UTS Individu (AWI) Punya Uty
UTS Individu (AWI) Punya Uty
16/399435/SP/27568
Politik Pemerintahan
Ya, saya tertarik dengan AWI selain karena memang terlihat semakin banyak jumlah
anak jalanan, AWI yang mempunyai fokus isu anak-anak ini ternyata hadir sebagai NGO
yang salah satu programnya yakni mewujudkan kampung ramah untuk anak-anak. Kelahiran
AWI merupakan wujud konkret dari keresahan beberapa orang akan krisis moneter 1998
yang terjadi di Indonesia. Meningkatnya jumlah anak jalanan merupakan implikasi dari
adanya PHK besar-besaran kala itu, mau tak mau anakpun ikut membantu orangtua nya
dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Penggalian data lebih lanjut kami lakukan dengan wawancara mendalam dengan
Direktur AWI yakni Bapak Hambar Riyadi. Ya, hanya itu yang bisa kami lakukan. Vakum
nya AWI ini membuat semua program berhenti sementara sehingga kamipun hanya bisa
berdiskusi dengan beliau di tempat tinggalnya.......... Namun sebelumnya, beliau
menyampaikan bahwa sejak 2017 lalu, AWI sedang Vakum dari berbagai kegiatannya
sehingga sejauh ini kami hanya bisa mewawancarai beliau. Dalam kesempatan tersebut Pak
Hambar menjelaskan bahwa Vakum nya AWI ini karena berhentinya donor yang selama ini
diberikan oleh lembga donor asal Belanda. Sejak mendapatkan penghargaan sebagai
Organisasi Muda terbaik pada 2001 di Belanda, AWI memang mendapatkan pendonor tetap
dari Belanda.
Tujuannya Kampung Ramah Anak yakni untuk mengembangkan potensi, minat dan
bakat serta meningkatkan kembali semangat anak-anak dalam mencapai cita-cita mereka.
Secara tidak langsung, visi tersebut dapat mengurangi jumlah anak jalanan karena dalam
perjalanannya pun AWI memberikan edukasi pada anak-anak dan warga sekitar tentang
pentinnya pendidikan. Media yang digunakan adalah berbagai jenis seni. Mulai dari
pantomim, teater, lukisan, kerajinan tangan, permainan tradisional dsb. Menurut Bapak
Hambar selaku Direktur AWI, seni mrupakan media paling aman dan menyenangkan dalam
mengedukasi warga kampung dengan segala kultur didalamnya. Terlebih, mereka jauh lebih
tertarik dan lebih mudah memahami sehingga partisipasi warga pun tinggi dalam setiap
kegiatan yang diselenggarakan AWI.
Pada sesi terakhir diskusi, Pak Hambar mengajak kami untuk bersama mendengarkan
musik ciptaannya dan anak-anak dampingannya. Tak hanya itu, bahkan beliau memberikan
contoh buku mewarnai dan kumpulan hasil karya serta dokumentasi kegiatan AWI bersama
anak-anak dampingannya di Kampung Ramah Anak. Barang-barang tersebut diberikan pada
salah satu teman kami Ryani, yang merupakan agian dari pendiri “Taman Inspirasi”
komunitas yang bergerak dibidang pendidikan untuk anak-anak Kalicode.
Diskusi yang berlangsung kurang lebih selama 2 jam ini, memberikan saya pelajaran
bahwa untuk mencapai sebuah impian yang tinggi-- tidak perlu melakukannya dengan upaya
yang “ndakik-ndakik” atau dengan cara yang berlebihan. Cukup mulai dengan niat dan
tindakan yang tulus untuk melakukan hal kecil agar tercapai perubahan besar sehingga kita
dapat menebar kebermanfaatan bersama. Hal selanjutnya adalah ketika kita berniat untuk
melakukan pemberdayaan masyarakat, khususnya dalam konteks AWI dengan anak-anak
dampingannya melalui Kampung Ramah Anak ini yakni perlu adanya visi misi yang jelas.
Meski berangkat dari kegelisahan, namun tetap harus memiliki tujuan.
Beberapa hal yang menurut saya sudah berjalan dengan baik yakni dalam AWI
memulai segala kegiatannya dengan memulainya dengan menyesuaikan kondisi sosial
masyarakat kampung dengan segala kulturnya, sehingga perlahan dapat diterima dan mendaat
dukungan oleh warga sekitar. Ya, sejak awal berdiri AWI tidak “saklek” pada aturan,
kegiatan dan program namun dalam perjalanannya AWI membuat kesepakatan dengan
pengurus dan warga karena sekali lagi, sudut pandang AWI harus bisa disinkronkan dengan
kultur yang ada di kampung, sesuai kondisi sosial masyarakatnya.
Selanjutnya, meski suntikan dana dari lembaga donor telah berhenti sejak 2015 lalu,
AWI tetap bertahan hingga 2017 dengan lokal sponsor. Sejak 2017 hingga hari inipun AWI
benar-benar Vakuum dengan segala kegiatannya. Namun hal yang membuat saya kagum
yakni semangat Pak Hambar dan beberapa pengurus lain tak sedikitpun pudar karena dengan
adanya hambatan ini. Beliau sesekali melakukan kontrol terhadap kampung dampingannya.
Bahkan Pak hambar sempat membiayai beberapa anak untuk sekolah hingga akhirnya mereka
lulus dan bekerja. Hal tersebut merupakan kebanggaan dan kebahagiaan tersendiri bagi Pak
Hambar. Beberapa pengurus AWI pun melakukan hal yang saa, dengan kadar berbeda.
Seperti yang telah saya bahas sebelumnya bahwa AWI tidak lagi mendapat suntikan
dari lembaga donor Belanda. Hal tersebut menjadi habatan tersendiri hingga pada 2017 lalu
AWI benar-benar Vakuum dari segala kegiatannya. Untuk kedepannya, mungkin AWI dapat
memperbaiki serta meningkatkan manajemen keuangan AWI sendiri sehingga dana yang
diiliki dapat dialokasikan dengan baik untuk setiap kegiatannya. Tak hanya itu, AWI
mungkin dapat juga bekerja sama dengan pemerintah, lembaga donor lain, Enterpreneur
muda yang juga tertarik dengan isu pendidikan dan anak, aktivis mahasiswa atau bahkan
dengan sesama LSM dengan isu yang sama atau yang sekiranya dapat menunjang kegiatan
dan program AWI agar terus berjalan dan tujuan tercapai.
Apa makna dari semua hal yang dilakukan dan dipelajari dalam konteks
pemberdayaan masyarakat secara lebih luas? (BUKU INSIST)
Awalnya, AWI melakukan pemberdayaan dengan apa yang disebut sebagai Kampung
Ramah Anak selama 3tahun dimana tahun pertama mereka melakukan berbagai kegiatan
pemberdayaan, tahun kedua penduduk setempat sudah mulai mandiri dengan menghasilkan
berbagai kerajinan dan seni, nah pada tahun ketigalah kampung sudah benar-benar mandiri
bahkan dapat menghasilkan pundi-pundi rupiah sendiri. Disini, kampung dampingan akan
dilepas oleh AWI namun tetap sesekali melakukan kontrol. Seiring berjalannya waktu,
karena berbagai faktor, 3tahun dirasa kurang efisien hingga akhirnya pendampingan berjalan
selama 6bulan. Bahkan setelah 6bulan tersebut, tak jarang kampung yang dulu turut menjadi
kampung partner dalam melakukan pendampingan di lain tempat.
Demikianlah refleksi saya dari hasil wawancara dan diskusi kelompok kami bersama
Bapak Hambar Ryadi selaku Direktur AWI beberapa minggu lalu. Hal yang pelu
digarisbawahi dan menjadi pelajaran adalah meski kini AWI sedang mengalami masa
Vakuum, namun semangat Bapak Hambar dan beberapa pengurus lain tidak padam.
Berhentinya suntikan dana dari lembaga donor memang menjadi masalah tersendiri, namun
bukan menjadikan halangan untuk terus menebar kebermanfaatan. AWI berdiri bukan dengan
semangat rehabilitasi namun semangat untuk mendampingi anak-anak di kampung untuk
mengembangkan potensi menggunakan media seni. Meski dengan cara-cara sederhana,
nyatanya AWI berhasil menghadirkan perubahan besar pada kampung-kampung
dampingannya. AWI hadir sebagai upaya preventif agar anak tak menjadi anak jalanan.
Mereka tak peduli anak-anak dilahirkan oleh siapa tapi fokus pada anak-anak ingin menjadi
apa, dengan berbagai upaya bagaimana mewujudkannya.