Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

I. LATAR BELAKANG

Bumi adalah satu-satunya planet dalam tata surya ini yang memiliki
kehidupan. Kehidupan yang nyata di muka bumi ini merupakan hasil kolaborasi
yang harmonis antara makhluk hidup dalam hal ini manusia, hewan dan
tumbuhan dengan segala isi bumi tersebut. Manusia sendiri menduduki tingakatan
tertinggi dalam rantai kehidupan diplanet ini. Seiring dengan tumbuhnya
kemajuan teknologi yang amat sangat pesat pada abad sekarang ini, jumlah
populasi manusia juga semakin meningkat berates bahkan beribu-ribu juta kali
lipat dengan keberadaannya waktu pertama kali manusia ada.
Berdasarkan data revisi terbaru tahun 2017 yang dihimpun oleh sebuah
Departemen Ekonomi dan Sosial Divisi Populasi di United Nations New York
mengatakan bahwa prospek jumlah populasi di Dunia sekarang ini adalah
7.600.000.000 (7,6 miliar) penduduk, dimana: 70 % dari populasi dunia (4,5
miliar) tinggal di Benua Asia; 17 % (1,3 miliar) di Benua Afrika; 10% di Benua
Eropa (742 juta); 9% di Latin Amerika dan Carribean (646 juta); sekitar 6% di
Amerika Utara (361 juta) dan Oceania (1,3 juta), dari sebaran penduduk tersebut
China (1,4 miliar) dan India (1,3 miliar) menjadi 2 Negara di dunia dengan
jumlah penduduk terbanyak kira-kira 19 dan 18 persen dari total jumlah
penduduk di dunia.1 Jumlah penduduk yang melimpah ruah ini, apabila tidak
diikuti dengan keseimbangan pemenuhan segala kebutuhannya dari beragam
aspek yang ada akan memberikan masalah-masalah yang tak berujung pada
akhirnya nanti.
Indonesia adalah salah satu negara di dunia yang memiliki ribuan pulau
didalamnya. Dari segi keluasan wilayah negara Indonesia juga patut
diperhitungkan termasuk juga jumlah penduduknya. Berdasarkan perhitungan
badan pusat statistik nasional pada tahun 2035 yang terhitung dari tahun 2010 (25
tahun mendatang) akan terus meningkat mencapai 238,5 juta (tahun 2010)
menjadi 305,6 juta (2035). Walaupun demikian, pertumbuhan rata-rata penduduk

1
Indonesiaselama periode 2010-2035 menunjukkan kecenderungan yang terus
menurun. Dalam periode 2010-2015 dan tahun 2030-2035 laju pertumbuhan
penduduk turun dari 1,38 persen menjadi 0.62 % pertahun. Penurunan laju
pertumbuhan ini ditentukan oleh turunnya tingkat kelahiran dan dan
meningkatnya angka kematian. Angka Kelahiran Kasar (Crude Birth Rate/CBR)
turun dari sekitar 21,0 per 1000 penduduk pada awal proyeksi menjadi 14,0 per
1000 penduduk pada akhir proyeksi. Sedangkan Angka Kematian Kasar (Crude
Death Rate/CDR) naik dari 6,4 per 1000 penduduk menjadi 8,8 per 1000
penduduk dalam kurun waktu yang sama.2
Masalah persebaran dan pemerataan penduduk di Indonesia seakan
menjadi permasalahan pelik yang tak kunjung terselesaikan sampai sekarang ini.
Sejak tahun 1930 sebagian besar penduduk Indonesia tinggal di pulai Jawa
padahal luas pulau itu kurang dari 7 % dari luas total daratan di Indonesia. Namun
secara perlahan presentase penduduk Indonesia yang tinggal di pulau Jawa terus
menurun dari sekitar 57,4% pada tahun 2010 menjadi 54,7 % pada tahun 2035.
Sebaliknya jumlah penduduk di pulau lain meningkat seperti di pulau Sumatera
naik menjadi 22,4% dari 21,3% dan Kalimantan naik dari 5,8% menjadi 6,6%.
Sementara di Papua sendiri juga akan mengalami peningakatan penduduk dari
proyeksi awal tahun 2010 sekitar 3.622.300 penduduk menjadi sekitar 5.449.600
penduduk pada proyeksi akhir tahun 2035.2 seiring dengan pertambahan
penduduk pada suatu wilayah yang tidak diimbangi dengan penambahan luas
wilayah akan berakibat pada ledakan penduduk yang akhirnya akan berujung pada
banyak masalah terkait pemenuhan kebutuhan manusia yang vital. Masalah-
masalah yang muncul akibat ledakan penduduk diantaranya: pegangguran, tingkat
pendidikan yang rendah sehingga sumber daya manusia dalam suatu negara/
wilayah terbatas, kriminalitas yang meningkat akibat paksaan pemenuhan
kebutuhan, krisis ekonomi dan pemerintahan, kemunduran dan semakin jeleknya
sanitasi lingkungan, meningkatnya masalah-masalah terkait penurunan kesehatan
dll.
Permasalahan kependudukan akibat ledakan pendudduk tersebut mau tidak
mau adalah sebuah tantangan yang pastia akan dihadapi oleh suatu negara
nantinya termasuk juga Indonesia. Pemerintah menetapkan suatu program 9

2
agenda prioritas pembangunan (Nawa Cita) dalam era pemerintahan tahun 2014-
2019 dengan program utama yang salah satunya terkait masalah kependudukan
yakni membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah daerah
dan desa dalam kerangka negara kesatua, meningkatkan kualitas hidup manusia,
dan melakukan revolusi karakter. Program ini diharapkan dapat tercapai suatu
target umum kependudukan yakni terkait masalah fertilitas, mortalitas dan
mobilitas. Fertilitas merupakan salah satu masalah umum yang dihadapi terkait
kependudukan dimana target umum yang harus dicapai dari segi ini adalah
tercapainya kondidi penduduk tumbuh seimbang. Untuk itu pemerintah
mencanangkan suatu program Keluarga Berencana (KB) dalam rangka mengatur
fertilitas: usia ideal perkawinan, usia ideal melahirkan, jarak ideal melahirkan, dan
jumlah ideal anak yang dilahirkan. Kebijakan KB ini dilaksanankan untuk
membantu pasangan suami istri dalam mengambil keputusan terkait dalam
mewujudkan hak-hak reproduksi guna: mengatur kehamilan yang diinginkan,
menurunkan angka kematian bayi dan angka kematian ibu, meningkatkan akses
dan kualitas pelayanan KB, meningkatkan keikutsertaan pria, dan promosi ASI
Ekslusif sehingga tercapai sinkronisasi program dan kegiatan dalam mendukung
program Indonesia sehat dengan pendekatan keluarga sehat.3
Situasi Keluarga Berencana di Indonesia sendiri dilatarbelakangi
banyaknya Wanita Usia Subur (WUS) di negara ini, bahkan berdasarkan sember
Family Planning Worlwide tahun 2008 mengungkapkan bahwa Indonesia menjadi
negara di Asia Tenggara dengan jumlah WUS terbesar, disusul Vietnam dengan
Filiphina. Selain itu menurut World Healh Statistic tahun 2013, angka
pengguanaan kotrasepsi di Indonesia juga melebihi rata-rata penggunaan
kontrasepsi di negara ASEAN. Kontrasepsi sendiri terdiri atas banyak metode,
yang secara garis besar dibedakan atas metode KB modern yang terdiri atas:
sterilisasi, pil, IUD, suntik, susuk KB, kondom, intravaginal, diafragma,
kontrasepsi darurat, Metode Amenorea Laktasi (MAL); sedangkan metode
tradisional misalnya: pantang berkala dan senggama terputus.4
Dari beragam metode tersebut, keberhasilan suatu metode KB sangat
dipengaruhi oleh banyak factor yang sifatnya multifaktorial. Bahkan metode KB
yang memiliki angka kegagalan terkecil sekalipun dapat tidak berhasil membatasi

3
angka kelahiran karena penyebab yang tidak terduga-duga sebelumnya. Dalam
laporan kasus ini, penulis akan mencoba melaporkan kasus seorang pasien Ny. N
berusia 38 tahun G4P3A0 Post-SC 1 kali mengenai “Kegagalan Kontrasepsi
Metode Operatif Wanita Pomeroy Bilateral pada Ibu N. G4P3A0 dan
Retubektomi Fimbriektomi Bilateral di Rumah Sakit Umum Jayapura”
secara khusus yakni Metode Operatif Wanita (MOW) yang dilakukan pertama
kali pada tanggal 8 Januari 2016 pukul 09.00 WIT setelah Seksio Sesarea anak
ketiga dari pasien adalah tubektomi dengan teknik Pomeroy bilateral tetapi gagal
dan pasien hamil anak keempatnya lalu dilakukan MOW tubektomi kedua kali
tanggal 22 Januari 2018 pukul 11.45 WIT dengan teknik yang berbeda yakni
teknik Kroener (fimbriektomi) bilateral setelah Seksio Sesarea anak keempatnya.
Pembatasan masalah yang diambil penulis dalam laporan kasus ini terbatas pada
kegagalan kontrasepsi Metode Operatif Wanita Pomeroy bilateral pada ibu N.
G4P3A0 dan Retubektomi Fimbriektomi bilateral di Rumah Sakit Umum
Jayapura tanpa membahas operasi Seksio Sesarea yang mendahului operasi
kontrasepsi tubektomi tersebut.

II. URAIAN KASUS


Seorang pasien wanita Ny. N. G4P3A0 berumur 38 tahun masuk IGD
Kebidanan Rumah Sakit Umum Daerah Jayapura pada tanggal 20 Januari 2018
jam 09.30 WIT. Pasien mmbawa surat pengantar dari dr. D H. U Sp.OG kebagian
IGD kebidanan dan kandungan pro Seksio Sesarea atas indikasi Bekas Seksio
Sesarea satu kali (BSC 1X) dan pro Metode Operatif Wanita (MOW).

Dari hasil autoanamnesa didapatkan, bahwa sebelumnya pasien telah


melakukan sterilisasi/ kontrasepsi mantap Metode Operatif Wanita (MOW) yang
dilakukan setelah Seksio Sesarea anak ketiganya tetapi gagal dan pasien hamil
lagi anak keempatnya. Setelah Kehamilan anak keempatnya, dengan beberapa
pertimbangan oleh dokter penanggung jawab pasien dan atas persetujuan dan
keinginan pasien diputuskan bahwa akan dilakukan Seksio Sesarea lalu dilakukan
MOW tubektomi untuk yang kedua kalinya setelah Seksio Sesarea Anak
keempatnya.

4
III. MASALAH
Dalam laporan kasus ini terdapat beberapa masalah yang akan dibahas
oleh penulis, yakni sebagai berikut:
1. Bagaimanakah penatalaksanaan kasus tersebut di Rumah Sakit Umum
Jayapura, apakah prosedur dan langkah-langkah penatalaksanaan kasus
tersebut telah sesuai?
2. Mengapa kegagalan kasus tersebut bisa terjadi, bagaimana analisisnya
terkait kasus tersebut berdasarkan literatur-literatur yang ada?

5
BAB II
PENYAJIAN DATA PASIEN

I. IDENTITAS
Nama penderita : Ny. N. F.
Umur : 38 tahun (3 mei 1979)
Alamat : APO Kali
Agama : Islam
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga (IRT)
Sukubangsa : Manado
Tanggal MRS : 20 Januari 2018 jam : 09.30 WIT, pasien mmbawa surat
pengantar dari dr. D H. U Sp.OG kebagian IGD kebidanan
dan kandungan pro Seksio Sesarea atas indikasi Bekas
Seksio Sesarea satu kali (BSC 1X) dan pro Metode
Operatif Wanita (MOW).
No. DM : 40-98-53

II. ANAMNESIS
Seorang pasien wanita Ny. N. G4P3A0 berumur 38 tahun masuk IGD
Kebidanan Rumah Sakit Umum Daerah Jayapura pada tanggal 20 Januari 2018
jam 09.30 WIT.
Keluhan Utama:
Orang sakit datang membawa pengantar dari dr. D H. U Sp.OG di
rencanakan akan dilakukan Seksio Sesaria hari senin tanggal 22 Januari 2018 atas
indikasi post-SC satu kali dan MOW ( pasien mantap tidak mau hamil dan punya
anak lagi).
Riwayat Penyakit yang sekarang Sekarang:
Klien mengatakan selama kehamilan ini selalu memeriksakan
kehamilannya (ante natal care) di dr. D. H. U Sp.OG dan mendapat vaksinasi
Tetanus Toksoid (TT) satu kali. Pada saat periksa yang terakhir dokter kandungan
menganjurkan klien untuk dirawat inap di Rumah Sakit Umum Daerah Jayapura

6
sebelum muncul kenceng-kenceng karena klien sudah satu kali menjalani operasi
seksio sesarea. Klien dirawat di ruang Rawat Gabung kelas II. Klien akan
menjalani operasi sesar yang kedua pada kehamilan keempatnya, selain itu klien
juga mantap ingin tidak hamil lagi (tidak igin punya anak lagi) meminta dokter
melakukan tindakan MOW (steril) dimana sebelumnya pasien pernah melalukan
MOW pertama kali pada kehamilannya yang ketiga setelah seksio sesarea anak
ketiganya (8 januari 2018).
Riwayat Pernikahan : 1 kali, (menikah sah selama 19 tahun).
Riwayat Obstetri dan Kontrasepsi : G4P3A0, Post-SC 1 kali 2 tahun yang lalu
(G3).
Kehamilan Persalinan Anak

N Suami Umu Temp Penolo Jenis Jenis BB Hidup/ KB


o r at ng Kela (gr) Mati
min
1 Kesat 8 bln RS Bidan Spo L 2100 Hidup 3
u Dok II ntan bln
sun
tik
2 Kesat CB RS Bidan Spo P 2800 Hidup 3
u Dok II ntan bln
sun
tik
3 Kesat Post RS Dokter SC L 3400 Hidup M
u term Dok II O
W
(tu
bek
to
mi)
4 Kesat Hamil ini
u

7
Riwayat Penyakit Sebelumnya:
Malaria (-), Diabetes mellitus (-), Hipertensi (-), Asma (-), Jantung (-) .

Riwayat Penyakit Keluarga :


Tidak ada keluarga yang menderita penyakit keturunan, penyakit menular,
ataupun kejiwaan. Malaria (-), Diabetes mellitus (-), Hipertensi (-), Asma (-),
Jantung (-) .

III. PEMERIKSAAN FISIK


Keadaan umum : baik.
Kesadaran : compos mentis kooperatif
Tekanan darah :110/90 mmHg
Frekuensi nadi : 80x/menit
Suhu : 36,60C
Berat badan : 61 kg
Tinggi badan : 146 cm

Status generalis
Kepala : tidak ditemukan kelainan
Mata : konjungtiva tidak anemis , sklera tidak ikterik
KGB : tidak terdapat pembesaran KGB
Telinga, Hidung
dan Tenggorokan : dalam batas normal
Dada
Paru-paru
 Inspeksi : simetris (kiri=kanan)
 Palpasi : vocal fremitus kiri=kanan
 Perkusi : sonor kiri = kanan
 Auskultasi : suara nafas vesikuler, wheezing (-), rhonki (-)

Jantung : bunyi jantung I-II, murmur (-), gallop (-)


Abdomen : status ginekologi

8
Genitalia : status ginekologi
Ekstrimitas : edema -/-, reflek fisiologis +/+, akral hangat.
Kulit : sianosis (-)

Status Ginekologis :
Mammae : Pertumbuhan normal, simetris kiri dan kanan, aerola dan
papilla
dalam batas normal, pembengkakan (tanda radang) tidak ada.
Abdomen : Perut tampak simetris, distensi tidak ada,
striae mark gravidarum positif, pelebaran vena tidak
ada, sikatriks bekas seksio sesarea pada pfaninstiel
+
+ + linea. Pada palpasi tidak terdapat nyeri tekan.
Auskultasi dapat didengarkan bising usus positif (+)
normal. Perkusi timpani, palpasi hepar tidak teraba
dan lien tidak teraba, Nyeri costo vertebral angle (-).

Genitalia: Inspeksi vulva vagina dan orificium uretra eksterna tenang


Inspekulo dan VT bimanual tidak dilakukan.

IV. PEMERIKSAAN LABORATORIUM


Tanggal 20 januari 2018, pukul 10:09:03
Hemoglobin : 12,9 g/dl
Hematokrit : 37,2 %
WBC : 7.93 x 103/uL
PLT : 319 x 103/uL
PT : 9,1 detik
aPTT : 25,1 detik
DDR : negative
GDS : 71 mg/dl
Golda : B Rhesus Positif

9
V. LAPORAN OPERASI

V.I Operasi Pertama (SC anak ke-tiga dilanjutkan MOW)


Operasi berlangsung tanggal 8 Januari 2018, selama 60 menit, dimulai
pada pukul 09.00 WIT.
Diagnosa pre-op : G3P2A0 Hamil 41-42 minggu dengan Oligohidramnion
belum inpartu dan Sterilisasi.
Diagnosa post-op : P3A0 Post-SC Atas Indikasi Oligohidramnion dan
Sterilisasi.
1. Pasien terlentang diatas meja operasi, dalam anastesi spinal.
2. Dilakukan asepsis dan antisepsis daerah operasi dan sekitarnya dilakukan insisi
pfanenstiel, abdomen ditembus secara tajam dan tumpul.
3. setelah peritoneum dibuka, tampak uterus gravidarum insisi secara semilunar
SBR disayat dan ditembus secara tumpul.
4. Dengan meluksir kepala, lahir bayi.
5. Dengan tarikan ringan lahir plasenta lengkap.
6. SBR dijahit lapis demi lapis dengan vicryl 1.0.
7. Dilakukan MOW tubektomi, dengan teknik “Pomeray bilateral”.
8. Dilakukan penjahitan dinding abdomen lapis demi lapis dengan vicryl 2-0.
9. Perdarahan durante operasi ±200 cc.
10. Operasi selesai, keadaan umum ibu selama , sebelum dan sesudah operasi
baik.
Instruksi post-operasi:
- Hemodinamik stabil (Observasi KU, TTV, urine, perdarahan tiap jam).
- Oxytocin 2 amp + RL 500 cc drip 24 jam.
- Ceftriaxon 2 gram/24 jam.
- Metronidazol 3 x 500 mg.
- Ketorolac 3 x 1 amp.
- GV hari kedua.
- DC + infuse off 1 x 24 jam.

10
V.II Operasi Kedua (SC anak ke-empat dilanjutkan MOW)
Operasi berlangsung tanggal 22 Januari 2018, selama 42 menit, dimulai
pada pukul 11.45 WIT.
Diagnosa pre-op : G4P3A0 Post-SC 1 Kali Hamil Aterm Pro-SC dan MOW
Diagnosa post-op : P4A0 Post-SC Atas Indikasi Post-SC 1 Kali dan MOW
1. Pasien terlentang diatas meja operasi, dalam anastesi spinal.
2. Dilakukan asepsis dan antisepsis daerah operasi dan sekitarnya dilakukan insisi
pfanenstiel, abdomen ditembus secara tajam dan tumpul.
3. Setelah peritoneum dibuka, tampak uterus gravidarum insisi secara semilunar
SBR disayat dan ditembus secara tumpul.
4. Dengan meluksir kepala, pada pukul 12.20 WIT lahir bayi laki-laki dengan
BB= 2500 g, PB= 45 cm, AS menit pertama= 7 dan AS menit kelima= 8.
5. Dengan tarikan ringan lahir plasenta lengkap pada pukul 12.25 WIT.
6. Dilakukan penjahitan 1 lapis pada SBR, kemudian dilakukan MOW tubektomi
dengan “teknik fimbriektomi/ Kroener bilateral”.
7. Setelah diyakini tidak ada perdarahan, cavum abdomen dicuci dengan NaCl.
8. Periksa kassa dan alat lengkap.
9. Dilakukan penjahitan dinding abdomen lapis demi lapis dengan vicryl 2-0.
10. Perdarahan durante operasi ±200 cc.
11. Operasi selesai, keadaan umum ibu selama , sebelum dan sesudah operasi
baik.
Instruksi post-operasi:
- Hemodinamik stabil (Observasi KU, TTV, urine, perdarahan tiap jam).
- RL 500 cc drip 24 jam.
- Ceftriaxon 2 gram/24 jam.
- Metronidazol 3 x 500 mg.
- Ranitidin IV 3 x 1 ampul.
- Vitamin C 3 x 1 ampul.
- Neurobion drips 1 x 1.
- Paracetamol drips 3 x 500 mg.

11
BAB III
PEMBAHASAN

I. BAGAIMANA KETEPATAN PENATALAKSANAAN KASUS INI ?


Berdasarkan observasi yang ada terhadap kasus ini mulai dari pertama kali
pasien datang ke IGD bersalin Rumah Sakit Umum Daerah Jayapura sampai
dengan dilakukan operasi Seksio Sesarea dan MOW dan setelahnya
penatalksanaan kasus ini sudah tepat, meskipun terdapat beberapa kekurangan
didalamnya. Berikut dibawah ini adalah hasil observasi yang ada terkait ketepatan
penatalaksaan kasus ini:
1. Ketika pasien pertama kali datang ke IGD Kebidanan Rumah Sakit Umum
Jayapura dengan membawa surat pengantar dari dokter penanggung jawab
pasien, di tempat ini dilakukan anamnesa terpimpin dan struktural untuk
menggali informasi terkait masalah-masalah kesehatan pasien. Selain
anamnesa, juga dilakukan pemeriksaan fisik terkait mulai dari tanda-tanda
vital, status generalis, status obstetrikus, pengambilan specimen untuk
pemeriksaan penunjang, dan pemeriksaan laboratorium terkai kasus yang
ada dll yang mendukung penegakan diagnosis klinik pasien. Ditempat ini
filterisasi dasar telah dilakukan semaksimal mungkin, namun tidak
menutup kemungkinan terdapat beberapa kekurangan seperti pemakaian
alat tensimeter digital yang digunakan untuk mengukur tekanan darah
pasien dari segi kepraktisan dianggap cepat dan simpel, bisa jadi alat
tersebut sudah tidak valid terkait lamanya pemakaian dan kalibrasi yang
tidak dilakukan secara regular, untuk itu diperlukan adanya konfirmasi
dengan alat pengukur tekanan darah lain seperti tensimeter aneroid, lebuh
bagus lagi menggunakan tensimeter raksa, pemakaian pengukuran tinggi
badan yang hanya menggunakan garis-garis ditembok memberikan hasil
keraguan karena tidak menggunakan stadiometer dll.
2. Sebelum preoperasi dilakukan pemantauan berkala untuk persiapan naik
meja operasi, mulai dari perbaikan keadaan umum, intake makanan yang
baik dan mendukung operasi, puasa sebelum dilakukan operasi dll telah
dilakukan sesuai dengan procedural yang ada. Sebelum operasi dilakukan

12
keesokan harinya pasien dianjurkan untuk berpuasa mulai dari pukul 00.00
WIT, untuk mengindari terjadinya aspirasi dan penyulit sewaktu operasi
berlangsung. Hai inipun telah dilakukan sesuai procedural yang ada,
meskipun demikian tidak menutup kemungkinan keberhasilan persiapan
preop dapat mengalami kegagalan pada suatu waktu terkait masalah yang
muncul sewaktu dilakukan, dimana masalah yang ada bisa muncul akibat
dari pasien sendiri ataupun operator yang ada di ruangan sebelum
dilakukan operasi.
3. Prosedural preop yang lain adalah selama preanastesi, beragam
pemeriksaan telah dilakukan untuk menunjang prasyarat dilakukannya
sebuah anestesi. Mulai dari anamnesa terpimpin dan pengkajian pra
anestesi dilakukan serta pemeriksaan laboratorium darah lengkap untuk
audit kelainan darah dan hemoglobin pasien terkait apakah pasien dalam
kondisi kurang darah atau tidak, analisis panhemostatik (pemeriksaan PT
dan aPTT) untuk mengetahui keadaan pembekuan darah pasien apakah ada
kelainan bermakna atau tidak yang nantinya akan menjadi penyulit operasi,
pemeriksaan golongan darah dan persiapan darah, pemeriksaan Gula Darah
Sewaktu (GDS) untuk audit riwayat penyakit terkini pasien terkait diabetes
mellitus dll.
4. Prosedural operasi yang dilakukan telah sesuai dengan standart yang ada,
dimulai dari persiapan alat-alat operasi, sterilisasi alat, sterilisasi ruangan
operasi dan personil/operator yang melakukan operasi telah dilakukan
pengawasan secara terstandar. Pemantauan berkala oleh ahli anestesi dan
assisten selama operasi berlangsung juga telah dilakukan dengan baik dan
didokumentasikan secara terulis dan structural.
5. Prosedural operasi yang dilakukan oleh dokter penanggung jawab pasien
terkait keberlangsungan operasi yang dilakukan terhadap pasien juga telah
dilakukan semaksimal mungkin untuk meminimalisir kegagalan-kegagalan
selama operasi berlangsung maupun keberhasilan operasi yang akan
dicapai.
6. Beragam procedural tindakan post operasi juga telah dilakukan dengan baik
termasuk pengkajian secara berkala mengenai stabilisasi hemodinamik,

13
pengembalian tingkat kesadaran, dll telah dilakukan sesuai procedural yang
ada. Di Rumah Sakit ini juga telah dilakukan pemantauan dan observasi
secara terstruktur dan terstandarisasi terhadap pasien-pasien post operasi di
ruangan Recovery Room (RR) selama kurang lebih 24 jam post operasi
untuk dilakukan pemantauan yang menyeluruh dan detail mengenai
keadaan pasien setelah operasi. Di ruangan ini pengkajian dilakukan secara
berkala mulai dari analisis dan pemantauan keadaan umum, tanda-tanda
vital, balancing input-output cairan, tatalaksana dan instruksi pemberian
obat-obatan dan antibiotik post operasi, pengkajian ada tidaknya
perdarahan postop dan pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan
laboratorium post operasi dalam memantau kestabilan hemodinamik pasien
postoperasi. Diruangan ini juga dilakukan pemantauan luka bekas operasi
apakah ada tanda-tanda kelainan serta hygiene pasien tetap menjadi
perhatian utama untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan.
7. Setelah satu kali 24 jam dilakuka pemantauan intensif di RR dan tidak
didapatkan adanya penyulit dan kelainan bermakna terkait status kesehatan
pasien dan kesadaran, hemodinamik serta mobilitas pasien telahberangsur-
angsur membaik. Pasien dipindahkan ke ruangan post SC sembari
dilakukan pemantauan berkala terkait status kesehatan pasien selanjutnya
dan terutama observasi dilakukan terhadap bekas luka operasi yang ada
apakah terdapat adanya tanda-tanda infeksi dan perdarahan lanjut. Dalam
ruanagan ini pasien menunjukkan tanda-tanda perbaikan selama post SC
dan MOW.
8. Untuk selanjutnya pasien dapat dipulangkan menunggu hasil perbaikan
yang bermakna, setelah bergam pengkajian dan evaluasi bertahap setelah
operasi dilakukan.

II. BAGAIMANA ANALISIS KEGAGALAN KASUS INI?


Informasi terkait operasi terdahulu pasien berupa operasi Seksio Sesarea
anak ketiga yang dilanjutkan dengan operasi Metode Operatif Wanita (kontrasepsi
mantap) pasien Ny. N. tanggal 8 Januari 2016 lalu hanya didapatkan penulis dari
hasil laporan operasi terdahulu di Rumah Sakit ini. Dalam laporan operasi ini

14
(tertulis di bab II bagian laporan operasi yang diketik ulang dengan perbaikan
kalimat).
Dalam laporan tersebut, minim sekali informasi yang didapat terkait
procedural dan langkah-langkah struktural yang dilakukan oleh dokter
penanggung jawab operasi terdahulu dalam menceritakan tindakan-tindakan yang
dilakukan selama operasi berlangsung sehingga informasi yang didapat penulis
terbatas. Termasuk didalamnya mengenai urutan langkah-langkah tindakan
sterilisai/ tubektomi metode Pomeray Bilateral yang dilakukan dokter penanggung
jawab, juga tidak mendetail proseduralnya sehingga celah kesalahan sewaktu
tindakan operasi berlangsung atau informasi terkait peralatan yang digunakan
sewaktu itu juga tidak didapatkan informasi mendetail oleh penulis.
Seperti yang kita ketahui bersama, bahwa suatu kegagalan operasi bisa jadi
terjadi dikarenakan oleh mutifaktorial penyebab. Dalam operasi kontrasepsi ini,
bisa jadi yang menjadi factor penyebab kegagalan berasal dari operator (doctor),
alat dan perlengkapan (instrument) yang tidak memadai, bahan (material) yang
digunakan selama operasi (benang jahit yang digunakan untuk fiksasi tuba
misalnya), ataupun dari penyebab yang muncul dari dalam diri pasien sendiri
(medical patient/ person). Karena informasi detail selama operasi berlangsung
sangat minimal yang mana hanya mengandalkan dari hasil laporan operasi
terdahulu yang hanya menulis hal pokok tindakan selama operasi berlangsung
tanpa menjelaskan detail tindakan, procedural dan pemakaian bahan apa saja
(benang jahit apa yang digunakan untuk fiksasi sebelum ligasi tuba dan setelah
ligasi tuba) tidak diketahui dengan pasti maka penulis akan lebih banyak pokok
analisis terkait factorial kegagalan yang berasal dari dalam diri pasien sendiri
tetapi tidak menutup kemungkinan akan dipaparkan juga procedural tindakan
tubektomi Pomeray Bilateral yang benar sesuai literatur yang ada.
Berikut dibawah ini adalah pengantar mengenai, beragam metode
kontrasepsi mantap wanita atau Metode Operatif Wanita (MOW) tubektomi /
penutupan tuba sebelum kita menganalisa faktorial penyebab kegagalan MOW
pada Ny. N. Kebanyakan procedural operasi single MOW tubektomi dilakukan
dengan menggunakan minilaprotomi (murah, sederhana, minim komplikasi)

15
dibandingkan menggunakan laparoskopi yang membutuhkan biaya yang cukup
mahal:
1. Cara Madlener5
Bagian tengah tuba diangkat dengan cunam Pean, sehingga terbentuk
suatu lipatan terbuka. Kemudian, dasar dari lipatan tersebut dijepit dengan cunam
kuat-kuat, dan selanjutnya dasar itu diikat dengan benang yang tidak dapat
diserap. Pada cara ini tidak dilakukan pemotongan tuba. Sekarang cara ini sudah
tidak dilakukan lagi karena angka kegagalannya relatif tinggi yaitu 1% sampai
3%.

Gambar 1. Penutupan tuba menurut Madlener

2. Cara Pomeroy5
Cara Pomeroy banyak dilakukan. Cara ini dilakukan dengan mengangkat
bagian tengah dari tuba sehingga membentuk suatu lipatan terbuka, kemudian
dasarnya diikat dengan benang yang dapat diserap, tuba di atas dasar itu dipotong.
Setelah benang pengikat diserap, maka ujung-ujung tuba akhirnya terpisah satu
sama lain. Angka kegagalan berkisar 0 - 0,4%.

Gambar 2. Tubektomi menurut Pomeroy

16
3. Cara Irving5
Pada cara ini tuba dipotong antara dua ikatan benang yang dapat diserap;
ujung proksimal dari tuba ditanam ke dalam miometrium, sedangkan ujung distal
ditanam ke dalam ligamentum latum.

Gambar 3. Tubektomi menurut Irving

4. Cara Uchida5
Pada cara ini, tuba ditarik ke luar abdomen melalui suatu insisi kecil
(minilaparotomi) di atas simfisis pubis. Kemudian di daerah ampula tuba
dilakukan suntikan dengan larutan adrenalin dalam air garam di bawah serosa
tuba. Akibat suntikan ini, mesosalping di daerah tersebut menggembung. Lalu,
dibuat sayatan kecil di daerah yang kembung tersebut. Serosa dibebaskan dari
tuba sepanjang kira-kira 4-5 cm; tuba dicari dan setelah ditemukan dijepit, diikat
lalu digunting. Ujung tuba yang proksimal akan tertanam dengan sendirinya di
bawah serosa, sedangkan ujung tuba yang distal dibiarkan berada di luar serosa.
Luka jahitan dijahit secara kantong tembakau. Angka kegagalan cara ini adalah 0.

Gambar 4. Tubektomi meurut Uchida

17
5. Cara Aldridge5
Peritoneum dari ligamentum latum dibuka dan kemudian tuba bagian
distal bersama-sama dengan fimbria ditanam ke dalam ligamentum latum.
6. Cara Kroener5
Bagian fimbria dari tuba dikeluarkan dari lubang operasi. Dibuat suatu
ikatan dengan benang sutra melalui bagian mesosalping di bawah fimbria. Seluruh
fimbria dipotong, setelah pasti tidak ada perdarahan, maka tuba dikembalikan ke
dalam rongga perut. Teknik ini banyak digunakan. Keuntungan cara ini antara lain
ialah sangat kecilnya kemungkinan kesalahan mengikat ligamentum rotundum.
Angka kegagalan 0,19%.

Gambar 6. Tubektomi menurut Kroener

7. Pemasangan cincing Falope/ cincin Yoon/ Silastic band6


Sesudah terpasang, lipatan tuba tampak keputih-putihan oleh karena tidak
mendapat suplai darah lagi dan akan menjadi Jibrotik. Cincin Falope dapat
dipasang pada laparotomi mini, laparoskopi atau dengan laprokator.

Gambar 7. Tubektomi dengan Pemasangan Cincin Falopi

18
Berikut dibawah ini adalah prosedura standart dalam melakukan tubektomi
oklusi tuba pasca persalinan teknik Pomeray7:
1. Konseling Prabedah.
2. Persiapan Prabedah.
3. Asepsis dan antisepsis.
4. Membuka dinding abdomen, insisi pfanenstiel.
5. Mencapai tuba:
-Masukkan retractor kedalam rongga abdomen, tarik retractor kearah tuba yang
akan dicapai.
-Jepit tuba dengan pinset atau klem babcock dan tarik pelan-pelan keluar
melalui lubang insisi sampai terlihat fimbria.
-Bila tuba tertutup omentum, atau usus sisihkan dengan menggunakan bilah
panjang (seperti tang spatel) dan posisi klien Trendelenberg.
6. Oklusi tuba (cara Pomeray):
-Jepit tuba pada 1/3 proksimal dengan klem Babcock, angkat sampai tuba
melengkung, tentukan daerah mesosalping tanpa pembuluh darah.

Gambar8 8
-Tususkkanjarum bulat dengan catgut nomor 0 pada jarak 2 cm dari puncak
lengkungan dan ikat salah satu pangkal lengkungan tuba.

19
Gambar8 9

-Ikat kedua pangkal lengkungan tuba secara bersama-sama dengan


menggunakan benang yang sama.

Gambar8 10

-Potong tuba tepat diatas ikatan benang.

20
Gambar8 11
-Periksa perdarahan pada tunggul tuba dan periksa lumen tuba untuk
meyakinkan tuba telah terpotong.

Gambar8 12
-Potong benang catgut 1 cm dari tuba dan dan masukkan kembali tuba kedalam
rongga perut.
-Lakukan tindakan yang sama pada tuba sisi lain.
7. Menutup dinding abdomen.
8. Tindakan pascabedah.
9. Dekontaminasi.
10. Konseling dan instruksi pascabedah.

21
Faktor-faktor yang mepengaruhi kegagalan sterilisasi sangat bervariasi
tergantung dari karakteristik wanita yang bersangkutan (subjektif), pengalaman
operator, teknik yang digunakan, dan metode sterilisasi yang dipilih. Dalam kasus
ini, kemungkinan kegagalan kontrasepsi Pomeroy adalah “dikarenakan berasal
dari factor subjektif pasien” walaupun tidak menutup kemungkinan faktor-
faktor lain juga ikut berperan.

Gambar 13. Tabel perbandingan mekanisme kegagalan sterilisasi dari


beragam metode (method variation)9
Dalam suatu studi dilaporkan bahwa kemungkinan rekanalisasi pada
tubektomi metode Pomeray (MOW pertama pasien) adalah 1/3 kasus dari jumlah
total 38 responden, berdasarkan hasil studi penelitian tersebut maka cukup besar
factor pengaruh rekanalisasi tuba pada metode Pomeray yang mendukung
kegagalan sebuah metode kontrasepsi mantap tubektomi ini. Namun apabila
dibandingkan dengan metode fimbriektomi (MOW kedua pasien) angka
rekanalisasinya jauh lebih tinggi yakni sekitar 9 kasus dari jumlah total responden
yang sama yakni 38 responden.9 Oleh karena itu, asumsi awal penulis yang
berasal dari factor subjektif pasien dapat didukung oleh studi ini. Untuk lebih
tepatnya dikarenakan “mekanisme rekanalisasi yang terjadi setelah operasi
berlangsung sesuai dengan perjalanan waktu”.

22
Gambar 14. Tabel perbandingan potensial pembalikan fungsi tuba seperti
sedia kala pada variasi metode tubektomi10
Dalam platform edukasi lainnya FIGO (The International Federation og
Gynecology and Obstetric) juga mendukung asusmsi awal penulis bahwa
kemungkinan pengembalian fungsi tuba secara sediakalanya pada metode
Pomeray tubektomi bila dibandingkan dengan pilihan metode lain tubektomi
memiliki angka keberhasilan yang cukup tinggi walaupun tidak semaksimal
metode Aldridge. 10

Gambar 15. Tampilan laparoskopi, rekanalisasi tuba pada pasien11

23
Sebuah laporan kasus lain di Turki juga mendukung asumsi awal penulis,
laporan kasus tersebut mngungkapkan bahwa sebuah kehamilan intrauterine
viable 7 minggu telah dilaporkan terjadi pada seorang wanita G5P3A1 yang
berumur 34 tahun setelah wanita tersebut menerima metode sterilisasi Pomeray
selama 5 tahun. Walaupun keadaan ini jarang terjadi, tapi kejadian hamil kembali
seorang akseptor Metode Operatif Wanita Tubektomi metode Pomeray pernah
dilaporkan. Dalam pendahuluan laporan kasus ini juga diungkapkan bahwa
kegagalan metode Pomeray selain dapat menghasilkan kehamilan intrauterine
juga dapat menghasilkan kehamilan extrauterine, dimana kemungkinan besar
dikarenakan terjadinya pembentukan fistula walaupun kasusnya sangat jarang
sekali 11.
Dalam studi Failed Sterilisation dari sumber literatur 9 laporan kasus ini
juga diungkapkan (table 13) bahwa angka pembentukan fistula tubo-peritoneal
pada metode Pomeray juga cukup tinggi yakni menembus angka 2/3 kasus. Dalam
kesimpulan review jurnal ini juga mengungkapkan bahwa kegagalan suatu metode
kontrasepsi yang terjadi pada tahun pertama bisa jadi dikarenakan kesalahan
operator karena nonokusi tuba sendiri dan mayoritas kehamilan akan terjadi di
dalam uterine. Sedangkan kegagalan sterilisasi setelah 1 tahun biasanya
dikarenakan prose salami regenerasi dari tuba melalui proses rekanalisasi atau
pembentukan fistula yang pada akhirnya akan menimbulkan kehamilan ektopik
dikemudian hari.9

24
BAB IV
PENUTUP

I. KESIMPULAN
Dalam kasus ini, mengenai “Kegagalan Kontrasepsi Metode Operatif
Wanita Pomeroy Bilateral pada Ibu N. G4P3A0 dan Retubektomi
Fimbriektomi Bilateral di Rumah Sakit Umum Jayapura” dengan pasien Ny.
N berusia 38 tahun G4P3A0 Post-SC 1 kali secara khusus yakni Metode Operatif
Wanita (MOW) yang dilakukan pertama kali pada tanggal 8 Januari 2016 pukul
09.00 WIT setelah Seksio Sesarea anak ketiga dari pasien adalah tubektomi
dengan teknik Pomeroy bilateral tetapi gagal dan pasien hamil anak keempatnya
lalu dilakukan MOW tubektomi kedua kali tanggal 22 Januari 2018 pukul 11.45
WIT dengan teknik yang berbeda yakni teknik Kroener (fimbriektomi) bilateral
setelah Seksio Sesarea anak keempatnya dikarenakan “mekanisme alamiah tuba
berupa rekanalisasi yang terjadi setelah operasi berlangsung sesuai dengan
perjalanan waktu”.

II. SARAN
Kegagalan sterilisasi Metode Operasi Wanita (MOW) tubektomi sangat
bervariasi tergantung dari banyak sekali factor (multifaktorial) termasuk
diantaranya adalah sebagai berikut mulai dari karakteristik wanita yang
bersangkutan (subjektif), pengalaman operator, teknik yang digunakan, dan
metode sterilisasi yang dipilih. Oleh karena itu, dibutuhkan keliahian dan
kemampuan yang mumpuni, serta jam terbang yang tinggi untuk operator yang
bersangkutan, ilmu pengetahuan dan pembaharuan metode yang baik dalam
pelaksanaan operatif terkait. Hal inti disini adalah jangan pernah berhenti dan
berpuas diri atas suatu pencapaian dan utamakanlah pasien dari beragan segi
penatalaksanaan terapi kesehatan yang komprehensif.

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Departemen Sosial dan Ekonomi Divisi Kependudukan. World Population


Prospects 2017 Revision. United Nation: New York; 2017. Hal 1.
2. Badan Pusat Statistik, Kementerian PPN dan Bappenas, United National
Population Fund. Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-2035. Jakarta:
Subdirektorat Statistik Demografi; 2013. Hal 23-24.
3. Abidinsyah Siregar dan Surya Candra Surapaty. Kebijakan Program
Kependudukan, Keluarga Berencana, dan Pembangunan Keluarga dalam
Mendukung Keluarga Sehat. Jakarta: Rakernas Ksehatan nasional; 2016.
4. Pusat data dan Informasi Kemenkes RI. Situasi Keluarga Berencana (KB) di
Indonesia. Jakarta: Buletin Jendela Data dan Informasi Kesehatan Volume 2
Semester 2; 2013. Hal 1-5.
5. Mohamad Anwar, Ali Baziad, Prajitno Prabowo. Ilmu Kandungan Edisi Ketiga
Cetakan Kedua. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2014.
Hal 456-460.
6. Glasier A. Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi Edisi-4 Cetakan
Pertama. Jakarta: EGC; 2015.
7. Biran Affandi, George Adriaansz, Eka Rusdiyanto, Hami Koesno. Buku
Panduan Praktis Pelayanan Kontrasepsi KKB Edisi Ketiga. Jakarta: PT Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2014. PK64-PK68.
8. EngenderHealth. From Minilaparotomy for Female Sterilization; An Illustrated
Gide for Service Provider: Occluding the fallopian Tubes; 2003.
9. Rajesh Varma, Janesh K. Gupta. Failed Srerilisation: Evidence Based Review
and Medico-legal Ramifications. Birmingham: BJOG an International
Journal of Obstetric and Gynaecology;2004. Vol. 111 Page 1322-1332.
10. Elizabeth O. Schmidth, Justin T. Diedrich, david L. Eisenberg. Surgical
Procedures for Tubal Sterilization. USA: FIGO; 2014.
11. Cihangir Mutlu Ercan, et al. Recurrent Intrauterine Pregnancy Due to Tubal
Recanalization after Tubal Sterilization by Pomeroy Technique. Turki:
Eastern Journal of Medicine; 2013 page 195-197.

26

Anda mungkin juga menyukai