Anda di halaman 1dari 25

LONG CASE

EPISTAKSIS ANTERIOR

Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik


di Bagian Ilmu Penyakit THT RSUD Panembahan Senopati Bantul

Disusun oleh:

Hanum Maftukha Ahda

20174011060

Diajukan kepada:

dr. Agung Raharjo, Sp.THT- KL.

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


ILMU PENYAKIT TELINGA HIDUNG TENGGOROK
RSUD PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL
2018
LEMBAR PENGESAHAN
EPISTAKSIS ANTERIOR

Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik


di Bagian Ilmu Telinga, Hidung dan Tenggorok
RSUD Panembahan Senopati Bantul

Disusun oleh :
Hanum Maftukha Ahda

20174011060

Telah disetujui dan dipresentasikan pada tanggal 12 November 2018

Pembimbing

dr. Agung Raharjo, Sp.THT-KL.

2
BAB I
PENDAHULUAN

Hidung merupakan bagian dari saluran pernapasan atas. Udara masuk


melalui mulut dan hidung. Hidung memiliki banyak pembuluh darah yang
berfungsi sebagai termoregulasi udara yang masuk melalui hidung. Pembuluh
darah hidung yang pecah merupakan tanda adanya epistaksis (Moore & Arthur,
2013).
Epistaksis merupakan gejala dari penyakit lokal ataupun sistemik. Insidensi
secara global belum diketahui secara pasti, diperkirakan 60% dari populasi
dunia pernah mengalami epistaksis dan 6% diantaranya mencari pertolongan
medis (Suh & Garg, 2015). Pada kondisi epistaksis, penderita maupun
pemeriksa tidak jarang menjadi panic. Penanganan langkah dan alat yang tepat
dapat mengurangi kecemasan kondisi tersebut. Prinsip dari penatalaksanaan
epistaksis adalah mengidentifikasi perdarahan dan mengontrol perdarahan
(Roberts et al, 2014).

3
BAB II
STATUS PASIEN

I. IDENTITAS PASIEN
 Nama : Nn. W
 Usia : 24 tahun
 Jenis Kelamin : Perempuan
 Alamat : Bantul
 Status Pekerjaan : tidak bekerja
 Pendidikan Terakhir : SD
 Agama : Islam
 Suku : Jawa
 Bangsa : Indonesia
 Masuk Rumah Sakit : 02 November 2018
 No.RM : 45-01-95

II. ANAMNESIS
Dilakukan autoanamnesis dengan pasien tanggal 05 November 2018

Keluhan Utama
Keluar darah dari hidung kiri.

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke IGD RS Panembahan Senopati Bantul (02/11/2018)
dengan keluhan keluar darah tiba-tiba dari hidung kiri sejak sore hari SMRS.
Keluhan mual, muntah darah, pusing, riwayat trauma disangkal. Dua hari sejak
di rawat di RS pasien mulai demam dan lemas. Pasien juga mengeluhkan
kadang-kadang pagi hari dirasakan gusi berdarah. Riwayat trauma hidung,
mengorek-ngorek hidung, bersin keras disangkal. Keluhan nyeri tenggorok,
batuk, pilek disangkal.

4
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat keluhan serupa (+) sejak tahun 2014
Riwayat penyakit jantung bawaan (+)
Riwayat hipertensi disangkal
Riwayat alergi obat, makanan / minuman disangkal
Riwayat asma disangkal
Riwayat trauma disangkal
Riwayat Penyakit Dalam Keluarga
Riwayat anggota keluarga menderita keluhan yang sama disangkal
Riwayat Asma disangkal
Riwayat Hipertensi disangkal
Riwayat Diabetes melitus disangkal
Riwayat Penyakit Jantung disangkal
Riwayat Personal Sosial dan Lingkungan
Pasien sehari-hari beraktivitas di rumah.
Anamnesis sistem
 Sistem serebrospinal : demam (+), mual (-), pusing (-)
 Sistem respiratorius : sesak nafas (-), batuk (-), pilek (-),
 Sistem kardiovaskuler : sesak (-), nyeri dada (-) sianosis (-)
 Sistem gastrointestinal : tidak ada keluhan
 Sistem genitalia : tidak ada keluhan
 Sistem musculoskeletal : tidak ada keluhan
 Sistem integumentum : tidak ada keluhan

III. PEMERIKSAAN FISIK


STATUS GENERALIS

1. Keadaan umum
- Keadaan umum : Baik
- Kesadaran : Compos mentis
2. Tanda-tanda vital

5
- Suhu : 37.4 C
- Tekanan darah : 110/70 mmHg
- Nadi : 76 x/menit
- Pernafasan : 18 x/menit
- VAS Nyeri :3
3. Kepala
- Mata : Konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-)
- Hidung : simetris, deviasi septum nasi (-), nyeri tekan (+)
- Telinga : simetris, nyeri tekan aurikula (-), serumen (-/-)
- Mulut : bibir lembab, mukosa bucal lembab, tonsil T1-T1
4. Leher
- Kelenjar limfa tidak ditemukan pembesaran
5. Thorax
a. Jantung
- Inspeksi: iktus cordis tidak terlihat
- Auskultasi: bunyi jantung S1-S2 regular, murmur (+)
b. Paru-paru:
- Inspeksi: simetris saat inspirasi dan ekspirasi, retraksi substernal
intracostal dan substernal (-)
- Palpasi: vocal fremitus simetris kanan dan kiri.
- Perkusi: sonor (+/+)
- Auskultasi: vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
6. Abdomen
- Inspeksi: supel, warna kulit normal
- Auskultasi: peristaltik (+)
- Perkusi: tympani (+)
- Palpasi: nyeri tekan (-)
7. Ekstremitas
- akral hangat, nadi kuat, edema (-)

6
STATUS LOKALIS

Pars Flacid

Proc.
Brevis AD AS
malleus

Umbo

Pars Tensa

Cone of Light

1. Telinga

Bagian Telinga kanan Telinga kiri


Telinga
Aurikula Deformitas (-), hiperemis (-), Deformitas (-), hiperemis (-),
edema (-) edema (-)
Preaurikula Hiperemis (-), edema (-), nyeri Hiperemis (-), edema (-), , nyeri
tekan tragus (-) tekan tragus (-)
Retroaurikula Hiperemis (-), edema (-), nyeri Hiperemis (-), edema (-),nyeri
tekan (-) tekan (-)
Meatus Serumen (-), hiperemis (-), Serumen (-), hiperemis (-),
akustikus edema (-) edema (-)
Membran Retraksi (-), bulging (-), Retraksi (-), bulging (-), perforasi
timpani perforasi (-), cone of light (+) (-), cone of light (+) arah jam 7
arah jam 5

Kesan : Pada telinga kanan dan kiri tidak didapatkan kelainan

7
2. Hidung dan Paranasal

Concha nasi
medius

Meatus
nasi medius

Sekret
D S

Concha nasi inferior

Septum
meatusnasi nasi
inferior

Pemeriksaan hidung Kanan Kiri


1. Hidung Luar hiperemis (-), nyeri tekan (+), deformitas (-),
2. Rhinoskopi anterior
Vestibulum nasi Hiperemis (-), sekret Hiperemis (-), sekret
mukopurulen (-) mukopurulen (-)
Cavum nasi Bentuk normal, Bentuk normal, hiperemis
hiperemis (-), edema (-) (-), edema (-)
Konka nasi Edema (-), mukosa Edema (-), mukosa
hiperemis (-), hipertrofi hiperemis (-), hipertrofi (-
(-) )
Meatus nasi Mukosa hiperemis (-), Mukosa hiperemis (-),
sekret (-), massa (-), sekret (-), massa (-),
stolsel (+)
Septum nasi Licin, Deviasi (-), edema Licin, Deviasi (-),
(+) Bleeding point (+)
3. Transluminasi
Sinus frontalis Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Sinus maksilaris Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Kesan : Pada pemeriksaan hidung luar, sinus paranasalis dan pemeriksaan


rhinoskopi anterior serta transluminasi didapatkan tanda-tanda perdarahan.

4. Pemeriksaan Rhinoskopi Hasil


Posterior
Discharge
Mukosa Tidak dilakukan
Adenoid

8
Massa

3. Tenggorok
Massa (-), glandula thyroid tak teraba
Cavum oris: karies gigi (-), peradangan
ginggiva (-), mukosa mulut
dalam batas normal, papil lidah
dalam batas normal, lidah
mobile, uvula sentral tak
Dinding hiperemis, massa (-)
Belakang
Tonsila
Faring
Tonsil : T1-T1 menurut broadsky,
Palatina
hiperemis (-/-), detritus (-/-)
Arcus palatoglosus : tidak hiperemis,
protrusi asimetris (-), massa(-)
uvula
Arcus palatopharingeus : hiperemis (-),
protrusi asimetris (-), massa(-)
Faring : mukosa hiperemis (-), edema (-),
massa (-)

Kesan : Pada pemeriksaan tenggorok tidak ditemukan kelainan

Laringoskopi indirek
Tidak dilakukan.

Epiglottis P. Vestibularis

Cuneiformis Trakea

Esophagus

Plica vocalis

Corniculata

9
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan Laboratorium (02/11/2018)

Pemeriksaan Hasil Rujukan Satuan


HEMATOLOGI
Hemoglobin 9.7 12.0 - 16.0 g/dl
Lekosit 1.71 4.00 - 11.00 10^3/uL
Trombosit 42 150 - 450 10^3/uL
Hematokrit 32.4 36.0 - 46.0 vol%
Eritrosit 4.95 4.00-5.00 10^6/uL
HITUNG JENIS
Eosinofil 0 2-4 %
Basofil 1 0-1 %
Batang 0 2-5 %
Segmen 20 51-67 %
Limfosit 59 20-35 %
Monosit 20 4-8 %
HEMOSTASIS
PPT 14.2 12.0-16.0 Detik
APTT 34.9 28.0-38.0 Detik
Control PPT 14.3 11.0-16.0 Detik
Control APTT 32.4 28.0-36.5 Detik
KIMIA KLINIK
FUNGSI HATI
SGOT 21 <31 U/L
SGPT 5 <31 U/L
FUNGSI GINJAL
Ureum 46 17-43 Mg/dl

10
Creatinin 0.60 0.60-1.10 Mg/dl
03/11/2018
Masa perdarahan 3.5 1-5

Rontgen Thorax

Cardiomegali, Scoliosis thoracalis, Pulmo dbn

V. RENCANA PEMERIKSAAN PENUNJANG

- Endoskopi nasal

VI. DIAGNOSA KLINIS

- Epistaksis Anterior
- Tetralogi of Falot
- Anemia
- Pansitopenia

VII. DIFFERENTIAL DIAGNOSIS


- Epistaksis Posterior

VIII. RENCANA TERAPI


- Medikamentosa :
o Injeksi asam traneksamat 500mg/8 jam
o Injeksi Ceftriaxon 1gr/12 jam No. X selama 5 hari
o Paracetamol 500mg/8 jam No. XV selama 5 hari
- Non medikamentosa :
o Pasang tampon selama 3 hari
o Menjaga kelembapan hidung

11
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi dan Fisiologi Hidung


Hidung meliputi hidung luar dan cavitas nasi, yang dibagi menjadi
cavitas nasi kanan dan cavitas nasi kiri oleh septum nasi. Fungsi hidung adalah
olfaktori (penghidu), respirasi (pernapasan), filtrasi debu, kelembapan udara,
eliminasi sekresi dari sinus paranasalis dan ductus nasolakrimalis (Moore et
al,2013).
Hidung Luar

Hidung luar merupakan bagian yang dapat dilihat dan menonjol dari
wajah. Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan kartilago hialin yang
dilapisi kulit, jaringan ikat dan otot yang berfungsi untuk melebarkan atau
menyempitkan lubang hidung ketika otot-otot yang bekerja pada hidung
berkontraksi.

12
Hidung luar berbentuk pyramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke
bawah ; 1) pangkal hidung, 2) batang hidung (dorsum nasi), 3) puncak hidung
(tip), 4) ala nasi, 5) kolumela, 6) lubang hidung (nares anterior)
Kerangka tulang (pars ossea) terdiri dari :
- Os. Nasal
- Prosesus frontalis os maxilla
- Prosesus nasalis os frontal
Kerangka tulang rawan (pars cartilaginea) terdiri dari :
- Sepasang kartilago nasalis lateralis superior
- Sepasang kartilago nasalis lateralis inferior atau disebut kartilago alaris
- Tepi anterior kartilago septum
Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi tepat
dibelakang nares anterior disebut vestibulum. Vestibulum dilapisi oleh kulit
yang mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang
disebut vibrise. Tiap kavum nasi memiliki empat dinding yaitu medial, lateral,
inferior, dan superior. Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum nasi
membagi ruang hidung menjadi dua cavitas nasi serta memiliki pars ossea dan
pars cartilaginea hialin. Komponen septum nasi yaitu (Moore & Arthur,2013;
Soetjipto et al,2014) ;
- Lamina perpendikularis os ethmoid, yang membentuk pars superior septum
nasi turun dari lamina cribosa dan ke superior sebagai crista galli
- Vomer, yang membentuk pars posteroinferior septum nasi.
- Krista nasalis os maksila
- Krista nasalis os palatine
- Kartilago septum
- Kolumela
Cavitas Nasi
Cavitas nasi dibagi menjadi kanan dan kiri oleh septum nasi. Bagian depan
disebut nares anterior dan belakang disebut nares posterior yang
menghubungkan cavum nasi dengan nasofaring.
Batas – batas cavum nasi :

13
- Superior : lamina cribosa, os sphenoid, os frontalis
- Dasar : os. Maksila dan os palatum
- Medial : septum nasi
- Lateral : conchae nasi
Konka nasi melengkung ke inferomedial, strukturnya seperti gulungan yang
memberikan area permukaan yang luas untuk pertukaran panas. Konka terdiri
dari konka inferior, konka media, konka superior dan konka suprema. Diantara
konka tersebut terdapat rongga sempit yang disebut meatus. Berdasarkan
letaknya meatus ada tiga (3) yaitu (Soetjipto et al,2014);
- Meatus nasi inferior, terletak diantara konka inferior dengan dasar hidung
dan dinding lateral rongga hidung. Terdapat muara duktus nasolakrimalis.
- Meatus nasi media, terletak antara konka media dan dinding lateral rongga
hidung. Terdapat muara sinus frontal, sinus maksilaris, sinus etmoidalis
anterior.
- Meatus nasi superior, terletak antara konka superior dan konka media.
Terdapat muara sinus etmoid dan sinus sfenoid.

14
Vaskularisasi
- Bagian atas cavum nasi : a.ethmoidalis anterior dan posterior. Cabang
dari a.ophtalmika dari a.karotis interna
- Bagian bawah cavum nasi : a.palatina mayor –cabang dari
a.maxilarisinterna dan a.sphenopalatina yang keluar dari foramen
sphenopalatina memasuki rongga hidung dibelakang ujung posterior konka
media cabang dari a.carotis eksterna.
- Anterior nasi : cabang-cabang a.facialis
- Anterior septum : pleksus kiesselbach, anastomosis dari
cabang-cabang a.sphenopalatina, a.etmoid anterior, a.labialis superior,
a.palatina mayor. Pleksus kiesselbach letaknya superficial dan mudah
cedera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber perdarahan.

15
B. Epistaksis
Epistaksis atau disebut juga perdarahan dari hidung. Epistaksis
seringkali merupakan gejala atau manifestasi penyakit lain. (Wardani et al.,
2014).
Epistaksis seringkali timbul spontan tanpa penyebab yang jelas.
Epistaksis dapat juga disebabkan oleh kelainan lokal ataupun sistemik.
Kelainan local misalnya trauma, kelainan anatomi, kelainan pembuluh darah,
infeksi local, benda asing, tumor, pengaruh udara lingkungan. Kelainan
sistemik seperti penyakit kardiovaskuler, kelainan darah, infeksi sitemik,
perubahan tekanan atmosfir, kelainan hormonal dan kelainan kongenital.
(Wardani, 2014).

Epidemiologi

Insidensi secara global belum diketahui secara pasti, diperkirakan 60% dari
populasi dunia pernah mengalami satu kali episode epistaksis selama
hidupnya dan 6% diantara yang mencari pertolongan medis (Suh & Garg,
2015).

16
Etiologi

a) Trauma
Dapat terjadi karena trauma ringan misalnya mengorek hidung,
benturan ringan, bersin. Trauma yang lebih berat seperti kena pukul,
jatuh, atau kecelakaan lalu lintas. Dapat juga terjadi akibat benda tajam
asing atau trauma pembedahan (Wardani et al,2014).
b) Kelainan Pembuluh Darah (lokal)
Pembuluh darah lebih lebar, tipis, jaringan ikat dan sel-selnya lebih
tipis (Wardani et al,2014)
c) Infeksi Lokal
Epistaksis dapat terjadi pada infeksi hidung dan sinus paranasal
seperti rhinitis atau sinusitis. Dapat juga pada infeksi spesifik seperti rintis
jamur, tuberkulosis, lupus, sifilis atau lepra.
d) Tumor
Epistaksis dapat timbul pada hemangioma dan karsinoma. Yang lebih
sering terjadi pada angiofibroma, dapat menyebabkan epistaksis berat.
e) Penyakit Kardiovaskuler
Hipertensi dan kelainan pembuluh darah seperti pada
arteriosclerosis, nefritis kronik, sirosis hepatis, atau diabetes mellitus
dapat menyebabkan epistaksis.
f) Kelainan Darah
Kelainan darah penyebab epistaksis antara lain leukemia,
trombositopenia, bermacam-macam anemia serta hemophilia.
g) Kelainan Kongenital
Kelainan kongenital yang sering menyebabkan epistaksis ialah
telangiektasis hemoragik herediter. Juga sering terjadi pada von
willenbrand disease.
h) Infeksi Sistemik
Yang sering menyebabkan epistaksis ialah demam berdarah. Demam
tifoid, influenza dan morbili juga dapat disertai epistaksis.

17
C. Sumber Perdarahan
Melihat asal perdarahan epistaksis dibagi menjadi epistaksis anterior
dan epistaksis posterior (Wardani,2014).
a) Epistaksis anterior
Kebanyakan berasal dari pleksus kiesselbach di septum bagian
anterior atau dari arteri etmoidalis anterior. Perdarahan septum
anterior biasanya ringan karena keadaan mukosa yang hiperemis
atau kebiasaan mengorek hidung dan kebanyakan terjadi pada anak
atau usia muda, seringkali berulang dan dapat berhenti sendiri.
b) Epistaksis Posterior
Dapat berasal dari arteri etmoidalis posterior atau arteri
sfenopalatina. Perdarahan biasanya lebih hebat dan jarang berhenti
sendiri. Sering ditemukan pada pasien dengan hipertensi,
arteriosclerosis, atau pasien dengan penyakit kardiovaskuler karena
pecahnya arteri sfenopalatina.

D. Diagnosis
1. Anamnesis
Pasien datang dengan keluhan perdarahan dari hidung. menanyakan
lama perdarahan dan frekuensinya, apakah darah mengalir ke dalam
tenggorok atau keluar dari hidung depan, riwayat perdarahan sebelumnya,
riwayat penyakit sistemik yang diderita, riwayat penggunaan obat-obatan
antikoagulan, riwayat trauma hidung.
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaa status generalis mulai dari kesadaran, nadi, tekanan darah,
pernapasan, suhu. Pemeriksaan status lokalis dapat dilakukan rhinoskopi
anterior dan posterior.
3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium yang dapat dilakukan yaitu pemeriksaan darah
lengkap, bleeding time, PTT/APTT. CT scan, MRI dilakukan untuk
mengevaluasi kelainan anatomi, adanya benda asing, rinosinusitis. Dapat juga

18
dilakukan nasofaringoskopi jika curiga adanya tumor penyebab perdarahan
(Nguyen,2018).
E. Diagnosis Banding
- Barotrauma
- Rhinitis
- Von Willebrand disease
- Sinusitis
- Benda asing di hidung
- Trauma (Nguyen, 2018)
F. Penatalaksanaan

Prinsip penatalaksanaan epistaksis ialah memperbaiki keadaan umum,


mencari sumber perdarahan, menghentikan perdarahan, mencari factor
penyebab untuk mencegah berulangnya perdarahan.
Bila pasien datang dengan epistaksis, perhatikan keadaan umunya,
nadi, pernapasan, serta tekanan darah. Bila terdapat kelainan atasi terlebih
dahulu. Jalan napas dapat tersumbat oleh darah atau bekuan darah, perlu
dibersihkan. Untuk dapat menghentikan perdarahan perlu dicari sumbernya
apakah anterior atau posterior.
Pasien dengan epistaksis diperiksa dalam posisi duduk, biarkan darah
mengalir keluar hidung. Kalau pasien lemah dapat dengan posisi setengah
duduk atau berbaring dengan kepala ditinggikan. Pasien anak-anak duduk
dipangku, badan dan tangan dipeuk, kepala dipegangi agar tegak dan tidak
bergerak-gerak.
Sumber perdarahan dicari untuk memebrsihkan darah. Kemudian
dilakukan pemasangan tampon sementara yaitu kapas yang telah dibasahi
dengan adrenalin 1:5000 – 1:10.000 dan pantocain atau lidokain 2%
dimasukkan ke dalam rongga hidung untuk menghentikan perdarahan dan
mengurangi nyeri. Tampon dibiarkan 10-15 menit.
Pertolongan pertama epistaksis
- Posisikan kepaa menunduk dan duduk condong ke depan

19
- Tekan cuping hidung selama 10-15 menit
- Bernafas melalui mulut
- Kompres pangkal hidung dengan air dingin

Perdarahan Anterior

Langkah-langkah yang dapat dilakukan yaitu (Adam et al,1997) :


- Menggunakan tampon kasa.
- Siapkan alat dan bahan yaitu tampon kasa steril, tampon kasa dapat
dicampurkan dengan pelican seperti antibiotik, headlamp, speculum
hidung, bengkok.
- Masukan kasa tampon menggunakan speculum hidung dan pinset bayonet
dari bawah ke atas dan mengarah ke septum. Lakukan seterusnya hingga
padat.
- Jika perdarahan berhenti tanpa gangguan medis primer, pasien dapat
diperlakukan sebagai pasien rawat jalan.
- Tampon diambil setelah dua atau tiga hari.

20
Perdarahan Posterior

Untuk menanggulangi perdarahan posterior dilakukan pemasangan


tampon posterior yang disebut tampon bellocq. Tampon ini dibuat dengan kasa
padat dibentuk kubus atau bulat dengan diameter 3 cm. pada tampon ini terikat
tiga utas benang, dua buah di satu sisi dan 1 buah diberlawanan (Wardani,2014).
Untuk memasang tampon posterior pada perdarahan satu sisi, digunakan
bantuan kateter karet yang dimasukkan dari lubang hidung sampai tampak di
orofaring, lalu ditarik keluar dari mulut. Pada ujung kateter ini diikatkan dua
benang bellocq tadi, kemudian tampon ditarik lagi melalui hidung sampai
benang keluar dan dapat ditarik. Tampon perlu didorong dengan jari telunjuk
untuk dapat melewati palatum mole masuk ke nasofaring. Bila masih ada
perdarahan maka bias ditambah tampon anterior ke dalam kavum nasi. Kedua
benang yang keluar dari hidung diikat pada sebuah gulungan kain kasa di depan
nares anterior, supaya tampon yang terletak di nasofaring tetap ditempatnya.
Benang lain yang keluar dari mulut diikat secara longgar pada pipi pasien.
Tampon diambil setelah dua atau tiga hari (Wardani,2014).

21
Selain tampon ballocq dapat juga digunakan kateter foley dengan balon.
Dengan berkembangnya endoskopi, akhir-akhir ini juga dikembangkan teknik
ligase arteri, hal ini dilakukan bila tampon anterior dan posterior gagal
mengendalikan epistaksis (Wardani,2014).

Medikamentosa
Obat-obatan yang dapat diberikan pada pasien epistaksis yaitu (Roberts et
al,2014):
- Antibiotik
- Antihemolitik seperti asam traneksamat, vit K, Dycinone, dll
- Analgesik

G. Komplikasi
Komplikasi dapat terjadi sebagai akibat dari epistaksisnya sendiri atau
akibat dari usaha penanggulangan epistaksis. Akibat perdarahan yang hebat
dapat terjadi aspirasi darah ke dalam saluran napas bawah, juga dapat
menyebabkan syok, anemia dan gagal ginjal. Turunnya tekanan darah secara
mendadak dapat menyebabkan hipotensi, hipoksia, iskemia cerebri,
insufisiensi coroner sampai infark miokard sehingga dapat menyebabkan
kematian (Wardani,2014).
Akibat pembuluh darah yang terbuka dapat terjadi infeksi, sehingga
peru diberikan antibiotik.
Pemasangan tampon dapat menyebabkan rino-sinusitis, otitis media,
septikemia atau toxic shock syndrome. Oleh karena itu harus sellau diberikan
antibiotic pada setiap pemasangan tampon hidung, dan setelah 2-3 hari harus
dilepas. Selain itu dapat terjadi hemotimpanum sebagai akibat mengalirnya
darah melalui tuba eustachius dan air mata berdarah akibat mengalirnya darah
secara retrograde melalui duktus nasolakrimalis. Pemasangan tampon posterior
dapat menyebabkan laserasi palatum mole atau sudut bibir, jika benang yang
keluar dari mulut terlalu dilekatkan pada pipi. Kateter balon atau tampon balon

22
tidak boleh dipompa terlalu keras karena dapat menyebabkan nekrosis mukosa
hidung atau septum (Wardani,2014).

H. Tetralogi of Fallot
Tetralogi of Fallot (TOF) adalah penyakit jantung bawaan tipe sianotik.
Kelainan yang terjadi adalah kelainan pertumbuhan dimana terjadi defek atau
lubang dari bagian infundibulum septum intraventrikular (sekat antara rongga
ventrikel) dengan syarat defek tersebut paling sedikit sama besar dengan
lubang aorta. Sebagai konsekuensinya, didapatkan adanya empat kelainan
anatomi sebagai berikut (Ashley, 2004):
1. Defek Septum Ventrikel (VSD) yaitu lubang pada sekat antara kedua
rongga ventrikel.
2. Stenosis pulmonal terjadi karena penyempitan klep pembuluh darah yang
keluar dari bilik kanan menuju paru, bagian otot dibawah klep juga
menebal danmenimbulkan penyempitan
3. Aorta overriding dimana pembuluh darah utama yang keluar dari ventrikel
kiri bergeser ke ventrikel kanan, sehingga seolah-olah sebagian aorta
keluar dari bilik kanan
4. Hipertrofi ventrikel kanan atau penebalan otot di ventrikel kanan karena
peningkatan tekanan di ventrikel kanan akibat dari stenosis pulmonal

23
BAB IV
KESIMPULAN

1. Epistaksis merupakan suatu gejala yang disebabkan oleh kondisi atau


keadaan kelainan tertentu.
2. Sumber perdarahan epistaksi berasal dari anterior ataupun posterior.
3. Prinsip penatalaksanaan epistaksis ialah memeperbaiki keadaan umum,
mencari sumber perdarahan dan menghentikan perdarahan, mencari
penyebabnya dan mencegah berulangnya perdarahan.

24
DAFTAR PUSTAKA

Adams GL, Boies LR, Higler PA. 1997. BOIES Buku Ajar Penyakit THT. Edisi
6. EGC : Jakarta. Hal. 320-322, 330, 339-340, 342.

Ashley EA, Niebauer J. Adult congenital heart disease. In: Cardiology


explained. UK: Remedica, 2004: 203-13

Moore, Keith L.,Arthur F Dalley.2013.Anatomi Berorientasi Klinis Ed 5. Jakarta


: Erlangga.

Nguyen, Quoc A.2018.Epistaxis. Medscape.


https://emedicine.medscape.com/article/863220-differential diakses 10
November 2018

Roberts J.,James R Hadges.2014.Clinical Procedure in Emergency


Medicine.Philadelphia : Elsevier.

Soetjipto, Damayanti.,Mangunkusumo, Endang.,Wardani, Retno


S.2014.Sumbatan Hidung dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. FK UI.

Wardani,Retno S.,Mangunkusumo,Endang.2014.Epistaksis dalam Buku Ajar


Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. FK UI.

25

Anda mungkin juga menyukai