadatan penghuni tinggi,
disain tidak fleksible, jauh dari tanah, dan hubungan antar pintu yang satu
dengan pintu yang lain relatif dekat (Suara Pembaharuan, 3/1/1999). Selain itu
batas-batas kepemilikan hanya mencakup unit huniannya saja, sedangkan
ruang-ruang lain seperti koridor/ selasar, tangga, halaman di lantai dasar,
taman dan tempat parkir adalah ruang-ruang yang dimiliki bersama. Sehingga
dalam pemanfaatan ruang-ruang bersama tersebut dibutuhkan adanya rasa
memiliki dan rasa tanggung jawab bersama dari setiap warga penghuni rumah
susun yang bersangkutan. Untuk dapat bertahan hidup di lingkungan rumah
susun dituntut adanya toleransi yang tinggi antar warga, kesadaran akan hak
dan kewajiban, sopan santun bertetangga, serta kedisiplinan dalam
menjalankan ketentuan-ketentuan dan aturan-aturan yang ada. Hal-hal tersebut
di atas menjadi suatu masalah manakala kita menghubungkannya dengan
manusia-manusia yang dituntut untuk melaksanakannya.

2.5 Landasan Hukum


Beberapa landasan teori terkait dengan pengelolaan rumah susun adalah
sebagai berikut:
1. UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN
1992 TENTANG PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN
Pasal 5 Ayat (1):
“Setiap warga Negara mempunyai hak untuk menempati dan/atau
menikmati dan/atau memiliki rumah rumah yang layak dalam lingkungan
yang sehat, aman, serasi dan teratur.”
2. UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN
1985 TENTANG RUMAH SUSUN:
Pasal 19 Ayat (1), Penjelasan:
“Penghuni satuan rumah susun tidak dapat menghindarkan diri atau
melepaskan kebutuhannya untuk menggunakan bagian bersama, benda
bersama dan tanah bersama. Untuk menjamin ketertiban, kegotong-

12
royongan dan keselarasan sesuai dengan kepribadian Indonesia dalam
mengelola bagian bersama, benda bersama, tanah bersama, maka
dibentuk perhimpunan penghuni yang mengatur dan mengurus
kepentingan bersama.”
3. PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4
TAHUN 1988 TENTANG RUMAH SUSUN
Pasal 20:
“Bagian bersama yang berupa ruang untuk umum, ruang tangga, lift,
selasar, harus mempunyai ukuran yang mempunyai persyaratan dan
diatur serta dikoordinasikan untuk dapat memberikan kemudahan bagi
penghuni dalam melakukan kegiatan sehari-hari, baik dalam hubungan
sesama penghuni, maupun dengan pihak lain, dengan memperhatikan
keserasian, keseimbangan, dan keterpaduan.”
Pasal 21:
“Benda bersama harus mempunyai dimensi, lokasi, kualitas, kapasitas
yang memenuhi persyaratan dan diatur serta dikoordinasikan untuk dapat
memberikan keserasian lingkungan guna menjamin keamanan dan
kenikmatan para penghuni maupun pihak-pihak lain, dengan
memperhatikan keselarasan, keseimbangan, dan keterpaduan.”
Pasal 54:
“Para penghuni dalam suatu lingkungan rumah susun baik untuk hunian
maupun bukan hunian wajib membentuk perhimpunan penghuni untuk
mengatur dan mengurus kepentingan bersama yang bersangkutan sebagai
pemilikan, penghunian dan pengelolaan.”
Pasal 61:
“(1) Setiap penghuni berhak:
a) Memanfaatkan rumah susun dan lingkungannya termasuk bagian
bersama, benda bersama, dan tanah bersama secara aman dan
tertib.
b) Mendapatkan perlindungan sesuai dengan Anggaran Dasar dan
Anggaran Rumah Tangga.

13
c) Memilih dan dipilih menjadi Anggota Pengurus Perhimpunan
Penghuni.
(2) Setiap penghuni berkewajiban:
a) Mematuhi dan melaksanakan peraturan tata tertib dalam rumah
susun dan lingkungannya sesuai dengan Anggaran Dasar dan
Anggaran Rumah Tangga.
b) Membayar iuran pengelolaan dan premi asuransi kebakaran.
c) Memelihara rumah susun dan lingkungannya termasuk bagian
bersama, benda bersama dan tanah bersama.
(3) Setiap penghuni dilarang:
a) Melakukan perbuatan yangmembahayakan keamanan, ketertiban,
dan keselamatan terhadap penghuni lain, bangunan dan
lingkungannya.
b) Mengubah bentuk dan/atau menambah bangunan di luar satuan
rumah susun yang dimiliki tanpa mendapat persetujuan
perhimpunan penghuni.”
Pasal 62:
“Pengelolaan rumah susun meliputi kegiatan-kegiatan operasional yang
berupa pemeliharaan, perbaikan, dan pembangunan prasarana
lingkungan, serta fasilitas sosial, bagian bersama, benda bersama dan
tanah bersama.”
Pasal 64:
“Pengelolaan terhadap rumah susun dan lingkungannya dapat
dilaksanakan oleh suatu badan pengelola yang ditunjuk atau dibentuk
oleh perhimpunan penghuni.”

Pasal 68:
“Badan pengelola mempunyai tugas:
a. Melaksanakan pemeriksaan, pemeliharaan, kebersihan dan perbaikan
rumah susun dan lingkungannya pada bagian bersama, benda
bersama, dan tanah bersama.

14
b. Mengawasi ketertiban dan keamanan penghuni serta penggunaan
bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama sesuai dengan
peruntukannya.
c. Secara berkala memberikan laporan kepada perhimpunan penghuni
disertai permasalahan dan usulan pemecahannya.”
2.5 Pedoman Teknis Pengelolaan Rumah Susun
Kriteria Pemilihan Pengelola Rumah Susun:
a. Mempunyai kemampuan manajerial dasar;
b. Mempunyai kemampuan berkomunikasi dengan baik;
c. Profesional dan memiliki kemampuan kewirausahaan;
d. Memiliki pengetahuan mengenai berbagai peraturan dan ketentuan
tentang pengelolaan rumah susun;
e. Mempunyai pengetahuan tentang prinsip-prinsip administrasi dan
keuangan;

15
BAB 3.
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dapat disimpulkan bahwa keberadaan rumah susun adalah alternative yang
tepat untuk dijadikan sebagi hunian tempat tinggal bagi penduduk kelas ekonomi
menengah ke bawah yang mengalami permasalahan mengenai kurangnya lahan
dan semakin mahalnya semua kebutuhan. Rumah susun sangat membantu dan
perlu dikelola dengan sebaik-baiknya agar memang rumah susun ini tepat sasaran
dan mampu mengurangi angka tunawisma khususnya di daerah perkotaan serta
menekan peningkatan jumlah gelandangan dan pemukiman kumuh yang semakin
lama terus bertambah. Rumah susun telah memenuhi syarat-syarat ideal suatu
hunian layak huni. Bahwa rumah susun di Indonesia masih memiliki banyak
permasalahan, baik itu secara Teknis, Sosial budaya, Ekonomi, Hukum maupn
administrasi.

3.2 Saran

Rumah susun memang adalah pilihan yang tepat, hanya yang harus
diperhatikan adalah pemeliharaan dan pengelolaannya khususnya di bagian
keamanan dan kebersihan, serta standar kesehatannya. Di bidang keamanan,
pengawasan berupa adanya security sangat penting mengingat kasus kriminalitas
yang marak terjadi di lingkungan rumah susun.

Kebersihan menjadi syarat mutlak bagi suatu hunian jadi pengelolaan


kebersihan harus terus dilakukan agar menjadi kawasan tempat tinggal yang asri
dan sesuai dengan standar kesehatan. Jangan sampai rumah susun menjadi sumber
penularan penyakit. Karena mengingat jarak tempat tinggal yang cenderung
berhimpitan bisa terjadi penularan penyakit secara sangat cepat.

perlu diterapkan tata kelola rumah susun yang benar dan sesuai dengan
peruntukkannya dengan cara penegakan hukum yang telah ada berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku agar seluruh persoalan dari rumah
susun ini dapat diatasi.

16
DAFTAR PUSTAKA

Hurlock, Elizabeth B. 1980. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan


Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta : Gramedia.
Syamsu Yusuf, 2002. Psikologi Perkembangan Anak & Remaja. Bandung:
Remaja Rosdakarya.
Ekaputra, Yohanes D.,2014 Pengaruh Aktivitas Ekonomi, Sosial, dan Budaya
Pada Sistem Permukiman Nelayan (Kajian Kawasan Nelayan
TasikAgung Kabupaten Rembang)
Haryanto, Asep, 2013, Strategi Penanganan Kawasan Kumuh sebagai Upaya
Menciptakan Lingkungan Perumahan dan Permukiman yang sehat,
Jurnal PWK Unisba
Iskandar, Johan, 2014, Manusia dan Lingkungan dengan berbagai permasalahan,
Graha Ilmu, Yogyakarta

17

Anda mungkin juga menyukai