Resfons terhadap stresor yang diberikan pada individu akan berbeda. Hal tersebut bergantung
pada faktor stresor dan kemampuan koping yang dimiliki individu. Berikut akan di jelaskan
secara singkat beberapa karkteristik stresor yang dapat memengaruhi respon tubuh.
1. SIFAT STRESOR. Sifat stresor dapat berubah secara tiba-tiba atau berangsur-angsur
dan dapat memengaruhi respons seseorang dalam mengalami stres, bergantung pada
mekanisme yang dimilikinya.
2. DURASI STRESOR. Namanya stresor yang dialami seseorang dapat memengaruhi
respons tubuh. Apabila stresor yang dialami lebih lama, maka respons juga akan lebih
lama, dan tentunya dapat memengaruhi tubuh.
3. JUMLAH STRESOR. Semakin banyak stresor yang dialami seseorang, semakin besar
dampaknya bagi fungsi tubuh.
4. PENGALAMAN MASA LALU. Pengalaman masa lalu seseorang dalam menghadapi
stres dapat menjadi bekal dalam menghadapi stres berikutnya karna individu memliki
kemampuan beradaptasi atau mekanisme koping yang lebih baik.
5. TIPE KEPRIBADIAN. Tipe kepribadian seseorang diyakini juga dapat memngaruhi
respons terhapa stresor. Menurut Frietman dan Rosenman (1974) terdapan 2
kepribadian yaitu tipe A dan tipe B. Orang berkepribadian tipe A lebih rentan terkena
stres apabila dibandingkan dengan orang yang memiliki kepribadian tipe B. Tipe A
memiliki ciri – ciri ambisius, agresif, kompetitif, kurang sabar, mudah tegang, mudah
tersinggung, mudah marah, meiliki kewaspadaan yang berlebihan, berbicara dengan
cepat, berkerja tidak kenal waktu, pandai berorganisasi dan memimpin atau
memerintah, lebih suka bekerja sendirian bila ada tantangan, takut terhadap waktu,
tidak mudah di pengaruhi, serta sulit untuk bersantai, sementara itu, tipe B memiliki
sifat kebalikan dari tipe A, antar lain lebih santai, penyabar, tenang, tidak mudah
marah atau tersinggung, jarang kekurangan waktu untuk melakukan hal – hal yang
disukai, fleksibel, mudah bergaul, dll
6. TAHAP PERKEMBANGAN. Tahap perkembangan individu dapat membentuk
kemampuan adap tasi semakin baik terhadap stresor. Stresor yang dialami individu
berbeda terhadap setiap saat pada usia sebagai mana dalam tabel 2.1
Robert J.van Hamberg dalam hawari (2001), stres dapat dibagi kedalam 6 tahap
sebagai berikut :
1. Tahap pertama. Tahap ini merupakan tahap stres yang paling ringan yang
biasanya ditandai dengan munculnya semangat yang berlebihan, penglihatan lebih
“tajam” dari biasanya, dan merasa mampu menyelesaikan pekerjaan lebih dari
biasanya (namun tanpa disadari cadangan energi dihabiskan dan timbulnya rasa
gugup yang berlebihan).
2. Tahap kedua. Pada tahap ini, dampak stres yang semula ‘menyenangkan’ mulai
menghilang dan timbul keluhan-keluhan karna habisnya cadangan energi.
Keluhan-keluhan yang sering dikemukakan antara lain merasa letih sewaktu
bangun pagi dalam kondisi normal, badan (seharusnya terasa segar), mudah lelah
sesudah makan siang, cepat lelah menjelang sore sering mengeluh lambung atau
perut tidak nyaman, jantung berdebar-debar, oto punggung dan tengkuk terasa
tegang, dan tidak bisa santai.
3. Tahap ketiga. Jika tahap stres sebelumnya tidak ditanggapi dengan memadai,
maka keluhan akan semakin nyata, seperti gangguan lambung dan usus
(gastritis/maag, diare), ketegangan otot semakin terasa, perasaan tidak tenang,
gangguan pola tidur (sulit untuk mulai tidur, terbangun tengah malam, dan sukar
kembali tidur atau bangun terlalu pagi dan tidak dapat tidur kembali), tudubuh
terasa lemah seperti tidak bertenaga.
4. Tahap keempat. Orang yang mengalami tahap-tahap stres diatas ketika
memeriksakan diri kedokter sering kali dinyatakan tidak sakit karena tidak
ditemukan kelainan-kelainan fisik pada organ tubuhnya. Namun, pada konsisi
berkelanjutan, akan muncul gejalan seperti ketidakmampuan untuk melakukan
aktivitas ini karena perasaan bosan, kehilangan semangat, terlalu lemah karna
gangguan pola tidur, kemampuan mengingat dan konsentrasi menurun, serta
muncul rasa takut dan cemas yang tidak jelas penyebabnya.
5. Tahap kelima. Tahap ini ditandai dengan kelelahan fisik yang sangat, tidak
mampu menyelesaikan pekerjaan ringan dan sederhana, gangguan pada sitem
pencernaan semakin berat, serta semakin meningkatnya rasa takut dan cemas.
6. Tahap keenam. Tahap ini merupakan tahap puncak, biasanya ditandai dengan
timbulnya rasa panik dan takut mati yang menyebabkan jantung berdetak semakin
cepat, kesulitan untuk bernapas, tubuh bergetar dan berkeringat, dan adanya
kemungkinan tejadi kolaps atau pingsan.
Respons fisiologis terhadap stresor merupakan mekanisme protektif dan adaptif untuk
memelihara keseimbangan homeostasis dalam tubuh. Seperti yang diterangkan oleh
McE Ween dan Mendelson (1993), respons stres merupakan “ rangkaian peristiwa
neural dan formonal yang mengakibatkan kcnsekuensi jangka pendek dan panjang
bagi otak dan tubuh... stresor adalah suatu peristiwa yang menantang homeostasis
dengan terjadinya penyakit bila terjadi kegagalan proses normal adaptasi terhadap
stres” (hal.101).
Penelitian mendukung konsep bahwa tiap struktur tersebut bertanggung jawab secara
berbeda terhadap khas. Hemisver serebral dipandang memiliki fungsi kognitif ; proses
berfikir, belajar dan memori. Sistem limbik mempunyai hubungan dengan hesbisver
serebri maupun batang otak. Selain itu, the reticular activation sistem (RAS), yang
merupakan jaringan sel yang membentuk sistem komunikasi 2 arah, memanjang dari
batang otak sampai otak tengah dan sistem limbik. Jaringan ini mengontrol kesiagaan
atau keadaan “terjaga” bagi tubuh; sistem ini mengirim sinyal yang akan ditangkap
sampai ke korteks dan melanjutkan sinyal dari korteks kebawah.
Dalam respons stres, impuls averen akan ditangkap oleh organ pengindra
(mata,telinga,hidung,kulit) dan pengindra internal (baroreseptor,kemoreseptor) ke
pusat saraf diotak. Stres mungkin diterima oleh berbagai pusat yang berbeda mulai
dari korteks sampai kebatang otak yang pada gilirannya akan menyampaikan
informasi tersebut kehipotalamus. Respon terhadap persepsi stres tersebut
diintegrasikan didalam hipotalamus yang akan mengkoordinasikan keadaan
keseimbangan homeostasis. Derajat dan durasi respons sangat bervariasi; stres mayor
akan membangkitkan baik respon simpati maupun pituitari adrenal.
Respons Neuroendokrin
Jalur neural dan neuroendokrin di bawah kontrol hipotalamus akan di aktifkan dalam
respons sress. Pertama , akan terjadi sekresi sistem saraf simpatis kemudian diikuti
oleh sekresi simpatis – adrenal –meduler, dan akhirnya, bila stres masih tetap
ada,sistem hipotalamus-pituitari akan diaktifkan.
Respons sistem saraf simpatis. Respons sistem saraf simpatis bersifat cepat dan
singkat kerjanya. Norepinefrin di keluarkan pada ujung saraf yang berhubungan
langsung dengan ujung organ yang dituju mengakibatkan meningkatkan fungsi organ
vital dan keadaan perangsangan tubuh secara umum. Frekuensi jantung meningkat.
Terjadi vasokontriksi perifer, mengakibatkan kenaikan tekanan darah. Darah juga
akan dialirkan keluar dari organ abdomen. Tujuan aktifitas tersebut adalah untuk
memperoleh perfusi yang lebih baik pada organ vital (otak,jantung,otot,skelet)
glukosa darah meningkatkan dan menyediakan sumber energi siapakah yang lebih
banyak. Pupil akan berdilatasi, dan aktiftas mental akan meningkat : rasa kesiaagan
menjadi lebih besar. Kontruksi pembuluh darah pada kulit akan membatasi
perdarahan bila terjadi trauma. Secara subjektif kita akan merasa kaki dingin, kulit
dan tangan lembab, menggigil, berdebar-debar dan “kejang” pada perut. Secara khas,
kita akan merasa tegang, dengan otot leher, punggung atas, dan bahu menegang:
pernapasan dangkal dan cepat, dengan diafragma yang menegang.
Glukokortikoid akan mendepresi sistem imun. Bila konsentrasinya cukup tinggi, akan
terjadi penurunan sistem inflamasi terhadap injury atau infeksi. Tahap-tahap proses
inflamasi akan terhambat, limfosit akan dihancurkan dalam jaringan limfoid dan
produksi antibodi akan menurun. Akibatnya, kemampuan seseorang menahan infeksi
akan berkurang. Inhibisi respon inflamasi dapat diambil manfaatnya secara
tarmakologis dengan meresepkan kortisol untuk merawat respon imun dan inflamasi
pada artritis, asma penolakan transplantasi. Hubungan stres dan respon imun
merupakan subjek penelitian baru yang disebut sebagai behaviora imunology,
pisokoimunologi dan neoroimunomodulasi. Penelitian hewan menunjukkan bahwa
stres fisiologis yang ekstrim dan mengakibatkan dampak yang berat pada kemampuan
imunologis. Penelitian pada manusia sebelum dapat disimpulkan (sebagian karena
masalah desagin dan kontorl eksperimental) namun para peneliti percaya bahwa
pikiran mempengaruhi respon imun dengan akibat membahayakan bagi pejamu
(kiecolt-glaser & glaser,1962).
Terdapat beberapa cara untuk menilai stres, anatar lain skala Holmes dan Rahe (1967)
beserta skala miller dan smith (1985).
Skala ini menghitung jumlah stres yang dialami seseorang dengan cara menambahkan
nilai relatif stres, yang disebut unit perubahan hidup (life change units-LCU). Untuk
berbagai peristiwa yang dialami seseorang. Skala ini didasarkan pada perenis bahwa
peristiwa baik ataupun buruk dalam kehidupan seseorang dapat meningkatkan tingkat
stres dan membuat orang tersebut lebih rentang terhadap penyakit dan masalah
kesehatan mental. Pada skala tersebut sejumlah peristiwa yang dialami seseorang
selama 12 bulan terakhir. Beri tanda pada peristiwa yang dialami misalnya, seseorang
yang mengalami perpindahan rumah selama 2 kali selama 12 bulan terakhir, maka
skornya adalah 2 x 20 = 40. Selanjutnya seluruh nilai tersebut dijumlah untuk
mengetahui berapa total nilai stres. Skor 250 atau lebih dianggap tinggi orang yang
memiliki toleransi rendah terhadap stres mungkin sudah melampui tingkat stres yang
normal dengan skor 150. Skor 150 atau kurang memiliki kemungkinan 37% untuk
mengalami sakit yangs serius. Jika skornya 150-300, kemungkinan tersebut naik
menjadi 51% diatas 300, kemungkinan mengalami sakit yang serius, dalam dua tahun
kedepan akan menaik menjadi 80%.
4. Dipenjara 63
7. Pernikahan 50
10. Pensiun 45
12. Kehamilan 40
JUMLAH 1466d
Tingkat stres
Tidak signifikan < 149
Rendah = 150-200
Sedang = 200-299