Anda di halaman 1dari 22

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Organ Pendengaran

Struktur telinga terbagi menjadi telinga bagian luar, tengah, dan dalam.

Telinga bagian dalam terletak didalam tulang temporal bagian petrosa yang

terletak disisi medial dari telinga tengah. Bentuk telinga dalam sedemikian

kompleksnya sehingga disebut sebagai labirin. Labirin pada telinga dalam terdiri

dari dua bagian yaitu labirin tulang dan labirin membranosa. Telinga bagian

dalam terdiri dari koklea dan vestibuler yang terdiri dari 3 buah kanalis

semisirkularis. Fungsi telinga dalam ada dua yaitu koklea yang berperan sebagai

organ pendengaran dan kanalis semisirkularis yang berperan sebagai organ

keseimbangan (Felfela, 2017).

Gambar 2.1 Anatomi Telinga (Sherwood, 2014)

3
4

Koklea adalah organ pendengaran yang melingkar menyerupai rumah

siput dengan dua setengah putaran pada aksis yang memilliki panjang kurang

lebih 35 mm. Sentral aksis disebut dengan modiolus yang berisi berkas saraf dan

suplai arteri dari arteri vertrebalis. Koklea dibagi menjadi tiga kompartemen yaitu

terdiri dari skala vestibuli yang terletak dibagian atas, skala media atau duktus

koklearis yang terletak dibagian tengah, dan skala timpani yang terletak dibagian

bawah. Skala vestibuli dan skala timpani berisi cairan perilimfa, sedangkan skala

media berisi cairan endolimfa. Perilimfa dalam skala timpani dan vestibuli

berhubungan pada ujung atau puncak koklea yang disebut dengan helikotrema.

Skala vestibuli dan skala media dipisahkan oleh membran reissner, sedangkan

skala media dan skala timpani dipisahkan oleh membran basilaris (Soetirto,

Hendarmin, & Bashiruddin, 2012).

Gambar 2.2 Struktur Koklea (Sherwood, 2014)

Pada permukaan membran basilaris terletak organ korti yang mengandung

serangkaian sel yang sensitif membangkitkan impuls saraf sebagai respon dari

getaran suara yaitu sel - sel rambut atau stereosilia. Stereosilia ini berkontak

dengan membran tektorium yang merupakan suatu tonjolan mirip tenda yang
5

menutupi organ korti. Sebanyak 16.000 sel rambut di dalam masing - masing

koklea tersusun menjadi empat baris sejajar di seluruh panjang membran basilaris,

yaitu satu baris sel rambut dalam dan tiga baris sel rambut luar. Sel rambut ini

tidak memiliki akson, namun pada bagian basis dari tiap sel rambut terdapat

terminal sinaps dari neuron sensori yang nantinya akan berkumpul menjadi

ganglion spiral dan nantinya akan menjadi nervus vestibulokoklearis (VIII). Sel

rambut menghasilkan sinyal saraf jika rambut permukaannya mengalami

perubahan bentuk secara mekanis akibat gerakan cairan di telinga dalam

(Sherwood, 2014).

Gambar 2.3 Struktur Organ Korti (Sherwood, 2014)

2.2 Fisiologi Pendengaran

Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi yang

dilepaskan dari sumber bunyi oleh aurikula dalam bentuk gelombang yang

dialirkan melalui udara dan tulang ke koklea. Getaran tersebut kemudian

diteruskan ke telinga tengah melalui meatus akustikus eksternus dan akan

menggetarkan membran timpani. Disini terjadi penguatan bunyi sebesar 15 dB

pada frekuensi antara 2 sampai 5 kH. Selanjutnya getaran bunyi akan melalui

media padat yaitu tulang - tulang pendengaran. Rangkaian tulang pendengaran ini
6

yang akan mengamplifikasi getaran melalui daya ungkit tulang pendengaran dan

perkalian perbandingan luas membran timpani dan tingkap lonjong (Soetirto,

Hendarmin, & Bashiruddin, 2012).

Energi getar yang telah diamplifikasi ini akan diteruskan ke stapes yang

menggerakkan foramen ovale sehingga perilimfa pada skala vestibuli bergerak.

Getaran diteruskan melalui membran reissner dan mendorong endolimfa, sehingga

akan menimbulkan gerakan relatif antara membran basilaris dan membran

tektoria. Proses ini merupakan rangsang mekanik yang menyebabkan terjadinya

defleksi stereosilia sel - sel rambut, sehingga kanal ion terbuka dan terjadi

pelepasan ion bermuatan listrik dari badan sel. Keadaan ini menimbulkan proses

depolarisasi sel rambut, sehingga melepaskan neurotransmitter kedalam sinaps

yang akan menimbulkan potensial aksi pada saraf auditorius, lalu dilanjutkan ke

nukleus auditorius sampai ke korteks pendengaran (area 39 - 40) di lobus

temporalis (Sherwood, 2014).

Gambar 2.4 Fisiologi Pendengaran (Sherwood, 2014)


7

2.3 Definisi

Tuli mendadak atau yang lebih dikenal dengan istilah sudden deafness

adalah tuli yang terjadi secara tiba-tiba, bersifat sensorineural, penyebabnya tidak

dapat langsung diketahui, dan biasanya terjadi pada satu sisi telinga. Sudden

deafness merupakan suatu keadaan emergency dibidang neurotologi (Koca, 2015).

Sudden deafness atau Sudden Sensori Neural Hearing Loss (SSNHL)

adalah penurunan pendengaran sensorineural 30 dB atau lebih, paling sedikit

terjadi dalam tiga frekuensi berturut - turut pada audiometri, dan terjadi dalam

waktu kurang dari 3 hari (Vijayendra et al, 2012). Jika penyebab tuli mendadak

tidak dapat diidentifikasi setelah dilakukan pemeriksaan yang lengkap, maka

disebut Idiopathic Sudden Sensorineural Hearing Loss (ISSNHL) (Stachler et al,

2012).

2.4 Epidemiologi

Insiden sudden deafness dilaporkan berkisar antara 5-20 kasus per 100.000

populasi setiap tahun. Angka kejadian tersebut pada kenyataannya lebih tinggi

dari jumlah yang diperkirakan karena banyak kasus yang tidak dilaporkan. Hal

tersebut terjadi karena sebagian dari penderita dapat pulih secara spontan tanpa

membutuhkan perawatan medis (Kuhn et al, 2011).

Apabila dilakukan investigasi lebih lanjut, maka dapat diperkirakan bahwa

insiden tersebut jauh lebih tinggi yaitu sekitar 160 per 100.000 populasi atau

bahkan lebih tinggi hingga mencapai 400 per 100.000 populasi (Plontke, 2017).

Departemen Otolaringologi Universitas Texas melaporkan sekitar 15.000 kasus

baru terjadi setiap tahun diseluruh dunia, dengan 4000 kasus diantaranya terjadi di

Amerika Serikat (Stachler et al, 2012). Sudden deafness dapat mengenai semua
8

golongan usia dan sering terjadi pada usia 30 - 50 tahun (Lee et al, 2014). Pada

anak - anak angka kejadian sudden deafness sangatlah jarang (Plontke, 2015).

Jenis kelamin atau gender tidak mempengaruhi angka kejadian terjadinya

sudden deafness. Rasio antara pria dan wanita sama, sehingga dapat ditarik

kesimpulan bahwa jenis kelamin bukanlah merupakan suatu faktor resiko

(Acipayam, Kocak, & Elbistanli, 2018). Sebagian besar kasus terjadi pada satu

telinga (unilateral) dan hanya 1,7% kasus terjadi pada dua telinga (bilateral) (Lee

et al, 2014).

2.5 Etiologi

Etiologi sudden deafnes sampai saat ini masih belum jelas (Koca, 2015).

Penyebab sudden deafness hanya dapat diidentifikasi sekitar 10% hingga 15 %

dari seluruh kasus, sedangkan sisanya yaitu sekitar 85 - 90% penyebab yang

mendasarinya tidak diketahui atau belum diketahui secara pasti meskipun telah

dilakukan pemeriksaan dan evaluasi secara menyeluruh. Sebagian besar kasus

yang masih belum diketahui dan belum jelas faktor penyebabnya diklasifikasikan

sebagai idiopatik (Stachler et al, 2012).

Diagnosis banding atau kemungkinan penyebab sudden deafness sangat

luas, bahkan dapat mencapai ratusan kemungkinan (Kuhn et al, 2011). Beberapa

penyebab yang dapat diidentifikasi dikelompokkan menjadi beberapa kategori

yaitu infeksi, autoimun, traumatis, vaskular, neoplastik, metabolik, neurologis,

dan sebagainya (Acipayam, Kocak, & Elbistanli, 2018).


9

Tabel 2.1 Etiologi Sudden Deaffness (Kuhn et al, 2011)


Kategori Penyakit Kategori Penyakit

Autoimun Autoimun inner ear disease Neoplasma Acoustic Schwannoma


Cogan’s syndrome Multiple myeloma
SLE Metastatic tumors
Antiphospolipid syndrome Meningeal carcinoma
Infeksi Herpes viridea family Vaskular Hiperkoagulopati
(HSV, VZV, CMV, EBV) Tromboemboli
Mumps Sickle Cell Anemia
Rubella Polisitemia Vera
Rubeolla Ateroskleosis
Syphilis AVM
Toxoplasmosis Aneurysm
Lyme Disease Vertebraebasiler
Bacterial meningitis disease
Metabolik Diabetes Melitus Neurologi Multipel Sklerosis
Hipotiroid Pontine Ischemia
Otologi Meniere’s Disease Traumatic Inner ear concusion
Enlarged vestibular Iatrogenik trauma
aqueduct Perilympatic fistula
Fluctuating hearing loss Temporal bone
Toksik Aminoglikosida fracture
Agen Kemoterapi Intralabyrinthine
NSAID hemorrhage
Salisilat Trauma akustik

2.6 Patofisiologi

Sebagian besar kasus sudden deafness merupakan Idiopathic Sudden

Sensorineural Hearing Loss sehingga patofisiologinya tidak dapat dijelaskan

secara pasti (Kuhn et al, 2011). Hipoksia intrakoklear dan inflamasi di telinga
10

dalam memainkan peran utama dalam patofisiologi terjadinya sudden deafness

(Acipayam, Kocak, & Elbistanli, 2018).

Menurut Kuhn et al (2011), sejumlah hipotesis mengenai patofisiologi

Idiopathic Sudden Sensorineural Hearing Loss telah banyak diajukan, namun

hanya beberapa teori yang dapat diterima. Hipotesis tersebut diklasifikasikan ke

dalam empat kelompok utama yaitu kelainan vaskular, infeksi virus, kelainan

imunologi atau autoimun, dan ruptur membran intrakoklea (Acipayam, Kocak, &

Elbistanli, 2018).

a) Kelainan Vaskular

Perubahan sirkulasi mikrokoklea diduga merupakan mekanisme

penyebab terjadinya sudden deafness (Koca, 2015). Koklea memperoleh

asupan darah dari arteri labirintin atau lebih dikenal dengan sebutan arteri

auditiva interna yang merupakan cabang dari arteri basilaris. Pembuluh

darah tersebut merupakan pembuluh darah ujung atau disebut end artery.

Selain itu arteri labirintin tidak memiliki sirkulasi kolateral sehingga

koklea merupakan organ yang sangat rentan untuk terjadi hipoksia (Kuhn

et al, 2011).

Terganggunya aliran darah ke koklea selama 30 menit

menyebabkan koklea mengalami hipoksia kemudian terjadi iskemia yang

pada akhirnya menimbulkan kerusakan pada koklea (Koca, 2015).

Berbagai faktor seperti adanya trombus, emboli, aterosklerosis,

vasospasme, perdarahan, dan penurunan aliran darah dapat berakhir

dengan terjadinya insufisiensi vaskular dan mengakibatkan hilangnya

fungsi koklea (Acipayam, Kocak, & Elbistanli, 2018).


11

b) Infeksi Virus

Infeksi virus merupakan faktor paling umum di seluruh dunia yang

diduga menjadi penyebab terjadinya sudden deafnesss (Acipayam, Kocak,

& Elbistanli, 2018). Hipotesis mengenai infeksi virus dapat menyebabkan

sudden deafness terbagi menjadi tiga mekanisme yaitu:

[1] Mekanisme yang pertama yaitu disebabkan oleh virus itu sendiri atau

antigennya. Virus atau antigen tersebut dapat mengaktivasi respon

imun dan dapat menembus telinga bagian dalam. Hal tersebut dapat

menyebabkan kokleitis dan neuritis pada saraf koklea. Virus ini

dapat mencapai telinga bagian dalam melalui jalur hematogen,

melalui cairan serebrospinal, atau melalui penyebaran langsung dari

lingkungan sekitar (Acipayam, Kocak, & Elbistanli, 2018)

[2] Mekanisme yang kedua yaitu berhubungan dengan reaktivasi

kembali virus laten yang ada ditelinga dalam. Varicella zooster dan

virus neurotropik lainnya dapat menyebabkan infeksi virus laten

yang dalam jangka waktu tertentu virus tersebut tidak aktif dan

dikemudian hari dapat aktif kembali oleh karena sebab tertentu.

Virus tersebut dapat menyebabkan neuritis virus atau kokleitis

(Koca, 2015)

[3] Mekanisme terakhir lebih rumit daripada mekanisme yang lainnya

dan tidak langsung berkaitan dengan keberadaan virus. Antibodi

yang ditemukan dalam sirkulasi sistemik dan disekresikan terhadap

antigen virus di luar telinga bagian dalam dapat menyebabkan

terjadinya reaksi silang terhadap antigen struktural di telinga bagian


12

dalam. Mekanisme tersebut dapat merusak telinga bagian dalam dan

menyebabkan gangguan pendengaran temasuk sudden deafness

(Acipayam, Kocak, & Elbistanli, 2018).

c) Ruptur Membran Intrakoklea

Kerusakan pada membran yang terdapat didalam koklea memainkan

peranan yang cukup penting dalam terjadinya sudden deafness. Membran

pada tingkap bundar (round window) dan tingkap lonjong (oval window)

merupakan membran yang memisahkan telinga bagian dalam dan telinga

bagian tengah. Struktur ini bertanggung jawab untuk membatasi endolimfa

pada telinga bagian dalam dan mencegah penetrasi ke telinga bagian

tengah (Acipayam, Kocak, & Elbistanli, 2018).

Jika terjadi ruptur pada membran tersebut maka dapat menyebabkan

kebocoran cairan perilimfa ke dalam telinga tengah. Kebocoran cairan

melalui tingkap bundar dan tingkap lonjong dapat menyebabkan hidrops

endolimfa relatif yang pada akhirnya dapat menyebabkan ketulian.

Didalam koklea juga terdapat membran reissner yang apabila terjadi ruptur

pada membran tersebut dapat mengakibatkan tercampurnya perilimfa dan

endolimfa. Hal tersebut dapat menganggu potensi endokoklea atau organ

korti dalam membentuk suatu potensial aksi (Acipayam, Kocak, &

Elbistanli, 2018)

d) Autoimun

Menurut Li et al (2018), sejumlah besar kasus telah dilakukan

penelitian dan diidentifikasi faktor penyebabnya. Beberapa kasus sudden

deafness merupakan gejala yang berhubungan dengan penyakit autoimun


13

seperti hepatitis autoimun, Cogan syndrome, lupus eritematosus sistemik,

multipel sklerosis, rheumatoid arthritis, nodular, dan sebagainya. Secara

umum kerusakan respon imun dimediasi oleh imunitas humoral dan

seluler. Kerusakan yang disebabkan oleh proses autoimun

dapat diklasifikasikan menjadi reaksi alergi tipe I- IV. Reaksi alergi tipe I

tidak berhubungan dengan gangguan pendengaran, sedangkan reaksi alergi

tipe II - IV telah terbukti menjadi mekanisme potensial yang menyebabkan

kerusakan telinga bagian dalam (Li et al, 2018).

Gambar 2.5 Mekanisme kerusakan telinga bagian dalam oleh reaksi alergi
tipe II-IV (Li et al, 2018)

Reaksi alergi tipe II (tipe sitotoksik) dimediasi oleh Ig G atau Ig M.

Antibodi akan berikatan dengan antigen pada permukaan sel asing. Proses

tersebut akan mengaktivasi sistem komplemen, fagosit, atau natural killer

cell yang pada akhirnya akan terjadi penghancuran sel - sel dan

menyebabkan terjadinya kerusakan. Reaksi alergi tipe III (tipe kompleks

imun) disebabkan oleh pengendapan kompleks antigen-antibodi berukuran

sedang ke dalam dinding atau jaringan kapiler. Hal tersebut mengaktifkan


14

sistem komplemen atau justru mengarah pada pengeluaran leukosit. Reaksi

alergi tipe IV (delayed reaction) menyebabkan cedera jaringan yang

dimediasi oleh sel T dengan proses yang cukup kompleks (Li et al, 2018).

2.7 Manifestasi Klinis

Keluhan penderita pada umumnya berupa penurunan atau hilangnya

pendengaran secara tiba - tiba. Hilangnya pendengaran tersebut biasanya terjadi

pada salah satu sisi telinga (unilateral). Gejala tersebut biasanya terjadi pada pagi

hari saat penderita bangun dari tidur (Vijayendra, 2012). Menurut Acapayam,

Kocak , dan Esbitanli (2018), beberapa penderita melaporkan bahwa hilangnya

pendengaran terjadi pada pagi hari, terjadi selama percakapan telepon, dan

setelah keluar dari lingkungan yang bising. Beberapa pasien mengatakan bahwa

mereka mendengar bunyi letupan di telinga yang kemudian diikuti dengan

kehilangan pendengaran atau tuli (Vijayendra et al, 2012). Gejala lain yang sering

menyertai yaitu tinitus dan vertigo. Keluhan tinnitus terjadi pada 70 % dari

seluruh kasus, sedangkan vertigo terjadi pada 50 % dari seluruh kasus (Koca,

2015).

2.8 Diagnosis

Menentukan diagnosis dan mengidentifikasi penyebab sudden deafness

tidaklah mudah. Diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan

fisik serta pemeriksaan penunjang yang terdiri dari pemeriksaan garputala,

audiometri, pemeriksaan laboratorium, dan pemeriksaan radiologi (imaging)

(Foden, Mehta, & Joseph, 2013).

a) Anamnesis
15

Pada anamnesis harus ditanyakan onset dan proses terjadinya

ketulian, apakah berlangsung secara tiba-tiba, progresif cepat atau lambat,

fluktuatif, atau stabil. Perlu ditanyakan persepsi subjektif pasien mengenai

derajat ketulian, serta sifat ketulian (unilateral atau bilateral). Selain itu,

ditanyakan juga gejala yang menyertai seperti sensasi penuh pada telinga,

tinitus, vertigo, disequilibrium, otalgia, nyeri kepala, keluhan neurologis,

dan keluhan sistemik lainnya. Riwayat trauma, konsumsi obat-obat

ototoksik, riwayat operasi, riwayat penyakit sebelumnya, pekerjaan,

pajanan terhadap kebisingan, serta faktor predisposisi lain yang penting

juga perlu ditanyakan (D’Ambra, 2018).

b) Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan kepala, leher, dan kelenjar getah bening regional

dianjurkan untuk dilakukan, dikarenakan apabila ditemukan adanya

limfadenopati dapat dicurigai adanya keganasan (Foden, Mehta, & Joseph,

2013). Pemeriksaan saraf kranial rutin harus dilakukan untuk

menyingkirkan adanya kelainan saraf kranial. Abnormalitas saraf kranial

mungkin menunjukkan adanya lesi intrakranial (neuroma akustik atau

keganasan) atau multipel sklerosis (Koca, 2015).

Pada pemeriksaan fisik dengan otoskop tidak ditemukan kelainan

pada telinga yang sakit dan hampir selalu normal (Stachler et al, 2012).

Tes garpu tala digunakan untuk membantu membuat diagnosis awal jika

audiometri belum dapat dilakukan (Foden, Mehta, & Joseph, 2013). Hasil

tes Rinne, Weber, dan Swabach menunjukkan hasil tuli sensorineural

(D’Ambra, 2018).
16

c) Pemeriksaan penunjang

1) Audiometri

Audiometri merupakan mandatory test atau pemeriksaan wajib

yang harus dilakukan untuk mendiagnosis sudden deafness secara

definitif (Stachler et al, 2012). Audiometri nada murni adalah tes

audiologi awal yang digunakan untuk membedakan tuli konduksi

dan tuli sensorineural dengan menilai ambang konduksi udara dan

tulang. Audiometri nada murni akan menentukan apakah ada

gangguan pendengaran, derajat, dan jenis gangguan pendengaran.

Audiometri nada murni yang dilakukan secara serial dapat digunakan

untuk menentukan respon terhadap pengobatan (Foden, Mehta, &

Joseph, 2013).

Diagnosis dapat ditegakkan apabila kriteria sudden deafness

dalam audiometri nada murni terpenuhi yaitu terjadi penurunan

pendengaran tipe sensorineural ≥ 30 dB, paling sedikit terjadi dalam

tiga frekuensi berturut - turut (Stachler et al, 2012).

Gambar 2.6 Gambaran Audiometri


Sudden Deafness (Koca, 2015)
Penurunan pendengaran sensorineural > 30
dB pada telinga kanan yang terjadi pada > 3
frekuensi berturut turut
17

2) Auditory Brainstem Response (ABR)

Auditory Brainstem Response (ABR) atau Brainstem Evoked

Response Audiometry (BERA) merupakan suatu pemerikssan untuk

menilai fungsi pendengaran dan fungsi N VIII serta memberikan

informasi mengenai jalur pendengaran retrokoklea (Plontke, 2017).

ABR sangat sensitif untuk mendiagnosis vestibular schwannoma

atau neuroma acoustic yang ukurannya lebih besar dari 1 cm

(Scathler et al, 2012). Namun sensitivitas ABR dalam mendiagnosis

tumor jauh lebih rendah dari Magnetic Resonance Imaging (MRI).

Pemeriksaan ABR sangat berguna ketika pemeriksaan MRI tidak

tersedia atau ada kontraindikasi (Kuhn et al, 2011)

3) Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium dapat mendukung untuk

mengidentifikasi penyebab sudden deafness, terutama mencari

kemungkinan adanya penyakit sistemik, autoimun, atau penyakit

metabolik (Koca, 2015). Menurut Acipayam, Kocak, dan Elbistanli

(2018), pemeriksaan laboratorium dilakukan hanya untuk

mengidentifikasi etiologi yang dicurigai dan bukan merupakan

pemeriksaan rutin yang harus dikerjakan.


18

Tabel 2.2 Pemeriksaan Laboratorium


Parameter Pemeriksaan Laboratorium
untuk investigasi Sudden Deafness
o Darah Lengkap
o Profil Lipid
o Serum elektrolit
o Renal Function Test (RFT)
o Gula Darah Puasa (GDP),
HbA1c
o Titer virus (HIV, CMV, HSV,
Mumps, Rubella)
o Thyroid Function Test
o Angiotensin Converting Enzym
(ACE)
o Antinuclear antibodies (ANA)
o Rheumatoid Factor (RF)

4) Pemeriksaan Radiologi

Magnetic Resonance İmaging (MRI) dengan menggunakan

kontras umumnya dilakukan pada semua penderita yang

menunjukkan gejala neurootologis (Plontke, 2017). Pemeriksaan

MRI dengan menggunakan gadolinium dinilai memiliki sensitivitas

yang tinggi (Scathler et al, 2012). Vestibular Swachnoma,

vestibular aqueduct syndrome, aneurisma AICA dan arteri basilar

dapat diidentifikasi dengan pemeriksaan MRI (Koca, 2015). MRI

merupakan gold standart untuk mendiagnosis vestibular

schwannoma (Scathler et al, 2012). Penderita yang memiliki

kontraindikasi pada pemeriksaan MRI seperti pada penderita yang

menggunakan alat pacu jantung, implan logam, atau

claustrophobia, pemeriksaan CT scan dengan menggunakan

kontras merupakan pilihan alternatif (Scathler et al, 2012).


19

Gambar 2.7 Algoritma Proses Diagnosis Sudden Deafness (Kuhn et al, 2011)

2.9 Penatalaksanaan

Pengobatan sudden deafness harus dimulai sesegera mungkin dan agresif

yang bertujuan memberikan peluang kesembuhan yang lebih besar. Pengobatan

tidak bermanfaat apabila diberikan setelah 30 hari dari mulainya gejala, karena

penyakit aktif mungkin telah teratasi atau mungkin sudah terjadi kerusakan yang

permanen (Vijayendra et al, 2012). Beberapa kasus sudden deafness dengan

etiologi yang sudah diketahui, pengobatan harus berdasarkan pada gangguan yang

mendasarinya, sedangkan pada sebagian besar kasus yang tidak dapat

diidentifikasi faktor penyebabnya, pengobatan diatur dalam suatu protokol

tertentu (Acipayam, Kocak, & Elbistanli, 2018).

Beberapa modalitas yang digunakan dalam pengobatan sudden deafness

yaitu: steroid sistemik, injeksi steroid intratimpanik, hyperbaric oxygen therapy

(HOT), antivirus, dan vasodilator atau zat vasoaktif. Penggunaan empiris dari

semua modalitas tersebut terutama didasarkan pada tujuan meningkatkan sirkulasi


20

darah dan mengembalikan tekanan oksigen di dalam telinga bagian dalam (Khater

et al, 2017).

a) Kortikosteroid

Pedoman pengobatan sudden deafness yang diterbitkan oleh

American Otolaryngology Academia pada tahun 2012 mengatakan bahwa

kortikosteroid merupakan pengobatan lini pertama. Menurut Koca (2015),

steroid sistemik secara oral atau intravena merupakan pengobatan utama.

Steroid sistemik memberikan efek anti inflamasi yang tinggi sehingga

dapat mengurangi respon imun sitotoksik, meningkatkan aliran darah

mikrovaskuler di koklea, mengaktifkan transportasi ion dalam stria

vaskularis dan ligamen spiral di dalam saluran koklea, serta mengontrol

homeostasis endolimfa (Koca, 2015).

Pengobatan dengan kortikosteroid memberikan perbaikan yang

cepat pada 2 minggu pertama dan hanya memberikan sedikit manfaat

setelah 4-6 minggu. Untuk mendapatkan hasil pengobatan yang maksimal,

prednison oral diberikan dengan dosis 1 mg/ kg /hari dosis tunggal dengan

dosis maksimum 60 mg/ hari selama 10 sampai 14 hari dan dilakukan

penurunan dosis secara bertahap (tappering off) (Stachler et al, 2012).

Steroid harus digunakan dengan hati-hati terutama pada penderita yang

memiliki komorbid dan pada kehamilan. Manfaat dan risiko terapi harus

dievaluasi secara menyeluruh. Jika pada penderita tersebut berisiko dalam

penggunaan kortikosteroid, injeksi kortikosteroid intratimpani harus

dipertimbangkan sebagai pengobatan primer (Acipayam, Kocak, &

Elbistanli, 2018).
21

Injeksi steroid intratimpani atau Intratympanic steroid therapy

merupakan suatu salvage therapy atau terapi penyelamatan yang diberikan

pada penderita yang tidak mengalami perbaikan setelah pemberian

pengobatan steroid sistemik yang adekuat (Acipayam, Kocak, &

Elbistanli, 2018). Steroid intratimpani dapat digunakan sebagai terapi

alternatif bagi penderita yang tidak dapat mentolerir efek samping dari

terapi steroid sitemik (Stachler et al, 2012). Steroid intratimpani tidak

hanya efektif sebagai salvage therapy tetapi juga memberikan hasil yang

baik jika dikombinasikan dengan steroid sistemik selama terapi primer

atau diberikan sebagai terapi utama pada pasien yang tidak dapat

mentolerir steroid sistemik (Acipayam, Kocak, & Elbistanli, 2018). Terapi

kombinasi antara steroid intratimpani dan sistemik lebih efektif

dibandingkan dengan terapi yang hanya menggunakan steroid sistemik

saja (Koca, 2015). Beberapa keuntungaan penggunaan steroid intratimpani

yaitu (Plontke, 2015):

- Dapat melewati blood brain barrier

- Mencapai konsentrasi obat lebih tinggi di telinga dalam jika

dibandingkan dengan penggunaan steroid sistemik

- Menghindari efek "first pass metabolism"

- Mengurangi efek sistemik yang tidak diinginkan

- Jumlah dosis obat yang dibutuhkan lebih rendah


22

Gambar 2.8 Panduan Penggunaan Kortikosteroid pada Sudden Deafness (Scathler


et al, 2011)

b) Hyberbaric Oxygen Therapy (HOT)

Hyperbaric oxygen therapy (HOT) merupakan suatu terapi

pemberian oksigen dengan konsentrasi 100 % pada tekanan lebih dari 100

kPa dalam suatu ruangan yang dirancang khusus. Hyperbaric oxygen

therapy bertujuan meningkatkan tekanan parsial oksigen di dalam darah

dan kapiler, sehingga hal tersebut menstimulasi terjadinya difusi oksigen

dari kapiler ke jaringan di sekitarnya, termasuk kedalam bagian koklea

yang mengalami hipoksia. Peningkatan perfusi ke telinga bagian dalam

merangsang terjadinya perbaikan sel. Pada beberapa penelitian, hyperbaric

oxygen therapy memiliki efek menghambat pembekuan darah dan

menghambat produksi sitokin pro inflamasi. Hyperbaric oxygen therapy

juga dapat digunakan sebagai salvage therapy apabila terapi primer tidak

memberikan perbaikan atau gagal (Ricciardiello et al, 2017).


23

c) Antivirus

Salah satu penyebab terjadinya sudden deafness ialah terjadinya

peradangan yang disebabkan oleh infeksi virus. Agen antivirus harus

ditambahkan kedalam protokol pengobatan apabila kemungkinan

etiloginya ialah virus. Asiklovir dan valasiklovir adalah antivirus yang

digunakan secara umum. Valacyclovir adalah prodrug asiklovir yang

menghasilkan tingkat asiklovir serum 3-5 kali lebih tinggi daripada yang

dicapai dengan terapi asiklovir oral dan serupa dengan tingkat yang

dicapai oleh asiklovir intravena (Koca, 2015). Pada sebagian besar kasus

dimana virus tidak dapat diisolasi, pemberian antivirus dikombinasikan

dengan pemberian kortikosteroid (Acipayam, Kocak, & Elbistanli, 2018).

2.10 Follow up

Follow up pada penderita yang mengalami sudden deafness bertujuan

untuk menilai kemungkinan adanya etiologi lain pada pasien dengan gangguan

pendengaran yang progresif. Jika pengobatan sudah diberikan, maka follow up

dengan menggunakan audiometri bermanfaat untuk menilai keberhasilan terapi

dan sebagai petunjuk pengambilan keputusan mengenai penggunaan salvage

therapy apabila terapi utama gagal atau tidak terjadi perbaikan (Scathler et al,

2012).

Evaluasi fungsi pendengaran dilakukan setiap minggu selama satu bulan.

Beberapa kategori perbaikan pendengaran pada sudden deafness sebagai berikut

(Bashiruddin dan Soetirto, 2012):

1) Sangat baik, apabila terjadi perbaikan lebih dari 30 dB pada 5

frekuensi
24

2) Sembuh, apabila perbaikan ambang pendengaran kurang dari 30 dB

pada frekuensi 250 Hz, 500 Hz, 1000 Hz, 2000 Hz dan dibawah 25 dB

pada frekuensi 4000 Hz.

3) Baik, apabila rata - rata perbaikan 10 - 30 dB pada 5 frekuensi

4) Tidak ada perbaikan, apabila terdapat perbaikan kurang dari 10 dB

pada 5 frekuensi.

2.11 Prognosis

Secara umum bahkan tanpa pengobatan, perbaikan secara spontan terjadi

dalam 2 minggu (Lee et al, 2014). Menurut Acipayam, Kocak, dan Elbistanli,

(2018) sudden deafness memiliki etiologi multifaktorial, sehingga prognosisnya

bervariasi. Perbaikan secara spontan terjadi lebih dari 60% dari seluruh kasus.

Prognosis sudden deafness tergantung dari beberapa faktor yaitu: usia, adanya

gejala penyerta seperti tinitus atau vertigo, derajat ketulian, waktu memulai

pengobatan, dan penyakit sistemik seperti diabetes mellitus dan hipertensi (Lee et

al, 2014).

Tabel 2.3 Prognosis Sudden Deaffness (Kuhn et al, 2011)


Prognosis
Kategori Baik Buruk
Umur < 60 tahun >60 tahun
Durasi ketulian <1 – 2 minggu >3 bulan
Tipe ketulian Frekuensi rendah - sedang Flat
Downsloping
Gejala yang menyertai Tinitus Vertigo

Anda mungkin juga menyukai