Anda di halaman 1dari 6

Tri Uji Farchati

16/399435/SP/27568
Politik Pemerintahan

Tugas Mata Kuliah Manajemen Pemberdayaan Sosial (Individu)


Refleksi Kuliah Lapangan NGO ; “AWI” - Anak Wayang Indonesia

Perjalanan dalam Memilih NGO AWI


AWI merupakan NGO yang saya dan kelompok saya pilih sebagai objek mini riset.
Awalnya, sempat terjadi perdebatan diantara 2 pilihan antara AWI atau PKBI. Saya termasuk
satu dari beberapa teman yang memilih PKBI. Sampai pada akhirnya salah satu diantara kami
meminta untuk seluruh kelompok anggota membaca lebih lanjut terkait informasi dasar dari
AWI & PKBI dari website maupun berita terkait. 10 menit kemudian, kamipun kembali
berdiskusi hingga terjadi kesepakatan terpilihlah AWI karena saya dan beberapa teman yang
semula memilih PKBI akhirnya lebih merujuk ke AWI.

Ya, saya tertarik dengan AWI selain karena memang terlihat semakin banyak jumlah
anak jalanan, AWI yang mempunyai fokus isu anak-anak ini ternyata hadir sebagai NGO
yang salah satu programnya yakni mewujudkan kampung ramah untuk anak-anak. Kelahiran
AWI merupakan wujud konkret dari keresahan beberapa orang akan krisis moneter 1998
yang terjadi di Indonesia. Meningkatnya jumlah anak jalanan merupakan implikasi dari
adanya PHK besar-besaran kala itu, mau tak mau anakpun ikut membantu orangtua nya
dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari.

AWI Berada pada Masa “Vakuum”

Penggalian data lebih lanjut kami lakukan dengan wawancara mendalam dengan
Direktur AWI yakni Bapak Hambar Riyadi. Ya, hanya itu yang bisa kami lakukan. Vakum
nya AWI ini membuat semua program berhenti sementara sehingga kamipun hanya bisa
berdiskusi dengan beliau di tempat tinggalnya.......... Namun sebelumnya, beliau
menyampaikan bahwa sejak 2017 lalu, AWI sedang Vakum dari berbagai kegiatannya
sehingga sejauh ini kami hanya bisa mewawancarai beliau. Dalam kesempatan tersebut Pak
Hambar menjelaskan bahwa Vakum nya AWI ini karena berhentinya donor yang selama ini
diberikan oleh lembga donor asal Belanda. Sejak mendapatkan penghargaan sebagai
Organisasi Muda terbaik pada 2001 di Belanda, AWI memang mendapatkan pendonor tetap
dari Belanda.

Tujuannya Kampung Ramah Anak yakni untuk mengembangkan potensi, minat dan
bakat serta meningkatkan kembali semangat anak-anak dalam mencapai cita-cita mereka.
Secara tidak langsung, visi tersebut dapat mengurangi jumlah anak jalanan karena dalam
perjalanannya pun AWI memberikan edukasi pada anak-anak dan warga sekitar tentang
pentinnya pendidikan. Media yang digunakan adalah berbagai jenis seni. Mulai dari
pantomim, teater, lukisan, kerajinan tangan, permainan tradisional dsb. Menurut Bapak
Hambar selaku Direktur AWI, seni mrupakan media paling aman dan menyenangkan dalam
mengedukasi warga kampung dengan segala kultur didalamnya. Terlebih, mereka jauh lebih
tertarik dan lebih mudah memahami sehingga partisipasi warga pun tinggi dalam setiap
kegiatan yang diselenggarakan AWI.

Pada sesi terakhir diskusi, Pak Hambar mengajak kami untuk bersama mendengarkan
musik ciptaannya dan anak-anak dampingannya. Tak hanya itu, bahkan beliau memberikan
contoh buku mewarnai dan kumpulan hasil karya serta dokumentasi kegiatan AWI bersama
anak-anak dampingannya di Kampung Ramah Anak. Barang-barang tersebut diberikan pada
salah satu teman kami Ryani, yang merupakan agian dari pendiri “Taman Inspirasi”
komunitas yang bergerak dibidang pendidikan untuk anak-anak Kalicode.

Pelajaran yang Saya Petik Selama Diskusi & Sharing

Diskusi yang berlangsung kurang lebih selama 2 jam ini, memberikan saya pelajaran
bahwa untuk mencapai sebuah impian yang tinggi-- tidak perlu melakukannya dengan upaya
yang “ndakik-ndakik” atau dengan cara yang berlebihan. Cukup mulai dengan niat dan
tindakan yang tulus untuk melakukan hal kecil agar tercapai perubahan besar sehingga kita
dapat menebar kebermanfaatan bersama. Hal selanjutnya adalah ketika kita berniat untuk
melakukan pemberdayaan masyarakat, khususnya dalam konteks AWI dengan anak-anak
dampingannya melalui Kampung Ramah Anak ini yakni perlu adanya visi misi yang jelas.
Meski berangkat dari kegelisahan, namun tetap harus memiliki tujuan.

Hal yang Sudah Berjalan dengan Baik

Beberapa hal yang menurut saya sudah berjalan dengan baik yakni dalam AWI
memulai segala kegiatannya dengan memulainya dengan menyesuaikan kondisi sosial
masyarakat kampung dengan segala kulturnya, sehingga perlahan dapat diterima dan mendaat
dukungan oleh warga sekitar. Ya, sejak awal berdiri AWI tidak “saklek” pada aturan,
kegiatan dan program namun dalam perjalanannya AWI membuat kesepakatan dengan
pengurus dan warga karena sekali lagi, sudut pandang AWI harus bisa disinkronkan dengan
kultur yang ada di kampung, sesuai kondisi sosial masyarakatnya.

Selanjutnya, meski suntikan dana dari lembaga donor telah berhenti sejak 2015 lalu,
AWI tetap bertahan hingga 2017 dengan lokal sponsor. Sejak 2017 hingga hari inipun AWI
benar-benar Vakuum dengan segala kegiatannya. Namun hal yang membuat saya kagum
yakni semangat Pak Hambar dan beberapa pengurus lain tak sedikitpun pudar karena dengan
adanya hambatan ini. Beliau sesekali melakukan kontrol terhadap kampung dampingannya.
Bahkan Pak hambar sempat membiayai beberapa anak untuk sekolah hingga akhirnya mereka
lulus dan bekerja. Hal tersebut merupakan kebanggaan dan kebahagiaan tersendiri bagi Pak
Hambar. Beberapa pengurus AWI pun melakukan hal yang saa, dengan kadar berbeda.

Hal yang Masih Perlu Ditingkatkan

Seperti yang telah saya bahas sebelumnya bahwa AWI tidak lagi mendapat suntikan
dari lembaga donor Belanda. Hal tersebut menjadi habatan tersendiri hingga pada 2017 lalu
AWI benar-benar Vakuum dari segala kegiatannya. Untuk kedepannya, mungkin AWI dapat
memperbaiki serta meningkatkan manajemen keuangan AWI sendiri sehingga dana yang
diiliki dapat dialokasikan dengan baik untuk setiap kegiatannya. Tak hanya itu, AWI
mungkin dapat juga bekerja sama dengan pemerintah, lembaga donor lain, Enterpreneur
muda yang juga tertarik dengan isu pendidikan dan anak, aktivis mahasiswa atau bahkan
dengan sesama LSM dengan isu yang sama atau yang sekiranya dapat menunjang kegiatan
dan program AWI agar terus berjalan dan tujuan tercapai.

Mengapa hal tersebut penting untuk direfleksikan?


Pendekatan pada pemberdayaan terbagi menjadi 2, yakni Problem Based Approach
dan Asset Based Approach. Sejauh ini, yang saya pahami terkait pendekatan berbasis masalah
tidak memandang potensi yang dimiliki komunitas yang akan dilaksanakan pemberdayaan
tersebut, namun hanya melihat permasalahan yang terjadi. Pendekatan ini mungkin dapat
dikaitkan dengan Community Development karena datang dengan berbagai program dan
kegiatan yang harus berjalan sekaligus dijadikan sebagai indikator keberhasilan.
Berbeda dengan sebelumnya, pendekatan aset bukan bertujuan untuk
menyelesaikan masalah yang ada, tapi mengembangkan potensi dengan cara menggali
bersama. Pendekatan aset meyakini bahwa mereka memiliki kapasitas kompeten dan potensi.
Dari pemaparan terkait AWI pada diskusi lalu, AWI memang berangkat dari keresahanan
masalah meningkatnya jumlah anak jalanan akibat krisis moneter 1998. Namun dalam
memilih kampung yang akan didampingi, AWI lebih melihat dan memilih kampung dengan
potensi yang dapat digali dan dikembangkan bersama, bukan semata melihat masalah yang
terjadi. Jadi menurut saya, AWI menggunakan Asset Based Approach.

Selanjutnya, pendekatan aset ini berkaitan dengan Community Organizing. Ya, CO


datang bukan untuk menggurui tapi menggali potensi yg ingin dikembangkan. Hal yang ingin
saya tekankan disini adalah ketika ingin melakukan pemberdayaan pada kelompok marginal/
kampung/desa, tak harus semata-mata berangkat dari masalah. Dengan memiliki tujuan awal
untuk menyelesaikan masalah, secara tidak langsung dapat menjadi bom waktu ketika
ternyata masalah tidak dapat terselesaikan. Warga setempat bisa saja menuntut dan terus
memaksa agar masalah mereka bisa terselesaikan karena menganggap bahwa kelompok yang
melakukan pemberdayaan tersebut sebagai “penyelesai masalah”. Berbeda dengan CO yang
sejak awal mengklaim dirinya dan hadir sebagai dan “pengorganisir” dan “partner warga”
setempat dalam mengembangkan potensi dan mngkin dalam jangka waktu tertentu dapat juga
menyelesaikan masalah yang terjadi. CO dapat dikatakan berhasil ketika warga setempat
telah mandiri serta dapat mengorganisir dirinya sendiri.

Apa makna dari semua hal yang dilakukan dan dipelajari dalam konteks
pemberdayaan masyarakat secara lebih luas? (BUKU INSIST)

Pemberdayaan masyarakat sejatinya terdiri dari 2 jenis, yakni Community


Development dan Community Organizing yang selanjutnya akan disingkat menjadi CD CO.
Dari pembelajaran yang sudah saya dapatkan selama dikelas, CD CO memiliki banyak
pebedaan baik sudut pandang maupun pendekatannya. CD melakkan pemberdayaan knamun
sudah membawa sejumlah pengetahuan dn program-program. Ya, CD bekerja secara
profesional dan formal. Program tersebutlah yang kemudian diterapkan dan diintervensi pada
masyarakat. Untuk tolok ukur keberhasilan sendiri, CD menggunakan program tersebut
dimana pemberdayaan mereka dinilai berhasil apabila program yang diintervensi oleh CD
dapat dilaksanakan dengan baik dan efektif oleh masyarakat setempat.
Berbeda dengan CD, CO hadir sebagai komunitas yang melakukan pemberdayaan
dengan membawa sedikit pengetahuan dan mengklaim diri sebagai fasilitator saja. Tolak ukur
keberhasilan yakni ketika masyarakat telah dapat mengorganisir dirinya sendiri sehingga
kemandirian dapat tercapai. Dalam perjalanannya, terlihat bahwa AWI bergerak sebagai
Community Organizing. CO hadir sebagai komunitas yang melakukan pemberdayaan pada
sekelompok masyarakat marginal- dengan cara ikut menjadi bagian didalamnya, dengan
menggunakan pendekatan eksklusi. Dalam melakukan pemberdayaan sendiri, CO tidak
memiliki skema kerja dan target khusus, yang ada hanyalah tujuan mengembangkan potensi
agar masyarakat memiliki kehidupan yang lebih baik.

Awalnya, AWI melakukan pemberdayaan dengan apa yang disebut sebagai Kampung
Ramah Anak selama 3tahun dimana tahun pertama mereka melakukan berbagai kegiatan
pemberdayaan, tahun kedua penduduk setempat sudah mulai mandiri dengan menghasilkan
berbagai kerajinan dan seni, nah pada tahun ketigalah kampung sudah benar-benar mandiri
bahkan dapat menghasilkan pundi-pundi rupiah sendiri. Disini, kampung dampingan akan
dilepas oleh AWI namun tetap sesekali melakukan kontrol. Seiring berjalannya waktu,
karena berbagai faktor, 3tahun dirasa kurang efisien hingga akhirnya pendampingan berjalan
selama 6bulan. Bahkan setelah 6bulan tersebut, tak jarang kampung yang dulu turut menjadi
kampung partner dalam melakukan pendampingan di lain tempat.

Pemberdayaan memiliki 2 prinsip kunci, yakni partisipatif dan akuntabilitas. Setiap


individu dalam kelompok yang melakukan pemberdayaan harus berpartisisipasi penuh waktu
tanpa syarat. Meski terdengar mudah, namun hal ini cukup sulit untuk dilakukan. Padahal
partisipasi penuh tanpa syarat merupakan salah satu pondasi penting dalam keberhasilan
pelaksanaan pemberdayaan. Kedua, akuntabilitas. Ya, akuntabilitas dalam konteks ini
mencakup akuntabilitas ke atas yaitu lembaga donor, dan akuntabilitas kebawah pada
masyarakat. Keduanya harus dilakukan secara berkala dan seimbang agar kepercayaan
pendonor sebagai Funding dalam kegiatan dan masyarakat yang menjadi partner dalam
pemberdayaan dapat tetap terjaga.

Demikianlah refleksi saya dari hasil wawancara dan diskusi kelompok kami bersama
Bapak Hambar Ryadi selaku Direktur AWI beberapa minggu lalu. Hal yang pelu
digarisbawahi dan menjadi pelajaran adalah meski kini AWI sedang mengalami masa
Vakuum, namun semangat Bapak Hambar dan beberapa pengurus lain tidak padam.
Berhentinya suntikan dana dari lembaga donor memang menjadi masalah tersendiri, namun
bukan menjadikan halangan untuk terus menebar kebermanfaatan. AWI berdiri bukan dengan
semangat rehabilitasi namun semangat untuk mendampingi anak-anak di kampung untuk
mengembangkan potensi menggunakan media seni. Meski dengan cara-cara sederhana,
nyatanya AWI berhasil menghadirkan perubahan besar pada kampung-kampung
dampingannya. AWI hadir sebagai upaya preventif agar anak tak menjadi anak jalanan.
Mereka tak peduli anak-anak dilahirkan oleh siapa tapi fokus pada anak-anak ingin menjadi
apa, dengan berbagai upaya bagaimana mewujudkannya.

Anda mungkin juga menyukai