Anda di halaman 1dari 12

Definisi

Perdarahan subaraknoid adalah perdarahan dalam rongga antara otak dan selaput otak
(ruang subaraknoid). Penyakit ini merupakan suatu keadaan darurat neurologis, dengan
mortalitas keseluruhan hingga 50%. Pasien dapat mengalami kekakuan leher, mual / muntah,
dan penurunan tingkat kesadaran. Sekitar 80% perdarahan subaraknoid adalah nontraumatik
dan paling sering disebabkan oleh ruptur aneurisma. (Schmutzhard E. Subarachnoid hemorrhage
(SAH): how do we treat delayed ischemic neruological deficit (DIND). 4rd Congress of the European
Academy of Neurology. 2018;)

Epidemiologi
Variasi yang cukup besar dalam kejadian tahunan SAH pada berbagai wilayah di
dunia. WHO menemukan variasi 10 kali lipat kejadian SAH pada pasien di negara-negara di
Eropa dan Asia, dari 2,0 kasus per 100.000 penduduk di Cina menjadi 22,5 kasus per 100.000
di Finlandia. Hal ini kemudian didukung insiden tinggi SAH di Finlandia dan Jepang,
kejadian rendah di Amerika Selatan dan Tengah, dan kejadian intermediet 9,1 per 100.000
penduduk di daerah lain.

Kejadian SAH meningkat dengan usia dan rata-rata pada orang dewasa usia 50 tahun. SAH
relatif jarang terjadi pada anak-anak. Mayoritas studi juga menunjukkan insiden SAH lebih
tinggi pada wanita dibandingkan pada pria. Data menunjukkan bahwa kejadian pada wanita
1.24 kali lebih tinggi dibandingkan dengan pria. Bukti pengaruh usia jenis kelamin pada
insiden SAH telah muncul dari data penelitian yang dikumpulkan, dengan insiden yang lebih
tinggi dilaporkan pada pria yang lebih muda (25 - 45 tahun), wanita berusia antara 55 dan 85
tahun, dan pria 85 tahun. Kejadian SAH juga berpengaruh pada ras dan etnisitas, orang kulit
hitam dan Hispanik memiliki insiden SAH lebih tinggi daripada orang kulit putih. (Connolly E,
Rabinstein A, Carhuapoma J, Derdeyn C, Dion J, Higashida R et al. Guidelines for the Management of
Aneurysmal Subarachnoid Hemorrhage. Stroke. 2012;43(6):1711-1737. )

Patofisiologi
Aneurisma merupakan lesi yang berhubungan dengan tekanan hemodinamik pada
dinding arteri pada titik bifurkasi. Aneurisma sakular atau berry spesifik untuk arteri
intrakranial karena dindingnya tidak memiliki lamina elastis eksternal dan mengandung
adventitia yang sangat tipis. Hal ini merupakan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
pembentukan aneurisma. (Hayman A, Pagani J, Kirkpatrick J, Hinck V. Pathophysiology of Acute
Intracerebral and Subarachnoid Hemorrhage:. American Society of Neuroradiology. 2019;.
85% dari spontan SAH dihasilkan dari rupture aneurisma yang muncul pada
pembuluh darah di pangkal otak. Pembuluh-pembuluh darah ini merupakan Circle of Willis.
Lingkaran Willis terdiri dari bagian anterior dan posterior. Bagian anterior terdiri dari arteri
serebral anterior berpasangan, bergabung dengan arteri communicating anterior, dan arteri
karotis interna berpasangan. 85% aneurisma yang pecah timbul dari bagian anterior Circle of
Willis. 15% dari aneurisma yang pecah timbul dari bagian posterior Circle of Willis, yang
terdiri dari arteri communicating posterior dan arteri serebral posterior berpasangan yang
berasal dari ujung bifurkasi arteri basilar. (Hayman A, Pagani J, Kirkpatrick J, Hinck V.
Pathophysiology of Acute Intracerebral and Subarachnoid Hemorrhage:. American Society of
Neuroradiology. 2019;.
Prekursor awal aneurisma adalah outpouching kecil melalui defek pada media arteri.
Defek ini diperkirakan meluas karena adanya tekanan hidrostatik dari aliran darah pulsatil
dan turbulensi darah, yang paling besar terjadi pada bifurkasi arteri. Aneurisma yang matang
memiliki media yang sedikit, digantikan oleh jaringan ikat, dan lamina elastis berkurang atau
tidak ada.
Probabilitas pecah berkaitan dengan ketegangan pada dinding aneurisma. Hukum La
Place menyatakan bahwa tegangan ditentukan oleh radius aneurisma dan gradien tekanan
yang melintasi dinding aneurisma. Dengan demikian, tingkat terjadinya ruptur berhubungan
langsung dengan ukuran aneurisma. Aneurisma dengan diameter lebih besar dari 10 mm lima
kali lebih besar kemungkinan pecah daripada yang lebih kecil. Risiko ruptur tahunan untuk
aneurisma <10 mm adalah 0,7%. Cedera otak akibat pembentukan aneurisma serebral dapat
terjadi jika tidak ada ruptur. Kekuatan penekanan dapat menyebabkan cedera pada jaringan
lokal dan mengganggu suplai darah distal. Ketika aneurisma pecah, ekstravasasi darah di
bawah tekanan arteri ke ruang subarachnoid dan dengan cepat menyebar melalui cairan
serebrospinal di sekitar otak dan sumsum tulang belakang. Darah yang dilepaskan di bawah
tekanan tinggi dapat secara langsung menyebabkan kerusakan pada jaringan lokal.
Extravasasi darah menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial (ICP). (Lemonick D.
Subarachnoid Hemorrhage: State of the Art(ery). American Journal of Clinical Medicine. 2010;7(2)
Beberapa faktor telah dikaitkan dengan risiko yang lebih tinggi untuk aneurismal
SAH. Risiko-risiko ini termasuk riwayat keluarga aneurisma intrakranial, penyakit jaringan
ikat, hipertensi, merokok, aterosklerosis, kontrasepsi oral, usia yang lebih tua, etnis Afrika-
Amerika dan Jepang, jenis kelamin wanita, penyakit ginjal polikistik, dan minum alkohol
berat. Terdapat peningkatan risiko SAH tiga hingga tujuh kali lipat pada kerabat tingkat
pertama pasien dengan SAH. Afrika-Amerika memiliki risiko 2,1: 1 dibandingkan dengan
Kaukasia, sedangkan jenis kelamin perempuan ditemukan memiliki risiko 1,6: 1
dibandingkan dengan jenis kelamin pria.
Dua skala yang banyak digunakan untuk menilai keparahan SAH yaitu skala Hunt and
Hess dan World Federation of Neurological Surgeons Scales. Pada kedua skala, terdapat
korelasi antara skor yang lebih tinggi dengan hasil yang lebih buruk. Informasi ini termasuk
ukuran dan lokasi aneurisma dan kondisi keseluruhan pasien. (Lemonick D. Subarachnoid
Hemorrhage: State of the Art(ery). American Journal of Clinical Medicine. 2010;7(2)
Tabel 1. Hunt and Hess Severity Scale
Tingkat Kriteria
1 Asimptomatik, sakit kepala ringan
2 sakit kepala sedang hingga berat, kekakuan nuchal, tidak ada defisit fokal
selain kelumpuhan saraf kranial
3 Perubahan status mental ringan, deficit neurologi fokal ringagn
4 Stupor atau hemiparesis sedang hingga berat
5 Comatose atau rigiditas deserebrasi

Tabel 2. World Federation of Neurosurgical Surgeon


Tingkat Glasgow Coma Scale Defisit Neurologis Fokal
1 15 Tidak ada
2 13-14 Tidak ada
3 13-14 Ada
4 7-12 Tidak ada atau ada
5 3-6 Tidak ada atau ada

Tatalaksana
Tatalaksana Awal SAH
Tatalaksana awal pada pasien yang terdiagnosis SAH yaitu manajemen jalan napas,
analgesia yang memadai, pemantauan kardiopulmoner dan neurologis, kontrol tekanan darah,
antiemetik, dan sedasi, kapan pun dianggap perlu. Intubasi dilakukan untuk perlindungan
jalan napas, oksigenasi dan / atau ventilasi. Elevasi head of bed hingga 30 dapat menurunkan
ICP yang tinggi. Analgesia diberikan untuk pasien dengan sakit kepala berat. Analgesia yang
diberikan merupakan analgesia dosis kecil, short-acting dan reversible. Pemantauan jantung
yang berkelanjutan sangat penting untuk mengevaluasi disritmia. Evaluasi status neurologis
terus menerus dan teratur, termasuk ukuran pupil dan reaktivitas dan fungsi motorik
diperlukan. Pemberian cairan IV menargetkan euvolemia, glukosa normal, dan elektrolit.
Kontrol tekanan darah mungkin diperlukan. American Stroke Association’s 2012 guidelines
merekomendasikan untuk mempertahankan SBP awal kurang dari 160 mm Hg. Tekanan
perfusi otak (CPP = MAP-ICP) harus dijaga pada> 60 mm Hg. Penempatan kateter arteri
harus dilakukan segera setelah pemantauan tekanan darah terus menerus dianggap perlu.
(Lemonick D. Subarachnoid Hemorrhage: State of the Art(ery). American Journal of Clinical Medicine.
2010;7(2)

Metode Bedah dan Endovaskular untuk Pengobatan Ruptur Aneurisma Serebral


Microsurgical clip obliteration dari aneurisma intracranial merupakan modalitas
utama pengobatan sebelum tahun 1991. Dengan adanya kemajuan dalam pendekatan bedah
mikro dan endovascular, algoritma untuk menentukan populasi pasien yang tepat dengan
karakteristik aneurysmal untuk setiap perawatan terus menjalani perbaikan. (Connolly E,
Rabinstein A, Carhuapoma J, Derdeyn C, Dion J, Higashida R et al. Guidelines for the Management of
Aneurysmal Subarachnoid Hemorrhage. Stroke. 2012;43(6):1711-1737. )

Manajemen Anestesi Selama Operasi dan Perawatan Endovaskular


Tujuan umum manajemen anestesi melibatkan hemodinamik kontrol untuk
meminimalkan risiko re-rupture aneurisma dan strategi untuk melindungi otak terhadap
cedera iskemik. Meskipun induksi hipotensi telah digunakan terdahulu untuk mencegah
pecahnya aneurisma, data menunjukkan bahwa masih mungkin ada potensi bahaya dengan
peningkatan risiko dini defisit neurologis. Pada pasien yang menjalani operasi aneurisma
serebral, intraoperatif hiperglikemia telah dikaitkan dengan penurunan fungsi kognitif jangka
panjang dan fungsi neurologis. Hubungan ini terlihat pada tingkat hiperglikemia secara
umum yang ditemui dalam praktik, dengan peningkatan risiko perubahan pada kognisi
dengan konsentrasi glukosa > 129 mg/dL dan defisit neurologis dengan konsentrasi glukosa >
152 mg/dL. Telah banyak agen farmakologis yang digunakan untuk perlindungan otak selama
operasi aneurisma otak tetapi tidak ada yang memberikan hasil yang baik.
Hipotermia sistemik telah digunakan dalam beberapa klinis termasuk cedera kepala,
stroke iskemik, dan circulatory arrest untuk melindungi otak terhadap cedera iskemik.
Penggunaan hipotermia selama kraniotomi untuk pengobatan ruptur aneurisma serebral telah
dievaluasi dalam multisenter uji coba acak terkontrol. Penelitian itu menunjukkan hipotermia
relatif aman tetapi tidak berhubungan dengan hasil mortalitas atau neurologis. Selain itu,
hipotermia intraoperatif tidak memiliki efek menguntungkan pada fungsi neuropsikologis
setelah SAH.
Temporary clipping sering digunakan untuk memperbaiki kondisi pembedah dan
mencegah ruptur intraoperatif selama diseksi bedah aneurisma. Dalam studi retrospektif, hasil
tidak dipengaruhi oleh oklusi vaskular sementara. Induksi hipertensi dapat dipertimbangkan
ketika durasi temporary clipping menjadi > 120 detik, tetapi nilai strategi ini belum diteliti
dalam operasi aneurisma. Pada pasien tertentu dengan giant aneurisma, hipotermia dengan
circulatory arrest di bawah sirkulasi ekstrakorporeal kardiopulmoner telah terbukti
merupakan teknik yang layak dan mungkin bermanfaat, namun hasil data masih minimal.
Transient cardiac pause yang disebabkan oleh adenosin telah digunakan untuk
mengendalikan perdarahan dari aneurisma ruptur intraoperatif atau untuk mendekompresi
aneurisma besar dan memfasilitasi klip aneurisma.
Secara umum, prinsip-prinsip anestesi yang berlaku untuk perawatan bedah terbuka
dari ruptur aneurisma serebral juga berlaku untuk perawatan endovaskular. Pilihan teknik
anestesi bervariasi tergantung pada institusi, dengan teknik yang paling umum adalah anestesi
umum. Tujuan utama dari teknik anestesi adalah menjaga pasien tidak bergerak untuk
mengoptimalkan kualitas gambar yang digunakan dalam prosedur endovascular.
Ruptur aneurisma intraprocedural selama tatalaksana endovascular dapat
memungkinkan terjadinya suatu komplikasi. Mungkin dapat terjadi peningkatan tekanan
darah secara tiba-tiba dan masif dengan atau tanpa bradikardia yang disebabkan oleh
peningkatan tekanan intrakranial. Hiperventilasi dan diuresis osmotik mungkin diperlukan
untuk mengendalikan hipertensi intrakranial. Penanganan tekanan darah secara agresif dapat
menyebabkan iskemia; Oleh karena itu, terapi antihipertensi harus disediakan untuk pasien
dengan peningkatan tekanan darah yang ekstrim.
Prosedur endovaskular berbeda dari prosedur terbuka dalam antikoagulasi dengan
heparin yang sering diberikan selama embolisasi aneurisma. Pasien yang telah menjalani
antikoagulasi memerlukan pembalikan cepat dengan protamin jika terjadi ruptur aneurisma
intraprosedural. Dengan meningkatnya penggunaan stent intravaskular, pemberian agen
antiplatelet (aspirin, clopidogrel, dan glikoprotein IIb / IIIa antagonis reseptor) selama
prosedur ini menjadi lebih umum. Dalam kasus ruptur intraprosedural, pembalikan cepat
aktivitas antiplatelet dapat dilakukan dengan transfusi trombosit. (Connolly E, Rabinstein A,
Carhuapoma J, Derdeyn C, Dion J, Higashida R et al. Guidelines for the Management of Aneurysmal
Subarachnoid Hemorrhage. Stroke. 2012;43(6):1711-1737. )
Manajemen Cerebral Vasospasm dan DCI Setelah SAH
Penyempitan (vasospasme) dari arteri serebral dapat terjadi setelah SAH, biasanya
terjadi 7 hingga 10 hari setelah pecahnya aneurisma dan sembuh secara spontan setelah 21
hari. Kaskade kejadian yang memuncak pada penyempitan arteri dimulai ketika
oksihemoglobin bersentuhan dengan sisi abluminal pembuluh darah. Jalur penyempitan arteri
telah menjadi fokus penelitian dasar yang luas, tetapi sampai saat ini belum ada terapi
pencegahan yang efektif. Penyempitan arteri besar menghasilkan gejala neurologis iskemik
pada 50% kasus dan meskipun ada korelasi antara keparahan spasme arteri besar dan iskemia
simptomatik, namun terdapat pasien dengan spasme arteri berat yang parah dan tidak
menimbulkan gejala simtomatik dan terdapat juga pasien dengan spasme yang cukup
sederhana yang tidak bergejala namun menjadi infark. Mungkin banyak faktor yang
berkontribusi pada perkembangan iskemia dan infark, termasuk tetapi kegagalan
mikrosirkulasi, anatomi kolateral yang buruk, dan variasi genetik atau fisiologis dalam
toleransi iskemik seluler.
DCI, terutama yang berhubungan dengan vasospasme arteri, tetap menjadi penyebab
utama kematian dan kecacatan pada pasien dengan SAH. Penatalaksanaan SAH-induced
vasospasm adalah kompleks. Pada SAH-induced vasospasm dan DCI berfokus pada
pencegahan dengan nimodipine oral dan maintenance euvolemia, serta pengobatan dengan
terapi triple-H (augmentasi hemodinamik) terapi dan/atau terapi endovaskular dengan
vasodilator dan balon angioplasti.
Sebuah meta-analisis menunjukkan nimodipine membuat peningkatan hasil
neurologis dengan mencegah proses selain penyempitan pembuluh besar. Nimodipine
merupakan calcium channel blocker. Tubuh secara alami merespons perdarahan dengan
mempersempit pembuluh darah untuk memperlambat aliran darah. Namun, ketika pendarahan
terdapat di otak, Penghentian aliran darah menyebabkan lebih banyak kerusakan otak. Nimodipine
bekerja pada arteri serebral sebagai relaksan otot polos dengan menghalangi saluran kalsium tipe-L,
hal ini merelaksasi pembuluh darah di otak dekat daerah perdarahan sehingga darah dapat mengalir
lebih mudah. Efek ini mengurangi kerusakan yang terjadi pada otak. Nimodipine digunakan dalam
dosis 60mg setiap 4 jam selama 21 hari. Dalam sebuat data, profilaksis angioplasti dari arteri
serebral basal dan profilaksis antiplatelet tidak efektif dalam mengurangi morbiditas.
Data menunjukkan infus trombolitik intratekal, dengan meta-analisis baru-baru ini
dari 5 uji coba terkontrol acak yang menunjukkan manfaat meskipun ada beberapa kelemahan
metodologis. Ada juga data yang muncul untuk beberapa metode baru untuk mengurangi
kejadian dan konsekuensi iskemik dari SAH-induced vasospasm. Pendekatan baru ini
didasarkan pada data eksperimental yang kuat yang menunjukkan peran penting disfungsi
endotel, khususnya pada tingkat sirkulasi mikro. Beberapa uji telah menyelidiki kegunaan
statin, antagonis endotelin-1, dan magnesium sulfat namun pengobatan ini tidak terbukti
bermanfaat secara klinis.

Pada diagnosis DCI pemeriksaan neurologis merupakan serial yang penting namun
memiliki sensitivitas terbatas pada pasien dengan tingkat klinis yang buruk. Oleh karena itu,
pendekatan diagnostik perlu disesuaikan dengan situasi klinis. Berbagai alat diagnostik
umumnya digunakan untuk mengidentifikasi penyempitan arteri dan / atau kelainan perfusi
atau berkurangnya oksigenasi otak. Perfusi imaging menunjukkan daerah hipoperfusi dan
mungkin lebih akurat untuk mengidentifikasi DCI daripada imaging anatomi penyempitan
arteri atau perubahan kecepatan aliran darah dengan transcranial Doppler. Perfusion CT
merupakan teknologi yang menjanjikan, meskipun pengukuran berulang dibatasi oleh risiko
beban pewarna dan paparan radiasi.

Ketika DCI terdiagnosis, pengobatan awal adalah induksi augmentasi hemodinamik


untuk meningkatkan perfusi otak. Pada beberapa pasien, peningkatan tekanan MAP dapat
meningkatkan aliran darah otak dalam pengaturan disfungsi autoregulatori. Pada pasien yang
lain mungkin ada beberapa efek tekanan transluminal langsung yang mengarah ke dilatasi
arteri. Augmentasi hemodinamik terdiri dari hemodilusi, hipervolemia, dan terapi hipertensi.

Salah satu metode baru augmentasi hemodinamik yang sedang diteliti adalah alat
balon aorta. Intervensi endovaskular sering digunakan pada pasien yang tidak membaik
dengan augmentasi hemodinamik dan pasien dengan defisit neurologis fokal tiba-tiba dan lesi
fokal pada angiografi. Intervensi umumnya terdiri dari balloon angioplasty untuk lesi yang
dapat diakses dan infus vasodilator untuk pembuluh darah yang lebih jauh. Vasodilator yang
biasanya digunakan adalah calcium channel blocker, tetapi donor nitric oxidejuga dapat
digunakan. Papaverine digunakan lebih jarang karena dapat menghasilkan neurotoksisitas.
Keterbatasan utama terapi vasodilator adalah durasi manfaat yang singkat. (Connolly E,
Rabinstein A, Carhuapoma J, Derdeyn C, Dion J, Higashida R et al. Guidelines for the Management of
Aneurysmal Subarachnoid Hemorrhage. Stroke. 2012;43(6):1711-1737. ) (Lemonick D. Subarachnoid
Hemorrhage: State of the Art(ery). American Journal of Clinical Medicine. 2010;7(2)

Manajemen Hidrosefalus yang berhubungan dengan SAH


Hidrosefalus dapat terjadi dalam waktu 24 jam setelah SAH, baik sebagai hasil dari
produk darah beku yang menghambat aliran CSF atau dengan penurunan penyerapan CSF
pada granulasi arachnoid. Hidrosefalus akut terjadi 15-87% pada pasien dengan SAH.
Chronic shunt-dependent hydrocephalus, terjadi 8.9-48% pada pasien dengan SAH. Faktor-
faktor yang berkorelasi dengan perkembangan hidrosefalus termasuk perdarahan
intraventrikular, pengobatan dengan agen antifibrinolitik, SAH sirkulasi posterior, GCS
rendah, riwayat hipertensi pada pasien dengan hiponatremia. Hidrosefalus akut yang
berhubungan dengan SAH biasanya ditangani dengan drainase ventrikel eksternal (EVD) atau
drainase lumbar. EVD untuk pasien dengan hidrosefalus terkait SAH umumnya berhubungan
dengan peningkatan neurologis. Risiko aneurisma berulang dengan EVD telah dipelajari
dalam 3 seri kasus retrospektif, 1 di antaranya menemukan risiko perdarahan kembali yang
lebih tinggi dengan EVD, sedangkan 2 penelitian lainnya tidak menemukan peningkatan
risiko. Drainase lumbar untuk pengobatan hidrosefalus terkait SAH telah dilaporkan aman
(tidak ada peningkatan risiko perdarahan ulang). Ketika diduga hidrosefalus obstruktif, EVD
biasanya lebih dipilih. Indikasi untuk dilakukan EVD yaitu hidrosefalus yang disebabkan
oleh perdarahan subaraknoid, meningitis dan obstruksi karena tumor; meningkatnya tekanan
intrakranial akibat pembengkakan otak (cedera kepala), dan untuk relaksasi otak selama
operasi. Data awal menunjukkan bahwa drainase lumbar berhubungan dengan penurunan
kejadian vasospasme. Lumbar puncture untuk tatalaksana hidrosefalus terkait SAH akut
merupakan pilihan yang aman, namun strategi ini hanya dinilai dalam seri retrospektif kecil.
Hidrosefalus kronis yang berhubungan dengan SAH biasanya ditatalaksana dengan
pemasangan shunt ventrikel. Hanya sebagian pasien dengan hidrosefalus akut terkait-SAH
yang mengalami hidrosefalus kronis yang bergantung pada shunt. (Connolly E, Rabinstein A,
Carhuapoma J, Derdeyn C, Dion J, Higashida R et al. Guidelines for the Management of Aneurysmal
Subarachnoid Hemorrhage. Stroke. 2012;43(6):1711-1737. ) (Lemonick D. Subarachnoid
Hemorrhage: State of the Art(ery). American Journal of Clinical Medicine. 2010;7(2)

Manajemen Kejang yang berhubungan dengan SAH


Manajemen kejang yang berhubungan dengan SAH masih controversial. Saat ini tidak
ada uji coba terkontrol secara acak yang tersedia untuk memandu tatalaksanan mengenai
profilaksis atau pengobatan kejang. Penelitian retrospektif menunjukkan insiden kejang yang
lebih rendah dari 6% menjadi 18%, dan 2 dari studi ini menemukan bahwa mayoritas pasien
tersebut melaporkan timbulnya kejang terjadi sebelum evaluasi medis. Kejang yang terlambat
terjadi pada 3% hingga 7% pasien. Studi retrospektif telah mengidentifikasi beberapa faktor
risiko terjadinya kejang yang berhubungan dengan SAH yaitu aneurisma di arteri serebral
tengah, ketebalan clot SAH, hematoma intraserebral, perdarahan berulang, infark, tingkat
neurologis yang buruk, dan riwayat hipertensi.
Model tatalaksana untuk pasien dengan rupture aneurisma juga tampaknya
mempengaruhi perkembangan kejang berikutnya. Insiden kejang secara signifikan lebih
rendah pada pasien yang diobati dengan endovascular coiling. Dua penelitian retrospektif
SAH menemukan bahwa status epileptikus nonconvulsive adalah prediktor yang sangat kuat
memberikan hasil yang buruk. Meskipun bukti untuk penggunaan antikonvulsan rutin dalam
SAH masih kurang, terapi antiepilepsi jangka pendek masih umum digunakan pada pasien
dengan SAH berdasarkan argumen bahwa kejang pada pasien dengan SAH dapat
menyebabkan cedera tambahan atau perdarahan kembali. Dalam 1 studi dimana
antikonvulsan digunakan secara rutin efek samping obat terlihat pada 23% pasien. Studi
retrospektif single-center lain menemukan bahwa penggunaan fenitoin profilaksis secara
independen terkait dengan hasil kognitif yang lebih buruk pada 3 bulan setelah SAH. Data
yang dikumpulkan dari uji coba dampak terapi lain juga menunjukkan hasil yang lebih buruk
pada mereka yang diobati dengan antikonvulsan, tetapi penggunaan antikonvulsan juga
dikaitkan dengan vasospasme, DCI, dan demam, yang menunjukkan bahwa mungkin ada bias
pada yang diobati dengan antiepilepsi. (Connolly E, Rabinstein A, Carhuapoma J, Derdeyn C, Dion
J, Higashida R et al. Guidelines for the Management of Aneurysmal Subarachnoid Hemorrhage.
Stroke. 2012;43(6):1711-1737.) (Lemonick D. Subarachnoid Hemorrhage: State of the Art(ery).
American Journal of Clinical Medicine. 2010;7(2)

Manajemen Komplikasi Medis Terkait Dengan SAH


Baik hipernatremia dan hiponatremia sering diamati pada fase akut setelah SAH.
Insiden hiponatremia yang dilaporkan pada penyakit ini berkisar antara 10% hingga 30%.
Hiponatremia secara kronologis dikaitkan dengan timbulnya vasospasme sonografi dan
klinis. Hiponatremia dapat berkembang dari mekanisme yang berbeda setelah SAH.
Syndrome cerebral salt wasting dihasilkan oleh sekresi natriuretik peptida yang berlebihan
dan menyebabkan hiponatremia dari natriuresis berlebihan, yang juga dapat memicu
kontraksi volume. Diagnosis syndrome cerebral salt wasting umum pada pasien dengan
derajat klinis yang buruk, ruptur aneurisma arteri komunikasi anterior, dan hidrosefalus, dan
mungkin merupakan faktor risiko untuk hasil yang buruk. Sebuah studi yang menggunakan
agen kristaloid atau koloid menunjukkan bahwa resusitasi volume yang agresif dapat
memperbaiki efek dari cerebral salt wasting pada risiko iskemia serebral setelah SAH. Satu
studi retrospektif telah menyarankan bahwa larutan garam 3% efektif dalam memperbaiki
hiponatremi. Selain itu, penggunaan larutan garam hipertonik meningkatkan aliran darah otak
regional, oksigen jaringan otak, dan pH pada pasien dengan SAH.
Dua percobaan telah dilakukan untuk mengevaluasi fludrokortison dalam
memperbaiki hiponatremia dan keseimbangan cairan. Satu percobaan menemukan bahwa hal
itu membantu memperbaiki keseimbangan natrium, dan yang lainnya melaporkan
berkurangnya kebutuhan cairan dan peningkatan kadar natrium menggunakan
mineralokortikoid ini. Percobaan placebo-controlled yang serupa menunjukkan pengurangan
natriuresis dan tingkat hiponatremia yang lebih rendah pada pasien SAH yang diobati dengan
hidrokortison.
Demam adalah komplikasi medis paling umum pada SAH. Demam telah dikaitkan
dengan keparahan cedera, jumlah perdarahan, dan pengembangan vasospasme, dan mungkin
merupakan tanda keadaan inflamasi sistemik yang dipicu oleh darah dan produk sampingnya.
Analisis data SAH yang dikumpulkan secara prospektif menunjukkan bahwa demam secara
independen terkait dengan hasil kognitif yang lebih buruk pada SAH.
Peningkatan konsentrasi glukosa darah berhubungan dengan hasil yang buruk setelah
cedera otak iskemik. Kontrol glukosa yang efektif setelah SAH secara signifikan dapat
mengurangi risiko buruk pada pasien. Namun kadar glukosa serum dalam kisaran normal
dapat dikaitkan dengan krisis metabolisme energi otak dan peningkatan rasio laktat-piruvat
pada pasien dengan SAH.
Anemia umum terjadi setelah SAH dan dapat mengganggu pengiriman oksigen ke
otak. Transfusi sel darah merah pada pasien anemia dengan SAH membuat peningkatan yang
signifikan dalam pengiriman oksigen otak dan pengurangan rasio ekstraksi oksigen.
Berdasarkan data prospektif pasien dengan SAH menunjukkan bahwa nilai hemoglobin yang
lebih tinggi dikaitkan dengan hasil yang lebih baik setelah SAH. Baru-baru ini, percobaan
acak prospektif telah menunjukkan keamanan dan kemungkinan menjaga tujuan hemoglobin
yang lebih tinggi pada pasien dengan SAH yang berisiko tinggi vasospasme. Tujuan
hemoglobin optimal setelah SAH belum diketahui. Dua komplikasi tambahan adalah
trombositopenia yang diinduksi heparin dan trombosis vena dalam. Pasien dengan
trombositopenia tipe II yang diinduksi heparin tampaknya memiliki tingkat komplikasi
trombotik yang lebih tinggi dan vasospasme/DCI simtomatik. (Connolly E, Rabinstein A,
Carhuapoma J, Derdeyn C, Dion J, Higashida R et al. Guidelines for the Management of Aneurysmal
Subarachnoid Hemorrhage. Stroke. 2012;43(6):1711-1737. )

Prognosis
Sepuluh hingga 15% pasien dengan SAH meninggal sebelum mencapai perawatan
medis. Angka kematian SAH di rumah sakit adalah sekitar 30%. Kematian SAH selama tiga
puluh hari mendekati 50%.

Terjadinya rebleeding setelah SAH merupakan faktor prognostik tunggal,


memberikan tingkat kematian 80% atau disabilitas serius. Faktor prognostik penting lainnya
adalah usia, komorbiditas, komplikasi perioperatif, vasospasme, tingkat kesadaran dan
tingkat klinis perdarahan pada saat presentasi, dan jumlah darah pada awal CT kepala.
Kondisi lain yang berhubungan dengan prognosis buruk adalah hiperglikemia, demam (baik
infeksi maupun non-infeksi), infark serebral dan vasospasme simtomatik, dan insufisiensi
ginjal. Disabilitas jangka panjang terjadi pada setengah dari seluruh pasien SAH termasuk
kognitif, deficit neurologis lainnya dan epilepsi. (Lemonick D. Subarachnoid Hemorrhage: State
of the Art(ery). American Journal of Clinical Medicine. 2010;7(2)

Anda mungkin juga menyukai