TINJAUAN PUSTAKA
Struktur telinga terbagi menjadi telinga bagian luar, tengah, dan dalam.
Telinga bagian dalam terletak didalam tulang temporal bagian petrosa yang
terletak disisi medial dari telinga tengah. Bentuk telinga dalam sedemikian
kompleksnya sehingga disebut sebagai labirin. Labirin pada telinga dalam terdiri
dari dua bagian yaitu labirin tulang dan labirin membranosa. Telinga bagian
dalam terdiri dari koklea dan vestibuler yang terdiri dari 3 buah kanalis
semisirkularis. Fungsi telinga dalam ada dua yaitu koklea yang berperan sebagai
3
4
siput dengan dua setengah putaran pada aksis yang memilliki panjang kurang
lebih 35 mm. Sentral aksis disebut dengan modiolus yang berisi berkas saraf dan
suplai arteri dari arteri vertrebalis. Koklea dibagi menjadi tiga kompartemen yaitu
terdiri dari skala vestibuli yang terletak dibagian atas, skala media atau duktus
koklearis yang terletak dibagian tengah, dan skala timpani yang terletak dibagian
bawah. Skala vestibuli dan skala timpani berisi cairan perilimfa, sedangkan skala
media berisi cairan endolimfa. Perilimfa dalam skala timpani dan vestibuli
berhubungan pada ujung atau puncak koklea yang disebut dengan helikotrema.
Skala vestibuli dan skala media dipisahkan oleh membran reissner, sedangkan
skala media dan skala timpani dipisahkan oleh membran basilaris (Soetirto,
serangkaian sel yang sensitif membangkitkan impuls saraf sebagai respon dari
getaran suara yaitu sel - sel rambut atau stereosilia. Stereosilia ini berkontak
dengan membran tektorium yang merupakan suatu tonjolan mirip tenda yang
5
menutupi organ korti. Sebanyak 16.000 sel rambut di dalam masing - masing
koklea tersusun menjadi empat baris sejajar di seluruh panjang membran basilaris,
yaitu satu baris sel rambut dalam dan tiga baris sel rambut luar. Sel rambut ini
tidak memiliki akson, namun pada bagian basis dari tiap sel rambut terdapat
terminal sinaps dari neuron sensori yang nantinya akan berkumpul menjadi
ganglion spiral dan nantinya akan menjadi nervus vestibulokoklearis (VIII). Sel
(Sherwood, 2014).
dilepaskan dari sumber bunyi oleh aurikula dalam bentuk gelombang yang
pada frekuensi antara 2 sampai 5 kH. Selanjutnya getaran bunyi akan melalui
media padat yaitu tulang - tulang pendengaran. Rangkaian tulang pendengaran ini
6
yang akan mengamplifikasi getaran melalui daya ungkit tulang pendengaran dan
Energi getar yang telah diamplifikasi ini akan diteruskan ke stapes yang
defleksi stereosilia sel - sel rambut, sehingga kanal ion terbuka dan terjadi
pelepasan ion bermuatan listrik dari badan sel. Keadaan ini menimbulkan proses
yang akan menimbulkan potensial aksi pada saraf auditorius, lalu dilanjutkan ke
2.3 Definisi
Tuli mendadak atau yang lebih dikenal dengan istilah sudden deafness
adalah tuli yang terjadi secara tiba-tiba, bersifat sensorineural, penyebabnya tidak
dapat langsung diketahui, dan biasanya terjadi pada satu sisi telinga. Sudden
terjadi dalam tiga frekuensi berturut - turut pada audiometri, dan terjadi dalam
waktu kurang dari 3 hari (Vijayendra et al, 2012). Jika penyebab tuli mendadak
2012).
2.4 Epidemiologi
Insiden sudden deafness dilaporkan berkisar antara 5-20 kasus per 100.000
populasi setiap tahun. Angka kejadian tersebut pada kenyataannya lebih tinggi
dari jumlah yang diperkirakan karena banyak kasus yang tidak dilaporkan. Hal
tersebut terjadi karena sebagian dari penderita dapat pulih secara spontan tanpa
insiden tersebut jauh lebih tinggi yaitu sekitar 160 per 100.000 populasi atau
bahkan lebih tinggi hingga mencapai 400 per 100.000 populasi (Plontke, 2017).
baru terjadi setiap tahun diseluruh dunia, dengan 4000 kasus diantaranya terjadi di
Amerika Serikat (Stachler et al, 2012). Sudden deafness dapat mengenai semua
8
golongan usia dan sering terjadi pada usia 30 - 50 tahun (Lee et al, 2014). Pada
anak - anak angka kejadian sudden deafness sangatlah jarang (Plontke, 2015).
sudden deafness. Rasio antara pria dan wanita sama, sehingga dapat ditarik
(Acipayam, Kocak, & Elbistanli, 2018). Sebagian besar kasus terjadi pada satu
telinga (unilateral) dan hanya 1,7% kasus terjadi pada dua telinga (bilateral) (Lee
et al, 2014).
2.5 Etiologi
Etiologi sudden deafnes sampai saat ini masih belum jelas (Koca, 2015).
dari seluruh kasus, sedangkan sisanya yaitu sekitar 85 - 90% penyebab yang
mendasarinya tidak diketahui atau belum diketahui secara pasti meskipun telah
yang masih belum diketahui dan belum jelas faktor penyebabnya diklasifikasikan
luas, bahkan dapat mencapai ratusan kemungkinan (Kuhn et al, 2011). Beberapa
2.6 Patofisiologi
secara pasti (Kuhn et al, 2011). Hipoksia intrakoklear dan inflamasi di telinga
10
dalam empat kelompok utama yaitu kelainan vaskular, infeksi virus, kelainan
imunologi atau autoimun, dan ruptur membran intrakoklea (Acipayam, Kocak, &
Elbistanli, 2018).
a) Kelainan Vaskular
asupan darah dari arteri labirintin atau lebih dikenal dengan sebutan arteri
darah tersebut merupakan pembuluh darah ujung atau disebut end artery.
koklea merupakan organ yang sangat rentan untuk terjadi hipoksia (Kuhn
et al, 2011).
b) Infeksi Virus
[1] Mekanisme yang pertama yaitu disebabkan oleh virus itu sendiri atau
imun dan dapat menembus telinga bagian dalam. Hal tersebut dapat
kembali virus laten yang ada ditelinga dalam. Varicella zooster dan
yang dalam jangka waktu tertentu virus tersebut tidak aktif dan
(Koca, 2015)
pada tingkap bundar (round window) dan tingkap lonjong (oval window)
Didalam koklea juga terdapat membran reissner yang apabila terjadi ruptur
Elbistanli, 2018)
d) Autoimun
dapat diklasifikasikan menjadi reaksi alergi tipe I- IV. Reaksi alergi tipe I
Gambar 2.5 Mekanisme kerusakan telinga bagian dalam oleh reaksi alergi
tipe II-IV (Li et al, 2018)
Antibodi akan berikatan dengan antigen pada permukaan sel asing. Proses
cell yang pada akhirnya akan terjadi penghancuran sel - sel dan
dimediasi oleh sel T dengan proses yang cukup kompleks (Li et al, 2018).
pada salah satu sisi telinga (unilateral). Gejala tersebut biasanya terjadi pada pagi
hari saat penderita bangun dari tidur (Vijayendra, 2012). Menurut Acapayam,
pendengaran terjadi pada pagi hari, terjadi selama percakapan telepon, dan
setelah keluar dari lingkungan yang bising. Beberapa pasien mengatakan bahwa
kehilangan pendengaran atau tuli (Vijayendra et al, 2012). Gejala lain yang sering
menyertai yaitu tinitus dan vertigo. Keluhan tinnitus terjadi pada 70 % dari
seluruh kasus, sedangkan vertigo terjadi pada 50 % dari seluruh kasus (Koca,
2015).
2.8 Diagnosis
a) Anamnesis
15
derajat ketulian, serta sifat ketulian (unilateral atau bilateral). Selain itu,
ditanyakan juga gejala yang menyertai seperti sensasi penuh pada telinga,
b) Pemeriksaan fisik
pada telinga yang sakit dan hampir selalu normal (Stachler et al, 2012).
Tes garpu tala digunakan untuk membantu membuat diagnosis awal jika
audiometri belum dapat dilakukan (Foden, Mehta, & Joseph, 2013). Hasil
(D’Ambra, 2018).
16
c) Pemeriksaan penunjang
1) Audiometri
Joseph, 2013).
3) Pemeriksaan Laboratorium
4) Pemeriksaan Radiologi
Gambar 2.7 Algoritma Proses Diagnosis Sudden Deafness (Kuhn et al, 2011)
2.9 Penatalaksanaan
tidak bermanfaat apabila diberikan setelah 30 hari dari mulainya gejala, karena
penyakit aktif mungkin telah teratasi atau mungkin sudah terjadi kerusakan yang
etiologi yang sudah diketahui, pengobatan harus berdasarkan pada gangguan yang
(HOT), antivirus, dan vasodilator atau zat vasoaktif. Penggunaan empiris dari
darah dan mengembalikan tekanan oksigen di dalam telinga bagian dalam (Khater
et al, 2017).
a) Kortikosteroid
prednison oral diberikan dengan dosis 1 mg/ kg /hari dosis tunggal dengan
memiliki komorbid dan pada kehamilan. Manfaat dan risiko terapi harus
Elbistanli, 2018).
21
alternatif bagi penderita yang tidak dapat mentolerir efek samping dari
hanya efektif sebagai salvage therapy tetapi juga memberikan hasil yang
atau diberikan sebagai terapi utama pada pasien yang tidak dapat
pemberian oksigen dengan konsentrasi 100 % pada tekanan lebih dari 100
juga dapat digunakan sebagai salvage therapy apabila terapi primer tidak
c) Antivirus
menghasilkan tingkat asiklovir serum 3-5 kali lebih tinggi daripada yang
dicapai dengan terapi asiklovir oral dan serupa dengan tingkat yang
dicapai oleh asiklovir intravena (Koca, 2015). Pada sebagian besar kasus
2.10 Follow up
untuk menilai kemungkinan adanya etiologi lain pada pasien dengan gangguan
therapy apabila terapi utama gagal atau tidak terjadi perbaikan (Scathler et al,
2012).
frekuensi
24
pada frekuensi 250 Hz, 500 Hz, 1000 Hz, 2000 Hz dan dibawah 25 dB
pada 5 frekuensi.
2.11 Prognosis
dalam 2 minggu (Lee et al, 2014). Menurut Acipayam, Kocak, dan Elbistanli,
bervariasi. Perbaikan secara spontan terjadi lebih dari 60% dari seluruh kasus.
Prognosis sudden deafness tergantung dari beberapa faktor yaitu: usia, adanya
gejala penyerta seperti tinitus atau vertigo, derajat ketulian, waktu memulai
pengobatan, dan penyakit sistemik seperti diabetes mellitus dan hipertensi (Lee et
al, 2014).